BERAGAMA ISLAM DI KOTA MEDAN
(STUlJi GENDER DAlAM PERSPEKTIF BUDAY A MANDAILING
)f.Nt.; BERAGAMA ISLAM DALAM MEMA.NDANG
PfREMPUAN SEBAGAI PEMIMP1NI
Oleh.
~~E!:KINA
lNANTA NAHU"f!ON
TPS~i'l Untu k Memperoleh Gciar Magistct ..;,,h'\s Progr.a.m Stud: Antn•po!ogi Su),\at
PROGll!\.M PASCASARJANA
UNIVERS!TAS NEGERI MEDAN
ME DAN
BUDAY A MANDAILING YANG BERAGAMA ISLAM Dl KOTA MEDAN
(STliDI GENDER DALAM PERSPEKTU<' BUDAY A MANDAILING
YANG BERAGAMA ISLAM DALAM MEMANDANG PEREMPUAN SEBAGAI PEMIMPIN)
OLEH:
MEIRINA INANTA NASUTION
NIM. 025050076
Telah Dipertabankan di Depan Panitia lljian Tesis
Pada Taoggal15 Desember 2006, dan Dinyatakao Telah Memenuhi Salab Satu Syarat Untuk ~lemperoleh Gelar Magi\ter Sains
Program Studi Antropologi Sosial Unimed
Medan. IS Oesembcr 2006
Menyetujui Tim Pembimbiog
Pembimbing J f
('\J~~·
Prof. DR. Bungaran A. Simanjuntak
Nip.130344786
Ketua Program Studi
Antrorlogi Sosial\
~
·.
J
I~J-Nip.l30344786
Direktur Pro ranrPasca Sarjana Uoiversi s N eri Medan
( )
Prof. DR. Belferik Maoullane.
PROGRAM STUDJ ANTROPOLOGI SOSlAL
PERAN SOSIAL POLITIK PEREMPUAN DALAM KONSEP
BUDAY A M.ANDAILING YANG BERAGAMA ISLAM Dl KOTA MEDAN
(STUDl GENDER DALAM PERS.PEKTIF BUDAY A MANDAILING
YANG B.ERAGAMA ISLAM DALAM MEMANDANG PEREMPUAN SEBAGAl PEMJMPIN)
Pembimbing I
NAMA
NIM
HARI/TGL
: MEIRlNA INANTA NASUTION
:025050076
: JliMA T
I
15 DESEMBER 2006
TlM PENGlJJl
: Prof. DR. Bungaran A. Simanjuntak
U
~
Pembimbing II : Prof. DR. Robert Sibarani M.Si
Penguji : t. Prof. Dr. Nur. A. Fadhil Lubis, M.A
. t .
'I " .
I .·.
I •I ..
.,
·~.
... , ...
~ .
t ' ( .
. .
·.~.: .•••• i ·:·'i·l
·: :.~:. ~ (,· . .
<.t
'.1,·'\ ~I " ·; ~~ '
. ,,
•
..
l
'..
,I
'• I
'
1
•
..
' ,:.'·
• < ,.( ' ;·'. :i:(: .
• .. ...
..
I
··.'
..
J. t
I
' !
'
~~. ( 1: ,..
' ., ~•
.
'..
.:-... . .. , . ...
• I
.-~ ..
· .' .
·.'; .
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah S WT atas
scgala berkat dan karunia-Nya. sehingga penulisan tesis ini dapat 1erselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian pcnufisan ini, banyak sekali halangan
dan rintangan yang tidak dapat penulis himlari.
Adapun mak.sud penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi tugas akhir untuk
mencapaj derajat Satjana S-2 pada Program Studi Antropologi SosiaJ Program Pasca
Satjana. Pada kcscmpatan ini penulis mcngucapkan tcrima kasih kepada scmua pihak
yang telab turut membantu melalui daya, dana dan do•a datam penulisan tesis ini
khususnya kcpada:
I . Bapak Prof. Dr. B.A. Simanjuntak, selaku Pcmbimbing I dan Ketua Program Studi Antropologi Sosial yang telah memberikan waktu, arahan dan bimbingan
sehingga tesis ini dapat sclesai.
2. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, M .Si, selaku Pembimbing II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan sehingga tesis dapat selesai.
3. lbu Dra. Trisni llandayani, tvf.Si, selaku Sekretaris Program Studi Antropologi
SosiaJ yang telah membantu dan memberikan masukkan draft awal tesis ini.
4. Bapak!Ibu Dosen program Studi Antropologi Sosial Pasca Saz:jana yang telah
membckali penulis dengan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang dapat
rnendukung pen:y-usunan tesis ini.
6. Bapak di Pemko Medan yang telah memberi izin penclitian bagi pcnulis dalam
mengumpulkan data yang diperiukan untuk penyusunan tesis ini.
7. lbu di Pemko Medan yang tclah memberikan infonnasi dan data dalam penulisan
tcsis ini.
8. Bapak Tokok Masyarakat di Kota Mcdan yang tclah rnembcrikan informasi
Jalam penyusunan tc:sis.
9. Rapak Tokoh Adat Mandailing di Kota Medan yang telah memherikan infonna<;i
dalarn penyusunan tesis.
l 0. Ayahanda dan lbunda tercinta yang telah mendoakan. mengasuh dan membiayai
scrta mcmberikan bantuan moriJ kepada penulis sejak perkuliahan hingga sclesai.
11. Buat Abangku yang tercinta terima kasih buat dukungan doanya scrta sc1uruh
kcluarga yang telah memberi semangat, arahan dan leguran kepada penulis.
12. Rckan-rekan seperjuangan stambuk "02" khususnya di Program Studi Program
J\ntropologi Sosial Pasca Sarjana yang tclah rncmberi motivasi dan hantuan
h·pada penulis hingga tesis ini se\esai.
13. Teman-teman yang tidak disebutkan namanya satu-persatu yang telah
memberikan dukungan dan dorongan sehingga pcnulisan tcsis ini dapat selesai.
Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat AJ!ah SWT berkenaan melimpahkan
karunia-Nya atas segala bantuan dan dorongan moraL material dibcrikan ayah dan
Antropologi Sosial Pasca Srujana.
IV
Medan, Pebruari 2007
Penulis,
(Meirina I11_anta_Nasution)
Budaya Mandailing Yang Beragama Islam di Kota Medan (Study Gender Dalam Perspektif Budaya Mandailing Yang Beragama Islam Dalam Memandang Perempuan Sebagai Pemimpin) Program Studi Antropologi Sosial. Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Medan.
Penelitian tm menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif untuk menggambarkan dan menganalisis tentang bagaimana perspektif budaya Mandailing yang beragama Islam dalam memandang perempuan Mandailing sebagai pemimpin dari sudut pandang masyarakat Pemko Medan, tokoh masyarakat, dan tokoh adat Mandai ling.
Untuk memperoleh analisis data, dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data dengan cara observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Adapun informasi dalam penelitian ini adalah pemimpin Pemko Medan yang berjumlah 4 orang~ tokoh masyarakat berjumlah 4 orang dan tokoh Adat berjumlah 2 orang, maka jumlah keseluruhan inform an sebanyak 10 orang.
Dalam penelitian ini, penulis melihat bahwa kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang tidak terlepas dari budaya Mandailing tidak membeda-bedakan antara keduanya baik dalam kepemimpinan, posisi sosial, prilaku sosial dan tanggung jawab sosial dalam suatu lembaga di Pemko Medan.
Sekalipun dalam keluarga suku Mandailing di Pemko Medan yang masih kental dengan adat istiadatnya, namun masalah kesempatan kerja bagi perempuan sangatlah terbuka luas dalam masalah sosial dan ekonomi keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa adanya peran perempuan Mandailing yang bekerja dan berkarir dalam menambah pendapatan keluarga di Pemko Medan.
Hal am an ABSTRAK ... .
KATA PENGANT AR ... n
DAFT AR lSI ... v
DAFT AR TABEL ··· VII BABI PENDAHULUAN I. La tar Belakang Masalah ... . 2. Identifikasi Masalah ... ... ... ... ... 5
3. Pertanyan Penelitian . ... . .. ... .. . ... ... ... ... .. .. . . .. .. .. . .. .. . ... . . .. . . . .. . 5
4. Rumusan Masalah ... 6
5. Tujuan Penelitian ... 6
6. Kegunaan Penelitian ... ... ... ... ... ... ... ... 7
7. Tinjauan Teoritis ... 7
a. Perempuan (Feminim) ... 8
b. Laki-laki (Maskulin) ... 10
c. Perbedaan Feminine dan Maskulin ... 11
d. Definisi Gender ... 13
e. Pengertian Kepemimpinan ... 14
f. Sifat-Sifat Kepemimpinan ... 16
g. Perempuan Sebagai Pemimpin ... ... . ... ... ... ... . . . 20
h. Budaya Mandai ling ... ... ... ... 24
1. Kesetaraan Gender ... ... ... ... .. ... ... ... .. . 27
J. Keadilan Gender ... ... .. . .. ... ... ... .. . ... 29
k. Tangggung Jawab ... 30
8. Metode Penelitian · ... :... 32
a. Tempat Penelitian ... 33
b. Teknik Pengumpulan Data... 33
c. Teknik Analisis Data... 34
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASY ARAKA T MANDAILING 1. Sejarah Persebaran Masyarakat Mandailing ... 35
2. Lokasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan ... 37
3. Jumlah Penduduk Kotamadya Medan ... 38
4. Pemerintahan ... 39
5. Politik ... 42
6. Suku Mandailing ... 43
7. Kebudayaan Mandailing ... 45
8. Struktur dan Sistem Hukum Adat Mandailing ... 46
BAB III PERUBAHAN SOSIAL DAN KEDUDUKAN PEREMPUAN I. Perubahan Sosial Sebagai Dampak Perkembangan Iptek ... 62
2. Pengaruh Iptek Terhadap Kehidupan Masyarakat ... 64
[image:9.607.66.534.108.701.2]BAB IV PEREMPUAN DAN KEPEMIMPINAN
1. Hak dan Martabat Perempuan Sebagai Profesional ... 80
2. Perempuan dan Kepemimpinan ... 83
3. Gaya Kepemimpinan Perempuan ... 85
4. Ciri-Ciri Pemimpin Menurut Islam ... 86
5. Prinsip-Prinsip Kepemimpinan ... 88
BAB V PERAN SOSIAL POLITIK PEREMPUAN DALAM KONSEP SOSIAL BUDAY A 1. Peran Sosial Perempuan . . . .. .. . . ... . . .. . .. . . .. . . . .. . . .. . . . .. . . .. .. . . 92
2. Politik Dalam PerspektifPerempuan ... 94
a. Politik bagi Perempuan .. ... ... .. . . .. ... . .. . ... ... .. .. . ... ... .. . 97
b. Politik PerspektifPerempuan ... 99
c. Perempuan dan Politik ... 102
d. Pluralisme dan Demokrasi .. . ... ... .. ... .. .... ... ... .. . . ... .. 1 04 BAB VI PEMBAHASAN PEREMPUAN MA.NDAILING SEBAGAI PEMIMPIN 1. Sudut Pandang Pemimpin di Pemko Dalam Memandang Perempuan Mandailing Sebagai Pemimpin ... 106
2. Sudut Pandang dan Implementasi Komunitas T okoh Adat Mandailing Dalam Memandang Perempuan Mandailing Sebagai Pemimpin ... ... .. ... .. ... ... ... ... ... 113
3. Sudut Pandang dan Implementasi Komunitas Tokoh Masyarakat Mandailing Dalam Memandang Perempuan Mandailing Sebagai Pemimpin ... 116
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... ... ... ... 120
2. Saran-saran ... 122
DAFTAR PUSTAKA ... 124 LAMPI RAN
Tabel 1.
2.
3.
Penduduk Kota Medan Menurut Jenis Kelamin Tahun 1995-2004 ... Jenis PNS Menurut Eselon dan Jenis Kelamin di Pemko Medan Tahun2004 ... . Jumlah PNS Menurut Golongan dan Jenis Kelamin di Pemko Medan Tahun2004 ... .
Vll
Hal am an 39
40
[image:11.603.69.526.111.588.2]1. Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Propinsi, Kabupaten!Kota dalam era
Otonomi Daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokratis, keterbukaan,
partisipatif, pemerataan dan keadilan, serta dengan mempertimbangkan potensi
dan keanekaragaman daerah. Hal tersebut dimaksudkan agar sumber daya
manusia baik laiki-laki maupun perempuan mempunyai hak dan kewajiban serta
peran dan tanggung jawab yang sama sebagai bagian integral dari potensi
pembangunan daerah, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal dalam upaya
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Gender merupakan pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan
masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai
dengan tuntutan perubahan zaman. Oleh karena itu, gender berkaitan bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata
nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya di tempat mereka berada.
Dengan kata lain, gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara
perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat.
G. Kartasapoetra (1988) bahwa peranan dalam kehidupan bermasyarakat itu
..
masyarakat atau kedudukan yang diperolehnya dalam masyarakat, status atau
posisi-posisi sosial baik yang telah diberikan atau yang masih harus
dipeijuangkan, yang dalam hal ini peranan perempuan itu sendiri yang akan
menentukan.
Hingga dewasa ini ketimpangan gender masih teijadi di masyarakat, hal ini
terjadi karena konstruksi sosial yang sudah mengakar. Ketimpangan tersebut
begitu mengakar sehingga sebagian orang yakin bahwa basil dari konstmksi
sosial itu sebagai suatu yang kodrati. Prijono (1996) menyatakan ketimpangan
gender dapat terjadi di rumah, sekolah/lembaga pendidikan, tempat kerja,
organisasi politik maupun pada lembaga pemerintahaan, meskipun demikian
ketimpangan gender yang paling sering teijadi adalah di rumah (keluarga).
Ketimpangan gender ini mengakibatkan akses dan kontrol perempuan
terhadap sumber daya sangat lemah. Selanjutnya dampak dari ketimpangan ini
adalah termanifestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan seperti marginalisasi,
proses pemiskinan ekonomi, sub-ordinasi, anggapan ini tidak perlu berpartisipasi
dalam pembangunan atau pengambilan keputusan politik, diskriminasi dan
kekerasan .
Ketimpangan gender di berbagai bidang pembangunan ditandai oleh masih
rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekeija dan berusaha, serta
rendahnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi, teknologi, informasi,
pasar, kredit, maupun modal kerja. Meskipun penghasilan perempuan pekeija
kesejahteraan keluarga, namun perempuan masili dianggap pencari nafkah
tambahan dan pekerja keluarga. Semua ini akan berdampak pada rendahnya
partisipasi, ak:ses dan kontrol yang dimiliki serta manfaat yang dinikmati
perempuan dalam pembangunan, antara lain ditandai oleh rendahnya tingkat
partisipasi angkatan kerja.
Kondisi empiris yang terjadi bahwa diskriminasi terhadap perempuan di
segala bidang khususnya di Pemko Medan, sesungguhnya merupakan suatu hal
yang sudah tidak asing lagi, kalaupun itu dikatakan sangat ekstrim. Jika tidak,
kalaupun ada kaum perempuan kebanyakan berada dipinggiran (periphery zone)
yang notabenenya kurang kuat pengamhnya dalam proses pengambilan
keputusan-keputusan politik, dimana peran politik kaum perempuan berada
dipinggirian saja, meskipun tidak: sedikit tokoh-tokoh dari perempuan yang
menjadi pemimpin, seperti menjadi Kepala Negara, Menteri, atau Kepala
Departemen, bahkan kepala-kepala yang ada di Pemko Medan, namun dalam
kenyataannya berbagai keputusanlkebijakan politik lebih banyak ditentukan oleh
suara laki-laki.
Di bidang politik meskipun proporsi pe:milih kaun1 perempuan lebih besar
dari laki-laki, namun yang duduk dalam parlemen cenderung menurun 9,8%
tahun 1998. Di Instansi pemerintahaan sangat sedikit perempuan berkesempatan
menduduki jabatan tinggi, begitu pula jajaran yudikatif. Semua itu merupakan
..
Ada kasus menarik tentang peran kaum perempuan dalam pentas politik di
Indonesia pada Pemilu tahun 1999, setelah PDI-P memenangkan Pemilu tahun
1999 dengan mencalonkan Megawati Soekamo Putri sebagai Presiden ke-IV,
orang mengatakan inilah saatnya kaum perempuan tampil memimpin bangsa.
Anggapan tentang dominasi politik di pihak laki-laki dan sub-ordinasi di pihak
perempuan setidak-tidaknya akan terbantah. Namun setelah S.U. MPR
dilaksanakan (yang mayoritas pesertanya laki-laki) temyata Megawati gagal
menduduki kursi Presiden. Kekalahan ini bisa menjadi bagian dari potret
marginalisasi kaum perempuan dalam kancah politik di Indonesia. (Siti Binti AZ,
1999).
Dalam kesetaraan gender baik perempuan maupun laki-laki tidak terlepas
dari adat istiadat maupun agama karena menyangkut masa depan, pandangan
inipun setelah adanya tuntutan secara global mengenai modernisasi dan era
emansipasi, di Pemerintah Kota Medan bahwa kesetaraan gender perlu
dipertanyakan, sejauhmana Bargaining Positifion kaum perempuan di Pemko
Medan tersebut, mengingat jumlah perempuan 1ebih banyak ketimbang jumlah
laki-laki di masyarakat.
Zaman ini masyarakat secara struktural dan kultural telah berubah akibat
pembangunan, akan tetapi masih sulit melepaskan tradisi hubungan sosial (laki
dan perempuan) yang berdasar gender. Mengapa sampai demikian, apa yang
menyebabkan teijadinya hubungan gender tradisional yang tetap melekat di
..
masih kental mempengaruhi kehidupan nmasyarakat di era globalisasi ini ? Atau
ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi penerapan gender di masyarakat kita?
Persoalan ini akan diteliti sejauh mana pengaruh budaya dan agama
mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kesetaraan dan keadilan gender.
2. Identifikasi MasaJah
a. Terdapat perspektif komunitas masyarakat Mandailing yang beragama Islam
dalam memandang perempuan Mandailing sebagai pemimpin di Pernko
Medan yang beretnis Mandailing.
b. Terdapat perspektif komunitas masyarakat Mandailing yang beragama Islam
dalam memandang perempuan Mandailing sebagai pemimpin berdasarkan
sudut pandang tokoh adat Mandailing.
c. Terdapat implementasi komunitas tokoh masyarakat Mandailing yang
beragama Islam dalam memandang perempuan sebagai pemimpin dalam
tatanan sosial politik Kota Medan.
3. Pertanyaan Penelitian
a. Mengapa dalam komunitas masyarakat Mandailing yang beragama Islam
masih terdapat adanya perspektif yang meragukan perempuan sebagai
pemimpin di Pernko Medan yang beretnis Mandailing ?
b. Mengapa dalam komunitas masyarakat Mandailing yang beragama Islam
masih ada perspektif tokoh adat Mandailing yang meragukan perempuan
c. Mengapa dalam impJementasi komunitas tokoh masyarakat MandaiJing yang
beragama Islam masih ada perspektif yang meragukan perempuan MandaiJing
sebagai pemimpin ?
4. Rumusan MasaJab
a. Bagaimanakah perspeki:if komunitas masyarakat Mandailing yang beragarna
Islam dalam memandang perempuan sebagai pemimpin berdasarkan sudut
pandang pemimpin di Pemko Medan ?
b. Bagaimanakah perspektif komunitas masyarakat Mandailing yang beragama
Islam dalam memandang perempuan sebagai pemimpin berdasarkan sudut
pandang tokoh adat Mandailing ?
c. Bagaimanakah perspektif komunitas tokoh masyarakat Mandailing yang
beragama Islam dalam memandang perempuan sebagai pemimpin dalam
tatanan sosial, politik di Kota Medan ?
5. Tujuan Penelitian
a. Mencoba menemukan bagaimana perspektif komunitas masyarakat
Mandailing yang beragama Islam dalam memandang perempuan sebagai
pemimpin berdasarkan sudut pandang pemimpin di Pemko Medan.
b. Mencoba menemukan bagaimana perspektif komunitas masyarakat
Mandailing yang beragama Islam dalam memandang perempuan sebagai
c. Mencoba menemukan bagaimana perspektif komunitas tokoh masyarakat
Mandailing yang beragama Islam dalam memandang perempuan sebagai
pemimpin dalam tatanan sosial politik di Kota Medan.
6. Kegunaan Penelitian
a. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan referensi bagi
mahasiswa Antropologi tentang perspektif budaya Mandailing terhadap
kepemimpinan perempuan.
b. Secara praktis dapat digunakan untuk mengembangkan kesetaraan gender
pada masyarakat kota Medan.
c. Agar pemerintah dapat mengubah dan merancang kebijakan dalam
menempatkan perempuan dalam hal yang setara/sejajar.
7. Tinjauan Teoritis
Tinjauan teoretis meliputi konsep yang menjelaskan alur pikir penelitian
secara komprehensif, dimana konsep teori dalam penelitian ini meliputi: Femine
(perempuan), Maskulin (Lak-laki), Defmisi Gender, Perbedaan Femine dan
Maskulin, Pengertian Pemimpin, Pemimpin Mnurut Agama Islam, Budaya
(Batak).
Guna lebih mempeijelas arah penelitian ini, maka pendekatan
struktur-fungsional menjadi model yang dipilih oleh penulis. Adapun tujuan penulis
pemilihan pendekatan ini adalah didasarkan atas asumsi yang menekankan bahwa
sosial melalui struktur-struktur sosial yang ada. Berdasarkan struktur yang ada
tersebut perempuan kemudian melakukan fungsinya sebagai pemimpin agar di
terima di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini adapun pendekatan struktural
fungsional yang akan disertakan di sini adalah berdasarkan teori yang
diungkapkan oleh Malinowski.
Malinowski (1989:938) mengungkapkan bahwa keberfungsian
elemen-elemen pembentuk kehidupan sosial termasuk budaya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup manusia baik yang bersifat biologis maupun psikologis, ada tiga
tingkatan kebutuhan manusia yaitu : ( 1) kebutuhan biologis berupa makanan,
prokrasi, (2) kebutuhan instrumental (struktur sosial) berupa hukum, pendidikan,
stratiftk.asi sosial, (3) kebutuhan integratifberupa agama dan kesenian.
a. Perempuan ( Femine )
Berdasarkan basil penelitian dari Levinson, Darraw & Klein (dalam O'Neil,
1982) meringkaskan dari temuan dalam sampelnya melalui deskripsi persepsi
bahwa, Femininitas diasosiasikan dengan; kelemahan, yakni penurut dan perilaku
tidak asertif, korban dari orang lain yang lebih memiliki kekuasaan dan siap untuk
dieksploitasi, memiliki keterbatasan diri untuk tetap berusaha menuju tujuan yang
bernilai; emosi, yang berkaitan dengan intuisi, kecendrungan membuat keputusan
didasarkan oleh perasaan dari pada analisis yang berhati-hati; membina rumah
tangga, dalam pengertian memenuhi kebutuhan suami dan anak-anak.
Menurut (Pranasari 1984:6) menyatakan bahwa : Ideologi gender
..
patuh dan sabar, mempunyai naluri keibuan yang tebal, penuh kasih sayang serta
memiliki keterbatasan dalam kekuatan atau tenaga.
Terkait dengan pelayanan kesehatan reproduksi, masih sering kita
menemuk:an kasus kematian ibu karena pertolongan persalinan yang kurang
memadai, tingginya angka kematian bayi pada masyarakat berpenghasilan rendah,
pentingnya peranan dukun bayi dalam perawatan kehamilan dan persalinan,
kematian perempuan karena aborsi yang tidak aman, efek kontrasepsi pada
perempuan yang tidak dapat diatasi oleh pelayanan KB, paksaan untuk
menggunakan kontrasepsi, infeksi saluran reproduksi yang terlambat diketahui,
dan sebagainya. Masih banyak contoh lain yang dapat kita temuka dalam realitas
sosial sehari-hari. Aspek-aspek sosial budaya inilah yang penting sekali dicem1ati
dalam mengkaji kesehatan reprpduksi, bukan laki persoalan biomedis belaka,
karena mempunyai implikasi yang luas terhadap setiap individu temtama
perempuan.
Pada Konferensi Perempuan sedunia tahun 1995 di Beijing, pentingnya
masalah hak dan kesehatan seksual semakin mencuat, sebagaimana tercantum
dalam pasal 96 dari platform, yaitu : hak-hak asasi perempuan mencakup hak
untuk memiliki kontrol dan memutuskan secara bebas dan bertanggungjawab atas
masalah-masalah yang berhubungan dengan seksualitas mereka, termasuk
kesehatan seksual dan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi, dan
kekerasan. Hubungan yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam
bagi integritas seseorang, mensyaratkan saling menghormati, persetujuan, dan
tanggung jawab bersama bagi perilaku seksual dan konsekuensi-konsekuensinya.
(Srinthil, 2004;57).
Meskiprm pasal tersebut di atas tidak secara eksplisit menggunakan kata
hak-hak seksual, namrm jelas sekali mencantumkan unsur-unsurnya. Dengan
demikian, mengkaji hak dan kesehatan reproduksi tidak dapat Iepas dari hak dan
kesehatan seksual.
b. Laki-Laki (Maskulin)
Berdasarkan basil penelitian dari Levinson, Darraw & Klein (dalam O'Neil,
1982) menyatakan bahwa : meringkaskan dari temuan dalam sampelnya melalui
deskripsi persepsi bahwa Maskulinitas diasosiasikan dengan kekuasaan, berupa
kontrol terhadap orang lain, menjadi seseorang dengan kemauan yang kuat,
pemimpin yang dapat menyelesaikan segala sesuatu, kekuatan, yakni tubuh yang
gagah, ketangguhan, dan stamina untuk mengatasi pekeijaan yang melelahkan
dan yang memikul tekanan ketubuh tanpa menyerah, berfikir secara logis dan
analitis, yang berarti kompetensi intelektualitas dan memahami pekeijaan;
kesuksesan, dalam pengertian berambisi, sukses dipekeijaan, kemajuan, serta
mencari keuntungan untuk diri dan keluarga. Menurut Fergusson dalam buku
Benih Bertumbuh; (2000:31 0) menyatakan bahwa : Seseorang yang aktif dan
baik bagi perkembangan manusia, dan tidak harus selalu dikaitkan dengan
pengertian agresif, melainkan bersifat ngemong dan kooperat~f
c. Perbedaan Feminine dan Maskulin
Peran jenis kelamin menurut Jenkins dan Me Donald Maltin (1984)
menyatakan bahwa stereotip peran jenis kelamin sebagai suatu set yang
terstruktur dari kepercayaan tentang atribut personal dari wanita yang
dikelompokkan dalam kemampuan dan kehangatan sebagai berikut :
1) Kelompok kemampuan Feminine yaitu :
•
Sarna sekali tidak agresif•
Sarna sekali tidak independent•
Sangat penurut•
Sarna sekali tidak kompettittif•
Sangat Pasif•
Memiliki kesulitan dalam membuat keputusn•
Sarna sekali tidak ambisius2) Kelompok kehangatan dan ekspresi Feminine yaitu:
• Sangat bijaksana
• Sangat pendiam
• Sangat penumt
• Sangat peka terhadap perasaan orang lain
• Sangat mudah mengekspresikan perasaan yang mendalam
Disamping itu jenis kelamin perempuan yang dibawa sejak lahir (kodrat)
alami memiliki ciri khas Primer sebagai berikut:
• Vagina (liang senggama)
• Ovarium (indung telur)
• Ovum (sel telur)
• Uterus
• Menyusui
• Haid
• Rahim
Ciri khas sekunder Feminine sebagai berikut:
• Kulit Halus
• Suara lebih bemada tinggi
• Dada Besar
Srinthil (2004:62) menyatakan bahwa kebanyak:an laki-laki lebih
cenderung melihat seks sebagai interaksi penetratif heteroseksual dengan
hubungan penis-vagina sebagai pusatnya. Secara seksual, laki-laki dilihat sebagai
pemberi dan perempuan sebagai penerima. Ada keyakinan bahwa organisme
perempuan tergantung pada dan akibat ejakulasi laki-laki. Ejakulasi laki-laki
laki-laki percaya bahwa perempuan mengalami organisme dengan berejakulasi seperti
halnya laki-laki.
Kepercayaan lain yang berkembang adalah berkenaan dengan resiko
terinfeksi PMS dan HIV I AIDS. Keengganan sebagian kelompok laki-Iaki untuk
menggunakan kondom bukan semata-mata karena mengurangi kenikmatan, tetapi
juga terkait dengan kebanggaan bahwa apabila terkena PMS adalah lambang
kejantanan. Norma maskulinitas yang berlaku didisni adalah sulit bagi laki-laki
untuk memahami, bagaimana ia berada dalam resiko terkena PMS karena tidak
adanya cairan yang memasuki tubuhnya ketika melakukan hubungan seksual.
Justru laki-laki enggan mengeluarkan cairan sperma yang masuk ke tubuh
perempuan. Apakah kepercayaan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan
laki-laki enggan menggunakan kondom saat berhubungan seksual. tentu masih
per]u dikaji lebih lanjut. Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana
proses-proses seksual seringkali didefinisikan oleh norma-norma maskulinitas yang
merefleksikan keperkasaan dan merepresentasikan kemampuan seksual yang pada
gilirannya dapat berimplikasi pada kesehatan reproduksi dan seksual perempuan.
d. Definisi Gender
Pengertian gender secara umum menurut kamus diasosiasikan dengan jenis
kelamin secara biologis, antara lain kamus Oxford (1994) mengartikan gender
sebagai: sexual classification,- sex.- the male andfemale gender. Kini gender lebih
laki-laki. Dengan demikian gender bukan hanya mengacu pada jenis kelamin biologis,
tetapi juga gambaran-gambaran psikologis, sosial dan budaya serta ciri-ciri
khusus yang diasosiasikan dengan kategori biologis perempuan dan laki-laki
(Gilbert, 1993).
Unger dan Crawford (1992: 17) menyatakan bahwa : memisahkan antara
jenis kelamin dengan gender, dimana pemahaman tentang gender merupak.an
konstruksi sosial. Jenis kelamin didefinisikannya : "As biological d~ffrences in
genetic composition and reproductive analDmi and function". Sebagaimana
spesies mamalia lainnya yang memiliki dua bentuk biologis seperti halnya
manusia terdiri dari perempuan dan Iaki-laki. Bayi manusia dikatakan perempuan
atau laki-laki saat dia dilahirkan, berdasarkan alat genital yang dimilikinya.
Sedangkan definisi gender menurut Unger dan Crawford ( 1992:1 8) menyatakan
bahwa : '' ... what culture makes out of the'raw material" of biological sex".
Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan
masyarakat, sebagai basil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai
dengan tuntutan perubahan zaman, gender juga berkaitan bagaimana seharusnya
laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang
terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan kata
lain gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan
e. Pengertian Kepemimpinan
Perkataan pemimpin mempunyai macam-macam pengertian. Definisi
mengenai pemimpin banyak sekali, yaitu sebanyak pribadi yang meminati
masalah pemimpin tersebut. Menurut Gary Yuki (1998) menyatakan bahwa
perilaku dari seorang individu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok
ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama.
Henry Prat Fairchild dikutip oleh Kartini Kartono (2002) menyatakan
bahwa pemimpin dalam pengertian luas ialah seorang yang memimpin dengan
jalan memprakarsai tingkah laku sosial dengan mengatur, mengarahkan,
mengorganisir atau mengontrol usaha/upaya orang lain atau melalui prestise,
kekuasaan atau pisis. Dalam pengertian yang terbatas, pernirnpin ialah seorang
yang rnembimbing memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya, dan
akseptansi/ penerirnaan secara sukarela oleh para pengikutnya.
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah
seorang yang memiliki kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi
dapat mempengaruhi orang lain yang dipimpinnya, untuk melakukan usaha
bersama mengarah pada pencapaian tujuan.
Seorang pemimpin itu merupakan ciri bawaan psikologis yang dibawa
sejak lahir, khususnya pada pada diri dan tidak dipunyai oleh orang lain,
sehingga dia disebut sebagai born leader ( dilahirkan sebagain pemimpin).
Karena itu sifat-sifat kepemimpinannya tidak perlu diajarkan pada dirinya, juga
biasa, dengan bakat dan kharisma yang cemerlang, di samping punyai bakat seni
memimpin yang tidak ada duanya.
Seni adalah kecakapan untuk menciptakan sesuatu yang menumbuhkan
rasa keindahan pada orang lain. Maka seni memimpin ialah bakat, kreativitas,
kemahiran yang luar biasa dan seseorang dengan gaya kepribadian yang unik,
dengan teknik dan cara-cara memimpin yang istimewa guna mempengaruhi orang
lain untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan bersama. Maka kepribadian
pemimpin "born leader" tersebut memancarkan daya tari yang luar biasa,
sehingga menggugah rasa sempati, respek, kekaguman, afeksi, kesenangan dan
emosi-emosi indah lainnya pada para pengikutnya. Pribadi pemimpin sedemikian
itulah disebut memiliki bakat seni memimpin yang tidak bisa ditiru oleh orang
lain.
f. Sifat-sifat Pemimpin
Upaya untuk menilai sukses atau gagalnya pemimpin itu antara lain
dilakukan dengan mengamati dan mencatat sifat-sifat dan kualitas/mutu
perilakunya, yang dipakai sebagai kriteria untuk menilai kepemimpinannya.
Menurut Ordway Tead yang dikutip oleh Kartini Kartono (2002)
menyatakan bahwa ada 10 sifat yaitu :
1. Energi jasmaniah dan mental (Physical and nervous energy)
Hampir setiap pribadi pemimpin memiliki tenaga jasmani dan rohani yang
istimewa yang tampaknya seperti tidak akan pemah habis. Hal ini ditambah
dengan kekuatan-kekuatan mental berupa semangat juang, motivasi ke:rja,
disiplin, kesabaran, ketahanan bathin, dan kemauan yang luar biasa untuk
mengatasi semua permasalahan yang dihadapi.
2. Kesadaran akan tujuan dan arah (A sense of purpose and direction)
Ia memiliki keyakinan yang teguh akan kebenaran dan kegunaan dari semua
perilaku yang dike:rjakan, tahu persis kemana arah yang akan ditujunya, serta
pasti memberikan kemanfaatan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain
yang dipimpinnya. Tujuan tersebut harus disadari benar, menarik, dan sangat
berguna bagi pemenuhan kebutuhan hidup bersama.
3. Antusiasme (Enthusiasme: semangat, kegairahan, kegembiraan yang besar)
Peke:rjaan yang dilakukan dan tujuan yang akan dicapai itu harus sehat,
berarti, bernilai, memberikan harapan-harapan yang menyenangkan,
memberikan sukses, dan menimbulkan semangat serta esprit de corps. Semua
ini membangkitkan antusiasme, optimisme, dan semangat besar pada pribadi
pemimpin maupun para anggota kelompok.
4. Keramahan dan kecintaan (Friendliness and affection)
Affection itu berarti kesayangan, kasih sayang , cinta, simpati yang tulus,
disertai kesediaan berkorban bagi pribadi-pribadi yang disayangi. Sebab
pernimpin ingin membuat mereka senang, bahagia dan sejahtera. Maka kasih
sayang dan dedikasi pemimpin bisa menjadi tenaga penggerak yang positif
Sedang keramah-tamahan itu mempunyai sifat mempengaruhi orang lain, juga
membuka setiap hati yang masih tertutup untuk menanggapi keramahan
tersebut. Keramahan juga memberikan pengaruh mengajak, dan kesediaan
untuk menerima pengaruh pemimpin untuk melakukan sesuatu secara
bersama-sama, mencapai satu sasaran tertentu.
5. Integritas (integrity: keutuhan, kejujuran, ketulusan hati)
Pemimpin itu 11arus bersifat terbuka, merasa utuh bersatu, sejiwa dan
seperasaan dengan anak buahnya, bahkan merasa senasib dan
sepenanggungan dalam satu peijuangan yang sama. Karena itu dia bersedia
memberikan pelayanan dan pengorbanan kepada para pengikutnya.
Sedangkan kelompok yang dituntut menjadi semakin percaya dan semakin
menghormati pemimpinnya. Dengan segala ketulusan hati dan kejujuran,
pemimpin memberikan ketauladanan agar dia dipatuhi dan diikuti oleh
anggota kelompoknya.
6. Penguasaan teknis (Technical mastery)
Setiap pemimpin harus memiliki satu atau beberapa kemahiran teknis tertentu
agar ia mempunyai kewibawaan dan kekuasaan untuk memimpin
kelompoknya. Dia memiliki kemahiran-kemahiran sosial untuk memimpin
dan memberikan tuntutan yang tepat serta bijaksana. T erutama teknik untuk
mengkoordinasi tenaga manusia agar tercapai maksimalisasi efektivitas keija
7. Ketegasan dalam mengambil keputusan (Decisiveness)
Pemimpin yang berhasil itu pasti dapat mengambil keputusan secara tepat,
tegas dan cepat, sebagai hasil dari kearifan dan pengalamannya. Selanjutnya
dia mampu menyakinkan para anggotanya akan kebenaran keputusannya. Ia
berusaha agar para pengikutnya bersedia mendukung kebijakan yang telah
diambilnya. Dia harus menampilkan ketetapan hati dan tanggung jawab, agar
ia selalu dipatuhi oleh bawahannya.
8. Kecerdasan (Jntelligency)
Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin itu merupakan
kemampuan untuk melihat dan memahami dengan baik, mengerti sebab dan
akibat kejadian , menemukan hal-hal yang krusial, dan cepat menemukan cara
penyelesaiannya dalam waktu singkat. Maim orang yang cerdas akan mampu
mengatasi kesulitan yang dihadapi dalam waktu yang jauh Iebih pendek dan
dengan cara yang lebih efektif daripada orang yang kurang cerdas.
Kecerdasan dan originalitas yang disertai dengan daya imajinasi tinggi dan
rasa humor, dapat dengan cepat mengurangi ketegangan dan
kepedihan-kepedihan tertentu yang disebabkan oleh masalah-masalah sosial yang gawat
dan konflik-konflik di tengah masyarakat.
9. Keterampilan mengajar (Teaching skill)
Pemimpin yang baik itu adalah seorang guru yang mampu menuntun,
mendidik, mengarahkan, mendorong (memotivir), dan menggerakkan anak
buahnya, dia diharapkan juga menjadi pelaksana eksuktif untuk mengadakan
latihan-latihan, mengawasi peketjaan rutin setiap hari, dan menilai gagal atau
suksesnya satu proses atau treatment.
10. Kepercayaan (Faith)
Keberhasilan pemimpin itu pada umumnya selaJu didukung oleh kepercayaan
anak buahnya. Y aitu kepercayaan bahwa para anggota pasti dipimpin dengan
baik dipengaruhi secara positif, dan diarahkan pada sasaran-sasaran yang
benar. Ada kepercayaan bahwa pemimpin bersama-sama dengan anggota
kelompoknya secara bersama-sama rela betjuang untuk mencapai tujuan yang
bernilai.
g. Perempuan Sebagai Pemimpin Menurut Agama Islam
Di dalam ayat-ayat AI-Qur'an maupun Smmah Nabi yang merupakan
sumber utama ajaran Islam, terkandung nilai-nilai universal yang menjadi
petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan
sebagainya. Berkaitan dengan nilai kesetaraan dan keadilan, maka Islam tidak
pernah mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi di antara umat manusia. Hal ini ditegaskan dalam AI-Qur'an smah Al-Hujarat 49:13) bahwa:
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allal1 Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". (Ratna Batara Munti, 1999)
Dari ayat di atas jelas bahwa di dalam Islam, hanya ketaqwaanlah yang
membedakan manusia satu dengan manusia yang lain. Karena pada dasarnya
manusia diciptakan sama, sekalipun mereka berasal dari bangsa ataupun suku
yang berlainan. Allah SWT memang sengaja menciptakan mereka dalam
keragaman bangsa dan suku dengan maksud mereka saling mengenal satu san1a
lainnya.
Sementara itu, berkaitan dengan kesetaraan di antara jenis kelamin yakni
antara perempuan dan laki-laki juga secara tegas disebutkan dalan1 Al-Qur' an
Surah Al-Allzab 33:35) bahwa:
Dari ayat ini terlihat dengan jelas bahwa Allah SWT tidak membedakan
antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja di antara mereka akan mendapatkan
ganjaran setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat. Tidak ada perbedaan
atauptm diskriminasi dalam hal kepemimpinan.
Namtm, dalam kenyataannya hubtmgan antara laki-laki dan perempuan di
tengah masyarakat masih timpang. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya
kasus kekerasan yang teijadi pada perempuan, terutama kekerasan dalam rumah
tangga. Sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menangani kasus-kasus
perempuan telah mencatat sebanyak 464 kasus keluarga yang menimpa kaum
perempuan, 395 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga,
meliputi kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual.
Di antara penyebab timpangnya hubungan laki-laki dan perempuan yang berujtmg pada ketidakadilan terhadap perempuan ini antara lain mi_tos-mitos yang
disebarluaskan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir £ljaran agama yang keliru
mengenai ketmggulan kaum laki-laki. Sebaliknya tentang perempuan adalah
mitos-mitos yang melemahkan kaum perempuan. Laki-laki selalu digarnbarkan
sebagai makhluk yang cerdas, kuat, tidak emisonal. Sementara perempuan adalah
makhluk yang Jemah, bodoh, emosional dan tidak mandiri. Hal ini juga dipengaruhi oleh mitos mengenai penciptaan ataupun asal kejadian manusia.
Yakni bahwa perempuan adalah setengah manusia, karena ia diciptakan dari
mengenai asal-usul kejadian manusia dalam Al-Qur' an surat Annisa ayat 1 yang
berbunyi:
Artinya : "Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan dari diri yang satu (nafs), dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak". (Ratna Batara Munti, 1999)
Selama ini kata nafs pada ayat tersebut diartikan sebagai Adam (laki-laki), sehingga dengan gampang Hawa (perempuan) ditafsirkan sebagai bagian dari
Adam (laki-laki). Kata nafs tersebut haruslah dipahami dalam pengertian jenis,
sehingga maknanya menjadi setara, yakni bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari jenis yang sama. Ayat di atas menegaskan bahwa asal-usul
penciptaan manusia adalah sama, maka pada dasamya Islam memberikan
kedudukan yang setara antara laki-Jaki dan perempuan. Dengan demikian,
seharusnya tidak perlu ada lagi mitos-mitos tentang kejadian manusia yang
mengunggulkan ]aki-laki dan di pihak lain melemahkan perempuan karena mitos
itu tidak berdasar sama sekali di dalam Al-Qur' an.
Berbeda dengan pandangan di atas, tidak ada satu ayatpun dalam A1-Qur' an
yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki.
AI-Qur'an secara tegas mendukung prinsip-prinsip kesetaraan dihadapan Tuhan,
termasuk dalam soal asal-usul kejadian manusia, seperti terdalam dalam
Artinya : "Sesunggulmya Kami memuliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan mereka mencari kehidupan).
Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk-mahkluk yang diciptakan". (Ratna Batara Munti, 1999)
Pada ayat lain, Surah Ali Imran ayat 195 juga menyebutkan :
~
r
L·--. ·-t::~ ·-·--.- ..y
Ix;
-.~ ·-t::~- J r-:... J • IW ..
1.(.>II~
r:---:
~ .J ~ UA ~WAC~i$-Artinya : "Sesunggulmya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik laki-laki maupun perempuan". (Ratna Batara Munti, 1999)
h. Budaya Mandailing
Budaya merupakan konsep utama yang digtmakan dalam disiplin ilmu antropologi, menurut Kroeber dan Kluckhohn ( dalam Beny, 1990: 52) menyatakan:
Culture consist of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquire and transmitted by symbols, constituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments in artifacts; the essensial core of culture consist of traditional (i.e., historically derived and sellected) ideas and especially their attached values; cultural systems may on the one hand be consedered as products of action, on the other as conditioning elements of further action.
Sementara itu Ember (1985) menyatakan budaya meliputi perilaku-perilaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap yang dipelajari mempakan karakteristik
dari suatu masyarakat atau populasi.
Sedangkan Camilari ( dalam Segall et all, 1990;26) mendefinisikan budaya sebagai berikut :
(2) It induces the sharing of attitudes, social representations, and values, and leads to shared behavior patterns that reflect these values.
Berdasarkan ciri-ciri dari budaya dapat dikatakan secara sederhana bhawa
budaya merupakan segala sesuatu yang dipelajari dari semua orang lain. Setiap
hal yang dipelajari seseorang dari orang lain merupakan suatu bagian dari budaya
dan hal itu ia terima melalui suatu adaptasi dan bertahan dari generasi ke generasi.
Sejak kita lahir, kita telah dihadapkan dengan budaya yang mengandung nilai-nilai
dan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikannya.
Suku Batak terdiri dari enam sub suku bangsa, yakni Batak Toba, Batak Karo,
Batak Simalungun, Pak-Pak, Mandaling dan Angkola. Mereka mendiami
sebagaian Daerah Sumatera Utara, yakni dataran tinggi Karo, Langkat Hulu,
Simalungun, Dairi, Toba Hulu, menurut torombo (cerita-cerita), suku bangsa
Batak berasal dari nenek moyang yang satu yakni si Raja Batak.
Nilai budaya batak (Mandailing) utama yang paling banyak tampil menurut
Harahap dan Sitompul (1987) menyatakan bahwa nilai kekerabatan dan nilai
religi, hal ini menunjukkan suku Mandailing memiliki semangat primordial suku
dan agama yang sangat kuat. Dalam nilai kekerabatan ini, nilai anak laki-laki
menduduki peringkat pertama, sedangkan nilai anak perempuan (boru) dalam
peringkat ke empat, sementara peringkat kedua adalah hula-hula yakni unsur
Dalihanna tolu, pihak pemberi istri dan peringkat ketiga kerukunan (satahi).
Stratifikasi sosial etnis Mandailing dalam kehidupan sehari-hari didasarkan
pangkat dan jabatan; c) perbedaan tingkat keaslian. Dalam hal pengambilan
keputusan yang berhak adalah para orang tua dan yang telah kawin, sedangkan
anak-anak muda yang belwn kawin hanya membantu dalam pelaksanaan upacara
adat (marhobas ).
Anak laki-laki dalarn etnis mandailing mempunyai kedudukan penting dalam
keluarga, karena anak laki-laki akan meneruskan silsilah (torombo) sesuai dengan
sistem kekerabatan yang patrilineal. Ukuran kesejahteraan bagi suatu keluarga
adalah apabila telah memiliki/mencapai 3 (tiga) tujuan yaitu: hagabeon,
hamoraon dan hasangapon.
Budaya Mandailing meskipun memiliki garis keturunan Patrilineal, bukan
berrnakna mendiskreditkan (memarginalisasi) kaum Perempuan baik dalam
pergaulan keluarga maupun dalam hubungan sosial keluarga dan budaya.
Perempuan Mandailing lebih dari pria dalam melakukan pekeijaan-pekerjaan
rumah tangga maupun dalam menopang ekonomi keluarga, tanggung jawab yang
seharusnya dipikul oleh laki-Jaki dapat beralih menjadi kewajiban Perempuan.
Perempuan Etnis Mandailing setelah menikah dimasukkan ke da]am unit keluarga
suami dan anak-anaknya diakui sebagai milik kelompok keluarga suami. Ini
merupakan konsekuensi sistem garis keturunan patrilineal pada masyarakat Mandai ling.
Koenjaraningrat, (1974:437) menyatakan bahwa budaya dan ideologi bukan
suatu hal yang turun dari langit, ia dibentuk oleh manusia dan disosialisasikan dari
menentukan perbuatan seseorang atau masyarakat seperti halnya budaya kita dan
juga di banyak negara dunia ketiga lain, budaya patriarkhi masih sangat kental.
Dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan
ketimpangan, asimetris dan subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas.
Kunthi Tridewiyanti (2000: 167) menyatakan bahwa diskriminasi yang berakar
dalam budaya sulit untuk di ubah dengan cepat, tidak mudah mengubah budaya
dan tradisi dikarenakan budaya dan tradisi telah berkembang dan berakar
sedemikian kuatnya dalam masyarakat, sehingga masyarakat hanya dapat
menerima perubahan secara lambat, dalam hal ini perlu dilakukan pendekatan
yang berguna dalam upaya mendorong perubahan kearah kesetaraan gender yang
sebaiknya berangkat dari budaya setempat.
i. Kesetaraan Gender
Moser, (1989:389) menyatakan bahwa berdasarkan pendekatan perempuan
dalam pembangunan (WID) beranggapan dasar bahwa; perempuan merupakan
sumber daya yang belum dimanfaatkan yang dapat memberi sumbangan ekonomi
dalam pembangunan. Hal ini awal upaya mempopulerkan proyek peningkatan
penghasilan bagi perempuan.
T.O.Ihromi, (1995:391) dalam bukunya Benih Bertumbuh menyatakan
bahwa Perempuan yang berfungsi sebagai penghasil pendapatan disarankan agar
diubah pengaturannya sedemikian rupa sehingga perempuan bekelja diperlakukan
Soetjipto, ( 1999:446) juga mengatakan bahwa Kepentingan perempuan
adalah suatu kehidupan yang lepas dari kemiskinan, kebodoban, penindasan dan
keterbelakangan serta penegakan status mereka sebagai mitra sejajar.
Fakib, (1996:438) menyatakan bahwa Semua kejadian yang berkaitan
dengan bubungan laki-laki dan perempuan baik dalam keluarga maupun diluar
keluarga, bersumber pada basil pengalaman sosialisasi seseorang. Ketinggalan
perempuan lebib disebabkan kesalahan rnereka sendiri. ltu sebabnya masuknya
perempuan ke dalam sektor industri dan pembangunan dianggap sebagai jalan
untuk meningkatkan status perempuan, sebingga ketidaksamaan status karena
perbedaan biologis dapat diperkecil.
Ani Soejipto (2000:448) menyatakan bahwa terminologi publik dan privat yang rnenyangkut konsep jender, peran jender, streotip gender, dan seterusnya,
telah menciptakan ketidaksetaraan (in equality) antara perempuan dan laki-laki.
Akar dari semua persoalan tersebut adalah budaya patriarki yang menghambat
ruang gerak perempuan, khususnya di bidang publik, termasuk wilayab politik.
j. Keadilan Gender
Perempuan termasuk warga negara yang rnempunyai tugas, kewajiban dan
bak yang sama pula. Pernyataan ini secara tertulis diakui oleh GBHN
(Garis-garis Besar Haluan Negara) 1993. Namun yang tertulis, lain dengan
kenyataannya. Situasi ini masib membutuhkan petjuangan, khususnya untuk
dimasukkan kotak stereotip, sehingga menjadi tidak dapat membedakan mana
yang kodrat mana yang buatan manusia.
Oleh karena itu, keadilan gender hanya dapat terlaksana dengan earn
perempuan dan laki-laki betjuang secara bersama, pulihkan persahabatan laki-laki
dan perempuan, baik melalui keluarga maupun melalui masyarakat. Dalam
petjuangan ini, ideologi gender berupaya menyadarkan atas apa yang selama ini
kita persepsikan secara salah. Dengan kesadaran barn dapat dimunculkan
perempuan sebagai mitra ketja.
k. Tanggung Jawab
Tanggung jawab laki-laki dari segi materi - tanpa keraguan - lebih besar
daripada tanggung jawab perempuan. Sebab laki-laki adalah kepala keluarga dan
berkewajiban menafkahi setiap anggota keluarganya. Sebaliknya perempuan tidak
berkewajiban menafkahi anggota keluarganya bahkan kepada dirinya sendiri
sekalipun. Oleh karena itu, jika bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah
agar ia punya sumber pendap~tan dan membuatnya mampu memikul tanggung jawab yang dibebankan Islam kepundaknya.
Berdasarkan keseluruhan konsep di atas dapat diperlihatkan sebagaimana
alur fikir penelitian yang akan di teliti sejauhrnana konsep di atas relevansinya
ALUR PIKIR PENELITIAN
BUDAY A MANDAING YANG BERAGAMA ISLAM
PEREMPUAN
+
(FEMININ)
DEFINISI KESETARAAN
r-.
GENDER...
..
GENDERLAKI-LAKI
+
~
(MASKULIN) BUDAY A MANDAILING
r-YANG BERAGAMA ISLAM
KEPEMIMPI- KEADILAN
1<11
NAN POSISl GENDER
SOSIAL PERILAKU
SOSIAL
TANGGUNG-JAWAB
Sumber : Hasil Rekonstruksi Penulis, 2004
KETERANGAN GAMBAR
Untuk mengetahui definisi gender, terlebih dahulu dibedak:an berdasarkan
defenisi jenis kelarnin antara lak:i-lak:i dan perempuan. Kesetaraan gender
diperoleh melalui pandangan budaya Mandailing yang beragama Islam, adak:ah
konflik yang bertentangan terhadap posisi kepemimpinan perempuan di Pemko
Medan berdasarkan sudut pandang tokoh masyarakat dan pemuka adat. Jika
ditemukan adanya kesetaraan gender tentu akan tercipta pula keadilan gender
kepemimpinan, Posisi sosial, perilaku sosial, maupun tanggung jawab sesuai
proses demokratisasi.
Dari keterangan gambar di atas dapat diuraikan bahwa perempuan
(feminin) menurut budaya Mandailing merupakan kesetaraan gender dalam
kedudukan dan keadilan dalam kepemimpinan, posisi sosial, perilaku sosial, dan
tanggungjawab. Sedangkan laki-laki (maskulin) menurut budaya Mandiling harus
memandang gender sebagai kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
dalam kepemimpinan suatu posisi sosial, perilaku sosial, dan tanggungjawab.
8. Metode Penelitian
Penelitian tm merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan
menggunakan analisis penelitian lapangan. Bogda dan Taylor dalam L.J. Moleong
(2000:5) menyatakan bahwa metode kualitatif sebagai prosedur penelitian
menghasilkan data deskrptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang diamati.
Penelitian ini merupakan kajian terhadap perspektif budaya Mandai ling yang
beragama Islam dalam memandang perempuan Mandailing sebagai pemimpin di
di Pemerintahan Kota Medan dan sekitamya, serta memantau pemangku
adat/tokoh adat yang akan di wawancarai/diteliti nantinya pada saat penelitian
di lapangan.
3. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan anggota masyarakat yang ada di Kota Medan
dan sekitarnya. Wawancara difokuskan kepada suku Mandailing yang
memiliki genealogis yang sama dan yang berbeda, serta kepada warga
masyarakat Kota Medan yang beragama Islam, untuk melihat sejauh mana
tokoh masyarakat dan pemuka adat, juga dilakukan wawancara kepada
informan yang bekeija di Pemerintahan Kota Medan.
c. Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan baik melalui data primer maupun data sekunder,
data sepenuhnya akan dianalisis melalui data kualitatif. Data yang terkumpul akan
dipilih berdasarkan kebutuhan penelitian, selain dianalisis juga dilakukan
interpretasi sepanjang penelitian ini berlangsung. Data yang diperoleh akan
dihubungkan sama lain berdasarkan keterangan para informan.
Untuk melihat keakuratan interpretasi data peneliti akan menyesuaikan data
didapat dari lapangan dengan konsep penelitian dan menyesuaikan dengan
..
...
KONSEP SOSIAL BUDA YA
1. Peran Sosial Perempuan
Semua orang memiliki peran-peran tersendiri di tengah masyarakatnya. Di
antara peran tersebut, termasuk peran berdasarkan jenis kelamin. Sejak seorang
anak dilahirkan, lingkungan telah mulai mempersiapkan seorang anak untuk
berperilaku yang dianggap lingkungan sesuai bagi perempuan dan laki-laki.
Pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin
berdasarkan harapan masyarakat diistilahkan sebagai peran jenis kelamin
sebagai:
"Patterns of behavior for members of the two sexes approved and axxed by
the social group with wich the individual is identified".
Menurut Donaldson dan Gullahom yang dikutip oleh Meutia Nauly (2003)
bahwa : peran jenis kelamin melibatkan kepercayaan budaya tentang perilaku
yang berbeda dan karakteristik dari orang yang diasosiasikan merupakan anggota
dari tiap jenis kelamin.
Menurut Corsini ( 1987) menyatakan bahwa peran jenis kelamin merupakan
sekumpulan atribut, sikap, trait kepribadian dan perilaku yang dianggap sesuai
dengan masing-masingjenis kelamin.
•
Rawena (1983) menyatakan peran jenis kelamin sebagai pola perilaku yang
merupakan karakteristik atau yang diharapkan menjadi dasar untuk
mengidentifikasikan seseorang itu sebagai pria atau wanita.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran jenis kelamin
merupakan serangkaian atribut kepribadian yang meliputi sikap dan juga pola
perilaku yang dianggap sesuai untuk pria dan perempuan, dikaitkan dengan
ciri-ciri feminin dan maskulin sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat
berdasarkan budaya.
Seorang perempuan setelah menikah dimasukkan ke dalam unit keluarga
suami dan anak-anaknya diakui sebagai miliki keluarga suaminya. Hal m1
konsekuensi sistem garis keturunan patrilineal pada masyarakat Mandailing.
Ayah merupakan kepala keluarga, sebagai pemimpin dan pengambil
keputusan di .dalam keluarga. Pada masyarakat Mandailing maka laki-laki yang
membentuk kelompok kekerabatan, memiliki hak bicara dan memutuskan dalam
permasalahan adat. Ritual adat istiadat terpusat pada garis keturunan patrilineal
dan hubungan antara Iaki-laki, pada hal perempuan dan konsep feminim dalam
keseluruhan sistem. Perempuan berperan sebagai orang yang dipimpin dan dalam
hubungan kekerabatan, perempuan berperan dalam rnenciptakan hubungan
perbesanan.
Seorang ayah memperlakukan anak perempuan dan laki-laki secara berbeda,
anak Iaki-laki mernang dituntut untuk kelask meneruskan dan rnernimpin
•
Pengantin perempuan yang menikah dengan laki-laki dari kelompok keluarga
yang berbeda merupakan simbol perwakilan dari keluarga ayahnya.
Cara pandang yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada tempatnya
masing-masing dalam hubungan kekerabatan merupakan cara yang ampuh bagi
dipertahankannya patrilineal selakigus patriarkhi dengan mengorbankan
perempuan melalui pembatasan terhadap harta milik. Gender dalam hubungan
kekerabatan dan hubungan sosial berkaitan dengan pembatasan perempuan
terhadap harta milik. Bila jenis kelamin mengacu pada kategori biologis, maka
konsep gender mengacu pada konsep sosial yang menempatkan seseorang sebagai
maskulin atau feminim berdasarkan karakteristik psikologis.(Sulistyowati lrianto
(2003). Maka kodrat yang seharusnya mengacu kepada perbedaan perempuan dan
laki-laki sebatas reproduksiya, diperluas menjadi peranan dan kedudukan di
berbagai bidang kehidupan.
2. Politik Dalam Perspektif Perempuan
Kalau kita menyimak situasi politik di Indonesia akhir-akhir ini, tidak salah
apabila orang memberi label bahwa politik ini kotor. Demi politik, seolah-olah
segala sesuatu dihalalkan. Bohong, tidak manusiawi, tidak adil, bahkan
perampasan hak asasi manusia, dianggap hal yang wajar. Anehnya, yang
melakukan semua itu adalah orang-orang pintar, bahkan orang-orang yang
Melihat situasi politik seperti itu, orang bisa salah paham memahami arti
politik. Bahkan mungkin, orang menjadi takut untuk berpolitik. Pada hal makin
banyak orang ta.kut berpolitik, ma.ka para politikus ulung a.kan ma.kin menjadi-jadi
dalam mengecoh masyarakat. Perempuan yang dikonstruksi lemah, ta.kut terhadap
kejadian yang kasar, keras, dan mengerikan a.kan menjadi sema.kin ta.kut
berpolitik. Pada hal, keputusan politik sangat mempengaruhi segala aspek
kehidupan sampai ke hal-hal paling keel dan persoalan-persoalan tersembunyi
mengenai kaum perempuan.
Perempuan sebagai manusia, seperti halnya la.ki-la.ki, belajar tentang
kehidupan melalui pengalaman hidupnya. Tetapi, kenyataan biologis telah
membeda.kan pengalamannya. Pengalaman perempuan hamil, melahirkan, dan
menyusui memberikan pelajaran bagi perempuan bagaimana memelihara
kehidupan, baik bagi dia sendiri maupun anak yang dilahir_kannya. Secara
alamiah, perempuan berusaha memelihara kehidupan dengan belajar dari
pengalamannya sendiri dan pengalaman kaumnya.
Menurut akal sehat yang adil, sudah sepantasnya apabila perempuan bebas
menentukan apa yang akan dilakukan di dalam melaksanakan tugas manajemen
kehidupan ini. Tetapi dalam realitas kehidupan, sudah berabad-abad lamanya
perempuan tidak lagi mempunyai hak untuk mengatur kehidupan. Segala aspek
kehidupan ditentukan oleh suatu kekuatan di luar kehidupan perempuan.
Apabila kita telusuri, kemudian kita analisis pengalaman yang satu ke
...
masyarakat adalah basil dari keputusan politik. Pertanyaan refleksi berlanjut,
siapa pengambil keputusan? Mengapa mereka mempunyai wewenang (kuasa)
menggunakan hak itu?.
Untuk mengetahui siapa pengambil keputusan itu, sangat penting karena
basil keputusan merupakan basil dari kerangka berpikirnya, kepeduliannya atau
interest-nya. Menurut teori, pengambilan keputusan tertinggi tentang kehidupan
masyarakat di Indonesia adalah MPR yang dipilih oleh rakyat. Tetapi,
kenyataannya sangat berbeda dengan teori yang tampaknya sangat adil.
Apabila ditelesuri lebih lanjut, keputusan politik ada pada sekelompok orang
yang mempunyai kepentingan bertentangan dengan rakyat banyak. Kelompok ini
dapat kita sebut sebagai kelompok yang ingin menguasai kehidupan, tanpa
mengingat bahwa kehidupan bukanlah milik mereka sendiri.
Menurut Nunuk P. Murniati (2004) bahwa : Bila kita gunakan pengertian
politik adalah usaha untuk mengatur kehidupan, maka kita dapat pelajari
bagaimana manusia purba mengatur kehidupannya. Konon saat itu, manusia
bebas menentukan kehidupan sesuai dengan pengalaman hidupnya. Perempuan
yang secara biologis hamil, melahirkan, dan menyusui tinggal di tempat aman
untuk memelihara kehidupannya. Kaum laki-laki yang biologisnya lebih bebas
dibanding keadaan biologis perempuan, pergi berburu dan menangkap hewan.
Dari pendapat diatas bahwa manusia bebas mengatur kehidupannya sesuai
dengan keadaan lingkungan hidupnya. Namun sifat manusia berbeda dengan
..
•
...
mengembangkan alamiah dengan akal budinya. Proses ini kemudian dinamai
budaya sebagai hasil kreasi daya pikir manusia. Dalam mewujudkan daya pikir
ini, diikuti oleh permenungan-permenungan yang hasilnya kita kenai sebagai
filosofi atau filsafat kehidupan. Dari filsafat ini, lahirlah berbagai cara pandang
termasuk cara memadang kehidupan. Sayangnya, dalam proses manusia
berbudaya, terjadi perampasan hak perempuan dalam menentukan kehidupan.
Budaya patriarkhi telah menyikirkan perempuan dari penentuan kehidupan.
Patriarkhi yang berarti kekuasaan bapak, semula hanya berlaku dalam keluarga.
Tetapi setelah cara berpikir patriarch ini mengakumulasi, terciptalah cara berpikir
pasangan (biner) dan dikotomis yang memposisikan si kuat (kuasa) menentukan
kehidupan si lemah. Cara berpikir ini merasuk ke dalam segala aspek kehidupan,
sehingga menghegemoni dan dianggap wajar, alamiah, kodrat. Di segala aspek
kehidupan dalam masyarakat ini, diberlakukan pandangan biner patrchist yang
dikotomis. Pandangan ini antara lain mempertentangkan perempuan dan laki-Jaki
yang berakibat pada penentuan posisi perernpuan dalam kehidupan.
a. Politik Bagi Perempuan
Melalui politik, perernpuan disingkirkan dari kehidupan. Kriteria manusta
normal dibuat dari sudut pandang laki-laki. Oleh karena itu, patut direnungkan
temuan yang dikernukakan Elizabeth Cady Stanton yaitu : (1) Kitab suci
bukanlah kitan yang netraJ, rne1ainkan merupakan senjata politik untuk
laki-..
•
...
laki tentang kehidupan dan tentang Allah dari sudut pandang laki-laki. Pada
hal mereka sendiri belum melihat dan bicara kepada Allah.
Dari pendapat diatas dijelaskan bahwa kitab suci sebagai benda keramat yang
tabu untuk pertanyakan. Namun, justru melalui cara mempolitisasi agama
inilah, kaum perempuan diperbodoh. Disinilah perlunya kesadaran perempuan
untuk mempertanyakan sejarah kitab suci, agama atau kepercayaan apa pun.
Iman itu hidup dan bukanya mati.
Cara berpikir biner patriarkhi menghasilkan cara pandang tentang kehidupan
dalam segala aspek. Pandangan berpasangan ini mempengaruhi Aristoteles
dalam memahami politik. Pandang ini dinyatakan sebagai pandangan politik
klasik, membuat dikotomi antara urusan bersama (kepentingan publik) dan
kepentingan individu atau kelompok masyarakat tertentu.
Pandangan dikotomis pada perkembangannya, seperti dinyatakan oleh Samuel
P. Hutington yaitu kepentingan publik secara singkat dikatakan sebagai
kepentingan pemerintah, karena lembaga pemerintah dibentuk untuk
menyelenggarakan kepentingan bersama. Namun pandangan politik klasik ini
sangat kabur, sehingga pengertian politik dipet:ielas dengan melembagakan
politik.
Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara
berhasil memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dan dalam wilayah
tertentu. Dari pengertian ini. dapat dipahami bahwa kemudian masyarakat
•
dikembangkan terns untuk: mengatur kehidupan semakin baik, misalnya
dengan konsep tria politika, tetapi kalau masih tetap terjadi diskriminasi
terhadap perempuan dan kelompok masyarakat yang dikategorikan lemah,
maka masyarakat di dunia tidak akan mencapai suasana adil dan damai.
Perkembangan pengertian politik didasari cara pandang biner patriarchst,
akhimya menciptakan pengertian politik sebagai kegiatan mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Pengertian politik (klasik)
yang semula sebagai suatu musyawarah warga negara untuk membicarakan
dan menyelenggarakan segala aspek kehidupan, telah berubah. Ia telah
menjadi ilmu yang mempelajari hakikat kedudukan dan menggunakan
kekuasaan, dimanapun kekuasaan itu. Pengertian politik adalah kekuasaan
yang sekarang berkembang dan makin menyingkirkan perempuan. Pengertian
politik ini menganggap perempuan sebagai manusia yang tidak boleh
berkuasa.
b. Politik Perspektif Perempuan
Beberapa kaum perempuan Indonesia yang tergabung dalam Suara lbu Peduli,
seolah hendak mengulang adegan di depan gedung pemerintah Perancis.
Y akni ketika proses refonnasi tengah berjalan, dan di gedung parlemen tengah
dilakukan negosiasi-negosiasi, pada tahun 1998 bahwa para kaum ibu itu
gedung pemerintah atau parlemen, melainkan di Bundaran Hotel Indonesia,
Jakarta.
Perempuan seyogianya berteriak ketika negara mengontrol tubuhnya melalui
politik KB. Suami-istri seharusnya protes ketika negara mengontrol
kehidupan berkeluarga dan menyebarluaskan slogan "dua anak saja cukup".
Perempuan yang menjelang menikah dan untuk mendapatkan akte
perkawinannya, sepantasnya protes harus bersia disuntik anti-tetanus tanpa
diperiksa terlebih dahulu.
Sejarah menunjukkan bahwa setelah berbad-abad perempuan tertindas dan
terampas hak politiknya, akhir