• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penetapan kadar formaldehida dalam asap cair [Liquid smoke] dengan metode spektrofotometri visibel.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penetapan kadar formaldehida dalam asap cair [Liquid smoke] dengan metode spektrofotometri visibel."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

INTISARI

Formalin adalah larutan 37% gas formaldehida dalam air yang digunakan untuk pengawetan mayat dan dilarang digunakan dalam makanan. Saat ini ditemukan asap cair sebagai pengawet makanan, yang dinyatakan lebih murah dan lebih aman dibandingkan formalin. Diduga terdapat kandungan formaldehida dalam asap cair. Penetapan kadar formaldehida dalam asap cair dapat dilakukan dengan spektrofotometri visibel yang sebelumnya dilakukan isolasi formaldehida dengan cara destilasi. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar formaldehida dan membandingkan kadar formaldehida pada kedua jenis asap cair.

Penelitian ini termasuk penelitian non-eksperimental analitik. Formaldehida hasil isolasi asap cair direaksikan dengan pereaksi kromotropat selanjutnya diukur serapannya dengan spektrofotometer visibel dan kadarnya dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku yang diperoleh yaitu y = 0,04901 x + 0,0518. Data yang diperoleh dianalisis dengan Paired Samples T-test dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar formaldehida dalam asap cair dua kali destilasi disertai penyaringan (264,26 ± 4,75) ȝg/ml sedangkan untuk asap cair satu kali destilasi (317,57 ± 1,26) ȝg/ml. Dari analisis T-test didapatkan nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata kadar formaldehida dalam dua jenis asap cair.

(2)

xvii

ABSTRACT

Formalin is 37% formaldehyde solution in water which used as corpse preservative and forbidden as food addition. Now, liquid smoke had been invented as food addition which claimed cheaper and more safety than formalin. It is guessed, there is formaldehyde content in liquid smoke. Formaldehyde assay in liquid smoke is carried out using visible spectrophotometric prior to formaldehyde isolation using distillation. This research’s purpose to assay formaldehyde content and compare formaldehyde content from the two kind of liquid smoke.

This research is categorized in analytical non-experimental. Formaldehyde as isolation result is reacted with chromotropic reagent then measured its reserve with visible spectrophotometer and the contents is calculated using curve equation standard which is y = 0.04901 x + 0.0518. Data then analyzed with Paired Samples T-test in confidence level 95%.

The result show that average formaldehyde content in liquid smoke distilled twice with refining is (264.26 ± 4.75) ȝg/ml while in liquid smoke distilled once is (317.57 ± 1.26) ȝg/ml. From the T-test is find out the significant value 0.00 < 0.05, so it is concluded that there is significant meaning in average formaldehyde content from the two kind of liquid smoke.

(3)

PENETAPAN KADAR FORMALDEHIDA

DALAM ASAP CAIR (LIQUID SMOKE) DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: William Salim NIM : 038114127

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)
(5)
(6)

iv

Ad Maiorem Dei Gloriam

Hadapi Kesulitan, Terobos Hambatan, Ciptakan Nilai

Stan Shih

Chairman & CEO ACER Group

Dedicated to:

Grandma Khow Sai Tian

Pappy Faisal Salim and Mommy Yuliana

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Yesus Kristus, atas berkat dan perlindungan-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penetapan Kadar

Formaldehida dalam Asap Cair (Liquid Smoke) dengan Metode Spektrofotometri Visibel”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas

Sanata Dharma ( USD ) Yogyakarta.

2. Dra. M. M. Yetty Tjandrawati, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan motivasi dan diskusi.

3. Drs. Sulasmono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan

diskusi, kritik, dan saran.

4. Dr. Sabikis, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan diskusi,

kritik, dan saran.

5. Segenap staf edukatif dan staf tata usaha Fakultas Farmasi USD

Yogyakarta, yang telah membantu dan memberikan fasilitas selama

penulis menempuh studi.

6. Para Laboran (Pak Parlan, Mas Kunto, Pak Mukminin, Pak Prapto, Mas

Kayat) Fakultas Farmasi USD Yogyakarta, yang telah memberikan

(8)

vi

7. Si Kou, Sa Pek, Tua Pek, Tong Ku, Ji Em, Ji Kou, Soi Kou, Si Ie, Soi Ie,

beserta keluarga atas dukungan dan doanya.

8. Bapak Tarsisius Suhardiyono beserta keluarga, atas tumpangannya selama

4 tahun.

9. Yosephine yang selalu menemaniku.

10.Hartono dan Adhy Gondez atas segala bantuannya.

11.Teman-teman seperjuangan dari Pontianak (Winarto, Widyono, Manto dan

lainnya) dan para sahabat karib (Agustino, Edy GF, dan lainnya) atas

persahabatannya.

12.Teman-teman kelas C angkatan 2003, teman-teman kelompok F angkatan

2003 dan teman-teman tim basket Farmasi USD Yogyakarta, atas

persahabatan dan kekompakannya.

13.Teman-teman Tasura 52 atas persahabatan dan kebersamaannya..

14.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

banyak membantu penulis. Dalam hal ini, penulis mohon maaf.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan

skripsi ini, penulis memohon kritik dan saran yang sifatnya membangun. Penulis

memiliki harapan yang sangat besar, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi

pembaca.

Yogyakarta, Mei 2007

(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Mei 2007

Penulis

(10)

viii

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ………

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………..

HALAMAN PENGESAHAN ………..

HALAMAN PERSEMBAHAN ………..

KATA PENGANTAR ……….

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………...……...

DAFTAR ISI ………

A. Latar Belakang Penelitian ...………...

1. Rumusan Masalah ……...…..………...

2. Keaslian Penelitian ………...……….

3. Manfaat Penelitian ………..……….

B. Tujuan Penelitian ………...

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA

(11)

B. Formaldehida .……...……….

1. Sifat ………...……….

2. Produksi ………...….………...

3. Kegunaan ….……….

4. Pengaruh terhadap badan ……….

C. Bahan Tambahan Makanan ………..………..

1. Pengertian bahan tambahan makanan ………...

2. Bahan pengawet kimia ……….

D. Isolasi Formaldehida ……..………….………...

E. Identifikasi Kualitatif Formaldehida …...

1. Uji dengan asam kromotropat ……….

2. Uji dengan Hehner-Fulton ………...

3. Uji dengan FeCl3 ………..

4. Uji dengan reagen Nash …...………

F. Uji Kuantitatif Formaldehida ...…...

1. Metode iodometri ………

2. Metode spektrofotometri …...………..

G. Spektrofotometri ………

H. Peraturan Perundang-Undangan ……….

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 ……….

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang

Pangan ……….

(12)

x

472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya bagi

Kesehatan ...

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1168/Menkes/Per/X/1999 ...

5. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ...

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004

tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan ...

I. Hipotesis ……….

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ……….

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ………

C. Alat Penelitian ………...……….

D. Bahan Penelitian ………

E. Jalan Penelitian ………...

1. Pembuatan reagen asam kromotropat …...………..

2. Pembuatan larutan stock formaldehida ………

3. Pembuatan seri larutan baku formaldehida …...

4. Optimasi metode penetapan kadar formaldehida secara

spektrofotometri visibel ...

5. Penetapan kadar formaldehida dalam sampel ...

(13)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Optimasi Metode Penetapan Kadar Formaldehida Secara

Spektrofotometri Visibel ...

1. Penetapan operating time ……….

2. Penetapan panjang gelombang absorbansi maksimal ( maks) …...

3. Penetapan kurva baku ….……….

4. Validitas metode ………...

B. Penetapan Kadar Formaldehida dalam Asap Cair ...………...

1. Preparasi sampel asap cair ...

2. Isolasi formaldehida dari asap cair ...

3. Proses preparasi larutan pereaksi ...

4. Reaksi pembentukan warna formaldehida yang direaksikan dengan

pereaksi kromotropat ...

5. Penetapan kadar formaldehida ...

C. Perbandingan Kadar …...……….

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Data pengukuran absorbansi kurva baku ...

Tabel II. Data perhitungan recovery dan kesalahan sistemik ...

Tabel III. Data perhitungan kesalahan acak ...

Tabel IV. Hasil pengukuran dan perhitungan kadar formaldehida secara

spektrofotometri visibel ...

Tabel V. Hasil analisis dengan Paired Samples T-test ………..

Tabel VI. Data penetapan kurva baku ……….

Tabel VII. Data kurva baku yang dipakai ……….

Tabel VIII.Data perhitungan recovery, kesalahan sistemik, dan kesalahan

acak ……….

Tabel IX. Hasil perhitungan recovery, kesalahan sistemik, dan kesalahan

acak ……….

Tabel X. Kadar asap cair A (dua kali destilasi disertai penyaringan) dengan

faktor pengenceran : 100 ml / 3 ml ...

Tabel XI. Kadar asap cair B (satu kali destilasi) dengan faktor pengenceran :

100 ml / 3 ml ...

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur formaldehida ...

Gambar 2. Reaksi kesetimbangan formaldehida ...

Gambar 3. Reaksi pembentukan paraformaldehida ...

Gambar 4. Reaksi pembentukan warna dari asam kromotropat dengan

formaldehida ...

Gambar 5. Rumus bangun 1,8-dihidroksinaftalena-3,6-disulfonat …...

Gambar 6. Rumus bangun 1,8-dihidroksinaftalena-3,6-dinatrium sulfonat

dihidrat ...

Gambar 7. Interaksi radiasi elektromagnetik dengan bahan-bahan ...

Gambar 8. Diagram spektrofotometer ………...

Gambar 9. Kurva hubungan antara absorbansi dan waktu ...

Gambar 10. Spektrogram panjang gelombang absorbansi maksimal ...

Gambar 11. Kurva hubungan antara absorbansi dan konsentrasi ...

Gambar 12. Reaksi antara formaldehida dengan air dengan katalis asam ...

Gambar 13. Reaksi oksidasi pereaksi kromotropat ...

Gambar 14. Reaksi I antara formaldehida dengan pereaksi kromotropat

dengan katalis asam ...

Gambar 15. Reaksi II antara formaldehida dengan pereaksi kromotropat

dengan katalis asam ...

Gambar 16. Perbandingan hasil reaksi I dan II …...………..

(16)

xiv

antara formaldehida dari asap cair dengan pereaksi kromotropat.

Gambar 18. Reaksi oksidasi menghasilkan senyawa para quinoidal ………..

Gambar 19. Gugus kromofor dalam struktur formaldehida dengan pereaksi

kromotropat ………..

Gambar 20. Spektrogram operating time ……….

Gambar 21. Spektrogram maks pada konsentrasi 6,66 μg/ml ...

Gambar 22. Spektrogram maks pada konsentrasi 7,77 μg/ml ...

Gambar 23. Spektrogram maks pada konsentrasi 8,88 μg/ml ...

Gambar 24. Kurva baku replikasi I ………..

Gambar 25. Kurva baku replikasi II ………

Gambar 26. Kurva baku replikasi III ………...

Gambar 27. Tampilan data untuk perhitungan recovery, kesalahan sistemik

dan kesalahan acak ………...

Gambar 28. Contoh kurva absorbansi asap cair A (dua kali destilasi disertai

penyaringan) ………..

Gambar 29. Contoh kurva absorbansi asap cair A (dua kali destilasi disertai

penyaringan) dan tampilan data replikasi V dan VI ……….

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pembuatan larutan stock formaldehida dan seri larutan baku

formaldehida ...

Lampiran 2. Penetapan operating time …...

Lampiran 3. Penetapan panjang gelombang absorbansi maksimal ( maks) …

Lampiran 4. Penetapan kurva baku ……...

Lampiran 5. Data perhitungan recovery, kesalahan sistemik, dan kesalahan

acak ...

Lampiran 6. Contoh cara perhitungan recovery, kesalahan sistemik dan

kesalahan acak ...

Lampiran 7. Hasil perhitungan recovery, kesalahan sistemik, dan kesalahan

acak ………...

Lampiran 8. Kadar asap cair A (dua kali destilasi disertai penyaringan)

dengan faktor pengenceran : 100 ml / 3 ml …...…

Lampiran 9. Kadar asap cair B (satu kali destilasi) dengan faktor

pengenceran : 100 ml / 3 ml ………..

Lampiran 10. Data yang dimasukkan dalam analisis Paired Samples T-test ..

(18)

xvi

INTISARI

Formalin adalah larutan 37% gas formaldehida dalam air yang digunakan untuk pengawetan mayat dan dilarang digunakan dalam makanan. Saat ini ditemukan asap cair sebagai pengawet makanan, yang dinyatakan lebih murah dan lebih aman dibandingkan formalin. Diduga terdapat kandungan formaldehida dalam asap cair. Penetapan kadar formaldehida dalam asap cair dapat dilakukan dengan spektrofotometri visibel yang sebelumnya dilakukan isolasi formaldehida dengan cara destilasi. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar formaldehida dan membandingkan kadar formaldehida pada kedua jenis asap cair.

Penelitian ini termasuk penelitian non-eksperimental analitik. Formaldehida hasil isolasi asap cair direaksikan dengan pereaksi kromotropat selanjutnya diukur serapannya dengan spektrofotometer visibel dan kadarnya dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku yang diperoleh yaitu y = 0,04901 x + 0,0518. Data yang diperoleh dianalisis dengan Paired Samples T-test dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kadar formaldehida dalam asap cair dua kali destilasi disertai penyaringan (264,26 ± 4,75) μg/ml sedangkan untuk asap cair satu kali destilasi (317,57 ± 1,26) μg/ml. Dari analisis T-test didapatkan nilai signifikansi 0,00 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara rata-rata kadar formaldehida dalam dua jenis asap cair.

(19)

ABSTRACT

Formalin is 37% formaldehyde solution in water which used as corpse preservative and forbidden as food addition. Now, liquid smoke had been invented as food addition which claimed cheaper and more safety than formalin. It is guessed, there is formaldehyde content in liquid smoke. Formaldehyde assay in liquid smoke is carried out using visible spectrophotometric prior to formaldehyde isolation using distillation. This research’s purpose to assay formaldehyde content and compare formaldehyde content from the two kind of liquid smoke.

This research is categorized in analytical non-experimental. Formaldehyde as isolation result is reacted with chromotropic reagent then measured its reserve with visible spectrophotometer and the contents is calculated using curve equation standard which is y = 0.04901 x + 0.0518. Data then analyzed with Paired Samples T-test in confidence level 95%.

The result show that average formaldehyde content in liquid smoke distilled twice with refining is (264.26 ± 4.75) μg/ml while in liquid smoke distilled once is (317.57 ± 1.26) μg/ml. From the T-test is find out the significant value 0.00 < 0.05, so it is concluded that there is significant meaning in average formaldehyde content from the two kind of liquid smoke.

(20)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang Penelitian

Hasil pengujian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Republik

Indonesia yang dilaporkan pada tanggal 9 Januari 2006 cukup mencengangkan.

Pasalnya 77,78 persen sampling tahu di Jakarta mengandung formalin. Kemudian

di Yogyakarta, dari sampling yang diambil ternyata 64 persen produk mie basah

mengandung formalin. Artinya, Yogyakarta merupakan daerah yang cukup rawan

dan potensial dari peredaran mie yang mengandung formalin (Anonim, 2006 b).

Formalin merupakan salah satu dari tiga ratus empat puluh delapan bahan

berbahaya yang tercantum dalam lampiran 1 Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan

Berbahaya bagi Kesehatan (Anonim, 1996 a). Formalin adalah larutan 37% gas

formaldehida dalam air yang digunakan untuk pengawetan mayat. Berdasarkan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1168/Menkes/Per/X/1999, dicantumkan bahwa formalin (formaldehida) termasuk

salah satu dari 10 bahan pengawet yang dilarang penggunaannya dalam makanan

(Anonim, 1999 a).

Keracunan formaldehida dapat terjadi akibat dari konsumsi formaldehida

dengan kadar tinggi yang digunakan sebagai pengawet dalam makanan,

contohnya mie basah. Jenis makanan ini merupakan makanan yang banyak

dikonsumsi oleh masyarakat. Ketidaktahuan masyarakat akan kemungkinan

adanya formaldehida dalam makanan dapat menjadi sebab terjadinya keracunan

(21)

formaldehida. Kalau terpapar formaldehida dalam jumlah banyak, misalnya

terminum, bisa menyebabkan kematian. Dalam tubuh manusia, formaldehida

dikonversi menjadi asam formiat yang meningkatkan keasaman darah, tarikan

nafas menjadi pendek dan sering, hipotermia, koma, atau kematian (Anonim,

2006 a).

Saat ini ditemukan pengawet alami sebagai alternatif pengganti formalin

yang harganya lebih murah dan aman yaitu asap cair (liquid smoke). Untuk

pengawetan produk makanan, asap cair tidak terkenal seperti formalin. Jika

formalin bisa membuat makanan bertahan sangat lama dengan kondisi terlihat

segar serta tidak berpengaruh pada cita rasa. Sedangkan asap cair tetap memiliki

rasa dan bau seperti asap meskipun dari segi kesehatan lebih baik dibandingkan

dengan formalin. Pengembang penelitian asap cair sendiri terus berkembang

diantaranya dengan pembuatan tepung asap yang juga bisa digunakan sebagai

bahan pengawet makanan (Anonim, 2006 b).

Asap cair bisa menjadi bahan pengawet karena mengandung senyawa

fenolik rantai panjang dan aldehida yang dapat membunuh bakteri pembusuk.

Seperti yang telah dilaporkan menyatakan bahwa pirolisis tempurung kelapa

menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil

11,3% dan asam-asam lemah 10,2%. Asap cair yang dipasarkan terdiri dari dua

pengolahan yaitu asap cair destilasi dua kali disertai penyaringan dan asap cair

destilasi satu kali. Harga asap cair destilasi dua kali disertai penyaringan adalah

Rp. 56.000 dalam jerigen lima liter sedangkan asap cair destilasi satu kali adalah

Rp. 36.000 dalam jerigen lima liter. Jika dibandingkan dengan harga formalin

(22)

3

dipertimbangkan dari segi ongkos produksi dan kadar formaldehida yang

dihasilkan.

Diduga terdapat kandungan formaldehida pada keseluruhan kandungan

karbonil dalam asap cair tersebut. Apabila terdapat kandungan formaldehida maka

pengawet asap cair tidak bisa digunakan sebagai pengawet pengganti formalin

karena bahaya penggunaan asap cair sama seperti pada penggunaan formaldehida.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menetapkan kadar formaldehida

dalam asap cair dengan metode spektrofotometri visibel serta melihat perbedaan

kadar formaldehida pada kedua jenis asap cair yang dipasarkan yaitu asap cair

dengan destilasi dua kali disertai penyaringan dan asap cair dengan destilasi satu

kali.

1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut muncul permasalahan sebagai

berikut:

a. apakah terdapat formaldehida dalam asap cair?

b. berapakah kadar formaldehida dalam asap cair?

c. apakah terdapat perbedaan kadar formaldehida pada kedua jenis asap cair?

2. Keaslian penelitian

Sejauh penelusuran pustaka yang telah dilakukan, penelitian tentang

penetapan kadar formaldehida dalam asap cair dengan metode

spektrofotometri visibel belum pernah dilakukan. Adapun penelitian yang

sudah pernah dilakukan yaitu oleh Sulistianto (2001) tentang pengaruh cara

(23)

(2002) tentang isolasi dan identifikasi formalin sebagai pengawet dalam tahu

yang beredar di kota Yogyakarta.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi

tentang ada tidaknya formaldehida dalam asap cair.

2. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi

tentang berapakah kadar formaldehida dalam asap cair.

3. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi

tentang ada tidaknya perbedaan kadar formaldehida pada kedua jenis

asap cair.

b. Manfaat metodologis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan penetapan

kadar formaldehida dalam pengawet makanan alami lainnya

B. Tujuan Penelitian

1. Untuk menguji adanya formaldehida dalam asap cair.

2. Untuk menetapkan kadar formaldehida dalam asap cair dengan metode

spektrofotometri visibel.

3. Untuk membuktikan adanya perbedaan kadar formaldehida pada kedua jenis

(24)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Asap Cair (Liquid Smoke)

Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel-partikel padat dan cair

dalam medium gas (Buell dan Girard, 1992). Asap cair merupakan campuran

larutan dari dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan mengkondensasikan

asap hasil pirolisis kayu. Cara yang paling umum digunakan untuk menghasilkan

asap pada pengasapan makanan adalah dengan membakar serbuk gergaji kayu

keras dalam suatu tempat yang disebut alat pembangkit asap, kemudian asap

tersebut dialirkan ke rumah asap dalam kondisi sirkulasi udara dan temperatur

yang terkontrol (Setiadji, 2006).

Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran yang tidak sempurna

yang melibatkan reaksi dekomposisi karena pengaruh panas, polimerisasi, dan

kondensasi (Buell dan Girard, 1992). Penggunaan berbagai jenis kayu sebagai

bahan bakar pengasapan telah banyak dilaporkan. Pembuatan bandeng asap di

daerah Sidoarjo, menggunakan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar seperti

kayu bakau, serbuk gergaji kayu jati, ampas tebu, dan kayu bekas kotak kemasan.

Namun untuk menghasilkan asap yang baik, pada waktu pembakaran sebaiknya

menggunakan jenis kayu keras seperti kayu bakau, serbuk atau serutan kayu jati

dan tempurung kelapa, sehingga diperoleh ikan asap yang baik (Setiadji, 2006).

Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras akan berbeda komposisinya

dengan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu lunak. Pada umumnya kayu

keras akan menghasilkan aroma yang lebih unggul, lebih kaya kandungan

(25)

aromatik dan lebih banyak mengandung senyawa asam dibandingkan kayu lunak

(Buell dan Girard, 1992).

Pembuatan asap cair menurut Dr. Bambang Setiadji, M.Sc. sangat

sederhana. Tempurung kelapa dipanaskan dalam tungku pirolisis berdiameter 1,5

m. Bagian atas tungku ditutup dan diberi pipa saluran untuk mengumpulkan asap.

Kemudian, asap yang terkumpul dalam drum besar diberi alat pendingin dan

kumparan yang menghasilkan embun. Dari kondensasi tersebut jadilah cairan asap

cair. Agar cairan tidak terlalu hitam, perlu didestilasi sehingga lebih jernih

(Anonim, 2006 d).

Asap cair memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan

karena adanya senyawa asam-asam lemah, fenolat dan karbonil. Seperti yang

telah dilaporkan bahwa pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair

dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13%, karbonil 11,3% dan asam-asam

lemah 10,2%. Di Amerika Serikat, pengolahan daging menggunakan asap cair

yang telah mengalami pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan senyawa

“tar”. Pasar internasional untuk produk asap cair ini meliputi Amerika, Eropa,

Afrika, Australia, dan Amerika Selatan. Asap cair ini telah diaplikasikan pada

pengawetan daging, termasuk daging unggas, kudapan daging, ikan salmon dan

kudapan lainnya. Asap cair juga digunakan untuk menambah citarasa pada saus,

sup, sayuran kaleng, bumbu, dan campuran rempah-rempah (Setiadji, 2006).

Senyawa-senyawa yang terkandung dalam asap cair berasal dari hasil

pirolisis selulosa dan lignin. Senyawa-senyawa hasil pirolisis selulosa meliputi:

asam asetat, asam formiat, maltol, methylcyclopentenolone, ethylcyclo

(26)

7

Sedangkan senyawa-senyawa hasil pirolisis lignin meliputi: fenol, cresol,

guaiacol, 4-methylguaiacol, 4-ethylguaiacol, 4-propylguaiacol, pyrocatechol,

vanillin, 4-(2-propio)vanillone, 4-(1-propio)vanillone, asetovanillone, 2,4,5-tri

methylbenzaldehyde, 4-hydroxyacetophenone, eugenol, isoeugenol, syringol,

4-methylsyringol, 4-ethylsyringol, 4-propylsyringol, 4-acetosyringol,

syringaldehyde (Anonim, 2006 e).

Asap cair sudah umum digunakan untuk menggantikan pengasapan

tradisional dan sudah diproduksi secara komersial. Komponen asap terutama

berfungsi untuk memberi cita rasa dan warna yang diinginkan pada produk

asapan, dan berperan dalam pengawetan dengan bertindak sebagai antibakteri dan

antioksidan. Asap telah diketahui memiliki sifat antioksidan dan antimikroba

disamping sifat-sifat lain misalnya merubah tekstur pada produk olahan (daging,

ikan) dan merubah kualitas nutrisi pada produk olahan. Antioksidan dan

antimikroba terutama diperoleh dari senyawa-senyawa fenol yang merupakan

salah satu komponen aktif dalam asap selain keton, aldehida, asam karboksilat,

alkohol, dan furan (Setiadji, 2006).

Antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau memperlambat

kecepatan oksidasi terhadap zat-zat yang dapat mengalami autooksidasi.

Fenol juga memiliki sifat sebagai pembentuk cita rasa pada produk pengasapan.

Senyawa golongan fenol yang terdapat pada asap merupakan hasil peruraian

termal dari komponen lignin dalam kayu (Buell dan Girard, 1992).

Asap cair telah banyak diaplikasikan pada pengolahan, diantaranya pada

daging dan hasil ternak, daging olahan, keju, dan keju oles. Aplikasi baru asap

(27)

diperhatikan warna produk yang dihasilkan, karena ada beberapa produk yang

menghendaki warna coklat, sementara beberapa produk lainnya tidak

menghendaki terbentuknya warna coklat. Selain memiliki segi-segi keuntungan,

proses pengasapan dapat menyebabkan bahan pangan mengandung zat-zat yang

bersifat karsinogen yang tidak dikehendaki, dan telah banyak dilakukan usaha

untuk mengeliminasi kandungan senyawa tersebut dalam produk pengasapan

(Setiadji, 2006).

Menurut Setiadji (2006) asap cair memiliki banyak manfaat dan telah

digunakan pada berbagai industri, antara lain :

1. Industri pangan

Asap cair ini mempunyai kegunaan yang sangat besar sebagai

pemberi rasa dan aroma yang spesifik, juga sebagai pengawet karena sifat

antimikroba dan antioksidannya. Dengan tersedianya asap cair maka proses

pengasapan tradisional dengan menggunakan asap secara langsung yang

mengandung banyak kelemahan seperti pencemaran lingkungan, proses tidak

dapat dikendalikan, kualitas yang tidak konsisten serta timbulnya bahaya

kebakaran, yang semuanya tersebut dapat dihindari. Juga digunakan untuk

food processing seperti tahu, mie basah, bakso dan lain-lain.

2. Industri perkebunan

Asap cair dapat digunakan sebagai koagulan lateks. Dengan sifat

fungsional asap cair seperti antijamur, antibakteri dan antioksidan dapat

(28)

9

3. Industri kayu

Kayu yang diolesi dengan asap cair mempunyai ketahanan terhadap

serangan rayap daripada kayu yang tanpa diolesi asap cair.

B. Formaldehida

Formaldehida awalnya disintesis oleh kimiawan Rusia Alexander

Butlerov tahun 1859, tapi diidentifikasi oleh Hoffman tahun 1867 (Anonim,

2006 a). Senyawa kimia formaldehida yang merupakan nama lain metanal;

oksometana; oksimetilen; metilen oksida; formiat aldehida merupakan gas

yang tidak berwarna yang rumus kimianya H2CO. Berat molekul: 30,03;

terdiri dari unsur C: 39,99%; H: 6,73%; O: 53,29%. Titik didih pada kondisi

normal adalah 19,5oC. Larutan formaldehida dikenal juga sebagai formalin;

formol; morbicid; veracur. Formalin mengandung ± 37% gas formaldehida

dalam air merupakan cairan yang tidak berwarna dan berbau tajam. Kerapatan

jenis: 1,081-1,085; titik didih pada kondisi normal: 96oC; indeks bias: 1,3746;

menyala pada temperatur 60oC (140oF); pH: 2,8-4,0; dapat campur dengan air,

alkohol, eter dan aseton (Budavari et al., 1989).

H C H

O

Gambar 1. Struktur formaldehida

1. Sifat

Formalin mengandung hidrat stabil dari formaldehida karena

formaldehida bereaksi dengan air, sehingga air dapat mengadisi gugus

(29)

aldehida yang lain, karena gugus karbonilnya mempunyai muatan positif yang

cukup besar akibat dari tidak terdapatnya gugus alkil untuk membantu

menyebarkan muatan positif. Reaksi kesetimbangan yang terjadi adalah:

H C H

Gambar 2. Reaksi kesetimbangan formaldehida

(Fessenden dan Fessenden, 1999)

Formaldehida biasanya mengandung 10-15% metanol yang

ditambahkan untuk mencegah polimerisasi (Budavari et al., 1989).

Polimerisasi dapat terjadi dengan menguapkan formaldehida pada tekanan

rendah. Polimerisasi formaldehida merupakan gabungan dari beberapa

molekul formaldehida yang akan menghasilkan suatu polimer yaitu

paraformaldehida. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

H C

Gambar 3. Reaksi pembentukan paraformaldehida

(Linstromberg, 1990)

Paraformaldehida merupakan serbuk berwarna putih dan berbau tajam yang

digunakan sebagai desinfektan kamar mayat, peralatan medis dan tekstil

(30)

11

2. Produksi

Sumber formaldehida dapat dibagi menjadi dua, dibuat dan alamiah.

Formaldehida buatan, dapat diproduksi dalam skala industri yaitu dengan cara

mengoksidasi metanol, tetapi secara alamiah formaldehida terdapat juga di

alam yang berasal dari hasil proses biologi atau pembakaran bahan-bahan

organik, misalnya bahan bakar minyak atau rokok (Anonim, 2001).

Formaldehida bisa dihasilkan dari membakar bahan yang

mengandung karbon. Dalam atmosfer bumi, formaldehida dihasilkan dari aksi

cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan hidrokarbon lain yang ada

di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil juga dihasilkan sebagai metabolit

kebanyakan organisme, termasuk manusia (Anonim, 2006 a).

Secara industri, formaldehida dibuat dari oksidasi katalitik metanol.

Katalis yang paling sering dipakai adalah logam perak atau campuran oksida

besi dan molibdenum serta vanadium. Dalam sistem oksida besi yang lebih

sering dipakai (proses Formox), reaksi metanol dan oksigen terjadi pada

250°C dan menghasilkan formaldehida, berdasarkan persamaan kimia :

2 CH OH3 + O2→ 2 H2CO + 2 H O2

Katalis yang menggunakan perak biasanya dijalankan dalam hawa yang lebih

panas, kira-kira 650°C. Dalam keadaan ini, akan ada dua reaksi kimia

sekaligus yang menghasilkan formaldehida: satu seperti yang di atas,

sedangkan satu lagi adalah reaksi dehidrogenasi :

CH OH3 → H2CO + H2

(31)

3. Kegunaan

Formaldehida efektif membunuh kuman, jamur, dan virus tetapi

kerjanya lambat. Formaldehida dengan kadar 0,5% memerlukan waktu 6-12

jam untuk membunuh kuman dan 2-4 hari untuk membunuh spora. Efektivitas

formaldehida akan menurun bila terdapat zat organik, misalnya protein

(Anonim, 1995 a).

Kadar larutan formaldehida berbeda-beda sesuai tujuan

penggunaannya. Larutan formaldehida 8% dalam air digunakan untuk

sterilisasi alat-alat hemodialisis, endoskopi dan alat-alat kedokteran lainnya

karena memiliki sifat korosif. Larutan formaldehida 8% dalam larutan alkohol

70% digunakan untuk sterilisasi sputum pasien tuberkolosis. Kadar

formaldehida 37% (formalin) digunakan untuk mengawetkan mayat dan

spesimen penelitian (Anonim, 1995 a).

Formaldehida yang digunakan pada kulit yang tidak terluka dapat

memperkeras lapisan epidermis, membuat kencang, agak putih dan

memberikan efek anastesi lokal. Larutan formaldehida 3% dalam air telah

digunakan untuk pengobatan kutil di telapak tangan dan kaki. Biang keringat

pada kaki dapat diobati dengan pengolesan 1 bagian larutan formaldehida 3%

dalam 3 bagian gliserin atau 5-10 bagian alkohol namun pemakaiannya

sebaiknya tidak terlalu lama untuk menghindari terjadinya iritasi (Martindale,

1996).

Dalam industri, formaldehida kebanyakan dipakai dalam produksi

polimer. Kalau digabungkan dengan fenol, urea, atau melamin, formaldehida

(32)

13

permanen, misalnya yang dipakai untuk kayu lapis/tripleks atau karpet

(Anonim, 2006 a).

Untuk mensintesis bahan-bahan kimia, formaldehida misalnya

dipakai untuk produksi alkohol polifungsional seperti pentaeritritol, yang

dipakai untuk membuat bahan peledak. Turunan formaldehida yang lain

adalah metilen difenil diisosianat, komponen penting dalam cat dan busa

poliuretan, serta heksametilen tetramina, yang dipakai dalam resin

fenol-formaldehida untuk membuat RDX (bahan peledak). Sebagai formalin, larutan

senyawa kimia ini sering digunakan sebagai disinfektan, insektisida, serta

bahan baku pabrik-pabrik resin plastik dan bahan peledak (Anonim, 2006 a).

4. Pengaruh terhadap badan.

Formaldehida sangat mengiritasi membran mukosa. Uap

formaldehida yang terhirup dapat menyebabkan iritasi berat pada saluran

pernapasan yang pada akhirnya menyebabkan bronkitis dan pneumonia.

Konsentrasi di udara yang mencapai 2-3 ppm dapat menyebabkan iritasi

ringan pada membran mukosa dan pada konsentrasi 10-20 ppm dalam waktu

singkat dapat meyebabkan iritasi kuat. Bahaya efek buruk yang pernah

dilaporkan sebagai akibat dari bebasnya uap formaldehida dari proses

penyabunan sintetik. Beberapa akibat fatal yang pernah dilaporkan, contohnya

30 ml larutan formaldehida yang tertelan dapat berakibat fatal bagi orang

dewasa. Konsentrasi maksimal uap formaldehida yang diijinkan di udara

adalah 5 ppm (Clarke, 1971).

Pemakaian larutan formaldehida pada makanan dapat menyebabkan

(33)

mual, sakit perut yang akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah,

timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah (Winarno

dan Rahayu, 1994).

Tertelannya formaldehida pada dosis sangat tinggi dapat

mengakibatkan ulcer (luka) yang menimbulkan rasa sangat perih pada

lambung, konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah), dan

haematomesis (muntah darah), vertigo, hilang kesadaran, bahkan gagal ginjal.

Kematian dapat terjadi akibat dari tertelannya 30 ml formaldehida. Jika pasien

dapat bertahan selama 48 jam setelah tertelannya formaldehida, maka tindakan

penyembuhan dapat dilakukan. Gas formaldehida dapat menyebabkan iritasi

pada mata, hidung, dan saluran pernapasan bagian atas yang selanjutnya dapat

mengakibatkan batuk, hilangnya nafsu makan, kejang, dan radang paru-paru

(Martindale, 1996).

Dalam tubuh manusia, formaldehida dikonversi menjadi asam formiat

yang meningkatkan keasaman darah, tarikan nafas menjadi pendek dan sering,

hipotermia, koma, atau kematian. Formaldehida juga bisa menimbulkan

terikatnya DNA oleh protein, sehingga mengganggu ekspresi genetik yang

normal. Binatang percobaan yang menghisap formaldehida terus-menerus

terserang kanker dalam hidung dan tenggorokannya (Anonim, 2006 a).

C. Bahan Tambahan Makanan 1. Pengertian bahan tambahan makanan

Bahan tambahan makanan dalam pengertian luas adalah bahan yang

(34)

15

(Anonim, 2004). Sedangkan bahan tambahan makanan dalam pengertian

khusus adalah senyawa kimia yang sengaja dimasukkan ke dalam makanan

untuk membantu proses pembuatan, bertindak sebagai pengganti atau

memperbaiki kualitas makanan yang bertujuan untuk mengawetkan makanan

atau untuk membuatnya lebih menarik (deMan, 1989).

Penggunaan zat tambahan dalam makanan mempunyai fungsi yang

beragam. Zat tambahan dapat membantu kestabilan pada penyimpanan

makanan seperti membuat awet dan menarik dari tempat awal produksi

sampai tempat pemasaran. Bahan pangan membutuhkan zat tambahan karena

bahan pangan dapat rusak akibat pengaruh dari faktor lingkungan, misalnya

perubahan temperatur, oksidasi, dan pencemaran mikroorganisme (Buckle et

al., 1987).

Bahan tambahan mempunyai lima kegunaan, yaitu sebagai bahan

yang ditambahkan untuk memelihara konsistensi produk (sebagai emulgator,

stabilisator, pengembang, anti kempal), membuat makanan tetap dalam tekstur

yang baik, meningkatkan atau menjaga nilai gizi (vitamin dan mineral),

mempertahankan makanan tetap awet (contohnya pengawet dan antioksidan),

mengontrol keasaman atau kebasaan (contohnya ragi dan bahan-bahan untuk

memodifikasi keasaman atau kebasaan makanan), mempertinggi aroma, dan

memperkuat warna yang dikehendaki dengan bumbu-bumbu dan aroma alami

(Lu, 1995).

2. Bahan pengawet kimia

Bahan-bahan pengawet kimia adalah salah satu kelompok dari

(35)

dalam bahan pangan atau ada di dalam bahan pangan sebagai akibat dari

perlakuan pra-pengolahan atau penyimpanan. Untuk penyesuaian dengan

penggunaannya dalam pengolahan secara baik, penggunaan bahan-bahan

pengawet ini seharusnya tidak menimbulkan penipuan, menurunkan nilai gizi

dari bahan pangan, dan tidak memungkinkan pertumbuhan

organisme-organisme yang menimbulkan keracunan bahan pangan. National Health and

Medical Research Council menyebutkan bahwa bahan-bahan pengawet kimia

yang digunakan dalam makanan antara lain: asam benzoat, sulfit, metabisulfit,

nisin, asam askorbat, propionat atau garam-garamnya dan setiap peroksida

(Buckle et al., 1987).

D. Isolasi Formaldehida

Isolasi formaldehida dalam asap cair dilakukan dengan cara destilasi.

Destilasi adalah proses penguapan kemudian pengembunan dari suatu cairan pada

titik didihnya. Proses pemanasan akan menyebabkan senyawa kimia menguap.

Uap terbentuk akan bergerak melalui condenser sehingga akan terjadi

pengembunan dimana uap akan berubah menjadi bentuk cairan (Solomon, 1987).

Destilasi bertujuan untuk memisahkan suatu cairan dari suatu senyawa

padat atau cairan lain yang didasari atas perbedaan titik didihnya (Kaushik dan

Yadav, 1994). Untuk memisahkan suatu cairan dalam suatu campuran, langkah

pertama adalah menempatkan campuran ke dalam bejana atau labu alas bulat,

kemudian dipanaskan sampai mencapai titik didih terendah dari cairan dalam

campuran. Pemanasan dapat dilakukan dengan heating mantle sehingga panas

(36)

17

akan menguap dan uapnya akan mengalir melalui tabung pendingin dan akan

berubah menjadi cairan (Hendrickson, Cram, dan Hammond, 1970).

E. Identifikasi Kualitatif Formaldehida

Identifikasi kualitatif formaldehida bertujuan untuk membuktikan ada

tidaknya kandungan formaldehida dalam suatu bahan, terutama dalam bahan

makanan. Bila terdapat kandungan formaldehida, bahan tersebut akan bereaksi

positif terhadap salah satu uji berikut ini:

1. Uji dengan asam kromotropat

Uji kualitatif formaldehida dalam makanan melibatkan reaksi dengan

asam kromotropat. Formaldehida dengan adanya asam kromotropat

dipanaskan dengan asam sulfat pekat, maka dalam beberapa menit akan terjadi

pewarnaan violet atau ungu. Reaksi yang terjadi:

HO3S SO3H

Gambar 4. Reaksi pembentukan warna dari asam kromotropat dengan formaldehida (Schunack, Mayer, dan Haake, 1990).

Reaksi asam kromotropat mengikuti prinsip kondensasi senyawa fenol dengan

formaldehida membentuk senyawa berwarna (Dibenzo[C,H]Xanten).

Pewarnaan disebabkan terbentuknya ion karbonium-oksonium yang stabil

karena mesomeri (Schunack, Mayer, dan Haake, 1990).

Asam kromotropat dikenal juga sebagai asam

(37)

C16H8O8S2; berat molekul: 296,26; terdiri dari unsur C: 37,5%; H: 2,52%; O:

39,96%; S: 20,02%.

OH OH

HO3S SO3H

Gambar 5. Rumus bangun 1,8-dihidroksinaftalena-3,6-disulfonat

Sediaan yang biasa digunakan merupakan garam natrium dihidrat:

C10H6Na2O8S2.2H2O, berbentuk jarum atau daun dan berwarna putih

kecoklatan, sangat larut dalam air dan digunakan sebagai pereaksi (Budavari

et al., 1989).

OH OH

NaO3S SO3Na

H2O

. 2

Gambar 6. Rumus bangun 1,8-dihidroksinaftalena-3,6-dinatrium sulfonat dihidrat

Asam kromotropat digunakan untuk mendeterminasi dan mendeteksi

berbagai ion logam seperti B, Fe, Th, Ti, U, Zr dan senyawa organik. Asam

kromotropat membentuk komplek warna jingga dengan Ti yang dapat

dideterminasi absorbansinya pada 460-470 nm. Asam kromotropat juga dapat

bereaksi dengan formaldehida membentuk senyawa ungu-kemerahan dari

reaksi kondensasi dengan asam sulfat. Oleh karena itu, asam kromotropat

dapat digunakan untuk mendeterminasi senyawa aldehida seperti

gliserolaldehida, furfural dan alkohol direaksikan dengan mangan peroksida.

Sebagai contoh: metanol, arabinosa, dan glukosa dapat dideterminasi

(38)

19

2. Uji dengan Hehner-Fulton

Uji ini menggunakan pereaksi asam sulfat dan susu bebas aldehida.

Ke dalam 5 ml destilat ditambahkan 6 ml asam sulfat dingin sambil

didinginkan. Dari campuran ini diambil 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam

tabung reaksi kemudian tambahkan 1 ml susu yang bebas aldehida secara

perlahan-lahan sambil didinginkan, lalu tambahkan 0,5 ml larutan yang

teroksidasi dan aduk. Larutan teroksidasi dibuat dengan mencampurkan asam

sulfat dengan air dan brom sama banyak dalam keadaan dingin. Adanya

formaldehida melalui uji ini ditandai dengan terbentuknya warna merah muda

keunguan. Uji ini biasa dilakukan pada produk susu cair (Helrich, 1990).

3. Uji dengan FeCl3

Uji ini dilakukan terhadap produk susu cair dengan melibatkan

pemisahan oleh asam asetat dan eter, reaksi dengan asam sulfat dan FeCl3.

Adanya formaldehida ditandai dengan terbentuknya warna merah lembahyung

(Anonim, 1992 b).

4. Uji dengan reagen Nash.

Uji ini sering dilakukan terhadap produk sirup. Reagen Nash dibuat

dengan cara mencampurkan 150 g Amonium Asetat (CH3COONH4), 3 ml

Asam Asetat (CH3COOH), dan 2 ml Asetil Aseton ke dalam 200-300 ml air

suling, dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml, kemudian ditambahkan air

suling sampai volumenya 1000 ml. Larutan uji ditambahkan pada larutan yang

diduga mengandung formaldehida. Adanya formaldehida ditandai dengan

(39)

F. Uji Kuantitatif Formaldehida 1. Metode iodometri

Metode iodometri dilakukan dengan cara mengoksidasi formaldehida

menjadi asam formiat dalam asam dan kemudian mentitrasi kembali iodium

yang tidak terpakai dengan natrium tiosulfat (Schunack, Mayer, dan Haake,

1990).

2. Metode spektrofotometri

Penentuan kadar formaldehida secara spektrofotometri dapat

dilakukan dengan mereaksikan formaldehida dengan asam kromotropat atau

reagen Nash dan diukur serapannya dengan metode spektrofotometri pada

panjang gelombang absorbansi maksimalnya (Helrich, 1990).

G. Spektrofotometri

Prinsip spektroskopi didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi

elektromagnetik dengan zat kimia. Dengan mengetahui interaksi yang terjadi,

dikembangkan teknik-teknik analisis kimia yang memanfaatkan sifat-sifat dari

interaksi tersebut. Dalam analisis kimia peristiwa absorbsi merupakan dasar dari

cara spektroskopi karena proses absorbsi bersifat unik atau spesifik untuk setiap

zat kimia (aplikasi kualitatif). Disamping itu adalah kenyataan bahwa banyaknya

absorbsi berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia (Sudarmaji, Haryono, dan

Suhardi, 1989).

Spektrum tampak terentang dari sekitar 400 nm (ungu) sampai 750 nm

(merah), sedangkan spectrum ultraviolet (UV) terentang dari 100 sampai 400 nm,

(40)

21

(1 nm = 10-7 cm). Baik radiasi UV maupun radiasi cahaya tampak berenergi lebih

tinggi daripada radiasi inframerah. Absorbsi cahaya UV atau cahaya tampak

mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital

keadaan dasar berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih

tinggi (Fessenden dan Fessenden, 1999).

Panjang gelombang cahaya ultraviolet atau cahaya tampak bergantung

pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih

banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang

yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap

pada panjang gelombang yang lebih panjang. Senyawa akan menyerap cahaya

dalam daerah tampak (yakni senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih

mudah dipromosikan daripada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang

UV yang lebih pendek (Fessenden dan Fessenden, 1999).

Absorbsi pada 100 nm (UV) → 750 nm (tampak)

Makin mudahnya transisi elektron

Warna merupakan hasil dari suatu perangkat kompleks dari respon faali

maupun psikologis terhadap panjang gelombang cahaya antara 400 sampai 750

nm, yang jatuh pada suatu jala (retina) mata. Jika semua panjang gelombang

cahaya tampak mengenai jala, akan diterima (dirasakan) warna putih; jika tidak

satupun yang mengenai selaput jala, akan dirasakan warna hitam atau kegelapan.

Jika panjang gelombang dengan rentang (range) sempit jatuh pada selaput jala,

akan diamati warna-warna individu (Fessenden dan Fessenden, 1999).

Proses paling lazim yang menghasilkan warna ialah absorbsi cahaya pada

(41)

yang ekstensif menyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu. Apa yang

tampak bukanlah warna yang diserap melainkan komplemennya yang

dipantulkan. Suatu warna komplementer yang kadang-kadang disebut warna

pengurangan (substraksi), merupakan hasil pengurangan beberapa panjang

gelombang tampak dari dalam spektrum visual keseluruhan (Fessenden dan

Fessenden, 1999).

Interaksi radiasi elektromagnetik dengan bahan yaitu bila cahaya jatuh

pada senyawa maka sebagian cahaya diserap oleh molekul-molekul sesuai dengan

struktur dari molekul. Setiap senyawa mempunyai tingkatan tenaga yang spesifik.

E3

E2 Tingkat

E1 tereksitasi

Cahaya

( E1 = hc/λ1 ) Cahaya (E2 = hc/λ2)

G Tingkat dasar

Gambar 7. Interaksi radiasi elektromagnetik dengan bahan-bahan

Bila cahaya mempunyai tenaga yang sama dengan perbedaan tenaga

antara tingkatan dasar (G) dan tenaga tingkatan tereksitasi (E1, E2, …) jatuh pada

senyawa, maka elektron-elektron pada tingkat dasar (G) dieksitasikan ke tingkatan

tereksitasi, dan sebagian cahaya yang sesuai dengan panjang gelombang ini

diserap. Elektron yang tereksitasi melepaskan tenaga dengan proses radiasi panas

(42)

23

Karena perbedaan tenaga antar tingkat dasar dan tingkat tereksitasi

spesifik untuk tiap-tiap bahan atau senyawa, maka frekuensi yang diserap juga

tertentu. Gambar hubungan intensitas radiasi (absorbsi) sebagai fungsi panjang

gelombang atau frekuensi dikenal sebagai spektrum serapan. Serapan cahaya oleh

molekul dalam daerah tampak tergantung pada struktur elektronik dari molekul

(Sastrohamidjojo, 2001).

Instrumen yang digunakan untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi

elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang yaitu spektrometer atau

spektrofotometer. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

(1) sumber tenaga radiasi yang stabil, (2) sistem yang terdiri dari lensa-lensa,

cermin, celah-celah, dan lain-lain, (3) monokromator untuk mengubah radiasi

menjadi komponen-komponen panjang gelombang tunggal, (4) tempat cuplikan

yang transparan, dan (5) detektor radiasi yang dihubungkan dengan sistem meter

atau pencatat. Diagram sederhana dari spektrofotometer adalah sebagai berikut:

Gambar 8. Diagram spektrofotometer

(Sastrohamidjojo, 2001)

(43)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tanggal 17 September

1992 tentang Kesehatan yang berhubungan dengan penelitian ini adalah pada

Bagian Keempat tentang Pengamanan Makanan dan Minuman, yaitu pasal 21

ayat (1), dan (3) yang menyatakan :

(1) Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan.

(3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar dan atau persyaratan kesehatan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Anonim, 1992 a).

Pasal 80 ayat (4) butir a menyatakan :

(4) Barangsiapa dengan sengaja :

a. mengedarkan makanan dan atau minuman yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan dan atau membahayakan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Anonim, 1992 a).

Penjelasan pasal 21 ayat (3) menerangkan bahwa ”makanan dan

minuman yang diproduksi masyarakat seperti industri rumah tangga adalah

pengrajin makanan dan minuman yang masih dalam taraf pembinaan, belum

dikenakan sanksi pidana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini”

(Anonim, 1992 a).

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan

Pada pasal 3 dijelaskan tujuan pengaturan, pembinaan, dan

pengawasan pangan adalah:

a. tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia;

(44)

25

c. terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan terjangkau sesuai kebutuhan masyarakat (Anonim, 1996 b).

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

472/Menkes/Per/V/1996 tentang Pengamanan Bahan Berbahaya bagi

Kesehatan

Di dalam pasal 1 ayat (1), dicantumkan bahwa:

(1) Bahan berbahaya adalah zat, bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun, karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.

Sedangkan dalam pasal 7 ayat (1), dicantumkan bahwa:

(1) Kasus terhadap importir bahan berbahaya berupa boraks, formalin, merkuri, metanil yellow, rodamin B, dan sianida dan garamnya, harus segera melaporkan pemasukan atau penerimaannya kepada Direktur Jenderal selambat-lambatnya 2 (dua) minggu setelah penerimaan barang sesuai dengan contoh formulir laporan pada lampiran V.

Formalin (formaldehida) merupakan salah satu dari tiga ratus empat puluh

delapan bahan berbahaya yang tercantum dalam lampiran 1 peraturan tersebut

(Anonim, 1996 a).

4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1168/Menkes/Per/X/1999

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1168/Menkes/Per/X/1999 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan

Makanan dicantumkan bahwa formalin (formaldehida) termasuk salah satu

dari 10 bahan tambahan makanan yang dilarang penggunaannya dalam

makanan.

(45)

(2) Menambah angka 10 baru pada lampiran II, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 sehingga selengkapnya menjadi sebagaimana terlampir dalam lampiran II.

Sepuluh bahan tambahan makanan yang dilarang yang tercantum dalam

lampiran II adalah: asam borat dan senyawanya, asam salisilat dan garamnya,

dietilpirokarbonat ( DEPC ), dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak

nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, formalin, dan kalium bromat (Anonim,

1999 b).

5. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tanggal 20

April 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berhubungan dengan

penelitian ini antara lain adalah :

a. Hak dan Kewajiban konsumen, yaitu pasal 4 huruf a, c, dan e yang

menyatakan :

Hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut (Anonim, 1999 c).

b. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yaitu pasal 8 ayat (1) huruf a

dan ayat (4) yang menyatakan :

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(46)

27

c. Tanggung jawab pelaku usaha, yaitu pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat

(3) yang menyatakan :

(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Pemberian ganti rugi yang dilaksanakan dalam tenggang waktu 7

(tujuh) hari setelah tanggal transaksi (Anonim, 1999 c).

d. Sanksi administratif, yaitu pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan:

(1) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.

(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) (Anonim, 1999 c).

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 tahun 2004 tentang

Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

Di dalam pasal 23 huruf c, dicantumkan bahwa :

Setiap orang dilarang mengedarkan :

c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan;

Formalin merupakan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau

proses produksi pangan (Anonim, 2004).

I. Hipotesis

Jenis asap cair yang berbeda akan memberikan kadar formaldehida yang

(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini tergolong dalam penelitian non-eksperimental analitik.

B. Variabel dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas

Variabel bebas yaitu variabel yang direncanakan untuk diberi pengaruhnya

terhadap variabel tergantung. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah

jenis pada asap cair yaitu destilasi 2 (dua) kali disertai penyaringan dan

destilasi 1 (satu) kali.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung yaitu titik pusat permasalahan yang merupakan

kriteria penelitian ini. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah

kadar formaldehida dalam asap cair.

c. Variabel terkendali

Variabel terkendali yaitu variabel yang diketahui atau secara teoritis

mempunyai pengaruh terhadap variabel tergantung, tetapi dapat

dikendalikan. Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah:

1) Jenis asap cair. Asap cair yang digunakan adalah asap cair yang

diambil dari satu toko.

(48)

29

2) Suhu destilasi pada saat isolasi formaldehida dalam sampel,

dikendalikan dengan membatasi suhu destilasi yaitu 103oC.

3) Volume destilat, dikendalikan dengan membatasi volume destilat yaitu

50 ml.

4) Alat yang digunakan yaitu spektrofotometer visibel, dikendalikan

dengan cara mengukur validitas metode yang digunakan (%perolehan

kembali (recovery), kesalahan sistemik dan kesalahan acak).

d. Variabel tak terkendali

Variabel tak terkendali yaitu variabel yang diketahui atau secara teoritis

mempunyai pengaruh terhadap variabel tergantung, dan tidak dapat

dikendalikan. Variabel tak terkendali dalam penelitian ini adalah hasil

destilat yang masih mengandung senyawa organik selain formaldehida.

Hal ini dapat dilihat dari destilat yang masih berwarna kuning jernih.

2. Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

a. Jenis asap cair yaitu asap cair A (destilasi dua kali disertai penyaringan)

dan asap cair B (destilasi satu kali).

b. Kadar formaldehida dalam asap cair dalam satuan μg/ml.

C. Alat Penelitian

Satu unit alat destilasi, spektrofotometer cahaya tampak (Genesys 6

v1.001 2M8E074001), kuvet, water bath, ball filler pipette, pipet tetes,

pipet volume (1 ml, 5 ml, 10 ml), labu ukur (50 ml, 100 ml) dan alat-alat gelas

(49)

D. Bahan Penelitian

Formaldehida 37%, asam sulfat 97%, asam kromotropat, asam fosfat

85% [p.a. Merck]; aquadest (Fakultas Farmasi USD Yogyakarta), asap cair.

E. Jalan Penelitian 1. Pembuatan reagen asam kromotropat

Larutkan 50 mg asam kromotropat p atau garam natriumnya dalam 100 ml

asam sulfat p 75% yang dapat dibuat dengan menambahkan 75 ml asam sulfat

p ke dalam 33,3 ml air dengan hati-hati (Anonim, 1995 b).

2. Pembuatan larutan stock formaldehida

Larutan stock dibuat dengan cara memipet 1,0 ml larutan baku formaldehida

37% kemudian diencerkan dengan aquadest sampai volumenya tepat 1000,0

ml sehingga didapat konsentrasi 37 mg / 100 ml.

3. Pembuatan seri larutan baku formaldehida

Seri larutan baku formaldehida dibuat dengan cara memipet 1,5; 1,8; 2,1; 2,4;

dan 2,7 ml larutan stock formaldehida kemudian diencerkan dengan aquadest

sampai volumenya tepat 100,0 ml sehingga diperoleh seri konsentrasi larutan

baku formaldehida 5,55; 6,66; 7,77; 8,88; dan 9,99 μg/ml.

4. Optimasi metode penetapan kadar formaldehida secara spektrofotometri visibel

a. Penetapan operating time.

Dari seri larutan baku formaldehida dipilih larutan formaldehida dengan

konsentrasi 7,77 μg/ml. Dari larutan tersebut dipipet 1,0 ml kemudian

(50)

31

kromotropat. Campuran digojog pelan-pelan kemudian dipanaskan dalam

penangas air selama 15 menit dan didinginkan. Warna yang terbentuk

diukur serapan(absorbansi)nya pada panjang gelombang 478 nm

menggunakan spektrofotometer visibel double beam pada menit ke-0

sampai dengan menit ke-30. Operating time didapat dengan melihat

rentang waktu yang menunjukkan absorbansi tetap.

b. Penetapan panjang gelombang absorbansi maksimal ( maks).

Dari seri larutan baku formaldehida dipilih tiga seri larutan baku

formaldehida dengan konsentrasi 6,66; 7,77; dan 8,88 μg/ml. Dari larutan

tersebut dipipet 1,0 ml dan diperlakukan seperti pada penetapan operating

time. Campuran tersebut kemudian didiamkan sesuai operating time yang

diperoleh. Setelah itu warna yang terbentuk diukur absorbansinya pada

panjang gelombang antara 400 nm sampai 600 nm menggunakan

spektrofotometer visibel double beam. Panjang gelombang absorbansi

maksimal adalah panjang gelombang dimana terjadi absorbansi terbesar.

c. Penetapan kurva baku.

Dari seri larutan baku formaldehida yang telah dibuat dengan konsentrasi

5,55; 6,66; 7,77; 8,88; dan 9,99 μg/ml, masing-masing larutan dipipet 1,0

ml dan diperlakukan seperti pada penetapan operating time. Warna yang

diperoleh diukur absorbansinya pada operating time dan panjang

gelombang absorbansi maksimal yang diperoleh menggunakan

spektrofotometer visibel double beam. Data yang didapat dihitung dengan

metode regresi linier antara konsentrasi dan absorbansi untuk

(51)

d. Validitas Metode.

1) Penentuan perolehan kembali (recovery)

Dari larutan stock formaldehida dibuat larutan formaldehida dengan

konsentrasi 5,55; 6,66; 7,77; 8,88; dan 9,99 μg/ml dengan 3 kali

replikasi. Larutan tersebut dipipet 1,0 ml dan diperlakukan seperti pada

penetapan operating time. Warna yang terbentuk diukur absorbansinya

pada operating time dan panjang gelombang absorbansi maksimal

yang diperoleh menggunakan spektrofotometer visibel double beam.

Data yang diperoleh dihitung dengan persamaan kurva baku untuk

mendapatkan kadar formaldehida dalam larutan. Perolehan kembali

diperoleh dengan membandingkan kadar yang diperoleh dengan kadar

sebenarnya dikalikan 100%.

Rumus penentuan perolehan kembali,recovery (P):

P = .100%

teoritis Kadar

terukur Kadar

Syarat metode analisis yaitu jika metode tersebut memberikan nilai

perolehan kembali (recovery) yang tinggi (90 – 107%) (Harmita,

2004).

2) Kesalahan sistemik

Kesalahan sistemik = 100% - P

Keterangan : P adalah perolehan kembali,recovery (%)

Kesalahan sistemik yang baik yaitu kurang dari 7% (Harmita, 2004).

3) Kesalahan acak

(52)

33

Kesalahan acak (CV) = X SD

.100%

Keterangan : simpangan baku (SD) =

1

Nilai kesalahan acak yang baik yaitu kurang dari 5% (Harmita, 2004).

5. Penetapan kadar formaldehida dalam sampel a. Penyiapan sampel

1. Pengambilan sampel asap cair dilakukan di sebuah toko di Yogyakarta,

yang belum diketahui kadar formaldehidanya.

2. Terdapat 2 jenis sampel yaitu asap cair A (dua kali destilasi disertai

penyaringan) dan asap cair B (satu kali destilasi).

b. Isolasi formaldehida dalam sampel

Isolasi formaldehida dalam sampel dimulai dengan memipet 100 ml

sampel. Sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat 250 ml dan

ditambahkan 2,0 ml asam fosfat 85%. Campuran didestilasi pada suhu

103oC sampai didapatkan destilat sebanyak 50 ml. Destilat kemudian

ditambah aquadest sampai 100,0 ml. Dari 100 ml destilat dipipet 3 ml

kemudian diencerkan lagi sampai volumenya tepat 100,0 ml dan destilat

siap diuji.

c. Uji kualitatif formaldehida dalam sampel

Uji kualitatif formaldehida dilakukan dengan mereaksikan 1,0 ml destilat

sampel dengan 5,0 ml reagen asam kromotropat dalam tabung reaksi.

(53)

dalam penangas air dan didinginkan. Larutan dinyatakan mengandung

formaldehida jika terbentuk warna ungu, dan intensitas warna tersebut

tergantung dari jumlah formaldehida yang terkandung (Helrich, 1990).

d. Uji kuantitatif formaldehida dalam sampel

Dari hasil uji kualitatif tersebut kemudian ditetapkan absorbansinya pada

panjang gelombang absorbansi maksimal dan operating time yang

diperoleh menggunakan spektrofotometer visibel double beam.

Absorbansi-absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk

menentukan kadar formaldehida dalam sampel dengan menggunakan

persamaan kurva baku y = bx + a dalam satuan μg/ml (Anonim, 1986).

F. Analisis Hasil

Analisis dilakukan dengan membandingkan kadar formaldehida dari kedua

jenis sampel yang berbeda dengan menggunakan Paired Samples T-test dengan

(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Optimasi Metode Penetapan Kadar Formaldehida Secara

Spektrofotometri Visibel

1. Penetapan operating time

Operating time (OT) adalah jangka waktu yang dibutuhkan oleh suatu

larutan untuk memberikan suatu serapan (absorbansi) yang stabil. Penentuan OT

merupakan langkah awal yang harus ditempuh untuk penetapan kadar secara

spektrofotometri visibel. Absorbansi yang stabil menunjukkan bahwa reaksi

pembentukan warna antara formaldehida dengan pereaksi kromotropat sempurna

sehingga absorbansi yang dibaca pada panjang gelombang absorbansi maksimal

adalah absorbansi semua formaldehida yang bereaksi dengan pereaksi

kromotropat. Menurut Fagnani et al (2002), panjang gelombang absorbansi

maksimal untuk reaksi antara formaldehida dengan pereaksi kromotropat adalah

pada panjang gelombang 478 nm. Hasil pengukuran sebagai berikut :

Kurva Absorbansi vs Waktu

Gambar 9. Kurva hubungan antara absorbansi dan waktu

(55)

Hasil pengukuran OT menunjukkan bahwa absorbansi stabil sejak awal

pembacaan (menit ke-0) sampai menit terakhir (menit ke-30). Hal ini berarti

pengukuran dari formaldehida yang direaksikan dengan pereaksi kromotropat

dapat dilakukan pada rentang waktu tersebut.

2. Penetapan panjang gelombang absorbansi maksimal (λmaks)

Panjang gelombang absorbansi maksimal adalah panjang gelombang dari

suatu larutan yang mempunyai absorbansi maksimal. Dalam penelitian ini,

panjang gelombang diukur mulai dari 400 nm sampai 600 nm. Panjang

gelombang 400 nm sampai 600 nm merupakan panjang gelombang pada daerah

visibel dan merupakan daerah absorbansi reaksi antara formaldehida dengan

pereaksi kromotropat yang menghasilkan warna visibel. Apabila diukur pada

panjang gelombang di bawah 400 nm maka akan memberikan absorbansi pada

daerah Ultra Violet (UV) dan senyawa hasil reaksi tidak teridentifikasi.

Kurva Absorbansi vs Panjang Gelombang

0.16

Gambar 10. Spektrogram panjang gelombang absorbansi maksimal

Dari spektrogram tiga kali pengukuran dengan spektrofotometer visibel

(56)

37

6,66; 7,77; dan 8,88 μg/ml diperoleh dua panjang gelombang absorbansi

maksimal pada masing-masing konsentrasi yaitu :

a. Konsentrasi 6,66 μg/ml : 478 dan 573 nm

b. Konsentrasi 7,77 μg/ml : 480 dan 574 nm

c. Konsentrasi 8,88 μg/ml : 480 dan 573 nm

Panjang gelombang absorbansi maksimal yang dipakai adalah panjang gelombang

yang pertama karena formaldehida hasil isolasi pada sampel yang bereaksi dengan

pereaksi kromotropat hanya menghasilkan satu panjang gelombang absorbansi

maksimal. Panjang gelombang absorbansi maksimal tiga seri konsentrasi larutan

baku formaldehida adalah 478; 480; dan 480 nm. Dengan menentukan titik tengah

panjang gelombang yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa maksimal

absorbansinya diperoleh pada panjang gelombang 479 nm. Panjang gelombang

479 nm merupakan panjang gelombang absorbansi maksimal formaldehida yang

bereaksi dengan pereaksi kromotropat. Besarnya panjang gelombang ini tidak

jauh berbeda dari yang tertulis dalam laporan penelitian yang dilakukan oleh

Fagnani et al (2002) dengan judul Development of spectrophotometric method for

the analysis of paraformaldehyde in commercial and industrial disinfectants yaitu

478 nm dengan beda antara kedua panjang gelombang tersebut yaitu 1 nm.

Menurut Farmakope Indonesia IV, syarat panjang gelombang hasil pengukuran

dapat digunakan apabila besar perbedaannya dengan yang tertulis dalam literatur

yaitu ≤ 2 nm. Dengan demikian panjang gelombang absorbansi maksimal 479 nm

dapat digunakan untuk pengukuran absorbansi seri larutan baku formaldehida

Gambar

Gambar 4. Reaksi pembentukan warna dari asam kromotropat dengan formaldehida
Gambar 5. Rumus bangun 1,8-dihidroksinaftalena-3,6-disulfonat
Gambar 7. Interaksi radiasi elektromagnetik dengan bahan-bahan
Gambar 8. Diagram spektrofotometer
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada April 2016, NTP-R mengalami peningkatan sebesar 1,20 persen dibanding Maret 2016, karena terjadi peningkatan It yang sebesar 0,94 persen, sedangkan Ib justru mengalami penurunan

Kebudayaan Indonesia walau beranekaragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh tebal lapisan pada pola expanded polystyrene terhadap akurasi ukuran besi cor nodular FCD 450 dengan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul

Keempat variabel independen yang lain, yaitu volume / isi, kemasan, merek dan harga tidak berpengaruh secara signifikan pada niat beli ulang konsumen, yang

Pengumpulan data, analisis data, dan penarikan kesimpulan.. 2) Untuk mengetahui bagaimana hasil belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran tutor sebaya

Peserta dapat mengganti persyaratan ini dengan menyampaikan Surat Keterangan Fiskal (SKF) yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi keterangan mengenai

Judul Skripsi : Analisis Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja di Jawa Timur tahun 1997-2011.. Nama Mahasiswa :