“KONDISI UMUM BURUH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DAN URGENSI KEBIJAKAN PERLINDUNGAN” ”.
HERWIN NASUTION, SH
KETUA UMUM SERIKAT BURUH PERKEBUNAN INDONESIA (SERBUNDO)
Disampaikan Pada Acara Diskusi Online Sawit Watch “Urgensi Kebijakan Perlindungan Buruh
I. PENDAHULUAN
I.2. Luas tutupan kelapa sawit Nasional tahun 2019 mencapai 16.381.959 Ha (SK Menteri Pertanian
No: 833/KPT/SR.020/M/12/2019).
Jumlah buruh yang bekerja diperkebunan kelapa sawit mencapai 16,3 juta.
I.3. Produksi minyak sawit Indonesia sepanjang tahun 2019 mencapai 51,8 juta ton (Gapki,2019).
I.4. Menyumbang devisa negara
sebesar US$ 3,5 miliar (Gapki, April
I.1. Buruh perkebunan kelapa sawit telah bekerja sebagai buruh selama 109 tahun sampai 3 generasi secara turun-temurun (tahun 1911 di Pantai Timur Sumatera dan Aceh Tamiang (Sei Liput, Pulau Raja dan Deli Muda). Sejarah Socfindo, Adrien Hallet, warga negara Belgia;
https://www.socfindo.co.id/about-us/history.
II. KONDISI BURUH DI PERKEBUNAN KELAPA SWAIT
II.1. Beban kerja terlampau tinggi, target tidak manusiawi. Target ditentukan secara sepihak oleh management mencapai 1-3 ton per hari yang tidak mampu dikerjakan satu orang sehingga membawa keluarga istri dan anaknya atau kernet.
II.2. Buruh bekerja tidak diberikan fasilitas Alat Perlengkapan Kerja (APK) dan Alat Pelindung Diri (APD) yang memadai, kebanyakan buruh membeli sendiri.
II.3. Praktik upah murah. Upah di bawah ketentuan UMK/UMSK dan tidak mengenal lembur/ premi bahkan bekerja pada hari libur juga tidak dihitung lembur hanya diberi uang
II.4. Status hubungan kerja sangat rentan (Prekarius). Status kerja; Syarat Kerja Utama (SKU), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Buruh Harian lepas (BHL), Kernet dan Buruh Kepala Rombongan (Buruh Bongkar) yang perlakuannya berbeda-beda sehingga hak yang didapatkan juga berbeda- beda.
II.5. Pemberangusan Serikat Buruh/
Penghalang-halangan Serikat Buruh Independen.
II.6. Tidak ada Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) yang dibuat Serikat Buruh
bersama dengan pengusaha.
II.8. Fasilitas yang tidak layak; perumahan, penerangan air bersih, Klinik, Tenaga Medis dan obat-obatan, Tempat Penitipan Anak, menyusui, Sekolah (PAUD, SD) dan transportasi sekolah.
II.9. Sistem pengawasan ketenagakerjaan tidak berjalan dan mediator tidak semua ada disetiap Dinas Ketenagakerjaan tingkat Kabupaten.
II.10. Lokasi perusahaan terisolir berada dipinggiran kota sehingga akses transportasi dan informasi sulit.
II.7. Diskriminasi terhadap buruh perempuan. Buruh perempuan mayoritas BHL bagian perawatan, tidak mendapatkan jaminan sosial, tunjangan, hak imunitas, terpapar pestisida, pada umumnya peralatan APD dan APK dibeli sendiri.
III. SANKSI KEPADA BURUH PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
No Bagian Kerja Upah Target Sanksi, Denda dan Tekanan Fisik
1 Pemanen Rp. 2.484.041,- (UMP Sumbar)
1 s/d 3 ton/ hari
SP, Mutasi, PHK, diPertujuh, denda dalam bentuk pemotongan upah
2 Transportasi Rp. 3.043.111,- (UMP Sumsel)
Rata-rata 7 ton/
hari
• SP, Mutasi, PHK, diPertujuh, denda dalam bentuk pemotongan upah.
• Ditahan dikantor manajemen dan dipaksa minum air kencing karena tuduhan pencurian sparepart alat berat 3 Perawatan
(Penyemprot)
Rp. 99.361,-/hari dibawah 20 hari kerja
= Rp. 1.987.232,-
2 s/d 4 Ha/hari
SP, Mutasi, PHK, diPertujuh, denda dalam bentuk pemotongan upah.
4 Perawatan (Pemupukan)
Rp. Rp.
121.724,/hari dibawah 20 hari kerja
1 ton/
hari
SP, Mutasi, PHK, diPertujuh, denda dalam bentuk pemotongan upah, jika target tidak selesai, maka penyemprotan harus diulangi esok harinya.
III.1. Sanksi dan Beban Target Kerja
III.2. Sanksi Membentuk Serikat Buruh Independen
NO PELANGGARAN KETERANGAN
1.
1.1.
1.2.
1.3.
Kriminalisasi Buruh
Tuduhan melakukan penggelapan uang organisasi Serikat Buruh Kuning.
Tuduhan pencurian buah sawit
Pengusiran dari rumah membawa aparat keamanan
Perusahaan melaporkan ke pihak kepolisian
2.
2.1.
2.2.
Mutasi dan Demosi
Mutasi dan Demosi ke divisi lain didalam perusahaan Mutasi dan Demosi keluar daerah
Mutasi dan Demosi kepada
Pengurus Serikat Buruh/ buruh dari Sumatera Utara ke Kalimantan
3.
3.1.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Dilakukan kepada Pengurus Serikat Buruh
Fungsi Serikat Buruh tidak berjalan
4.
4.1
Diskriminasi
Perlakuan managemen mengistimewakan Serikat Buruh Kuning atau Serikat Buruh bentukan
perusahaan
Fasilitas kantor, kenaikan jabatan, merespon dengan cepat
NO PELANGGARAN KETERANGAN 5.
5.1.
5.2.
Intimidasi
Istri yang bekerja dalam perusahaan diancam akan di PHK atau mutasi
Pihak managemen melarang buruh masuk Serikat Buruh
Buruh tidak berani mendirikan dan masuk dalam Serikat
Buruh 6.
6.1.
6.2.
Tekanan Fisik
Pengurus Serikat Buruh disuruh menghormat bendera merah putih selama 10 hari
Buruh dipaksa memakai pakaian serikat bentukan perusahaan
Pengurus dan anggota serikat tidak punya alternatif karena ancaman PHK dan mutasi
7.
7.1.
7.2.
Mempersulit Pencatatan Serikat Buruh
Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat memperlambat pencatatan dan tidak mengakui serikat buruh independen Perusahaan tidak mau mengakui keberadaan Serikat Buruh
Pengurus Serikat Buruh banyak mangkir, biaya tinggi, dan
mengundurkan diri
IV.1. Poenale sanctie tahun 1877 menjadi bagian dari Koelie Ordonannantie ('Ordonansi Kuli') tahun 1880.
• Aturan ini menetapkan para tuan tanah pemilik perkebunan boleh menghukum kulinya dengan cara yang dianggap pantas, termasuk memberikan denda (
https://id.wikipedia.org/wiki/Poenale_sanctie) .
• Ordonansi Kuli berhenti pada tahun 1934 dan tidak ditemukan pencabutannya.
Berhenti dengan sendirinya karena bankrutnya perkebunan tembakau di Sumatera Timur
(https://pussisunimed.wordpress.com/2010/01/27/orang-orang-yang-membawa-kontribusi-yang-positif-terhadap-sumatera timur-masa-1860-1942/).
IV.2. Perjanjian Kerja Bersama antara Badan Kerjasama Perusahaan Perkebunan Se-Sumatera (BKSPPS) dengan Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PP.FSP.PP-SPSI).
• Melanggar ketentuan Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
• Melanggar ketentuan Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
IV. KEBIJAKAN HUKUM BURUH PERKEBUNAN
IV.3. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
• Undang-undang No. 13 tahun 2003 karakternya berorientasi pada buruh industry manufaktur.
• Implementasi pada buruh perkebunan banyak yang tidak sesuai sehingga hak- hak buruh terabaikan karena adanya perbedaan dilihat dari sistem kerja, bagian kerja, status kerja, sistem pengupahan dan fasilitas kerja.
IV.4. Undang-undang No. 21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
IV.5. Kepmenaker No. 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
• Bertentangan dengan Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, karena tidak dikenal buruh harian lepas yang dikenal adalah
PKWT dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
• Mengabaikan hak-hak buruh untuk menjadi pekerja tetap dan memberi ruang kepada manajemen perusahaan mempekerjakan buruh lebih besar BHL maupun PKWT.
• Mengabaikan hak-hak buruh dari sisi upah, tunjangan, fasilitas dan jaminan sosial.
IV.6. Konvensi ILO No. 110 tahun 1958
tentang Konvensi Perkebunan Sampai saat
ini belum diratifikasi oleh pemerintah
IV.7. Perbandingan tunjangan di luar upah yang diberikan perusahaan sebelum tahun 1969 dengan saat ini.
Sumber :
Everett D. Hawkins, Labor Problems in a Newly Independent Country: the Case of Indonesia. Yogyakarta: Fakultas Ekonomi,
No Jenis Tunjangan Buruh Istri Anak Kondisi saat ini
1 Beras 18,00 kg 12,00 kg 9,00 kg 46,5 kg (K3)
2 Gula 1,00 kg 0,50 kg 0,50 kg -
3 Garam 0,50 kg 0,25 kg 0,25 kg -
4 Ikan asin 1,50 kg 1, 00 kg 0,50 kg -
5 Minyak makan 2,50 botol 0,50 botol O,50 botol -
6 Minyak tanah 4,00 botol - - -
7 Sabun 3,00 batang - - -
8 Kacang hijau 0,50 kg - - -
9 Teh 0,50 kg - - -
10 Textil 2,00 meter 1, 00 meter 1,00 meter -
11 Susu - - 1,00 kaleng -
Jumlah Rp. 411.928,- Rp. 214.100,- Rp. 162.100,- Rp. 558.000,-
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
V.1. Kesimpulan
V.1.1. Perlindungan upah, tunjangan dan fasilitas yang lebih baik pada tahun 1960-an dibandingkan dengan Undang-undang Tenaga Kerja pada saat ini.
V.1.2. Terjadi kekosongan hukum diburuh perkebunan kelapa sawit sehingga tidak ada perlindungan hukum, hal ini memberi ruang
kepada perusahaan membuat kebijakan sendiri yang mengabaikan hak-hak buruh.
V.1.3. Terjadi kelangengan praktik eksploitatif berbentuk target kerja yang tidak manusiawi, rezim upah murah, status hubungan kerja rentan dan kerja paksa yang berakibat pada kemiskinan struktural buruh perkebunan sawit.
V.1.4. Menafikkan keberadaan buruh sawit sebagai ujung tombak dari industri sawit di Indonesia, khususnya perempuan merupakan kelompok
V.1.5. Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan, RUU Cipta Kerja dan UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan Dalam semua pembahasan tentang industri kelapa sawit hal-hal perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh perkebunan sawit tidak pernah disinggung termasuk juga RUU Perkelapasawitan.
V.1.6. Gagalnya penegakkan hukum di sektor perkebunan kelapa sawit, tidak sungguh-sungguh menyiapkan mekanisme pengawasan ketenagakerjaan terpercaya, dan tidak serius menindak secara hukum pengusaha- pengusaha yang melanggar peraturan.
V.1.7. Pengusaha menghalang-halangi buruh
perkebunan sawit dalam
menggunakan hak berserikat dan berunding.
V.1.8. Hal ini membuktikan negara absen dalam melindungi dan memenuhi hak-hak buruh perkebunan sawit.
V.2. Rekomendasi
V.2.1. Kepmenaker No. 100 tahun 2004 bertentangan dengan undang-undang juga sangat mengabaikan hak-hak buruh. Untuk itu perlu dilakukan Judicial Review terhadap Kepmenaker tersebut.
V.2.2. Mendesak pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 110 tahun 1958.
V.2.3. Mendorong regulasi khusus perlindungan buruh perkebunan kelapa sawit yang mengatur sistem target, hubungan status kerja, sistem pengupahan, jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, mekanisme perlindungan K3 dan perlindungan terhadap kebebasan berserikat.
V.2.4. Melakukan kampanye, gugatan dan pengaduan hukum terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak buruh perkebunan kelapa sawit.
V.2.5. Kementerian Tenaga Kerja dan Kementerian Pertanian melakukan koordinasi dengan Komisi IX DPR-RI bersama dengan Komisi IV DPR-RI untuk melakukan investigasi membuat kajian dan merumuskan kebijakan-kebijakan khusus mengenai buruh perempuan, anak dan kelompok rentan lainnya di perkebunan sawit.
V.2.6. Pemerintah melakukan monitoring dan pengawasan pelaksanaan peraturan ketenagakerjaan diperkebunan kelapa sawit.