• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Stilistika Dan Nilai Pendidikan Karakter Pada Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami COVER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Stilistika Dan Nilai Pendidikan Karakter Pada Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami COVER"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Bab II

Tinjauan Pustaka, Landasan Teori Dan Kerangka Berpikir

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian tesis yang dilakukan Nurnaningsih (2010) dengan judul penelitian

Teks Seksual dalam Serat Centhini Karya Pakubuwana V . Hasil

kajian stilistika terhadap teks seksual dalam Serat Centhini karya Pakubuwana V

dapat disimpulkan pola bunyi bahasa yang dominan muncul adalah purwakanthi guru

swara atau identik dengan asonansi /a, o, u, ê, e, è, i/, purwakanthi guru sastra atau

identik dengan aliterasi /b, c, d, D, g dan ng, h, j, k, l, m, n, p, r, s, t, dan y/, dan

purwakanthi lumaksita. Ketiga purwakanthi tersebut mampu membuat puisi teks

seksual dalam Serat Centhini menjadi lebih indah. Dalam hal struktur morfologis,

pemakaian kata-kata dan pembentukan kata cenderung memilih bentuk-bentuk kata

yang menggunakan afiks-afiks yang bernilai arkhais. Pemilihan kata/diksi sangat

beraneka macam antara lain ada dasanama, tembung Kawi, kata yang berasal dari

bahasa Arab, istilah-istilah seks, ungkapan-ungkapan dalam seks. Penggunaan

metafora, personifikasi, simile dan metonimia yang mengandung unsur estetik.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penggunaan

pendekatan yang sama yaitu stilistika, (2) aspek yang diteliti sama mengenai bahasa

figuratif (majas), diksi. Selain itu perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini

(2)

fonologis ritma, morfologis, tema, perasaan, nada, dan amanat. Pada penelitian ini

meneliti mengenai diksi, bahasa figuratif, citraan, kata-kata konkret dan nilai

pendidikan karakter. (2) Penelitian tersebut, menggunakan objek teks Serat Centhini

yaitu mengenai tembang-tembang jawa. Penelitian ini menggunakan objek novel

Bilangan Fu.

Penelitian tesis yang dilakukan E Analisis

Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata menyimpulkan bahwa

keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata terdapat pada leksikon bahasa asing,

leksikon bahasa Jawa, leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada

judul. Kekhususan aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada

penggunaan afiksasi leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam

leksikon bahasa Jawa. Kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi,

kalimat majemuk dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang

unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan,

konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penelitian

tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam pemakaian pendekatan yaitu

stilistika. (2) Penelitian tersebut sama dengan penelitian ini yaitu mengangkat

mengenai diksi, dan bahasa figuratif. (3) Objek penelitian ini sama dengan penelitian

tersebut yaitu novel. Selain itu perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini

(3)

Bilangan Fu karya Ayu Utami, sedangakan penelitian tersebut menggunakan novel

Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai objek kajian. 2) Penelitian tersebut

mengangkat permasalahan morfologis dan sintaksis, penelitian ini mengangkat aspek

citraan, kata-kata konkret dan nilai pendidikan karakter.

Penelitian jurnal yang dilakukan Umami (2009) menyimpulkan bahwa lirik lagu

Ungu tidak hanya didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan hiperbola tetapi

juga asonansi, aliterasi, repetisi, pleonasme, simploke, inversi, klimaks, antitesis, dan

sinekdok pars pro toto. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara

lain, (1) penelitian tersebut sama dengan penelitian ini yang menggunakan

pendekatan yang sama yaitu stilistika, (2) penelitian tersebut mengangkat aspek

majas sebagai permasalahan. Selain itu perbedaan dengan penelitian ini antara ain,

(1) penelitian tersebut menggunakan lirik lagu sebagai objek, penelitian ini

menggunakan novel sebagai objek. (2) Penelitian tersebut hanya mengangkat aspek

majas, selain itu penelitian ini lebih kompleks, yaitu pada diksi, majas, citraan,

kata-kata konkret dan nilai pendidikan.

Penelitian jurnal yang dilakukan Al- ) dengan judul Kajian Stilistika

Aspek Bahasa Figuratif Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari .

Penelitian tersebut memaparkan mengenai bahasa kiasan Ronggeng Dukuh Paruk

memiliki keunikan dan keaslian bahasakiasan yang mendominasi RDP dapat dilihat

dari gaya majas dan idiom yang indahdan beranekaragam, penuh ekspresif, asosiatif

(4)

peribahasa. Ketiga aspek tersebut merupakan hasil kreasi Tohari yang menunjukkan

intelektualitas dan estetika yang tinggi. Penelitian ini memiliki persamaan dengan

penelitian tersebut antara lain, (1) penggunaan pendekatan yaitu menggunakan

pendekatan stilistika, (2) pengangkatan permasalahan pada bahasa figuratif, (3) sama

dalam penggunaan objek yaitu novel. Sedangakan perbedaan terdapat pada, (1)

penelitian ini mengangkat nilai pendidikan, (2) penelitian tersebut menggunakan

objek novel yang berbeda yaitu Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari

digunakan pada penelitian tersebut, selain itu penelitian ini menggunakan objek novel

Bilangan Fu karya Ayu Utami.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kurwidaria (2013) dengan judul Kekhasan

Gaya Pemakaian Bahasa Lirik-lirik Lagu Pop Jawa Karya Koes Plus jelaskan

mengenai kreativitas Koes Plus dalam menggunakan bahasa Jawa sebagai ciri khas

Koes Plus. Persamaan dengan penelitian ini yaitu cakupan stilistika mengenai diksi.

Selain itu perbedaannya berkenaan dengan objek, penelitian ini menggunakan novel

dan penelitian Kurwidaria menggunakan lirik lagi. Selain itu pada cakupan stilistik,

penelitian ini menggunakan kata kokret, citraan, bahasa figuratif, proses kreatif

pengarang dan karakteristik pengarang, namun penelitian Kurwidaria menggunakan

gaya bunyi, dan gaya kalimat,

Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2007) dengan judul Diksi dan Pola

Sintaksis dalam Pepatah Aceh. Penelitian ini mengungkap pengucapan kata-kata

(5)

macam diksi yang ditemukan yaitu diksi untuk menyatakan perbandingan, penegasan,

pengingkaran, dan pertentangan. Persamaan dengan penelitiaan ini, yaitu kedua

penelitian menggunakan diksi sebagai kajian. Sementara itu, perbedaannya terletak

pada objek kajian; (1) penelitian ini menggunakan objek novel sebagai objek kajian,

selain itu penelitian yang dilakukan Santoso menggunakan pepatah sebagai objek

kajian, (2) penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika, selain itu penelitian

Santoso menggunakan kajian diksi dan sintaksis.

Penelitian yang dilakukan Sastriani (2007) dengan judul Transformasi Gaya

Bahasa dalam Karya Sastra Terjemahan merupakan penelitian mengenai

transformasi karya sastra francophone yang berjudul Le Rocher de Tanios karya

Amin Maalouf (1991) menjadi Cadas Tanios oleh Ida Sundari Husen. Gaya bahasa

terjemahan dalam penelitian ini ditemukan transformasi yang berupa pengungkapan

bentuk kata baru. Ditemukan adanya inovasi dalam terjemahan karya sastra yang

berkaitan dengan gaya bahasa. Teks yang semula menggambarkan kata, frase,

kalimat atau wacaya yang diungkapkan dengan gaya bahasa tertentu yang

menghasilkan terjemahan beberapa bentuk, yaitu gaya bahasa yang sama, gaya yang

tidak sama, tidak menghasilkan gaya bahasa (zero), atau zero gaya bahasa dalam

bahasa Perancis menghasilkan terjemahan gaya bahasa dalam bahasa Indonesia.

Persamaan dengan penelitian ini yaitu kedua penelitian menggunakan gaya bahasa

kajian dan novel sebagai objek kajian, selain itu perbedaan terletak pada (1)

(6)

yang dilakukan Sastriani menggunakan dua objek kajian yaitu novel Le Rocher de

Tanios karya Amin Maalouf (1991) menjadi novel Cadas Tanios oleh Ida Sundari

Husen; (2) penelitian ini lebih berfokus pada pendekatan stilistika secara keseluruhan,

baik diksi, gaya bahasa, tanda dan simbol, serta citraan, selain itu penelitian ini hanya

mengungkap gaya bahasa terjemahan.

Penelitian yang dilakukan Bosman (1992) melakukan penelitian yang

mengungkap mengenai karakteristik puisi Leipoldt yang berkenaan dengan simbol,

antara lain individualisme penyair, ketegangan dualistik antara berbagai oposisi,

kepentingan eksotis dan okultisme, dan kesadaran keindahan. Persamaan dengan

penelitian tersebut yaitu mengungkapkan simbolisme keindahan yang terdapat pada

karya sastra. Simbolisme yang digunakan penyair mengungkap manifest estetika

pengarang. Selain itu perbedaan terletak pada objek, penelitian ini menggunakan

objek novel dan penelitian yang dilakukan Bosman menggunakan objek puisi. Selain

itu pengkajian pada penelitian Bosman melingkupi simbolisme estetika, berbeda

dengan penelitian ini yang mengungkapkan estetika secara keseluruhan dengan

menggunakan pendekatan stilistika.

Penelitian jurnal yang dilakukan Moti (2010) dengan judul An Introduction

Modern Stylistics. Penelitian Moti mengungkapkan mengenai stilistika modern yang

berkenaan dengan gaya dalam bahasa, produksi gaya bahasa, identifikasi bahasa,

mendeskripsikan bahasa, keistimewaan kandungan gaya bahasa, penggunaan keadaan

(7)

pendekatan yang sama yaitu stilistika. Namun perbedaannya, penelitian Moti ini

membahas mengenai teori stilistika modern, selain itu penelitian ini membahas

mengenai stilistika dalam novel yang mencakup diksi, kata konkret, citraan, bahasa

figuratif, proses kreatif pengarang dan karakteristik pengarang.

Pada penelitian yang berjudul Features From Frequency: Autorship and Stylistic

analysis Using Repetitive Sound oleh Forstall (2010) mengenai kepengarangan dan

analisis stilistika menggunakan pengulangan bunyi dalam hal puisi dengan

penghitungan digital. Persamaan dengan penelitian ini menggunakan pendekatan

yang sama yakni stilistika. Selain itu perbedaannya terletak pada cakupannya,

penelitian ini mengungkap mengenai diksi, kata konkret, citraan, bahasa figuratif,

proses kreatif pengarang dan karakteristik pengarang, namun penelitian Forstall

mencakup stilistika puisi dalam penghitungan digital.

Penelitian yang dilakukan oleh Hafiz Ahmad Bilal dkk. (2012) yang berjudul

Stylistic Analysis of The Voice mengenai analisis estetika bahasa yang digunakan V. S

Pritchett dalam menciptakan cerita pendek yang berjudul The Voice. Penelitian

tersebut menggambarkan karakter pengarang yang mampu mengolah kemampuan

bahasanya melalui majas personifikasi, metafora dan lain sebagainya sehingga

menghasilkan bahasa yang selaras dan halus. Pada pilihan kata-kata, pengarang

mampu memainkan kata-kata sehingga memberikan makna yang mendalam. Selain

itu dalam tataran kebahasaan, dapat memberikan kontribusi pengetahuan mengenai

(8)

penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan stilistika yang mengkaji mengenai

estetika kebahasaan pengarang, penelitian mengenai gaya bahasa dan diksi yang

memiliki kebermaknaan. Selain itu perbedaannya, penelitian ini menambahkan pada

citraan dan menentukan karakter kepengarangan serta nilai-nilai edukatif. Pada

penelitian tersebut, menambahkan mengenai pengaplikasian pedagogi pada

pembelajaran bahasa.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mussarat Azhar dkk. (2014) dengan judul

Foregroundin In The Rain mengenai puisi karya E. E

Cummings penyimpangan bahasa dengan gaya puitis yang kuat. Perbedaan pada

penelitian tersebut menggunakan teknik foregrouding untuk mengukur tingkat

penyimpangan pada tingkat graphological, sintaksis, tata bahasa, leksikal, fonologi

dan semantik. Hal tersebut menjadi pembeda dengan penelitian ini yang

menggunakan diksi, citraan, bahasa figuratif sebagai pemaknaan keindahan bahasa

pengarang. Selain itu penelitian ini mengungkap proses kreatif, karakter pengarang

dan nilai pendidikan karakter. Selain itu persamaan terdapat pada pendekatan

(9)

B. Landasan Teori

1. Hakikat Novel

Novel menurut Semi (1993:32) merupakan karya fiksi yang mengungkapkan

aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan secara halus. Selain itu

menurut Kosasih (2012:60) novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh

atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Noor (2007:26)

menambahkan pengertian novel yaitu novel cerkan yang panjang, yang

mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar

(setting) secara terstruktur. Waluyo (2011:5-6) mendefinisikan novel secara

arti baru. Jadi, sebenarnya

memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Di samping

kepanjangannya di antara cerita pendek dan roman, maka novel memiliki ciri-ciri

lain, yaitu bahwa pelaku utamanya mengalami perubahan nasib hidup.

Selain itu, menurut Nurhayati (2012:7) novel merupakan pengungkapan dari

fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang). Senada dengan

asumsi tersebut, Nurgiyantoro (2005:10) mengungkapkan bahwa sebuah cerita yang

panjang, katakanlah berjumlah ratusan halaman, jelas tak dapat disebut sebagai

cerpen, melainkan lebih tepat sebagai novel. Maka sintesis dari beberapa pendapat

tersebut, novel adalah karya imajinatif yang mengungkapkan aspek-aspek

problematika kemanusiaan yang menampakkan serangkaian peristiwa dan latar yang

(10)

Sebagaimana beberapa pengertian novel menurut para ahli, novel merupakan

prosa kompleks yang menghadirkan problematika kehidupaan beberapa tokoh yang

mana tokoh-tokoh tersebut mengalami perubahan nasib dalam cerita. Novel

menghadirkan perkembangan peristiwa, perkembangan dan perubahan watak tokoh,

situasi yang rumit. Oleh sebab itu novel bersifat kompleks yang menghadirkan

problematika yang kompleks.

2. Stilistika

a. Definisi Stilistika

Menurut Ratna (2013:3) stilistika adalah ilmu tentang gaya, selain itu stil (style)

secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut ini

adalah cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu,

sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Gaya demikian

adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan perasaan. Gaya

melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citraan baru, gaya membangkitkan

berbagai dimensi yang stagnasi. Senada dengan hal tersebut, stilistika menurut

Al-style yakni wujud performansi bahasa

dalam karya (sastra) melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan

khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (figurative language),

dan citraan. Selain itu menurut Simpson (2004:2) Stylistics is a metod of textual

(11)

stilistika didefinisikan sebagai metode tekstual yang mengunggulkan bahasa dalam

tugasnya sebagai pengungkapan gagasan dan pemikiran seseorang.

Noor (2005:118) juga mendefinisikan stilistika secara etimologi adalah kata style

yang artinya gaya. Style atau gaya yaitu cara khas yang dipakai seseorang untuk

mengungkapkan diri. Cara pengungkapan tersebut dapat meliputi setiap aspek bahasa

(kata-kata, kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya). Selain itu Satoto

(2012:31) secara singkat mengungkapkan, stilistika adalah bidang studi tentang gaya

(Style). Dalam gaya bahasa (style in language) tentu saja objeknya adalah bahasa.

Begitu pula dengan Endraswara (2004:72) mengungkapkan secara singkat bahwa

stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra.

Jadi, stilistika secara singkat adalah metode atau kajian terhadap gaya (style)

terhadap wujud performansi kebahasaan dalam mengungkapkan potensi keunikan dan

kekhasan bahasa sebagai tugas bahasa yaitu untuk mengungkapkan gagasan atau

pemikiran diri. Style merupakan cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu

diungkapkan dengan cara tertentu yang mencangkup gaya bahasa dalam pilihan

pengekspresian pengarang untuk menuangkan apa yang dimaksudkan yang bersifat

individual dan kolektif, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara

(12)

b. Hakikat Stilistika

Stylistics has since its earliest days set great store by the use of detailed

linguistics analysis as a basis for the interpretation of literary texts. (Simpson,

2004:38). Hal tersebut mengungkapkan bahwa stilistika pada dasarnya stilistika

merupakan teori yang digunakan sebagai analisis linguistik. Namun, berbicara

mengenai hakikat stilistika yaitu berkenaan dengan estetika bahasa, maka dapat

diterapkan juga pada karya sastra. Untuk itu, stilistika dapat menginterpretasikan teks

sastra. Dengan kata lain, stilistika merupakan kajian linguistik namun dapat menjadi

kajian sastra, mengingat sastra berhubungan secara langsung dengan bahasa sebagai

pengungkapannya. Bahasa dalam hal ini selain berperan sebagai pengungkap

pemikiran, yaitu sebagai pengungkap estetika penuturnya.

Selain itu, Sutejo (2010:5) menjelaskan bahwa style itu merupakan gaya bahasa

termasuk di dalamnya pilihan pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan

apa yang dimaksudkan bersifat individual dan kolektif. Style dalam hal ini merupakan

gaya yang berkaitan dengan pendayagunaan potensi bahasa yang dimiliki pengarang

yang menunjukkan keunikan dan karakter pengarang sebagai sarana estetis dan

ekspresi dalam pengucapannya. Kajian gaya bahasa atau style lebih merupakan

pengungkapan ciri khas pengarang dalam karyanya. Style ditandai oleh ciri-ciri

formal kebahasaan seperti pemilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa

figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2009:276). Bentuk

(13)

bentuk eksistensi yang saling berkaitan yang sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah

teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa dan

sebagai pembuat teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.

Only if this aesthetic interest is central will stylistics be a part of literary

scholarship; and it will be an important part because only stylistics methods can

define the specific characteristics of a literary work (Wellek dan Warren, 1977:180).

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, hakikatnya stilistika merupakan kajian yang

penting dalam kesusatraan, karena hanya stilistika yang mampu menjabarkan ciri-ciri

khusus pengarang dalam menciptakan karya sastra. Stilistika mampu mengungkapkan

gaya bahasa pengarang dalam menciptakan karya sastra sehingga pembaca dapat

membedakan karakteristik karya sastra.

Dengan demikian, studi stilistika seharusnya: a) menemukan prinsip yang

mendasari totalitas karya, b) menemukan tujuan setetis yang dapat menopang

keseluruhan unsur karya (Wellek dan Warren dalam Ratna, 2013:150). Stilistika tidak

memandang bahasa sastra secara objektif maupun subjektif namun objektif dan

subjektif secara bersama. Jadi stilistika tidak hanya membahas mengenai bahasa

penutur maupun mitra tutur, akan tetapi seluruh unsur yang mendukung bahasa

tersebut dalam rangka mencapat tujuan estetik. Senada dengan pemikiran tersebut,

Ratna (2013:152) mengungkapkan bahwa stilistika diharapkan dapat merupakan alat

penghubung pertama dan utama dalam rangka membangun kembali hubungan yang

(14)

gaya bahasa. Kedua,stilistika adalah kajian mengenai sastra dalam kaitannya dengan

penggunaan bahasa. Ketiga, meskipun dalam pengertian luas stilistika meliputi aspek

kebudayaan lain tetapi dasar pemahamannya tetap bertumpu pada bahasa.

Dikaitkan dengan stilistika perlu juga dikemukakan pendapat Lotman (dalam

Ratna, 2013:153) yang lain yaitu estetika persamaan atau estetika identitas (the

aesthetic of identity) dan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of

opposition). Estetika pertama mengandaikan penggunaan bahasa yang relatif sama

antara pengarang dan pembaca. Sebaliknya estetika yang kedua menyajikan

penggunaan bahasa yang berbeda, sebagai estetika baru.

c. Sumber Objek Stilistika

Aspek estetika yang membedakan bahasa sastra dengan bahasa ilmiah. Bahasa

sastra yang memiliki pesan bersifat pragmatis, maka mengarahkan bahasa sastra

memiliki makna yang terselubung dan perlu penafsiran lebih dalam. Untuk itu,

bahasa khas yang digunakan oleh pengarang memiliki pengertian bahasa yang yang

berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan bahasa ilmiah. Namun, secara

leksikal bahasa yang digunakan tidak terdapat perbedaan. Hal yang membedakan

yaitu dalam pengolahan dan menyusunan bahasa dengan mengutamakan aspek

estetika. Gaya bahasa digunakan pengarang merupakan cara khas pengarang dalam

mengolah dan menyusunnya kembali, bukan khas yang memiliki pengertian berbeda

(15)

dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata-kata (Ratna,

2013:15).

Stilistika, ilmu gaya bahasa, juga diberi definisi yang bermacam-macam, tetapi

pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang

merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra dan lain-lain, atau pula yang

menyimpang dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku

dan lain-lain (Teeuw, 2013:57). Maka stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai

gaya bahasa di pihak lain, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi

yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Oleh karena bahasa di sini

sebagai bahan bakunya (Satoto, 2012:31).

Pada tataran analisis, gaya, gaya bahasa dan majas adalah objek, selain itu

stilistika adalah ilmu untuk memecahkan objek tersebut (Ratna, 2013:169). Namun

objek stilistika secara khusus merupakan bahasa sebagai kajian stilistika yaitu bahasa

sastra yang mengandung unsur estetika yang bersifat konotatif berbeda dengan

bahasa nonsastra yang bersifat denotatif.

d. Ruang Lingkup Stilistika

Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini

khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang dapat diuraikan fungsi dan

(16)

sastra yang berkaitan dengan keindahan bahasa. Maka pengarang sering

memaksimalkan potensi bahasanya untuk mencapai nilai estetika.

Ruang lingkup penelitian stilistika sangat luas, dianggap sebagai tugas yang tidak

mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan pengertian gaya

bahasa secara luas, yaitu: bahasa itu sendiri, karya sastra,karya seni, dan bahasa

sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan (Hough dalam Ratna, 2013:18). Ruang

lingkup bertambah luas dengan adanya perkembangan paralel di berbagai negara

sehingga terjadi tumpang tindih di antaranya. Untuk membatasinya ruang lingkup

dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) ruang lingkup dalam kaitannya dengan

objek stilistika itu sendiri, dan b) ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek yang

mungkin dilakukan dalam suatu aktivitas penelitian. Selain itu, menurut Satoto

(2012:35) nakan oleh

seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara

pengungkapan: tersebut bisa meliputi setiap aspek kebahasaan: diksi, penggunaan

bahasa kias, bahasa figutatif (figurative Language).Ruang lingkup stilistika dalam

tataran ini antara lain:

1) Diksi

Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pemikirannya dengan

setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikan

(17)

haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi (Pradopo,

1997:54). Pemilihan kata yang tepat dapat mewakili suara hati pengarang dengan

tepat, agar makna dan maksud pengarang dapat tercurahkan secara tepat kepada

pembaca.

Menurut Ratna (2013:412) pilihan kata yang tepat yang dilakukan oleh pengarang

untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pesan secara keseluruhan. Disamping

memilih kata-kata yang tepat, pengarang juga mempertimbangkan urutan katanya dan

kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan

yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak pengarang (Waluyo,

2010:83-84). Dalam pemilihan kata (diksi) perlu diketahui ketepatan kata-kata yang

digunakan, agar kata-kata yang dipergunakan tidak akan menganggu suasana, dan

tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para

hadirin atau para pembaca. Pada karya sastra, diksi biasanya dapat menjadi ciri khas

pengarang dalam menciptakan karya sastra.

2) Citraan (pengimajian)

Pencitraan adalah topik yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra.

bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi tidak selalu bersifat visual (Wellen dan

Warren, 2014:216). Oleh karena itu, citraan berhubungan dengan penggunaan

(18)

menurut Siswantoro (2010:215) pencitraan merujuk kepada gambar angan-angan

(mental picture) yang terbentuk sebagai akibat pemakaian kata-kata tertentu. Maka

dapat didefinisikan bahawa citraan merupakan suatu hasil penggambaran yang

bersifat indrawi sebagai akibat pemakaian dan pengolahan kata-kata.

Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata-kata konkret dan khas. Imaji yang

ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita

rasa). Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati

secara nyata (Waluyo, 2010:91). Menurut Wellek dan Warren (2014:216-217)

ahli-ahli psikologi dan estetik menyusun bebagai macam jenis citraan. Ada citraan yang

berkaitan dengan cita rasa pengecapan, ada yang berkaitan dengan penciuman. Ada

pula yang berkaitan dengan suhu dan tekanan (kinaesthetic

haptic empathic synaesthetic (yang bisa

diakibatkan keadaan jiwa pengarangnya, atau sekadar konvensi sastra biasa)

memindahkan uraian satu indra ke uraian indra yang lain. pencitraan terikat berkaitan

dengan indra penglihatan dan otot, dan efeknya sama bagi setiap pembaca atau tipe

pembaca. Selain itu pencitraan bebas bersifat visual dan efeknya berbeda-beda bagi

setiap pembaca atau tipe pembaca. Citraan tersebut dibagi menjadi enam yaitu:

a) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)

Citraan penglihatan biasanya dapat memberikan rangsangan kepada indera

(19)

penikmat (Sutejo, 2010:21). Pada karya sastra citraan penglihatan lebih banyak

muncul. Pengarang menggunakan citraan penglihatan untuk mengungkapkan

pengalaman visual pengarang ke dalam bahasa figuratif pengarang.

b) Citraan Pendengaran (Audio Imagery)

Pada citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang

merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio). Citraan pendengaran

karena itu, juga dapat memberikan rangsangan kepada indera pendengaran sehingga

mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara lebih utuh (Sutejo,

2010:22). Citraan pendengaran bertugas untuk merangsang indera pendengaran

pembaca agar pembaca mampu menikmati karya sastra yang tidak nampak dan hanya

dapat dirasakan oleh pendengaran.

c) Citraan penciuman

Citraan yang cukup jarang dilakukan oleh pengarang yaitu citraan penciuman

karena citraan ini cukup sulit diterapkan. Citraan penciuman ialah penggambaran

yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman. Selanjutnya, citraan jenis ini

dapat membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang

(20)

d) Citraan perabaan (Tactil Imagery)

Citraan selanjutnya yang digunakan oleh pengarang yaitu citraan peraba. Citraan

perabaan menggambarkan peristiwa dalam cerita melalui peran indera peraba. Citraan

Pada beberapa teks

sastra, citraan tersebut sering dikolaborasikan dengan beberapa majas untuk

membangkitkan daya imajinasi pembaca sehingga lebih kuat.

e) Citraan Gerak (Movement Imagery)

Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi

dilukiskan sebagai dapat bergerak, adapun gambaran gerak pada umumnya (Sutejo,

2010:24). Citraan ini digambarkan melalui gerak tubuh sehingga pembaca dapat

merasakan gerakan yang lebih intensif.

3) Bahasa Figuratif

Menurut Al- figurative berasal dari bahasa Latin figura,

yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion.

Berbeda yang diungkapkan

Al-mengungkapkan (2009:277), gaya bahasa dalam stilistika yaitu suatu bentuk

ungkapan kebahasaan seperti yang diketahui dalam karya sastra merupakan suatu

(21)

teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili suatu yang akan

diungkapkan.

Selain itu, menurut Sutejo (2010:26) gaya bahasa merupakan sarana strategis

yang seringkali dipilih pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaannya ke

dalam karya fiksi. Kemampuan untuk mengolah bahasa ini merupakan usaha untuk

membungkus ide/gagasan/pengalaman dengan cara estetika sehingga dapat menjadi

daya tarik pembaca dan membangkitkan imajinasi pembaca atau pendengarnya.

Menurut Satoto (2012:153) gaya bahasa adalah cara mengungkapkan bahasa secara

khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Jadi, gaya bahasa adalah

suatu bentuk kinerja kebahasaan seorang pengarang untuk mengungkapkan

pengalaman kejiwaan pengarang yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis

dengan cara esetetika dalam menciptakan karya fiksi.

Bahasa figuratif sering dikatakan sebagai bahasa kiasan atau gaya bahasa. Bahasa

ini digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan suatu makna secara tersirat.

Sebagaimana dijelaskan oleh Waluyo (2010:96), penyair menggunakan bahasa yang

bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif

menyebabkan puisi menjadi pragmatis artinya memancarkan banyak makna. Maka,

bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain

supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup (Pradopo, 1990:62). Maka

pengarang memaksimalkan potensi kebahasaannya untuk menghasilkan karya yang

(22)

juga dengan gaya bahasa dalam hal ini dibagi menjadi dua aspek yaitu (1)

permajasan; dan (2) simbol, dan lambang.

a) Permajasan

Majas (fiture of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud

penulis atau pembicara dalam angka memperoleh aspek keindahan. Pada umumnya

majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan,

c) pertentangan, dan d) majas sindiran (Ratna, 2013:164).

(1) Majas Penegasan

Majas penegasan merupakan majas yang berisi tegasan atau tekanan mengenai

sesuatu. Majas penegasan terdiri atas: (1) Aferesis yaitu majas penegasan dengan

menghilangkan huruf atau suku kata awal; (2) Aforisme yaitu pernyataan sebagai

kebenaran umum atau kata-kata arif; (3) Alonim yaitu majas dengan menggunakan

varian nama; (5) Anagram yaitu majas dengan pertukaran huruf dalam kata sehingga

menimbulkan makna baru; (6) Antiklimaks yaitu pernyataan menurun secara

berturut-turut; (7) Apofasis/Preterisio yaitu majas yang seolah-olah mengingkari apa

yang sudah dijelaskan; (8) Aposiopesis yaitu majas yang digambarkan dengan

penghentian di tengah-tengah kalimat; (9) Arkhaisme yaitu majas yang menggunakan

kata-kata yang sudah usang; (10) Bombastis yaitu majas yang penggunaan

(23)

Majas (11) Elipsis yaitu majas yang kalimat tidak lengkap; (12)

Enumerasio/Akumulasio yaitu majas yang beberapa peristiwa saling berhubungan,

disebut satu demi satu; (13) Esklamasio yaitu majas yang menggunakan kata seru:

wah, aduh,amboi, astaga, awas, dan sebagainya; (14) Interupsi yaitu majas yang

menyisipkan kelompok kata tertentu; (15) Inversi/Anastrof yaitu majas yang susunan

kalimat terbalik; (16) Invokasi yaitu majas yang penggunaan kata seru untuk

memohon kepada adi kodrati; (17) Klimaks yaitu majas yang menyatakan urutan

pernyataan menuju puncak; (18) Kolokasi yaitu majas yang mengasosiasikan secara

permanen satu kata dengan kata yang lain; (19) Koreksio/Epanortosis yaitu majas

yang memperbaiki pernyataan sebelumnya yang dianggap salah; (20) Paralelisme

yaitu majas yang mensejajarakan kata-kata atau frasa, dengan fungsi yang sama; (21)

Pararima yaitu perulangan konsonan awal dan akhir dalam kata-kata tertentu; (22)

Pleonasme yaitu majas yang memberikan keterangan secara berlebihan; (23) Praterio

yaitu majas yang menyembunyikan maksud yang sesungguhnya;

Majas (24) adalah Repetisi, majas repetisi yaitu majas yang mengulang kata atau

kelompok kata. Repetisi dibagi menjadi beberapa bentuk antara lain: (a) Aliterasi

yaitu majas yang mengulang konsonan awal, (b)

Anadiplosis/Epanadiplosis/Epa-nastof/Anastrof yaitu kata atau kelompok kata terakhir diulang pada kalimat berikut,

seperti pantun berkait, (c) Anafora yaitu kata atau kelompok kata pertama diulang

pada baris berikut, (d) Antanaklasis yaitu perulangan dengan makna berlainan, (e)

(24)

pertamanya diulang pada akhir kalimat, (g) Epifora/Epistrofa yaitu majas yang

diungkapkan sebagai pengulangan akhir kalimat secara berurutan, (h) Epizeuksis

yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan langsung, (i) Katafora yaitu majas

yang diungkapkan sebagai perulangan melalui pronominal disusul oleh anteseden, (j)

Kiasmus yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan dengan skema a-b-b-a,

(k) Mesodiplosis yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan di tengah baris,

(l) Simploke yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan pada awal dan akhir

baris, dalam beberapa baris, (m) Tautotes yaitu majas yang diungkapkan sebagai

perulangan dalam sebuah konstruksi;

Selanjutnya majas (25) Retoris/Erotesis yaitu majas yang diungkapkan sebagai

kalimat tanya tanpa memerlukan jawaban; (26) Sigmatisme yaitu majas yang

Silepsis yaitu majas yang penggunaan satu kata dengan banyak makna dalam

konstruksi sintaksis yang berbeda; (28) Sindeton yaitu majas yang penjelasan

kata-kata setara secara berturut-turut. Sindeton dibagi menjadi dua jenis antara lain: (a)

Asindeton yaitu majas yang tanpa menggunakan kata penghubung, (b) Polisindeton

yaitu majas yang dengan menggunakan kata penghubung; (29) Sinkope/Kontraksi

yaitu majas yang menghilangkan suatu suku kata di tengah kata; (30) Tautologi yaitu

majas yang perulangan kata, kelompok kata atau sinonimnya, yang kadang-kadang

tidak perlu; (31) Zeugma yaitu majas yang seolah-olah tidak logis dan tidak

(25)

(2) Majas Perbandingan

Majas perbandingan merupakan majas yang membandingkan antara satu hal

dengan hal lainnya yang memiliki kemiripan. Majas perbandingan terdiri atas: (1)

Alegori yaitu majas perbandingan dengan alam secara utuh; (2) Alusio yaitu majas

dengan ungkapan, peribahasa, atau sampiran pantun; (3) Antonomasia yaitu majas

dengan sebutan untuk menggantikan nama orang; (4) Disfemisme yaitu majas yang

menonjolkan kekurangan tokoh; (5) Epitet yaitu majas sebagai acuan untuk

menunjukkan sifat khusus seseorang atau hal lain; (6) Eponim yaitu majas dengan

nama yang menunjukkan ciri-ciri tertentu; (7) Eufemisme yaitu majas yang

menghaluskan hati; (8) Hipalase/Enalase yaitu majas yang keterangan seolah-olah

ditempatkan pada tempat yang salah; (9) Hiperbola yaitu majas yang melebihi sifat

dan kenyataan yang sesungguhnya; (10) Litotes yaitu majas dengan cara

merendahkan diri; (11) Metafora yaitu majas yang membandingkan suatu benda

dengan benda lainnya.

Majas (12) Metonimia yaitu majas yang menggunakan suatu nama tetapi yang

dimaksud benda lain; (13) Onomatope yaitu majas dengan menggunakan tiruan

bunyi; (14) Paronomasia yaitu majas yang penggunaan kata sama tetapi menampilkan

makna yang berbeda; (15) Periphrasis yaitu majas yang suatu kata diperluas dengan

ungkapan; (16) Personifikasi yaitu majas yang penggunaan benda mati dianggap

benda hidup; (17) Simbolik yaitu majas yang membandingkan dengan simbol; (18)

(26)

umpama; (19) Sinekdoke yaitu majas yang sebagian untuk keseluruhan dan

sebaliknya. Sinekdoke dibagi menjadi dua jenis antara lain: (a) Pars Prototo yaitu

majas yang menggunakan kata bermakna sebagian untuk menyatakan makna

seluruhnya, (b) Totem Proparte yaitu majas yang menggunakan kata bermakna

keseluruhan untuk menyatakan makna sebagian; (20) Sinestesia yaitu majas yang

menggunakan beberapa indera; (21) Tropen yaitu istilah lain dengan makna sejajar.

(3) Majas Pertentangan

Majas pertentangan merupakan majas yang mengungkapkan hal yang bersifat

bertentangan. Majas pertentangan terdiri atas: (1) Anakronisme yaitu majas yang

tidak sesuai dengan peristiwa; (2) Antithesis yaitu majas yang berlawanan; (3)

Kontradiksio yaitu majas yang berlawanan secara situasional; (4) Oksimoro yaitu

majas yang berlawanan dalam kelompok kata yang sama; (5) Okupasi yaitu majas

yang bertentangan dengan penjelasan; (6) Paradoks yaitu majas yang bertentangan

tetapi benar; (7) Prolepsis/Antipasi yaitu majas yang kata-kata seolah-olah

mendahului peristiwannya.

(4) Majas Sindiran

Majas sindiran merupakan majas yang mengandung sindiran. Majas sindiran

terdiri atas: (1) Anifrasis yaitu majas yang menyatakan sindiran dengan makna

berlawanan; (2) Innuendo yaitu majas yang mengecilkan keadaan yang

(27)

kata yaitu majas yang menyatakan sindiran disertai humor dengan cara merubah

urutan kata; (5) Sarkasme yaitu majas yang menyatakan sindiran kasar; (6) Sinisme

yaitu majas yang menyatakan sindiran agak kasar.

b) Simbol, dan Lambang

Simbol (symballein, Yunani) berarti memasukkan, mencampurkan,

membandingkan secara bersama-sama, sehingga terjadi analogi antara benda dengan

objeknya (Ratna, 2013:171). Artinya, simbol merupakan perbandingan secara

langsung mengenai suatu hal dengan hal lain yang memiliki kemiripan analogi.

Menurut Wellek dan Warren (2014:219) kata simbol sebenarnya ada dua unsur kerja

bahasa Yunani yang berarti mencampurkan, membandingkan, dan membuat analogi

antara tanda dan objek yang diacu. Menurut teori sastra, simbol sebaliknya dipakai

dalam pengertian sebagai berikut: sebagai objek yang mengacu pada objek lain, tetapi

juga menuntut perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan. Persoalan

yang dapat dipecahkan adalah memahami sekaligus menyimpulkan bahwa simbol

sangat luas dan beragam, dimanfaatkan secara berbeda-beda dalam kehidupan

manusia. Sistem simbol mempermudah keterpahaman antara-manusia, atau

sebaliknya mempersulitnya sebab proses pemahaman justru diperpanjang, dimediasi,

sehingga pemahaman menjadi tidak langsung, bahkan tersembunyi. Fungsi-fungsi

simbol, diantaranya: a) simbol, khususnya simbol bahasa memungkinkan untuk

memahami lebih banyak, b) simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk

(28)

menyelesaikan masalah, d) memungkinkan untuk mendahului ruang dan waktu,

bahkan diri sendiri, e) simbol memungkinkan untuk membayangkan realitas

metafisika, seperti neraka dan surga (Ratna, 2013:173). Lambang adalah suatu

maksud melalui visualisasi (Ratna, 2011:177). Lambang secara langsung berkaitan

dengan wujud bendanya, seperti Garuda Pancasila sebagai lambang Negara

Indonesia, tunas kelapa sebagai lambang Pramuka, salib untuk umat Nasrani,

timbangan untuk pengadilan, dan sebagainya.

4) Proses Kreatif Pengarang dan Karakteristik Pengarang.

Proses kreatif pengarang dalam meuliskan sebuah karya memiliki pengaruh besar

terhadap pembentukan karakter suatu karya. Untuk itu, setiap karya sastra yang

memiliki ciri khas tersendiri dalam kaitannya dengan bahasa pengarang. Oleh karena

itu, bahasa pengarang menunjukkan pemikiran, sikap dan karakter pengarang.

Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Keraf (2010:104) kata-kata bukan saja

menunjukkan barang-barang atau sikap orang, tetapi merefleksikan juga tingkah laku

sosial dari orang-orang yang mempergunakannya.

Bahasa yang digunakan pengarang biasanya dipengaruhi oleh faktor sosiokultural

dan sosiohistoris pengarang. Karya sastra lahir dalam konteks sejarah dan

sosial-budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah

seorang anggota masyarakat bangsanya. Oleh karena itu, sastrawan tidak terhindar

(29)

masyarakatnya. Semuanya itu tercermin atau terpancar dalam karya sastranya

(Pradopo, 2013:107-108). Faktor sejarah dan sosial-budaya (sosiokultural)

masyarakat dan pengarang menjadi faktor penting terciptanya suatu karya yang

melatarbelakangi kekhasan pengarang dalam hal pengungkapan ide-idenya ke dalam

karyanya. Banyak kritikus melakukan penelitian melalui biografi, sejarah sastra,

periode tertentu, ideologi masyarakat tertentu, dan sebagainya. Oleh karena terdapat

adagium Stilus virum arguit yaitu gaya mencerminkan orangnya. Maka lewat

pemilihan dan penggunaan gayanya, dapatlah didefinisikan tingkat pendidikannya,

kelompok sosial, maupun lingkungan sosial budaya pengarang (Sutejo, 2010:10).

Senada dengan beberapa asumsi di atas, Menurut Ratna (2013:96) paling sedikit

ada lima faktor utama proses kreatif, yaitu: a) faktor psikologis, b) didaktis, c)

sosiologis, d) ekonomis, dan e) estetis. Faktor yang berhubungan dengan

sosiokultural dan ideologi pengarang ditunjukkan oleh faktor sosiologis dan faktor

ekonomis. Faktor tersebut dipengaruhi oleh globalisasi masyarakat kontemporer yang

mempengaruhi kreatifitas pengarang dalam membuat karya sastra. Selain itu faktor

yang mempengaruhi karakteristik pengarang mengacu pada faktor psikologis,

didaktis dan estetis. Faktor psikologis mengenai daya pikir pengarang dalam

mengungkapkan gagasannya sehingga melahirkan karya yang berkualitas. Faktor

didaktis sebagaimana karya sastra dapat digunakan untuk mendidik, mengajar dan

mempengaruhi. Selain itu faktor estetis merupakan cara dalam membungkus ide

(30)

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Semi (1993:49) bahwa gaya bahasa yang

digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena

selain dekat dengan watak dan jiwa penyair; juga membuat bahasa yang

digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan

pembawaan diri. Melalui bahasa, pengarang mampu menyentuh dan mempengaruhi

perasaan pembaca untuk terhanyut dalam alur cerita. Semi (1993:49) menambahkan

bahwa karena gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang pengarang; maka gaya

bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak

langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.

Senada dengan ungkapan tersebut, Keraf (2010:113) mengatakan bahwa gaya

bahasa memungkinkan dapat menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang

mempergunakan bahasa tersebut Hal tersebut menentukan karakteristik seorang

pengarang yang memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan gagasan atau

idenya dalam karya sastra. Hal tersebut untuk dapat membedakan dan memberikan

keanekaragaman karya-karya antara masing-masing pengarang. Kekhasan pengarang

diungkapkan melalui gaya berbahasa, misalnya sebagai intelektual, Alisjahbana

cenderung menampilkan gaya keilmuan. Sebagai dramawan Putu Wijaya cenderung

menampilkan gaya dialogis, Mangunwijaya religius, selain itu Pramoedya cenderung

bergaya Marxis. Sebaliknya, karya-karya ilmiah Umar Kayam dan Sapardi Djoko

Damono cenderung puitis. Novel Ayu Utami cenderung menampilkan gaya jurnalis

(31)

3. Pendidikan Karakter

a. Hakekat Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntutan kepada peserta didik untuk

menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta

rasa dan karsa (Samani dan Hariyanto, 2012:45). Menurut Lickona (2013:72),

karakter yang sesuai dengan pendidikan nilai: karakter terdiri atas nilai-nilai operatif,

nilai-nilai yang berfungsi dalam praktek. Selain itu, menurut Kesuma dkk (2013:5-6)

pendidikan karakter memiliki pengertian: (1) pendidikan karakter merupakan

pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata

pelajaran; (2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara

utuh; (3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk

sekolah (lembaga). Demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah

proses pemberian tuntutan kepada peserta didik di sekolah dengan cara yang

terintegrasi untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter budi pekrti dalam

dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa yang dapat diandalkan dan diggunakan

untuk merespons berbagai situasi dengan cara yang bermoral.

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi

pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan

kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa

yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan

(32)

untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai

sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.

Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem penanaman

nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran

atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baikterhadap

Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan

sehingga menjadi manusia insan kamil. Penanaman nilai kepada warga sekolah

maknanya bahwa pendidikan karakter akan efektif jika tidak hanya mahasiswa, tetapi

juga para guru, kepala sekolah dan tenagaa non-pendidik di sekolah semua harus

terlibat dalam pendidikan karakter

Tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan

dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan

akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang (Muslich, 2011:81).

Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri

meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi,

serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam

perilaku sehari-hari.

b. Nilai Pendidikan Karakter

Pada pendidikan karakter, dibutuhkan karakter-karakter yang patut untuk

(33)

ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung jawab; kejujuran/amanah; hormat dan

santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerja sama; percaya diri

dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; dan toleransi,

kedamaian, dan kesatuan (Muslich, 2011:79-80).

Menurut Kesuma dkk (2013:11-12), dalam referensi Islam, nilai yang sangat

terkenal dan melekat yang mencerminkan akhlak/perilaku yang luar biasa tercermin

pada nabi Muhammad SAW, yaitu: (1) Sidik yang berarti benar, mencerminkan

bahwa Rasulullah berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar dan

berjuang menegakkan kebenaran; (2) Amanah yang berarti jujur atau terpercaya,

mencerminkan bahwa apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan Rasulullah dapat

dipercaya oleh siapa pun baik oleh kaum muslim maupun nonmuslim; (3) Fatonah

yang berarti cerdas/pandai, arif, luas wawasan, terampil, dan professional. Artinya,

perilaku Rasulullah dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya dalam

memecahkan masalah; (4) Tablig yang bermakna komunikatif mencerminkan bahwa

siap pun yang menjadi lawan bicara Rasulullah, maka orang tersebut akan mudah

memahami apa yang dibicarakan/dimaksudkan Rasulullah. Keempat sifat tersebut

merupakan esensi, namun masih banyak karakter Rasulullah, seperti kesabaran,

ketangguhan dan lain sebagainya.

Kesuma dkk (2013:12) membedakan nilai-nilai pendidikan karakter menjadi tiga

yaitu (1) Nilai yang terkait dengan diri sendiri, terdiri atas: jujur, kerja keras, tegas,

(34)

tanggung jwaba, disiplin, dan lain sebagainya; (2) nilai yang terkait dengan

orang/makhluk hidup lain, terdiri atas: senang membantu, toleransi, murah senyum,

pemurah, kooperatif, komunikasi, penyeru kebaikan, pencegah kemungkaran, peduli,

adil, dan lain sebagainya; (3) nilai yang terkait dengan Ketuhanan, antara lain: ikhlas,

ikhsan, iman, takwa, dan sebagainya.

Selain itu Lickona (2013:74) mengungkapkan bahwa penilaian moral dapar

memunculkan perasaan moral, tetapi perasaan moral juga bisa memengaaruhi

pemikiran moral. Penilaian moral dan perasaan moral jelas berpengaruh terhadap

perilaku moral, khususnya ketika keduanya hadir bersama. Hal tersebut digambarkan

[image:34.595.119.503.243.635.2]

pada bagan berikut.

Gambar 1. Bagan Komponen-Komponen Karakter yang Baik Pengetahuan moral:

1. Kesadaran moral 2. Mengetahui nilai moral 3. Pengambil perspektif 4. Penalaran moral 5. Pengambilan keputusan 6. Pengetahuan diri

Perasaan moral: 1. Hati nurani 2. Penghargaan diri 3. Empati

4. Menyukai kebaikan 5. Kontrol diri

6. Kerendahan hati

(35)

Menurut Lickona, pengetahuan moral meliputi: (1) kesadaran moral yaitu

kemampuan untuk menangkap isu moral secara cerdas sesuai dengan situasi dan

kondisi dari suatu objek dan berfikir cermat mengenai langkah yang dilakukan

selanjutnya; (2) Mengetahui nilai moral yaitu mempelajari dan memahami nilai-nilai

moral beserta aplikasinya sehingga terbentuklah pengetahuan mengenai nilai moral;

(3) Pengambil perspektif yaitu memahami pandangan orang lain agar dalam

pengambilan keputusan mampu bertanggungjawab dan menghargai orang lain; (4)

Penalaran moral yaitu kemampuan peserta didik untuk menganalisis suatu situasi kan

kondisi sesuai dengan kemampuan moral bernalarnya; (5) Pengambilan keputusan

yaitu sikap moral dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan

baik-buruk serta konsekuensinya; (6) Pengetahuan diri yaitu kesadaran untuk mengetahui

kelemahan dan kelebihan diri secara universal sebagai upaya untuk melakukan

perubahan kearah yang lebih positif.

Perasaan moral menurut Lickona (2013:80-85) meliputi: (1) Hati nurani memiliki

dua sisi: sisi kognitif dan sisi emosional. Sisi kognitif menuntun dalam melakukan

kebenaran, selain itu sisi emosional menjadikan seseorang merasa berkewajiban

untuk melakukan kebenaran; (2) Harga diri, jika seseorang memiliki harga diri yang

sehat maka akan dapat menghargai diri sendiri. Jika seseorang mampu menghargai

diri sendiri maka ia mampu menghormati diri sendiri dan tidak membirakan orang

lain merusak tubuh dan pikirannya, maka ia mampu untuk mandiri dan bertahan dari

(36)

merasakan, keadaan yang tengah dialami oleh orang lain. Empati merupakan sisi

emosional dari pengambilan perspektif. Rasa empati timbul ketika orang lain

mengalami hal buruk, sehingga ada dorongan untuk menolong atau berusaha

meringankan bebannya; (4) Cinta kebaikan yaitu ketertarikan kepada hal- hal yang

baik dan berupaya untuk melakukannya; (5) Kontrol diri merupakan sikap menahan

emosi diri dari hal-hal yang bersifat buruk dan merusak. Emosi dapat merusak akal,

untuk itu kontrol diri merupakan pekerti moral yang penting; (6) Rendah hati yaitu

sikap keterbukaan murni terhadap kebenaran sekaligus kehendak untuk berbuat

sesuatu demi memperbaiki kegagalan. Rendah hati membantu untuk mengatasi

kesombongan, prasangka buruk dan merendahkan orang lain. Sikap sombong dan

merendahkan orang lain berpotensi menimbulkan rasa iri, dengki, dendam, dan dapat

menyulut pertikaian.

Selain itu tindakan moral menurut Lickona (2013:86-89) yaitu: (1) Kompetensi

moral yaitu kemampuan mengubah pertimbangan dan perasaan moral ke dalam

tindakan moral yang efektif. Seseorang dapat memecahkan suatu masalah dengan

baik dan tepat bila memiliki kompetensi moral yang baik; (2) Kehendak, dalam hal

ini kehendak sangat dibutuhkan untuk menjaga emosi agar terkendali oleh akal.

Kehendak juga dibutuhkan untuk dapat melihat dan memikirkan suatu keadaan

melalui seluruh dimensi moral; (3) Kebiasaan, sikap moral yang baik dibangun

(37)

Selain itu, terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter versi Kemendiknas

sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter

Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan

Pusat Kurikulum (Kementrian Pendidikan Nasional, dalam Suyadi, 2013:8-9) yaitu:

(1) Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan

ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, teramasuk dalam hal ini adalah sikap

toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup

rukun dan berdampingan. (2) Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan

kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar,

mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang

yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.

(3) Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap

perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan

hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup

tenang di tengah perbedaan tersebut. (4) Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang

konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. (5) Kerja

keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh dalam

menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan dan lain-lain dengan

sebaik-baiknya. (6) Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam

berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara

(38)

(7) Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang

lain dalam menyelesaikan tugas-tugas maupun persoalan. (8) Demokratis, yakni sikap

dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan

merata antara dirinya dengan orang lain. (9) Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir,

sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala

hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam. (10) Semangat

kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan

kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. (11) Cinta

tanah air, yakin sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli dan

penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonimi, politik, dan sebagainya,

sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa

sendiri.

(12) Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan

mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih

tinggi. (13) Komuniktif, senang bersahabat auat proaktif, yakni sikap dan tindakan

terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja

sama secara kolaboratif dengan baik. (14) Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang

mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya

dalam komunitas atau masyarakat tertentu. (15) Gemar membaca, yakni kebiasaan

(39)

berbagai informsdi, baik buku, jurnal, majalah, Koran, dan sebagainya, sehingga

menimbulkan kebijakan bagi dirinya.

(16) Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga

dan melestarikasn lingkungan sekitar. (17) Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan

yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang

membutuhkannya. (18) Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk

melaksanakan tugas dan kewajibannya,yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial,

masyarakat, bangsa, dan Negara maupun agama.

Beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter

dibagi menjadi tiga aspek yaitu (1) nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan meliputi

ikhlas, ikhsan, iman dan takwa. (2) Nilai pendidikan karakter terhadap diri sendiri

meliputi cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati,

disiplin, kerja keras,kreatif, mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar

membaca,tegas, tegar, sabar, visioner, pemberani, dan ramah. Nilai pendidikan

karakter terhadap orang lain terdiri atas jujur, komunikatif, berhati nurani, empati,

toleransi, menghargai prestasi dan pemurah. (3) Nilai pendidikan karakter terhadap

masyarakat meliputi demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab,

kooperatif dan adil. (4) Nilai pendidikan karakter terhadap bangsa dan Negara

meliputi nasionalisme, cinta tanah air. (5) Nilai pendidikan karakter terhadap

(40)

C. Kerangka Berpikir

Pengarang mendayagunakan potensi bahasanya sehingga pemikiran dan ide

pengarang dapat disajikan dengan bahasa-bahasa yang indah agar mengandung nilai

estetika tinggi dan memiliki daya tarik bagi pembaca. Oleh karena itu, bahasa sastra

memiliki makna yang dalam dan tersembunyi yang bersifat pragmatis. Maka, kajian

mengenai estetika bahasa dalam karya sastra penting untuk menafsirkan maksud dan

pesan dari pengarang.

Pengkajian mengenai estetika bahasa yaitu dengan menggunakan pendekatan

stilistika. Pendekataan stilistika dalam penelitian ini menelaah mengenai keindahan

bahasa sastra yang digunakan pengarang dalam novel Bilangan Fu yang memiliki

nilai estetika tinggi dan sarat akan nilai edukatif. Oleh karena, kehandalan untuk

mendayagunakan potensi bahasa pengarang dalam membungkus gagasan dan

pemikirannya sangat tinggi, maka novel tersebut perlu dikaji secara mendalam untuk

menafsirkan makna, pemikiran dan gagasan pengarang. Untuk itu, judul penelitian ini

Bilangan Fu

Pada penelitian ini, untuk menafsirkan makna, pemikiran, dan gagasan

pengarang, peneliti memfokuskan pada unsur pembentuk teks sastra yang

mengandung estetika bahasa pada novel Bilangan Fu yaitu diksi, kata konkret,

(41)

proses kreatif pengarang dalam menciptakan karya tersebut sehingga secara langsung

maupun tidak langsung dapat diketahui karakteristik pengarang. Proses kreatif

pengarang mengacu pada latar sosial budaya pengarang dan ideologi pengarang.

Selain itu, peneliti mengungkap nilai-nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Tahap pertama, peneliti mengkaji aspek stilistika yaitu diksi, kata konkret,

citraan, bahasa figuratif dan nilai pendidikan karakter dengan cara (1) memahami

pemikiran pengarang dalam novel Bilangan Fu, (2) mengumpulkan data dan

mengelompokkan data sesuai dengan aspek kajian stilistika yang sudah ditentukan,

(3) mendeskripsikan dan memaparkan data sesuai dengan aspek stilistika yang sudah

ditentukan. Tahap kedua, mengkaji mengenai proses kreatif dan menentukan

karakteristik pengarang. Tahap ketiga, mengungkapkan nilai pendidikan karakter

(42)
[image:42.595.135.480.151.601.2]

Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir

Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami

Nilai Pendidikan Karakter Kajian Stilistika dalam

Karya Sastra

1. Diksi dan Kata Konkret 2. Citraan

Bahasa Figuratif Proses Kreatif dan Karakteristik Pengarang

1. Stilistika pada novel Bilangan Fu

2. Nilai pendidikan karakter pada novel Bilangan Fu

1. Ikhlas, ikhsan, iman dan takwa terhadap Tuhan.

Cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati, disiplin, kerja keras,kreatif,

mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar membaca, tegas, tegar, sabar, visioner, dan pemberani terhadap diri sendiri. Jujur, komunikatif, berhati nurani, empati, toleransi, menghargai prestasi, ramah dan pemurah terhadap orang lain.

Demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab, kooperatif, dan adil terhadap masyarakat.

Gambar

Gambar 1. Bagan Komponen-Komponen Karakter yang Baik
Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Maka interaksi kemampuan berpikir kritis tinggi dan rendah tidak memberikan efek berbeda terhadap prestasi belajar pada materi laju reaksi. Kemampuan berpikir kritis

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional, dimana penelitian ini akan mengetahui pengaruh

[r]

Untuk mengetahui pengetahuan responden tentang apakah ada lokasi lain yang cukup luas untuk perluasan perpustakaan, peneliti memberi pertanyaan kepada responden melalui

Pendapat ini sejalan dengan pendapat Agus Mahendra (2001: 41-13) mengemukakan bahwa salah satu metode mengajar senam adalah metode menyeluruh. Metode menyeluruh merupakan

sama menggunakan sikap fiskus yang dalam arti kualitas pelayanan.. perpajakan sebagai variabel independen dan Kepatuhan Wajib Pajak. Orang Pribadi sebagai variabel dependen

Pengkajian bertujuan untuk mengetahui: (1) keragaan usahatani kedelai program GP-PTT Kedelai tahun 2016 di Kabupaten Nabire, (2) analisis usahatani kedelai yang

Yang bertanda tangan di bawah ini saya, Muhammad Irfan Priambodo, menyatakan bahwa skripsi dengan judul : ANALISIS PENGARUH CAR, NIM, NPL DAN BOPO TERHADAP LOAN