Bab II
Tinjauan Pustaka, Landasan Teori Dan Kerangka Berpikir
A. Tinjauan Pustaka
Penelitian tesis yang dilakukan Nurnaningsih (2010) dengan judul penelitian
Teks Seksual dalam Serat Centhini Karya Pakubuwana V . Hasil
kajian stilistika terhadap teks seksual dalam Serat Centhini karya Pakubuwana V
dapat disimpulkan pola bunyi bahasa yang dominan muncul adalah purwakanthi guru
swara atau identik dengan asonansi /a, o, u, ê, e, è, i/, purwakanthi guru sastra atau
identik dengan aliterasi /b, c, d, D, g dan ng, h, j, k, l, m, n, p, r, s, t, dan y/, dan
purwakanthi lumaksita. Ketiga purwakanthi tersebut mampu membuat puisi teks
seksual dalam Serat Centhini menjadi lebih indah. Dalam hal struktur morfologis,
pemakaian kata-kata dan pembentukan kata cenderung memilih bentuk-bentuk kata
yang menggunakan afiks-afiks yang bernilai arkhais. Pemilihan kata/diksi sangat
beraneka macam antara lain ada dasanama, tembung Kawi, kata yang berasal dari
bahasa Arab, istilah-istilah seks, ungkapan-ungkapan dalam seks. Penggunaan
metafora, personifikasi, simile dan metonimia yang mengandung unsur estetik.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penggunaan
pendekatan yang sama yaitu stilistika, (2) aspek yang diteliti sama mengenai bahasa
figuratif (majas), diksi. Selain itu perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini
fonologis ritma, morfologis, tema, perasaan, nada, dan amanat. Pada penelitian ini
meneliti mengenai diksi, bahasa figuratif, citraan, kata-kata konkret dan nilai
pendidikan karakter. (2) Penelitian tersebut, menggunakan objek teks Serat Centhini
yaitu mengenai tembang-tembang jawa. Penelitian ini menggunakan objek novel
Bilangan Fu.
Penelitian tesis yang dilakukan E Analisis
Stilistika Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata menyimpulkan bahwa
keunikan pemilihan dan pemakaian kosakata terdapat pada leksikon bahasa asing,
leksikon bahasa Jawa, leksikon ilmu pengetahuan, kata sapaan, kata konotatif pada
judul. Kekhususan aspek morfologis dalam novel Laskar Pelangi yaitu pada
penggunaan afiksasi leksikon bahasa Jawa dan bahasa Inggris serta reduplikasi dalam
leksikon bahasa Jawa. Kemudian aspek sintaksis meliputi penggunaan repetisi,
kalimat majemuk dan pola kalimat inversi. Pemanfaatan gaya bahasa figuratif yang
unik dan menimbulkan efek-efek estetis pada pembaca yaitu idiom, arti kiasan,
konotasi, metafora, metonimia, simile, personifikasi, dan hiperbola.
Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara lain, (1) penelitian
tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian ini dalam pemakaian pendekatan yaitu
stilistika. (2) Penelitian tersebut sama dengan penelitian ini yaitu mengangkat
mengenai diksi, dan bahasa figuratif. (3) Objek penelitian ini sama dengan penelitian
tersebut yaitu novel. Selain itu perbedaan penelitian tersebut dengan penelitian ini
Bilangan Fu karya Ayu Utami, sedangakan penelitian tersebut menggunakan novel
Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai objek kajian. 2) Penelitian tersebut
mengangkat permasalahan morfologis dan sintaksis, penelitian ini mengangkat aspek
citraan, kata-kata konkret dan nilai pendidikan karakter.
Penelitian jurnal yang dilakukan Umami (2009) menyimpulkan bahwa lirik lagu
Ungu tidak hanya didominasi oleh gaya bahasa personifikasi dan hiperbola tetapi
juga asonansi, aliterasi, repetisi, pleonasme, simploke, inversi, klimaks, antitesis, dan
sinekdok pars pro toto. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini antara
lain, (1) penelitian tersebut sama dengan penelitian ini yang menggunakan
pendekatan yang sama yaitu stilistika, (2) penelitian tersebut mengangkat aspek
majas sebagai permasalahan. Selain itu perbedaan dengan penelitian ini antara ain,
(1) penelitian tersebut menggunakan lirik lagu sebagai objek, penelitian ini
menggunakan novel sebagai objek. (2) Penelitian tersebut hanya mengangkat aspek
majas, selain itu penelitian ini lebih kompleks, yaitu pada diksi, majas, citraan,
kata-kata konkret dan nilai pendidikan.
Penelitian jurnal yang dilakukan Al- ) dengan judul Kajian Stilistika
Aspek Bahasa Figuratif Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari .
Penelitian tersebut memaparkan mengenai bahasa kiasan Ronggeng Dukuh Paruk
memiliki keunikan dan keaslian bahasakiasan yang mendominasi RDP dapat dilihat
dari gaya majas dan idiom yang indahdan beranekaragam, penuh ekspresif, asosiatif
peribahasa. Ketiga aspek tersebut merupakan hasil kreasi Tohari yang menunjukkan
intelektualitas dan estetika yang tinggi. Penelitian ini memiliki persamaan dengan
penelitian tersebut antara lain, (1) penggunaan pendekatan yaitu menggunakan
pendekatan stilistika, (2) pengangkatan permasalahan pada bahasa figuratif, (3) sama
dalam penggunaan objek yaitu novel. Sedangakan perbedaan terdapat pada, (1)
penelitian ini mengangkat nilai pendidikan, (2) penelitian tersebut menggunakan
objek novel yang berbeda yaitu Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari
digunakan pada penelitian tersebut, selain itu penelitian ini menggunakan objek novel
Bilangan Fu karya Ayu Utami.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kurwidaria (2013) dengan judul Kekhasan
Gaya Pemakaian Bahasa Lirik-lirik Lagu Pop Jawa Karya Koes Plus jelaskan
mengenai kreativitas Koes Plus dalam menggunakan bahasa Jawa sebagai ciri khas
Koes Plus. Persamaan dengan penelitian ini yaitu cakupan stilistika mengenai diksi.
Selain itu perbedaannya berkenaan dengan objek, penelitian ini menggunakan novel
dan penelitian Kurwidaria menggunakan lirik lagi. Selain itu pada cakupan stilistik,
penelitian ini menggunakan kata kokret, citraan, bahasa figuratif, proses kreatif
pengarang dan karakteristik pengarang, namun penelitian Kurwidaria menggunakan
gaya bunyi, dan gaya kalimat,
Penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2007) dengan judul Diksi dan Pola
Sintaksis dalam Pepatah Aceh. Penelitian ini mengungkap pengucapan kata-kata
macam diksi yang ditemukan yaitu diksi untuk menyatakan perbandingan, penegasan,
pengingkaran, dan pertentangan. Persamaan dengan penelitiaan ini, yaitu kedua
penelitian menggunakan diksi sebagai kajian. Sementara itu, perbedaannya terletak
pada objek kajian; (1) penelitian ini menggunakan objek novel sebagai objek kajian,
selain itu penelitian yang dilakukan Santoso menggunakan pepatah sebagai objek
kajian, (2) penelitian ini menggunakan pendekatan stilistika, selain itu penelitian
Santoso menggunakan kajian diksi dan sintaksis.
Penelitian yang dilakukan Sastriani (2007) dengan judul Transformasi Gaya
Bahasa dalam Karya Sastra Terjemahan merupakan penelitian mengenai
transformasi karya sastra francophone yang berjudul Le Rocher de Tanios karya
Amin Maalouf (1991) menjadi Cadas Tanios oleh Ida Sundari Husen. Gaya bahasa
terjemahan dalam penelitian ini ditemukan transformasi yang berupa pengungkapan
bentuk kata baru. Ditemukan adanya inovasi dalam terjemahan karya sastra yang
berkaitan dengan gaya bahasa. Teks yang semula menggambarkan kata, frase,
kalimat atau wacaya yang diungkapkan dengan gaya bahasa tertentu yang
menghasilkan terjemahan beberapa bentuk, yaitu gaya bahasa yang sama, gaya yang
tidak sama, tidak menghasilkan gaya bahasa (zero), atau zero gaya bahasa dalam
bahasa Perancis menghasilkan terjemahan gaya bahasa dalam bahasa Indonesia.
Persamaan dengan penelitian ini yaitu kedua penelitian menggunakan gaya bahasa
kajian dan novel sebagai objek kajian, selain itu perbedaan terletak pada (1)
yang dilakukan Sastriani menggunakan dua objek kajian yaitu novel Le Rocher de
Tanios karya Amin Maalouf (1991) menjadi novel Cadas Tanios oleh Ida Sundari
Husen; (2) penelitian ini lebih berfokus pada pendekatan stilistika secara keseluruhan,
baik diksi, gaya bahasa, tanda dan simbol, serta citraan, selain itu penelitian ini hanya
mengungkap gaya bahasa terjemahan.
Penelitian yang dilakukan Bosman (1992) melakukan penelitian yang
mengungkap mengenai karakteristik puisi Leipoldt yang berkenaan dengan simbol,
antara lain individualisme penyair, ketegangan dualistik antara berbagai oposisi,
kepentingan eksotis dan okultisme, dan kesadaran keindahan. Persamaan dengan
penelitian tersebut yaitu mengungkapkan simbolisme keindahan yang terdapat pada
karya sastra. Simbolisme yang digunakan penyair mengungkap manifest estetika
pengarang. Selain itu perbedaan terletak pada objek, penelitian ini menggunakan
objek novel dan penelitian yang dilakukan Bosman menggunakan objek puisi. Selain
itu pengkajian pada penelitian Bosman melingkupi simbolisme estetika, berbeda
dengan penelitian ini yang mengungkapkan estetika secara keseluruhan dengan
menggunakan pendekatan stilistika.
Penelitian jurnal yang dilakukan Moti (2010) dengan judul An Introduction
Modern Stylistics. Penelitian Moti mengungkapkan mengenai stilistika modern yang
berkenaan dengan gaya dalam bahasa, produksi gaya bahasa, identifikasi bahasa,
mendeskripsikan bahasa, keistimewaan kandungan gaya bahasa, penggunaan keadaan
pendekatan yang sama yaitu stilistika. Namun perbedaannya, penelitian Moti ini
membahas mengenai teori stilistika modern, selain itu penelitian ini membahas
mengenai stilistika dalam novel yang mencakup diksi, kata konkret, citraan, bahasa
figuratif, proses kreatif pengarang dan karakteristik pengarang.
Pada penelitian yang berjudul Features From Frequency: Autorship and Stylistic
analysis Using Repetitive Sound oleh Forstall (2010) mengenai kepengarangan dan
analisis stilistika menggunakan pengulangan bunyi dalam hal puisi dengan
penghitungan digital. Persamaan dengan penelitian ini menggunakan pendekatan
yang sama yakni stilistika. Selain itu perbedaannya terletak pada cakupannya,
penelitian ini mengungkap mengenai diksi, kata konkret, citraan, bahasa figuratif,
proses kreatif pengarang dan karakteristik pengarang, namun penelitian Forstall
mencakup stilistika puisi dalam penghitungan digital.
Penelitian yang dilakukan oleh Hafiz Ahmad Bilal dkk. (2012) yang berjudul
Stylistic Analysis of The Voice mengenai analisis estetika bahasa yang digunakan V. S
Pritchett dalam menciptakan cerita pendek yang berjudul The Voice. Penelitian
tersebut menggambarkan karakter pengarang yang mampu mengolah kemampuan
bahasanya melalui majas personifikasi, metafora dan lain sebagainya sehingga
menghasilkan bahasa yang selaras dan halus. Pada pilihan kata-kata, pengarang
mampu memainkan kata-kata sehingga memberikan makna yang mendalam. Selain
itu dalam tataran kebahasaan, dapat memberikan kontribusi pengetahuan mengenai
penelitian ini yaitu menggunakan pendekatan stilistika yang mengkaji mengenai
estetika kebahasaan pengarang, penelitian mengenai gaya bahasa dan diksi yang
memiliki kebermaknaan. Selain itu perbedaannya, penelitian ini menambahkan pada
citraan dan menentukan karakter kepengarangan serta nilai-nilai edukatif. Pada
penelitian tersebut, menambahkan mengenai pengaplikasian pedagogi pada
pembelajaran bahasa.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Mussarat Azhar dkk. (2014) dengan judul
Foregroundin In The Rain mengenai puisi karya E. E
Cummings penyimpangan bahasa dengan gaya puitis yang kuat. Perbedaan pada
penelitian tersebut menggunakan teknik foregrouding untuk mengukur tingkat
penyimpangan pada tingkat graphological, sintaksis, tata bahasa, leksikal, fonologi
dan semantik. Hal tersebut menjadi pembeda dengan penelitian ini yang
menggunakan diksi, citraan, bahasa figuratif sebagai pemaknaan keindahan bahasa
pengarang. Selain itu penelitian ini mengungkap proses kreatif, karakter pengarang
dan nilai pendidikan karakter. Selain itu persamaan terdapat pada pendekatan
B. Landasan Teori
1. Hakikat Novel
Novel menurut Semi (1993:32) merupakan karya fiksi yang mengungkapkan
aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan secara halus. Selain itu
menurut Kosasih (2012:60) novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh
atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh. Noor (2007:26)
menambahkan pengertian novel yaitu novel cerkan yang panjang, yang
mengetengahkan tokoh-tokoh dan menampakkan serangkaian peristiwa dan latar
(setting) secara terstruktur. Waluyo (2011:5-6) mendefinisikan novel secara
arti baru. Jadi, sebenarnya
memang novel adalah bentuk karya sastra cerita fiksi yang paling baru. Di samping
kepanjangannya di antara cerita pendek dan roman, maka novel memiliki ciri-ciri
lain, yaitu bahwa pelaku utamanya mengalami perubahan nasib hidup.
Selain itu, menurut Nurhayati (2012:7) novel merupakan pengungkapan dari
fragmen kehidupan manusia (dalam jangka yang lebih panjang). Senada dengan
asumsi tersebut, Nurgiyantoro (2005:10) mengungkapkan bahwa sebuah cerita yang
panjang, katakanlah berjumlah ratusan halaman, jelas tak dapat disebut sebagai
cerpen, melainkan lebih tepat sebagai novel. Maka sintesis dari beberapa pendapat
tersebut, novel adalah karya imajinatif yang mengungkapkan aspek-aspek
problematika kemanusiaan yang menampakkan serangkaian peristiwa dan latar yang
Sebagaimana beberapa pengertian novel menurut para ahli, novel merupakan
prosa kompleks yang menghadirkan problematika kehidupaan beberapa tokoh yang
mana tokoh-tokoh tersebut mengalami perubahan nasib dalam cerita. Novel
menghadirkan perkembangan peristiwa, perkembangan dan perubahan watak tokoh,
situasi yang rumit. Oleh sebab itu novel bersifat kompleks yang menghadirkan
problematika yang kompleks.
2. Stilistika
a. Definisi Stilistika
Menurut Ratna (2013:3) stilistika adalah ilmu tentang gaya, selain itu stil (style)
secara umum sebagaimana akan dibicarakan secara lebih luas pada bagian berikut ini
adalah cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu,
sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Gaya demikian
adalah kualitas bahasa, merupakan ekspresi langsung pikiran dan perasaan. Gaya
melahirkan kegairahan sebab gaya memberikan citraan baru, gaya membangkitkan
berbagai dimensi yang stagnasi. Senada dengan hal tersebut, stilistika menurut
Al-style yakni wujud performansi bahasa
dalam karya (sastra) melalui pemberdayaan segenap potensi bahasa yang unik dan
khas meliputi bunyi, diksi, kalimat, wacana, bahasa figuratif (figurative language),
dan citraan. Selain itu menurut Simpson (2004:2) Stylistics is a metod of textual
stilistika didefinisikan sebagai metode tekstual yang mengunggulkan bahasa dalam
tugasnya sebagai pengungkapan gagasan dan pemikiran seseorang.
Noor (2005:118) juga mendefinisikan stilistika secara etimologi adalah kata style
yang artinya gaya. Style atau gaya yaitu cara khas yang dipakai seseorang untuk
mengungkapkan diri. Cara pengungkapan tersebut dapat meliputi setiap aspek bahasa
(kata-kata, kiasan-kiasan, susunan kalimat, nada, dan sebagainya). Selain itu Satoto
(2012:31) secara singkat mengungkapkan, stilistika adalah bidang studi tentang gaya
(Style). Dalam gaya bahasa (style in language) tentu saja objeknya adalah bahasa.
Begitu pula dengan Endraswara (2004:72) mengungkapkan secara singkat bahwa
stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra.
Jadi, stilistika secara singkat adalah metode atau kajian terhadap gaya (style)
terhadap wujud performansi kebahasaan dalam mengungkapkan potensi keunikan dan
kekhasan bahasa sebagai tugas bahasa yaitu untuk mengungkapkan gagasan atau
pemikiran diri. Style merupakan cara-cara khas, bagaimana segala sesuatu
diungkapkan dengan cara tertentu yang mencangkup gaya bahasa dalam pilihan
pengekspresian pengarang untuk menuangkan apa yang dimaksudkan yang bersifat
individual dan kolektif, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara
b. Hakikat Stilistika
Stylistics has since its earliest days set great store by the use of detailed
linguistics analysis as a basis for the interpretation of literary texts. (Simpson,
2004:38). Hal tersebut mengungkapkan bahwa stilistika pada dasarnya stilistika
merupakan teori yang digunakan sebagai analisis linguistik. Namun, berbicara
mengenai hakikat stilistika yaitu berkenaan dengan estetika bahasa, maka dapat
diterapkan juga pada karya sastra. Untuk itu, stilistika dapat menginterpretasikan teks
sastra. Dengan kata lain, stilistika merupakan kajian linguistik namun dapat menjadi
kajian sastra, mengingat sastra berhubungan secara langsung dengan bahasa sebagai
pengungkapannya. Bahasa dalam hal ini selain berperan sebagai pengungkap
pemikiran, yaitu sebagai pengungkap estetika penuturnya.
Selain itu, Sutejo (2010:5) menjelaskan bahwa style itu merupakan gaya bahasa
termasuk di dalamnya pilihan pengekspresian seorang pengarang untuk menuangkan
apa yang dimaksudkan bersifat individual dan kolektif. Style dalam hal ini merupakan
gaya yang berkaitan dengan pendayagunaan potensi bahasa yang dimiliki pengarang
yang menunjukkan keunikan dan karakter pengarang sebagai sarana estetis dan
ekspresi dalam pengucapannya. Kajian gaya bahasa atau style lebih merupakan
pengungkapan ciri khas pengarang dalam karyanya. Style ditandai oleh ciri-ciri
formal kebahasaan seperti pemilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa
figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2009:276). Bentuk
bentuk eksistensi yang saling berkaitan yang sebagai sebuah fiksi dan sebagai sebuah
teks. Sebagai sebuah fiksi berarti pengarang bekerja dengan sarana bahasa dan
sebagai pembuat teks berarti pengarang bekerja dalam bahasa.
Only if this aesthetic interest is central will stylistics be a part of literary
scholarship; and it will be an important part because only stylistics methods can
define the specific characteristics of a literary work (Wellek dan Warren, 1977:180).
Sehubungan dengan pernyataan tersebut, hakikatnya stilistika merupakan kajian yang
penting dalam kesusatraan, karena hanya stilistika yang mampu menjabarkan ciri-ciri
khusus pengarang dalam menciptakan karya sastra. Stilistika mampu mengungkapkan
gaya bahasa pengarang dalam menciptakan karya sastra sehingga pembaca dapat
membedakan karakteristik karya sastra.
Dengan demikian, studi stilistika seharusnya: a) menemukan prinsip yang
mendasari totalitas karya, b) menemukan tujuan setetis yang dapat menopang
keseluruhan unsur karya (Wellek dan Warren dalam Ratna, 2013:150). Stilistika tidak
memandang bahasa sastra secara objektif maupun subjektif namun objektif dan
subjektif secara bersama. Jadi stilistika tidak hanya membahas mengenai bahasa
penutur maupun mitra tutur, akan tetapi seluruh unsur yang mendukung bahasa
tersebut dalam rangka mencapat tujuan estetik. Senada dengan pemikiran tersebut,
Ratna (2013:152) mengungkapkan bahwa stilistika diharapkan dapat merupakan alat
penghubung pertama dan utama dalam rangka membangun kembali hubungan yang
gaya bahasa. Kedua,stilistika adalah kajian mengenai sastra dalam kaitannya dengan
penggunaan bahasa. Ketiga, meskipun dalam pengertian luas stilistika meliputi aspek
kebudayaan lain tetapi dasar pemahamannya tetap bertumpu pada bahasa.
Dikaitkan dengan stilistika perlu juga dikemukakan pendapat Lotman (dalam
Ratna, 2013:153) yang lain yaitu estetika persamaan atau estetika identitas (the
aesthetic of identity) dan estetika pertentangan atau oposisi (the aesthetic of
opposition). Estetika pertama mengandaikan penggunaan bahasa yang relatif sama
antara pengarang dan pembaca. Sebaliknya estetika yang kedua menyajikan
penggunaan bahasa yang berbeda, sebagai estetika baru.
c. Sumber Objek Stilistika
Aspek estetika yang membedakan bahasa sastra dengan bahasa ilmiah. Bahasa
sastra yang memiliki pesan bersifat pragmatis, maka mengarahkan bahasa sastra
memiliki makna yang terselubung dan perlu penafsiran lebih dalam. Untuk itu,
bahasa khas yang digunakan oleh pengarang memiliki pengertian bahasa yang yang
berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan bahasa ilmiah. Namun, secara
leksikal bahasa yang digunakan tidak terdapat perbedaan. Hal yang membedakan
yaitu dalam pengolahan dan menyusunan bahasa dengan mengutamakan aspek
estetika. Gaya bahasa digunakan pengarang merupakan cara khas pengarang dalam
mengolah dan menyusunnya kembali, bukan khas yang memiliki pengertian berbeda
dalam proses seleksi, memanipulasi, dan mengombinasikan kata-kata (Ratna,
2013:15).
Stilistika, ilmu gaya bahasa, juga diberi definisi yang bermacam-macam, tetapi
pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang
merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra dan lain-lain, atau pula yang
menyimpang dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang dianggap normal, baku
dan lain-lain (Teeuw, 2013:57). Maka stilistika sebagai ilmu pengetahuan mengenai
gaya bahasa di pihak lain, maka sumber penelitiannya adalah semua jenis komunikasi
yang menggunakan bahasa, baik lisan maupun tulisan. Oleh karena bahasa di sini
sebagai bahan bakunya (Satoto, 2012:31).
Pada tataran analisis, gaya, gaya bahasa dan majas adalah objek, selain itu
stilistika adalah ilmu untuk memecahkan objek tersebut (Ratna, 2013:169). Namun
objek stilistika secara khusus merupakan bahasa sebagai kajian stilistika yaitu bahasa
sastra yang mengandung unsur estetika yang bersifat konotatif berbeda dengan
bahasa nonsastra yang bersifat denotatif.
d. Ruang Lingkup Stilistika
Manfaat stilistika yang sepenuhnya bersifat estetis, membatasi lingkup bidang ini
khusus untuk studi karya sastra dan kelompok karya yang dapat diuraikan fungsi dan
sastra yang berkaitan dengan keindahan bahasa. Maka pengarang sering
memaksimalkan potensi bahasanya untuk mencapai nilai estetika.
Ruang lingkup penelitian stilistika sangat luas, dianggap sebagai tugas yang tidak
mungkin untuk dilakukan, lebih-lebih apabila dikaitkan dengan pengertian gaya
bahasa secara luas, yaitu: bahasa itu sendiri, karya sastra,karya seni, dan bahasa
sehari-hari, termasuk ilmu pengetahuan (Hough dalam Ratna, 2013:18). Ruang
lingkup bertambah luas dengan adanya perkembangan paralel di berbagai negara
sehingga terjadi tumpang tindih di antaranya. Untuk membatasinya ruang lingkup
dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) ruang lingkup dalam kaitannya dengan
objek stilistika itu sendiri, dan b) ruang lingkup dalam kaitannya dengan objek yang
mungkin dilakukan dalam suatu aktivitas penelitian. Selain itu, menurut Satoto
(2012:35) nakan oleh
seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara
pengungkapan: tersebut bisa meliputi setiap aspek kebahasaan: diksi, penggunaan
bahasa kias, bahasa figutatif (figurative Language).Ruang lingkup stilistika dalam
tataran ini antara lain:
1) Diksi
Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pemikirannya dengan
setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu, juga ia ingin mengekspresikan
haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi (Pradopo,
1997:54). Pemilihan kata yang tepat dapat mewakili suara hati pengarang dengan
tepat, agar makna dan maksud pengarang dapat tercurahkan secara tepat kepada
pembaca.
Menurut Ratna (2013:412) pilihan kata yang tepat yang dilakukan oleh pengarang
untuk mengungkapkan gagasan, ide, dan pesan secara keseluruhan. Disamping
memilih kata-kata yang tepat, pengarang juga mempertimbangkan urutan katanya dan
kekuatan atau daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan
yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak pengarang (Waluyo,
2010:83-84). Dalam pemilihan kata (diksi) perlu diketahui ketepatan kata-kata yang
digunakan, agar kata-kata yang dipergunakan tidak akan menganggu suasana, dan
tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para
hadirin atau para pembaca. Pada karya sastra, diksi biasanya dapat menjadi ciri khas
pengarang dalam menciptakan karya sastra.
2) Citraan (pengimajian)
Pencitraan adalah topik yang termasuk dalam bidang psikologi dan studi sastra.
bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi tidak selalu bersifat visual (Wellen dan
Warren, 2014:216). Oleh karena itu, citraan berhubungan dengan penggunaan
menurut Siswantoro (2010:215) pencitraan merujuk kepada gambar angan-angan
(mental picture) yang terbentuk sebagai akibat pemakaian kata-kata tertentu. Maka
dapat didefinisikan bahawa citraan merupakan suatu hasil penggambaran yang
bersifat indrawi sebagai akibat pemakaian dan pengolahan kata-kata.
Pengimajian ditandai dengan penggunaan kata-kata konkret dan khas. Imaji yang
ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji taktil (cita
rasa). Ketiganya digambarkan atas bayangan konkret apa yang dapat kita hayati
secara nyata (Waluyo, 2010:91). Menurut Wellek dan Warren (2014:216-217)
ahli-ahli psikologi dan estetik menyusun bebagai macam jenis citraan. Ada citraan yang
berkaitan dengan cita rasa pengecapan, ada yang berkaitan dengan penciuman. Ada
pula yang berkaitan dengan suhu dan tekanan (kinaesthetic
haptic empathic synaesthetic (yang bisa
diakibatkan keadaan jiwa pengarangnya, atau sekadar konvensi sastra biasa)
memindahkan uraian satu indra ke uraian indra yang lain. pencitraan terikat berkaitan
dengan indra penglihatan dan otot, dan efeknya sama bagi setiap pembaca atau tipe
pembaca. Selain itu pencitraan bebas bersifat visual dan efeknya berbeda-beda bagi
setiap pembaca atau tipe pembaca. Citraan tersebut dibagi menjadi enam yaitu:
a) Citraan Penglihatan (Visual Imagery)
Citraan penglihatan biasanya dapat memberikan rangsangan kepada indera
penikmat (Sutejo, 2010:21). Pada karya sastra citraan penglihatan lebih banyak
muncul. Pengarang menggunakan citraan penglihatan untuk mengungkapkan
pengalaman visual pengarang ke dalam bahasa figuratif pengarang.
b) Citraan Pendengaran (Audio Imagery)
Pada citraan pendengaran merupakan bagaimana pelukisan bahasa yang
merupakan perwujudan dari pengalaman pendengaran (audio). Citraan pendengaran
karena itu, juga dapat memberikan rangsangan kepada indera pendengaran sehingga
mengusik imajinasi pembaca untuk memahami teks sastra secara lebih utuh (Sutejo,
2010:22). Citraan pendengaran bertugas untuk merangsang indera pendengaran
pembaca agar pembaca mampu menikmati karya sastra yang tidak nampak dan hanya
dapat dirasakan oleh pendengaran.
c) Citraan penciuman
Citraan yang cukup jarang dilakukan oleh pengarang yaitu citraan penciuman
karena citraan ini cukup sulit diterapkan. Citraan penciuman ialah penggambaran
yang diperoleh melalui pengalaman indera penciuman. Selanjutnya, citraan jenis ini
dapat membangkitkan emosi penciuman pembaca untuk memperoleh gambaran yang
d) Citraan perabaan (Tactil Imagery)
Citraan selanjutnya yang digunakan oleh pengarang yaitu citraan peraba. Citraan
perabaan menggambarkan peristiwa dalam cerita melalui peran indera peraba. Citraan
Pada beberapa teks
sastra, citraan tersebut sering dikolaborasikan dengan beberapa majas untuk
membangkitkan daya imajinasi pembaca sehingga lebih kuat.
e) Citraan Gerak (Movement Imagery)
Citraan ini menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi
dilukiskan sebagai dapat bergerak, adapun gambaran gerak pada umumnya (Sutejo,
2010:24). Citraan ini digambarkan melalui gerak tubuh sehingga pembaca dapat
merasakan gerakan yang lebih intensif.
3) Bahasa Figuratif
Menurut Al- figurative berasal dari bahasa Latin figura,
yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion.
Berbeda yang diungkapkan
Al-mengungkapkan (2009:277), gaya bahasa dalam stilistika yaitu suatu bentuk
ungkapan kebahasaan seperti yang diketahui dalam karya sastra merupakan suatu
teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili suatu yang akan
diungkapkan.
Selain itu, menurut Sutejo (2010:26) gaya bahasa merupakan sarana strategis
yang seringkali dipilih pengarang untuk mengungkapkan pengalaman kejiwaannya ke
dalam karya fiksi. Kemampuan untuk mengolah bahasa ini merupakan usaha untuk
membungkus ide/gagasan/pengalaman dengan cara estetika sehingga dapat menjadi
daya tarik pembaca dan membangkitkan imajinasi pembaca atau pendengarnya.
Menurut Satoto (2012:153) gaya bahasa adalah cara mengungkapkan bahasa secara
khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis. Jadi, gaya bahasa adalah
suatu bentuk kinerja kebahasaan seorang pengarang untuk mengungkapkan
pengalaman kejiwaan pengarang yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis
dengan cara esetetika dalam menciptakan karya fiksi.
Bahasa figuratif sering dikatakan sebagai bahasa kiasan atau gaya bahasa. Bahasa
ini digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan suatu makna secara tersirat.
Sebagaimana dijelaskan oleh Waluyo (2010:96), penyair menggunakan bahasa yang
bersusun-susun atau berpigura sehingga disebut bahasa figuratif. Bahasa figuratif
menyebabkan puisi menjadi pragmatis artinya memancarkan banyak makna. Maka,
bahasa kiasan ini mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain
supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan hidup (Pradopo, 1990:62). Maka
pengarang memaksimalkan potensi kebahasaannya untuk menghasilkan karya yang
juga dengan gaya bahasa dalam hal ini dibagi menjadi dua aspek yaitu (1)
permajasan; dan (2) simbol, dan lambang.
a) Permajasan
Majas (fiture of speech) adalah pilihan kata tertentu sesuai dengan maksud
penulis atau pembicara dalam angka memperoleh aspek keindahan. Pada umumnya
majas dibedakan menjadi empat macam, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan,
c) pertentangan, dan d) majas sindiran (Ratna, 2013:164).
(1) Majas Penegasan
Majas penegasan merupakan majas yang berisi tegasan atau tekanan mengenai
sesuatu. Majas penegasan terdiri atas: (1) Aferesis yaitu majas penegasan dengan
menghilangkan huruf atau suku kata awal; (2) Aforisme yaitu pernyataan sebagai
kebenaran umum atau kata-kata arif; (3) Alonim yaitu majas dengan menggunakan
varian nama; (5) Anagram yaitu majas dengan pertukaran huruf dalam kata sehingga
menimbulkan makna baru; (6) Antiklimaks yaitu pernyataan menurun secara
berturut-turut; (7) Apofasis/Preterisio yaitu majas yang seolah-olah mengingkari apa
yang sudah dijelaskan; (8) Aposiopesis yaitu majas yang digambarkan dengan
penghentian di tengah-tengah kalimat; (9) Arkhaisme yaitu majas yang menggunakan
kata-kata yang sudah usang; (10) Bombastis yaitu majas yang penggunaan
Majas (11) Elipsis yaitu majas yang kalimat tidak lengkap; (12)
Enumerasio/Akumulasio yaitu majas yang beberapa peristiwa saling berhubungan,
disebut satu demi satu; (13) Esklamasio yaitu majas yang menggunakan kata seru:
wah, aduh,amboi, astaga, awas, dan sebagainya; (14) Interupsi yaitu majas yang
menyisipkan kelompok kata tertentu; (15) Inversi/Anastrof yaitu majas yang susunan
kalimat terbalik; (16) Invokasi yaitu majas yang penggunaan kata seru untuk
memohon kepada adi kodrati; (17) Klimaks yaitu majas yang menyatakan urutan
pernyataan menuju puncak; (18) Kolokasi yaitu majas yang mengasosiasikan secara
permanen satu kata dengan kata yang lain; (19) Koreksio/Epanortosis yaitu majas
yang memperbaiki pernyataan sebelumnya yang dianggap salah; (20) Paralelisme
yaitu majas yang mensejajarakan kata-kata atau frasa, dengan fungsi yang sama; (21)
Pararima yaitu perulangan konsonan awal dan akhir dalam kata-kata tertentu; (22)
Pleonasme yaitu majas yang memberikan keterangan secara berlebihan; (23) Praterio
yaitu majas yang menyembunyikan maksud yang sesungguhnya;
Majas (24) adalah Repetisi, majas repetisi yaitu majas yang mengulang kata atau
kelompok kata. Repetisi dibagi menjadi beberapa bentuk antara lain: (a) Aliterasi
yaitu majas yang mengulang konsonan awal, (b)
Anadiplosis/Epanadiplosis/Epa-nastof/Anastrof yaitu kata atau kelompok kata terakhir diulang pada kalimat berikut,
seperti pantun berkait, (c) Anafora yaitu kata atau kelompok kata pertama diulang
pada baris berikut, (d) Antanaklasis yaitu perulangan dengan makna berlainan, (e)
pertamanya diulang pada akhir kalimat, (g) Epifora/Epistrofa yaitu majas yang
diungkapkan sebagai pengulangan akhir kalimat secara berurutan, (h) Epizeuksis
yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan langsung, (i) Katafora yaitu majas
yang diungkapkan sebagai perulangan melalui pronominal disusul oleh anteseden, (j)
Kiasmus yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan dengan skema a-b-b-a,
(k) Mesodiplosis yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan di tengah baris,
(l) Simploke yaitu majas yang diungkapkan sebagai perulangan pada awal dan akhir
baris, dalam beberapa baris, (m) Tautotes yaitu majas yang diungkapkan sebagai
perulangan dalam sebuah konstruksi;
Selanjutnya majas (25) Retoris/Erotesis yaitu majas yang diungkapkan sebagai
kalimat tanya tanpa memerlukan jawaban; (26) Sigmatisme yaitu majas yang
Silepsis yaitu majas yang penggunaan satu kata dengan banyak makna dalam
konstruksi sintaksis yang berbeda; (28) Sindeton yaitu majas yang penjelasan
kata-kata setara secara berturut-turut. Sindeton dibagi menjadi dua jenis antara lain: (a)
Asindeton yaitu majas yang tanpa menggunakan kata penghubung, (b) Polisindeton
yaitu majas yang dengan menggunakan kata penghubung; (29) Sinkope/Kontraksi
yaitu majas yang menghilangkan suatu suku kata di tengah kata; (30) Tautologi yaitu
majas yang perulangan kata, kelompok kata atau sinonimnya, yang kadang-kadang
tidak perlu; (31) Zeugma yaitu majas yang seolah-olah tidak logis dan tidak
(2) Majas Perbandingan
Majas perbandingan merupakan majas yang membandingkan antara satu hal
dengan hal lainnya yang memiliki kemiripan. Majas perbandingan terdiri atas: (1)
Alegori yaitu majas perbandingan dengan alam secara utuh; (2) Alusio yaitu majas
dengan ungkapan, peribahasa, atau sampiran pantun; (3) Antonomasia yaitu majas
dengan sebutan untuk menggantikan nama orang; (4) Disfemisme yaitu majas yang
menonjolkan kekurangan tokoh; (5) Epitet yaitu majas sebagai acuan untuk
menunjukkan sifat khusus seseorang atau hal lain; (6) Eponim yaitu majas dengan
nama yang menunjukkan ciri-ciri tertentu; (7) Eufemisme yaitu majas yang
menghaluskan hati; (8) Hipalase/Enalase yaitu majas yang keterangan seolah-olah
ditempatkan pada tempat yang salah; (9) Hiperbola yaitu majas yang melebihi sifat
dan kenyataan yang sesungguhnya; (10) Litotes yaitu majas dengan cara
merendahkan diri; (11) Metafora yaitu majas yang membandingkan suatu benda
dengan benda lainnya.
Majas (12) Metonimia yaitu majas yang menggunakan suatu nama tetapi yang
dimaksud benda lain; (13) Onomatope yaitu majas dengan menggunakan tiruan
bunyi; (14) Paronomasia yaitu majas yang penggunaan kata sama tetapi menampilkan
makna yang berbeda; (15) Periphrasis yaitu majas yang suatu kata diperluas dengan
ungkapan; (16) Personifikasi yaitu majas yang penggunaan benda mati dianggap
benda hidup; (17) Simbolik yaitu majas yang membandingkan dengan simbol; (18)
umpama; (19) Sinekdoke yaitu majas yang sebagian untuk keseluruhan dan
sebaliknya. Sinekdoke dibagi menjadi dua jenis antara lain: (a) Pars Prototo yaitu
majas yang menggunakan kata bermakna sebagian untuk menyatakan makna
seluruhnya, (b) Totem Proparte yaitu majas yang menggunakan kata bermakna
keseluruhan untuk menyatakan makna sebagian; (20) Sinestesia yaitu majas yang
menggunakan beberapa indera; (21) Tropen yaitu istilah lain dengan makna sejajar.
(3) Majas Pertentangan
Majas pertentangan merupakan majas yang mengungkapkan hal yang bersifat
bertentangan. Majas pertentangan terdiri atas: (1) Anakronisme yaitu majas yang
tidak sesuai dengan peristiwa; (2) Antithesis yaitu majas yang berlawanan; (3)
Kontradiksio yaitu majas yang berlawanan secara situasional; (4) Oksimoro yaitu
majas yang berlawanan dalam kelompok kata yang sama; (5) Okupasi yaitu majas
yang bertentangan dengan penjelasan; (6) Paradoks yaitu majas yang bertentangan
tetapi benar; (7) Prolepsis/Antipasi yaitu majas yang kata-kata seolah-olah
mendahului peristiwannya.
(4) Majas Sindiran
Majas sindiran merupakan majas yang mengandung sindiran. Majas sindiran
terdiri atas: (1) Anifrasis yaitu majas yang menyatakan sindiran dengan makna
berlawanan; (2) Innuendo yaitu majas yang mengecilkan keadaan yang
kata yaitu majas yang menyatakan sindiran disertai humor dengan cara merubah
urutan kata; (5) Sarkasme yaitu majas yang menyatakan sindiran kasar; (6) Sinisme
yaitu majas yang menyatakan sindiran agak kasar.
b) Simbol, dan Lambang
Simbol (symballein, Yunani) berarti memasukkan, mencampurkan,
membandingkan secara bersama-sama, sehingga terjadi analogi antara benda dengan
objeknya (Ratna, 2013:171). Artinya, simbol merupakan perbandingan secara
langsung mengenai suatu hal dengan hal lain yang memiliki kemiripan analogi.
Menurut Wellek dan Warren (2014:219) kata simbol sebenarnya ada dua unsur kerja
bahasa Yunani yang berarti mencampurkan, membandingkan, dan membuat analogi
antara tanda dan objek yang diacu. Menurut teori sastra, simbol sebaliknya dipakai
dalam pengertian sebagai berikut: sebagai objek yang mengacu pada objek lain, tetapi
juga menuntut perhatian pada dirinya sendiri sebagai suatu perwujudan. Persoalan
yang dapat dipecahkan adalah memahami sekaligus menyimpulkan bahwa simbol
sangat luas dan beragam, dimanfaatkan secara berbeda-beda dalam kehidupan
manusia. Sistem simbol mempermudah keterpahaman antara-manusia, atau
sebaliknya mempersulitnya sebab proses pemahaman justru diperpanjang, dimediasi,
sehingga pemahaman menjadi tidak langsung, bahkan tersembunyi. Fungsi-fungsi
simbol, diantaranya: a) simbol, khususnya simbol bahasa memungkinkan untuk
memahami lebih banyak, b) simbol meningkatkan kemampuan manusia untuk
menyelesaikan masalah, d) memungkinkan untuk mendahului ruang dan waktu,
bahkan diri sendiri, e) simbol memungkinkan untuk membayangkan realitas
metafisika, seperti neraka dan surga (Ratna, 2013:173). Lambang adalah suatu
maksud melalui visualisasi (Ratna, 2011:177). Lambang secara langsung berkaitan
dengan wujud bendanya, seperti Garuda Pancasila sebagai lambang Negara
Indonesia, tunas kelapa sebagai lambang Pramuka, salib untuk umat Nasrani,
timbangan untuk pengadilan, dan sebagainya.
4) Proses Kreatif Pengarang dan Karakteristik Pengarang.
Proses kreatif pengarang dalam meuliskan sebuah karya memiliki pengaruh besar
terhadap pembentukan karakter suatu karya. Untuk itu, setiap karya sastra yang
memiliki ciri khas tersendiri dalam kaitannya dengan bahasa pengarang. Oleh karena
itu, bahasa pengarang menunjukkan pemikiran, sikap dan karakter pengarang.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Keraf (2010:104) kata-kata bukan saja
menunjukkan barang-barang atau sikap orang, tetapi merefleksikan juga tingkah laku
sosial dari orang-orang yang mempergunakannya.
Bahasa yang digunakan pengarang biasanya dipengaruhi oleh faktor sosiokultural
dan sosiohistoris pengarang. Karya sastra lahir dalam konteks sejarah dan
sosial-budaya suatu bangsa yang di dalamnya sastrawan penulisnya merupakan salah
seorang anggota masyarakat bangsanya. Oleh karena itu, sastrawan tidak terhindar
masyarakatnya. Semuanya itu tercermin atau terpancar dalam karya sastranya
(Pradopo, 2013:107-108). Faktor sejarah dan sosial-budaya (sosiokultural)
masyarakat dan pengarang menjadi faktor penting terciptanya suatu karya yang
melatarbelakangi kekhasan pengarang dalam hal pengungkapan ide-idenya ke dalam
karyanya. Banyak kritikus melakukan penelitian melalui biografi, sejarah sastra,
periode tertentu, ideologi masyarakat tertentu, dan sebagainya. Oleh karena terdapat
adagium Stilus virum arguit yaitu gaya mencerminkan orangnya. Maka lewat
pemilihan dan penggunaan gayanya, dapatlah didefinisikan tingkat pendidikannya,
kelompok sosial, maupun lingkungan sosial budaya pengarang (Sutejo, 2010:10).
Senada dengan beberapa asumsi di atas, Menurut Ratna (2013:96) paling sedikit
ada lima faktor utama proses kreatif, yaitu: a) faktor psikologis, b) didaktis, c)
sosiologis, d) ekonomis, dan e) estetis. Faktor yang berhubungan dengan
sosiokultural dan ideologi pengarang ditunjukkan oleh faktor sosiologis dan faktor
ekonomis. Faktor tersebut dipengaruhi oleh globalisasi masyarakat kontemporer yang
mempengaruhi kreatifitas pengarang dalam membuat karya sastra. Selain itu faktor
yang mempengaruhi karakteristik pengarang mengacu pada faktor psikologis,
didaktis dan estetis. Faktor psikologis mengenai daya pikir pengarang dalam
mengungkapkan gagasannya sehingga melahirkan karya yang berkualitas. Faktor
didaktis sebagaimana karya sastra dapat digunakan untuk mendidik, mengajar dan
mempengaruhi. Selain itu faktor estetis merupakan cara dalam membungkus ide
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Semi (1993:49) bahwa gaya bahasa yang
digunakan oleh sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena
selain dekat dengan watak dan jiwa penyair; juga membuat bahasa yang
digunakannya berbeda dalam makna dan kemesraannya. Jadi, gaya lebih merupakan
pembawaan diri. Melalui bahasa, pengarang mampu menyentuh dan mempengaruhi
perasaan pembaca untuk terhanyut dalam alur cerita. Semi (1993:49) menambahkan
bahwa karena gaya bahasa itu berasal dari dalam batin seorang pengarang; maka gaya
bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam karyanya secara tidak
langsung menggambarkan sikap atau karakteristik pengarang tersebut.
Senada dengan ungkapan tersebut, Keraf (2010:113) mengatakan bahwa gaya
bahasa memungkinkan dapat menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang
mempergunakan bahasa tersebut Hal tersebut menentukan karakteristik seorang
pengarang yang memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan gagasan atau
idenya dalam karya sastra. Hal tersebut untuk dapat membedakan dan memberikan
keanekaragaman karya-karya antara masing-masing pengarang. Kekhasan pengarang
diungkapkan melalui gaya berbahasa, misalnya sebagai intelektual, Alisjahbana
cenderung menampilkan gaya keilmuan. Sebagai dramawan Putu Wijaya cenderung
menampilkan gaya dialogis, Mangunwijaya religius, selain itu Pramoedya cenderung
bergaya Marxis. Sebaliknya, karya-karya ilmiah Umar Kayam dan Sapardi Djoko
Damono cenderung puitis. Novel Ayu Utami cenderung menampilkan gaya jurnalis
3. Pendidikan Karakter
a. Hakekat Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntutan kepada peserta didik untuk
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta
rasa dan karsa (Samani dan Hariyanto, 2012:45). Menurut Lickona (2013:72),
karakter yang sesuai dengan pendidikan nilai: karakter terdiri atas nilai-nilai operatif,
nilai-nilai yang berfungsi dalam praktek. Selain itu, menurut Kesuma dkk (2013:5-6)
pendidikan karakter memiliki pengertian: (1) pendidikan karakter merupakan
pendidikan yang terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata
pelajaran; (2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara
utuh; (3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk
sekolah (lembaga). Demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah
proses pemberian tuntutan kepada peserta didik di sekolah dengan cara yang
terintegrasi untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter budi pekrti dalam
dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa yang dapat diandalkan dan diggunakan
untuk merespons berbagai situasi dengan cara yang bermoral.
Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi
pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa
yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan
untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai
sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil.
Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran
atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baikterhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil. Penanaman nilai kepada warga sekolah
maknanya bahwa pendidikan karakter akan efektif jika tidak hanya mahasiswa, tetapi
juga para guru, kepala sekolah dan tenagaa non-pendidik di sekolah semua harus
terlibat dalam pendidikan karakter
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan
dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan
akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang (Muslich, 2011:81).
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi,
serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam
perilaku sehari-hari.
b. Nilai Pendidikan Karakter
Pada pendidikan karakter, dibutuhkan karakter-karakter yang patut untuk
ciptaan-Nya; kemandirian dan tanggung jawab; kejujuran/amanah; hormat dan
santun, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerja sama; percaya diri
dan pekerja keras; kepemimpinan dan keadilan; baik dan rendah hati; dan toleransi,
kedamaian, dan kesatuan (Muslich, 2011:79-80).
Menurut Kesuma dkk (2013:11-12), dalam referensi Islam, nilai yang sangat
terkenal dan melekat yang mencerminkan akhlak/perilaku yang luar biasa tercermin
pada nabi Muhammad SAW, yaitu: (1) Sidik yang berarti benar, mencerminkan
bahwa Rasulullah berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar dan
berjuang menegakkan kebenaran; (2) Amanah yang berarti jujur atau terpercaya,
mencerminkan bahwa apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan Rasulullah dapat
dipercaya oleh siapa pun baik oleh kaum muslim maupun nonmuslim; (3) Fatonah
yang berarti cerdas/pandai, arif, luas wawasan, terampil, dan professional. Artinya,
perilaku Rasulullah dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya dalam
memecahkan masalah; (4) Tablig yang bermakna komunikatif mencerminkan bahwa
siap pun yang menjadi lawan bicara Rasulullah, maka orang tersebut akan mudah
memahami apa yang dibicarakan/dimaksudkan Rasulullah. Keempat sifat tersebut
merupakan esensi, namun masih banyak karakter Rasulullah, seperti kesabaran,
ketangguhan dan lain sebagainya.
Kesuma dkk (2013:12) membedakan nilai-nilai pendidikan karakter menjadi tiga
yaitu (1) Nilai yang terkait dengan diri sendiri, terdiri atas: jujur, kerja keras, tegas,
tanggung jwaba, disiplin, dan lain sebagainya; (2) nilai yang terkait dengan
orang/makhluk hidup lain, terdiri atas: senang membantu, toleransi, murah senyum,
pemurah, kooperatif, komunikasi, penyeru kebaikan, pencegah kemungkaran, peduli,
adil, dan lain sebagainya; (3) nilai yang terkait dengan Ketuhanan, antara lain: ikhlas,
ikhsan, iman, takwa, dan sebagainya.
Selain itu Lickona (2013:74) mengungkapkan bahwa penilaian moral dapar
memunculkan perasaan moral, tetapi perasaan moral juga bisa memengaaruhi
pemikiran moral. Penilaian moral dan perasaan moral jelas berpengaruh terhadap
perilaku moral, khususnya ketika keduanya hadir bersama. Hal tersebut digambarkan
[image:34.595.119.503.243.635.2]pada bagan berikut.
Gambar 1. Bagan Komponen-Komponen Karakter yang Baik Pengetahuan moral:
1. Kesadaran moral 2. Mengetahui nilai moral 3. Pengambil perspektif 4. Penalaran moral 5. Pengambilan keputusan 6. Pengetahuan diri
Perasaan moral: 1. Hati nurani 2. Penghargaan diri 3. Empati
4. Menyukai kebaikan 5. Kontrol diri
6. Kerendahan hati
Menurut Lickona, pengetahuan moral meliputi: (1) kesadaran moral yaitu
kemampuan untuk menangkap isu moral secara cerdas sesuai dengan situasi dan
kondisi dari suatu objek dan berfikir cermat mengenai langkah yang dilakukan
selanjutnya; (2) Mengetahui nilai moral yaitu mempelajari dan memahami nilai-nilai
moral beserta aplikasinya sehingga terbentuklah pengetahuan mengenai nilai moral;
(3) Pengambil perspektif yaitu memahami pandangan orang lain agar dalam
pengambilan keputusan mampu bertanggungjawab dan menghargai orang lain; (4)
Penalaran moral yaitu kemampuan peserta didik untuk menganalisis suatu situasi kan
kondisi sesuai dengan kemampuan moral bernalarnya; (5) Pengambilan keputusan
yaitu sikap moral dalam mengambil keputusan dengan mempertimbangkan
baik-buruk serta konsekuensinya; (6) Pengetahuan diri yaitu kesadaran untuk mengetahui
kelemahan dan kelebihan diri secara universal sebagai upaya untuk melakukan
perubahan kearah yang lebih positif.
Perasaan moral menurut Lickona (2013:80-85) meliputi: (1) Hati nurani memiliki
dua sisi: sisi kognitif dan sisi emosional. Sisi kognitif menuntun dalam melakukan
kebenaran, selain itu sisi emosional menjadikan seseorang merasa berkewajiban
untuk melakukan kebenaran; (2) Harga diri, jika seseorang memiliki harga diri yang
sehat maka akan dapat menghargai diri sendiri. Jika seseorang mampu menghargai
diri sendiri maka ia mampu menghormati diri sendiri dan tidak membirakan orang
lain merusak tubuh dan pikirannya, maka ia mampu untuk mandiri dan bertahan dari
merasakan, keadaan yang tengah dialami oleh orang lain. Empati merupakan sisi
emosional dari pengambilan perspektif. Rasa empati timbul ketika orang lain
mengalami hal buruk, sehingga ada dorongan untuk menolong atau berusaha
meringankan bebannya; (4) Cinta kebaikan yaitu ketertarikan kepada hal- hal yang
baik dan berupaya untuk melakukannya; (5) Kontrol diri merupakan sikap menahan
emosi diri dari hal-hal yang bersifat buruk dan merusak. Emosi dapat merusak akal,
untuk itu kontrol diri merupakan pekerti moral yang penting; (6) Rendah hati yaitu
sikap keterbukaan murni terhadap kebenaran sekaligus kehendak untuk berbuat
sesuatu demi memperbaiki kegagalan. Rendah hati membantu untuk mengatasi
kesombongan, prasangka buruk dan merendahkan orang lain. Sikap sombong dan
merendahkan orang lain berpotensi menimbulkan rasa iri, dengki, dendam, dan dapat
menyulut pertikaian.
Selain itu tindakan moral menurut Lickona (2013:86-89) yaitu: (1) Kompetensi
moral yaitu kemampuan mengubah pertimbangan dan perasaan moral ke dalam
tindakan moral yang efektif. Seseorang dapat memecahkan suatu masalah dengan
baik dan tepat bila memiliki kompetensi moral yang baik; (2) Kehendak, dalam hal
ini kehendak sangat dibutuhkan untuk menjaga emosi agar terkendali oleh akal.
Kehendak juga dibutuhkan untuk dapat melihat dan memikirkan suatu keadaan
melalui seluruh dimensi moral; (3) Kebiasaan, sikap moral yang baik dibangun
Selain itu, terdapat delapan belas nilai pendidikan karakter versi Kemendiknas
sebagaimana tertuang dalam buku Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter
Bangsa yang disusun Kemendiknas melalui Badan Penelitian dan Pengembangan
Pusat Kurikulum (Kementrian Pendidikan Nasional, dalam Suyadi, 2013:8-9) yaitu:
(1) Religius, yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan
ajaran agama (aliran kepercayaan) yang dianut, teramasuk dalam hal ini adalah sikap
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lain, serta hidup
rukun dan berdampingan. (2) Jujur, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan
kesatuan antara pengetahuan, perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar,
mengatakan yang benar, dan melakukan yang benar) sehingga menjadikan orang
yang bersangkutan sebagai pribadi yang dapat dipercaya.
(3) Toleransi, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap
perbedaan agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan
hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat hidup
tenang di tengah perbedaan tersebut. (4) Disiplin, yakni kebiasaan dan tindakan yang
konsisten terhadap segala bentuk peraturan atau tata tertib yang berlaku. (5) Kerja
keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh dalam
menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan dan lain-lain dengan
sebaik-baiknya. (6) Kreatif, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam
berbagai segi dalam memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara
(7) Mandiri, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang
lain dalam menyelesaikan tugas-tugas maupun persoalan. (8) Demokratis, yakni sikap
dan cara berpikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban secara adil dan
merata antara dirinya dengan orang lain. (9) Rasa ingin tahu, yakni cara berpikir,
sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran dan keingintahuan terhadap segala
hal yang dilihat, didengar, dan dipelajari secara lebih mendalam. (10) Semangat
kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. (11) Cinta
tanah air, yakin sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia, peduli dan
penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonimi, politik, dan sebagainya,
sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat merugikan bangsa
sendiri.
(12) Menghargai prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan
mengakui kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih
tinggi. (13) Komuniktif, senang bersahabat auat proaktif, yakni sikap dan tindakan
terbuka terhadap orang lain melalui komunikasi yang santun sehingga tercipta kerja
sama secara kolaboratif dengan baik. (14) Cinta damai, yakni sikap dan perilaku yang
mencerminkan suasana damai, aman, tenang dan nyaman atas kehadiran dirinya
dalam komunitas atau masyarakat tertentu. (15) Gemar membaca, yakni kebiasaan
berbagai informsdi, baik buku, jurnal, majalah, Koran, dan sebagainya, sehingga
menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
(16) Peduli lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga
dan melestarikasn lingkungan sekitar. (17) Peduli sosial, yakni sikap dan perbuatan
yang mencerminkan kepedulian terhadap orang lain maupun masyarakat yang
membutuhkannya. (18) Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya,yang berkaitan dengan diri sendiri, sosial,
masyarakat, bangsa, dan Negara maupun agama.
Beberapa pendapat tersebut, dapat disintesiskan bahwa pendidikan karakter
dibagi menjadi tiga aspek yaitu (1) nilai pendidikan karakter terhadap Tuhan meliputi
ikhlas, ikhsan, iman dan takwa. (2) Nilai pendidikan karakter terhadap diri sendiri
meliputi cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati,
disiplin, kerja keras,kreatif, mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar
membaca,tegas, tegar, sabar, visioner, pemberani, dan ramah. Nilai pendidikan
karakter terhadap orang lain terdiri atas jujur, komunikatif, berhati nurani, empati,
toleransi, menghargai prestasi dan pemurah. (3) Nilai pendidikan karakter terhadap
masyarakat meliputi demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab,
kooperatif dan adil. (4) Nilai pendidikan karakter terhadap bangsa dan Negara
meliputi nasionalisme, cinta tanah air. (5) Nilai pendidikan karakter terhadap
C. Kerangka Berpikir
Pengarang mendayagunakan potensi bahasanya sehingga pemikiran dan ide
pengarang dapat disajikan dengan bahasa-bahasa yang indah agar mengandung nilai
estetika tinggi dan memiliki daya tarik bagi pembaca. Oleh karena itu, bahasa sastra
memiliki makna yang dalam dan tersembunyi yang bersifat pragmatis. Maka, kajian
mengenai estetika bahasa dalam karya sastra penting untuk menafsirkan maksud dan
pesan dari pengarang.
Pengkajian mengenai estetika bahasa yaitu dengan menggunakan pendekatan
stilistika. Pendekataan stilistika dalam penelitian ini menelaah mengenai keindahan
bahasa sastra yang digunakan pengarang dalam novel Bilangan Fu yang memiliki
nilai estetika tinggi dan sarat akan nilai edukatif. Oleh karena, kehandalan untuk
mendayagunakan potensi bahasa pengarang dalam membungkus gagasan dan
pemikirannya sangat tinggi, maka novel tersebut perlu dikaji secara mendalam untuk
menafsirkan makna, pemikiran dan gagasan pengarang. Untuk itu, judul penelitian ini
Bilangan Fu
Pada penelitian ini, untuk menafsirkan makna, pemikiran, dan gagasan
pengarang, peneliti memfokuskan pada unsur pembentuk teks sastra yang
mengandung estetika bahasa pada novel Bilangan Fu yaitu diksi, kata konkret,
proses kreatif pengarang dalam menciptakan karya tersebut sehingga secara langsung
maupun tidak langsung dapat diketahui karakteristik pengarang. Proses kreatif
pengarang mengacu pada latar sosial budaya pengarang dan ideologi pengarang.
Selain itu, peneliti mengungkap nilai-nilai pendidikan karakter yang sesuai dengan
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Tahap pertama, peneliti mengkaji aspek stilistika yaitu diksi, kata konkret,
citraan, bahasa figuratif dan nilai pendidikan karakter dengan cara (1) memahami
pemikiran pengarang dalam novel Bilangan Fu, (2) mengumpulkan data dan
mengelompokkan data sesuai dengan aspek kajian stilistika yang sudah ditentukan,
(3) mendeskripsikan dan memaparkan data sesuai dengan aspek stilistika yang sudah
ditentukan. Tahap kedua, mengkaji mengenai proses kreatif dan menentukan
karakteristik pengarang. Tahap ketiga, mengungkapkan nilai pendidikan karakter
Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir
Novel Bilangan Fu Karya Ayu Utami
Nilai Pendidikan Karakter Kajian Stilistika dalam
Karya Sastra
1. Diksi dan Kata Konkret 2. Citraan
Bahasa Figuratif Proses Kreatif dan Karakteristik Pengarang
1. Stilistika pada novel Bilangan Fu
2. Nilai pendidikan karakter pada novel Bilangan Fu
1. Ikhlas, ikhsan, iman dan takwa terhadap Tuhan.
Cerdas, arif, terampil, professional, harga diri, kontrol diri, rendah hati, disiplin, kerja keras,kreatif,
mandiri, ingin tahu, berkemauan keras, gemar membaca, tegas, tegar, sabar, visioner, dan pemberani terhadap diri sendiri. Jujur, komunikatif, berhati nurani, empati, toleransi, menghargai prestasi, ramah dan pemurah terhadap orang lain.
Demokratis, cinta damai, peduli sosial, bertanggungjawab, kooperatif, dan adil terhadap masyarakat.