• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DAKWAH QUR’ANI TERHADAP NON MUSLIM (Kajian Substantif Interaksi Al-Qur’an Dengan Ahl al-Kitab )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "KONSEP DAKWAH QUR’ANI TERHADAP NON MUSLIM (Kajian Substantif Interaksi Al-Qur’an Dengan Ahl al-Kitab )"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP DAKWAH QUR’ANI TERHADAP NON MUSLIM (Kajian Substantif Interaksi Al-Qur’an Dengan Ahl al-Kitab )

Oleh : Zakaria

(Dosen Fakultas Agama Islam - Universitas Serambi Mekkah) Email: [email protected]

ABSTRAK

Ahl al-Kitab adalah terminologi yang baku di dalam al-Qur’an dan al-Hadits yang mengacu kepada keberagamaan pemeluk agama samawi sebelum Nabi Muhammad SAW datang membawa risalah Islam dan perangkat syariahnya. Dalam al-Qur’an sendiri ahl al-Kitab sering disebutkan dengan berbagai kondisi problematika dan dinamika, baik sebagai komponen masyarakat dalam interaksi sosial, maupun dalam praktek keyakinan dan hal-hal lainnya. Dalam lapangan dakwah, ahl al- Kitab merupakan objek yang perlu diluruskan dalam beragama menurut konsep al- Qur’an. sebagaimana disebutkan dalam banyak redaksi al-Qur’an bahwa terjadi penyelewengan keagamaan, baik dari segi akidah, ritual, syariat dan lainnya. Term ahl al-Kitab untuk zaman sekarang tidak lagi populer, melainkan hanya dalam diskusi fiqh dan hal-hal yang berkaitan dengan interaksi lintas sosial yang mengacu pada aspek historis. Al-Qur’an dalam paparan mengenai ahl al-Kitab mempunyai pendekatan, metode dan substansi dakwah sendiri. Meskipun ahl al-Kitab menjelma menjadi agama Kristen atau agama Yahudi dalam perkembangannya, namun untuk mengembalikan mereka ke dalam ajaran murni, maka dakwah Islam seyogyianya memperhatikan dan mengikuti pola dakwah sebagaimana tersirat dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan tidak menutup mata bahwa perkembangan zaman mengikis dan mengubah pola pikir, peradaban dan pemahaman dalam beragama di kalangan manusia. Demikian juga dalam konteks berdakwah, perlu pada penyegaran konsep yang akomodatif pada fakta-fakta aktual terkait politik, sosial dan kemasyarakatan terhadap objek dakwah dengan penguasaan pengetahuan lintas agama, sejarah serta sains dan teknologi.

Kata Kunci: Ahl al-Kitab, Dakwah, al-Qur’an.

(2)

A. PENDAHULUAN

Pada awal berkembangnya Islam, banyak ahl al-Kitab yang mengimani dan mengakui kerasulan Nabi Muhammad SAW, bahkan mereka masuk Islam begitu mengetahui kebenaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Dalam sejarah perjalanan Islam, tidak sedikit dari sahabat dan orang-orang yang berada pada lingkaran kenabian adalah orang-orang yang berasal dari ahl al-Kitab.

Di dalam al-Qur’an sendiri, ahl al-Kitab juga mendapatkan porsi untuk dibahas, baik itu terkait keimanan, prilaku, karakteristik dan kehidupan sosial mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ahl al-Kitab tetap mendapatkan tempat yang proporsional dari segi historisitas dan substansial al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, Allah SWT membedakan redaksi orang yang berinteraksi negatif dengan Nabi Muhammad dengan perbedaan penyebutan. Sebutan orang kafir, munafik, fasiq, zhalim dan sebagainya, tapi khusus bagi mereka yang mengikuti agama samawi dan memiliki silsilah keimanan kepada Allah SWT dengan sebutan ahl al-Kitab dan berbagai varian penyebutannya yang mengindikasikan keimanan mereka tersebut.

Interaksi sosial antara ahl al-Kitab dengan Islam, otomatis akan melahirkan konsekuensi hukum dalam Islam. Pembahasan terutama ahl al-Kitab dalam Islam itu terkait dengan warisan, pernikahan dan politik. Hal tersebut menyebabkan pakar fiqh mendudukkan posisi ahl al-Kitab berbeda dengan orang kafir dan musyrik.

Islam sebagai agama dakwah, tentu saja meyakini kebenaran Islam harus disebarkan dengan mengacu pada kebenaran ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Islam adalah penyempurna agama sebelumnya. Namun pendekatan dakwah Islam terhadap ahl al-Kitab tidaklah frontal sebagaimana Islam diperkenalkan kepada orang-orang musyrik dan orang kafir. Jika ahl al-Kitab telah memiliki pondasi keimanan kepada Allah SWT dan berbagai variasi syariat yang mereka jalankan. Biasanya interaksi dialogis terjadi antara nabi Muhammad SAW dan mereka terkait berbagai hal, baik itu kesejarahan, keimanan, kebenaran dan hal-hal yang memiliki keterkaitan antara Islam dan ahl al-Kitab. Namun orang musyrik

(3)

dan orang kafir telah tercederai keimanan mereka karena mengakui ketuhanan benda lain selain Allah dan mengingkari keberimanan kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW dan yang berkenaan dengan risalah keislaman.

Ahl al-Kitab sebagaimana sebuah komponen masyarakat agamis, tidaklah homogen dalam keimanan, sosial kemasyarakatan. Sebagian mereka adalah orang- orang yang berkomitmen mencari kebenaran tentang agama mereka, sehingga mereka meneliti profil Nabi Muhammad SAW dan Islam sebagai agama seperti yang disebutkan dalam kitab mereka. Namun sebagian mereka tidak siap dengan kondisi kedatangan Nabi Muhammad SAW meskipun mengetahui kebenaran risalah yang dibawanya. Sebagian dari ahl al-Kitab adalah mereka yang merasa lebih senior dan lebih superioritas dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW sehingga mereka melakukan penentangan terhadap Nabi Muhammad, baik secara dialog maupun secara politik kemasyarakatan.

Dalam hal ini, al-Qur’an secara spesifik mengingatkan orang-orang beriman untuk meladeni ahl al-Kitab agar memperhatikan beberapa hal dalam diskusi dakwah, termasuk etika, substansi dan histori-sosial mereka sebagai pemeluk agama yang lebih awal daripada Islam. Hal ini berbeda dengan bagaimana ketika al-Qur’an menjelaskan beberapa prilaku ahl al-Kitab dalam berinteraksi dengan keimanan, sosial kemasyarakatan. Hal inilah yang menjadi sinyal bagi umat Islam untuk berhati-hati terhadap mereka dalam berinteraksi sosial.

Ahl al-Kitab sebagai sebuah istilah tidak lagi eksis dalam interaksi sosial.

Perkembangan zaman selanjutnya mereka menciptakan identitas dan komunitas sendiri. Ahl al-Kitab yang mempercayai kebenaran taurat otomatis akan menjadi pengikut Yahudi dan mereka yang mengimani Injil menjadi penganut Kristen.

Seiring perjalanan waktu, mereka terpecah kembali menjadi komunitas keagamaan yang beragam dari masa ke masa sampai sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, ahl al-Kitab hanya menjadi istilah yang mengerucut dan dibahas secara khusus dalam hal mu’amalah fiqh. Namun, secara dakwah mereka adalah partner dalam hal menyamakan persepsi keimanan,

(4)

kebenaran ajaran ilahiyah dan sebagai objek dakwah agar mereka kembali kepada ajaran agama mereka yang murni yang telah disempurnakan oleh Allah SWT yang semua itu ada dalam Islam.

B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Ahl al-Kitab

a. Ahl al-Kitab secara terminologi

Kata ahl al-Kitab secara etimologi merupakan tarkib idhafi antara dua kata, yaitu ahl dan al-kitab. Kata ahl terdiri dari huruf alif, ha’ dan lam yang secara bahasa mengandung pengertian ramah, senang, atau suka (Ahmad Warson Munawwir, 1984: 49)

Kata ahl juga berarti orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu. Selain itu, kata ini sering digunakan untuk menunjukan suatu hubungan yang sangat dekat seperti nasab, agama, profesi, etnis dan komunitas (Raghib al- Ashfahani, 2009: 96)

Sedangkan Term al-Kitab juga diartikan sebagai tulisan, buku, wahyu tuhan yang dibukukan (Departemen Pendidikan Nasional RI, 200: 781). Termasuk firman Allah yang diturunkan pada Rasul-Nya disebut al-Kitab karena kumpulan dari wahyu tuhan yang telah dibukukan (Ghalib: 1998:19).

Dengan demikian ahl al-Kitab menurut bahasa mengacu pada komunitas atau kelompok pemeluk agama yang memilki kitab suci yang diturunkan Allah pada Rasul-Nya. Tetapi tentang siapa saja pemeluk agama yang disebut ahl al-Kitab masih menjadi perdebatan oleh para ulama.

2. Penamaan Lain Ahl al-Kitab

Ahl al-Kitab secara umum juga disebutkan dengan penamaan lain.

penyebutan ini terkait dengan pemilahan antara mereka yang mengimani kitab taurat atau kitab injil. Juga terdapat penyebutan lain sebagai penunjukan identitas

(5)

rasial, kesamaan karakter, komunitas dan lain-lain. Diantara penyebutan mereka adalah sebagai berikut:

a. Bani Isra’il

Kata Bani dikaitkan dengan Isra’il sebanyak 41 kali dan dengan keturunan Adam 6 kali di dalam al-Qur’an. Dua sisanya berbicara tentang putra saudara laki- laki dan perempuan. Dari sini dapat dilihat bahwa term Bani Isra’il mempunyai hubungan darah. Kemudian kata Isra’il, ditemukan sebanyak 43 kali dalam Al- Qur’an (Abdul Baqi, 1942: 95-97) . dua kali menunjuk pada Nabi Ya’kub selebihnya dikaitkan dengan keturunannya.

Dengan demikian, pengungakapan term Bani Isra’il dikaitkan dengan sikap dan perilaku mereka yang melakukan pengrusakan di muka bumi. (Qs. al- Isra’ (17): 4) Mereka pun mendapat laknat akibat dari pelanggaran dan keingkarannya melalui para rasul. Dari sinilah term ahl al-Kitab dengan Bani Isra’il memiliki kesamaan, mesikipun tidak menunjuk secara langsung tetapi memiliki makna dan maksud yang sama.

b. Al-ladzina hadu

Term Al-ladzina hadu berarti orang-orang yang masuk agama Yahudi atau beragama Yahudi (At-Thabari, 1953, Jilid 2: 102). Term ini disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 10 kali dengan bentuk yang bervariasi. Sebagian menunjukan ancaman terhadap mereka, dan sebagian lainnya menujukan pujian serta bernada positif.

c. Al-Ladzina Atayna hum al-Kitab

Term Al-Ladzina Atayna hum al-Kitab yang berarti orang-orang yang kami beri kitab. Term ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 9 kali dalam Al- Qur’an. Secara umum, penggunaan kata Al-Ladzina Atayna hum al-Kitab menunjukkan bahwa mereka yang diberikan al-Kitab, memahami dengan sebaik- baiknya petunjuk yang diberikan Allah.

(6)

Dalam memahami kata Al-Ladzina Atayna hum al-Kitab mayoritas mufasir menyebut sebagai Yahudi dan Nasrani. Sehingga yang dimaksud Yahudi dan Nasrani di sini adalah mereka yang tidak mengikuti hawa nafsu, yaitu mereka yang mengikuti kebenaran sebagaiman yang dijelaskan dalam Taurat dan Injil.

d. Al-Ladzina Utu al-Kitab

Kalimat Al-Ladzina Utu al-Kitab (orang-orang yang diberi kitab) Term ini dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 21 kali (Abdul Baqi, 1942: 10-11). Secara umum penggunaan term Al-Ladzina Utu al-Kitab lebih bervariasi meskipun khithab-nya tetap kepada komunitas dua pemeluk agama Yahudi dan Nasrani.

Dalam hal ini Al-Qur’an menggunakan Al-Ladzina Utu al-Kitab untuk menggambarkan sikap mereka yang telah diberikan kitab tetapi berpecah belah setelah datangnya Nabi Muhammad SAW.

e. Hudan

Kata hudan juga mempunyai akar kata yang sama dengan hadu yang secara literal berarti orang yang bertaubat. Kata Hud dalam Al- Qur’an disebutkan sebanyak 10 kali, 7 diantaranya merujuk pada seorang Nabi dan Rasul Allah yaitu Nabi Hud. Sedangkan tiga ayat lainnya merujuk pada kaum Yahudi (Qs. Al- Baqarah (2) : 111, 135, 140).

f. Al-Yahud

Kata al-Yahud dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 9 kali (Abdul Baqi, 1942: 772). Semuanya diungkapkan dengan nada sumbang dan menujukan kecaman pada mereka. Term al-Yahud antara lain digunakan untuk membantah pernyataan yang menganggap Nabi Ibrahim adalah Yahudi dan Nasrani serta memperoleh keselamatan. Selain itu, untuk menyebut diri mereka adalah kelompok yang paling benar dan termasuk kekasih Allah.

Sejumlah perilaku buruk yang melekat pada kaum Yahudi antara lain berprasangka buruk terhadap sesamanya, bahkan juga berani berprasangka buruk kepada Allah (Qs. Al-Maidah (5): 64). Di samping itu, mereka juga dikecam

(7)

karena aqidah yang rusak oleh perbuatan syirik serta selalu meghasut umat Islam agar mengikuti cara hidup mereka.

g. Al-Nasara

Kata al-Nasara adalah bentuk jamak dari kata nashrani yang secara bahasa berarti menolong (Abdul Baqi, 1942: 516). Term al-Nasara dalam Al- Qur’an menujuk pada pemeluk agama Nasrani (Kristen), yakni agama yang diturunkan Allah kepada Bani Isra’il melalui Nabi Isa.

al-Nasara disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 15 kali. Sama halnya dengan pengungkapan term al-ladzina hadu dan al-Yahud. Term al-Nasara juga banyak dikemukakan Al-Qur’an dengan peringatan dan kecaman terhadap prilaku menyimpang mereka.

h. Ahl al-Injil

Kata Injil dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 14 kali, semuanya menunjuk kepada kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Isa (Abdul Baqi, 1942: 688). Pada umumnya term al-Injil disebutkan bersama dengan term Taurat, kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa. Dari 14 term ahl al- Injil dalam Al-Qur’an, hanya satu kali disebutkan secara berdiri sendiri (Qs. al- Maidah (5) :47). Sedangkan term ahl al- injil yang menunjuk pada orang-orang Nasrani hanya ditemukan satu kali dalam Al-Qur’an.

Perbedaan penyebutan tersebut menunjukkan bahwa substansi al-Qur’an terhadap sejarah menjadi interaksi dan komunikasi lanjutan dari kitab sebelumnya yang pernah diturunkan, sekaligus menepis bahwa al-Qur’an ini merupakan karangan Nabi Muhammad SAW, karena keluasan cakupan al-Qur’an yang dalam hal ini pembahasan terhadap ahl al-Kitab dengan berbagai variasi penyebutannya.

3. Jumlah Penyebutan Ahl al-Kitab dalam Al-Qur’an

Term ahl al-Kitab secara langsung disebutkan sebanyak 31 kali yang tersebar dalam 9 surat (Abdul Baqi, 1942: 591-595). Semua surat tersebut

(8)

tergolong Madaniyyah dan hanya satu surat yang tergolong Makiyyah yaitu Qs.

al-Ankabut: 46. Dari kategori turunnya surat dapat dinyatakan bahwa pembicaraan ahl al-Kitab dalam Al-Qur’an banyak dilakukan di periode Madinah.

Hal ini disebabkan karena hubungan umat Islam dan ahl al-Kitab lebih banyak di Madinah daripada di Mekkah (Ghalib, 1998: 21).

Dari 31 term Ahl al-Kitab yang disebutkan secara langsung tersebut, ada 26 ayat yang memandang secara kritis yaitu pada Qs. al-Baqarah (2): 105 dan 109;

Qs. Ali Imran (3):65, 69, 70, 71, 72, 75, 98, dan 99; Qs. al-Nisa (4):123, 153, 159, dan 171; Qs. al-Maidah (5):15, 19, 59, 68, dan 77; Qs. al-Ankabut (29):40; Qs. al- Ahzab (33):26; Qs. al-Hadid (57):29; Qs. al-Hasyr (50):2 dan 11; Qs. al-Bayyinah:

1 dan 4. Sementara lima ayat sisanya memandang ahl al-Kitab secara simpatik dan memberikan apresiasi yang terdapat pada Qs. Ali Imran (3):64, 110, 113, dan 199;

Qs. al-Maidah (5):65.

Penyebutan yang signifikan itu menunjukkan bahwa ahl al-Kitab merupakan komponen masyarakat yang memberi warna dan dinamika dalam konteks dakwah, sejarah dan sosial saat Nabi Muhammad SAW mengembangkan Islam dan tauhid di masa-masa awal kerasulan. Hal ini juga menunjukkan bahwa interaksi sosial dan keagamaan dengan ahl al-Kitab tidak sama dengan golongan lain seperti orang kafir, fasiq, munafiq dan zhalim, yang mana term yang disebutkan ini secara dominan disebutkan dengan konotasi frontal, kontradiktif dan fakta negatif lainnya.

4. Ahl al-Kitab Dalam Ranah Keislaman

Islam sebagai agama berkembang setelah agama-agama samawi lainnnya, otomatis memiliki nilai kesejarahan, ajaran dan ideologi yang lebih lengkap, dinamis dan konstruktif dalam pemikiran keagamaan sehingga menciptakan ranah-ranah pengetahuan dan konsekuensi ajaran. Dengan demikian semua term yang terdapat dalam al-Qur’an dibahas dengan teliti dan intens untuk melahirkan konsekuensi

(9)

hukum serta dogma-dogma keagamaan. Di antara hal yang berkaitan dengan term ahl al-Kitab, maka secara garis besar dapat dimasukkan dalam dua ranah utama, yaitu ranah fiqh dan ranah pemikiran/tafsir.

Defenisi ahl al-Kitab dalam ranah fiqh dapat kita lihat dari pernyataan Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiyah serta sebagian Hanabilah berpendapat, siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk ahl al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agam Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, bila ada suatu kelompok yang hanya percaya kepada Zabur (kitab suci yang diberikan kepada Nabi Daud) atau Shuhuf pada Nabi Ibrahim, maka ia sudah termasuk ahl al-Kitab (Ghalib, 1998: 30.

Kemudian Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahl al-Kitab hanya sebatas pada orang Yahudi dan Nasrani keturunan Isra’il. Sedangkan bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani tidak termasuk di dalamnya (Quraysh Shihab, 1996: 366). Kaitannya dengan ini Imam Syafii tidak memahami ahl al- Kitab sebagai penganut agama yang dibawa Nabi Isa dan Nabi Musa tetapi sebagai komunitas etnis Bani Isra’il. Sementara ulama Syafi’yah dan mayoritas ulama Hanabillah menyatakan bahwa ahl al-Kitab hanya merujuk pada Yahudi dan Nasrani.

Defenisi ahl al-Kitab dalam ranah tafsir dan pemikiran bisa dilihat dari pernyataan Muhammad Rasyid Ridla menegaskan kembali bahwa Majusi dan Shabiun termasuk pada ahl al-Kitab selain Yahudi dan Nasrani. Bahkan diluar itu masih ada kelompok ahl al-Kitab seperti Hindu, Budha, Kong Hu Cu dan Shinto (Ghalib, 1998: 35). Pendapat ini didasarkan pada kenyataan sejarah dan informasi Al- Qur’an, bahwa semua umat sebelum diutusnya Rasulullah saw telah diutus seorang rasul sebagai petunjuk kepada kebenaran.

(10)

Nurcholis Madjid berpendapat bahwa ahl al-Kitab tidak hanya terbatas pada kaum Yahudi dan Nasrani saja, namun juga untuk agama lain seperti (Majusi, Shabiin, Hindhu, Budha dan Kong Hu Cu). Serta memberikan kedudukan yang sama seperti Yahudi dan Nasrani bagi kaum yang mempunyai wahyu dengan nilai- nilai ketauhidan. Meskipun asal-usul kitab sucinya tidak diketahui asalkan mempunyai kandungan moral dan syariat yang sebanding dengan Islam maka tetap disebut sebagai ahl al-Kitab (Nurcholis Madjid, 1995: 190).

Dengan demikian pemeluk agama sekarang selain Yahudi dan Nasrani tidak mustahil jika ajarannya berasal dari dari kitab suci yang diwahyukan Allah pada Rasul terdahulu. Akan tetapi, dalam perkembangan agama tersebut banyak mengalami perubahan di tangan pemeluknya. Hal ini dapat dilihat dari agama Nasrani yang telah banyak melakukan perubahan, padahal jarak waktunya tidak terlalu jauh dengan nabi Muhammmad saw.

5. Substansi Ayat Al-Qur’an Terkait Ahl al-Kitab

Kondisi sikap dan prilaku ahl al-Kitab sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapa substansi yang diperincikan sebagai berikut:

a. mengecam prilaku ahl al-Kitab

Kecaman yang diberikan Al-Qur’an terhadap qhl al-Kitab disebabkan karena mereka banyak melanggar peraturan yang sudah ada. Perlu diketahui bahwa kecaman terhadap yahudi lebih banyak dibandingkan Nasrani.

Kaum Nasrani pada awal kedatangan Islam telah memperlihatkan sikap bersahabat terhadap kaum muslim. Salah satu faktor yang menyebabkan kedekatan ini karena gesekan dengan Nasrani, baik di Mekkah maupun di Madinah tidaklah begitu tampak, terutama dalam bidang ekonomi dan politik. Selain itu dalam Qs. al-Maidah (5):58 juga disebutkan kedekatan orang-orang Islam dengan

(11)

orang Nasrani, termasuk kedekatan rahib atau pendeta dengan sikap zuhud terhadap kehidupan dunia.

Kecaman dalam Al-Qur’an terhadap ahl al-Kitab disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, pelanggaran mereka terhadap hukum, melanngar perjanjian, tidak bersyukur kepada Allah, sikap matrealisme dan spiritualisme, sikap munafik dll. Berikut penjelasan singkat tentang sikap ahl al-kitab yang diberikan kecaman oleh Al-Qur’an.

b. Ingkar janji

Perjanjian yang disebutkan Al-Qur’an adalah terkait perjanjian moral yang berupa kebenaran, pertanggung jawaban mereka kepada Allah, dan kesalehan.

Perjanjian ini juga berisi ketetapan untuk menyembah Allah dan menghormati sesamanya. Tetapi sejak datangnya kitab suci dari Allah mereka telah melakukan penyimpangan, bahkan mereka menghalangi orang-orang yang hendak mengamalkan petunjuk Allah SWT. Selain mengingkari janji kepada Allah mereka juga melakukan pengingkaran pada Nabi dan Rasul yang diutus Allah pada mereka. Perjanjian tersebut dijaga dan dipegang teguh oleh ahl al-Kitab.

Perjanjian ini bukanlah janji yang tidak bersyarat, melainkan perjanjian yang menetapkan beberapa syarat. Tetapi ahl al-Kitab telah melanggar perjanjian tersebut sehingga mereka mendapatkan kecaman dari Allah SWT.

c. Pelanggaran terhadap hukum yang diturunkan Allah SWT

Dalam hal ini, Bani Israil diberikan ketentuan oleh Allah agar mereka dapat meredam amarahnya. Selain itu, hukum-hukum yang diberikan Allah mereka abaikan. Pelanggaran hukum yang mereka lakukan inilah mengakibatkan pengharaman beberapa jenis makanan yang sebelumnya diperbolehkan bagi mereka.

Diantara ketatapan Allah yang dilanggar ahl al-Kitab adalah pelanggaran terhadap hari Sabtu. Sesuai dengan perjanjian, hari sabtu dikhusukan

(12)

untuk beribadah kepada Allah, tetapi mereka melanggar dan menggunakan hari sabtu untuk mencari harta, seperti mencari ikan.

Pelanggaran hukum yang mereka lakukan menimbulkan suatu kebiasaan, sehingga mereka banyak membentuk hukum-hukum sendiri yang bertentangan dengan hukum Allah dan secara beruntun diberi predikat kafir, zhalim dan fasiq.

Selain itu, Al-Qur’an juga memberikan kecaman kepada mereka apabila tidak kembali pada jalan yang benar dan melakukannya secara konsisten.

d. Penyimpangan ahl al-Kitab terhadap kitab suci

Penyimpangan yeng dipraktekkan oleh ahl al-Kitab bukanlah penyimpangan secara total dan meyeluruh melainkan menghilangkan nilai petunjuk (hidayah) dari Allah. Adapun faktor utama yang menyebabkan penyimpangan adalah hawa nafsu mereka. Sedangkan faktor yang lainnya seperti menumpuk uang dan harta kekayaan Qs. al-Baqarah (2):79, melestarikan kekuasaan agar dapat bertahan Qs. Ali Imran (3):71, taklid dan sikap fanatik buta Qs. al-Baqarah (2):170. Bahkan mereka juga berselisih tentang kitab yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.

e. Kemunafikan Ahl al-Kitab

Sikap munafik di kalangan ahl al-kitab merupakan salah satu penyebab mereka mendapat kecaman dari Al-Qur’an. Sikap munafik yang ditunjukkan ahl al-Kitab yang ditambah dengan fanatisme berlebihan menimbulkan mereka sangat menolak Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah. Sikap fanatik yang mereka tunjukan secara jelas adalah tidak kesukaannya pada Nabi dan tidak mau mengikuti ajarannya. Meskipun mereka mengetahui bahwa ajaran Nabi merupakan ajaran yang benar. apabila mereka ditanya tentang ajaran tersebut, mereka secara diam- diam mengakui kebenarannya. Walaupun mereka sendiri tidak mengikutinya, tetapi mereka memerintahkan orang untuk mengikutinya.

(13)

Pada akhirnya sebagian a h l a l -Kitab berpura-pura masuk Islam dengan tujuan merusak islam dari dalam. Tindakan seperti ini dilakukan di lakukan sebagian a h l a l -Kitab dari golongan Yahudi yang menyatakan keislamannya hanya untuk melakukan hubungan secara terbuka dengan kaum muslimin. Ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah.

6. Sikap Dalam Berinteraksi Dengan Ahl al-Kitab

Ahl al-Kitab sebagai penganut agama dan pemilik kitab suci yang berasal dari tuhan. Dalam banyak hal mereka mempunyai persamaan dengan ajaran dan kitab suci umat islam. Tetapi Al-Qur’an banyak memberikan peringatan dan kecaman terhadap ahl al-Kitab. Menurut M. Quraish Shihab ayat yang menggunakan istilah ahl al-Kitab terasa adanya uluran tangan dan sikap bersahabat, walaupun di sana sini Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan dalam keyakinan.

Al-Qur’an memberikan sikap menghargai kepada ahl al-Kitab salah satunya adalah menghadapi ahl al-Kitab dengan cara yang sebaik-baiknya.

Khususnya ketika berdiskusi dan bertukar pikiran. Seperti dijelaskan dalam firman Allah Qs. al-Ankabut (29):46-47.

Sebagai umat Islam dianjurkan berlaku baik terutama ketika membahas sesutau yang berkaitan dengan agama. Diskusi ini bukan untuk memperoleh kemenangan tetapi dimaksudkan untuk mencari kebenaran.

Tetapi Al-Qur’an memberikan pengecualian pada kelompok a h l - K i t a b yang telah diberikan penjelasan, keterangan dengan cara yang baik mereka tetap membantah, membangkang dan menyatakan permusuhan.

Al-Qur’an juga mengakui keberadaan kitab suci ahl al-Kitab sebagai salah satu kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi dan Rasul yang datang sebelum Nabi Muhammad. Selain itu, Al-Qur’an juga menyatakan bahwa Tuhan yang dipercayai dan disembah oleh umat islam adalah sama dengan tuhan yang dipercayai oleh umat Yahudi dan Nasrani. Kesamaan sumber ajaran Islam dan ahl al-Kitab inilah yang membuat Al-Qur’an memberikan banyak peringatan

(14)

untuk tetap berada di jalan Allah. Peringatan dan kecaman yang ditunjukan Al- Qur’an kepada ahl al-Kitab biasanya menggunakan bahasa halus dan tidak tendensius.

Hal ini tercermin dalam seruan Allah baik yang secara umum ditunjukan kepada Bani Isra’il maupun secara khusus kepada ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani). Seruan dan peringatan yang mengesankan adanya kedekatan itu, ditunjukkan pada Qs. al- Baqorah (2): 40, 47, 122 agar mereka senantiasa mengingat nikmat dari Allah dan tidak lupa memenuhi janji mereka. Selain itu juga ada pada Qs, Thaha (20):47 yang menganjurkan ahl al-Kitab untuk berterimakasih kepada Allah, kerena mereka telah dibebaskan dari marabahaya.

Dengan demikian, dalam menyeru dan memberikan peringatan terhadap a hl al-Kitab Al-Qur’an tetap mengindikasi adanya kelembutan.

7. Konsep Dakwah dengan Ahl al-Kitab Berdasarkan Ayat Al-Qur’an dalam Perspektif Modern

Dalam perkembangannya, ahl al-Kitab dalam fase historisitas al-Qur’an berbeda dengan ahl al-Kitab pada zaman sekarang. Perbedaan itu sangat kompleks. Ahl al-Kitab, jika didefinisikan dalam agama Kristen dan Yahudi, telah mengalami proses yang dinamis berdasarkan generasi dan apa yang mereka hadapi ketika itu. Dalam perkembangannya Kristen terpecah menjadi dua cabang besar, Kristen orthodox dan protestan, demikian juga dengan Yahudi, mereka terpecah menjadi Gerakan agama-bangsa, seperti Zionist, di samping bahwa perkembangan dan kemajuan zaman akan mereduksi pikiran-pikiran agama untuk dicermati dengan ilmu pengetahuan dan sains.

Sebagaimana al-Qur’an mengakui bahwa ahl al-Kitab adalah golongan mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap ajarannya, maka al-Qur’an mengisyaratkan kepada para penda’i agar menghadapi mereka dengan kemampuan yang dalam juga mengenai al-Qur’an, kesejarahan dan lain sebagainya. Dengan

(15)

demikian, pendekatan dialogis merupakan jalan dakwah yang paling tepat agar tidak menciptakan gesekan-gesekan dalam beragama.

Dalam konteks dakwah, kasus rivalitas dalam sejarah antara muslim dan Kristen dalam perang salib itu tidak lagi menjadi hal yang paling urgen dalam berdakwah. Kesejarahan rivalitas tersebut tidak akan menghubungkan pemahaman dengan baik. Globalisasi secara alami menghubungkan dunia keagamaan dengan melakukan pendekatan historis, kesepahaman dan masa depan umat manusia.

Dengan demikian, pendekatan dialogis membutuhkan kemampuan da’i dalam berbagai bidang, diantaranya:

a. Al-Qur’an dan Hadits serta ilmu-ilmu keislaman

Al-Qur’an dan hadits merupakan tonggak fundamental dalam Islam.

Pemahaman terhadap al-Qur’an belum sempurna, kecuali dengan membaca kembali tafsir dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan al-Qur’an, seperti asbabun Nuzul dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan pemahaman hadits belum dianggap lengkap, jika belum membaca berbagai literatur hadis dalam berbagai kitab shahih dan kitab sunan yang mana dengan membaca kitab-kitab tersebut dapat mengetahui tentang asbab al-wurud dan mendapatkan penjelasan yang kompleks dari ayat atau hadits.

b. Kitab dan buku-buku agama lain.

Bagi para pendakwah, keharusan untuk mempelajari agama lain dengan sumber keagamaan mereka diperlukan untuk memperoleh perbandingan dan komparasi substansi ajaran, baik itu antara sumber keagamaan mereka sendiri, maupun dengan sumber keagamaan dalam Islam.

c. Sejarah

Faktor kesejarahan tidak terlepas dalam menganalisa sejarah agama yang terkait, sebagaimana agama samawi. Historisitas yang urgen adalah mulai dari Nabi Ibrahim sampai Nabi Muhammad SAW. Para agamawan relatif diakui keilmuannya jika memiliki pemahaman yang baik terhadap sejarah agamanya dan agama lain.

(16)

Dengan demikian, seorang da’i muslim harus memiliki khazanah kesejarahan, terutama historisitas keagamaan baik dalam literatur Islam, literatur kekristenan maupun khazahan pengetahuan sejarah umum, hal ini untuk mendekatkan pemahaman agama dari aspek kesejarahan.

d. Sains dan Teknologi

Sains dan teknologi pada zaman globalisasi telah menjadi trend kemajuan suatu bangsa. Al-Qur’an juga dalam beberapa ayatnya sering bersinggungan dengan sains dan teknologi, sehingga pada akhirnya adalah interaksi antara sains dan teknologi sebagai ajang pembuktian kebenaran. Pengetahuan da’i terhadap sains dan teknologi yang bersinggungan antara ayat-ayat al-Qur’an dan empirisitas sains akan menjadi signifikan urgensinya saat berdakwah atau menyampaikan kebenaran kepada ahl al-Kitab, bahkan ateis sekalipun.

C. PENUTUP

Konsep dakwah berbeda dengan konsep tauhid dan fiqh dalam memandang ahl al-Kitab. Dalam pandangan tauhid, ahl al-Kitab diposisikan sebagai keberagamaan yang relatif berada di dimensi lain, rivalitas. Sedangkan dalam fiqh, ahl al-Kitab hanya bersentuhan pada hukum syar’i terkait interaksi sosial dan kemasyarakatan. Namun dalam dakwah melihat semua yang di luar Islam adalah objek yang perlu dipelajari, dipahami kemudian disusun langkah-langkah untuk mendekatkan mereka lebih paham kepada Islam. Dengan demikian, konteks ahl al-Kitab dalam dakwah Islam adalah konteks bagaimana efektifitas menyampaikan kebenaran, memahami keyakinan mereka, berdialog, membandingkan persepsi antar keyakinan.

Ayat al-Qur’an secara eksplisit menegaskan kepada para pendakwah untuk memahami ahl al-Kitab, baik dari segi intelektualitasnya, etika, substansi pengetahuan, historisitas dan kapabilitas serta kapasitas mereka sebagai ahl al-Kitab. Dengan demikian, penguasaan terhadap berbagai literatur lintas agama, kesejarahan, sains serta ilmu-ilmu lain yang berkaitan mutlak diperlukan oleh penda’i untuk proses dialog dan interaksi antar persepsi dengan golongan ahl al-Kitab.

(17)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim

Ahmad Warson Munawwir, (2003). Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progresif.

Raghib al-Ashfahani, (2009) Mu’jam Mufradat al-Fazh Al-Qur’an Bairut: Dar Syamiyyah.

Muhammad Fuad Abdul Baqi, (1942). Mu’jam Mufahros Al Fadhil Quran Al Ahdzim, Kairo, Dar Al Kutub Misriyyah.

Muhammad Ghalib, (1994). Ahl al-Kitab; Makna dan Cangkupannya, Jakarta:

Paramadina.

Departemen Pendidikan Nasional RI, (2008). Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta,:

Pusat Bahasa.

M. Quraish Shihab, (1996). Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhui Atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan.

Nurcholis Madjid, (1995). Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Dari pembahasan dan uraian tersebut diatas dapat dikemukakan bahwa dalam posisi Pemerintah sebagai stimulator pembangunan, maka masyarakat akan berpartisipasi

Istilah Sistem Perpustakaan yang Terintegrasi (Integrated Library System) sering digunakan sebagai indikasi bahwa sub-sistem atau modul-modul yang ada diintegrasikan

Namun masih menurut skema dari LEI, terdapat beberapa sistem sertifikasi ekolabel hutan yang berkembang secara internasional maupun yang ada di Indonesia, namun secara

Penyaradan kayu menggunakan traktor pertanian yang dilengkapi alat bantu sederhana diawali dengan memasang plat alat bantu tersebut pada bagian belakang traktor

Kondisi pembibitan sapi potong saat ini sangat beragam dan sebagian besar (95%) dikelola dan dikembangkan pada peternakan rakyat dengan pola produksi induk-anak dalam

Usaha Konfeksi dan Sablon sebagai pemasok Factory Outlet, distro dan clothing untuk daerah Jakarta, terutama daerah Dago (Jl.Ir.H.Juanda) di Kota Bandung. Salah

Dengan dirancang dan direalisasikannya perangkat akuisisi data frekuensi detak jantung berbasis mikrokontroler AT89S51 ini, diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui frekuensi

Uji aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui kombinasi antibiotik gentamisin pada bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus dengan ekstrak kulit biji