• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Fungsi Seksual Pada Wanita Pasca Persalinan Spontan Dengan Seksio Sesaria Dengan Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Di RSUP H. Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Fungsi Seksual Pada Wanita Pasca Persalinan Spontan Dengan Seksio Sesaria Dengan Menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI) Di RSUP H. Adam Malik Dan RS Jejaring FK USU Medan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Masa Pasca Persalinan11

Masa pasca persalinan didefinisikan sebagai periode pemulihan

setelah proses persalinan. Masyarakat awam mengenalnya sebagai masa

nifas, yaitu empat puluh hari pertama pasca persalinan. Dalam masa

pasca persalinan ini terjadi banyak perubahan dalam tubuh, baik sebagai

proses penyesuaian maupun proses pengembalian kepada kondisi

prakehamilan.

a. Perubahan Anatomi dan Fisiologi

Berikut akan dipaparkan perubahan anatomi dan fisiologi yang terjadi

selama masa pasca persalinan tersebut:

1. Uterus

Serviks yang mengalami laserasi saat persalinan akan berkontraksi

dan dalam beberapa hari kemudian, portio masih membuka dua

jari. Korpus uteri akan berkontraksi segera setelah plasenta lahir

dan normalnya berada sedikit di bawah umbilikus. Involusi korpus

uteri akan dimulai pada hari kedua dan dalam dua minggu akan

kembali masuk ke rongga pelvis, lalu kembali ke ukuran semula

setelah empat minggu pasca persalinan.

Pada nulipara, uterus post partum akan terus berkontraksi secara

tonik, sementara pada multipara kontraksi uterus berlangsung

(2)

(afterpain), yang diperburuk oleh pelepasan oksitosin saat

menyusui.

Pada awal masa pasca persalinan akan muncul lokia, yaitu

pelepasan jaringan desidua yang keluar sebagai sekret vagina,

terdiri dari eritrosit, desidua yang lepas, sel epitel, dan bakteri. Pada

hari pertama hingga ketiga pasca persalinan, lokia yang keluar

berwarna merah karena banyak mengandung darah dan disebut

sebagai lokia rubra. Setelah tiga hari, lokia akan menjadi pucat dan

disebut sebagai lokia serosa, kemudian pada hari ke-10 disebut

sebagai lokia alba karena berwarna putih atau putih kekuningan

akibat campuran leukosit dengan kandungan air yang berkurang.

2. Saluran Kemih

Saat hamil, terjadi penambahan cairan ekstraselular yang

kemudian dikompensasi dengan peningkatan diuresis pada masa

pasca persalinan, umumnya terjadi pada hari ke-2 sampai ke-5

pasca persalinan. Pada masa pasca persalinan kandung kemih

mengalami peningkatan kapasitas dan relatif tidak sensitif terhadap

tekanan intravesikal, sehingga sering terjadi distensi berlebihan,

pengosongan yang tidak sempurna, dan residu urin berlebihan. Di

samping itu, pelvis renalis dan ureter yang terdilatasi semasa hamil

akan kembali normal dalam 2-8 minggu pasca persalinan. Kedua

hal tersebut secara bersamaan kemudian menjadi faktor

predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih pada masa pasca

(3)

3. Vagina dan Pelvis

Pada awal masa pasca persalinan, vagina berbentuk satu saluran

yang berdinding halus yang berangsur-angsur berkurang

ukurannya, namun jarang kembali ke dimensi semula seperti

sebelum hamil. Rugae vaginales akan muncul kembali pada

minggu ketiga, sementara himen pasca persalinan akan berubah

menjadi karunkula miriformis, yaitu beberapa tonjolan jaringan di

introitus vagina. Laserasi pada perineum saat persalinan akan

menyebabkan relaksasi pada introitus vagina dan otot-otot

penyokong pelvis. Hal ini seringkali menyebabkan prolaps uteri dan

inkontinensia urin akibat stres di kemudian hari dan membutuhkan

intervensi medis.

4. Dinding Abdomen

Dinding abdomen membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

kembali ke kondisi semula. Regangan akibat distensi uterus saat

hamil akan menyebabkan dinding perut menjadi lunak dan lemah

(flaccid) selama beberapa minggu. Olahraga ringan akan

membantu mempercepat penyembuhan.

5. Darah dan Cairan

Selama dan setelah persalinan, akan terjadi leukositosis dan

trombositosis yang bermakna. Kadang terjadi peningkatan leukosit

hingga 30.000/μL, dengan didominasi oleh granulosit. Normalnya,

kadar hemoglobin dan hematokrit hanya berfluktuasi sedikit. Jika

(4)

dibanding dengan kadar sesaat sebelum persalinan, perlu

dipikirkan adanya perdarahan yang cukup banyak. Satu minggu

setelah persalinan, volume darah telah kembali hampir seperti saat

sebelum hamil. Sementara itu, curah jantung tetap tinggi selama 48

jam pertama akibat peningkatan isi sekuncup dari aliran balik vena

dan penurunan denyut jantung pada saat yang bersamaan.

Perubahan kardiovaskuler kembali ke kondisi seperti sebelum hamil

selesai dalam dua minggu. Faktor pembekuan darah akan kembali

normal selama masa pasca persalinan dalam waktu yang

bervariasi. Peningkatan fibirinogen plasma akan terus berlangsung

hingga satu minggu pertama; demikian pula laju endap darah.

6. Payudara

Untuk memenuhi fungsi fisiologis menyusui, kelenjar payudara

akan berkembang menjadi 15 hingga 25 lobus yang masing-masing

terbagi lagi dalam beberapa lobulus, lalu menjadi unit terkecil yang

disebut alveolus. Setiap alveolus dilengkapi dengan suatu duktus

kecil yang disebut duktus laktiferus, dan bermuara ke dalam satu

duktus besar, menjadi beberapa orifisium pada puting susu.

Puting payudara seringkali teriritasi oleh kumpulan air susu ibu

(ASI) yang mengering, hingga kadang menimbulkan fisura.

Perawatan dapat dilakukan dengan membersihkan areola dengan

air dan sabun lembut sebelum dan sesudah menyusui. Setelah

laktasi dimulai, kadang kala payudara dapat terdistensi, menjadi

(5)

engorgement. Kondisi ini dapat disertai dengan peningkatan suhu

tubuh ibu hingga 37,8 - 39°C yang bertahan hingga 4-16 jam.

7. Berat badan

Setelah partus, umumnya terjadi penurunan berat badan sebesar

5-6 kg dari kelahiran bayi dan kehilangan darah yang normal, serta

2-3 kg lagi dari diuresis. Menurut Schauberger dan rekan,

kebanyakan perempuan kembali ke berat badan sebelum hamilnya

dalam waktu enam bulan, dengan rata-rata penambahan sebesar

1,4 kg.

b. Perubahan Psikologi

1. Rasa Tidak Nyaman

Rasa tidak nyaman pada beberapa hari pasca persalinan dapat

disebabkan oleh afterpains, episiotomi dan laserasi, breast

engorgement, luka operasi dan kadang kala sakit kepala setelah

anestesi spinal.

2. Depresi

Penurunan mood pada beberapa hari pasca persalinan umumnya

normal, dan dikenal dengan istilah post partum blues, yang dapat

disebabkan oleh:

 Penurunan emosi setelah kegembiraan melahirkan bayi, dan

rasa takut yang dialami perempuan selama kehamilan dan

persalinan

(6)

 Kelelahan akibat kurang tidur selama persalinan dan pasca

persalinan

 Kekhawatiran akan kemampuan merawat bayinya sendiri

setelah meninggalkan rumah sakit

 Ketakutan bahwa dirinya akan menjadi kurang menarik.

Gangguan psikologis ringan ini biasanya akan hilang setelah 2-3

hari, namun kadang dapat bertahan hingga 10 hari. Jika kondisi ini

menetap atau memburuk, harus dicari gejala depresi utama, yang

dapat ditemukan pada 20% perempuan pasca persalinan. Depresi

pasca persalinan cenderung berulang dan dapat membutuhkan

medikamentosa profilaksis pada akhir kehamilan berikutnya.

2.2 Hubungan Seksual pada Masa Pasca Persalinan

Salah satu kekhawatiran yang mempengaruhi perempuan yang

memilih persalinan sesar adalah ketakutan bahwa persalinan pervaginam

menggganggu fungsi seksualnya setelah melahirkan. Aspek-aspek

tertentu dari fungsi seksual perempuan setelah melahirkan telah dipelajari

oleh banyak peneliti sejak 1960. Sebagian besar penelitian yang ada tidak

dapat membedakan cara persalinan. Selama 3 bulan pertama setelah

melahirkan, banyak wanita mengalami beberapa masalah yang berkaitan

dengan fungsi seksual, seperti dispareunia, penurunan libido, kesulitan

mencapai orgasme, atau kekeringan vagina. Biasanya, masalah ini

diselesaikan pada akhir tahun pertama setelah melahirkan. Ada tiga

(7)

melahirkan yaitu dispareunia, cedera jalan lahir (pudenda neuropati), dan

kesehatan umum ibu secara keseluruhan. Dengan demikian, berbagai

cara persalinan seperti sesar, menggunakan alat atau persalinan spontan

atau episiotomi secara teoritis dapat mempengaruhi fungsi seksual ibu

dengan cara yang berbeda. Namun, tidak jelas kenapa fungsi seksual ibu

dipengaruhi jangka pendek atau jangka panjang. Tingkat kembalinya

aktivitas seksual telah dilaporkan dengan cara persalinan pervaginam

atau sesar adalah 6 minggu, 3 bulan atau 2 tahun setelah melahirkan.

Prevalensi dispareunia dilaporkan lebih tinggi pada wanita setelah

persalinan pervaginam daripada setelah melahirkan sesar pada 3 bulan

setelah melahirkan dan pada wanita setelah melahirkan menggunakan

alat daripada setelah melahirkan sesar.10

Setelah melahirkan dapat terjadi dispareunia dan keluhan seksual,

termasuk penurunan libido, kesulitan orgasme, dan lubrikasi vagina

berkurang.6,7 Setelah 6 bulan melahirkan satu dari lima perempuan

dilaporkan dispareunia dan meningkat satu dalam sembilan mengalami

gangguan aktivitas seksual.8,9 Hanya sedikit perempuan yang menyadari

gangguan dari masalah seksual setelah melahirkan. Aktivitas seksual post

partum dapat juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti menyusui,

episiotomi, nyeri, depresi dan kelelahan.14

Tidak ada batasan waktu mengenai kapan seorang ibu dapat

kembali berhubungan seksual pasca persalinan. Hubungan seksual yang

terlalu dini mungkin akan terasa tidak menyenangkan hingga

(8)

sempurna. Glazener meneliti kembalinya aktivitas seksual pada 1.075

perempuan Inggris dan menemukan bahwa 70% di antara perempuan

tersebut telah melakukan hubungan seksual dalam 8 minggu setelah

melahirkan. Nilai tengah jarak waktu antara persalinan dengan hubungan

seksual setelahnya adalah 5 minggu. Alasan yang dikemukakan untuk

menunda hubungan seksual adalah kekhawatiran mengenai nyeri

perineum, perdarahan, dan kelelahan.7 Pada penelitian lain, Barret dan

rekan melaporkan bahwa hampir 90 persen dari 484 perempuan primipara

telah melakukan hubungan seksual dalam waktu enam bulan. Meskipun

60% dari jumlah tersebut melaporkan adanya masalah dalam hubungan

seksual, hanya 15% yang mendiskusikannya dengan tenaga kesehatan.8

Anjuran terbaik mengenai kapan sebaiknya hubungan seksual

dilakukan, adalah berdasarkan keinginan dan kenyamanan pasien.

Perempuan pasca persalinan harus diedukasi bahwa menyusui dapat

menyebabkan perpanjangan periode supresi produksi estrogen, yang

menyebabkan atrofi dan kekeringan vagina, dan selanjutnya menurunkan

lubrikasi vagina selama rangsangan seksual.13

2.3 Kesehatan Seksual

Kesehatan seksual merupakan salah satu pilar penyokong dalam

status “sehat” seseorang. Menurut WHO, kesehatan seksual didefinisikan

sebagai integrasi aspek somatik, emosional, intelektual dan sosial dalam

berbagai cara yang memperkaya dan menambah kualitas kepribadian,

(9)

Disfungsi seksual membawa dampak yang besar dalam kualitas

hidup manusia. Pada perempuan, kondisi ini sering kali diabaikan dan

tidak terdeteksi baik oleh penderita maupun klinisi, meskipun ternyata

memiliki prevalensi yang lebih tinggi dibanding pada laki-laki.1 Berbagai

penelitian dan studi terbaru mengenai anatomi pelvis perempuan dan

perkembangan terkini dalam fisiologi seksual perempuan telah membantu

penegakan diagnosis disfungsi seksual perempuan.

2.4 Siklus Respon Seksual

Pada tahun 1960-an, Masters dan Johnson mengemukakan satu

teori mengenai siklus respons seksual pada manusia. Terdapat empat

fase berurutan dalam siklus respons seksual manusia: bangkitan

(excitement), dataran tinggi (plateau), orgasme (orgasm), dan resolusi

(Gambar 1).15 Keempat fase ini merupakan model linear bagi pria dan

perempuan, namun lebih menggambarkan siklus seksual pria.

Gambar 1. Siklus Respon Seksual menurut Masters dan Johnson19

Kaplan pada tahun 1979 memodifikasi hipotesis ini dan membagi

(10)

(arousal), serta menghilangkan fase plateau.16 Model ini lalu menjadi

dasar definisi disfungsi seksual dalam Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorder edisi keempat (DSM-IV), dan dasar pembuatan FSFI

(Female Sexual Function Index) sebagai alat untuk menilai fungsi seksual

perempuan.18

Penelitian lebih lanjut menemukan bahwa siklus respons seksual

perempuan secara lebih spesifik dipengaruhi oleh aspek sosial dan

psikologis, seperti model yang diajukan oleh Basson pada tahun 2002

(Gambar 2). Model ini menggambarkan hubungan sirkuler antara

seksualitas dan kepuasan, yang berfokus pada keintiman. Begitu

keintiman dan rangsang seksual membuat perempuan terangsang secara

emosional, maka akan timbul dorongan dan rangsangan seksual dan

berakhir pada kepuasan fisik dan emosi. Pada model ini jelas tergambar

bahwa pada perempuan dorongan tidak selalu mendahului rangsangan

seksual, namun begitu terlibat dalam aktivitas seksual, seorang

perempuan dapat menjadi terangsang dan mengalami dorongan

(11)

Gambar 2. Siklus Respon Seksual menurut Basson21

Pada setiap fase dalam siklus respons seksual terjadi

perubahan-perubahan dalam alat genital perempuan berdasarkan sifat miotonia dan

vasokongesti.19

1. Fase bangkitan (excitement phase)

Oleh Kaplan, fase ini dibagi menjadi dua, yaitu:18

 Dorongan

Dorongan seksual adalah motivasi dan kecenderungan untuk

melakukan aktivitas seksual atau respons terhadap kelanjutan

seksualnya. Pusat dorongan seksual terletak pada sistem limbik

yang sensitif terhadap dopamin dan dipengaruhi oleh hormon

testosteron. Dorongan seksual dipengaruhi oleh orientasi seksual,

pilihan, status psikologis, kepercayaan dan nilai-nilai, harapan,

kesediaan untuk bertindak secara seksual, dan kondisi

(12)

 Rangsangan

Fase rangsangan (excitement) dimediasi oleh sistem saraf

parasimpatis dan ditandai oleh perasaan erotis dan timbulnya

lubrikasi vagina. Rangsangan seksual meningkatkan aliran darah

ke vagina, dan menghasilkan vasokongesti dan perubahan dalam

permeabilitas kapiler, menciptakan suatu kondisi yang

meningkatkan fraksi filtrasi kapiler. Cairan kapiler yang difiltrasi

ditransudasikan antara ruang interselular dari epitel vagina,

menyebabkan droplets cairan pada dinding vagina. Perempuan

yang terangsang secara seksual akan mengalami takikardia,

bernafas cepat, peningkatan tekanan darah, perasaan hangat,

pembesaran payudara, ketegangan otot secara umum (myotonia),

ereksi puting susu, dan suatu ruam makulopapular eritematous

("sex flush") di bagian dada dan payudara. Selama fase ini, klitoris

dan labia membengkak; vagina memanjang, menggelembung, dan

membesar; dan uterus terangkat ke luar dari panggul. Sepanjang

fase rangsangan akhir, tegangan seksual dan perasaan erotis

menguat, dan vasokongesti mencapai intensitas maksimum

(plateu). Kulit menjadi lebih berbintik, payudara menjadi lebih

membesar, dan puting susu menjadi lebih tegak. Labia lebih

bengkak dan berubah menjadi merah gelap, dan sepertiga bagian

bawah vagina membengkak dan menebal untuk membentuk

"platform orgasm". Klitoris menjadi lebih bengkak dan terangkat

(13)

dari pelvis. Dengan rangsangan seksual yang cukup, perempuan

mencapai titik ambang orgasme.18

2. Fase datar (plateau phase)

Dalam stadium ini perubahan fisik berperan dalam respons terhadap

sentuhan atau memiliki perasaan dan gagasan untuk melakukan

hubungan seksual. Fase rangsangan yang menetap disebut plateau,

yang ditandai oleh pembesaran payudara dan ereksi puting payudara,

dan kulit menjadi lebih berbintik. Labia lebih bengkak dan berubah

menjadi merah gelap, dan sepertiga bagian bawah vagina

membengkak dan menebal untuk membentuk "platform orgasm".

Klitoris menjadi lebih bengkak dan terangkat mendekati simfisis pubis.

Uterus terangkat secara penuh ke luar dari pelvis. Dengan rangsangan

seksual yang cukup, perempuan mencapai titik ambang orgasme.18

3. Fase orgasme (orgasm phase)

Fase ini merupakan puncak dari siklus respons seksual. Orgasme

merupakan suatu respon miotonik yang dimediasi oleh sistem saraf

simpatik dan melibatkan kontraksi otot-otot vagina, anal, dan abdomen,

disertai hilangnya kontrol otot-otot involunter dan tercapainya tingkat

kepuasan yang tinggi. Orgasme adalah kenikmatan yang

menyenangkan dari sensasi seksual, sebagai pelepasan mendadak

dari ketegangan yang dibangun selama fase rangsangan. Otot-otot

vagina, uterus dan kadang-kadang rektum berkontraksi secara ritmik

(3-15, dengan lama 0,8 detik tiap kontraksi). Kontraksi uterus juga

(14)

diteruskan setelah orgasme, maka akan tampak perbedaan yang nyata

antara pria dan perempuan. Perempuan dapat mengalami orgasme

lagi pada setiap saat dalam masa resolusi, bahkan sampai beberapa

kali dalam satu siklus. Pada pria, hal ini tidak dapat terjadi.18

4. Fase resolusi (resolution phase)

Merupakan fase seksual yang mengikuti pelepasan ketegangan

seksual mendadak yang dibawa oleh orgasme, perempuan mengalami

suatu perasaan relaks dan nyaman. Perubahan fisiologis yang

berperan selama masa rangsangan akan berbalik arah, dan tubuh

kembali ke status istirahat atau tanpa rangsangan. Turunnya uterus

secara penuh, mengecilnya klitoris, dan dekongesti vagina dan labia

membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 10 menit.18

Apabila dalam siklus respon seksual ini ada stadium yang tidak

tercapai, maka hal ini dapat menyebabkan problem seksual yang

mengganggu. Bagi pria, respons dan fungsi seksual difokuskan terutama

pada kemampuan untuk mencapai dan mempertahankan ereksi.

Sementara bagi perempuan, respons seksual jauh lebih kompleks,

melibatkan proses sosial, psikologis, neurologis, vaskuler, dan hormonal,

serta interaksinya dengan stimulasi seksual, sistem saraf pusat dan

perifer, yang belum dipahami seluruhnya.18,19

2.5 Disfungsi Seksual Perempuan3,18

Disfungsi seksual perempuan didefinisikan sebagai gangguan

(15)

respon seksual, atau nyeri yang berhubungan dengan aktivitas seksual.

Perlu dibedakan antara keluhan seksual (sexual complaint) dengan

gangguan seksual (sexual disorder). Keluhan seksual adalah ekspresi

ketidaksenangan atau nyeri yang berhubungan dengan fungsi seksual.

Sementara gangguan seksual (sexual disorder) adalah disfungsi seksual

yang memenuhi kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders, Edisi ke-IV (DSM-IV) dan mencakup disfungsi dan adanya

penderitaan yang nyata (marked distress). Kriteria ini kemudian

disempurnakan oleh American Foundation for Urologic Disease (AFUD)

pada tahun 1999, dengan menambahkan penyebab psikogenik dan

organik dari kelainan bangkitan, rangsangan, orgasme, dan nyeri seksual.

Kriteria AFUD menekankan pentingnya penderitaan secara pribadi

(personal distress) pada kelainan seksual, sehingga dapat didiagnosis

sebagai gangguan seksual.

Kriteria gangguan seksual berdasarkan sistem AFUD tahun 1999

adalah sebagai berikut:

1. Gangguan Bangkitan Seksual

a. Gangguan bangkitan seksual hipoaktif

Merupakan spektrum penyakit yang menimbulkan

penderitaan pribadi akibat hilangnya atau kurangnya fantasi

dan keinginan seksual yang menetap atau berulang, dan

kurangnya respons terhadap aktivitas seksual. Kondisi ini

(16)

depresi dan terapinya, gangguan endokrin serta konflik

berkepanjangan dalam suatu hubungan.

b. Gangguan aversi seksual

Merupakan gangguan aversi fobik yang menetap atau

berulang, dan berujung pada menghindari kontak seksual.

Biasanya disebabkan oleh masalah psikologis atau

emosional, akibat trauma masa kecil, penyiksaan (abuse)

seksual atau fisik.

2. Gangguan Rangsangan Seksual

Merupakan ketidakmampuan yang menetap atau berulang untuk

mendapatkan atau mempertahankan kesenangan seksual yang

adekuat, sehingga menyebabkan penderitaan pribadi. Hal ini dapat

berupa kurangnya kesenangan subyektif, kurangnya respons

somatik atau kurangnya pembengkakan atau lubrikasi pada daerah

genital. Penyebab organik biasanya adalah kerusakan saraf pasca

pembedahan pada daerah pelvis yang mengakibatkan turunnya

sensasi pada labia dan klitoris, serta berkurangnya relaksasi dari

otot polos vagina. Penyebab lain umumnya bersifat psikologis.

3. Gangguan Orgasme

Gangguan orgasme dapat berupa hilang secara keseluruhan

maupun kesulitan berulang dalam mencapai orgasme setelah

stimulasi seksual yang cukup. Gangguan ini dapat bersifat primer

(seorang perempuan tidak pernah mencapai orgasme) atau

(17)

namun tidak lagi dapat mencapainya). Kondisi ini merupakan

gangguan seksual yang sering ditemui di klinik, mencapai 24-37%

kasus yang datang untuk mendapatkan terapi. Gangguan primer

biasanya disebabkan oleh trauma emosional atau penyiksaan

seksual, sementara gangguan sekunder sering disebabkan oleh

defisiensi hormon, trauma pembedahan, atau akibat pengobatan

tertentu (misalnya konsumsi SSRI (selective serotonin reuptake

inhibitors).

4. Gangguan Nyeri Seksual

a. Vaginismus

Merupakan spasme involunter menetap atau berulang dari

otot-otot vagina saat terjadi penetrasi.

b. Dispareunia

Merupakan nyeri genital menetap atau berulang saat

berhubungan seksual (sexual intercourse). Angka kejadian

dispareunia berkisar antara 14-18%. Nyeri dapat disebabkan

oleh stimulasi nonkoital seperti pada herpes genitalis,

endometriosis dan vestibulitis. Sepertiga kasus disebabkan

oleh faktor psikologi seperti rasa takut, cemas, dan konflik

interpersonal. Sebab lain adalah gangguan pada dasar

panggul terutama pasca pembedahan pelvis atau pada

perempuan multipara dan kurangnya lubrikasi vagina pasca

(18)

2.6 Disfungsi Seksual Perempuan Pasca Persalinan

Masa pasca persalinan membawa banyak perubahan dalam

kehidupan seorang perempuan. Perubahan fisik dan tanggung jawab

pasca kelahiran bayi seringkali mempengaruhi kondisi emosional dan

pada akhirnya berpengaruh pada kehidupan sehari-hari termasuk dalam

masalah seksual. Fungsi seksual pasca persalinan dapat terpengaruh

oleh beberapa faktor seperti cedera perineum, neuropati pudendal,

kekeringan vagina akibat laktasi, hingga perubahan dalam hubungan,

fungsi dan gaya hidup.5,6,7,8

Berbagai penelitian mendapatkan hasil yang berbeda mengenai

waktu untuk memulai kembali aktivitas seksual pascapersalinan. Barret

dan rekan mendapatkan bahwa pada enam bulan pasca persalinan 89%

perempuan telah memulai aktivitas seksualnya kembali, dengan adanya

peningkatan morbiditas seksual pasca persalinan.8 Penelitian Glazener

menemukan aktivitas seksual dimulai sejak 6 minggu pasca persalinan,

dengan insiden disfungsi seksual pascapersalinan sebesar 53% pada 8

minggu pertama, dan menurun menjadi 43% pada 1 tahun kemudian.7

Insiden disfungsi seksual perempuan pascapersalinan bervariasi antara

(19)

Faktor-faktor yang mempengaruhi disfungsi seksual pasca persalinan

adalah:

1. Cara persalinan

Cara persalinan banyak dilaporkan mempengaruhi fungsi seksual

pasca persalinan. Kejadian cedera pada jalan lahir pada persalinan

pervaginam dikatakan sebagai salah satu faktor utama disfungsi

seksual pasca persalinan. Johanson dan rekan melaporkan

peningkatan signifikan dalam dispareunia setelah persalinan

pervaginam dengan bantuan alat (forsep atau vakum) dibandingkan

persalinan spontan pervaginam atau seksio sesaria: dispareunia

menetap lebih dari enam bulan terjadi 3,4% untuk persalinan

spontan tanpa perlukaan dan seksio sesaria, 10% dengan

episiotomi dan 14% untuk pervaginam dengan bantuan alat atau

operatif.19 Lydon-Rochelle dan rekan menemukan bahwa

kembalinya aktivitas seksual pada 7 minggu pasca persalinan

antara persalinan dibantu alat adalah sebesar 40% dibandingkan

dengan 29% pada persalinan spontan dengan p<0,04; serta tidak

ada perbedaan yang signifikan dalam kembalinya hubungan

seksual antara seksio sesaria dengan persalinan spontan.20

Sementara itu, satu studi di Australia melaporkan bahwa

perempuan yang menjalani persalinan pervaginam dibantu alat

cenderung mengalami nyeri perineum dan masalah seksual hingga

enam bulan pasca persalinan dibandingkan perempuan yang

(20)

2. Robekan perineum

Robekan perineum saat persalinan merupakan penyebab utama

terjadinya komplikasi pasca persalinan seperti nyeri perineum,

prolaps organ panggul, gangguan pada fungsi usus dan kandung

kemih, serta juga disfungsi seksual.22 Banyak perempuan yang

mengalami nyeri perineum menetap mengeluhkan adanya

gangguan pada fungsi seksualnya. Tindakan episiotomi sendiri

pada persalinan pervaginam ternyata berdampak buruk bagi fungsi

seksual perempuan di kemudian hari.23 Efek dari episiotomi yang

membahayakan fungsi seksual telah banyak dilaporkan dalam

literatur. Penelitian Buhling dan rekan di Jerman menyimpulkan

bahwa perempuan yang mengalami dispareunia pada enam bulan

pasca persalinan ternyata menjalani episiotomi atau persalinan

pervaginam dengan bantuan alat.24 Oboro dan Tabowei juga

menemukan bahwa perempuan primipara di Nigeria yang

mengalami cedera perineum cenderung mengalami dispareunia

pada 3 bulan pasca persalinan.14 Penelitan lain menemukan bahwa

perempuan dengan ruptur perineum grade III atau IV ternyata

kurang aktif secara seksual pada 1 tahun pasca persalinan

dibandingkan perempuan dengan perineum yang intak.25 Demikian

pula pada penelitian Signorello di Amerika Serikat, yang

menyimpulkan bahwa robekan perineum derajat dua, dengan atau

tanpa episiotomi, meningkatkan insiden dispareunia pada 3 bulan

(21)

Rogers dan rekan pada persalinan dengan cedera jalan lahir

spontan (tanpa episiotomi) menemukan bahwa tidak ada

perbedaan dalam hal aktivitas seksual dan fungsi seksual pasca

persalinan jangka pendek pada robekan perineum derajat rendah

(tanpa trauma sampai dengan derajat I) maupun derajat tinggi

(derajat II-IV).27

3. Menyusui

Pengaruh faktor menyusui terhadap fungsi seksual pasca

persalinan dapat bersifat positif maupun negatif. Master dan

Johnson menemukan bahwa perempuan menyusui memiliki tingkat

aktivitas seksual dan keinginan untuk kembali aktif secara seksual

yang lebih tinggi.19 Pasien yang menyusui melaporkan peningkatan

erotisme akibat pembesaran payudara dan aktivitas menghisap dari

bayi.28,29 Di sisi lain, menyusui dapat menurunkan aktivitas seksual

akibat nyeri payudara, nyeri pasca persalinan, penurunan sekresi

vagina dan keluarnya ASI.12,30 Penelitian Visness dan Kennedy

menemukan bahwa rata-rata perempuan yang menyusui kembali

berhubungan seksual dalam 8 minggu pasca persalinan.31

4. Depresi

Perempuan dengan depresi dilaporkan lebih sedikit memulai

aktivitas seksual pada enam bulan pasca persalinan dan lebih

(22)

5. Tingkat Pendidikan

Perempuan dengan tingkat pendidikan lebih tinggi dihubungkan

dengan kejadian disfungsi seksual yang lebih rendah,3 namun

penelitian Fajewonyomi dan rekan di Nigeria mendapatkan

sebaliknya: disfungsi seksual lebih banyak dialami oleh perempuan

dengan tingkat pendidikan lebih tinggi.33

2.7 Penilaian Disfungsi Seksual dengan Female Sexual Function Index (FSFI)

Disfungsi seksual perempuan merupakan diagnosis klinis yang

kompleks. DSM-IV dan ICD-10 menyatakan perlu adanya penderitaan

secara pribadi (personal distress) pada kelainan seksual, sehingga dapat

didiagnosis sebagai gangguan seksual yang menimbulkan disfungsi.18,22

Tidak seperti gairah seksual pada laki-laki yang mudah untuk dinilai

dan dievaluasi, gairah pada wanita sering diabaikan dari segi diagnostik.

Disamping karena keadaan ini jarang dikeluhkan oleh pasien, keadaan ini

juga sulit dinilai karena tidak ada instrumen diagnostik untuk menilai

secara empiris. Di samping data yang sedikit, pilihan terapi untuk masalah

disfungsi seksual wanita lebih sedikit dibanding dengan masalah yang

sama pada laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian mengenai

masalah disfungsi seksual wanita ini masih terbatas.1,27

Penilaian penderitaan pribadi (personal distress) ini biasanya

dilakukan melalui interview klinis atau suatu kuesioner terstandar. Pada

(23)

menilai gangguan seksual secara singkat dan bersifat self report, yang

dinamakan Female Sexual Function Index (FSFI). FSFI ini

mengidentifikasi enam struktur domain disfungsi seksual yaitu, dorongan,

bangkitan, lubrikasi, orgasme, kepuasan dan nyeri.36

Kuesioner Indeks Fungsi Seksual Wanita telah digunakan sejak

tahun 1982 di berbagai institusi pendidikan dan kesehatan khususnya

bidang psikiatri secara internasional. Berdasarkan interpretasi klinik dari

Female Sexual Function Index (FSFI). Index fungsi seksual wanita terdiri

dari 6 (enam) struktur yang dapat diukur:33

1. Hasrat/minat

Hasrat atau nafsu merupakan cerminan dasar psikologis tentang

motivasi dan dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan

keinginan untuk melakukan aktivitas seksual.

2. Rangsangan

Perangsangan adalah suatu keadaan yang merupakan hasil respon

sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya menjadi

dorongan timbulnya kesiapan organ-organ seksual melakukan

hubungan seksual.

3. Lubrikasi

Dalam hal ini lubrikasi yang terjadi adalah lubrikasi pada vagina,

dimana lubrikasi ini merupakan proses sekresi mukus pada vagina yang

dihasilkan oleh beberapa kelenjar vestibular diantaranya kelenjar bartholin

yang terdapat diantara himen dan labia minora. Lubrikasi terjadi saat

(24)

maupun stimulasi psikis. Lubrikasi vagina dipengaruhi oleh: hasrat seksual

yang dipengaruhi psikis, penggunaan obat-obatan atau larutan pencuci

vagina, dehidrasi, menyusui, menopause.

4. Orgasme adalah puncak kenikmatan seksual ditandai dengan

pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot

perineal dan organ reproduktif pelvis. Pada wanita, orgasme ditandai

oleh 3 sampai 15 kali kontraksi involunter pada sepertiga bagian bawah

dan oleh kontraksi uterus yang kuat dan lama, berjalan dari fundus

turun ke serviks. Baik wanita dan laki-laki mengalami kontraksi

involunter pada sfingter internal dan eksternal. Kontraksi tersebut

selama orgasme terjadi dengan interval 0,8 detik. Manifestasi lain

adalah gerakan involunter pada kelompok otot-otot besar, termasuk

otot wajah.

5. Kepuasan seksual

Kepuasan seksual dideskripsikan sebagai kemampuan mencapai

orgasme setiap kali melakukan hubungan seksual. Hal ini tercapai saat

keadaan perangsangan maksimal. Kepuasaan seksual dapat

mengurangi stress dan dapat meningkatkan kedekatan hubungan

emosional dengan pasangan.

6. Nyeri saat berhubungan seksual

Nyeri saat berhubungan seksual (dispareunia) adalah nyeri saat

melakukan hubungan seksual, baik disebabkan kelainan fisik maupun

psikologis. Dispareunia dapat digolongkan menjadi 2 tipe nyeri: (1)

(25)

dalam vagina, sering berhubungan dengan trauma psikologis. (2) Deep

Dyspareunia adalah nyeri yang berasal saat penetrasi dari penis dan

tempatnya spesifik. Nyeri ini dapat dihindarkan dengan perubahan

posisi, sering disebabkan oleh penyakit-penyakit organik seperti infeksi,

tumor dan endometriosis.

Penilaian secara statistik kemudian menyatakan bahwa kuesioner

ini memiliki tingkat validitas yang dapat diandalkan, baik secara klinis

maupun psikometrik, dalam menilai dimensi-dimensi penting dari disfungsi

seksual perempuan.34 Selanjutnya pada tahun 2003, Wiegel dan Rekan

melakukan uji krosvalidasi terhadap FSFI dan menetapkan skor 26,55

sebagai nilai patokan dalam mengklasifikasi disfungsi seksual perempuan

(26)
(27)

2.9 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini merupakan kerangka konsep etiologi, variabel

bebas yang diteliti yaitu usia, tingkat pendidikan, jumlah persalinan

(paritas), dan menyusui. Variabel terikat yang diteliti yaitu fungsi seksual

pasca persalinan terdiri dari fungsi pada dorongan seksual, bangkitan

seksual, pencapaian orgasme dan nyeri ketika hubungan seksual, dengan

Gambar

Gambar 1. Siklus Respon Seksual menurut Masters dan Johnson19
Gambar 2. Siklus Respon Seksual menurut Basson21

Referensi

Dokumen terkait

Karena sensus penduduk dilakukan sekali dalam 10 tahun, maka untuk mengetahui perkiraan jumlah penduduk pada suatu masa dapat dilakukan dengan proyeksi penduduk.. Proyeksi

Sedangkan menurut Nana Sudjana (2010: 35) menyatakan “Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil belajar kognitif berkenaan

Yaitu asuransi yang memberikan jasa dan pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi kerugian dan atas perusahaan asuransi jiwa..

Promosi kesehatan dalam pencegahan penularan HIV dan AIDS adalah program pencegahan dengan tes HIV sukarela yaitu VCT (Voluntary Counselling and Testing , Dalam

maka dalam beberapa saat akan ada arus listrik yang mengalir masuk ke dalam kapasitor, kondisi ini disebut proses pengisian kapasitor, apabila muatan listrik di dalam kapasitor

mobilisasi sumberdaya dalam gerakan masyarakat anti kapal isap produksi. di perairan

Melihat permasalahan diatas, maka penelitian akan dibatasi pada keefektifan metode pembelajaran Bermain Peran (Role Playing) dalam meningkatkan motivasi dan hasil

murid. 4) Pengalaman belajar bersumber dari kebutuhan dan tujuan murid sendiri yang mendorong motivasi yang kontinu. 5) Proses belajar dan hasil belajar disayarati oleh