• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Tipe Penderita Tuberkulosis Paru dengan Tingkat Depresi di RSUP H.Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Tipe Penderita Tuberkulosis Paru dengan Tingkat Depresi di RSUP H.Adam Malik Medan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ekstrapulmonar (Djojodibroto, 2009).

2.1.2. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi tunggal setelah Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada tahun 2013 ditemukan kasus sebanyak 6,1 juta kasus dan 5,7 juta diantaranya sebagai kasus baru dan kambuh dan 0,4 juta kasus yang sudah mendapatkan pengobatan. Insidensi kasus TB secara global telah mengalami penurunan selama beberapa tahun. Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2013 telah mengalami penurunan insidensi dengan rata-rata 1,5 % setiap tahunnya. Angka mortalitas TB dan prevalensi rate juga mengalami penurunan antara tahun 1990 dan 2013. Penurunan angka mortalitas yang diperkirakan adalah sebesar 45 % dan prevalensi rate sebesar 41 %. Indonesia merupakan salah satu dari enam negara yang memiliki kasus baru TB BTA positif terbanyak dengan jumlah antara 420.000-520.000 jiwa (WHO, 2014).

Pada tahun 2013 diperkirakan dari 2,6 juta kasus TB paru, 300.000 merupakan

(2)

2.1.3. Patogenesis

Jalan masuk awal bagi basilus tuberkel ke dalam paru atau tempat lainnya

pada individu yang sebelumnya sehat menimbulkan respon peradangan akut nonspesifik yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa gejala. Basilus kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut ke kelenjar limfe regional. Bila penyebaran organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjar limfe regional, lalu basilus mencapai aliran darah dan terjadi diseminata yang luas. Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata menyembuh, sebagaimana lesi paru primer, walaupun tetap ada fokus potensial untuk reaktivasi selanjutnya. Diseminasi dapat mengakibatkan tuberkulosis meningeal atau miliaris yaitu penyakit dengan potensial terjadinya morbiditas dan mortalitas yang utama, terutama pada bayi dan anak kecil (Isselbacher et al., 2013).

Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang biak di lingkungan intraselulernya, timbul hipersensitivitas pada pejamu yang terinfeksi. Limfosit yang cakap secara imunologik memasuki daerah infeksi, di situ limfosit menguraikan faktor kemotaktik, interleukin dan limfokin. Sebagai responsnya, monosit masuk ke daerah tersebut dan mengalami perubahan bentuk menjadi makrofag dan selanjutnya menjadi sel histiosit yang khusus, yang tersusun menjadi granuloma. Mikrobakterium dapat bertahan dalam makrofag selama bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan pembentukan lisozim dalam sel ini, namun multiplikasi dan penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kemudian terjadi penyembuhan, seringkali dengan kalsifikasi granuloma yang lambat yang kadang meninggalkan lesi sisa yang tampak pada foto rontgen paru. Kombinasi lesi paru

perifer terkalsifikasi dan kelenjar limfe hilus yang terkalsifikasi dikenal sebagai kompleks ghon (Isselbacher et al., 2013).

(3)

anak di atas usia 1 atau 2 tahun sampai sekitar usia pubertas, lesi tuberkulosis primer hampir selalu menyembuh. Sebagian besar akan menjadi tuberkulosis pada masa akil

balig atau dewasa muda. Individu yang terinfeksi pada masa dewasa memiliki risiko terbesar untuk terjadinya tuberkulosis dalam waktu sekitar 3 tahun setelah infeksi penyakit tuberkulosis dan lebih sering pada perempuan dewasa muda, sementara pada laki-laki lebih sering pada usia yang lebih tua (Isselbacher et al.,2013).

2.1.4. Klasifikasi Tuberkulosis

Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan : 1. Berdasarkan letak anatomi penyakit

a. Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam paru (PDPI,2011).

b. Tuberkulosis ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak (PDPI, 2011).

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi a. Tuberkulosis paru BTA positif, apabila:

Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat external quality assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan

dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari (PDPI,2011). b. Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila:

Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat EQA (PDPI,2011).

c. Kasus bekas TB

(4)

Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung (PDPI,2011).

3. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Riwayat pengobatan sebelumnya sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

a. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah mendapat OAT kurang dari satu bulan. Pasien dengan hasil dahak BTA postif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun (PDPI,2011).

b. Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun (PDPI, 2011).

4. Status HIV

Status HIV pasien merupakan hal yang penting untuk keputusan pengobatan (PDPI, 2011)

2.1.5. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang

lainnya (PDPI, 2011).

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik dapat berupa batuk lebih dari atau sama dengan tiga minggu, batuk darah, sesak napas dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik yaitu adanya demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun (PDPI, 2011).

(5)

inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara nafas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan

mediastinum (PDPI, 2011).

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis yang mempunyai arti sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat bersasal daru dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, dan jaringan biopsi termsauk biopsi jarum halus. Cara pengambilan dahak tiga kali, setiap pagi tiga hari berturut-turut atau dengan cara sewaktu pagi sewaktu yaitu sewaktu saat kunjungan, keesokan harinya dan pada saat mengantarkan dahak pagi (PDPI, 2011).

Selain pemeriksaan dahak, terdapat pemeriksaan radiologik dalam penegakan diagnosa. Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB aktif adalah bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah, bayangan bercak milier, kaviti, dan efusi pleura unilateral. Sedangkan gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah fibrosis pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas, kalsifikasi, kompleks ranke dan fibrosis parenkim paru (PDPI, 2011).

Selain pemeriksaan diatas, terdapat pemeriksaan penunjang lainnya berupa polymerase chain reaction (PCR), pemeriksaan BACTEC,pemeriksaan cairan pleura, pemeriksaan histopatologi jaringan,pemeriksaan darah, uji tuberkulin dan pemeriksaan serologi seperti ELISA, mycodot, uji peroksidase anti peroksidase (PAP),

dan immunochromatographic tuberculosis (PDPI, 2011).

2.1.6. Pengobatan Tuberkulosis

(6)

terutama TB multidrug resistant (MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum tersedia di pasaran Indonesia tetapi sudah

digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR (PDPI, 2011).

Pengobatan TB standar dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Pasien baru

Paduan obat yang dianjurkan 2RHZE/4HR dengan pemberian dosis setiap hari. Bila menggunakan OAT program, maka pemberian dosis setiap hari pada fase intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga kali seminggu dengan DOT 2RHZE/4R3H3 (PDPI, 2011).

2. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil uji kepekaan, diberikan paduan obat 2RHZES/HRZE/5RHE (PDPI, 2011). 3. Pasien multi-drug resistant (MDR).

Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru sedangkan kasus TB-MDR dirujuk ke pusat rujukan TB-MDR (PDPI, 2011).

2.1.7. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan (PDPI, 2011).

Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan efek samping

(7)

Tabel 2.1. Efek samping Mayor OAT

Efek Samping Mayor Obat Tatalaksana

Hentikan Obat Penyebab

Pusing (vertigo dan nystagmus) streptomisin Hentikan Streptomisin Kuning (setelah penyebab lain

Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2011.

Tabel 2.2. Efek samping Minor OAT

Efek Samping Minor Obat Teruskan pengobatan / Evaluasi Pengobatan

Syok, purpura, gagal ginjal akut Rifampisin Hentikan rifampisin Penurunan jumlah urin Streptomisin Hentikan streptomisin Tidak nafsu makan, mual dan

nyeri perut

Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atau parasetamol

Rasa terbakar, kebas atau kesemutan pada tangan atau kaki

(8)

Mengantuk Isoniazid Yakinkan kembali, berikan obat sebelum tidur

Urin bewarna kemerahan atau oranye

Rifampisin Yakinkan pasien dan sebaiknya pasien diberi

Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2011.

2.1.8. Resisten Ganda (Multi Drug Resistance/ MDR)

Resitensi ganda menujukkan M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Rifampisin dan INH merupakan 2 obat yang sangat penting pada pengobatan TB yang diterapkan strategi DOTS. Secara umum resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :

1. Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang 1 bulan. 2. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahun pasti apakah penderitanya sudah

pernah ada riwayat pengobatan sebelumya atau tidak.

3. Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan

sebelumnya (PDPI, 2011).

Diagnosis MDR dipastikan berdasarkan uji kepekaan. Semua suspek TB-MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan terdapat M.tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan INH, maka dapat ditegakkan diagnosis TB-MDR (PDPI, 2011).

Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut. Di bawah ini adalah beberapa strategi pengobatan TB-MDR yaitu:

(9)

2. Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat berdsarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data hasil uji kepekaan

populasi representatif.

3. Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan (PDPI, 2011). Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah: 6 pirazinamid-etambutol - kanamisin - levoflosasin - etionamid- sikloserin atau 18 pirazinamid – etambutol – kanamisin – levoflosasin – etionamid - sikloserin (PDPI, 2011).

Tabel 2.3. Efek Samping Obat TB MDR

Efek Samping Obat Obat Evaluasi Pengobatan Hepatitis Z,H,R,Of,L,PAS Hentikan pengobatan

Renal Failure S, Km, Am, Cm Hentikan pengobatan yang diduga sebagai penyebab

Arthralgia Z, Of, L 1.Berikan Pengobatan dengan NSAID

2.Kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab. 3.Hentikan pengobatan bila tidak ada

pengurangan gejala Gastritis PAS, H, E, Ctz 1.Berikan pengobatan

antasida

2.kurangi dosis obat yang

diduga sebagai penyebab 3.hentikan pengobatan

Mual dan muntah PAS, H,E,Ctz, Z 1.Rehidrasi 2.Mulai dengan

memberikan anti-muntah 3. kurangi dosis obat yang

(10)

Kejang Cs, H, Of, L, 1.Mulai dengan memberi obat anti kejang

(phenytoin)

2. kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 3.hentikan pengobatan

Neuropati perifer S, Km, Am, Cm, M, Cs, E, Of, L

1.Tingkatkan pemberian pyridoxine s.d. 300 mg/hari

2.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 3.hentikan pengobatan

Tuli S, Km, Am, Cm,

Clr

1.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 2..hentikan pengobatan

Gejala Psikotik Cs, Of, L, H 1.Berikan obat anti-psikotik

2.kurangi dosis obat yang diduga sebagai penyebab 3. Hentikan pengobatan

Depresi Cs, Of,L, H 1.konseling dengan dokter psikiatri

2. berikan obat anti-depresan

3.kurangi dosis obat yang

diduga sebagai penyebab 4. Hentikan pengobatan

Hipotiroid PAS, Tha 1.Berikan terapi thyroxine 2. Hentikan Pengobatan

(11)

2.2. Depresi

2.2.1. Definisi Depresi

Depresi merupakan gangguan mental yang ditandai dengan adanya perasaan sedih, kehilangan minat terhadap sesuatu, perasaan bersalah, gangguan tidur, nafsu makan berkurang, perasaan lelah dan penurunan konsentrasi (World Health Organization, 2015).

Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresi kehilangan minat dan kegembiraan, dan kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas. Disamping itu gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, pikiran bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang (PPDGJ, 1993).

2.2.2. Klasifikasi Depresi

Gangguan depresi teridiri dari berbagai jenis, yaitu: 1. Gangguan depresi mayor

Terjadinya satu atau lebih periode atau episode depresi (disebut episode depresi mayor) tanpa ada riwayat terjadinya episode manik atau hipomanik alami. Seseorang dapat mengalami satu episode depresi mayor, yang diikuti dengan kembalinya mereka pada keadaan fungsional biasa (Nevid et al., 2003). Pada episode ini setidaknya ada 2 minggu dan memiliki setidaknya empat gejala seperti perubahan berat badan dan nafsu makan, perubahan tidur dan aktivitas, tidak ada energy, rasa bersalah, masalah dalam

berpikir dan membuat keputusan, serta pikiran berulang mengenai kematian dan bunuh diri (Sadock dan Sadock, 2004).

2. Gangguan distimik

Pola depresi ringan, tetapi mungkin saja menjadi mood yang menyulitkan pada anak-anak atau remaja yang terjadi dalam suatu rentang waktu sedangkan pada orang dewasa, biasanya dalam beberapa tahun (Nevid et al., 2003).

3. Gangguan depresi psikotik

(12)

4. Gangguan depresi persisten

Perasaan depresi yang berlangsung selama minimal 2 tahun. Seseorang didiagnosis dengan gangguan depresi yang terus-menerus mungkin memiliki episode depresi utama bersama dengan periode gejala yang lebih ringan, tetapi gejala harus berlangsung selama 2 tahun (National Institute of Mental Health, 2010).

5. Gangguan depresi postpartum

Perempuan setelah melahirkan mengalami perubahan hormon dan fisik serta tanggung jawab baru dalam merawat bayi yang baru lahir. Diperkirakan bahwa 10 sampai 15 persen wanita mengalami depresi postpartum (National Institute of Mental Health, 2010).

2.2.3. Alat Ukur Depresi

Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.Aaron T.Beck BDI merupakan salah satu instrumen paling sering digunakan untuk mengukur tingkat depresi. Para responden akan mengisi 21 pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki skor 1 s.d. 3, setelah responden menjawab semua pertanyaan kita dapat menjumlah skor tersebut, skor tertinggi adalah 63 jika responden mengisi 3 poin seluruh pertanyaan. Skor terendah adalah 0 jika responden mengisi poin 0 pada keseluruhan pertanyaan. Total dari keseluruhan akan menjelaskan tingkat depresi yang akan dijelaskan dibawah ini.

Tabel 2.4 Skor BDI

Skor Total Tingkat Depresi

0-9 Minimal/Normal

10-16 Depresi ringan

17-29 Depresi sedang

30-63 Depresi berat

Sumber: Beck, T. Aron. 1996. Beck Depression Inventory. San Antonio: The Psychological Corporation Harcourt Brace & Company.

(13)

Depresi adalah suatu keadaan yang sering menyertai penderita TB. Ini terbukti dari studi penelitian dimana tingginya angka prevalensi depresi pada penderita TB.

Prevalensinya berkisar dari 11,3 % sampai 80,2%, dengan rata-rata prevalensi 48,9 % (Sweetland et al., 2014). Seperti halnya studi penelitian yang dilakukan di India, angka prevalensi penderita TB yang mengalami depresi juga tinggi. Dari 110 sampel penderita TB, 62 % mengalami depresi, 2/3 mengalami depresi ringan-sedang dan 5,5 % mengalami depresi berat (Basu et al., 2012).

Berdasarkan penelitan yang dilakukan vega et al., (2003) di Peru dari 75 sampel yang diteliti terdapat 36 orang atau 52,2 % penderita MDR TB mengalami depresi. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan di India bahwa penderita TB-MDR yang mengalami depresi lebih rendah yaitu 7 orang dari 45 penderita TB atau sekitar 16 %. Dari 7 penderita TB MDR ini, terdapat 4 penderita yang mengalami depresi sedang-berat (Das et al., 2014). Efek samping obat pada regimen pengobatan TB-MDR juga sebagai penyebab timbulnya depresi dan keinginan bunuh diri. Obat yang diduga pemicu timbulnya hal tersebut adalah sikloserin (Mtonga, 2008).

Banyaknya penderita TB yang mengalami depresi selama proses pengobatan akan berpengaruh kepada ketidakpatuhan berobat oleh penderita TB. Hal-hal yang menyebabkan banyak penderita TB yang mengalami depresi adalah ketidaktahuan mereka tentang penyakitnya, penderita mengira bahwa TB adalah suatu penyakit berbahaya dengan angka kesembuhan dan survival yang rendah.Selain itu, proses pengobatan akan berlangsung dan lama dan menganggu rutinitas keseharian penderita TB. Sehingga mereka melakukan pengobatan dengan tidak baik (Aamir dan Aisha, 2010).

Begitu juga halnya dengan penelitian yang dilakukan di negara Nigeria, dimana penelitian yang dilakukan membandingkan depresi pada penderita TB dengan Non-TB keluarga penderita didapatkan hasil bahwa yang mengalami depresi adalah yang usia yang lebih tua, riwayat pengobatan yang sudah lama, belum menikah dan termasuk pengobatan kategori II ( Ige dan Lasebikan, 2011).

(14)

diperlukan pengobatan secara medis juga diperlukan dukungan sosial dari keluarga maupun orang di sekitarnya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Riskiyani et al., (2013) di Desa Ajangale, TB paru dapat sembuh bila dilakukan pengobatan secara teratur selama 6-8 bulan. Karena pengobatan memerlukan waktu yang lama maka penderita TB paru berisiko mengalami kebosanan yang cenderung akan mengakibatkan putus obat. Di samping itu setelah mengonsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis), penderita mengalami efek samping obat yang sangat keras sehingga penderita berhenti minum obat karena kurangnya informasi tentang pengobatan penyakit TB paru yang diterima.

Gambar

Tabel 2.2.  Efek samping Minor OAT
Tabel 2.3.  Efek Samping Obat TB MDR
Tabel 2.4  Skor BDI

Referensi

Dokumen terkait

Oriflame merupakan sebua h perusahaan kosmetik dan perawatan wajah yang mempunyai sistem penjualan langsung (direct selling) yang berkembang paling cepat di dunia. Penulisan Ilmiah

KEY WORDS: Biometrics, Iris Structure, Computer Vision, Image Analysis, Optical Flow, Horn-Schunck Method, Lucas-Kanade Method, Accuracy

[r]

Aset produktif bermasalah terhadap total aset produktif 7.23% 6.43%4. Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN)

[r]

Menguraikan teori terkait dan temuan penelitian yang relevan yang memberi arah ke pelaksanaan PTK dan usaha peneliti membangun argumen teoritik bahwa dengan tindakan

[r]

[r]