BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan masyarakat yang sangat heterogen,
karena terdiri dari banyak sekali suku bangsa (etnik).1 Keheterogenan itu dapat
dilihatdari beberapa suku bangsaseperti Jawa, Batak Toba, Mandailing, Melayu,
Sunda, Minangkabau, Banjar, Bugis, Makasar, Bali, Sasak, Asmat, dan lainnya.
Suku bangsa memiliki asal-usulnya masing-masing dan karakteristik yang
mendukung asal-usulnya.
Suku bangsa yang ada dalam suatu masyarakat2 memiliki seni budaya
masing-masing, yang merupakan salah satu perwujudan dari kebudayaan. Lebih
dari itu, kesenian adalah ekspresi dari budaya, yang dapat ditafsirkan, dan menjadi
identitas manusia pendukungnya. Budaya tersebut mempunyai nilai -nilai sosial dan
seni yang tinggi. Masing-masing budaya memiliki ciri khas tersendiri yang akan membentuk sebuah kebudayaan lokal. Budaya lokal Indonesia sangat membanggakan
1Etnik atau kelompok etnik dalam bahasa Indonesia selalu disebut suku atau suku bangsa, menurut Naroll adalah sebagai suatu populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi (Narrol, 1965:32).
2
karena memiliki keanekaragaman yang sangat bervariasi serta memiliki keunikan tersendiri sebagai identitas bangsa (Rumbiyardi, 2012). Demikian pula budaya lokal etnik Jawa, baik yang berada di Pulau jawa, maupun persebarannya di berbagai tempat di Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia.
Jawa merupakan suku bangsa yang terbesar di Indonesia, dan menyebar ke
hampir seluruh wilayahnya, dan berbagai tempat di dunia. Penyebaran itu
terutama terjadi melalui program transmigrasi. Keberadaan masyarakat Jawa di
berbagai wilayah di luar Pulau Jawa tentu saja menuntut mereka untuk bisa
beradaptasi dengan lingkungannya, termasuk dengan masyarakat dari suku bangsa
lainnya sesama pendatang.
Orang Jawa terkenal dengan seni budayanya yang tentunya memegang
peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya. Seperti yang dijelaskan
Koentjaraningrat (2009),bahwa dalam kenyataannya masyarakat kesenian dan
kebudayaan fisik lainnya, tidak terpisah dari sistem sosial dan adat istiadatnya.
Dengan demikian, secara serentak pelaksanaan kesenian dapat mencerminkan dan
memperkuat nilai-nilai, hirarki, dan struktur kebudayaan. Kesenian juga menjadi
cara untuk menghubungkan diri dengan masyarakat.
Clifford Geertz, dalam karya bukunya yang berjudul The Religion of Java, mengungkapkan hakikat sifat-sifat orang Jawa: ―yaitu bahwa sifat-sifat orang
Jawa yang berbudaya berarti sudah bisa menguasai tiga hal secara baik, yang
pertama adalah bertingkah laku menurut aturan, sopan, dan sopan-santun dalam
bermasyarakat, yang kedua adalah memiliki wawasan seni dan keindahan, dan
yang ketiga tanggap terhadap perintah utama dari Yang Maha
seni dan keindahan. Dalam kehidupan orang Jawa, seni dan keindahan sering kali
bahkan bagian yang tak terpisahkan. Seni itu baik berupa seni rupa, seni tari,
maupun musik. Sedangkan keindahannya terletak pada nilai-nilai seni masyarakat
Jawa. Salah satunya terdapat di dalam genre seni reog Ponorogo.
Reog Ponorogo merupakan seni pertunjukan masyarakat Jawa yang di dalamnya terdapat unsur-unsur, yang meliputi: tari, drama, dan musik. Kesenian
reog mempertunjukan keperkasaan seorang pembarong dalam mengangkat dadak merak seberat sekitar 50 kilogram dengan kekuatan gigitan gigi sepanjang pertunjukan reog berlangsung dan juga diiringi dengan kuda-kudaan yang terbuat dari sayatan bambu atau disebut dengan kepang (tiruan binatang kuda yang terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk pipih), dalam kesenian reog terdapat unsur mistik, pemakaian alat musik Jawa (gamelan), iringan gendhing reogan yang bentuknya lebih sederhana dari pada gendhing-gendhing tradisonal klasik
Jawa yang lebih rumit dan diulang-ulang selama pertunjukan berlangsung.3
Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari daerah PonorogoJawa Timur yang telah ada sejak berabad-abad yang lalu dan diwariskan
secara turun-temurun di kalangan masyarakat Ponorogo hingga saat ini dan
memiliki pengaruh yang kuat bahkan sampai ke luar daerah Jawa Timur dan
memiliki eksistensi sebagai identitas budaya lokal maupun nasional. Dari sejak
kelahirannya reog sudah memperlihatkan ciri-ciri yang khas atas kepribadiannya, dan corak daerah. Karena itulah, maka kesenian ini menjadi salah satu kesenian
kebanggaan yang sangat digemari oleh segenap lapisan masyarakat, baik
kanak-kanak maupun orang dewasa (Hartono, 1980).
Budaya Jawa berkembang seiring dengan penyebaran penduduk suku Jawa
ke berbagai wilayah dunia, seperti di Suriname ketika masa penjajahan Belanda
untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan milik Belanda. Kebudayaan Jawa
juga terbentuk sejakzaman kerajaaan-kerajaan Hindu dan Budha yang berkuasa di
pulau Jawa, sehingga sebagian besar hasil-hasil kebudayaan Jawa dipengaruhi
oleh unsur Hindu-Budha. Selain itu ada pula filsafat suku Jawa yang disebut
sebagai filsafat Kejawen.4
Mengikuti pendapat Clifford Geertz (1963) yang mengelompokkan
masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan besar berdasarkan varian budayanya
yaitu abangan, santri, dan priyayi, maka dapat dikatakan bahwa pendukung reog adalah golongan abangan (Muhammad Zamzan Fauzanafi, 2005: 169). Secara kultural, kelompok ini masih mempertahankan unsur-unsur budaya pra-Islam,
animisme, dinamisme, dan dicampur dengan unsur-unsur kebudayaan Hindu dan
Budha. Mereka masih mempertahankan kesenian itu seperti yang diajarkan dan
diwariskan oleh para pendahulunya sehingga sulit menghilangkan unsur-unsur
mistis karena menganggap bahwa unsur mistis menjadi bagian tak terpisahkan
dari seni reog.
Berkembangnya suatu masyarakat dari masyarakat tradisional menjadi
masyarakat modern, tentu saja merubah pemahaman mereka terhadap falsafah
4
hidup yang dianut. Ada pandangan yang menyatakan bahwa kebudayaan
tradisional acapkali menghambat perkembangan suatu masyarakat, terutama yang
berhubungan dengan proses modernisasi.Masyarakat lebih memilih kebudayaan
baru yang mungkin dinilai lebih praktis dibandingkan dengan budaya lokal.
Sedangkan pandangan lainnya mengungkapkan bahwa kebudayaan suatu
masyarakat yang diwariskan secara turun menurun dalam waktu yang lama dan
tetap dipertahankan oleh anggota masyarakatnya, akan mempunyai
kecenderungan untuk menolak berbagai perubahan yang datang dari kebudayaan
lain dibandingkan dengan kebudayaan yang tidak dimiliki dalam waktu yang lama
(Melalatoa, 1997). Pada proses kedua inilah menurut penulis reog menunjukkan eksistensinya di masa kini, termasuk di Riau.
Salah satu grup kesenian reog yang masih tetap eksis sampai sekarang ini
yaitu grup Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari, Kecamatan Bangko
Pusako, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Mereka mempunyai cara tersendiri untuk
mempertahankan eksistensi kesenian reognya. Hal itu dapat dilihat dari perubahan
bentuk penyajian reog yang pada dasarnya merupakan suatu usaha mempertahankan keberadaan Grup Reog Sri Karya Manunggal ini dalam
kehidupan masyarakat desa Bangko Lestari, dengan demikian kehidupan kesenian
tersebut masih bertahan hingga sekarang.
Identitas yang terdapat di dalam satu genre kesenian berkait erat dengan
kontinuitas (keberlanjutan) dan perubahan. Keberlanjutan merupakan proses
memelihara budaya, baik dalam wujud ide, kegiatan, maupun artefaknya, di
manapun manusia berada di muka bumi ini. Keberlanjutan adalah ciri utama dari
lain, sesuai dengan hukum alam, kontinuitas selalu pula disertai dengan
perubahan-perubahan, baik yang bersifat perlahan secara evolutif maupun yang
secara cepat. Perubahan bisa juga disebabkan oleh ekologi budaya. Sebagai
contoh di dalam kajian ini, masyarakat Jawa yang ada di Riau adalah masyarakat
pendatang yang harus melakukan perubahan secara adaptasi dengan
lingkungannya yang merupakan daerah kebudayaan Melayu. Demikian pula yang
diekspresikan di dalam reog di Riau ini mengalami kontinuitas dan perubahan
sekaligus. Kontinuitas adalah bahagian dari mempertahankan identitas atau jati
diri, sedangkan perubahan adalah sifat alamiah sebuah kebudayaan.
Ada suatu masyarakat yang melakukan seni pertunjukan sebagai kekuatan
atau sebagai motivasi dalam menjalani kehidupan karena makna yang tergantung
di dalamnya. Tiap-tiap daerah menghasilkan kesenian yang mempunyai ciri-ciri
khusus dan mencerminkan sifat-sifat etnik daerah. Kekhususan yang ada pada
tiap-tiap kesenian di daerah itulah yang menjadi identitas (Fachriya, 2009).
Identitas dapat diartikan sebagai ciri-ciri, tanda-tanda, atau jati diri.
Identitas atau jati diri itu muncul dan ada dalam interaksi. Interaksi adalah
kenyataan empirik yang dilakukan oleh seseorang dan orang lain atau dengan
kelompok lain yang berupa tindakan para pelaku yang menandakan adanya
hubungan antar para pelaku tersebut. Seseorang mempunyai jati diri tertentu
karena diakui keberadaannya oleh seseorang atau orang dalam hubungan yang
berlangsung.
Menurut Hnak Jhonston, Enrique Larana, dan Joseph R. Gusfield
(1994)identitas dapat dibagi dalam beberapa bagian yaitu: identitas Individu dan
1. Identitas individu idalah identitas atau jati diri yang dimiliki oleh seseorang
yang ia dapat sejak ia lahir maupun dari proses interaksi dengan yang lain.
Identitas yang dimiliki seseorang tidaklah hanya satu tetapi lebih dari satu.
Jumlah identitas yang dimiliki seseorang akan berbeda dengan identitas yang
dimiliki orang lain.
2. Identitas kolektif adalah identitas yang dimiliki oleh anggota-anggota
kelompok yang mereka bangun melalui interaksi, sesama anggotanya dan
untuk kepentingan bersama atau untuk kepentingan kelompok.
Dalam konteks identitas ini, reog adalah ekpresi dari identitas kolektif masyarakat Jawa, khususnya kelompok abangan. Seterusnya dalam penelitian ini
dilakukan kajian tentang bagaimana seni reog itu dipertahankan demi
keberlanjutan seni tersebut pada masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari, Rokan
Hilir Riau. Dan apakah identitasnya mengacu secara ketat kepada identitas reog seperti yang ada di Ponorogo Jawa Timur, atau telah mengalami berbagai adaptasi
dalam situasi dan tempat perantauan, khususnya di wilayah budaya Melayu Riau.
Dari segi konsep pertunjukan, ReogPonorogo dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Reog Festival(Reog Kabupaten) dan ReogObyogan (Reog Desa). ReogFestival biasanya dipentaskan dalam acara-acara resmi dan formal seperti Festival Reog Nasional (FRN), penyambutan tamu pemerintah, dan peringatan malam bulan purnama. Sedangkan ReogObyoganbiasanya ditanggap oleh individu, keluarga atau desa dalam acara-acara khusus seperti pernikahan,
dipentaskan di panggung (stage), tidak berpindah dari satu tempat ke tempat yang
lain.
ReogFestival sangat mementingkan urutan, karena berhubungan dengan cerita yang hendak dipresentasikannya. Sebaliknya, Reog Obyog tidak mementingkan urutan pementasan dan tidak mempresentasikan cerita tertentu.
Urutan ReogFestival, selalu dimulai dengan datangnya dua orang warok yaitu warok tua dan warok muda, 6 orang jathilan, 1 orang prabu Klono Sewandono, barongan, lalu dengan pertempuran, dan diakhiri dengan kekalahan Singobarong oleh Klono Sewandono. Dalam ReogObyogan, pertunjukan bisa dimulai dengan penampilan warok terlebih dahulu (kalau ada), bisa pula jathil yang muncul pertama, atau bujangganong, kemudian barongan(Fauzannafi, 2005).
Pertunjukan reog pada Grup Sri Karya Manunggal ini seperti Reog Obyog yang tidak mempresentasikan cerita apapun, kecuali kegembiraan, tontonan, dan hiburan. Namun pertunjukan Grup Reog Sri Karya Manunggal ini sedikit ada berbeda dan mempunyai karakteristik tersendiri yaitu dapat dilihat dari
adanya tariannya yang beranekaragam agar tidak membuat kejenuhan penonton.
Urutan tarian yang ditampilkan menjadi: Tari Hanoman (Kera Putih), Tari Bujangganong, dan Tari Barongan (Dhadhak Merak), serta Tari Jathil Laki-laki (prajurit berkuda).
Saat ini Grup Sri Karya Manunggal masih menjadi sebuah pertunjukan
fenomenal yang bisa membuat hati para penonton terpikat. Namun, dengan
kepopuleran grup ini, ada grup lain yang ingin menjatuhkanGrup Sri Karya
Manunggal tersebut karena ada suatu kepentingan sehingga muncullah
penanggap seni reogdan membesarkan nama grupnya sendiri tanpa mementingkan
sejarah atau segi pertunjukannya. Sementara Grup Sri Karya Manunggal tidak
ingin ada persaingan, karena mereka anggap bahwa seni bukan untuk persaingan
melainkan harus guyub (bersatu).5
Pertunjukan grup Sri Karya Manunggal ini ditampilkan pada hari-hari
tertentu yang diadakan bersamaan dengan hajat seperti slametan, bersih desa, pesta perkawinan, khitanan (sunat Rasul), tahun baru Islam (Muharram),
mengayunkan (memberi nama pada bayi), perayaan ulang tahun, dan lain
sebagainya. Mereka menjaga dan melestarikan seni tersebut dengan cara,
menjadikan kesenian reog sebagai hobi mereka, hiburan, ataupun usaha pelestarian dalam bentuk perkumpulan atau sanggar.
Penulis memilih grup ReogSri Karya Manunggalsebagai bahan penelitian antropologis ini,karena merupakan grup yang paling terkenal dan sering
mengadakan pertunjukan reog di berbagai tempat seperti dalam acara pernikahan,
khitanan, slametan, perayaan ulang tahun, bersih desa dan sebaginya yang
terdapat di kecamatan Bangko Pusako. Kemudian pertunjukannya sangat menarik
perhatian masyarakat pendukungnya karena dalam setiap pertunjukannya mereka
membawakan dengan sangat atraktif juga mengibur banyak penonton sehingga
dimana pun mereka melakukan pertunjukan biasanya selalu ramai dikunjungi oleh
penonton baik anak-anak, remaja, sampai orang dewasa.Oleh karena itu, penulis
menganggap grup ini sangat cukup berpengalaman dalam melakukan pertunjukan
reog karena merupakan grup yang paling lama yang ada di desa tersebut dan
5
sampai sekarang masih tetap melestarikan keseniannya. Dengan demikian
kelompok ini merupakan salah satu kelompok kesenian reog yang mempunyai cara tersendiri untuk mempertahankan keseniannya demi keberlanjutan dari seni
tersebut dalam mendukung identitas Jawa di desa Bangko Lestari.
1.2Tinjauan Pustaka
1.2.1 Penelitian Relevan
Penelitian ini menggunakan sarana (sumber data) yang nantinya
akandikaitkan dan dibandingkan dengan hasil penelitian dilapangan.Kajian
pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk
mengetahui bagaimana penelitian mengenai kontinuitas dan perubahan seni
reogpada grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari dan bagaimana mereka beradaptasi serta mempertahankan keseniannya hingga saat ini. Selain itu
juga menggunakan dari penelitian-penelitian yang berkaitan dengan seni reog
terutama yang berkaitan dengan kontinuitas dan cara mempertahankan seni reog
tersebut.
Beberapa penelitian sebelumnya seperti; Mayantuti (2008), Fitrianto
(2013), Widyastuti (2013), Kurniawati (2014), Oktyawan (2014), dan Gunawan
(2015) merupakan penelitian–penelitian yang dapat dijadikan sebagai acuan atau
referensi sertayangrelevan dengan penelitiantentang bagaimana mempertahankan
seni reog demi keberlanjutan kesenian tradisional di zaman modern seperti saat
ini. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Gunawan (2015) dengan judul
penelitian ―Fungsi Kesenian Reog di Desa Kolam‖ yang mengungkapkan bahwa
dapat bertahan yaitu dengan merekrut anggota baru dan tidak memberikan beban
biaya dalam bentuk apapun kepada orang yang ingin bergabung dalam kelompok
seni reog Ponorogo di Desa Kolam.
Selain oleh Gunawan (2015), penelitian yang berkaitan dengan reog juga
dilakukan oleh Fitrianto (2013) yang berjudul ―Perubahan Makna dan Fungsi
Reog Banjarharjo dalam Kehidupan Masyarakat‖ yang didalamnya juga
diungkapkan tentang upaya-upaya yang dilakukan untuk melestarikan kesenian
reog Banjaharjo yaitu:
(1) Melakukan penambahan jenis musik jaiponguntuk bersaing dengan musik dangdut yang pada saat itu lebih menarik minat masyarakat di Desa Banjarharjo. Selain itu pelaku reog Banjarharjo juga melakukan kerjasama dengan menggabungan kesenian lain yaitu kuda lumping yang juga berasal
dari Desa Banjarhajo.
(2) Upaya mengubah jenis pertunjukan juga dilakukan oleh pelaku
ReogBanjarharjo yaitu dengan melakukan pertunjukan setiap sebulan sekali
dandapat dilakukan tidak hanya untuk ruwatan rumah. Upaya ini dilakukan
selainuntuk menambah daya tarik dari masyarakat juga sebagai upaya untuk
lebih mendekatkan reog Banjarharjo kepada masyarakat yang pada saat itu lebihtertarik pada musik dangdut.
(3) Melakukan gabungan dengan kesenian lain yaitu kuda lumping. Kesenian Reog Banjarharjo mendapat saingan dengan tradisi lain yaitu kuda lumping.
Sebagai kesenian yang berasal dari desa yang sama. Pada awalnya dua buah
kesenian tradisional tersebut saling bersaingan untuk memperoleh minat
bergabung untuk meramaikan pertunjukan sehingga tidak kalah bersaing
dengan dangdutan yang pada saat itu menjadi daya tarik masyarakat Desa
Banjarharjo. Masuknya kuda lumping pada Reog Banjarharjo membuat
kesenian Reog Banjarharjo menjadi sebuah kesenian yang beraneka ragam.
Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Supariadi dan Warto (2012)
yang berjudul ―Regenerasi Seniman Reog Ponorogo Untuk Mendukung
Revitalisasi Seni Pertunjukan Tradisional dan Menunjang Pembangunan Industri
Kreatif‖ mengungkapkan bahwadalam usaha mewujudkan pembangunan nasional
yang berkarakter atau berlandaskan pada nilai-nilai budaya bangsa, pelestarian
dan pengembangan seni tradisi sebagai kekayaan budaya mutlak diperlukan. Seni
tradisi merupakan modal sosial budaya yang cukup penting dalam pembangunan
bangsa ke depan. Oleh karena itu, agar seni pertunjukan tradisional seperti Reog Ponorogo sebagai salah satu produk dan identitas budaya bangsa dapat bertahan dan lestari, maka harus dilakukan regenerasi seniman dengan sebaik-baiknya.
Regenerasi seniman Reog Ponorogo merupakan persoalan krusial dan mendesak dilakukan karena dua hal: Pertama, agar supaya seni tradisi tidak kehilangan
generasi penerus yang menjadi pemangku kebudayaan tersebut sehingga perlu
menumbuhkan apresiasi dan kecintaan generasi muda terhadap warisan tradisi
yang bernilai tinggi mutlak dilakukan. Kedua, agar supaya kesenian Reog Ponorogo tetap diakui menjadi bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia sehingga tidak mudah diklaim atau diakui kepemilikannya oleh pihak/bangsa lain.
Selain itu, penelitian ini juga relevan dengan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Widyastuti (2013) dengan judul ―Makna Ritual dalam Pementasan
masyarakat Desa Wagir Lor tetap melaksanakan ritual sebelum pementasan di era
modernisasi sekarang ini yaitu karena mereka masih percaya kepada cerita atau
mitos yang beredar. Kepercayaan mereka yaitu menganggap ada roh penunggu
barongan yang harus di akui keberadaannya. Karena manusia hidup di dunia ini disadari atau tidak mereka selalu berdampingan dengan alam gaib. Bahwa sudah
digariskan oleh yang kuasa bahwa roh gaib, jin, dan setan itu ditakdirkan untuk
mengganggu manusia di dunia. Mereka percaya bahwa dengan ritual memberikan
sesaji sebelum pementasan reog dapat menghindarkan mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan saat pementasan yang berasal dari gangguan-gangguan makhluk
halus.
Kemudian Perubahan yangterjadi yaitu pada peran tokoh seni Reog dahulu
dan sekarang, tetapi eksisitensi ritual tetap dilaksanakan sebelum pementasan dan
tidak pernah goyah oleh perubahan zaman. Dulu warok merupakan orang yang
sakti dan memiliki pantangan bergaul dengan lawan jenis, bila hal itu dilanggar
akan menghilangkan kesaktian mereka. Oleh karena itu, warok zaman dulu
memelihara seorang gemblak yaitu remaja laki-laki muda dan tampan yang
berperan sebagai penari saat pementasan Reog berlangsung. Di zaman
sekarangistilah gemblak tersebut sudah tidak ada karena dirasa telah menyalahi
norma yang ada di masyarakat (ibid).
Hasil-hasil penelitian yang telah dipaparkan tersebut merupakan acuan
yang relevan dengan penelitian ini karena memiliki kesamaan dan perbedaan
dalam hal mempertahankan kesenian reog tersebut. Kesamaannya terletak pada
kesenian reognya sementara perbedaannya terletak pada fokus yang ingin dikaji.
perubahan kesenian reog yang diwujudkan oleh grup Sri Karya Manunggal di
desa Bangko Lestari dalam melestarikan keseniannya.
1.2.2 Kontinuitas
Kontinuitas dapat diartikan sebagai kesinambungan; kelangsungan;
kelanjutan; dan keadaan kontinu. Perkembangan bersifat kontinuitas
(berkesinambungan) ialah bahwa perkembangan itu berlangsung secara bertahap
dan terus menerus.
Soemardjan (dalam Syaripudin, 2013) mengatakan bahwa perkembangan
kesenian pada umumnyamengikuti proses perubahan yang terjadi dalam
kebudayaan suatu masyarakat. Sebagai salah satuunsur kebudayaan, maka
kesenian akan mengalami hidup statis karena diliputi oleh suasanatradisionalistik.
Sebaliknya, kesenian akan selalu berkembang apabila kebudayaannya juga
selalu bersikap terbuka terhadap perubahan dan inovasi. Karenanya, kebudayaan
itu bersifat dinamis,akan selalu berkembang dan berubah dari waktu ke waktu.
Dalam setiap kebudayaan akan selaluada kebebasan kepada para individunya
untuk memperkenalkan variasi-variasi dalam cara hidup, baik karena perubahan
kondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk maupunkarena
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
Sempulur (dalam Syaripudin, 2013) turut menyebutkan, permasalahan
kemudian muncul ketika ada wacanauntuk mempertahankan kesenian tradisional
sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaantradisional. Maka dalam hal ini
kesenian tradisional jelas akanmengalami perubahan dari berbagai segi, termasuk
dari segi artistiknya dan maknanya.
1.2.3 Perubahan
Suatu kebudayaan tidaklah pernah bersifat statis, melainkan selalu
berubah. Hal ini berhubungan dengan waktu, bergantinya generasi, serta
perubahan dan kemajuan tingkat pengetahuan masyarakat. Merriam (1964:172)
mengemukakan bahwa perubahan dapat berasal dari dalam lingkungan
kebudayaan atau internal, dan perubahan juga dapat berasal dari luar kebudayaan
atau eksternal. Perubahan secara internal merupakan perubahan yang timbul dari
dalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri dan disebut juga
inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang timbul akibat
pengaruh dari luar lingkup kebudayaan tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh
Geertz, bahwa berbagai upaya dilakukan oleh para pelaku seni untuk terus dapat
menciptakan karya seni yang unik dan menarik. Hal inilah yang menjadikan
karya-karya seni bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan.
Selain itu, teori perubahan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
juga bertitik tolak dari persepektif materialistis. Marx6 (dalam Lauer, 1993:205)
secara ringkas menghimpun mekanisme perubahan dengan ungkapan: ―Kincir
angin menimbulkan masyarakat feodal; mesin uap menimbulkan masyarakat
kapitalis-industri.‖Selanjutnya Velben dan Ogburn yang sangat dipengaruhi oleh
Marx, menekankan pentingnya pengaruh teknologi terhadap perubahan. Velben
menyatakan bahwa pola keyakinan dan perilaku manusia, terutama dibentuk oleh
cara mencari nafkah dan mendapatkan kesejahteraannya, yang selanjutnya disebut
sebagai fungsi teknologi. Ogburn menyatakan bahwa manusia selamanya
berupaya memelihara dan dan menyesuaikan diri dengan alam yang senantiasa
diperbaharui oleh teknologi.
Seterusnya, Velben dan Ogburn (dalam Lauer, 1993:112-116)
menunjuk-kan bagaimana cara perubahan teknologi menimbulmenunjuk-kan masalah bagi manusia
dalam 4 (empat) hal. Pertama, teknologi sebagai satu faktor yang sangat mempengaruhi perubahan. Pandangan ini lebih mencerminkan pandangan
Ogburn. Di sisi lain Velben menganggap teknologi sebagai sebagai pendorong
perubahan. Kedua, teknologi sebagai kekuatan berpengaruh yang tidak terelakkan
terhadap perubahan. Ketiga, teknologi sebagai ―juru selamat.‖ Keempat, teknologi sebagai anti agama Kristen.
Keempat pandangan tersebut, walaupun telah memberikan manfaat yang
besar dalam perubahan kebudayaan, telah mendapat kritikan berdasarkan
kasus-kasus tertentu yang diteliti pada ahli antropologi lainnya. Epstein dalam
penelitiannya di dua desa di India Selatan, menyimpulkan bahwa satu desa yang
telah mengenal sistem irigasi (unsur teknologi) telah meningkatkan kemakmuran,
namun tatanan sosialnya tidak berubah sama sekali. Sementara satu desa lainnya
yang tetap berladang justru mengalami perubahan yang sangat besar. Whyte juga
pabrik gelas, bersamaan dengan perubahan teknologi yang sangat kecil. Sumber
perubahannya adalah pekerja baru dari etnik berlainan dengan asal etnik pekerja
lama.
1.2.4Seni Sebagai Simbol
Manusia dan seni adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Suatu
kelompok masyarakat dalam proses menjalani kehidupannya akan berkreasi dan
menciptakan sebuah kebiasaan yang lambat laun menjadi kebudayaan.
Kebudayaan menurut ahli antropologi simbolik yaitu keseluruhan pengetahuan
manusia yang dijadikan sebagai pedoman atau penginterprestasi keseluruhan
tindakan manusia (Koentjaraningrat, 2009)
Menurut Geertz, kebudayaan pada intinya terdiri dari tiga hal utama yaitu
sistem pengetahuan atau sistem kognitif, sistem nilai atau sistem evaluatif, dan
sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan atau interprestasi. Adapun titik
pertemuan antara pengetahuan dan nilai yang memungkinkan oleh simbol ialah
yang dinamakan makna (system of meaning). Dengan demikian, melalui sistem makna sebagai perantara, sebuah simbol dapat menerjemahkan pengetahuan
menjadi nilai dan menerjemahkan nilai menjadi pengetahuan.
Menurut Melalatoa, (dalam Syaripudin 2013) menerangkan, bahwa
kesenian masyarakat yang bersangkutan bermaksudmenjawab dan
menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mengisi
kebutuhan,mencapai tujuan bersama seperti kemakmuran, persatuan, kemuliaan,
kebahagiaan dan rasa amanketika berkoneksi dengan yang gaib (supernatural).
dalam bermacam-macam bentuk, seperti seni lukis, seni rias,seni patung, seni
sastra, seni tari, seni vokal dan lain sebagainya.
Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh
manusia sebagai ciri khas sesuatu yang lain. Suatu simbol menstimulasi atau
membawa suatu pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan. Begitu juga
yang terdapat pada masyarakat desa Bangko Lestari yang penuhdengan
simbol-simbol dalam upacara ritual kesenian Reog Ponorogo.
1.2.5 Kesenian Tradisional Reog Ponorogo
Menurut Kayam (2000:339-340) kesenian tradisional yang hidup dan
berkembang di dalam masyarakat mempunyai fungsi yang penting. Fungsi
tersebut dapat terlihat dari dua segi yaitu dari segi wilayah jangkauannya dan dari
segi fungsi sosialnya. Dari segi wilayah jangkauannya kesenian tradisional dapat
menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan dari segi fungsi sosialnya, daya tarik
pertunjukan rakyat terletak pada kemampuannya sebagai pembangun dan
pemelihara solidaritas kelompok. Dari pertunjukan rakyat masyarakat dapat
memahami kembali nilai-nilai dan pola perilaku yang berlaku dalam lingkungan
sosialnya. Namun peran seni pertunjukan teradisional tersebut
menghadapitantangan besar. Arus modernisasi yang mengalir sampai ke desa-desa
membawa serta berbagai bentuk seni baru yang merupakan saingan dari bentuk
seni tradisional yang sudah ada. Bentuk bentuk seni baru ini antara lain adalah
film, musik dangdut, acara-acara televisi, dan acara-acara radio.
bangunan yang hampir rubuh, dan suara gamelan reog yang bergemuruh itulah yang diidentikan dengan suara bata rubuh (Fauzanafi, 2005:169).Berbicara mengenai reog akan menuju kepada daerah di Indonesia yaitu Ponorogo salah satu
daerah yang memiliki kesenian reog.
Menurut Badudu (dalam Fitrianto, 2013),reogdikenal sebagai salah satu
kesenian tradisional masyarakat dan merupakan tarian yang menghibur. Sifatnya
hiburan dan mengandung sindiran-sindiran terhadap kejadian di masyarakat.
Reog merupakan salah satu seni pertunjukan yang ada di Indonesia. istilah seni pertunjukan dapat diartikan sebagai ―tontonan‖ yang memiliki nilai seni,
seperti drama, tari, dan musik, yang disajikan sebagai pertunjukan didepan
penonton. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kesenian atau seni
pertunjukan yang merupakan ciri khas masyarakatnya. Ia tidak sekedar hadir
sebagai tontonan, tetapi juga terkait dengan pandangan dan kebutuhan hidup di
dunia keseharian (nyata), ritual, maupun dunia simbolis dari masyarakatnya (ibid).
Menurut Supardjan (dalam Supriyatun, 2014)berdasarkan fungsinya tari
tradisional dibagi menjadi tigabagian yaitu:
(1) Tari sebagai sarana upacara. Fungsi tari sebagai sarana upacara merupakan
media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan- kekuasaan yang lebih
tinggi dengan maksud untuk mendapatkan perlindungan atau mengusirnya,
demi keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan hidup masyarakat.
(2) Tari sebagai sarana hiburan atau pergaulan. Tari ini memiliki tujuan sebagai
hiburan. Tari hiburan dimaksudkan untuk memeriahkan atau mengkaitkan
keakraban pertemuan, atau untuk memberikan kesempatan serta penyaluran
(3) Tari sebagai pertunjukan. Tari sebagai pertunjukan bertujuan untuk memberi
hidangan pertunjukan tari untuk selanjutnya diharapkan dapat memperoleh
tanggapan dari penontonya.
Kesenian teater tradisional (Supardjan, ibid), termasuk reog pada masyarakat religi asli difungsikan sebagai:
1. Pemanggil kekuatan gaib;
2. Menjemput roh-roh pelindung untuk hadir di tempat terselenggaranya
pertun-jukan;
3. Memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat;
4. Peringatan pada nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan maupun
kepahlawannya;
5. Pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat hidup
seseorang; dan
6. Pelengkap upacara untuk saat-saat tertentu dalam siklus waktu.
Muhammad Fauzannafi, (2005) dalam tulisannya yang berjudul ―Reog
Ponorogo, Menari di antara Dominasi dan Keragaman‖ mengungkapkan bahwa
kelompok reog, simpatisan, dan penggemar reog disebut sebagai ―Tyang ho‟e‖ (kelompok abangan). Hal itu terlihat dari para senggakan, yaitu yang bertugas
mengeluarkan teriakkan: ―Hok’e… hok’e…hok’e...‖ agar pentas reog semakin semarak. Selain itu mereka juga menggunakan minuman keras yang merupakan
bagian yang hampir tidak terpisahkan dari pertunjukan reog obyogan (reog desa)
yang tujuan diedarkannya minuman keras, memang bukan untuk ―mabuk
-mabukan,‖ tapi lebih semacam penegasan, pembentukan, pembaptisan, identitas
Hartono (1980) dalam bukunya yang berjudul ―Reyog Ponorogo‖
menyebutkan bahwa reog Ponorogo memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan
kesenian reog dengan kesenian lainnya. Ciri tersebut diantaranya yaitu adanya
formasi iring-iringan dalam kesenian reog dan terjadi susunan sebagai berikut: (1)
Kelompok pengawal; kelompok ini terdiri atas tiga atau empat orang yang
berpakaian lengkap Ponoragan (bergaya Jawa Ponorogo). Mereka berjalan paling
depan sekaligus berfungsi sebagai pembuka jalan. (2) kelompok pendamping;
kelompok ini bertugas untuk menjaga penari reog dan menjaga keamanan maupun
hidupnya permainan. (3) kelompok penari; mereka terdiri atas pemain Barongan,
penari topeng Bujangganong, dan penari kuda. (3) kelompok pengiring; kelompok
ini tidak terbatas jumlah anggotanya. Mereka berbaris paling belakang yang
tugasnya juga membantu hidupnya permainan. Dari kelompok-kelompok tersebut
maka pertunjukan reog penuh riang dan salah satu keunggulan dari kesenian reog
Ponorogo.
1.2.6Masyarakat dan Budaya Jawa
Pada umumnya setiap pemilik budaya tertentu ada beberapa kelebihan dari
masing-masing kebudayaannya. Sebagai contohnya konsep budaya Jawa yang
Jawa senang berkumpul, selalu bersama-sama, mereka seolah-olah memiliki
keterikatan kuat dengan tanah kelahirannya, sehingga enggan meninggalkan
daerahnya untuk pergi merantau ke luar Jawa. Apabila terjadi perpindahan, maka
yang diharapkan adalah bedol desa, artinya kepindahan seluruh masyarakat sedesa, sehingga tempat dan keluarga sebagaimana di desanya (Saadah dan
Sinsar, 1999).
Menurut Appadurai dan Hannerz (dalam Abdullah, 2006) telah
menegaskan bahwa keberadaan seseorang dalam lingkungan tentu di satu pihak
mengharuskan penyesuaian diri yang terus menerus untuk dapat menjadi bagian
dari sistem yang lebih luas.Di lain pihak,identitas asal yang telah menjadi bagian
sejarah kehidupan seseorang tidak dapat ditinggalkan begitu saja, bahkan
kebudayaan asal cenderung menjadi pedoman kehidupan di tempat yang baru.
Reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya
yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan keberadaan
kebudayaan asalnya. Parsudi Suparlan, misalnya, telah memperlihatkan adanya
berbagai bentuk ekspresi kebudayaan yang mengalami proses intensifikasi oleh
orang Jawa yang ada di Suriname (Suparlan,1995). Demikian pula
orang-orang Jawa yang ada di berbagai lokasi transmigrasi, di lingkungan-lingkungan
sosial budaya yang berbeda dengan kebudayaan Jawa, kebudayaan dalam konteks
semacam ini dihadirkan melalui simbol-simbol yang menegaskan kehadiran
identitas kelompok.
Geertz (1989:223) mengatakan bahwa seni adalah sistem budaya. Di mana
nilai tersebut diberikan, dilekatkan, dan dibiasakan oleh masyarakat sebagai
peradaban, kebutuhan manusia akan seni ini menjadikan seni tidak terpisahkan
dengan unsur-unsur penunjang kehidupan manusia yang lain seperti teknologi,
ilmu pengetahuan, bahasa, ekonomi, dan kepercayaan. Kesemuanya ini saling
terkait dan berfungsi sebagai penunjang kehidupan manusia. Kecerdasan manusia
yang terus meningkat memicu manusia untuk menjadikan pemenuhan kebutuhan
sebagai tantangan. Begitu pula dengan kebutuhan akan kesenian. Berbagai upaya
dilakukan oleh para pelaku seni untuk terus dapat menciptakan karya seni yang
unik dan menarik, serta memenuhi kebutuhan pasar. Hal inilah yang menjadikan
karya-karya seni bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan.
Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa sifat khas dalam suatu
kebudayaan dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas terutama melalui
bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur lainnya sulit untuk menonjolkan
sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa. Penanda identitas dari
kebudayaan suatu kelompok etnis dapat dilihat dari adat istiadat yang secara
bersama disepakati dan dijalankan.
Masyarakat memiliki kepentingan dan kebutuhan yang tidak terbatas,
meskipun manusia yang menjadi bagian dari masyarakat memiliki keinginan dan
kebutuhan yang berbeda-beda. Secara garis besar bisa dinyatakan bahwa sifat dari
keinginan tersebut tidak terbatas (Amsyari, 1986:15). Sedangkan alat untuk
memenuhi keinginan dari masyarakat itu terbatas. Masyarakat adalah kesatuan
hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang
sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas
Suatu kelompok atau grup juga merupakan suatu masyarakat karena
memenuhi syarat-syaratnya, dengan adanya sistem interaksi antara para anggota,
dengan adanya adat istiadat serta sistem norma yang mengatur interaksi itu,
dengan adanya kontinuitas, serta dengan adanya rasa identitas yang
mempersatukan semua anggota tadi. Namun, selain ketiga ciri tadi, suatu kesatuan
manusia yang disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan, yaitu organisasi
dan sistem pimpinan, dan selalu tampak sebagai kesatuan dari individu-individu
pada masa-masa yang secara berulang berkumpul dan kemudian bubar
lagi(Koentjaraningrat, ibid).
Mengikuti pendapat Malinowski yang menyebutkan bahwa berbagai unsur
kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan
suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dan makhluk manusia.
Dengan demikian, unsur ―kesenian‖ misalnya, mempunyai fungsi guna
memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur sistem pengetahuan
untuk memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu.
1.3Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan di awal, maka
yangmenjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana eksistensi reog yang diwujudkan oleh grup Sri Karya Manunggal
di desa Bangko Lestari?
Permasalahan ini akan dijabarkan ke dalam tiga pertanyaan penelitian
1. Bagaimana bentuk reog yang dipertunjukkan oleh grup Sri Karya Manunggal di desa Bangko Lestari Riau?
2. Bagaimana kontinuitas dan perubahan kesenian reog yang diwujudkan
grup Sri Karya Manunggal di Desa Bangko Lestari?
3. Upaya-upaya apa saja yang dilakukan grup Sri Karya Manunggal
untuk melestarikan kesenian reog di Desa Bangko Lestari?
1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mendeskripsikan pertunjukan reog sebagai identitas yang mempunyai ciri-ciri khusus dalam pertunjukannya yang ada di desa
Bangko Lestari.
2. Untuk mengetahui perubahan dankontinuitas yang ditampilakn grup Sri
Karya Manunggal di desa Bangko Lestari yang merupakan grup yang
paling menonjol di desa tersebut dan masih berupaya mempertahankan
keseniannya dengan cara tersendiri agar kesenian tersebut tetap diminati
oleh para penggemarnya.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan infomasi kepada pihak-pihak yang terkait dalam
hal ini untuk dapat diambil kebijakan-kebijakan untuk permasalahan
2. Untuk memperkaya bahan bacaan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
khususnya Departemen Antropologi Universitas Sumatera Utara.
1.5Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bangko Lestari, Kecamatan Bangko
Pusako Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. Penelitian dilakukan khususnya di
Desa Bangko Lestari yang terdapat kesenian reog dengan kelompok atau grupnya
yang bernama Sri Karya Manunggal yang terkenal paling populer dan disukai
banyak orang dan juga di Desa lainnya di Kecamatan Bangko Pusako yang ketika
peneliti melakukan observasi sedang menggelar acara hiburan reog ini. Peneliti tidak membuat jadwal penelitian secara detail, tetapi disesuaikan dengan waktu
apabila adanya penyelenggaran acara seni reogdi daerah tersebut. Peneliti mengetahui adanya penyelenggaraan seni reog berdasarkan informasi dari masyarakat.
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif. Metode ini bertujuan untuk menggambarkan dengan jelas sifat-sifat
suatu individu, keadaan, gejala, kelompok tertentu, menentukan frekuensi atau
penyebaran dari suatu gejala lain dalam suatu masyarakat.7
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk
menggambarkan dan menganalisis suatu keadaan atau status fenomena secara
sistematis dan akurat mengenai fakta dari pertunjukan dan konteks sosial Reog Ponorogopada kebudayaan masyarakat Jawa di Desa Bangko Lestari. Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penyelidikan kualitatif sebagai
berikut.
QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period, ... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting to study customs and habits of another society and culture. ...Qualitative
dengan penelitian kualitatif adalah adalah suatu metode yang telah lama
dikembangkan di dalam ilmu pengetahuan manusia. Di dalam ilmu sosiologi
karya-karya penelitian kualitatif dihasilkan oleh aliran-aliran para ilmuwan dari
Universitas Chichago, terutama pada dekade 1920-an dan 1930-an. Hasil
penelitian ini merupakan kajian terhadap kehidupan manusia dalam
kebudayaannya. Dalam disiplin ilmu antropologi, dalam periode yang sama, para
ilmuwannya mendisain penelitian dengan cara mengamati dan meneliti adat
istiadat dan kebudayaan di luar kebudayaan sang peneliti, artinya studi lintas
budaya. Penelitian kualitatif ini biasanya dilakukan dengan menggunakan lintas
disiplin, lapangan kajian, dan bidang kajian. Peristilahan yang digunakan dalam
pendekatan penelitian ini juga melibatkan seperangkat konsep dan asumsi yang
Lebih jauh Nelson mengkonsepkan mengenai apa itu penelitian kualitatif
itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu pengetahuan adalah seperti yang
diuraikan berikut ini.
Qualitative research is an interdisiplinary, transdisiplinary, and sometimes counterdisiplinary field. It crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg, 1992:4, dalam Denzin dan Lincoln, 1995:33).
Menurut Nelson dan Grossberg seperti dikemukakan di atas, penelitian
kualitatif adalah kajian keilmuan yang bersifat interdisiplin, transdisiplin, dan
kadangkala kounterdisiplin. Pendekatannya selalu melibatkan ilmu-ilmu
kemanusiaan, sosial, dan eksakta. Penelitian kualitatif melibatkan berbagai bahan
kajian pada saat yang sama. Penelitian ini menggunakan multiparadigmatik. Para
pendukung metode ini sangat peka terhadap nilai-nilai yang dianut masyarakat
yang diteliti, serta berbagai metode pendekatan. Para penelitinya sangat
mendukung perspektif alamiah atau seperti apa adanya. Begitu juga dengan
menafsirkan apa yang terjadi dalam pengalaman manusia.
Bagi aliran teori fenomenologi berpadangan bahwa apa yang tampak di
permukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari hanyalah suatu gejala atau
fenomena dari apa yang tersembunyi di ―kepala‖ sang pelaku. Perilaku apa pun
yang tampak ditingkat permukaan baru bisa dipahami atau dijelaskan manakala
bisa mengungkap atau membongkar apa yang tersembunyi dalam dunia kesadaran
Demikian juga dalam rangka penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif, dengan kajian yang bersifat multidisiplin. Kemudian
penelitian ini juga pendekatan multiparadigmatik yang bersumber dari para
informan dan masyarakat pendukung kebudayaan reog ini. Penulis meneliti secara
alamiah saja apa yang terjadi di lapangan penelitian. Kemudian penulis
menafsirkan apa yang dilihat, dikumpulkan tersebut dengan ilmu antropologi dan
ilmu-ilmu lainnya.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data-data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh dari lapangan melalui wawancara kepada
informan awal, Informan kunci, informan biasa, observasi, dokumentasi, dan
perekaman pertunjukan.
Dalam penelitian kualitatif, dikenal istilah informan awal, informan kunci
dan informan biasa. Informan awal adalah orang yang pertama memberi informasi
yang memadai ketika peneliti mengawali penelitian. Informan awal dalam
penelitian ini adalah Bang Parino. Informan kunci merupakan orang yang bisa
dikategorikan paing banyak mengetahui, menguasai informasi dan permasalahan
penelitian. Informan kunci dalam penelitian ini adalah Bapak Tukijo atau lebih
sering dipanggil Mbah Bolong yang merupakan pengurus yang paling lama di
grup Sri Karya Manunggal dan Bapak Ebdi Irwanto selaku gambuh (pemanggil roh halus) dalam kesenian reog. Sedangkan Informan biasa adalah informan bebas
yang dapat diwawancarai dan bisa memberikan informasi yang mendukung
Data perekaman dilakukan di rumah kediaman salah satu warga yang
menyelenggarakan acara mengayunkan (memberi nama pada bayi) dengan menanggap kesenian reog pada tanggal 29 Mei 2015. Dalam hal ini penulis menggunakan alat perekam kamera untuk mengambil foto atau video pada saat
pertunjukan dimulai.
Sedangkan data sekunder akan peneliti dapatkan melalui sumber dari
buku, majalah, jurnal, artikel, skripsi, sumber online atau internet,dan sumber-sumber lain yang relavan dengan topik dan masalah penelitian.Demikian teknik
pengumpulan data yang penulis lakukan.
1.6.3 Teknik Wawancara
Bentuk wawancara yang digunakan adalah wawancara bertahap dan
mendalam (depth interview) untuk mendapat data-data dari informan kunci
dengan menggunakan alat bantu rekam (tape recorder) untuk menghindari
kemungkinan keterlambatan penulis dalam mengikuti alur wawancara yang
dilakukan terhadap informan. Dalam penelitian ini untuk mengumpulkan
informasi, penulis juga menggunakan teknik Snow Ball (salah satu teknik
wawancara, dimana informasi yang didapat adalah melalui proses wawancara
yang menghubungkan satu informasi ke informasi lainnya, sehingga menjadi
suatu kesatuan data yang mengarahkan peneliti kepada informan-informan yang
mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian). Pemilihan
waktu untuk melaksanakan wawancara disesuaikan dengan keadaan di lapangan
1.6.4 Teknik Observasi
Observasi dilakukan untuk dapat memperoleh gambaran tentang
masyarakat yang sebenar-benarnya baik tindakan, percakapan, tingkah laku dan
akan dilakukan dengan keterlibatan peneliti secara langsung dalam kehidupan
masyarakat yang diteliti seperti kegiatan, percakapan dan pekerjaan mereka.
Peneliti juga akan berusaha membangun rapport dengan orang yang terlibat dalam suatu kegiatan kesenian reog di Desa Bangko Lestari.
Dalam melakukan observasi di lapangan, penulis bertindak sebagai
pengamat terlibat (participant observer). Dalam hal ini, penulis melakukan sebisa
mungkin apa yang dilakukan para seniman reogdi desa ini. Adapun yang penulis
lakukan dalam hal ini adalah mencoba pengalaman memakai topeng
Bujangganong, demikian pula penulis ikut dalam sesi latihan memainkan saron dalam ensambel gamelan pada kelompok reog ini. Tujuannya adalah sebagai pendekatan dalam konteks penelitian yang mengalir apa adanya.
1.6.5 Pengalaman Penelitian
Pada mulanya saya sudah lama mengetahui kesenian Jawa yang sering
ditampilkan di kecamatan Bagan Sinembah seperti kesenian kuda kepang. Namun
kalau kesenian reog, saya sama sekali belum pernah tahu kalau ternyata sering tampil di Bagan Batu yang merupakan kota kelahiran saya. Saya mengetahuinya
dari salah satu abang dari teman saya yaitu Bang Parino yang selalu update kapan
saja ada pertunjukan reog. Dia mengatakan bahwa grup kesenian yang beda dengan grup yang lain itu adalah grup Sri Karya Manunggal. Ini adalah grup yang
Bang Parino. Ia pun menyarankan saya agar melakukan penelitian pada grup
tersebut karena dianggapnya grup tersebut juga grup yang paling lama dan sering
tampil sampai ke luar daerah.
Esok harinya saya bersama teman saya mendatangi salah satu rumah dari
anggota group Sri Karya Manunggal yaitu Bapak Tukijo atau yang lebih dikenal
dengan panggilan Mbah Bolong dimana ia adalah seorang seniman yang paling
tua di grup tersebut dan sampai sekarang masih mempertahankan keseniannya
tersebut. Semua peralatan dan perlengkapan pemain disimpan dirumah Mbah
Bolong. Pada tanggal 5 Mei 2015 ini pertama kalinya saya datang kerumah Mbah
Bolong membawa buah-buahan bersama teman saya Aseng dengan menggunakan
sepeda motor ke tempat lokasi tersebut dengan jarak tempuh sekitar 40 menit.
Kedatangan kami disambut oleh seorang gadis dan ibu-ibu yang sudah tua.
Mereka menanyakan kedatangan saya dan kebetulan Mbah Bolong tidak ada
dirumahnya karena belum pulang dari kerjanya. Mbah Bolong bekerja sebagai
petani perkebunan karet milik sendiri dan juga dikelolanya sendiri. Pada waktu itu
pun saya memperkenalkan diri dan menceritakan tujuan kedatangan saya kepada
ibu dan gadis tersebut. Lalu ia pun menyuruh kami untuk menunggu Mbah pulang
karena tidak lama lagi akan segera pulang dari kerjanya.
Kemudian beberapa menit kemudian Mbah Bolong pun pulang dari
kerjanya. Ia keliahatan sangat lelah namun diusianya yang sudah 63 tahun itu
masih kuat untuk bertani demi mencari nafkah untuk keluarganya. Ia duduk
sebentar untuk melepaskan rasa lelahnya itu kemudian dibuatkan teh oleh ibu
yang sudah cukup tua tadi yang ternyata adalah isteri Mbah Bolong tersebut.
teman saya. Saya dan teman saya bersalaman dan memperkenalkan diri kepada
Mbah Bolong. Lalu saya menceritakan maksud dan tujuan penulis datang
kerumahnya dan ternyata ia sudah mengetahuinya. Ia tahu dari Bang Parino yang
sudah terlebih dahulu menelfon Mbah Bolong bahwasanya ada yang ingin
melakukan penelitian pada grup kesenian reognya tersebut. Kemudian saya pun mulai berbincang mengenai grup kesenian yang dikelolanya tersebut. Tak lama
kemudian tetangga Mbah Bolong menghampiri kami. Walaupun ia tidak anggota
dari pemain reog, ternyata ia juga paham mengenai kesenian reog. ia juga merupakan teman dekat Mbah Bolong di desa itu.
Mbah Bolong memperkenalkan kepada saya tentang satu persatu peralatan
pemain kesenian reognya beserta maknanya . Mulai dari jaran kepang (eblek), topeng Hanoman, topeng Bujangganong, dan terakhir topeng Dhadhak Merak. Mbah Bolong mengatakan bahwa semenjak masuknya kesenian reog ini
penanggap semakin sering datang dan penontonnya pun semakin ramai. Dan
diitambah lagi dengan kesenian Hanomannya itu. Ini baru pertama kali saya mengetahui bentuk-bentuk asli topeng-topeng tersebut terutama topeng dhadhak
merak yang besar itu dan ditutupi oleh kain berwarna merah. Setelah asik-asik
mengobrol dengan Mbah Bolong dan temannya itu waktu pun sudah larut malam.
Dan kami pun pamit pulang.
Dua hari kemudian saya datang lagi kerumah Mbah Bolong lagi dan
ternyata rumahnya sudah ada Bapak Ebdi Irwanto dan Bang Beni Ilham yang
merupakan kepengurusan grup Sri Karya Manunggal yang sering bermain
kerumah Mbah Bolong. Saya pun memperkenalkan diri lagi kepada mereka dan
Bangko Lestari. Mereka tampak sangat ramah dan tamah. Tanpa saya bertanya
mereka asik bercerita tentang seni yang mereka bina itu dan saya pun tidak merasa
canggung lagi untuk bertanya kepada mereka. Ketika berbicara tentang reog, wajah mereka terlihat sangat serius dan sepertinya suka jika saya bertanya tentang
kesenian merekadan juga menjadi kebanggan tersendiri bagi mereka. Kesenian
reog mereka dianggap sakral bagi mereka. Saya berkali-kali mendengar ―Gembong Bawono‖ dari ucapan mereka. Ternyata mereka sangat bangga punya
kesenianreog yang di beri nama Gembong Bawono yang artinya preman alas (penguasa hutan) itu.
Cerita demi cerita waktupun sudah menunjukkan pukul 17:00 Wib dan
akhirnya pamit pulang. Sebelum saya pamit mereka memberitahu kepada saya
bahwa tanggal 29 Mei 2015 nanti akan ada pertunjukan reogdi desa tersebut dalam acara mengayunkan (memberi nama pada bayi).
Pada tanggal 29 Mei 2015 saya kembali lagi ke desa Bangko Lestari untuk
menyaksikan pertunjukan reog yang dilaksanakan pada malam hari. Saya berangkat dari rumah bersama teman saya Aseng. Ketika pertunjukan belum
dimulai, saya pun mewawancarai orang disekitar saya terutama yang menanggap
kesenian reog ini. Alasan ia menanggap kesenian ini adalah bahwa seni reog ini sudah menjadi tradisi di desa mereka. Jika tidak nanggap kesenian ini rasanya ada
yang kurang. Kesenian ini juga sebagai bertujuan untuk slametan atas kelahiran anaknya.
Pertunjukan pun akhirnya dimulai dan akhirnya saya pun mengambil
Penari Hanoman mulai memasuki lapangan pertunjukan. Setelah penari Hanoman
selesai dilanjutkan dengan penari Bujangganong yang bergaya salto dan cerdik. Kemudian masuklah penari topeng Dhadhak Merak yang menari bersama Bujangganong. Kemudian dilsusul dengan penari Jathil laki-laki. Berbagai kalangan ikut meramaikan pertunjukan itu, mulai dari anak-anak hingga yang
dewasa turut menikmati pertunjukan itu. Dan ketika semua penari selesai maka
seperti tradisi biasanya yang dilakukan grup ini adalah beraksi dengan bermain
api. Sebelumnya keadaan para pemain hampir semua5 dalam keadaan mabuk. Setelah itu barulah mereka melakukan aksi bermain dengan api.
Penonton masih begitu ramai padahal waktu sudah menunjukkan pukul
23:30 WIB dan masih ada juga yang ikut mabuk dan memasuki area pertunjukan.
Jumlah yang mabuk tidaklah sedikit sehingga gambuhsedikit kewalahan untuk membuat mereka sadar. Dan ketika semua pemain dan penonton yang dalam
keadaan mabuk tersebut dapat disadarkan kembali barulah penonton satu persatu
mulai bubar.
Pengalaman yang saya rasakan pada saat penelitian ini merupakan sebuah
pengalaman yang baru karena saya belum pernah sama sekali menonton
pertunjukanreog secara langsung melainkan pernah menonton hanya dari televisi
saja. Walaupun kesenian reog yang ada di Desa Bangko Lestari pertunjukannya tidak begitu lengkap seperti yang ada di Jawa namun peneliti sebagai orang Jawa
sangat salut dan bangga kepada mereka yang masih melestarikan dan mampu