BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE
II.1.1. Definisi
Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut disebabkan oleh
iskemik atau pendarahan berlangsung 24 jam atau meninggal, tapi tidak memiliki
bukti yang cukup untuk diklasifikasikan (Sacco dkk, 2013).
Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark
fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana infark susunan saraf pusat
adalah kematian sel pada otak, medula spinalis, atau sel retina akibat iskemia,
berdasarkan:
- Patologi, imaging atau bukti objektif dari
focal injury iskemik pada
serebral, medula spinalis atau retina pada suatu distribusi vaskular
tertentu.
- Atau bukti klinis dari
focal injury
iskemik pada serebral, medula
spinalis atau retina berdasarkan simptom yang berta
han ≥ 24 jam
atau meninggal dan etiologi lainnya telah dieksklusikan (Sacco dkk,
2013).
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang berkembang
II.1.2. Epidemiologi
Data di Indonesia menunjukkan kecendrungan peningkatan status stroke
baik dalam hal kematian, kejadian maupun kecacatan. Angka kematian
berdasarkan umur adalah sebesar 15,9% (umur 45-55); 26,8% (umur 55-64
tahun) dan 23,5% (umur > 65 tahun). Kejadian stroke (insiden) sebesar
51,6/100.000 penduduk. Penderita laki-laki lebih banyak dari perempuan dan
profil usia yaitu sebesar 11,8% (< 45 tahun), 54,2% (usia 45-64 tahun) dan
33,5% (> 65 tahun) (Misbach J dkk, 2011).
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia dilaporkan bahwa
proposi stroke di rumah sakit antara tahun 1984 sampai dengan tahun 1986
meningkat yaitu 0,72 per 100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,89
per 100 penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin dkk (1988) dilaporkan bahwa
proporsi morbiditas stroke di rumah sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan
kecendrungan meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita)
dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun 1989 (0,96 per
100 penderita) (Sjahrir, 2003).
Data nasional menunjukkan stroke sebagai penyebab kematian tertinggi
di rumah sakit yaitu mencapai 15,4%. Berdasarkan hasil penelitian Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) cabang Medan dari 562 pasien
stroke pada 25 Rumah Sakit di Sumatera Utara, didapatkan kejadian stroke tidak
berbeda jauh antara perempuan dan laki-laki dimana kejadian pada perempuan
sebesar 296 orang (52,7%) dan laki-laki 266 (47,3%) dengan rata-rata usia 59
kesadaran berjumlah 198 kasus (35,3%), diikuti hemiparesis sinistra 134 kasus
(23,8%), dan hemiparesis dextra 133 kasus (23,7%). Faktor resiko terbesar
adalah hipertensi berjumlah 497 kasus (88,4%), diikuti diabetes melitus 155
kasus (27,6%), penyakit jantung 98 kasus (17,4%), dislipidemia 161 (28,6%),
merokok 193 (34,3%). Berdasarkan hasil CT sken kepala infark berjumlah 302
kasus (53,7%), hemoragik 152 kasus (27%), infark hemoragik 12 kasus (2,1%)
dan 96 (17,1%) tidak menjalani CT Sken kepala (Rambe dkk, 2013).
II.1.3. Faktor Resiko
Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai faktor-faktor
yang dipertimbangkan sebagai resiko yang kuat terhadap timbulnya stroke.
Faktor resiko timbulnya stroke (Sjahrir H, 2003).
1. Non modifiable risk factors
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Keturunan/genetik
2.
Modifiable Risk Factors
a. Behavioural Risk Factors
- Merokok
-
Unhealthy diet : lemak, garam berlebihan, asam urat,
kolesterol, kurang buah
- Alkoholik
- Obat-obatan: narkoba (kokain), antikoagulansia, anti
- Aktifitas yang rendah
b.
Physiological Risk Factors
- Penyakit hipertensi
- Penyakit jantung
- Diabetes mellitus
- Infeksi/lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus
- Gangguan ginjal
- Kegemukan (obesitas)
- Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit
perdarahan
- Kelainan anatomi pembuluh darah
- Stenosis karotis asimtomatik
II.1.4. Klasifikasi Stroke
Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan, sebab setiap jenis
stroke mempunyai cara pengobatan, pencegahan dan prognosa yang
berbeda, walaupun patogenesisnya sama (Misbach J dan Soertidewi,
2011).
1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya :
a. Stroke Iskemik
-
Transient Ischemic Attack (TIA)
- Thrombosis serebri
- Perdarahan intraserebral
- Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu
a.
Transient Ischemic Attack (TIA)
b.
Stroke in evolution
c.
Completed stroke
3. Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebrobasiler
4. Klasifikasi Bamford untuk tipe infark yaitu
a.
Partial Anterior Circulation Infarct (PACI)
b.
Total Anterior Circulation Infarct (TACI)
c.
Lacunar Infarct (LACI)
d.
Posterior Circulation Infarct (POCI)
5. Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti
TOAST (Sjahrir H, 2003).
a. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan
(>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang
arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis.
otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm
dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.
b. Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber
embolus dari jantung terdiri dari :
1. Resiko tinggi
- Prostetik katub mekanik
- Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
- Fibrilasi atrial
- Atrial kiri/atrial appendage thrombus
- Sick sinus syndrome
- Miokard infark baru (<4 minggu)
- Thrombus ventrikel kiri
- Kardiomiopati dilatasi
- Segmen ventricular kiri akinetik
- Atrial myxoma
- Infeksi endokarditis
2. Resiko sedang
- Prolaps katub mitral
- Kalsifikasi annulus mitral
- Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
- Turbulensi atrial kiri
- Paten foramen ovale
- Atrial flutter
- Lone atrial fibrillation
- Katup kardiak bioprostetik
- Trombotik endokarditis non bacterial
- Gagal jantung kongestif
- Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
- Miokard infark (>4 minggu, <6 bulan)
c. Oklusi pembuluh darah kecil
Sering disebut juga infark lakunar, dimana pasien harus
mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak
mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral.
Pasien biasanya mempunyai gambaran CT sken/MRI kepala
normal atau infark lakunar dengan diameter <1,5 mm di
daerah batang otak atau subkortikal.
d. Stroke akibat dari Penyebab lain yang menentukan
1. Non-Aterosklerosis vaskulopati
- Non inflamasi
- Inflamasi non infeksi
- Infeksi
2. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
e. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Tidak Dapat
1.
Dua atau lebih penyebab teridentifikasi
2.
Tidak ada evaluasi
3.
Evaluasi tidak lengkap
I.1.5. Patofisiologi
II.1.5.1. Patofisiologi Stroke Iskemik
Pada stroke iskemik, berkurangnya aliran darah ke otak menyebabkan
hipoksemia daerah regional otak dan menimbulkan reaksi reaksi berantai yang
berakhir dengan kematian sel-sel otak dan unsur-unsur pendukungnya (Misbach
J, 2007).
Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari bagian inti
(core) dengan tingkat iskemia terberat dan berlokasi di sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika tidak ada reperfusi. Di luar daerah core
iskemik terdapat daerah penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan
pendukungnya belum mati akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya dan
menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin ke perifer makin
ringan. Daerah penumbra iskemik, diluarnya dapat dikelilingi oleh suatu daerah
hiperemik akibat adanya aliran darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah
penumbra iskemik inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya
dapat direperfusi dan sel-sel otak berfungsi kembali. Reversibilitas tergantung
pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi,daerah penumbra dapat
II.1.5.2. Patofisiologi Stroke Hemoragik
Perdarahan pada parenkim otak selalu didahului oleh kerusakan pada
arteri-arteri penetrating serebral kecil dan arteriol akibat hipertensi. Dilatasi
aneurisma yang kecil terjadi pada teritori vaskular penetrating pasien hipertensi,
dan pada beberapa pasien, ini merupakan titik lemah yang akan mengalami
ruptur saat terjadi peningkatan tekanan arterial. Kebocoran dari
pembuluh-pembuluh darah kecil ini menghasilkan efek tekanan lokal yang tiba-tiba terhadap
kapiler dan arteriol di sekitarnya yang selanjutnya akan menyebabkan pembuluh
darah tersebut pecah. Efek bola salju (avalanche-type effect) terjadi, dimana
pembuluh-pembuluh darah yang pecah ini akan menambah volume pada
perdarahan yang membesar secara gradual. Akumulasi darah di sekeliling
hematoma seperti bola salju yang menggelinding menuruni bukit, volumenya
akan semakin banyak. Tekanan darah yang tinggi dan efek bola salju ini akan
memperbesar perdarahan, sementara tekanan jaringan lokal akan menjadi
tampon terhadap perdarahan (Caplan, 2009).
Peningkatan volume hematoma secara gradual ini akan menyebabkan
perburukan klinis secara gradual hingga hematoma mencapai ukuran akhirnya.
Bila hematoma cukup besar, akan menimbulkan peningkatan tekanan
intrakranial. Pasien dengan PIS biasanya memburuk dalam 24-48 jam pertama
setelah gejala awal. Perburukan ini disebabkan oleh berlanjutnya perdarahan,
namun paling sering oleh karena perkembangan edema di sekitar lesi, efek lesi
terhadap aliran darah dan metabolisme, pergeseran (shift) isi otak dan herniasi
Perdarahan subarakhnoid hampir selalu secara tiba-tiba meningkatkan
TIK. Tekanan darah sistemik dan volume darah harus dipertahankan atau
ditambah untuk menjaga perfusi otak dalam menghadapi peningkatan TIK.
Setelah perdarahan inisial, 3 resiko utama yang mempengaruhi kejadian
selanjutnya: rebleeding, vasokonstriksi dan hidrosefalus. Sekali dinding luar
pembuluh darah yang abnormal (aneurisma atau malformasi vaskular) rusak,
pembuluh ini akan rentan terhadap rebleeding. Perdarahan selanjutnya akan
mengancam hidup karena peningkatan TIK dan jumlah darah pada CSS. Arteri
yang terkena darah yang bercampur dalam CSS selalu berkonstriksi.
Vasokonstriksi bisa lokal atau lebih difus dan sering menyebabkan iskemia,
edema otak dan infark. Darah di dalam CSS dapat menyumbat membran absortif
dan menyebabkan hidrosefalus komunikans dan dilatasi seluruh sistem
ventrikular (Caplan, 2009).
II. 2 NYERI KEPALA
II.2.1. Definisi
Nyeri kepala adalah rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada pada
seluruh daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai ke daerah
belakang kepala (area oksipital dan sebahagian daerah tengkuk) (Sjahrir, 2008).
Migren kronik ialah nyeri kepala yang berlangsung ≥ 15 hari dengan
paling tidak ada 8 hari serangan migren atau probable migrain dalam 1 bulan
selama lebih dari 3 bulan dan tidak adanya riwayat penggunaan obat berlebihan
Chronic Tension Type Headache (CTTH) ialah nyeri kepala yang berasal
dari ETTH, dengan serangan setiap hari atau serangan episodik nyeri kepala
yang lebih sering yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri
kepala bersifat bilateral, menekan atau mengikat dalam kualitas dan intensitas
ringan atau sedang, dan nyeri tidak bertambah memberat dengan aktivitas fisik
yang rutin. Kemungkinan terdapat mual, fotofobia atau fonofobia ringan (Sjahrir
dkk, 2013)
II.2.2. Epidemiologi
Berdasarkan hasil penelitian Sjahrir pada tahun 2004 multisenter berbasis
rumah sakit pada 5 rumah sakit besar di Indonesia, didapatkan prevalensi
penderita nyeri kepala sebagai berikut: migren tanpa aura 10%, migren dengan
aura 1,8%, Episodik Tension Type Headache (ETTH) 31%, Chronic Tension
Type Headache (CTTH) 24%, Cluster Headache 0,5%, Mixed Headache 14%
(Sjahrir, 2008).
Secara keseluruhan, pada tahun 2007 prevalensi nyeri kepala secara
global pada populasi dewasa adalah sekitar 47% untuk nyeri kepala secara
umum, diantaranya termasuk 10% migren, 38% TTH dan nyeri kepala kronik
sekitar 3%. Secara regional, prevalensi migren lebih sering di Eropa dan Amerika
Utara, sedangkan prevalensi TTH lebih tinggi di Eropa (80%) dibandingkan
dengan Asia dan Amerika (20-30%) (Jensen dkk, 2008).
Sekitar 1,4-2,2% dari populasi menderita migren kronik dan 2,2%
menderita Chronic Tension Type Headache (CTTH), dimana penderitanya
II.2.3. Kriteria Diagnostik
Kriteria diagnostik migren kronik sesuai The International Classification of
Headache Disorders, 2 nd Edition (2004) adalah sebagai berikut: (Sjahrir dkk,
2013)
Nyeri kepala migren dalam > 15 hari perbulannya dan berlangsung lebih
dari 3 bulan.
A. Didapati pada pasien yang mendapat > 5 serangan yang
memenuhi kriteria migren tanpa aura.
a Mempunyai paling tidak 2 dari 1-4 di bawah ini:
1. Lokasi unilateral.
2. Berdenyut.
3. Intensitas nyeri sedang-berat.
4. Bertambah berat apabila melakukan aktivitas fisik rutin
seperti berjalan atau naik tangga.
b Mempunyai gejala paling tidak 1 dari 1-2 di bawah ini:
1. Mual dan /muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
B. Didapati perbaikan apabila diberi obat triptan atau ergot pada saat
sebelum, yang diduga akan timbul gejala B.a tersebut di atas
C. Tidak ada penggunaan obat berlebihan dan tidak berkaitan dengan
Kriteria diagnostik CTTH sesuai The International Classification of
Headache Disorders, 2nd Edition (2004) adalah sebagai berikut : (Sjahrir dkk,
2013).
A. Nyeri kepala timbul
≥ 15 hari/bulan, berlangsung > 3 bulan (≥ 180 hari
/tahun) dan juha memenuhi kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus-menerus.
C. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 karakteristik berikut:
1. Lokasi bilateral
2. Menekan / mengikat (tidak berdenyut)
3. Ringan atau sedang
4. Tidak memberat dengan aktivitas fisik yang rutin.
D. Tidak didapatkan:
1. Lebih dari satu : fotofobia, fonofoia atau mual yang ringan
2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah
E. Tidak ada kaitan dengan penyakit lain.
II.2.4. Patofisiologi
Patogenesis migren masih belum sempurna dipahami, namun terdapat
lima faktor penyumbang yang telah teridentifikasi, yaitu: 1) abnormalitas genetik,
2) perubahan endokrin dan ketidakseimbangan elektrolit, 3) hipereksitabilitas
neuronal pada neuron korteks serebral, secara sementara atau kronik,
khususnya pada regio oksipital, 4) cortical spreading depression, dan 5) aktivasi
serangan migren. Faktor tersebut di atas sendiri maupun kombinasi dipercaya menjadi indeks kunci formasi migren (O’Sullivan dkk, 2006).
Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway dari sistem
trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti
peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi protein kinase
seperti 5-HT (histamin), bradikinin, prostaglandin dan juga menganktivasi enzim
NOS. Adanya aktivasi nervus trigeminal akan melepakan CGRP dan peptida lain
yang menyebabkan pelepasan mediator proinflamasi. Mediator ini meningkatkan
CGRP synthase lebih lanjut dan dilepaskan dalam waktu beberapa jam sampai
hari sesuai dengan frekuensi waktu 4-72 jam serangan migren (Sjahrir 2008,
Vukovic dkk, 2009).
Patofisiologi migren kronik dan mekanisme yang menghasilkan transformasi belum sepenuhnya dimengeri. Akan tetapi peran sensitisasi sentral,
hipereksitabilitas kortikal dan inflamasi neurogenik telah diteliti. Modulasi nyeri
yang tidak normal mungkin memiliki peran dalam transformasi. Berkurangnya
inhibisi nyeri oleh daerah descending pain modulatory pathway telah diteliti pada
migren kronik. Pada penderita migren, nyeri yang dicetuskan oleh aktivasi
fungsional dari daerah inhibisi nyeri pada brainstem dan hubungan fungsional
dari daerah modulasi nyeri pada brainstem merupakan hal yang tidak normal.
Telah dinyatakan bahwa serangan migren berulang dapat menyebabkan
sensitasi sistem trigeminal, yang menyebakan menurunnya ambang untuk
aktivasi sistem ini, serangan migren yang lebih sering dan transformasi menjadi
migren kronik. Hipereksitabilitas kortikal mungkin juga berperan terhadap
Sensitisasi sentral berperan dalam proses kemajuan penyakit migren
sendiri. Sensitisasi sentral epidodik/ yamg berulang dihubungkan dengan
kerusakan neuronal permanen pada level atau dekat dengan PAG, dengan
akibat kurangnya modulasi lemah untuk nyeri dan pengobatan yang
refractoriness, oleh karena itu mempengaruhi progresivitas penyakit. Sensitisasi
sentral adalah juga suatu penanda/ marker progresivitas fungsional yang lebih
sering dijumpai pada migren kronik dibandingkan dengan migren episodik
(Sjahrir, 2008).
Pelepasan berlebihan neuropeptida vasoaktif seperti CGRP dan hasil
inflamasi neurogenik mungkin juga berperan dalam patofisiologi migren kronik.
Studi terkini menemukan peningkatan konsentrasi CGRP plasma pada penderita
migren selama fase interiktal dibandingkan dengan penderita tanpa migren.
Lebih jauh lagi konsentrasi CGRP lebih tinggi pada penderita migren kronik
dibandingkan penderita migren episodik (Schwedt, 2014).
Pada tension type headache kronis bukti eksperimental menunjukkan
bahwa sensitisasi sentral yaitu sifat eksitabilitas neuron yang ditingkatkan sistem
saraf pusat yang dihasilkan oleh input nociceptive yang lama masuk dari jaringan
pericranial myofascial memainkan peranan penting dalam patofisiologinya.
Penemuan neurotransmitter dan neuromodulator seperti nitric oxide (NO),
calcitonin gene related peptide (CGRP), substance P (SP), neuropeptide Y (NPY)
& vasoactive intestinal polypeptide (VIP) yang dilibatkan pada proses nyeri
menyediakan pemahaman baru biologi dari nyeri kepala kronis (Sjahrir, 2008).
Banyak laporan penelitian mengenai metabolisme dan kadar serotonin
tetapi pada uptake akan berkurang dan terdapat peninggian kadar platelet 5-HT
dan plasma 5-HT. Sedangkan pada CTTH didapati kadar platelet 5-HT maupun
plasma 5-HT adalah normal atau menurun (Sjahrir, 2008).
Serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) adalah neurotransmitter yang
tersebar luas dan mempunyai peran yang kompleks dan penting dalam proses
modulasi nyeri yaitu sebagai antinociceptive pathway ascending maupun
descending dari brainstem ke medulla spinalis. Efek anti nosiseptive dari 5-HT
dimediasi oleh beberapa macam subtype reseptor 5HT1, 5HT2, 5HT3 yang
diikuti dengan peninggian sensitivitas nyeri pada CTTH. Reseptor serotonin juga
berperan penting pada sistem trigeminovaskular (Sjahrir, 2008).
II.3. FATIGUE
II.3.1. Definisi
Fatigue dapat didefinisikan sebagai suatu hilangnya kemampuan untuk menghasilkan tenaga maksimal yang terjadi secara progresif selama (atau
mengikuti) kontraksi otot yang berulang ataupun terus-menerus atau hilangnya
kemampuan menghasilkan tenaga selama melakukan suatu aktivitas (Davis dkk,
2010).
II.3.2. Klasifikasi
Fatigue dapat diklasifikasikan atas
fatigue sekunder, fisiologis atau
kronik.
Fatigue sekunder disebabkan oleh suatu kondisi medis yang
mendasarinya dan dapat berlangsung selama 1 bulan atau lebih, tetapi
aktivitas lainnya yang rutin dilakukan, yang tidak disebabkan oleh suatu
kondisi medis tertentu serta membaik dengan beristirahat.
Fatigue kronik
berlangsung > 6 bulan dan tidak membaik dengan beristirahat (Rosenthal
dkk, 2008).
II.3.3. Patofisiologi
Mekanisme yang mendasari fatigue dapat berasal dari sentral maupun
perifer. Fatigue perifer berkaitan dengan sejumlah perubahan fisiologis dan
biokimiawi yang terjadi pada sistem muskular sedangkan fatigue sentral terjadi di
bawah pengaruh sejumlah proses metabolik dan kimiawi pada berbagai struktur
SSP (Davis dkk, 2010; Klich, 2013).
Menurut beberapa peneliti, fatigue perifer disebabkan oleh berkurangnya
jumlah glikogen dan phosphocreatinine otot, peningkatan konsentrasi asam laktat
dan ion hydrogen dalam otot, anoksia otot skeletal aktif, hambatan aliran vena,
peningkatan suhu tubuh, menurunnya eksitabilitas dan potensial membran
istirahat dan gangguan mekanisme kontraksi serabut otot (gangguan pompa
kalsium pada retikulum endoplasma) (Klich, 2013).
Sedangkan fatigue sentral disebabkan oleh gangguan produksi hormon
dan neurotransmitter, perubahan respon humoral, beberapa eksploitasi substrat
energi atau berkurangnya eksitabilitas struktur SSP yang non spesifik. Hipotesis
yang dihasilkan pada tahun 1986 mengasumsikan bahwa sintesa dan
metabolisme 5-HT (serotonin), dopamin, noradrenalin merupakan faktor utama
Serotonin merupakan suatu neurotransmitter utama yang bertanggung
jawab untuk banyak fungsi behaviour dan somatik yang berkaitan dengan mood,
nafsu makan, tidur, ansietas dan regulasi endokrin. Pada saat yang bersamaan,
gangguan homeostasis yang dihasilkan dari kekurangan serotonin menyebabkan
gangguan mood, depresi dan berkurangnya nafsu makan. Disamping itu,
konsentrasi serotonin yang terlalu tinggi khususnya pada SSP menyebabkan
berkembangnya proses fatigue (Klich, 2013).
Fatigue sentral dapat disebabkan oleh keadaan di proksimal dan
termasuk di neuromuscular junction serta terbagi atas spinal dan supraspinal.
Fatigue sentral dapat berasal dari korteks serebri (melalui kerusakan kendali
descending ataupun berkurangnya motivasi). Fatigue sentral ini juga dapat terjadi
pada medulla spinalis (kerusakan letupan pada alpha motor neuron atau
kecepatan recruitment yang suboptimal untuk menghasilkan tenaga otot yang
sesuai). Fatigue perifer berasal dari otot dan biasanya melibatkan bioenergetika
ataupun kontraksi eksitasi otot (Davis dkk, 2010).
II.3.4. FatigueSeverity Scale
Fatigue Severity Scale (FSS) merupakan suatu kuesioner yang digunakan
untuk menilai tingkat keparahan fatigue, khususnya pada berbagai gagguan
medis dan neurologis. Kuesioner ini terdiri dari 9 item pernyataan yang berkaitan
dengan gejala fatigue dan responden yang dinilai, misalnya: bagaimana fatigue
mempengaruhi motivasi, olah raga, fungsi fisik, melaksanakan tugas,
menganggu pekerjaan, keluarga ataupun kehidupan sosial, dimana responnya
” sampai angka 7 yang menyatakan “ sangat setuju.“ Skor total dinilai dari rata
-rata semua subskor. Dimana skor tersebut diperoleh dari jumlah skor
keseluruhan dibagi dengan jumlah item pertanyaan.(Peres dkk, 2002; Seidel dkk,
2009)
Fatigue Severity Scale terdiri dari sembilan item dengan 7 poin dengan
format jawaban masing-masing angka adalah: (tidak pernah = 1, jarang = 2-3,
sesekali = 4, sering = 5-6, selalu = 7). Total skor adalah dinyatakan dengan
rata-rata semua subscores (Seidel S dkk, 2009).
Berdasarkan studi sebelumnya, dikatakan sebagai fatigue adalah bila skor FSS adalah ≥ 5 dan dikatakan tidak fatigue adalah jika ≤ 4 dan skor antara
4,1 dan 4,9 dianggap meragukan (Tellez N dkk, 2005).
II.4. NYERI
II.4.1. Definisi
Nyeri adalah suatu rasa tidak menyenangkan dan pengalaman emosional
disertai kerusakan jaringan potensial atau akut, atau digambarkan sebagai akibat
dari kerusakan yang terjadi. (Suryamiharja A dkk, 2011)
II.4.2. Epidemiologi
Hampir 20% terjadi pada populasi dewasa, terutama pada wanita dan
usia tua menderita nyeri kronik. Pertahunnya diperkirakan bahwa biaya yang
diperlukan untuk kasus nyeri kronik di Eropa adalah 200 milyar Euro dan di
Dari hasil penelitian multisenter di unit rawat jalan di 14 rumah sakit
pendidikan seluruh Indonesia yang dilakukan oleh kelompok studi nyeri
perhimpunan dokter spesialis saraf Indonesia (POKDI Nyeri PERDOSSI) pada
bulan Mei 2002, didapatkan 4456 kasus nyeri yang merupakan 25% dari total
dari kunjungan pada bulan tersebut (Meliala KRTL, 2004).
II.4.3. Klasifikasi Nyeri
A. Nyeri Fisiologik
Nyeri fisiologik jarang membawa pasien ke dokter, oleh karena
nyeri mudah hilang dengan analgetik yang ringan atau tanpa
pengobatan. Timbulnya nyeri disebabkan adanya impuls noksius
ringan san singkat, misalnya gigitan nyamuk. Ciri khas nyeri fisiologis
adalah adanya korelasi antara kekuatan stimulus yang dapat diukur
dari discharge yang dihantarkan oleh nosiseptor dengan persepsi
nyeri atau subjektif nyeri (Meliala KRTL, 2004; Wolf CJ, 2004).
B. Nyeri Inflamasi
Pengalaman sensori pada nyeri akut yang diakibatkan oleh
stimulus noksius dimediasi oleh sistem nosiseptif. Sistem ini
mamanjang dari perifer hingga ke medulla spinalis, batang otak dan
talamus dan akhirnya diproyeksikan ke korteks serebri. Nyeri inflamasi
ditransmisikan melalui saraf dan pathways yang normal seperti pada
nyeri nosiseptif. Meskipun begitu, derajat kerusakan jaringan
mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi akut dan kronik yang
inflamasi biasanya berkurang dengan respon inflamasi dan kerusakan
yang mengalami penyembuhan (Vonroenn JH dkk, 2006).
C. Nyeri Neuropatik
Tipe nyeri ini disebabkan lesi jaringan baik perifer atau sentral.
Ciri khas nyeri ini dimana nyeri bisa muncul walaupun kerusakan
jaringan sudah sembuh ataupun tanpa kerusakan jaringan seperti
pada neuropatik diabetik. (Vonroenn JH dkk, 2006)
D. Nyeri Psikogenik atau Idiopatik
Nyeri Psikogenik ditegakkan bila dalam berbagai pemeriksaan fisik diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan somatik yang objektif
sebagai penyebab nyeri. Nyeri ini umumnya memiliki komponen
kognitif dan emosional yang digambarkan sebagai penderitaan. Nyeri
ini berhubungan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan
otonom yang disebut sebagai pengalaman nyeri. (Meliala KRTL, 2004). Menurut Wolf CJ 2004 terdapat 4 Tipe Nyeri Primer (Gambar
1).
II.4.4. Mekanisme Nyeri
Berbagai mekanisme yang mendasari timbulnya nyeri telah ditemukan,
mekanisme tersebut adalah: nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip,
sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural dan penurunan
inhibisi. Pada kasus nyeri nosiseptif, nosiseptif merupakan mekanisme utama
menjadi aktifitas listrik pada akhiran serabut sensorik yang spesifik. Konduksi
merupakan perjalanan aksi potensial dari akhiran saraf perifer ke sepanjang
akson menuju akhiran nosiseptor di sistem saraf pusat dan transmisi merupakan
bentuk transfer sinaptik dari satu neuron ke neuron lainnya. Eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural dan penurunan inhibisi merupakan mekanisme yang khas
untuk nyeri neuropatik, semantara sensitisasi perifer terjadi pada nyeri inflamasi
dan sebagian bentuk nyeri neuropatik. Sensitisasi sentral terjadi pada kasus
nyeri inflamasi, nyeri neuropatik dan nyeri fungsional. Pemahaman mekanisme
yang mendasari nyeri khususnya nyeri kronik sangat penting, karena terapi yang
Gambar 1. Empat Tipe Nyeri Primer
II.4.5. Numeric Rating Scale
Numeric Rating Scale adalah skala yang umum digunakan untuk
mengukur klinis nyeri. Pasien diminta untuk menunjukkan intensitas nyeri dengan
angka yang paling mewakili nyeri tersebut. Numeric Rating Scale mudah untuk
dilaksanakan secara lisan dalam pengaturan klinis. Pada penggunaan alat ini,
petugas kesehatan menanyakan kepada pasien untuk mengukur tingkatan
intensitas nyeri mereka dengan skala angka dengan rentang 0 (tidak ada nyeri)
dan 10 (nyeri yang sangat berat). Berdasarkan kajian dan praktek klinis
sebelumnya, telah dikategorikan skrining nyeri pada nilai NRS sebagai berikut:
ringan (1-3), sedang (4-6), atau berat (7- 10) (Breivik H dkk, 2008 ; Bijur PE dkk,
2003)
II.5. DEPRESI
II.5.1. Definisi
Depresi merupakan suatu gangguan kesehatan mental yang
dikarakteristikkan oleh hilangnya afek positif (hilangnya minat dan kesenangan
dalam melakukan kegiatan dan pengalaman sehari-hari), mood yang menurun
dan sekumpulan gejala yang berkaitan dengan gejala emosional, kognitif, fisik
dan behaviour (NCCMH, 2010).
Menurut DSM IV-TR eposode depresi mayor harus terjadi minimal selama
2 minggu dan diagnosa episode depresi mayor memerlukan minimal 4 gejala dari
yang termasuk berikut ini: perubahan nafsu makan dan berat badan, perubahan
berpikir dan membuat keputusan, dan adanya ide/pikiran untuk mati atau bunuh
diri (Sadock dkk, 2007).
II.5.2. Epidemiologi
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur
hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai depresi berat hingga 25%.
Sekitar 10 persen di perawatan primer dan 15 persen dirawat di Rumah Sakit.
Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2 persen. Pada usia remaja
didapatkan prevalensi 5 persen dari komunitas yang memiliki gangguan depresi
berat (Ismail dan Siste, 2010).
II.5.3. Etiologi
Etiologi depresi dapat berupa faktor organobiologi, faktor kepribadian,
faktor psikodinamik, faktor psikososial dan faktor genetik (Ismail dan Siste, 2010;
Barroso, 2003).
II.5.4. Tanda dan Gejala
Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya energi adalah
gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya sedih, tidak
mempunyai harapan, dicampakkan atau tidak berharga. Pikiran untuk melakukan
bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga pasien depresi, dan 10 sampai
15 persen diantaranya melakukan bunuh diri. Beberapa pasien depresi
terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang
gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktivitas
kesulitan menyelesaikan tugas, mengalami kendala di sekolah dan pekerjaan,
dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80 persen
pasien mengeluh masalah tidur, khususnya terjaga dini hari (insomnia) dan
sering terbangun di malam hari karena memikirkan masalah yang dihadapi.
Kebanyakan pasien mengalami perubahan pada nafsu makan dan berat badan
(Ismail dan Siste, 2010).
II.5.5. Patofisiologi
Banyak studi yang telah melaporkan adanya abnormalitas biologis pada
penderita dengan gangguan mood yang termasuk depresi. Sampai saat ini
neurotransmiter monoamine seperti norepinephrine, dopamine dan serotonin
merupakan fokus utama dari teori-teori dan penelitian mengenai etiologi
gangguan ini (Sadock dkk, 2007).
Pada penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin yang terdapat di otaknya. Serotonin dan norepinephrine adalah
neurotransmitter yang berperan dalam proses nyeri maupun depresi, dimana
yang mengurus mood dan depresi terletak di korteks prefrontal dan sistem limbik.
Modulasi efek serotonin di otak menunjukkan efek impulsif, modulasi sexual
behaviour, appetite dan agresi. Sedangkan sistem norepinephrine menunjukkan
modulasi waspada, sosialisasi, energi dan motivasi. Jika keduanya bersaaman
maka akan memodulasi ansietas, iritabilitas, nyeri, mood, emosi dan fungsi
kognitif (Sjahrir, 2008).
Observasi dari berbagai studi yang menunjukkan bahwa menurunnya
kadar 5-HT dapat menyebabkan perubahan persepsi emosional menyatakan
menyebabkan kerentanan terhadap depresi. Studi yang dilakukan oleh Harmer
menyatakan bahwa penderita depresi, 5-HT bekerja terhadap mood secara tidak
langsung dengan merubah bias dalam memproses informasi emosional.
Abnormalitas persisten dalam aktivitas 5 HT dapat dihubungkan dengan bias
negatif dalam proses emosional yang mencetuskan seseorang untuk mengalami
depresi (Cowen, 2008).
Depresi juga mempunyai korelasi positif dengan gangguan hipotalamus,
terbukti dengan adanya hipersekresi CRH (corticotrophin-releasing hormone).
Pelepasan CRH distimulir oleh norepinephrine dan asetilkolin. Di samping
adanya disfungsi serotonin dan norepinephrine, juga didapati disfungsi
hypothalamic-pituitary thyroid (HPT) axis, gangguan sekresi glukokortikoid,
aktivitas hypothalamic pituitary adrenal axis, kenaikan sintesa dan pelepasan
corticotropin releasing factor, disfungsi neurotransmitter glutamate, GABA, GH,
thyroid hormone (Sjahrir, 2008).
II.5.6. Beck Depression Inventory II
Beck Depression Inventory (BDI) II adalah instrumen yang dipublikasikan
oleh Beck, merupakan suatu pengukuran kuantitatif untuk simptom-simptom
depresi. Beck Depression Inventory (BDI) memiliki validitas yang baik dan dapat
digunakan pada populasi psikiatri dan non psikiatri (Conteras dkk, 2010).
Beck Depression Inventory (BDI) merupakan suatu daftar pertanyaan
yang dikembangkan untuk mengukut intensitas dan beratnya simptom-simptom
depresi. Terdiri dari 21 pertanyaan, masing-masing ditujukan untuk mengukur
ketidakpuasan, perasaan bersalah, penghukuman, perasaan benci akan diri
sendiri, pengkritikan terhadap diri sendiri, ide bunuh diri, menangis, iritabilitas,
penarikan diri dari lingkungan sosial, kesulitan dalam bekerja/ beraktivitas,
insomnia, fatigue, nafsu makan, kehilangan berat badan. Masing-masing dari 21
pertanyaan atau bagian ini memiliki 4 jawaban sebagai responsnya. Setiap
jawaban memiliki skor dari 0 hingga 3, dimana skor ini menunjukkan beratnya
simptom dan skor keseluruhan dijumlahkan dari jumlah respons dari
masing-masing pertanyaan (Mercante J.P. dkk, 2005).
Dimana skor “0” menunjukkan tidak ada masalah dan skor “3”
menunjukkan masalah yang berat, dengan total skor keseluruhan mulai dari 0
sampai 63. Skor di bawah 13 menunjukkan tidak ada depresi, 14-20
menunjukkan depresi ringan, 21-30 menunjukkan depresi sedang, dan di atas 30
menunjukkan depresi berat (Bilgic dkk, 2011; Contreras dkk, 2010).
Beck Depression Inventory (BDI) ini memiliki kelebihan diantara
instrumen lainnya, dimana BDI ini membutuhkan waktu yang singkat, tidak
memerlukan orang yang terlatih, dan proses pelaksanaan dan sistem skoring
lebih terstandarisasi. Penelitian menunjukkan BDI memiliki reliabilitas dan
validitas yang baik sebagai skala depresi (Cusin dkk, 2009; Edwards dkk, 2001).
II.6. KUALITAS HIDUP
Kualitas hidup menurut WHO didefinisikan sebagai persepsi individu dari
mereka hidup dan kaitannya dengan tujuan, harapan, taraf/standar dan
kepentingan mereka (Kuyken dkk, 1995).
Untuk mengukur kualitas hidup maka konsep kesehatan yang
berhubungan dengan kualitas hidup telah dikembangkan. Beberapa konsensus
ada yang menggambarkannya sebagai susunan beraneka ragam yang terdiri dari
domain fisik, psikologis, sosial dan fungsional dari kesehatan sebagai komponen
minimal yang akan dinilai dari pandangan pasien (Kuyken dkk, 1995).
II.6.1. World Health Organization Quality Of Life - BREF (WHOQOL-BREF)
World Health Organization Quality of Life - BREF merupakan instrumen
yang digunakan untuk menilai kualitas hidup yang terdiri dari 26 item yang
mengukur empat domain yang luas yaitu: kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
hubungan sosial dan lingkungan. Instrumen WHOQOL-BREF telah
dikembangkan secara kolaboratif disejumlah negara di seluruh dunia dan telah
digunakan di banyak bidang. (Skevington SM dkk, 2004).
Instrumen WHOQOL-BREF memiliki beberapa kekuatan terdiri dari item
kualitas hidup yang berkaitan dengan makna aspek kehidupan yang berbeda dari
responden dan bagaimana pengalaman kepuasan atau masalah mereka. Selain
itu, WHOQOL-BREF dapat menghasilkan profil dari nilai empat domain dalam
item yang relatif sedikit yaitu sebanyak 26 item. Kekuatan konseptual dan
metodologis dikombimasikan dengan sifat psikometri yang dapat dijelaskan
dengan baik menunjukkan bahwa WHOQOL-BREF memiliki tempat terkemuka di
Domain fisik terdiri dari pertanyaan tentang kegiatan sehari-hari,
ketergantungan pada obat-obatan dan pengobatan, energi dan kelelahan,
mobilitas, nyeri dan ketidaknyamanan, tidur dan istirahat, dan kapasitas untuk
bekerja. Domain psikologis terdiri dari pertanyaan tentang perasaan positif dan
negatif, rasa percaya diri, gambaran tubuh dan gambar eksternal, keyakinan
pribadi, dan perhatian. Domain hubungan sosial terdiri dari pertanyaan tentang
hubungan dengan orang lain, dukungan sosial, dan kehidupan seks. Domain
lingkungan terdiri dari pertanyaan tentang lingkungan rumah, keamanan fisik
dan keselamatan, sumber keuangan, ketersediaan pelayanan kesehatan,
kegiatan rekreasi, lingkungan fisik, dan transportasi (Morgan I dkk, 2015).
II.7. HUBUNGAN ANTARA FATIGUE, NYERI DAN DEPRESI DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA PASKA STROKE
II.7.1. Hubungan antara Fatigue dengan Kualitas Hidup pada Penderita Paska Stroke
Suatu penelitian prospektif kualitatif dari 11 pasien stroke hemisfer kanan
yang diwawancarai satu minggu, satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan setelah
stroke ditemukan bahwa semua pasien digambarkan mengalami fatigue.
Selanjutnya, fatigue adalah menjadi alasan utama untuk tidak melakukan
aktifitas. Penderita fatigue yang tidak beraktifitas menyatakan bahwa mereka
menjadi kurang berminat dan terdapat kecenderungan untuk mudah lelah yang
kemudian menjadi alasan utama untuk tidak beraktifitas. Sebaliknya, penilitian
yang lain menunjukkan bahwa fatigue setelah stroke tidak berhubungan dengan
Fatigue yang terjadi paska stroke berhubungan signifikan dengan semua
aspek kualitas hidup baik bivariat dan multivariate. Ditemukan bahwa dengan
nilai fatigue yang lebih tinggi berhubungan dengan kualitas hidup yang lebih
rendah. Pengaruh fatigue paska stroke tersebut dapat bebas dari status
perkawinan penderita stroke, jenis kelamin, usia, pekerjaan sebelum stroke,
stroke berulang atau stroke pertama kalinya. Tingkat hubungan antara fatigue
paska stroke dengan domain kualitas hidup bervariasi, kualitas hidup pada
domain fisik merupakan salah satu yang paling berat terkena dampak setelah
stroke mungkin dikarenakan adanya gangguan motorik dan keterbatasan
fungsional yang menyertai penyakit.
Dampak dari
fatigue paska stroke padadomain fisik pada kualitas hidup biasanya muncul setelah dampaknya pada
kualitas hidup terhadap emosional. Bertentangan dengan pola yang diamati ini,
studi longitudinal menemukan hubungan kuat antara fatigue paska stroke dan
kesehatan fisik daripada antara fatigue paska stroke dan kesehatan mental.
Sementara pada satu studi cross-sectional juga mengobservasi adanya
hubungan yang lemah antara fatigue paska stroke dengan kesehatan fisik
(Onabajo GV dkk, 2014).
II.7.2. Hubungan antara Nyeri dengan Kualitas Hidup pada Penderita Paska Stroke
Pada penderita stroke, kualitas hidup dapat berubah karena konsekuensi
dari fungsional dan kognitif dari stroke dan gangguan mood. Hasil dari
penelitian jonsson dkk pada tahun 2006 menunjukkan bahwa rasa nyeri mempengaruhi kualitas hidup pada penderita stroke, nyeri digambarkan sering
Sementara itu dijumpai sebanyak 25-50% pasien paska stroke dengan rasa
nyeri yang kemudian ditemukan kualitas hidupnya berubah. Oleh karena itu
harus dilakukan evaluasi dan follow up dalam jangka waktu yang lama pada
pasien stroke yang mengalami nyeri (Jonsson dkk, 2006).
II.7.3. Hubungan antara Depresi dengan Kualitas Hidup pada Penderita Paska Stroke.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas hidup
sembilan bulan setelah stroke dan menemukan kualitas hidup yang rendah ini
pada beberapa domain. Dalam satu tahun follow up pada pasien di Cina,
ditemukan bahwa tidak ada perubahan kualitas hidup dalam domain fisik, tetapi
terdapat penurunan kualitas hidup pada domain lainnya dan ditemukan
peningkatan depresi. Depresi adalah suatu kondisi negatif yang signifikan
mempengaruhi kualitas hidup serta ditemukan bahwa depresi adalah prediktor
utama dari kualitas hidup satu tahun setelah stroke (Froes KS dkk, 2011).
Menurut penelitian Altindag dkk, 2008 mengatakan bahwa gejala depresi
umum ditemukan dan tingkat keparahan depresi dapat berhubungan dengan status fungsional dan kualitas hidup yang buruk pada pasien paska stroke.
Dalam penelitian ini, 48,7% dari pasien stroke didiagnosa menderita depresi
berat. Depresi merupakan komplikasi umum psikiatrik dari stroke. Namun,
seringkali tidak diketahui dan tidak diobati. Banyak penelitian yang menunjukkan
bahwa depresi yang tidak diobati setelah stroke akan menghambati proses
rehabilitasi, membahayakan kualitas hidup dan meningkatkan mortalitas.
Keberhasilan dalam pengobatan depresi akan dapat memfasilitasi pasien stroke
sebelumnya. Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan Nydevik I dkk,
1992 yang meneliti hubungan depresi dan kualitas hidup pada pasien depresi,
menurut penelitian mereka depresi tidak berhubungan dengan penurunan
kualitas hidup pasien. Penelitian oleh King RB pada tahun 1996 juga tidak
menemukan hubungan antara kepuasan dengan tingkat keparahan terjadinya
kelemahan pada pasien stroke.
II.8. HUBUNGAN ANTARA FATIGUE, NYERI DAN DEPRESI DENGAN KUALITAS HIDUP PADA PENDERITA NYERI KEPALA KRONIK
II.8.1. Hubungan antara Fatigue dengan Kualitas Hidup pada Penderita Nyeri Kepala Kronik
Fatigue berhubungan dengan nyeri kepala yaitu terjadi pada 16-79%
penderita migren dan 21-65% penderita CTTH. Dalam suatu studi yang dilakukan
oleh Peres dkk (2002), sekitar 84,1% penderita migren kronik menunjukkan peningkatan skor Fatigue Severity Scale (FSS) dan sekitar 2/3 penderita
memenuhi criteria Chronic Fatigue Syndrome (Peres dkk, 2002; Seidel S dkk,
2009).
Penurunan kualitas hidup pada pasien migren kronik tidak hanya
disebabkan oleh serangan migren itu sendiri, tetapi juga oleh adanya gangguan
penyerta seperti fatigue yang berlebihan dan mengantuk di siang hari yang dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderita migren. Penurunan pada domain
kesehatan fisik juga terjadi signifikan yang menyebabkan terjadinya nilai kualitas
II.8.2. Hubungan antara Nyeri dengan Kualitas Hidup pada Penderita Nyeri Kepala Kronik
Pada penelitian yang dilakukan Shaik M dkk (2014) dikatakan bahwa
skor nyeri secara signifikan lebih tinggi dijumpai pada kelompok migren dengan
disabilitas yang berat. Lamanya mengalami nyeri kepala dengan intensitas nyeri
yang berat sangat berpengaruh dengan terjadinya disabilitas yang lebih tinggi,
hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan pada populasi migren di Taiwan,
USA, Korea dan Italia.
Tingkat keparahan
dan tingkat nyeri kepala akibatmigren bisa menjadi penentu utama beban migrain. Disabilitas yang berat pada
pasien migren membutuhkan perawatan khusus karena mereka sering
mengalami nyeri akibat nyeri kepala. Faktor yang mungkin menyebabkan hal ini
adalah tidak terdiagnosisnya migren lebih awal dan. dikombinasikan dengan
lamanya frekuensi nyeri kepala migrain yang berat secara signifikan
berhubungan dengan nilai kualitas hidup pada domain kesehatan fisik yang lebih
rendah dan dapat menyebabkan terganggunya kegiatan fisik di rumah dan di
tempat kerja. Namun, nilai pada domain kualitas hidup lainnya yaitu psikologis,
sosial dan lingkungan tidak berbeda secara signifikan (Shaik MM dkk, 2014).
II.8.3. Hubungan antara Depresi dengan Kualitas Hidup pada Penderita Nyeri Kepala Kronik
Menurut penelitian Falagvina dkk, pada tahun 2013 menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara nyeri kepala kronik dan depresi, dilaporkan dalam literatur bahwa meskipun belum ada penjelasan logis yang menunjukkan
kronik dengan peluang lebih tinggi terkena depresi. Ada beberapa temuan
molekuler yang telah dilaporkan dalam hubungan migren dan depresi. Gangguan
sebagian besar yang berhubungan dengan rendahnya tingkat serotonin adalah
depresi Ternyata, serotonin juga terlibat sebagai neurotransmitter pada migraine.
Aksi serotonin dimediasi oleh reseptor 5HT1A yang terdapat dalam jumlah besar
di hippocampus. Perubahan yang ditemukan pada reseptor ini selama proses
modulasi nyeri dan antara serangan migrain menyebabkan hipotesis bahwa
migrain terlibat dengan terjadinya jumlah serotonin yang rendah.
Migren kronik dapat menyebabkan peningkatan terjadinya nilai kualitas
hidup yang rendah pada semua domain kualitas hidup terutama pada depresi
dibandingkan dengan yang tidak mengalami migren, sehingga identifikasi awal
dan pengobatan yang tepat pada migren dapat secara signifikan meningkatkan
II.10. Kerangka Konsep
PASKA STROKE
NYERI KEPALA KRONIK
Fatigue
Nyeri
Depresi Fatigue
Nyeri
Depresi