• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Misi Gereja Kristen Protestan di Bali Periode 2012-2016 dalam Perspektif Pancasila D 762012001 BAB VI"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI

GAMBARAN UMUM TENTANG BALI, SEJARAH PENGINJILAN DI BALI

DAN KARAKTERISTIK GEREJA KRISTEN PROTESTAN DI BALI

Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum tentang Bali, sejarah penginjilan di Bali

dan karakteristik GKPB. Ketiga uraian ini diperlukan agar diketahui konteks kelahiran

GKPB sebab konteks itu nampaknya tidak hanya berkontribusi tetapi juga sangat

berpengaruh dalam pelaksanaan misi GKPB. Hal-hal yang dipaparkan dalam bab ini ialah

sebagai berikut:

VI.1. Pulau Bali Sebagai Tempat Kelahiran GKPB

Sebagai tempat kelahiran GKPB, Bali adalah pulau dimana komposisi alamnya sangat

indah, filosofi penduduknya sangat luhur, Hinduisasi Bali sangat berhasil, dan penetapan

pariwisata budayanya sangat Pancasilais.

VI.1.a. Keindahan Komposisi Alam Bali

Pulau Bali beserta pulau-pulau yang termasuk provinsi Bali yaitu: Penida, Lembongan,

Ceningan, Serangan dan Menjangan; dibatasi oleh: Laut Bali di sebelah utara, Selat Lombok

yang jaraknya 15 mil di sebelah timur, Samudra Indonesia di sebelah selatan, dan Selat Bali

yang jaraknya 2 mil di sebelah barat. Pulau Bali beserta pulau-pulau satelitnya mempunyai

luas 5.632,86 kilometer persegi. Luas ini hanya 0,29 % dari luas Kepulauan Indonesia.1

Menurut topografi, Pulau Bali dibagi oleh pegunungan yang membentang dari ujung timur

sampai ujung barat. Oleh karena pegunungan ini tidak ada putusnya, maka oleh A.W.P

Weitzel seorang perwira Belanda, ia disebut sebagai bukit barisan.2 Di pegunungan ini

terdapat sejumlah gunung berapi, dimana dua di antaranya yaitu gunung Batur (1717m) dan

gunung Agung (3142m) cukup terkenal karena pernah beberapa kali meletus. Di samping ada

gunung berapi, di pegunungan ini juga terdapat empat danau yaitu: danau Beratan (di

kabupaten Tabanan), danau Buyan dan danau Tamblingan (keduanya terletak di kabupaten

Buleleng, dan danau Batur (di kabupaten Bangli). Bukit barisan ini membagi pulau

1

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, Bali Dalam Angka 2009(Denpasar:BPS Provinsi Bali,2009),3.

2

(2)

Balimenjadi dua bagian: di sebelah utara merupakan dataran rendah yang sempit dan di

sebelah selatan merupakan dataran rendah yang jauh lebih luas dan landai.

Masyarakat Bali yang tinggal di daerah pegunungan bekerja sebagai pekebun dengan

menanam pohon buah-buahan dan tanaman sayur-sayuran. Sedangkan masyarakat yang

hidup di dataran rendah yang banyak sungainya baik di Bali selatan maupun di Bali utara

bekerja sebagai petani. Sebagai petani mereka melakukan pembentukan sawah di

dataran-dataran rendah tersebut dengan menanam padi sebagai tanaman utama. Dalam pertanian

sawah, Bali terkenal dengan organisasi subaknya,yaitu lembaga pengairan yang berfungsi mengatur pembagian air untuk sawah-sawah dalam satu wilayah persawahan. Dalam

membangun suatu persubakan, para anggota subak harus membuat saluran air induk (telabah gede) dari sungai yang terdekat beserta bendungannya, yang diikuti dengan pembuatan saluran air tingkat kedua (telabah pemaron) dan tiga (telabah).3 Disamping sebagai pekebun dan petani, masyarakat Bali di beberapa daerah juga bekerja sebagai peternak babi, ayam,

itik, sapi, dan kambing.

Masyarakat Bali yang hidup di pantai yang ombaknya tidak terlalu besar mencari

nafkah dengan menjadi nelayan. Sarana untuk mata pencaharian itu adalah jukung(perahu) yang dibuat dari pohonwani (kemang) yang besar. Disamping menjadi nelayan, warga yang bermukim di pesisir pantai bermata pencaharian sebagai pembuat usaha penggaraman.

Penggaraman itu dilakukan dengan mengolah air laut dan pasir sehingga terjadilah garam

yang berbentuk seperti gula pasir. Beberapa masyarakat Bali lainnya ada yang mata

pencahariannya sebagai undagi yaitu tukang pembuat bangunan, seniman ukir, yaituahli pembuat patung dan ukir-ukiran, pande besi, yaitu ahli pembuat alat-alat dari besi,

pandeperak dan emas,yaitu ahli yang membuat alat-alat dari perak dan emas. Di kota-kota, dimana pemerintah Hindia Belanda mendirikan pusat pemerintahan, banyak orang Bali

bekerja sebagai sopir, juru tulis dan pelayan toko. Ketika pariwisata sudah mulai muncul

pada awal-awal abad ke 20, sejumlah warga Bali terutama yang tinggal di Denpasar

memperoleh pendapatan dari menjual barang-barang kesenian kepada para turis.4

3Kata “

subak “berasal dari kata bahasa Bali kuno “suak” yang berarti pecah. Oleh karena mendapat gejala metatesis, maka suak menjadi subak. Berdasarkan arti kata suak itu maka organisasi subak berarti lembaga yang mengatur pemecahan atau pembagian air dalam konteks mengairi sawah. Penjelasan yang lebih

lengkap tentang “subak” , lihat F.A.Liefrinck,”Rice Cultivation In Northen Bali, Bali: Further Stuidies in Life,

Thought and Ritual, dalam Selected Studies on Indonesia,Jilid 8(Den Haag: W.van Hoeve Publishers Ltd, 1962),1-18.

4

(3)

Bali memang pulau kecil secara fisik, namun ia dapat memberikan kontribusi yang

cukup berarti pada kehidupan umat manusia di Bali khususnya dan di tingkat nasional bahkan

di tingkat internasional pada umumnya. Hal itu terjadi demikian karena Bali memiliki dua

kekuatan yaitu: keindahan komposisi alamnya dan keluhuran filosofinya atau

kebudayaannya. Terkait dengan keindahan komposisi alam Bali, dapat dikatakan bahwa itu

terletak pada keterpaduannya. Letak gunung dan laut tidak jauh bahkan banyak gunung dan

laut terletak sangat terpadu. Dari sini timbul istilah Segara Gunung. Letak Desa dan kota sangat berdekatan. Mencari tempat yang ramai tidak jauh dengan tempat yang sepi. Jenuh di

tempat yang ramai tidak terlalu mahal kalau ingin mencari tempat yang sunyi. Demikian juga

bosan ditempat yang sunyi tidak terlalu jauh mencari tempat yang ramai. Tempat yang sejuk

tidak jauh dengan tempat yang panas. Bosan berpanas ria di pantai Kuta dan Sanur, tidak

terlalu sulit menjangkau tempat yang sejuk seperti Bedugul dan Kintamani. Ingin menikmati

matahari terbit datanglah ke Sanur. Ingin menikmati matahari terbenam datanglah ke Kuta.

Bahkan di Nusa Dua kita akan dapat menikmati matahari terbit di pagi hari dan matahari

terbenam di sore hari. Ingin ombak yang ganas berselancarlah di pantai Kuta. Ingin ombak

yang tenang datanglah ke pantai Sanur dan Nusa Dua. Jarak kedua laut tersebut sangat dekat.

VI.1.b. Keluhuran Filosofi Penduduk Bali

Berbicara tentang keluhuran filosofi Bali, dapat dikatakan bahwa dalam perjalanan

hidupnya, orang Bali menyadari bahwa alam semesta ini bisa mendatangkan kesejahteraan

bagi manusia tetapi juga bisa membawa kemalangan. Alam memberi apa yang diperlu

manusia seperti bahan pangan, sandang dan papan. Namun alam juga membawa apa yang

ditakuti manusia seperti penyakit, bencana dan kematian. Berdasarkan pada pengalaman

yang demikian, orang Bali selalu berusaha mencari tahu kekuatan yang berdiri di belakang

alam ini. Dalam pencariannya itu, orang Bali memahami dan menciptakan a pantheon of supernatural beingsyang berarti suatu kumpulan tokoh-tokoh gaib yang meliputi dewa-dewa yang melindungi dan roh-roh jahat yang merugikan.5 Keluhuran kesadaran bersama orang

Bali yang dibangun dari pengalaman hidup di alam semesta ini, tertuang dan terumus dalam

filosofitri hita karana.

Dalam filosofi tri hita karana, orang Bali berpendirian bahwa ada tiga jenis harmoni

yang patut manusia upayakan menuju hidup bahagia. Ketiga jenis harmoni itu adalah :

5

Miguel Covarrubias,Island of Bali(New York:KPI,1986),259. Lihat juga J.L.Swellengrebel,

(4)

Pertama, manusia patut menciptakan hubungan yang harmonis dengan Tuhan. Kedua,

manusia patut menciptakan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Ketiga,

manusia patut menciptakan hubungan yang harmonis dengan alam. Agar dapat bersikap

harmonis dengan Tuhan, manusia dan alam, setiap orang mesti mengharmonisasi dirinya

sendiri. Harmonisasi ke dalam ini, dilakukan dengan menyelaraskan tuntutan pribadi sebagai

makhluk individu dengan tuntutan sebagai makhluk sosial dan makhluk religius. Panggilan

untuk harmonisasi yang demikian, dapat dilakukan dengan pengembangan potensi diri secara

maksimal, dan secara bersamaan melakukan pembatasan terhadap berbagai keinginan yang

dapat merusak eksistensi diri dan lingkungan.6

Dalam filosofi tri hita karana, hubungan antara manusia dengan Tuhan didasarkan atas

konsepsi kaula Gusti, dalam artian kaula (yang dikuasai) dan Gusti (yang menguasai). Hubungan antara kaula dan Gusti melahirkan paham Tuhan sebagai asal muasal segalanya dan tujuan akhir kehidupan manusia (Sangkan Paraning Dumadi). Kesadaran diri sebagai hamba Tuhan memunculkan konsep bakti. Mengenai hubungan antar manusia didasarkan

atas nilai kebersamaan dan kesederajatan, dengan ungkapan tattwamasi.Dalam konsepsi tattwamasi terkandung prinsip bahwa dalam penyatuan manusia dengan Tuhan, manusia

melihat Tuhan dalam diri sesamanya dan juga melihat dirinya pada diri sesamanya manusia.

Dari pengertian yang demikianlah, muncul kesadaran “aku mengasihi engkau tanpa pamrih,

karena aku adalah engkau, aku mengasihi dia dan mereka tanpa pamrih karena aku adalah dia

dan mereka.”7 Kemudian tentang hubungan manusia dengan alam diwujudkan dalam bentuk

ungkapan kadi manik ring cecepu.Artinya, bagaikan janin di dalam rahim. Manusia dilahirkan bukan untuk menjadi penguasa alam, tetapi untuk hidup berdampingan bahkan

menjadi bagian dari alam. Jika manusia merusak alam, maka manusialah yang akan

menderita.8

Dalam memasyarakatkan ajaran tri hita karana, penduduk Bali mensosialisasikannya

lewat kegiatan ritual Ngotonin,yaitu kegiatan ritual untuk menghormati. Untuk menghormati keberadaan tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini misalnya, dimana manusia sangat berhutang

6

I Wayan Suja,Kearifan Lokal Sains Asli Bali(Singaraja: Paramita,2010),28-29.

7

Dalam konsepsi tattwamasi, hubungan antar manusia didasarkan atas nilai kebersamaan dan kesederajatan. Tetapi dalam kaitan dengan peran yang harus dilakoni dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat Bali menganut paham: “sesana manut linggih, linggih manut sesana.” Artinya peran atau perilaku harus sesuai dengan kedudukan, dan kedudukan berkaitan dengan peran yang mesti dilakoninya. Jika semua orang melakukan swadharma(kewajiban) masing-masing, maka keharmonisan dan kedamaian akan terwujud dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat I Wayan Suja,Kearifan Lokal . . . . , 31.

8

(5)

kepadanya, baik untuk memasok bahan pangan, sandang dan papan, termasuk juga udara

yang bersih, masyarakat Bali memperkenalkan upacara Tumpek Pengadag.Untuk menghormati keberadaan hewan, masyarakat Bali memperkenalkan upacara Tumpek Kandang.Ritual ngotonin tumbuhan dan hewan menunjukkan pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap lingkungan. Simbol untuk menghormati pepohonan sebagai sumber

hidup dilakukan dengan berbagai cara, misal dengan melilitnya memakai saput poleng(kain hitam-putih) sebagai bentuk sakralisasi, sampai dengan perlindungan niskala (non fisik) berupa kawasan alas angker dan tenget(hutan keramat).9

Beberapa ritual lain yang dilakukan oleh masyarakat Bali juga dalam rangka

menghormati alam, ialah berupa: samudra kertih,untuk menjaga kelestarian sumber daya laut. Wana kertih,untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan.Danu kertih, untuk menjaga kelestarian sumber daya air tawar. Dan jagat kertih, untuk menjaga kelestarian dan keharmonisan alam secara keseluruhan. Disamping menciptakan ritual, dengan maksud untuk

menghormati alam, penduduk Bali juga menentukan ingkel (waktu-waktu larangan) untuk melakukan aktivitas mengakhiri kehidupan binatang dan tumbuhan. Beberapa dari

waktu-waktu larangan termaksud dapat disebutkan seperti: ingkel sato,waktu yang tidak baik untuk menangkap atau menyembelih binatang.Ingkel mina, pantang menangkap ikan. Ingkel taru, tidak boleh menebang kayu. Ingkel buku, tidak boleh menebang bambu dan tanaman beruas lainya.10

Dengan berfalsafahkan tri hita karana, agama penduduk Bali purba adalah agama yang menyatakan adanya roh-roh yang perlu dimuliakan oleh mereka. Roh-roh itu adalah daya

kekuatan hidup yang terdapat di dalam alam, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan

unit-unit benda yang lain. Kepercayaan terhadap roh-roh inilah yang menjadi dasar agama

penduduk Bali purba. Dalam memuliakan roh-roh yang gaib itu, penduduk Bali purba

mempersembahkan Bali yang berarti sesajen. Oleh para penyebar agama-agama India yang datang ke Bali, kata Bali dikenakan pada pulau yang penduduknya melakukan upacara agama dengan Bali (sesajen) itu. Oleh karena penyebar agama-agama India itu mampu

9

I Wayan Suja,Kearifan Lokal . . . , 33-34.

10

(6)

berkomunikasi dengan dunia luar, maka kemudian pulau yang dinamakan Bali itu menjadi

terkenal di dunia internasional.11

VI.1.c. Keberhasilan Hinduisasi Di Bali

Tokoh yang terkenal dalam menyebarkan agama-agama India yaitu agama Hindu dan

Buddha di Bali adalah Mpu Kuturan. Dia datang ke Bali dari Jawa pada tahun 1001 M.

Meskipun dia sendiri beragama Buddha-Mahayana, namun dia adalah orang yang

menetapkan trimurti: Brahma, Wisnudan Siwa sebagai prinsip agama Hindu. Dengan maksud untuk menegakkan prinsip ini, Mpu Kuturan menganjurkan tiga hal sebagai berikut: Pertama,

tiap desa harus mempunyai kahyangantiga, yaitu Pura Puseh, Pura Bale Agung dan Pura Dalem. Kedua, tiap keluarga agar mendirikan bangunan pemujaan beruang tiga untuk trimurti dan leluhur. Bangunan pemujaan itu harus menghadap ke barat. Ruangan yang di ujung

selatan untuk memuja Brahma, ruangan yang di tengah untuk memuja Siwa, dan ruangan

yang di sebelah utara untuk memuja Wisnu. Sedangkan lantai bangunan itu untuk memuja

leluhur. Ketiga, tanah pekarangan yang sebelah-menyebelah jalan desa menjadi milik desa

adat.12

Kemudian tokoh yang paling berperan, dalam proses penghinduan penduduk Bali, pada

masa penjajahan Majapahit atas pulau Bali yang dimulai pada tahun 1343 M, adalah

Danghyang Nirartha. Dia datang ke Bali pada tahun 1546 M. Dia dikenal pula dengan nama julukan Pedanda Sakti Wawu Rawuh (Pandita sakti yang baru datang) dan Dwijendra yang berarti rajanya pandita. Oleh karena Danghyang Nirartha menganut sekte Siwa-Siddhanta,

maka yang disebarkan dan dimantapkan beliau di Bali adalah ajaran sekte Siwa Siddhanta.

Dalam rangka memantapkan ajaran sekte Siwa Siddhanta, Danghyang Nirartha mengambil

tindakan-tindakan sebagai berikut: Pertama, menyuruh keluarga-keluarga yang dari satu

marga untuk mendirikan Pura Kawitan, yaitu pura untuk leluhur mereka. Kedua, menetapkan

panca yadnya (lima upacara agamawi yaitu: Dewa-Yadnya, upacara agamawi untuk dewa-dewa. Pitra-Yadnya, upacara agamawi untuk roh para leluhur. Rsi-Yadnya, pemberian kepada para rohaniwan dan upacara penahbisan calon rohaniwan menjadi rohaniwan. Bhuta-Yadnya, yaitu pemberian santapan kepada oknum-oknum gaib yang menjadi pengiring para dewa.

Manusa-Yadnya, upacara agamawi untuk manusia. Ketiga, mengganti posisi bhatara dalem

11

R.Goris,Prasasti Bali,Jilid II(Bandung:Lembaga Bahasa dan Budaya Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia,1954),219.

12

(7)

(dewa atas kuburan menurut agama penduduk Bali asli) dengan bhatari durga, istri Siwa dalam wujud raksasa.13

Pekerjaan Danghyang Nirartha yang paling sukses adalah keberhasilannya dalam

meneruskan sistem kasta kepada penduduk Bali. Dia menempatkan suku Bali yang

ditaklukkan oleh Majapahit pada kasta terendah yaitu Sudra yang berarti budak, yang lebih

umum dikenal dengan wong jaba. Orang-orang Jawa golongan rakyat yang telah lama

bermukim di Bali, juga dimasukkan ke dalam kasta Sudra. Danghyang Nirartha beserta

dengan keturunannya mengambil kasta Brahmana yang berarti golongan yang menguasai

pengetahuan ilahi. Raja Bali yang diangkat oleh Gajah Mada beserta keturunannya untuk

memerintah Bali, diberi kasta Ksatria yang berarti golongan yang memegang pemerintahan.

Para Arya dan Wesya Jawa diberi kasta Wesya, yang berarti golongan yang menguasai

bisnis, termasuk golongan yang mengusahakan pertanian.14

Hinduisasi yang dilakukan oleh para penyebar agama Hindu atas agama penduduk Bali

purba sangat berhasil. Dengan kata lain penghinduan agama suku Bali mendapat tempat di

hati penduduk Bali. Hal itu terjadi demikian agaknya adalah karena para penyebar agama

Hindu tidak mengganggu gugat keyakinan dan tradisi agama penduduk Bali purba, malah

sebaliknya mereka sangat mengaktualisasikan falsafah tri hita karana dan mewadahinya

dalam pengajaran-pengajarannya. Para misionaris Hindu mengakomodir nilai-nilai yang ada

dalam kebudayaan penduduk Bali dalam pengajaran mereka. Hinduisasi yang demikian itu,

dapat ditunjukkan dengan beberapa contoh. Pertama, para penyebar agama Hindu

mengajarkan penduduk Bali untuk membangun pura kawitan, dan pengadaan tanah adat.

Kedua, para misionaris Hindu mengajarkan penduduk Bali tentang panca yadnya. Ketiga,

para pengajar Hindu tidak mengganti dewa agama penduduk Bali purba dengan

dewa-dewa Hindu. Para penyebar agama Hindu hanya memberi nama dewa-dewa-dewa-dewa Hindu kepada

roh-roh alam yang dipuja oleh penduduk Bali purba. Sebagai contoh, roh api diberi nama

Brahma, roh air diberi nama Wisnu, roh udara diberi nama Siwa, roh angin diberi nama

Bayu, dan roh laut diberi nama Baruna. Keempat, pemujaan terhadap roh leluhur dan

13

I Gusti Bagus Sugriwa,Sedjarah dan Falsafah Agama Hindu Bali,Djilid I(Denpasar:Pustaka Balimas,1968),11.

14I.W.Mastra, “Pertemuan Injil dengan Kebudayaan Bali”, dalam W.B.Sidjabat(ed.),Panggilan Kita di

(8)

dewa alam yang dilakukan oleh agama penduduk Bali purba, tidak dilarang oleh para

penyebar agama Hindu.15

Kehadiran Islam di pulau Bali yang berlangsung tidak lama berselang setelah kehadiran

Hindu nampaknya juga sangat diterima baik oleh rakyat dan para raja di kerajaan-kerajaan

yang ada di Bali. Beberapa raja di Bali ada yang memberikan lahan pemukiman bagi para

pendatang Islam di daerah-daerah tertentu. Misalnya di Loloan kabupaten Jembrana, di

Padang Bulia kabupaten Buleleng, di Pemogogan kabupaten Badung. Masjid-masjid tua

peninggalan sejarah adalah saksi bisu, betapa harmonisnya relasi antara penduduk Bali yang

sudah beragama Hindu dengan para pendatang yang beragama Islam dan juga dengan orang

Bali yang sudah beragama Islam.16 Penyebab adanya relasi yang baik antara penduduk Bali

yang sudah beragama Hindu dan para pendatang yang beragama Islam, nampaknya adalah

karena proses Islamisasi di Bali sama seperti proses Hinduisasi. Sebagaimana para penyebar

agama Hindu, mengaktualisasikan falsafah penduduk Bali dalam ajaran-ajaran Hindu,

demikian jugalah para penyebar agama Islam tidak mengajarkan agama Islam secara paksa,

sebaliknya mereka justru menghargai falsafah penduduk Bali dan mengakomodirnya dalam

ajaran mereka. Bahwa Islamisasi mendapat tempat di hati penduduk Bali ditunjukkan oleh

fakta sejarah yang ada di kompleks pura Batur, yang terletak di kecamatan Kintamani

kabupaten Bangli. Di pura ini terdapat dua palinggih (kuil) untuk memuja Dalem Mekah, yaitu Yang Mulia yang dipuja di Mekah, Aulloh.17

Agama Hindu ketika menghindukan Bali dengan jalan menginternalisasikan bahkan

mewadahi filosofi Bali dalam kehidupan beragama Hindu di Bali, membuat filosofi Bali

luluh menjadi satu dengan agama Hindu. Kenyataan ini membuat kita sulit memisahkan

antara kebudayaan Bali dengan agama Hindu di Bali. Hal itu terjadi demikian, karena agama

Hindu di Bali bernafaskan filosofi Bali. Dengan kata lain filofofi Bali yakni jiwa masyarakat

Bali telah bertubuhkan agama Hindu sejak agama Hindu melakukan Hinduisasi di Bali. Oleh

karena agama Hindu di Bali telah menyatu dengan filosofi atau kebudayaan Bali, seperti

tubuh dan jiwa, maka agama Hindu di Bali bercorakkan filosofi Bali.18

15I.W.Mastra, “Kontekstualisasi Gereja:Jawaban Gereja Kristen Protestan di Bali terhadap Injil”,Peninjau,tahun V,No.3-4(Jakarta:Lembaga Penelitian dan Studi DGI,1978),203.

16

Yudhis M.Burhanuddin,Bali Yang Hilang,Pendatang,Islam dan Etnisitas di Bali (Yogyakarta:Kanisius,2008),40-41.

17

Philip K.Hitti,Dunia Arab: Sedjarah Ringkas,(terj.) (Bandung:Sumur Bandung,tanpa tahun),32.

18

(9)

Dengan menyatunya falsafah Bali dan agama Hindu, maka Hindu Bali tidak dapat

memisahkan antara masalah sosial dan masalah agama. Keduanya menjadi satu. Orang Hindu

Bali berpendapat bahwa untuk mereka sudah ada satu agama yang harus mereka pegang

teguh. Bagi mereka tidak ada agama yang benar atau agama yang salah. Semua agama itu

sama baik dan sama benarnya, karena semuanya merupakan jalan yang menuju kepada

Tuhan. Oleh karena itu sangat mudah bagi mereka untuk menerima ajaran-ajaran dari agama

lain, tanpa perlu berganti agama. Ajaran dari bermacam-macam agama tidak dilihat sebagai

yang bertentangan satu dengan yang lain, melainkan saling melengkapi. Sangat aneh bagi

mereka jika ada orang yang mengatakan agama ini benar dan agama itu salah. Orang Hindu

Bali senyatanya memang melihat bahwa soal-soal sosial, ekonomi dan agama itu menyatu.

Justru karena orang Hindu Bali melihat bahwa soal-soal sosial, ekonomi dan agama itu

menyatu, maka bila ia ada dalam keguncangan sosial dan ekonomi, ia cendrung akan ada

dalam keguncangan agama juga.19

VI.1.d. Penetapan Pariwisata Budaya Bali Sangat Pancasilais

Sejak jaman pra Hindu kebudayaan masyarakat Bali memang sudah bersifat terbuka

terhadap masyarakat dan pengaruh kebudayaan-kebudayaan yang datang dari luar. Namun

filosofi Bali sangat kuat dalam berinteraksi, bertahan diri, bahkan mengatasi semua

kebudayaan yang datang dari luar, tidak hanya dengan jalan menyaring atau memfilterisasi

semua kebudayaan asing itu, tetapi juga dengan jalan mensosialisasikan filosofi Bali itu

sendiri. Karakter filosofi Bali yang demikian, membuat pemerintah nasional dan daerah

menetapkan bahwa kepariwisataan yang dikembangkan di Bali adalah Pariwisata

Budaya.Implikasi dari penetapan ini adalah pembangunan industri pariwisata Bali diarahkan

agar menjadi industri yang dapat memacu masyarakat Bali, Indonesia bahkan Dunia untuk

tidak hanya meningkatkan ekonomi, tetapi justru untuk ber-tri hita karana, yakni untuk menjadi manusia yang berhamonisasi dengan Tuhan, sesama dan alam.20

Dalam rangka membangun manusia yang bermisi tri hita karana, yaitu manusia yang

membangun peradaban yang harmoni dengan Tuhan, sesama dan lingkungan, demi

terciptanya jagat hita, pemerintah dan masyarakat Bali, mensosialisasikan pesan-pesan tri hita karana tidak hanya melalui kegiatan ritual dan perilaku kehidupan sehari-hari, tetapi juga

19I Ketut S.Waspada,”Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya Gereja Bali” dalam I Nengah

Ripa,Dinamika GKPB Dalam Perjalanan Sejarah(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2012),124.

20

(10)

melalui ceritera-ceritera dan lagu-lagu rakyat. Beberapa ceritera rakyat yang mengandung

nilai-nilai tri hita karana ialah seperti : ceritera Basur, ceritera Pan Balang Tamak, ceritera Si

Ubuh. Beberapa lagu rakyat yang meneruskan nilai-nilai tri-hita karana ialah seperti : lagu

Ede Ngaden Awak Bise, Putri Cening Ayu, Bungan Sandat. Baik ceritera-ceritera maupun

lagu-lagu rakyat seperti tersebut di atas sangat disukai untuk didengar dan dinyanyikan tidak

hanya oleh penduduk Bali yang beragama Hindu, tetapi juga oleh penduduk Bali yang

beragama non Hindu. Hal itu terjadi demikian adalah karena inti dasar dari nilai-nilai tri hita

karana berupa pengagungan terhadap “sambung rasa”, yakni kesadaran sosial untuk bisa

merasa apa yang sesama rasa, sejalan dengan inti dasar dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi

oleh masyarakat Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pancasila, yaitu “gotong royong”.

VI.2. Sejarah Penginjilan Di Pulau Bali

Sejarah penginjilan di pulau Bali bisa diklasifikasi ke dalam empat tahapan masa.

Keempat tahapan masa itu terdiri dari : Pertama, masa penjajagan penginjilan di Bali, Kedua,

masa penginjilan oleh Utrechtsche Zendings Vereeniging (UZV). Ketiga, masa penginjilan oleh Christian Missionary Alliance (CMA). Keempat, masa penginjilan oleh Gereja KristenJawi Wetan(GKJW).

VI.2.a. Masa Penjajagan Penginjilan Di Bali

Masa penjajagan penginjilan di Bali dilakukan oleh beberapa misionaris Barat segera

setelah Belanda menguasai Bali. Belanda sendiri datang ke Bali pada awal abad ke 17,

tepatnya pada bulan Juni 1601 ketika di tanah Belanda sedang muncul semangat

menghidupkan kembali kejayaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan juga tatkala kerajaan-kerajaan Bali setelah kudeta militer Sagung Maruti di Gelgel akhir abad

XVI, saling menyimpan dendam satu sama lain dan saling intip menunggu kelemahan

masing-masing. Kedatangan Belanda ke Bali dipimpin oleh laksamana Cornelis Heeskerck.

Dia mengadakan kunjungan resmi kepada raja Bali, Dewa Agung Dalem Bekung di Gelgel

dengan membawa surat Pangeran Maurits van Nassau dan menyerahkan tanda mata sebagai

tanda persahabatan. Pada kesempatan itu Cornelis Heeskerck mengutarakan keinginana

pemerintah Belanda untuk mengadakan kerjasama perdagangan dengan Bali. Pada tanggal 7

Juli 1601, raja Bali mengijinkan warga negara Belanda berdagang secara bebas dan sederajat

(11)

adalah satu” dimaksudkan oleh raja Dewa Agung Dalem Bekung dalam konteks budaya Bali yang sangat menghargai para tamu.21

Bukti bahwa pernyataan raja Dewa Agung Dalem Bekung tidak mengandung unsur

politis dan yuridis, terlihat dari keinginan gubernur jendral VOC di Batavia Hendrik Brouwer

yang berkuasa dari tahun 1632 sampai 1638, untuk menjalin kerjasama dengan raja Bali.

Yang menjadi raja Bali saat itu ialah Dewa Agung Dalem Segening di Gelgel. Hendrik

Brouwer menghendaki agar Bali bersekutu dengan pemerintah Belanda untuk melawan

kerajaan Mataram. Hubungan Bali dengan kerajaan Mataram saat itu memang sedang

memanas, sebagai akibat dari keputusan politik sultan Agung untuk meluaskan kekuasaannya

ke seluruh Jawa, sehingga dengan sendirinya mencemaskan Dewa Agung Dalem Segening

yang masih berkuasa atas Blambangan, Pasuruan dan Blitar. Keinginan Brouwer dituangkan

dalam sepucuk surat yang dibawa oleh seorang utusan bernama Jan Oosterwijck. Mengingat

ingin mendapat balasan secepat mungkin dari raja Bali perihal sarannya itu, maka Brouwer

mengirim lagi seorang utusan bernama Joachim Roelofsz van Deutekom yang dikawal oleh

satu pasukan infanteri. Dia disertai juga oleh seorang pendeta bernama Justus

Heurnius.22Mengawali langkahnya ke Bali, pemerintah Belanda memang menempuh

kerjasama perdagangan dengan raja-raja Bali, namun berangsur-angsur melakukan tindakan

politik berupa koalisi dan penaklukkan kerajaan-kerajaan Bali, demi kepentingan dan

keuntungan ekonominya.23

Para misionaris Barat dari Belanda, Portugis, Inggris yang mulai memikirkan dan

menjajagi kemungkinan untuk melakukan perintisan penginjilan di Bali, dapat disebutkan

diantaranya: Pertama, Justus Heurnius. Dia datang ke Bali bersama rombongan Joachim

Roelofsz van Deutekom yang diutus oleh gubernur jendral kompeni Hendrik Brouwer di

Batavia. Dia berada di Bali sebentar saja di tahun 1633. Melalui penjajagan yang

dilakukannya sebentar itu, dia menemukan bahwa ada beberapa orang Bali tertarik dengan

kehidupan orang Belanda dan kekristenan, namun dia tidak melaporkan bagaimana metode

penginjilan yang harus dilakukan terhadap orang Bali.24

21

Ide Anak Agung Gde Agung,Bali Pada Abad XIX Perjuangan Rakyat dan Raja-Raja Menentang Kolonialisme Belanda 1808-1908(Yogyakarta:Gajah Mada University Press,1989),9.

22

Ibid., 11-13.

23

Ibid., 11-12.

24

(12)

Kedua, pater Manuel de Azevedo. Manuel de Azevedo singgah ke Bali pada akhir

tahun 1634 dalam perjalanannya dari Bima ke Malaka. Penduduk Bali menerima dia bersama

rombongannya dengan baik. Pada waktu bertolak meninggalkan Bali, Syahbandar, raja muda

Bali, membuat sepucuk surat atas nama raja Bali untuk dia bawa ke Malaka. Dalam surat itu,

Syahbandar menyatakan bahwa dia sangat senang untuk memulai persahabatan dengan

Portugis dan akan sangat senang sekali bila imam-imam Portugis datang ke Bali, agar siapa

saja yang menghendaki dapat memeluk agama Kristen. Berdasarkan pada surat Syahbandar,

pater Manuel de Azevedo menulis surat kepada provinsial Serikat Jesuit di Kochin. Di dalam

suratnya itu, ia antara lain menyatakan bahwa penduduk Bali sangat tidak menyukai agama

Islam, dan mereka bermusuhan dengan raja-raja Islam di Jawa dan Makasar25. Dalam

meresopn surat Manuel de Azevedo, pihak provinsial Serikat Jesuit di Malaka mengutus

Manuel de Azevedo dengan ditemani oleh Carvalho sebagai misionaris ke Bali pada 11

Maret 1635. Manuel de Azevedo dan Carvalho tiba di Bali pada tanggal 30 April 1635.

Setelah tinggal selama 21 hari di Bali, mereka kembali ke Malaka. Mereka kembali ke

Malaka sebab raja Bali tidak tertarik dengan penginjilan, melainkan hanya ingin menjalin

persahabatan dan perdagangan dengan Portugis.26

Ketiga, W.H. Medhurst. Dia seorang yang pernah bekerja di Batavia antara tahun

1822-1842. Dia mahir berbahasa Cina dan Melayu. Pada tahun 1829, ia mengadakan perjalanan

pengintaian ke Jawa Timur dan Buleleng Bali. Menurut pengamatannya, orang Bali itu

seperti binatang. Hidupnya kotor, hidup dari perdagangan budak, tergantung pada candu dan

tidak ramah. Berdasarkan pada penilaiannya ini, Medhurst menganjurkan agar penginjilan

oleh gereja Barat segera dilakukan di Bali.27 Keempat, Jacob Ennis. Dia seorang pendeta

berkebangsaan Ingris bisa berbahasa Melayu namun tidak mengenal latar belakang orang

Bali. Dia datang ke Bali pada tahun 1838, melakukan penginjilan dalam bahasa Melayu. Dia

segera meninggalkan Bali karena tidak berhasil melakukan Kristenisasi di Bali.28

Kelima, W.R.Baron Van Hoevell. Dia seorang pendeta yang datang ke Bali dua kali,

pertama pada tahun 1846 dua tahun sebelum angkatan perang Belanda menaklukkan

25

P. Patriwirawan,Sejarah Gereja Katolik Indonesia(Jakarta:Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia,1974),345.

26

I Ketut Ardhana,Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi dan Integrasi(Denpasar:Pustaka Larasan,2011), 78-79.

27

I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan(Batu Malang: Departemen Literatur YPPI,1999),20.

28

(13)

Buleleng,29 dan kedua pada tahun 1856 untuk mengadakan penelitian bahasa dan etnografi.

Pada kunjungan pertamanya, Hoevell pernah tinggal di rumah Mads J.Lange seorang wakil

pemerintah India Belanda untuk Bali dan berdiam di Kuta. Dari Lange dan sumber-sumber

lainnya serta percakapannya dengan semua orang yang dijumpai; dan dari penjelajahannya di

beberapa kerajaan di Bali, Hoevell memperoleh keterangan mengenai perkembangan Bali.

Pada kunjungannya yang kedua, Hoevell sempat mengadakan perjalanan ke Gianyar dan

bertemu dengan raja Dewa Manggis. Hasil penelitian Hoevell dilaporkan dalam majalah

Tijschrift van Nederlandsch-Indie berupa dua tulisan yang berjudul: “Reis Over Java, Madura

en Bali” dan “ Dagverhaal ener reis overBalien June en Juli 1856.”30

Melalui kedua tulisan Hoevell seperti termaksud di atas, ia melaporkan bahwa

penduduk Bali dari tahun 1846 sampai tahun 1856 berjumlah sekitar 700.000 jiwa, semuanya

beragama Hindu kecuali suku-suku luar Bali seperti Jawa, Bugis dan Mandar. Orang Bali

dilaporkan sangat ramah dan memperlihatkan sikap bebas dalam pertemuannya dengan orang

Barat. Dilaporkan juga bahwa mata pencarian penduduk Bali adalah bertani. Dalam usaha

mempertinggi efisiensi kerja dan menjaga kesinambungan produksi, petani Bali mewujudkan

gotong royong melalui lembaga subak. Hasil karya Hoevell ini sangat berguna bagi

masyarakat Nederlandse Bijbelgrenaotschaap en het Nederlanddse Zending Genootschaap

yang sedang memulai aktivitas penginjilan awal dengan terlebih dahulu mempelajari bahasa

dan etnografi penduduk yang mau diinjili.31

Kemudian dalam sebuah brosur berjudul “Nederland en Bali,Een stem tot het Nederlandsche Volk” yang diterbitkan tahun 1856, Hoevell menyerukan kepada masyarakat

Belanda, terutama Nederlands Bijbelgenootschap en het Nederlands Zendeling Genootschap, supaya mau mengirimkan orang-orangnya ke Bali, karena Bali sudah siap sedia menerima

Injil.32 Seruan Hoevell ini tidak mudah dilaksanakan, karena pemerintah kolonial Belanda

memiliki Regering-reglement, peraturan pemerintah tahun 1854 yang antara lain

29

Belanda memerangi kerajaan Buleleng pada tahun 1848 dan menaklukkannya pada tahun 1849, karena raja Buleleng tidak mau menepati isi perjanjian yang dibuat oleh raja-raja Bali pada tahun 1843. Perjanjian termaksud adalah kesediaan raja-raja Bali menghapus hak Tawan Karang, yakni hak turun temurun yang dimiliki oleh raja-raja Bali untuk merampas semua isi kapal yang terdampar di wilayah Bali. Lihat Nyoman Wijaya,Merayap Di Akar Rumput Sejarah Kelompok Minoritas Kreatif Membangun Gereja Kristen Protestan di Bali 1931-2011(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012),46.

30

Nyoman Wijaya, Merayap Di Akar Rumput Sejarah Kelompok Minoritas Kreatif Membangun Gereja Kristen Protestan di Bali 1931-2011(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2012),48.

31

Nyoman wijaya,Merayap Di Akar Rumput . . . , 48-49.

32P.Patriwirawan,”Sejarah Gereja Katolik di Wilayah Keuskupan Denpasar”, dalam Sejarah Gereja

(14)

menyebutkan bahwa guru-guru Kristen, para imam dan pendeta zending harus memiliki izin

khusus yang diberikan oleh atau atas nama gubernur jendral agar dapat menyelenggarakan

pekerjaan dinas mereka di suatu bagian wilayah Hindia Belanda. Ketetapan ini digunakan

oleh pemerintah kolonial Belanda untuk mempersulit atau bahkan melarang pekabaran Injil

di daerah-daerah jajahan tertentu.33 Dalam seruannya, Hoevell mengemukakan bahwa kepada

orang Bali Injil harus disampaikan dengan cara-cara yang lasim dipakai di Bali yakni

mengajar dengan penuh pengertian dan dengan menggunakan bahasa Bali.34

VI.2.b. Masa Penginjilan Di Bali Oleh Utrechtche Zending Vereeniging (1863-1881)

Setelah berselang sekitar tujuh tahun, seruan Hoevell untuk memulai penginjilan di Bali

menjadi kenyataan. Pada tahun 1863, Utrechtche Zending Vereeniging (UZV) menetapkan W.van der Jagt sebagai utusan untuk dikirim ke Bali guna mempersiapkan segala sesuatu

yang diperlukan oleh para penginjil lain yang juga akan datang ke Bali. W.van der Jagt tiba di

Bali pada tanggal 26 Oktober 1864 dan diterima dengan baik oleh para pemimpin masyarakat

Bali di Buleleng Bali utara. Para pemimpin Buleleng menyediakan tanah untuk perumahan

para penginjil, untuk gereja dan sekolah. Hal ini adalah indikasi bahwa masyarakat Bali

terbuka terhadap penginjilan dan UZV pun melaksanakan usaha penginjilan dengan

sungguh-sungguh. Melalui kerjasama denganNederlands Bijbelgenootschap (NBG), pada tahun 1862 UZV menugaskan Herman Neubronner van der Tuuk untuk menterjemahkan Alkitab ke

dalam bahasa Bali, namun van der Tuuk baru datang ke Bali pada tahun 1870 dan bekerja

untuk NBG selama tiga tahun saja.35

Pada tahun 1873, dia bekerja untuk pemerintah Belanda dan terus mempelajari bahasa

Bali. Hal ini terjadi demikian, nampaknya karena van der Tuuk memang hanya tertarik

kepada bahasa namun tidak suka mengerjakan hal-hal yang terkait dengan agama.36 Pada

tanggal 30 Januari 1877 van der Tuuk yang sedang menyusun kamus “Kawi

-Balineesch-Nederlandsch” mengirim surat kepada pater Terwindt yang ketika itu menjabat pastor kepala

di Surabaya. Dalam surat itu van der Tuuk mendesak supaya missie datang ke Bali. Bertolak

dari desakan van der Tuuk, walau ada banyak kesulitan melakukan missie di Bali, pater

33Chris Hartono,”Kehadiran Zending di Zaman Kolonial Belanda : Suatu Tinjauan Historis

-Teologis”, dalam F.W.Raintung (ed.),Tahun Rahmat dan Kemerdekaan, Perenungan Perjalanan Lima Puluh Tahun Republik Indonesia (Surakarta:Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial,1995),23.

34I Ketut Siaga Waspada,”Penginjilan di Pulau Bali Hingga Lahirnya Gereja Bali” dalam I Nengah

Ripa (ed.), Dinamika GKPB Dalam Perjalanan Sejarah(Jakarta:Gunung Mulia,2012),81-83.

35

Ibid., 85.

36

(15)

Wenneker pada tahun 1896 berencana untuk mengirim pater Le Cocq d’Armandville untuk

melaksanakan missie di Bali, bila dia sudah sembuh dari sakit dan bila dia sudah selesai

bertugas di Irian Barat37.

Sementara mengutus van der Tuuk, UZV pada tahun 1866 juga mengutus dua orang

misionaris ke Bali yaitu R. Van Eck dan Jacob de Vroom. Van Eck seorang ilmuwan yang

sangat tertarik pada sastra dan etnographi, memusatkan karyanya dalam bidang bahasa dan

hukum adat serta kebudayaan Bali. Dia seorang yang cerdik dan cepat dapat menyesuaikan

diri dengan situasi di sekitarnya. Sedangkan de Vroom seorang ahli pengobatan,

memfokuskan perhatiannya pada upaya memperkenalkan dan menarik orang-orang Bali

kepada agama Kristen. Dia suka bergaul dengan penduduk Bali bahkan suka mengunjungi

dan mendoakan mereka, sekalipun dia belum paham betul dengan budaya dan bahasa Bali.

Pada tahun 1873, setelah bekerja selama tujuh tahun di Bali, van Eck berhasil membaptis

orang BaliI Gusti Wayan Karangasem dengan nama Nicodemus di desa Jagaraga, Buleleng,

Bali utara. Pada tahun 1875 van Eck pulang ke Belanda karena terganggu kesehatannya.38

Jacob de Vroom tetap menjalankan tugasnya dengan dibantu oleh N. Wiggelendam seorang

zendeling dari UZV. Kedua orang ini tetap berusaha mengabarkan Injil sedapat mungkin,

namun akhirnya mereka harus mengakui bahwa penginjilan di Bali bagaikan membajak tanah

tandus dan berbatu. Hal itu dikatakan demikian, karena sudah lima tahun setelah I Gusti

Wayan Karangasem dibaptis, tidak ada seorangpun mau mengikuti langkahnya.39

I Gusti Wayan Karangasem tetap satu-satunya orang BaliKristen dan pada tahun 1874

ia meninggalkan Bali utara menuju Mengwi Bali selatan atas dukungan van Eck untuk

berdagang. Di Mengwi tepatnya di Grana dia ditahan oleh Tjokorda Mengwi karena istri I

Wayan Karangasem punya hutang. Dalam penahanan ini I Gusti Wayan Karangasem diberi

kebebasan untuk tetap beragama Kristen, diberi pekerjaan menggarap sawah dan setengah

dari hasilnya boleh ia ambil, namun tidak dijinkan kemana-mana. Selama berada di Grana ia

mendengar bahwa van Eck dan de Vroom sudah kembali ke Belanda, sehingga tidak terpikir

lagi olehnya untuk kembali ke Bali utara. Walaupun demikian, di Grana I Gusti Wayan

Karangasem tetap bertahan menjadi orang Kristen. Di Grana ia terus terang mengaku sebagai

orang Kristen dan tidak ikut dalam upacara-upacara agama Hindu. Ia juga tidak

37

Nyoman Wijaya,Merayap Di Akar . . . , 50-52.

38

Ulrich Beyer,Bali-Fajar Pagi Dunia Injil dan Gereja di Pulau Bali(Batu Malang:Departemen Literatur YPPI,2001),3-4.

39

(16)

mempersembahkan kurban, bahkan tidak memperhatikan lagi soal dewasa yaitu tentang hari

baik dan hari tidak baik untuk mengerjakan sawah.40

Awal Agustus 1880, I Gusti Wayan Karangasem mendapat tugas untuk pergi ke Banjar

sebuah kampung di sebelah barat Singaraja Buleleng Bali utara. Tanggal 8 Agustus sore hari

dengan tidak disangka-sangka ia bertemu de Vroom di tengah jalan. De Vroom mengajak ia

ke rumahnya dan di rumahnya I Gusti Wayan Karangasem ditanyai soal imannya. Selama ada

di Buleleng, I Gusti Wayan Karangasem beberapa kali menjumpai de Vroom sesuai dengan

pesan de Vroom walaupun I Gusti Wayan Karangasem tidak selalu menepati waktu

pertemuan. Dalam setiap pertemuan de Vroom selalu menguji kesetiaan I Gusti Wayan

Karangasem dan selalu meminta agar I Gusti Wayan Karangasem mengucapkan 10 Hukum

Allah, Doa Bapa Kami, dan Pengakuan Iman Rasuli, guna mencegah dia kembali ke agama

yang telah dianutnya semenjak lahir. Apa yang dilakukan oleh de Vroom di sini, menurut

perasaan orang Bali sangat kurang bijaksana.41

De Vroom semestinya bertanya tentang keadaan I Gusti Wayan Karangasem yang saat

itu terbeban oleh kesulitan ekonomi. Sebenarnya I Gusti Wayan Karangasem tetap bertahan

menjadi orang Kristen, walaupun tengah ada dalam penderitaan. Namun perlakukan de

Vroom yang tidak merasakan penderitaannya, malah selalu menghantam dengan

pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menguji, mendominasi dan mencurigai,42 membuat I Gusti Wayan

Karangasem sangat terluka dan sakit hati. Dia tidak melihat de Vroom sebagai teman atau

sebagai tempat dimana dia merasa seperti keluarga, tetapi selalu hanya sebagai guru yang

mengajar, mendominasi, menguji dan mencurigai. Tindakan de Vroom yang demikian ini,

melukai hati I Gusti Wayan Karangasem sampai menyebabkan kepercayaan I Gusti Wayan

Karangasem berubah menjadi rasa benci terhadap de Vroom.43

Kebencian I Gusti Wayan Karangasem terhadap de Vroom membuat dia menghasut

dua pembantu de Vroom yang bernama Oedin dan I Klana untuk membunuh de Vroom.

Hasutan I Gusti Wayan Karangasem ini mampu menggerakkan Oedin dan I Klana melakukan

40I Ketut S.Waspada,”Penginjilan di Pulau Bali

. . . , 116-117.

41

Ibid., 119.

42

Dalam menguji iman I Gusti Wayan Karangasem, nampaknya de Vroom punya maksud yang baik. Ia ingin agar orang Kristen Bali itu betul-betul bertanggungjawab, berpendirian yang kuat, mempunyai iman yang teguh dan tidak sekedar ikut-ikutan. De Vroom berbuat demikian agaknya karena ia mendapat kesan bahwa orang Bali tidak serius dalam segala sesuatu. Dalam hal ini kesan de Vroom yang begitu negatif terhadap orang Bali itu membuat dia selalu curiga dan meremehkan I Gusti Wayan Karangasem. Lihat I Ketut

S.Waspada”Penginjilan di Pulau....”dalam I Nengah Ripa(ed.),Dinamika GKPB . . . , 119-120.

43

(17)

penyerangan terhadap de Vroom pada tanggal 8 Juni 1881 jam 19.30, dengan memukul

kepalanya dalam perjalanannya pulang dari rumah asisten residen di Buleleng. Oleh karena

dua luka berat di kepala de Vroom, membuat dia tidak sadar diri dan meninggal pada tanggal

9 Juni 1881 jam 03 dini hari. Tidak lama setelah kematian de Vroom, pemerintah kolonial

menjatuhkan hukuman gantung bagi ketiga orang yang terlibat dalam pembunuhan de Vroom

di Batavia, dan sembari itu mengeluarkan sebuah peraturan berupa artikel 177, yang dimuat

dalam Nederlandsch Staatsregeling, yang isinya para guru agama, imam, dan pendeta yang ingin bekerja di wilayah Hindia Belanda, harus memohon izin kepada gubernur jendral44.

Kematian de Vroom secara tragis memperlihatkan bahwa pekabar Injil dari Utrecht itu, gagal

memperlihatkan dengan nyata kepada orang-orang Bali adanya perbedaan di antara agama

yang dibawa dari Belanda dan pemerintah kolonial yang menindas, yang juga berasal dari

negara yang sama. Dua hal inilah yang membuat kekristenan bagi orang Bali pada akhir abad

ke 19 sebagai agama asing yang ditolak45.

Berdasarkan pada fakta tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa penginjilan di Bali yang

dilakukan oleh Utrchtsche Zendings Vereeniging yaitu badan zending dari gereja Protestan, adalah sebuah kegagalan. Sepuluh tahun setelah kegagalan penginjilan UZV di Bali,

pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 25 Mei 1891 memberi izin kepada lembaga misi

gereja Katolik untuk memulai pekerjaan misi di Bali, dengan menempatkan satu atau dua

orang tenaganya di Buleleng. Melihat fakta ini Gramberg menduga bahwa pemerintah Hindia

Belanda menilai kegagalan UZV adalah karena kekurangan dari zendeling Protestan de Vroom, sehingga pemerintah memberikan izin kepada misi Katolik yang barangkali akan lebih berhasil daripada zendeling Protestan dalam bersimbiosis dengan kebudayaan Bali.

Kesempatan yang didapat dari pemerintah tidak bisa diisi oleh lembaga misi Katolik karena

kekurangan tenaga.46

Sebelas tahun sesudah mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda untuk memulai

pekerjaan misi di Bali, maka pada tahun 1912 gereja Katolik melalui kongregasi penyebaran

iman, memasukkan Bali ke dalam Prefektur Apostolik Betawi disamping Lombok, Sumbawa,

Flores, Sumba dan Timor. Sejak saat itulah Bali dikunjungi oleh pastor dari Jawa yang telah

beralih pelayanan dari missionaris Serikat Jesus (SJ) kepada serikat Societas Verbi Domini

(SVD). Pada tanggal 4 Nopember 1919 Mgr. Noyen telah tiba di Bali untuk meminta izin

44

Nyoman Wijaya,Serat Salib . . . , 33,

45

Ulrich Beyer,Bali-Fajar . . . , 4-5.

46

(18)

kepada resident Bali dan Lombok agar bisa memberitakan Injil ke Bali.47 Noyen menjelaskan

kepada resident tentang kemungkinan mendirikan asrama, rumah sakit, sekolah dan

lembaga-lembaga lainnya sebagai sarana untuk berhubungan dengan penduduk, bukan sebagai karya

pembaptisan. Pada tahun 1924, Mgr. Verstraelen mendapat izin untuk mendirikan sekolah di

Klungkung yang merupakan pusat kebudayaan Bali.48

Sebelum lembaga missie Katolik beroperasi di Bali, British and Foreign Bible Society(BFBS) mengutus salah seorang anggota dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yaitu Salam Watiyas untuk datang ke Bali menjual buku-buku Kristen. Lembaga misi dari

BFBS mengutus dia ke Bali, nampaknya karena lembaga ini telah mengetahui rencana besar

dari Mgr. Noyen dan penggantinya Mgr. Verstraelen untuk melaksanakan misi di Bali, dan

BFBS tidak ingin kalah cepat. Salam Watiyas adalah seorang keturunan bangsawan Jawa,

yang lahir di Kediri 26 Desember 1905 dari keluarga yang menganut agama Islam. Dia

dibaptis di GKJW tanggal 26 Desember 1926, dan diutus ke Bali 29 April 1929 oleh GKJW.

Salam Watiyas datang ke Bali bersama seorang pembantunya benama Tukiran Petrus.

Sesampainya Salam Watiyas dan Tukiran Petrus di Bali mereka menjual buku-buku Kristen

ke Singaraja, Denpasar, Tabanan, Gianyar, Bangli, Negara, bahkan sampai pelosok-pelosok

desa juga. Salah satu buku yang dijual oleh Salam Watiyas ialah sebuah buku Injil Lukas

dalam bahasa Bali ditulis dalam aksara Latin. Buku-buku Kristen yang dijual Salam Watiyas

banyak dibeli oleh masyarakat Bali.49

Isi kitab Injil Lukas oleh masyarakat Bali dipandang sangat cocok dengan kehidupan

orang Bali. Hal itu terjadi demikian karena Lukas menampilkan Yesus sebagai seorang tabib

agung. Hal ini sesuai dengan gambaran orang Bali tentang seorang yang suci dan benar,

bahwa dia ada di atas segala kuasa yang jahat, yang terutama ditampakkan dalam

tindakannya menyembuhkan orang sakit. Banyak orang Bali mengira bahwa Injil Lukas

adalah buku tentang cara-cara menyembuhkan orang sakit. Bertolak dari perkiraan ini, ada

beberapa orang Bali ingin berhubungan langsung dengan Yesus, sehingga mereka

menyampaikan keinginan mereka ini kepada Salam Watiyas. Merespon keadaan ini, Salam

Watiyas tidak hanya berperan sebagai seorang kolporteur, tetapi juga sebagai guru. Dia

47

Nyoman Wijaya,Serat Salib . . . , 35.

48

I Ketut S.Waspada, Penginjilan di Pulau . . . , 123.

49

(19)

menyediakan waktunya untuk mereka yang bertanya kepadanya dan dia juga sangat suka

membantu orang yang sakit, dan orang yang ada dalam kesulitan.50

Cara hidup raden Salam Watiyas seperti tersebut di atas, membuat orang Bali tertarik

untuk menjadi Kristen. Pada tahun 1930 ada sekitar 80 orang yang belajar agama Kristen

pada raden Salam Watiyas dan siap untuk dibaptis. Dalam merespon keadaan ini, Salam

Watiyas bermaksud menyerahkan orang-orang Bali yang ingin menerima baptisan itu kepada

GKJW, namun GKJW tidak bisa memenuhi keinginan dari Salam Watiyas karena GKJW

tidak berhasil mendapat izin dari pemerintah Hindia Belanda. Mengetahui keadaan ini, tuan

Tipson atasan dari Salam Watiyas menghubungi R.A. Jaffray ketua Christian and Missionary Alliance (CMA) dan memohon agar ia datang ke Bali dan menemui Salam Watiyas. Dari pertemuannya dengan Salam Watiyas, Jaffray memiliki gagasan untuk mengutus seorang

penginjil bekerja di Bali di antara orang-orang Tionghoa agar orang-orang Bali yang mau

menjadi Kristen, dapat bergabung dengan mereka.51

VI. 2.c. Masa Penginjilan Di Bali Oleh Christian Missionary Alliance (CMA)

Dalam merealisasi gagasan Jaffray untuk mengutus seorang penginjil bekerja di Bali di

antara orang-orang Tionghoa, sehingga orang-orang Bali yang mau menjadi Kristen dapat

bergabung dengan mereka, dia mengajukan permohonan ke pemerintah Hindia Belanda

untuk dijinkan mengutus penginjil yang bernama Tsang To Hang52 dari Chinese

50

Pada waktu Salam Watiyas datang ke Bali, penduduk Bali memang tengah mengalami zaman

malaise dan tengah kena pengaruh ajaran adja wera. Zaman “malaise” adalah zaman ketika banyak masyarakat

Bali mengalami keraguan akan agama mereka, karena mereka merasa tidak ditolong oleh agama mereka untuk keluar dari masalah-masalah sosial dan ekonomi. Justru tuntutan agama pada waktu itu menggiring mereka ke jalan yang buntu, karena pada zaman malaise mereka harus mengorbankan sebagian besar dari uang, waktu dan tenaga mereka untuk bekerja memperbaiki tempat-tempat ibadah mereka yang rusak akibat gempa bumi tahun

1917. Pengajaran “adja wera” yang artinya “jangan dikatakan” yang dibawa oleh raden Atmadjakoesoema

seorang guru kebatinan dari Jawa dari tahun 1908 sampai dengan 1927, mengajarkan dan mempengaruhi banyak orang Bali bahwa keharmonisan di dalam diri manusia hanya bisa dicapai melalui jalan ke dalam. Upacara-upacara keagamaan tidak perlu lagi karena yang penting adalah apa yang ada di dalam hati. Tuhan tidak perlu dicari di luar manusia dengan segala macam bentuk penyembahan, karena Tuhan ada di dalam hati manusia. Untuk bertemu dengan Tuhan manusia harus mengosentrasikan pikirannya ke dalam dirinya sendiri, sampai ia bertemu dan bersatu dengan Tuhan. Guna untuk bersatu dengan Tuhan maka pengajaran tentang Tuhan tidak perlu dikatakan (adja wera) cukup disampaikan dengan berbisik, dengan maksud agar manusia sadar bahwa pengajaran itu bukan untuk didengarkan dengan telinga, melainkan untuk diresapi di dalam hati.

Lihat I Ketut S. Waspada,”Penginjilan di Pulau..., 137-142.

51

I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja . . . , 28.

52

Tsang To Hang semula bernama Tsang Kam Foek, sesuai dengan paspor yang dipegangnya sebelum perang dunia ke II. Nama Tsang Kam Foek diberikan oleh orangtuanya menurut adat-istiadat Tiongkok. Dalam

makna harfiah, “Kam” berarti emas, “Foek” berarti rezeki, peruntungan atau kebahagiaan. Sedangkan Tsang

(20)

ForeignMissionary Union (CFMU) lembaga misi bentukan CMA di Tiongkok, bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa yang ada di Bali. Permohonan Jaffray dikabulkan oleh

pemerintah Hindia Belanda melalui keputusan gubernemen no.16 tertanggal 21 Agustus

1930. Sesuai dengan permohonan, keputusan tersebut memang hanya membolehkan Tsang

To Hang bekerja di antara orang-orang Tionghoa yang ada di Bali.53

Berbekal izin yang dipegangnya, awal Januari 1931 Tsang To Hang beserta istri dan

anaknya yang masih bayi sudah tiba di Bali dan pada bulan Pebruari 1931 telah mendirikan

sebuah gereja Hok Im Tong di Wangaya Denpasar. Dalam rangka membangun gereja ini,

Tsang To Hang menstensil bahan penginjilan dan diantarkan ke toko-toko orang Tionghoa

dan juga orang-orang Tionghoa lainnya,54 sambil mengundang mereka untuk datang

menghadiri kebaktian penginjilan yang diselenggarakan setiap malam. Sebagian besar orang

Tionghoa yang didatanginya, menghina Tsang To Hang dengan menyebut Tsang To Hang

sebagai budak Barat dan antek imperialisme, hanya sedikit saja orang-orang Tionghoa yang

mau datang secara terus-menerus mengikuti kebaktian penginjilan yang diselengarakan

Tsang To Hang. Setelah lima bulan bekerja di Bali, tepatnya pada Mei 1931 ketika Jaffray

mengunjungi Tsang to Hang, ada empat orang yang dibaptis. Dari keempat orang itu hanya

satu saja orang Kanton yang berasal dari Tiongkok, sisanya adalah orang Tinghoa peranakan

Bali. Salah seorang Tionghoa peranakan Bali yang dibaptis itu bernama Ang Wei Chik,

ayahnya Tionghoa dan Ibunya orang Bali. Ang Wei Chik bekerja sebagai penjaga gedung

bioskop. Sebelum dibaptis ia adalah seorang pemuda yang jahat, perokok dan suka

mengumbar hawa nafsunya. Setelah menjadi Kristen, Ang Wei Chik meninggalkan semua

kebiasaanya yang buruk.55

Setelah menjadi Kristen, Ang Wei Chik memohon Tsang To Hang menginjili

sahabatnya I Gusti Made Rinda. Segera sesudah mendapat penjelasan tentang Injil, I Gusti

Made Rinda mengambil keputusan untuk menerima Yesus. Selanjutnya ketika I Gusti Made

Rinda telah menjadi Kristen, dia bersama Ang Wei Chik selalu mengumpulkan dan

Seminary, Tsang Kam Foek, dengan sadar telah merubah namanya menjadi Tsang To Hang. Dalam makna

hurfiah, “To” berarti Firman Tuhan dan “Hang” berarti menyebarluaskan, mengamalkan atau menjalankan.

Dengan nama baru tersebut, beliau ingin seumur hidup menyebarluaskan firman Tuhan. Lihat, Tsang To Hang, Sejarah Perintis Penginjilan Di Bali, (Jakarta:John Zachariah,1979),84-85.

53

I Ketut S.Waspada,”Penginjilan Di Pulau”...,129-130.

54

Pada waktu Tsang to Hang bekerja di kota Denpasar, ada sekitar seribu orang Tionghoa di kota Denpasar. Mereka kebanyakan berasal dari Tiongkok selatan, yaitu orang-orang Kanton, Hokkian dan Hakka. Dari sekian banyak orang Tionghoa itu, satupun tidak ada yang beragama Kristen. Lihat I Ketut S.

Waspada,”Penginjilan di Pulau...”, dalam I Nengah Ripa(ed.),Dinamika GKPB. . . . , 131-132.

55I Ketut S.Waspada,”Penginjilan di Pulau”

(21)

mempersiapkan teman-teman mereka untuk diinjili oleh Tsang To Hang. Dalam setiap

pertemuan penginjilan itu, Ang Wei Chik memulainya dengan memperkenalkan Tsang to

Hang. Sesudah perkenalan, Tsang To Hang memimpin kebaktian penginjilan yang bersifat

dialogis. Dalam kebaktian yang berpola dialogis itu Tsang To Hang : memimpin kumpulan

untuk berdoa, mengajar kumpulan menyanyi lagu bahasa Bali yang dikarang oleh Tsang To

Hang sendiri, mengajar kumpulan akan firman Tuhan, memberi kesempatan kepada peserta

pertemuan untuk mengajukan pertanyaan jika mereka kurang atau belum mengerti isi firman

Tuhan yang disampaikan.56

Kebaktian dialogis yang dilayankan Tsang To Hang itu biasanya berjalan 4 jam.

Kebaktian penginjilan Tsang To Hang bagi kawan-kawannya Ang Wei Chik dan I Gusti

Made Rinda yang pertama, berlangsung di rumah I Made Risin di Banjar Untal-Untal Desa

Dalung. Rumah I Made Risin tempat diselengarakannya kebaktian penginjilan yang pertama,

menjadi tempat permanen penyelenggaraan kebaktian rumah tangga yang berlangung

seminggu sekali. Ketempat inilah orang-orang yang ingin mendengarkan pengajaran Injil dari

Tsang To Hang, baik dari desa Untal-Untal maupun dari desa-desa lain datang, dan dari

tempat ini pula Tsang To Hang mulai menjangkau desa-desa lainnya. Dalam beberapa kali

kebaktian penginjilan di rumah I Made Risin, ada beberapa orang menyatakan diri menerima

Yesus.57

Salah satu dari orang yang percaya dalam kebaktian di Untal-Untal ialah I Made Gepek

alias Pan Loting, seorang dukun yang dipercaya oleh banyak orang dan disegani di desa

Buduk. Ia mengumpulkan orang-orang di desa Buduk dan mengundang Tsang To Hang

untuk berkhotbah. Setiap kali kebaktian sekitar 40 sampai 50 orang hadir. Dengan demikian

desa Buduk menjadi desa kedua yang mengadakan kebaktian secara rutin. I Made Gepek

sangat semangat pergi kemana-mana memberitakan Injil. Oleh karena itu dalam kebaktian di

desa Buduk, ada yang datang dari desa Abianbase. Kemudian, Abianbase menjadi desa ketiga

yang mengadakan kebaktian secara teratur. Orang-orang Kristen di Untal-Untal, Buduk dan

Abianbase menetapkan salah satu hari dalam seminggu, sehingga kebaktian-kebaktian di

masing-masing desa itu, bisa berjalan seminggu sekali secara rutin. Jumlah orang yang

berkumpul di Abianbase lebih banyak dibandingkan dengan yang di Buduk dan mereka suka

sekali menuturkan iman mereka kepada saudara-saudara dan kenalan-kenalan mereka. Hal ini

56

I Ketut S.Waspada, Penginjilan diPulau . . . , 134

57

(22)

menyebabkan dalam waktu singkat dan hampir bersamaan, muncul orang-orang percaya di

desa Tuka, Pelambingan dan Carangsari.58

Meskipun sudah banyak orang-orang Bali dari desa Untal-Untal, Buduk, Abianbase,

Tuka, Pelambingan dan Carangsari yang datang berkumpul dan menyatakan diri percaya

pada setiap kebaktian rutin, namun tidak banyak yang bersedia untuk menyerahkan diri

secara penuh. Dari pada mereka itu, hanya dua belas orang yang menyatakan kesediaan untuk

menerima baptisan. Mereka yang bersedia menerima baptisan itu, dibaptis pada tanggal 11

Nopember 1931 oleh R.A. Jaffray di sungai Yeh Poh desa Dalung. Berikut nama-nama kedua

belas orang yang dibaptis itu: Enam orang dari Untal-Untal: Ni Wayan Moenoeng, I Wayan

Geroet, Made Glendoeng, I Ketoet Toemboel, I Nyoman Tijeb, dan I Ketoet Greda. Lima

orang dari Buduk: I Made Gepek, Goesti Poetoe Sanoer, Ketoet Legi, I Made Geden, dan

Nang Sadra. Satu orang dari Plambingan: Gede Dedioeng. Peristiwa baptisan di sungai Yeh

Poh desa Dalung pada 11 Nopember 1931 ini, ditetapkan dan diperingati oleh GKPB dan

Gereja Kemah Injil Indonesia di Bali sebagai hari lahirnya.59

Setelah peristiwa baptisan di sungai Yeh Poh, Tsang To Hang bertambah semangat lagi

mengajarkan agama Kristen kepada orang-orang Bali yang mengundang mereka, dan

mendoakan orang-orang sakit. Itu dilakukannya tidak hanya di Bali selatan saja tetapi juga di

Bali utara. Hasil dari pekerjaannya pasca baptisan pada 11 Nopember 1931, dia membaptis

sebanyak 113 orang dari beberapa desa pada bulan Nopember 1932 di gereja Tionghoa Hok

Im Tong di kota Denpasar.60 Setelah baptisan di Denpasar, upacara baptisan juga dilakukan

di desa-desa. Pada akhir tahun 1933, CMA melaporkan bahwa orang Kristen Bali sudah

berjumlah 266. Dan pada akhir tahun 1934 telah ada sepuluh jemaat yaitu: Untal-Untal,

Buduk, Abianbase, Pelambingan,Carangsari, Sading, Ulun Uma, Padang Tawang, Tuka dan

Dalung. Oleh karena jumlah orang Kristen Bali dan juga jumlah jemaat-jemaat telah banyak,

CMA mengirim beberapa orang muda Kristen Bali untuk belajar ke Sekolah Alkitab di

Makasar dengan tujuan agar mereka nantinya menjadi pemimpin-pemimpin jemaat di

desanya masing-masing.61 Pada akhir 1934, orang muda Kristen Bali yang telah diutus

belajar telah berjumlah 10 orang. Kesepuluh orang tersebut ialah: I Made Gelundung, Made

58

I Ketut S.Waspada, Penginjilan diPulau . . . ,135.

59

Ibid., 136.

60

I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja . . . , 32-33.

61

(23)

Dawud, Made Ayub, Made Pendak, Ketut Yahya, Made Mawa, Made Bronong, Made

Rungu, Nyoman Regig.62

Misilogi dan spiritualitas dari Christian Missionary Alliance yang dibawa oleh Tsang

To Hang yang sangat membentuk karakter orang Kristen Bali ialah eksklusivisme dan

pietisme. Tsang To Hang mengajarkan orang-orang Kristen Bali bahwa Alkitab tidak

mungkin mengandung kesalahan dan karena itu mereka harus mentaatinya secara hurufiah.

Tsang To Hang juga menekankan pertobatan pribadi yang sungguh-sungguh berupa percaya

kepada Yesus sebagai juru selamat, karena akhir jaman segera tiba, sehingga mengajarkan

orang-orang Kristen Bali bahwa mereka kini adalah milik Allah yang harus meninggalkan

semua adat nenek moyang termasuk tradisi pembakaran mayat karena semua itu hanyalah

penyembahan kepada para dewa yang tidak menyelamatkan. Sebagai bukti bahwa orang

Kristen Bali memutuskan hubungan dengan segala sesuatu warisan nenek moyang mereka,

Tsang To Hang menyuruh setiap orang Bali yang mau menjadi Kristen, sebelum dibaptis agar

membongkar sanggah-sanggah (tempat pemujaan) mereka, karena bagi Tsang To Hang

sanggah-sanggah atau pura itu adalah rumah setan. Penanaman teologi atau spiritualitas yang

demikian ini, cendrung membuat orang-orang Kristen Bali bersikap agresif dan sekaligus

membentuk persekutuan yang eksklusif. Mereka menjadi kelompok tersendiri yang terlepas

dari masyarakat. Bukan sekedar terlepas dari masyarakat secara organisasi, melainkan juga

dari cara hidup bahkan termasuk dari cara berpakaian.63

Dalam mengaktualisasikan spiritualitas pietis yang diajarkan oleh Tsang To Hang

seperti tersebut di atas, orang-orang Kristen Bali karena merasa sebagai milik Allah memang

melepaskan diri mereka dari berbagai rangkaian upacara keagamaan Hindu yang telah

menyatu dengan adat Bali yang sarat dengan kewajiban dan hak seperti ngaben(kremasi). Namun pelepasan diri itu harus dibayar dengan biaya sosial yang mahal, yakni mereka

dibenci, dimusuhi lalu disisihkan oleh warga desa, yang bentuknya antara lain tidak boleh

menggunakan fasilitas kuburan desa, dan tidak boleh sembarangan menggunakan tanah untuk

dijadikan kuburan sekalipun tanah milik sendiri. Hal itu terjadi demikian, karenasetiap desa

memiliki tanah setra (kuburan) yang diletakkan berlawanan arah dengan letak gunung. Gunung atau kaja sesuai dengan konsep kaja dan kelod di Bali adalah simbol kesucian,

sedangkan kelod simbol kekotoran. Kemudian pemilik tanah kuburan memiliki kewajiban

62

I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja . . . , 33,37-38.

63

(24)

dan hak. Beberapa dari kewajiban itu ialah ikut merawat keberadaan setra, termasuk Pura

Dalem (tempat pemujaan kepada Siwa) dan segala keperluan upacara piodalan

(persembahyangan) dan ikut pula bersembahyang untuk memohon keselamatan dunia. Oleh

karena orang-orang Kristen Bali tidak lagi melaksanakan kewajiban-kewajiban itu, maka hak

mereka untuk menguburkan gugur dengan sendirinya.64 Dengan bersandar pada konsepsi

kuburan yang demikian, maka masyarakat Hindu Bali berani melakukan tindakan-tindakan

kekerasan terhadap orang-orang Kristen Bali yang memaksakan diri memanfaatkan tanah

kuburan milik desa.65

Dalam rangka mencegah meluasnya konflik antara agama Kristen Bali dan Hindu Bali

dan demi terpeliharanya keamanan dan ketertiban Bali, pemerintah kolonial Belanda pada

akhir tahun 1933 mencabut izin kerja Tsang To Hang dan mengharuskan dia dan semua

pekerja CMA seperti pendeta Brill meninggalkan Bali. Pemerintah kolonial Belanda juga

memanggil presiden CMA Shuman yang tinggal di Amerika untuk menghadap konsul

zending di Batavia. Ia disuruh menandatangani surat perjanjian bahwa CMA tidak akan

bekerja lagi di Bali. Apabila presiden CMA menolaknya, maka konsul zending bersama

dengan pemerintah kolonial Belanda akan mencabut izin kerja CMA di seluruh wilayah

Hindia Belanda. Presiden CMA bersedia menandatangani surat perjanjian termaksud demi

tidak hilangnya kesempatan bagi CMA mengembangkan misinya di Indonesia.66 Setelah

CMA menandatangani surat perjanjian itu, CMA memulangkan semua orang Kristen Bali

yang belajar di Makasar, walaupun baru satu tahun mereka di sana, untuk mengurus

jemaat-jemaat yang akan ditinggalkan oleh CMA.67 Dari sepuluh orang muda yang dipanggil pulang

64

Pernah beberapa kali terjadi orang Kristen Bali meninggal di Tuka, Untal-Untal dan Anggungan dan tidak diizinkan menguburkan di desanya oleh orang Hindu Bali. Melihat kejadian ini Tsang To Hang dan Nyoman Regig melaporkannya ke asisten residen Bali Lombok Mr.H.J.Jantzen, seorang penganut agama Kristen yang mendukung usaha-usaha penginjilan di Bali. Asisten residen memutuskan supaya mayat orang Kristen yang meninggal dikuburkan di kuburan Belanda di Denpasar. Akibat peristiwa ini orang-orang Kristen Bali dikatakan beragama Belanda, karena melaporkan kesusahannya kepada asisten residen dan asisten residen membantunya. Tambahan pula orang-orang Kristen Bali senang memakai celana panjang yang pada waktu itu hanya dipakai orang-orang Belanda dan pegawai pemerintah. Lihat I Ketut Suyaga Ayub,Sejarah Gereja . . . , 36-37.

65

Nyoman Wijaya, Merayap Di Akar Rumput . . . , 144-146. Salah satu tindakan kekerasan yang pernah dilakukan oleh masyarakat Hindu Bali terhadap masyarakat Kristen Bali dalam penguburan dapat dilaporkan sebagai berikut. Di akhir tahun 1933 di desa Pelambingan anaknya Ribes berumur dua tahun meninggal. Waktu anak itu mau dikuburkan, orang-orang desa datang dengan bersenjata tajam menghalangi orang Kristen menguburkan maya itu di kuburan desa. Oleh karena itu Tsang To Hang mengambil keputusan untuk membakar mayat itu. Akan tetapi waktu mayat itu baru setengah matang, orang-orang desa datang lagi dengan membawa air dan menyiram mayat yang sedang dibakar itu lalu membawa pergi dan melempar mayat

itu dengan berkata : “hai orang gila ini laukmu.” Lihat I Ketut suyaga Ayub,Sejarah Gereja . . . , 35-36.

66

Rodger Lewis, Karya Kristus Di Indonesia: Sejarah Gereja Kemah Injil Indonesia Sejak 1930, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1995),248.

67

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian menjadi jelas bahwa bahwa pengalaman mistik Marliana Pulanga dan Jemaat Eli Salom Kele’i telah memperdalam rasa kebermaknaan mereka sebagai

Juga bagi warga Jemaat agar menyadari pentingnya pemahaman tentang hakikat pernikahan Kristen, serta pentingnya katekisasi pranikah di awal pernikahan mereka agar pernikahan

Baik oleh gereja yang memiliki tugas dalam perpanjangan tangan Tuhan untuk memberkati dan mempersatukan mereka dalam pernikahan, demikian juga calon pasangan yang menjalani

[r]

Singkatnya yang menjadi musuh sebenarnya adalah mereka yang terlahir sebagai pelayan alamiah yang memiliki potensi memimpin, tetapi tidak memimpin atau yang

Penelitian ini menerapkan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yang diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi gereja mengenai pemahaman

[r]

Gereja HKBP Nauli Dano Horbo harus memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada para orang miskin untuk menjadi subyek dalam pelayanan yang dilakukan gereja sehingga