• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN MENJADI NEGOSIATOR DALAM MENGHADAPI MASSA YANG BERUNJUK RASA. Putri Agustina Fakultas Psikologi Universitas Semarang ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMAMPUAN MENJADI NEGOSIATOR DALAM MENGHADAPI MASSA YANG BERUNJUK RASA. Putri Agustina Fakultas Psikologi Universitas Semarang ABSTRAK"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

182 KEMAMPUAN MENJADI NEGOSIATOR DALAM MENGHADAPI

MASSA YANG BERUNJUK RASA Putri Agustina

Fakultas Psikologi Universitas Semarang ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara empiris kemampuan menjadi negosiator dalam menghadapi massa yang berunjuk rasa. Peneliti menggunakan 44 Polwan negosiator Polda Jateng. Penelitian ini merupakan penelitian populasi.

Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan Skala Kemampuan Menjadi Negosiator. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan negosiasi pada kategori sedang. Polwan negosiator Polda Jateng cukup dapat menunjukkan kemampuan dalam mencari solusi atas permasalahan atau sengketa hingga terselesaikan secara memuaskan.

Kata kunci: kemampuan menjadi negosiator dalam menghadapi massa yang berunjuk rasa

NEGOTIATE ABILITY TO THE MASS PROTEST

ABSTRACT

This research had purpose to know the empirical negotiate ablitiy to the mass protest. Researchers used 44 women negotiator of Polda Jateng. This research is research population.

The Research Data was collected using the Scale of Negotiate Ability to The Mass Protest. The result of the research showed that the negotiate ability of women negotiator Polda Jateng in the medium category. Woman negotiator of Polda Jateng have enough ability to solve problems and find solutions, until good ending.

Keywords: negotiate ability to the mass protest PENDAHULUAN

Polri dalam menjalankan tugas berusaha mengimplementasikan niat dan komitmen bangsa Indonesia untuk menegakkan supremasi hukum, kewajiban tersebut akibat adanya berbagai ancaman kekerasan dan kerusuhan massa yang merugikan bangsa dan negara. Polri sesuai tugas, fungsi dan

perannya sebagai alat negara. Pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Polri memprogamkan berbagai upaya untuk mengantisipasi dan menanggulangi kekerasan dan kerusuhan massa tersebut, meskipun hasilnya dirasakan belum optimal. Berbagai

(2)

183 bentuk aksi massa masih memunculkan rusuh

dan menyebabkan kerusakan.

Salah satu fungsi Kepolisian yang berwenang dalam penanganan aksi massa adalah Direktorat Sabhara (selanjutnya disingkat Dit Sabhara). Dit Sabhara Polda Jateng merupakan sebagian fungsi Kepolisian yang bersifat preventif, fungsi ini memerlukan keahlian dan ketrampilan khusus dalam mencegah atau mengendalikan sesuatu kerumunan massa, agar tidak berkembang menjadi gangguan Kamtibmas dan juga tidak diganggu oleh pihak lain.

Polri dalam pelaksanaan penanganan unjuk rasa selalu dihadapkan pada berbagai permasalahan yang belum dapat memberikan kontribusi yang positif, seperti halnya dengan penyelesaian masalah tanpa adanya kekerasan. Penanganan terhadap unjuk rasa lebih terkesan represif, padahal para pimpinan Polri sudah berupaya semaksimal mungkin dengan mengeluarkan berbagai petunjuk pelaksanaan maupun petunjuk teknis untuk keberhasilan penanganan unjuk rasa di lapangan.

Selama ini setiap ada unjuk rasa, Polisi laki-laki (Polki) selalu dikedepankan dan masih kurang efektif. Bentrokan antara polisi dengan massa masih terjadi yang disebabkan karena anggota polisi mudah terpancing emosi dan langsung melakukan tindakan represif para pengunjuk rasa. Ada beberapa faktor yang menjadikan seringnya terjadi bentrokan dengan massa, salah satunya adalah Pasukan

Dalmas yang digunakan diberbagai Polda masih menggunakan Polki yang masih muda-muda, yang baru lulus dari pendidikan Bintara Kepolisian. Berdasarkan Surat Perintah Kapolda Jateng Nomor : SPRIN/893/III/2012 berdasarkan Surat Kapolri Nomor : B/350/I/2012 tanggal 31 Januari 2012 menerangkan bahwa untuk kepentingan organisasi Polri dalam rangka pembentukan Detasemen Dalmas Kerangka Polda Jateng maka dibentuk suatu tim negosiator Polda Jateng yang beranggotakan Polwan dari setiap fungsi yang ada di Polda Jateng untuk menangani aksi unjuk rasa agar tidak berakhir dengan ricuh. Hal tersebut sejalan dengan Petunjuk Pelaksanaan SDEOPS yang dikeluarkan oleh Mabes Polri (2010) tentang Pengendalian dan Cara Bertindak terhadap Aksi Unjuk Rasa, dijelaskan bahwa negosiator dibentuk untuk memfasilitasi pengunjuk rasa untuk menunjuk perwakilan apabila ada keinginan untuk menemui atau tatap muka dengan sasaran atau tokoh yang akan dituju.

Penugasan Polwan dalam penanganan unjuk rasa diharapkan dapat mencegah konflik yang destruktif dan mendorong penghentian konflik secara konstruktif. Keterlambatan dalam menyelesaikan konflik yang disebabkan karena penundaan waktu berpengaruh terhadap penundaan solusi, yang berarti memberikan peluang bagi makin terbukanya konflik antara dua pihak (Liliweri, 2006: 355).

(3)

184 Banyak cara untuk menyelesaikan konflik

dalam suatu aksi massa, diantaranya dengan melakukan negosiasi. Negosiasi sudah ada sejak zaman dahulu dan merupakan bagian dari aktivitas manusia yang sudah lazim dilakukan dalam berbagai hal. Negosiasi merupakan sebuah proses yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang pada mulanya memiliki pemikiran berbeda hingga akhirnya mencapai kesepakatan. Proses negosiasi akan memberi pandangan yang lebih jelas mengenai apa yang diinginkan dan bagaimana cara mencapainya (Jackman, 2005: 8-9). Berawal dari kerjasama yang dilakukan segala tuntutan/keinginan, aspirasi dan opini masing-masing pihak dapat diarahkan demi tercapainya situasi konformitas secara optimal, selanjutnya diperoleh manfaat semaksimal mungkin dengan faktor risiko seminimal mungkin (Jackman, 2005: 68). Anggota Polri yang berperan sebagai negosiator diharapkan dapat memiliki kemampuan negosiasi yang baik, sehingga suatu aksi massa tidak berakhir dengan anarkis.

Negosiator Polri memiliki peran penting untuk mencari solusi terhadap pelaksanaan unjuk rasa, sehingga unjuk rasa tidak meluas dan berubah menjadi tindakan anarkis. Kadangkala negosiator hadir di lapangan dalam pelaksanaan unjuk rasa, dan inipun sifatnya mendadak karena kerawanan unjuk rasa sudah mulai meningkat. Kehadiran

negosiator yang mendadak inipun tidak memiliki kemampuan dalam bernegosiasi maupun kemampuan dalam berbicara, negosiator lebih terkesan sebagai orang yang ingin dihargai, arogan dan berbicarapun tidak mencerminkan kesantunan, sehingga hal ini jelas tidak dapat menurunkan eskalasi kerawanan, dan bahkan sama sekali tidak memberikan kontribusi yang positif untuk mencari solusinya. Pemberdayaan Polwan sebagai pelaksanaan negosiasi akan terasa pengaruhnya, keberadaan negosiator tersebut akan dapat diterima oleh massa pengunjuk rasa dan pelaksanaan dialog dimungkinkan tidak membosankan, sehingga akan dicapai

“win-win solution” yang merupakan keberhasilan

dari negosiator. Namun berbagai bentuk kegagalan dalam negosiasi masih saja terjadi dan menyebabkan terjadinya bentrokan antara polisi dan demonstran.

Fakta yang menunjukkan kurangnya kemampuan dalam negosiasi terjadi pada bentrokan polisi dengan mahasiswa yang tak dapat dihindarkan saat demo menolak kenaikan harga BBM. Upaya Polri menerjunkan Polisi Wanita (Polwan) sebagai negosiator ternyata tidak berhasil. Hal tersebut sebagai bukti ketidakmampuan anggota Polri dalam melakukan negosiasi, sehingga demonstrasi berakhir dengan ricuh. Aksi saling lempar batu antara Polisi dan demonstran tidak terhindar, seperti yang terjadi pada saat demo kenaikan BBM (Lia, 2012).

(4)

185 Berdasarkan analisis terhadap hasil

wawancara yang dilakukan peneliti terhadap tiga orang Polwan yang menjadi negosiator, diketahui bahwa Polwan masih mengalami kesulitan saat melakukan negosiasi dengan para demonstran. Polwan yang bertugas sebagai negosiator merasa sulit sekali untuk mencapai kesepakatan dengan para demonstran. Demonstrasi yang berlangsung dengan keras dan diwarnai dengan berbagai tuntutan dari demonstran, memengaruhi proses negosiasi yang berlangsung, sehingga negosiasi terpaksa tidak dapat mencapai mufakat dan berakhir dengan aksi dorong hingga aksi anarkis yang melibatkan Polri dan demonstran.

Kemampuan negosiasi dipengaruhi oleh faktor emosi individu (Yasin, 2003: 170). Ketenangan yang dimiliki negosiator akan dapat memberikan kesempatan kepada dua pihak untuk berpikir tentang apa yang sedang dipikirkan oleh seorang negosiator (Liliweri, 2006: 349). Kemampuan dalam regulasi emosi diharapkan dapat menjadikan negosiator mampu memilih strategi yang konkret dan berpikir bagaimana mengatasi permasalahan yang sedang terjadi. Transformasi untuk mengurangi ekspresi perasaan negatif primer menuju pemahaman terhadap diri sendiri dan orang lain secara lebih baik akan dapat mengurangi permusuhan, meningkatkan asertifitas dan kepercayaan diri, meningkatkan kesehatan fisik dan fungsi fisiologis.

Tranformasi untuk mengelola emosi ini disebut dengan regulasi emosi atau pengelolaan emosi. Analisis terhadap hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap tiga orang Polwan yang menjadi negosiator juga menunjukkan bahwa Polwan negosiator mampu mengelola dorongan yang muncul ketika memiliki keinginan untuk melakukan tindakan anarkis saat demonstran mencoba memancing amarahnya. Polwan negosiator mampu menahan diri untuk tidak mengikutinya. Polwan negosiator juga mengaku mendapatkan pelatihan penanganan massa yang membantu dalam mengelola emosi, sehingga tetap tenang meskipun situasi demonstrasi berubah menjadi tidak terkendali.

Hasil penelitian yang dilakukan Gross dan Barrett (2011: 13) menunjukkan bahwa emosi yang dipahami sebagai tindakan (atau disposisi terhadap tindakan) dengan fungsi tersendiri. Generasi emosi dan regulasi mendukung perilaku, karena emosi dianggap sebagai konstruksi sosial yang berfungsi untuk mengatur atau membentuk perasaan dan perilaku individu dalam konteks sosial tertentu. Lebih lanjut dijelaskan oleh Safari dan Saputra (2009: 18) bahwa individu semakin memiliki kemampuan dalam memahami, membedakan dan menamakan emosi, maka semakin terhindar individu dari sifat cemas dan kalut. Kemampuan regulasi emosi juga berpengaruh terhadap pembentukan sifat keterbukaan (openess) dan sifat mengikuti kata

(5)

186 hati (conscientiousness) serta berkaitan

dengan coping yang lebih aktif, terencana dan konstruktif. Regulasi emosi atau kemampuan dalam mengelola emosi pada negosiator Polri khususnya Polwan akan dapat menghindarkan anggota dari adanya tindakan-tindakan yang berada di luar ketentuan, sehingga tetap dapat berupaya agar demonstrasi berjalan dengan lancar dan dapat teratasi tanpa harus menggunakan tindakan-tindakan kekerasan. Kemampuan menjadi negosiator dalam menghadapi massa yang berunjuk rasa

Luecke dan James (2009: 1) menyatakan bahwa negosiasi adalah sarana mengatasi perbedaan antara beberapa individu ketika penyelesaian yang telah ditetapkan tidak bisa dijalankan. Webb, Maughan dan Maudhan (2011: 149) menyatakan bahwa negosiasi adalah suatu proses di mana terdapat dua pihak atau lebih berusaha mencari solusi atas permasalahan atau sengketa hingga terselesaikan secara memuaskan. Lebih lanjut Lewicki, Barry, dan Saunders (2012: 3) menyatakan bahwa negosiasi terjadi untuk beberapa alasan, antara lain menyetujui bagaimana cara membagi sebuah sumber terbatas, menciptakan sesuatu yang baru dimana kedua belah pihak akan melakukannya dengan cara mereka sendiri, atau dilakukan untuk menyelesaikan masalah atau perselisihan antara kedua belah pihak.

Negosiator memiliki peran yang cukup penting dalam mengantisipasi jalannya unjuk

rasa, sehingga pemilihan seseorang untuk menjadi negosiator akan sangat berperan dalam pelaksanaan di lapangan. Peran negosiator sangat menentukan baik buruknya pelaksanaan unjuk rasa, sehingga negosiator diharapkan akan mampu untuk meredam massa unjuk rasa maupun pasukan Dalmas untuk tidak terpancing emosi yang disebabkan massa pengunjuk rasa yang sengaja memancing emosi pasukan. Negosiator memiliki peran yang cukup penting dalam mengantisipasi jalannya unjuk rasa, sehingga pemilihan seseorang untuk menjadi negosiator akan sangat berperan dalam pelaksanaan dilapangan. Pengamanan unjuk rasa dilakukan oleh berbagai fungsi dalam Kepolisian, salah satunya adalah anggota negosiator Dit Sabhara. Negosiator dalam aksi unjuk rasa bertugas melakukan aksi negosiasi dengan pengunjuk rasa, serta memfasilitasi pengunjuk rasa untuk menunjuk perwakilan apabila ada keinginan untuk menemui atau tatap muka dengan sasaran atau tokoh yang akan dituju (Mabes Polri, 2010).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Bab I Pasal 1 menyatakan bahwa unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum. Penyampaian pendapat di muka umum

(6)

187 dilaksanakan di tempat-tempat terbuka,

kecuali di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan objek-objek vital nasional. Penyampaian pendapat di muka umum juga tidak boleh dilakukan pada hari besar nasional.

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan bahwa kemampuan negosiasi dalam menghadapi massa yang berunjuk rasa adalah sarana mengatasi perbedaan antara beberapa individu ketika penyelesaian yang telah ditetapkan tidak bisa dijalankan dengan berbagai cara/alternatif, sehingga aksi massa tidak semakin meluas dan berubah manjadi tindakan anarkis.

Webb, dkk (2011: 150) menyatakan bahwa terdapat beberapa karakteristik negosiator yang efektif, yaitu:

a. Menganalisis masalah, fakta-fakta dan tujuan dari masing-masing pihak. b. Mendengarkan, mencari informasi, dan

memberikan informasi

c. Memengaruhi pihak lain agar tujuan dalam negosiasi diterima

d. Mengenali kapan harus mengakui dan ketika Anda diam

e. Mengenali kapan harus melanjutkan negosiasi

f. Berpikir kreatif

g. Meninjau pengalaman bernegosiasi

Lewicki, dkk (2012: 88) menyatakan bahwa seorang negosiator yang baik harus berhasil meneladani beberapa karakteristik atau sifat-sifat, sebagai berikut:

a. Kejujuran dan integritas

Negosiasi berbasis kepentingan memerlukan tingkat kepercayaan di antara kedua pihak.

b. Mentalitas berkecukupan

Seorang negosiator dengan mentalitas berkecukupan mengetahui bahwa membuat konsesi membantu membangun hubungan jangka panjang.

c. Kedewasaan

Kedewasaan adalah memiliki keberanian utnuk memperjuangkan kepentingan dan nilai-nilai individu sekaligus mampu mengakui bahwa kepentingan dan nilai-nilai orang lain juga sama pentingnya. d. Orientasi sistem

Para pemikir sistem akan melihat dengan cara-cara yang memandang bahwa keseluruhan sistem dapat dioptimalkan dan bukan berfokus pada mengurangi optimasi komponen-komponen di dalam sistem. e. Kemampuan mendengar yang unggul

Sembilan puluh persen dari komunikasi bukanlah kata-kata seseorang, tetapi pada keseluruhan konteks komunikasi, termasuk ekspresi, bahasa tubuh, dan tanda-tanda lain. Pendengar yang efektif juga mengharuskan seseorang hanya

(7)

188 mendengarkan berdasarkan bingkai

pemikiran pribadi.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil simpulan bahwa karakteristik negosiator yang baik adalah kejujuran dan integritas, mentalitas berkecukupan, kedewasaan, orientasi sistem, kemampuan mendengar yang unggul, merasa nyaman tentang diri sendiri, mampu memenuhi berbagai tuntutan hidup, keinginan untuk menggali lebih banyak informasi, kesabaran untuk bertahan lebih lama dari negosiator lawan, serta kemampuan menganalisa masalah.

Metode Penelitian

Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah Polwan negosiator Polda Jateng yang berjumlah 45 orang, 15,15,15. Penelitian ini menggunakan semua subjek yang sesuai dengan karakteristik pada populasi. Penelitian ini menggunakan Skala Kemampuan Negosiasi.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan hasil data penelitian yang diperoleh, variabel kemampuan negosiasi diperoleh Mean Empirik sebesar 170,59, Mean Hipotetiknya sebesar 142,5 dan Standar Deviasi Hipotetiknya sebesar 28,5. Mean Empiriknya variabel Kemampuan negosiasi pada area (+)1SD dari Mean Hipotetiknya. Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan negosiasi pada kategori sedang. Hal ini berarti bahwa Polwan negosiator Polda Jateng cukup dapat menunjukkan kemampuan dalam

mencari solusi atas permasalahan atau sengketa hingga terselesaikan secara memuaskan.

Penugasan Polwan dalam penanganan unjuk rasa diharapkan dapat mencegah konflik yang destruktif dan mendorong penghentian konflik secara konstruktif. Keterlambatan dalam menyelesaikan konflik yang disebabkan karena penundaan waktu berpengaruh terhadap penundaan solusi, yang berarti memberikan peluang bagi makin terbukanya konflik antara dua pihak (Liliweri, 2006: 355).

Banyak cara untuk menyelesaikan konflik dalam suatu aksi massa, diantaranya dengan melakukan negosiasi. Negosiasi sudah ada sejak zaman dahulu dan merupakan bagian dari aktivitas manusia yang sudah lazim dilakukan dalam berbagai hal. Negosiasi merupakan sebuah proses yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang pada mulanya memiliki pemikiran berbeda hingga akhirnya mencapai kesepakatan. Proses negosiasi akan memberi pandangan yang lebih jelas mengenai apa yang diinginkan dan bagaimana cara mencapainya (Jackman, 2005: 8-9). Berawal dari kerjasama yang dilakukan segala tuntutan/keinginan, aspirasi dan opini masing-masing pihak dapat diarahkan demi tercapainya situasi konformitas secara optimal, selanjutnya diperoleh manfaat semaksimal mungkin dengan faktor risiko seminimal mungkin (Jackman, 2005: 68). Anggota Polri yang berperan sebagai negosiator diharapkan dapat memiliki

(8)

189 kemampuan negosiasi yang baik, sehingga

suatu aksi massa tidak berakhir dengan anarkis.

Negosiator Polri memiliki peran penting untuk mencari solusi terhadap pelaksanaan unjuk rasa, sehingga unjuk rasa tidak meluas dan berubah menjadi tindakan anarkis. Kadangkala negosiator hadir di lapangan dalam pelaksanaan unjuk rasa, dan inipun sifatnya mendadak karena kerawanan unjuk rasa sudah mulai meningkat. Kehadiran negosiator yang mendadak inipun tidak memiliki kemampuan dalam bernegosiasi maupun kemampuan dalam berbicara, negosiator lebih terkesan sebagai orang yang ingin dihargai, arogan dan berbicarapun tidak mencerminkan kesantunan, sehingga hal ini jelas tidak dapat menurunkan eskalasi kerawanan, dan bahkan sama sekali tidak memberikan kontribusi yang positif untuk mencari solusinya. Pemberdayaan Polwan sebagai pelaksanaan negosiasi akan terasa pengaruhnya, keberadaan negosiator tersebut akan dapat diterima oleh massa pengunjuk rasa dan pelaksanaan dialog dimungkinkan tidak membosankan, sehingga akan dicapai “win-win solution” yang merupakan keberhasilan dari negosiator.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kemampuan negosiasi pada kategori sedang.

Daftar Pustaka

Gross, J. J., dan Barrett, L. F. 2011. Emotion

Generation and Emotion Regulation: One or Two Depends on Your Point of View. International Society for Research on Emotion. Vol. 3. No. 1. Hal. 8-16.

http://spl.stanford.edu/pdfs/2011%20Gross %20Barrett%20Emotion%20Review. Diakses pada tanggal 19 November 2012. Jackman, A. 2005. How to Negotiate. Alih

Bahasa: Chefira Inda. Jakarta: Erlangga. Lia. 2012. Kemana Polwan Cantik Saat Demo

Rusuh. http://www.merdeka.com. (Minggu,

15 April 2012).

Liliweri, A. 2006. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Luecke, R. A., dan James, G. P. 2009. Better

Negosiator: Cara Lihai Menjadi

Negosiator Ulung. Yogyakarta: Locus.

Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia. 2010. Pengendalian dan Cara

Bertindak terhadap Aksi Unjuk

Rasa.Jakarta: Mabes Polri.

Safari, N., dan Saputra, T. 2009. Manajemen

Emosi : Sebuah Panduan Cerdas

Bagaimana Mengelola Emosi Positif dalam Hidup Anda. Jakarta : PT. Bumi Aksara.

Yasin, N. 2003. Mengenal Klaim Konstruksi

dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi.

Jakarta: PT. Gramedia.

Webb, J., Maughan, C., dan Maughan, M. 2011. Lawyers’ Skill. United State: Oxford

University Press. http://books.google.co.id/books?id=UlKx2-LD_c8C&printsec=frontcover&dq=Lawyer s%E2%80%99+Skill&hl=id&sa=X&ei=TI KrUKDoFNDJrAeU2YCYDA&ved=0CE MQ6AEwCQ#v=onepage&q=Lawyers%E 2%80%99%20Skill&f=false. Diakses pada tanggal 19 November 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan temuan penelitian, dilakukan pembahasan sebagai berikut: (1) tingkat kesantunan Berbahasa Jawa remaja di Desa Mampun Baru Kecamatan Pamenang Barat

[r]

Muslim atau Muslimat yang mukallaf (dewasa) adalah sebagai Da‟i, di mana bagi mereka kewajiban dakwah merupakan suatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya

[4.1] Menimbang bahwa pengaduan Pengadu pada pokoknya mendalilkan perbuatan para Teradu telah terjadi pemalsuan dokumen lampiran DB-1 Kabupaten/Kota atas hasil rekapitulasi

(1994:21) bahwa prestasi adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan, hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Dari

Terputusnya mas jalan dari dan ke kabupaten Aceh Jaya dan Aceh Barat telah mengharuskan pergerakan barang hanya dapat dilakukan melalui laut dan udara sesaat setelah tsunami.. Selama

Dari hasil atribut WAP pada Tabel 1 kemudian akan dilakukan pengelompokan berdasarkan model kano kemudian akan diintegrasi dan diolah kedalam QFD iterasi 1 untuk

The Client shall not rely on any information in the communication (written or oral) with BTMU as investment advice or as a recommendation to enter into this