TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Berdasarkan literatur Grist (1960), tanaman padi dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan ke dalam divisio Spermatophytae dengan subdivisio Angiospermae, digolongkan ke dalam kelas Monocotyledonae, termasuk ordo Poales dengan famili Graminae serta genus Oryza Linn dan dengan nama spesies Oryza sativa L.
Terdapat 25 spesies Oryza, yang dikenal adalah Oryza sativa dengan dua subspesies yaitu indica (padi bulu) yang ditanam di Indonesia dan Sinica (padi cere). Padi dibedakan dalam dua tipe yaitu padi kering (gogo) yang ditanam di dataran tinggi dan padi sawah di dataran rendah yang memerlukan penggenangan (http://www.warintek.ristek.go.id, 2008).
Akar tanaman padi memiliki sistem perakaran serabut. Ada dua macam akar yaitu :
1. Akar seminal yang tumbuh dari akar primer radikula sewaktu berkecambah dan bersifat sementara
2. Akar adventif sekunder yang bercabang dan tumbuh dari buku batang muda bagian bawah
Akar adventif tersebut menggantikan akar seminal. Akar ini disebut adventif/buku, karena tumbuh dari bagian tanaman yang bukan embrio atau karena munculnya bukan dari akar yang telah tumbuh sebelumnya (Suharno, 2005).
Batang terdiri atas beberapa ruas yang dibatasi oleh buku, dan tunas (anakan) tumbuh pada buku. Jumlah buku sama dengan jumlah daun ditambah dua yakni satu buku untuk tumbuhnya koleoptil dan yang satu lagi buku terakhir yang menjadi dasar malai. Ruas yang terpanjang adalah ruas yang teratas dan panjangnya berangsur menurun sampai ke ruas yang terbawah dekat permukaan tanah (Tobing, dkk, 1995).
Anakan muncul pada batang utama dalam urutan yang bergantian. Anakan primer tumbuh dari buku terbawah dan memunculkan anakan sekunder. Anakan sekunder ini pada gilirannya akan menghasilkan anakan tersier (Suharno, 2005).
Daun tanaman padi tumbuh pada batang dalam susunan yang berselang-seling terdapat satu daun pada tiap buku. Tiap daun terdiri atas :
1. Helaian daun yang menempel pada buku melalui pelepah daun
2. Pelepah daun yang membungkus ruas di atasnya dan kadang-kadang pelepah daun dan helaian daun ruas berikutnya
3. Telinga daun (auricle) pada dua sisi pangkal helaian daun
4. Lidah daun (ligula) yaitu struktur segitiga tipis tepat di atas telinga daun
5. Daun bendera adalah daun teratas di bawah malai (Suharno, 2005).
Bunga padi secara keseluruhan disebut malai. Malai terdiri dari 8–10 buku yang menghasilkan cabang–cabang primer selanjutnya menghasilkan
hanya satu cabang primer, tetapi dalam keadaan tertentu buku tersebut dapat menghasilkan 2–3 cabang primer (Tobing, dkk, 1995).
Lemma yaitu bagian bunga floret yang berurat lima dan keras yang sebagian menutupi palea. Ia memiliki suatu ekor. Palea yaitu bagian floret yang berurat tiga yang keras dan sangat pas dengan lemma. Bunga terdiri dari 6 benang sari dan sebuah putik. Enam benang sari tersusun dari dua kelompok kepala sari yang tumbuh pada tangkai benang sari (Suharno, 2005).
Butir biji adalah bakal buah yang matang, dengan lemma, palea, lemma steril, dan ekor gabah (kalau ada) yang menempel sangat kuat. Butir biji padi tanpa sekam (kariopsis) disebut beras. Buah padi adalah sebuah kariopsis, yaitu biji tunggal yang bersatu dengan kulit bakal buah yang matang (kulit ari), yang membentuk sebuah butir seperti biji. Komponen utama butir biji adalah sekam, kulit beras, endosperm, dan embrio (Suharno, 2005).
Dalam pertumbuhan tanaman padi di bagi atas 3 fase, yakni:
1. Fase vegetatif, yakni awal pertumbuhan sampai yang terbentuk malai. Jumlah anakan dan luas daun akan meningkat pada fase ini. Lama hari panjang atau suhu rendah dapat mempengaruhi fase vegetatif ini.
2. Fase reproduktif, yakni pada fase yang dimulai pada waktu pembungaan dan berakhir pada waktu pembungaan. Ini membutuhkan waktu sekitar 35 hari. 3. Fase pematangan yakni fase yang dimulai pada waktu pembungaan dan
berakhir setelah 30 hari. Hari-hari hujan dan suhu rendah dapat menunda fase ini.
Sehingga, untuk meningkatkan produksi dibutuhkan pemeliharaan yang baik pada setiap stadia pertumbuhan (Vergara, 1990).
Apabila ketiga stadia dirinci lagi, maka akan diperoleh sembilan stadia. Masing-masing stadia mempunyai ciri dan nama tersendiri. Stadia tersebut adalah: 1. Stadia 0 ; dari perkecambahan sampai timbulnya daun pertama, biasanya
memakan waktu sekitar 3 hari.
2. Stadia 1 ; stadia bibit, stadia ini lepas dari terbentuknya duan pertama sampai terbentuk anakan pertama, lamanya sekitar 3 minggu, atau sampai pada umur 24 hari.
3. Stadia 2 ; stadia anakan, ketika jumlah anakan semakin bertambah sampai batas maksimum, lamanya sampai 2 minggu, atau saat padi berumur 40 hari. 4. Stadia 3 ; stadia perpanjangan batang, lamanya sekitar 10 hari, yaitu sampai
terbentuknya bulir, saat padi berumur 52 hari.
5. Stadia 4 ; stadia saat mulai terbentuknya bulir, lamanya sekitar 10 hari, atau sampai padi berumur 62 hari.
6. Stadia 5 ; perkembangan bulir, lamanya sekitar 2 minggu, saat padi sampai berumur 72 hari. Bulir tumbuh sempurna sampai terbentuknya biji.
7. Stadia 6 ; pembungaan, lamanya 10 hari, saat mulai muncul bunga, polinasi, dan fertilisasi.
8. Stadia 7 ; stadia biji berisi cairan menyerupai susu, bulir kelihatan berwarna hijau, lamanya sekitar 2 minggu, yaitu padi berumur 94 hari.
9. Stadia 8 ; ketika biji yang lembek mulai mengeras dan berwarna kuning, sehingga seluruh pertanaman kelihatan kekuning-kuningan. Lama stadia ini sekitar 2 minggu, saat tanaman berumur 102 hari.
10. Stadia 9 ; stadia pemasakan biji, biji berukuran sempurna, keras dan berwarna kuning, bulir mulai merunduk, lama stadia ini sekitar 2 minggu, sampai padi berumur 116 hari.
(Sudarmo, 1991).
Syarat Tumbuh
Iklim
Tanaman padi dapat tumbuh pada iklim yang beragam, tumbuh pada daerah tropis dan subtropis pada 450 LU dan 450 LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dan jumlah musim hujan 4 bulan dalam satu tahun. Rata-rata curah hujan yang baik, adalah 200mm/bulan atau 1500mm/tahun. Padi dapat ditanam dimusim kemarau dan hujan. Pada musim kemarau, produksi meningkat, asalkan irigasi selau tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah dapat menurunkan karena dapat mengakibatkan penyerbukan berlangsung kurang intensif (http://warintek.progressio.or.id, 2006).
Di dataran rendah padi membutuhkan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22-270 C sedangkan di dataran tinggi memerlukan 650-1500m dpl dengan temperatur 19-230C. Tanaman padi memerlukan penyinaran matahari penuh tanpa naungan. Angin juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman padi, yakni dalam penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang, akan merobohkan tanaman (http://warintek.progressio.or.id, 2006).
Tanah
Tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman padi adalah tanah sawah yang kandungan fraksi pasir, debu dan lempung dalam perbandingan tertentu dengan diperlukan air dalam jumlah yang cukup (Luh, 1991).
Keasaman tanah yang dikehendaki tanaman padi adalah antara pH 4,0–7, 0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanah menjadi
netral (7,0). Pada prinsipnya, tanah berkapur dengan pH 8,1–8, 2 tidak merusak tanaman padi. Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral (http://www.warintek.ristek.go.id, 2008).
Pemuliaan Tanaman Padi di Indonesia
Usaha peningkatan produksi tanaman padi sering mengalami kendala baik yang bersifat biotik maupun yang bersifat abiotik. Kendala biotik dapat berupa serangan hama penyakit seperti misalnya serangan hama wereng. Sedangkan kendala abiotik dapat berupa tekanan dari lingkungan seperi misalnya cekaman air, kekurangan unsur hara atau tekan lingkungan lainnya. Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil per satuan luas dapat ditempuh dengan menanam varietas unggul padi sawah dengan potensi hasil tinggi dan didukung oleh karakteristik low input, tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik dan berkualitas baik (Jonharnas, 2009).
Upaya perakitan varietas padi di Indonesia ditujukan untuk menciptakan varietas yang berdaya hasil tinggi dan sesuai dengan kondisi ekosistem, sosial, budaya, serta minat masyarakat. Sejalan dengan berkembangnya kondisi sosial ekonomi masyarakat, permintaan akan tipe varietas yang dihasilkan juga berbeda-beda. Penggolongkan varietas padi sawah ke dalam empat tipe, yaitu tipe Bengawan (1943-1967), tipe PB5 (1967-1985), tipe IRxx (Multiple Resistance, 1977 – ...), serta tipe IR64 (1986-...) yang tahan hama dan penyakit utama serta bermutu baik (Daradjat et al., 2001).
Menurut Harahap et al., (1972), dalam Susanto et al., (2003) persilangan padi di Indonesia dimulai pada tahun 1920-an dengan memanfaatkan gene pool yang dibangun melalui introduksi tanaman. Sampai dengan tahun 1960-an, pemuliaan padi diarahkan pada lahan dengan pemupukan yang rendah, atau tanaman kurang responsif terhadap pemupukan. Telah dilaporkan bahwa pelepasan varietas padi pertama kali dilakukan pada tahun 1943, yaitu varietas Bengawan. Varietas tipe Bengawan memiliki latar belakang genetik yang merupakan perbaikan dari varietas Cina yang berasal dari Cina, Latisail dari India, dan Benong dari Indonesia (Hargrove et al., 1979) dalam Susanto et al., (2003). Karakteristik padi sawah tipe Bengawan menurut Daradjat et al., (2001) adalah umur 140−155 hari setelah sebar (HSS), tinggi tanaman 145−165 cm, tidak responsif terhadap pemupukan, rasa nasi pada umumnya enak, dan daya hasil sekitar 3,50−4 t/ha. Contoh varietas tipe Bengawan antar lain adalah Bengawan (1943), Jelita (1955), Dara (1960), Sinta (1963), Bathara (1965), dan Dewi Ratih (1969).
Pada tahun 1967 dilepas dua varietas introduksi, yaitu PB8 (1967) dan B5 (1968) dengan potensi hasil 4,50−5,50 t/ha. Selain dilepas langsung sebagai varietas unggul baru, varietas-varietas introduksi juga merupakan sumber gen untuk memperbaiki sifat-sifat varietas yang sudah ada. Persilangan varietas PB5 dengan Sinta menghasilkan Pelita I-1 dan Pelita I-2. Dari dua varietas yang disebut terakhir selanjutnya berkembang lagi sejumlah varietas baru seperti Cisadane dan Sintanur (Susanto et al., 2003).
Menurut Daradjat et al., (2001), varietas tipe PB5 memiliki karakteristik umur sedang (135−145 HSS), postur tanaman pendek -sedang (100−130 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (15−20), panjang malai sedang (75−125 butir/malai), responsif terhadap pemu pukan, tahan rebah, daya hasil rata-rata sedang (4-5 t/ ha), serta rasa nasi antara pera sampai pulen. Contoh varietas tipe PB5 adalah Pelita I-1 (1971), Pelita I-2 (1971), Cisadane (1980), Cimandiri (1980), Ayung (1980), dan Krueng Aceh (1981).
Pemuliaan Padi Sawah Tipe IRxx (Multiple Resistance) (1977 – ...) mengarah pada peningkatan ketahanan tanaman padi terhadap cekaman biotik dan abiotik. Varietas tipe IRxx menurut Daradjat et al., (2001) memiliki karakteristik umur sedang (115−125 HSS), postur tanaman pendek sampai sedang (95-115 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (15-20), panjang malai sedang (75-125 butir/malai), responsif terhadap pemupukan, daya hasil sedang (4-5 t/ha), tahan hama dan penyakit utama serta cekaman abiotik, serta rasa nasi antara pera sampai pulen. Contoh varietas/galur tipe IRxx untuk tahan wereng coklat biotipe 1 adalah IR26, IR28, IR29, IR30, IR34; tahan wereng coklat biotipe 2 adalah IR32, IR36, IR42, Kencana Bali, Kelara, Babawee, PTb
33; dan tahan wereng coklat biotipe 3 yaitu IR70, IR68, Bahbutong, Barumun,
dan Memberamo (Baehaki dan Rifki 1998; Soewito et al., 2000 dalam Susanto et al., 2003).
Varietas IR64 diintroduksi dan dilepas sebagai varietas unggul di Indonesia pada tahun 1986. Varietas ini sangat digemari oleh petani dan konsumen, terutama karena rasa nasi yang enak, umur genjah, dan hasil relatif tinggi. Karakteristik varietas tipe IR64 menurut Daradjat et al., (2001) antara lain adalah umur sedang (100−125 HSS), postur tanaman pendek sampai sedang (95−115 cm), bentuk tanaman tegak, posisi daun tegak, jumlah anakan sedang (20−25 anakan/rumpun, dengan anakan produktif 15−16 anakan/rumpun), panjang malai sedang, responsif terhadap pemupukan, tahan rebah, daya hasil agak tinggi (5−6 t/ha), tahan hama dan penyakit utama, mutu giling baik, dan rasa nasi enak. Contoh varietas tipe IR64 adalah Way Apo Buru (1988), Widas (1999), Ciherang (2000), Tukad Unda (2000), dan Konawe (2001).
Saat ini di Indonesia mulai menerapkan teknologi padi hibrida secara komersial. Padi hibrida yang berkembang di Indonesia berasal dari galur-galur tetua hasil introduksi. Dengan demikian perlu dirakit varietas padi hibrida dengan menggunakan galur padi hasil pemuliaan Balai Penelitian Tanaman Padi (Balitpa) yang telah beradaptasi baik di Indonesia. Galur-galur tersebut perlu diidentifikasi sebelum digunakan sebagai tetua padi hibrida dengan cara diuji silang (Nugraha et al., 2004).
Di Indonesia padi hibrida yang berkembang berasal dari galur-galur tetua introduksi baik yang dihasilkan oleh institusi pemerintah maupun swasta. Secara umum varietas atau galur introduksi lebih peka terhadap perubahan kondisi
lingkungan terutama hama penyakit sehingga hasilnya lebih berfluktuasi dan tidak stabil. Dengan demikian perlu dirakit varietas padi hibrida yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan di Indonesia. Hal dapat dilakukan dengan menggunakan varietas atau galur yang telah beradapsi di Indonesia sebagai bahan genetik. Bahan genetik tersebut berupa varietas unggul dan galur-galur yang dihasilkan dalam program pemuliaan padi konvensional (inbrida). Contoh padi hibrida antara lain Maro, Rokan, Hipa 3, Hipa 4, hipa7 dan Hipa 8 Pioner.
Selain padi hibrida saat ini dikembangkan padi tipe baru (PTB) yang dihasilkan melalui persilangan antara padi jenis indica dengan japonica. Potensi hasil PTB 10-25% tebih tinggi dibandingkan dengan varietas unggul yang ada saat ini (Las et al., 2003). Karakteristik padi tipe baru menurut Peng et al., (1994) dalam Khush (1996) adalah potensi hasil tinggi, malai lebat (± 250 butir gabah/malai), jumlah anakan produktif lebih dari 10 dengan pertumbuhan yang serempak, tanaman pendek (± 90 cm), bentuk daun lebih efisien, hijau tua,
senescence lambat, tahan rebah, perakaran kuat, batang lurus, tegak, besar, dan
berwarna hijau gelap, sterilitas gabah rendah, berumur genjah (100−130 hari), beradaptasi tinggi pada kondisi musim yang berbeda, IP mencapai 0,60, efektif dalam translokasi fotosintat dari source ke sink (biji), responsif terhadap pemupukan berat, dan tahan terhadap hama dan penyakit. Contoh padi tipe baru adalah Cimilati, Gilirang dan Fatmawati.
Subandi et al., (1979) dalam Aryana (2009) menegaskan bahwa dalam pembentukan varietas unggul perlu diperhatikan stabilitas hasil secara sistematis dan kontinyu mulai dari pembentukan populasi dasar sampai pengujian varietas. Dalam hal ini hasil merupakan kriteria penting dalam mengevaluasi daya adaptasi
dan stabilitas hasil suatu genotipe. Pengukuran stabilitas relatif dari suatu genotipe pada rentang wilayah yang luas penting untuk menentukan efisiensi pemuliaan Pengujian pada berbagai lingkungan perlu dilakukan karena di Indonesia lingkungan tumbuh padi sangat beragam baik dari tipe lahan yang digunakan, jenis tanah, cara budidaya, pola tanam maupun musim tanam. Sutami (2004) mengemukakan bahwa keragaman lingkungan tumbuh tersebut akan berpengaruh terhadap hasil gabah persatuan luas. Dengan adanya fenomena interaksi genotipe dengan lingkungan, dengan hasil suatu genotipe sering tidak konsisten dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Hal ini menyulitkan pemulia dalam memilih genotipe terbaik. Besarnya interaksi genotipe dengan lingkungan perlu diperhatikan untuk menghindari kehilangan genotipe unggul.
Suatu genotipe yang stabil dan berdaya hasil tinggi sangat diperlukan oleh para petani yang berlahan sempit untuk mengurangi resiko kegagalan panen akibat perubahan faktor lingkungan yang tidak dapat diperkirakan.
Heritabilitas
Kemajuan dalam proses seleksi yang tergantung pada evaluasi visual pada fenotip dapat menyebabakan kesalahan yang lebih besar, khususnya jika heritabilitas rendah. Variasi genotip suatu karakter sukar diperkirakan secara visual, misalnya jumlah daun, kekuatan tanaman dan komponen panen. Pada karakter yang heratibilitas rendah, pertumbuhan gen berlangsung lambat walaupun penggabungan gen-gen dapat dicapai. Seleksi akan sangat efektif pada tanaman yang heritabilitas tinggi. Tanaman yang heritabilitas tinggi akan mudah terlihat dalam populasi (Welsh, 1991).
Heritabilitas dinyatakan sebagai persentase dan merupakan bagian pengaruh genetik dari penampakan fenotif yang dapat diwariskan dari tetua dan keturunannya. Heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa varian genetik besar dan varian lingkungan kecil. Dalam kebanyakan program pemuliaan tanaman, tujuan dari pemuliaan tanaman meliputi lebih dari satu sifat. Heritabilitas dapat diduga dengan menggunakan cara perhitungan, antara lain sdengan perhitungan varian keturunan dan dengan perhitungan komponen varian dan nalisis varian (Mangundidjojo, 2007).
Pengertian heritabilitas sangat penting dalam pemuliaan dan seleksi karakter kuantitatif. Efektif atau tidaknya seleksi tanaman yang berdaya hasil tinggi dari sekelompok populasi, tergantung dari:
1. Seberapa jauh keragaman hasil yang disebabkan oleh faktor yang nanatinya diwariskan kepada keturunannya.
2. Seberapa jauh pula keragaman hasil yang disebabkan oleh lingkungan tumbuh tanaman.
Heritabilitas dapat didefenisikan sebagai bagian keragaman genetik dan keragaman total (keragaman fenotif).besarnya heritabilitas suatu karakter kuantotatif dapat diduga melalui suatu desain persilangan galur murni.
ragam fenotip ) (σ2g = ragam genetik ) (σ2e = ragam lingkungan = ) (σ2p ) ( ) ( ) ( 2 2 2 e g P σ σ σ = +
Mekanisme Adaptasi Tanaman Padi (Oryza sativa LINN.) pada Lahan Pasang Surut
Salinitas adalah salah satu cekaman abiotik yang sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman. Lahan pasang-surut, terdapat disepanjang daerah pantai Sumatra, Kalimantan, Irian dan pulau-pulau lainnya, terdiri dari berbagai ekosistem yang dipengaruhi oleh pergerakan air pasang dan salinitas dengan tingkat yang bervariasi. Lahan tersebut dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman gambut, sifat-sifat tanah dan tingkat pengaruh air pasang, dan disebut sebagai daerah “pasang-surut”, dimana padi sawah merupakan komponen utama pola tanam. Pertumbuhan akar, batang dan luas daun berkurang karena cekaman garam, yaitu; ketidak-seimbangan metabolik yang disebabkan oleh keracunan ion, cekaman osmotik dan kekurangan hara.
Menurut Brinkman and Singh (1982) gejala keracunan garam pada tanaman padi berupa terhambatnya pertumbuhan, berkurangnya anakan, ujung-ujung daun bewarna keputihan dan sering terlihat bagian-bagian yang khlorosis pada daun, dan walaupun tanaman padi tergolong tanaman yang tolerannya sedang, pada nilai EC sebesar 6-10 dS m-1 penurunan hasil gabah mencapai 50%. Lebih jauh, Dobermann and Fairhurst (2000) menyimpulkan bahwa padi relatif lebih toleran terhadap salinitas saat perkecambahan, tapi tanaman bisa dipengaruhi saat pindah tanam, bibit masih muda, dan pembungaan. Pengaruh lebih jauh terhadap tanaman padi adalah: 1) berkurangnya kecepatan perkecambahan; 2) berkurangnya tinggi tanaman dan jumlah anakan; 3)
pertumbuhan akar jelek; 4) sterilitas biji meningkat; 5) kurangnya bobot 1000 gabah dan kandungan protein total dalam biji karena penyerapan Na yang berlebihan; dan 6) berkurangnya penambatan N2 secara biologi dan lambatnya
mineralisasi tanah.
Menurut Mengel and Kirkby (1979), pengaruh merusak dari salinitas sering juga tergantung pada stadia pertumbuhan tanaman. Bagi kebanyakan jenis tanaman stadia bibit adalah sangat peka terhadap salinitas. Pada umumnya tanaman serealia, hasil biji kurang dipengaruhi dibanding jerami. Tapi pada padi sebaliknya yang terjadi; tanaman padi paling peka pada stadia berbunga dan pembentukan biji.
Respon tanaman terhadap salinitas sangat bervariasi, berbeda antara tanaman yang satu dengan yang lainnya, bahkan antar kultivar dalam satu spesies pun berbeda (Marschner, 1995). Secara umum gejala yang timbul pada tanaman yang tumbuh di tanah bergaram yaitu (1) daun klorosis, ujung daun menggulung dan kelihatan seperti terbakar (Bintoro, 1990; Yahya dan Adib, 1992). (2) jumlah daun berkurang atau tidak berkembang (Windarti et al., 2004). (3) fase pembungaan terhambat (Nugraheni et al., 2003). Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan tanaman tergantung pada jenis atau varietas, jumlah dan ketersediaan unsur hara dalam tanah dan jumlah garam yang terkandung dalam tanah.
Secara umum toleransi tanaman terhadap keadaan salin dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu toleran, sedang dan peka. Toleransi tanaman terhadap salinitas dinilai melalui dua kriteria yaitu (1) Kemampuan tanaman untuk bertahan pada lahan berkadar garam tinggi atau salin (2) Produksi tanaman
tersebut pada lahan salin dibandingkan dengan produktifitasnya di lahan yang tidak salin (Bintoro, 1990).
Garam-garam yang dapat dipertukarkan akan mempengaruhi sifat-sifat tanah jika terdapat dalam keadaan yang berlebihan dalam tanah. Kekurangan unsur Na+ dan Cl- dapat menekan pertumbuhan dan mengurangi produksi. Peningkatan konsentrasi garam terlarut di dalam tanah akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga menghambat penyerapan air dan unsur-unsur hara yang berlangsung melalui proses osmosis. Jumlah air yang masuk ke dalam akar akan berkurang sehingga mengakibatkan menipisnya jumlah persediaan air dalam tanaman (Buckman and Brady, 1982).
Tanah Bekas Tambak
Kebanyakan tanah bekas tambak yang dikeringkan umumnya berubah menjadi tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam adalah sendimen pantai yang mengandung suatu mineral yang disebut pirit (FeS2), mempunyai horizon sulfuric
setebal 15 cm, pH < 3,5 terdapat bercak kuning JAROSIT (KFe3(SO4)2(OH)6).
Biasanya jenis sendimen tersebut dijumpai dalam kondisi anaerob, dan berada di bawah lapisan tanah yang tergolong tanah muda (Alluvial) sebagai hasil endapan setelah terjadi banjir dan pasang tinggi. Letak vertikal lapisan tanah yang mengandung pirit sangat dekat dengan muka laut rata – rata (MLR). Pada saat terangkat untuk keperluan konstruksi pada budidaya tambak udang dan ikan (pembuatan pematang dan irigasi) maka pirit akan teroksidasi dan selanjutnya menghasilkan asam sulfat. Asam yang terlepas dari pirit menyebabkan kemasaman tanah dan air tambak serta dapat melepaskan konsentrasi logam yang beracun. Secara umum telah dijelaskan bahwa tanah sulfat masam (TSM) berada
pada daerah yang mempengaruhi oleh pasang surut, namun lebih khusus lagi pada daerah mangrove, rawa pantai, daratan pantai dan pada berbagai lahan basah yang dekat dengan laut dan muara sungai (Najiati dkk, 2005).
Lahan sulfat masam adalah lahan yang memiliki horizon sulfidik (pirit) di dalam kedalaman <50 cm atau sulfurik di dalam kedalaman < 120 cm. Bahan sulfidik adalah sumber kemasaman tanah bila bahan ini teroksidasi dan menghasilkan kondisi sangat masam. Kemasaman tanah yang tinggi memicu larutnya unsur beracun dan kahat hara sehingga tanah menjadi tidak produktif. Diperlukan upaya ekstra untuk mengelola lahan ini menjadi produktif. Sesuai hukum minimum, faktor pembatas utama harus dapat diatasi sebelum usaha lainnya dilakukan. Rendahnya produktivitas lahan sulfat masam disebabkan karena selain tingginya kemasaman tanah yang menyebabkan meningkatnya kelarutan unsur beracun seperti Al, Fe dan Mn, juga rendahnya kejenuhan basa dan status hara P dan K (Dent, 1986).
Pemanfaatan lahan pasang surut untuk budidaya tanaman khususnya padi, menghadapi beberapa masalah diantaranya ialah kesuburan tanah yang rendah, reaksi tanah yang masam, adanya pirit, tingginya kadar Al, Fe, Mn, dan asam organic, kahat P, miskin kation basa seperti Ca, K, Mg serta tertekannya aktivitas mikroba (Subagyo dan Widjaja Adhi, 1998). Masalah - masalah tersebut menyebabkan produktivitas tanah sulfat masam menjadi rendah (Dent.1982).
Disamping itu lahan pasang surut umumnya mempunyai tingkat kesuburan yang sangat heterogen, sehingga menyebabkan tanaman padi tidak tumbuh merata (Nugroho dkk.,1993, Ar-Riza dan Sardjijo, 1991).
Daya Hantar Listrik Tanah
Tanaman padi termasuk tanaman yang peka terhadap salinitas tanah (yang dinyatakan dengan daya hantar listrik atau disingkat DHL). Nilai DHL sebesar 2 dS/m dianggap optimal, tetapi jika mencapai 4-6 dS/m tergolong marginal. Jika nilai DHL > 6 dS/m, maka pertumbuhan tanaman padi terhambat. Penurunan hasil bisa mencapai 50 % jika nilai DHL sekitar 7,2 dS/m, atau jika nilai exchangeable sodium percentage atau ESP sekitar 20 % (Djaenudin et al., 2000).
Air murni merupakan penghantar listrik yang buruk, tapi daya hantar listriknya mengalami kenaikan sebesar banyaknya garam yang terlarut dalam air tanah. Demikianlah, daya hantar listrik larutan tanah memberikan kepada kita suatu pengukuran secara tak langsung terhadap kadar garam. Daya hantar listrik diukur melalui baik metode langsung ataupun metode laboratorium. Yang diukur dengan satuan mmhos/cm (Kartasapoetra, 2005).
Pada tanah tergenang yang normal, nilai DHL tertinggi antara 2-4 dS/m, tetapi pada tanah pasir yang kaya bahan organik dan tanah sulfat masam dapat mencapai >4 dS/m yang merupakan ambang bahaya bagi padi. Nilai DHL 2 dS/m baik untuk tanaman padi. Kation yang digantikan oleh Fe2+, Mn2+, dan NH4 dalam
keadaan reduksi dapat hilang bersama air perkolasi. Pada keadaan kering oksidasi Fe2+ dan NH4 dapat mengasamkan tanah (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).