• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap Perairan Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengaruh Fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap Perairan Sumatera Barat"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

499

Pengaruh Fenomena El-Nino dan La-Nina

terhadap Perairan Sumatera Barat

The Effect of El-Nino and La-Nina Phenomenon towards

The Waters Bodies of West Sumatera

Isna Uswatun Khasanah*), Ahmad Ridho Sastra

1Teknik Geodesi, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Padang, Padang *)E-mail: ikhasanah31@gmail.com

ABSTRAK - Fenomena El-Nino dan La-Nina yang selanjutnya disebut ENSO sangat berdampak bagi cuaca dan iklim di Indonesia, salah satunya pada Perairan Sumatera Barat. Penelitian ini mengkaji tentang pengaruh ENSO terhadap perairan Sumatera Barat. Data yang digunakan dalam melihat pengaruh tersebut menggunakan data permukaan laut yang disebut Sea Level Anomaly (SLA) dari multi Satelit Altimetri meliputi satelit Topex/Poseidon, Jason-1, dan Jason-2 dan data Indeks Nino3.4 dari tahun 1996 s.d 2015. Untuk melihat hubungan antara data SLA dan Indeks Nino3.4 digunakan metode analisis korelasi. Pengaruh ENSO dapat dilihat dari hasil uji korelasi, dimana nilai korelasi dari nilai SLA dan Indeks Nino3.4 dalam periode 20 tahun adalah -0,32. Hal tersebut menunjukan ada pengaruh ENSO terhadap perubahan muka air laut di Perairan Sumatera Barat. Nilai rata-rata permukaan laut di perairan Sumatera Barat sebelum terjadi El-Nino sekitar 1,59 m, saat terjadinya El-El-Nino berkisar 1,52 m, dan setelah terjadinya El-El-Nino memiliki nilai rata-rata sebesar 1,63 m. Hal tersebut menunjukan bahwa pada saat El-Nino kondisi Perairan Sumatera Barat turun. Kondisi Perairan Sumatera Barat sebelum fenomena La-Nina memiliki nilai rata-rata sebesar 1,57 m, pada saat terjadinya LaNina rata-rata nilai SLA sebesar 1,65 m, dan setelah terjadinya La-Nina rata-rata nilai permukaan laut perairan Sumatera Barat sebesar 1,61 m. Hal tersebut menunjukan bahwa pada saat La-Nina, Perairan Sumatera Barat mengalami kenaikan. Kata kunci: El-Nino, La-Nina, Multi Satelit Altimetri, Perairan Sumatera Barat

ABSTRACT - The phenomenon of EL-Nino and La-Nina (ENSO) affect Indonesia’s weather and climatic condition, one of which, above the West Sumatera region. This research aims to explains the Influence of ENSO on West Sumatera waters region. The data used in this study were Topex/Poseidon, Jason-1, Jason-2 and Nino Index 3.4. Correlation analysis was performed to see the correlation between SLA and Nino Index 3.4. The results gives correlation coefficient of -0,32. This translates as there is an influence of ENSO towards the changes of the see surface around West Sumatera waters. The average water level of West Sumatera waters before El-Nino was about 1,59 m. During El-Nino event, it was decreased to 1,52 m, and after El-Nino it was increased to 1,63 m. The condition around West Sumatera waters before La-Nina was about 1,57 m. When La-Nina occurred, its SLA score was about 1,65 m, and after La-Nina, it was about 1,61 m. This means that, when La-Nina occured, there were an increased on West Sumatera water level.

Keywords: Multi Satellite altimetry, El-Nino, La-Nina, Waters Bodies of West Sumatera

1. PENDAHULUAN

El-Nino dan La-Nina merupakan fenomena cuaca global yang berlangsung di wilayah ekuator samudera pasifik dan pada umumnya dikaitkan dengan adanya anomali iklim dunia. El-Nino dan La-Nina sering disebut dengan ENSO (El-Nino Southern Oscillation). El-Nino Southern Oscillation (ENSO) merupakan fenomena cuaca yang terjadi setiap 3 sampai 7 tahun dengan intensitas bervariasi (Irawan, 2006). Berdasarkan beberapa kali kejadian, seringkali peristiwa El-Nino diikuti oleh La-Nina. Seiring dengan semakin intensifnya proses pemanasan global, intensitas terjadinya fenomena ENSO semakin meningkat (Timmermann dkk., 1999 dalam Bapennas, 2010). Pada saat terjadi fenomena El-Nino tahun 1997/1998, Indonesia pada umumnya mengalami musim kering yang panjang, sedangkan saat terjadi La-Nina tahun 1999, Indonesia mengalami kenaikan curah hujan yang tinggi dan kenaikan tinggi muka air laut sebesar 20 s.d 30 cm, sehingga menyebabkan banjir disebagian besar wilayah Indonesia, terutama wilayah pesisir (Bapennas, 2010).

Salah satu mekanisme masuknya dampak ENSO ke wilayah Indonesia adalah melalui arus laut arus lintas Indonesia dalam bentuk perubahan atau variabilitas suhu di muka dan dalam laut. Pada saat ini sudah banyak model prediksi ENSO yang dibuat oleh berbagai pusat penelitian dunia tetapi hasil yang didapat tidak memberikan pengaruh dampak terhadap iklim di wilayah benua maritim Indonesia. Namun pada dasarnya sejak atmosfer dan samudera mencapai bentuknya seperti yang sekarang ini, maka interaksi antara lautan dan atmosfer yang menghasilkan fenomena El-Nino dan La Nina telah berlangsung secara rutin dengan rata-rata

(2)

500

Topex/Poseidon, Jason-1, Jason-2, karena ketiga satelit ini memiliki misi yang sama. Satelit Altimetri diaplikasikan untuk penentuan topografi permukaan laut, penentuan topografi permukaan es, penentuan geoid lautan, penentuan karakteristik arus, penentuan tinggi dan panjang gelombang laut, pasut lepas pantai, penentuan kecepatan angin diatas permukaan laut, dan fenomena El-Nino (Abidin, 2001). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifiksi perngaruh fenomena global El-Nino dan La-Nina terhadap perairan Sumatera Barat.

2. METODE

2.1. Definisi El-Nino dan La-Nina

2.1.1. El-Nino

El-Nino sering disebut dengan fase panas atau Warm Event di Samudra Pasifik Ekuatorial bagian Tengah dan Timur. El-Nino diindikasikan dengan beda tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin atau yang disebut Osilasi Selatan. Osilasi Selatan merupakan sistem imbangan tekanan udara yang ditunjukkan oleh tinggi (rendah) tekanan udara di Indonesia (Pasifik Ekuator Barat) dan Pasifik Ekuator timur serta kuat/lemahnya Sirkulasi Walker (Hacker dan Hastenrath, 1985; Prabowo, 2002). El-Nino di tandai dengan Indeks Osilasi atau Southern Oscillation Index (SOI) negatif, artinya tekanan atmosfer Tahiti lebih rendah dari pada tekanan diatas Darwin. Indikator terjadinya El-Nino ditunjukkan oleh nilai indeks osilasi selatan atau biasa disebut Southern Oscillation Index (SOI). Apabila terjadi El-Nino maka nilai indeks osilasi selatan akan berada pada nilai minus dalam jangka waktu minimal 3 bulan dan sebaliknya untuk La-Nina. Nilai SOI di kawasan Asia Tenggara berkorelasi kuat dengan curah hujan, karena itu nilai SOI merupakan indikator yang baik terhadap curah hujan di kawasan tersebut (Podbury, 1998).

Terjadinya El-Nino ini melalui beberapa proses sebagai berikut:

1.

Perairan Pasifik bagian tengah dan timur mengalami pemanasan suhu.

Awal proses terjadinya El-Nino adalah karena adanya peningkatan suhu yang berada di perairan pasifik bagian timur dan tengah. Dan hal ini akan meningkatkan suhu kelembaban pada atmosfer yang berada di atas perairan tersebut.

2.

Pembentukan awan

Setelah terjadinya pemanasan suhu yang berada di perairan pasifik bagian tengah dan timur, serta menimbulkan kelembaban di atmosfer yang ada di atasnya, maka peristiwa tersebut mendorong terjadinya pembentukan awan dan akan meningkatkan curah hujan yang berada di kawasan tersebut.

3.

Terhambatnya pertumbuhan awan

Setelah proses pembentukan awan yang dijelaskan di atas, maka di bagian barat samudera pasifik akan mengalami tekanan udara yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan di bagian timur Indonesia. Hal ini akan mengakibatkan di beberapa wilayah di Indonesia mengalami penurunan curah hujan yang dikatakan jauh dari normalnya.

(3)

501

Gambar 1. Fenomena El-Nino (www.bom.gov.au)

Masing-masing kejadian El-Nino adalah unik dalam hal kekuatannya sebagaimana dampaknya pada pola turunnya hujan maupun panjang durasinya. Berdasar intensitasnya, El-Nino dikategorikan sebagai berikut:

1. El Nino Lemah (Weak El-Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik ekuator +0,5º C s/d +1,0º C dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

2. El Nino sedang (Moderate El-Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik ekuator +1,1º C s/d 1,5º C dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

3. El Nino kuat (Strong El-Nino), jika penyimpangan suhu muka laut di Pasifik ekuator >1,5º C dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

2.1.2. La-Nina

Fenomena La-Nina menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia bertambah, bahkan sangat berpotensi menyebabkan terjadinya banjir. Peningkatan curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas La-Nina tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena La-Nina. Dampak La-Nina terhadap kondisi cuaca global antara lain:

1. Angin passat timuran menguat 2. Sirkulasi Monsoon menguat

3. Akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Pasifik bagian timur. Cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering.

4. Potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik Ekuatorial Barat seperti Indonesia, Malaysia dan Australia bagian Utara. Cuaca cenderung hangat dan lembab.

(4)

502

Gambar 2. Fenomena La-Nina (www.bom.gov.au)

Fenomena La-Nina dikelompokkan berdasarkan nilai anomali suhu muka laut/Sea Surface Temperature (SST) adalah sebagai berikut:

1. La-Nina Lemah, yang ditetapkan jika SST bernilai <- 0,5 dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

2. La-Nina sedang, yang ditetapkan jika SST bernilai antara – 0,5 s/d -1 dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

3. La-Nina kuat, yang ditetapkan jika SST bernilai > -1 dan berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut

2.2. Data

Pada penelitian ini, proses untuk mengidentifikasi pengaruh fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap perairan Sumatera Barat dilakukan menggunakan data-data sebagai berikut:

1. Data SSH dari Multi Satelit Altimetri tahun 1996 s.d 2015 yang diperoleh Geophysical Data Record (GDR). Data masing-masing satelit dapat diunduh secara gratis melalui situs resmi sebagai berikut (Khasanah, 2015):

1) Topex/Poseidon : ftp://podaac-ftp.jpl.nasa.gov/allData/topex/L2/mgdrb

2) Jason-1 : ftp://podaac-ftp.jpl.nasa.gov/allData/jason1/L2/gdr_netcdf_c/ 3) Jason-2 : ftp://data.nodc.noaa.gov/pub/data.nodc/jason2/gdr/gdr/

2. Data MGG EGM96 digunakan untuk menghitung nilai undulasi geoid di wilayah penelitian. Nilai undulasi EGM96 digunakan sebagai referensi data Sea Surface Height (SSH) dari ketiga satelit altimetry. Nilai SSH yang direferensikan terhadap geoid selanjutnya disebut dengan Sea Level Anomaly (SLA). Data dapat

diunduh melalui situs

http://earth-info.nga.mil/GandG/wgs84/gravitymod/egm96/binary/binarygeoid.html

3. Data Indeks Nino3.4 tahun 1996 s.d 2015 digunakan untuk mengidentifikasi terjadinya fenomena global

El-Nino dan La-Nina. Data ini dapat didownload dari situs

www.cpc.ncep.noaa.govdataindicessstoi.indices.

2.3. Pelaksanaan

(5)

503 Pengaruh Fenomena ENSO terhadap perairan Sumatera Barat Pengolahan data

multi satelit altimetri

Pereferensian data SSH multi satelit altimetri terhadap EGM96 (SLA)

Data Indeks Nino 3.4

Analisis korelasi Antara SLA dan data Indeks Nino 3.4

Gambar 3. Diagram fish bone penelitian

2.3.1. Pengolahan Data

Data multi satelit altimetri yang di download adalah data format Biner. Oleh karena itu, perlu diekstrak dan dikonversi menjadi format ASCII. Data yang diekstrak adalah data Sea Surface Height (SSH) atau data ketinggian muka air laut. Software yang digunakan untuk ekstrak data SSH adalah BRAT v3.1. Proses ekstraksi SSH dilakukan dengan post-processing untuk menghilangkan kesalahan geofisik. Persamaan yang digunakan untuk mengekstrak SSH yang terkoreksi ditunjukkan pada Persamaan (1) (Seeber, 2003). Konsep perekaman data dari satelit altimetry ditunjukkan pada Gambar 4.

………..……….…….(1)

dimana,

……….……(2) dalam hal ini:

ρcor : jarak satelit terhadap muka air laut terkoreksi Δhdry : koreksi troposfer kering

Δhwet : koreksi troposfer basah Δhiono : koreksi ionosfer Δhssb : koreksi sea-state- bias Δhinv_bar : koreksi inverse barometer Δhocean_tide : koreksi pasang surut laut Δhearth_tide : koreksi pasang surut Bumi Δhpole_tide : koreksi pasang surut kutub

(6)

504

Gambar 4. Konsep Dasar Satelit Altimetry (Seeber, 2003)

Keterangan gambar:

h : Altitude satelit (Tinggi satelit dari ellipsoid acuan) H : Sea Level Anomaly (SLA)

N : Undulasi Geoid

Ρ : Jarak antara ketinggian satelit altimetri dan permukaan air laut.

Data SSH terkoreksi geofisik kemudian dicek dan dikoreksi dari data yang masuk daratan dan data kosong. Selanjutnya data SSH terkoreksi dikurangkan dengan nilai undulasi EGM96 untuk menghasilkan nilai SLA. Data yang telah terkoreksi kemudian diplot untuk mengetahui kondisi data. Apabila masih mengandung data outlier (data yang menyimpang dari kebanyakan data) maka harus dibuang. Pembuangan data outlier dengan melakukan uji global data pada setiap data SLA yang telah dikelompokkan sesuai cycle acuan. Tingkat kepercayaan data yang digunakan adalah 99% atau 3 sigma.

Data Indeks Nino3.4 merupakan data temperatur permukaan laut di Daerah Pasifik. Data

temperatur tersebut menunjukkan peristiwa El-Nino dan La-Nina atau sering disebut El-Nino

Southern Oscilation (ENSO) yang terjadi. Data Indeks Nino3.4 dipakai mulai dari tahun 1996 s.d

2015

.

2.3.2. Analisis Korelasi antara Data SLA Multi Satelit Altimetri dan Indeks Nino 3.4

Untuk melihat pengaruh dari fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap perairan Sumatera Barat dilakukan dengan uji derajat hubungan dua data yaitu uji korelasi. Korelasi menyatakan derajat hubungan antara dua variabel tanpa meperhatikan variabel mana yang menjadi peubah. Rumus korelasi ditunjukkan pada Persamaan (3) (Nurgiyantoro dkk., 2009 dan Sudijono, 2012 dalam Putra, 2013).

𝐫𝐱𝐲=

𝐧 (𝚺𝐱𝐲) (𝚺𝐱).(𝚺𝐲)

𝐧 (𝚺𝐱𝟐) (𝚺𝐱)𝟐 𝐧 (𝚺𝐲𝟐) (𝚺𝐲)𝟐 ………..….(3)

dalam hal ini:

r : korelasi variabel x dengan variabel y x : nilai variabel x (nilai SLA altimetri)

y : nilai variabel y (nilai anomali SST dari Indeks Nino3.4) n : jumlah data

Nilai korelasi berkisar antara -1 < rxy < +1. Jika r = 0, artinya tidak ada hubungan antara variabel. Jika rxy = -1, maka hubungan antar data sangat kuat dan bersifat tidak searah. Jika rxy = +1 maka hubungan antar data sangat kuat dan bersifat searah.

(7)

505 Uji r dilakukan dengan membandingkan nilai koefisien korelasi r hitung dengan r tabel. Nilai r tabel dapat dilihat pada tabel r. Kriteria pengujian nilai r hitung adalah:

1. Jika rhitung ≤ r (tabel 5%, df), artinya tidak terdapat hubungan linier atau tidak terdapat korelasi sederhana antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya.

2. Jika rhitung > r (tabel 5%, df), artinya terdapat hubungan linier atau terdapat korelasi antara variabel yang satu dengan variabel yang lainnya.

dengan df merupakan derajat kebebasan, dimana pada penelitian ini nilai df adalah 239 dan nilai 5% merupakan nilai signifikansi atau biasa disebut α (level of significant).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh fenomena El-Nino dan La-Nina dapat diketahui dengan melihat hubungan data Indeks Nino3.4 dengan data permukaan laut perairan Sumatera Barat. Data Indeks Nino3.4 adalah nilai rata-rata Sea Surface Temperature (SST) atau suhu permukaan laut (SPL) di daerah Pasifik Timur. Fenomena El-Nino merupakan peristiwa meningkatnya suhu air laut di Samudra Pasifik sepanjang katulistiwa secara drastis dari nilai rata-ratanya dalam jangka waktu tertentu. Sedangkan fenomena La-Nina adalah fenomena menurunnya suhu air laut di Samudra Pasifik sepanjang khatulistiwa. Hubungan Fenomena ENSO terhadap Perairan Sumatera Barat dapat dilihat dari ploting data pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Hubungan antara Data SLA Perairan Sumatera Barat dan Indeks Nino 3.4

Berdasarkan Gambar 5, dapat diidentifikasi terjadinya fenomena El-Nino dan La-Nina berdasarkan besarnya penyimpangan suhu. Dari tahun 1996 s.d 2015, peristiwa El-Nino terjadi pada tahun 1997, 2002, 2006, 2009, 2012 dan peristiwa La-Nina terjadi pada tahun 1999, 2008, 2010. Berikut disajikan penjelasan yang lebih detail tentang kondisi Perairan Sumatera Barat pada saat fenomena El-Nino dan La-Nina.

3.1. Kondisi Perairan Sumatera Barat ketika Fenomena El-Nino

Untuk mengetahui kondisi Perairan Sumatera Barat akibat fenomena El-Nino, maka dilakukan pengeplotan data SLA (permukaan air laut) sebelum, saat dan sesudah fenomena El-Nino terjadi. Berikut grafik SLA dan Indeks Nino3.4 sebelum, saat dan sesudah terjadinya fenomena El-Nino.

(8)

506

Gambar 6. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat El-Nino Tahun 1997

Gambar 7. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat El-Nino Tahun 2002

(9)

507

Gambar 9. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat El-Nino Tahun 2009

Gambar 10. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat El-Nino Tahun 2012

Berdasarkan Gambar 6 sampai dengan Gambar 10, maka dapat diidentifikasi ketinggian muka air laut di perairan Sumatera Barat pada waktu sebelum, saat dan sesudah fenomena El-Nino terjadi yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kondisi Perairan Sumatera Barat ketika Fenomena El-Nino

Tahun

Rata-rata Nilai Indeks Nino3.4 ketika Fenomena

El-Nino (°c) Rata-rata Nilai SLA ketika Fenomena El-Nino (m) Sebelum Saat Sesudah Sebelum Saat Sesudah 1997 -0.41 1.79 -1.23 1.48 1.34 1.52 2002 -0.13 1.06 0.12 1.49 1.49 1.52 2006 -0.10 0.74 -0.63 1.58 1.55 1.68 2009 -0.59 1.07 -1.22 1.70 1.66 1.78 2012 -0.69 0.59 -0.13 1.68 1.56 1.65 Rata-rata -0.36 1.05 -0.62 1.59 1.52 1.63

Berdasarkan hasil rekapitulasi pada Tabel 1, kondisi permukaan laut perairan Sumatera Barat pada saat fenomena El-Nino mengalami penurunan, yaitu dengan nilai rata-rata permukaan lautnya 1,52 m. Sedangkan sebelum terjadi fenomena El-Nino, nilai rata-rata permukaan laut di perairan Sumatera Barat sekitar 1,59 m dan setelah terjadi fenomena El-Nino, rata-rata permukaan laut perairan Sumatera Barat sekitar 1,63 m.

3.2. Kondisi Perairan Sumatera Barat ketika Fenomena La-Nina

Untuk mengetahui kondisi Perairan Sumatera Barat akibat fenomena La-Nina, maka dilakukan pengeplotan data SLA (permukaan air laut) sebelum, saat dan sesudah fenomena La-Nina terjadi. Berikut grafik SLA dan Indeks Nino3.4 sebelum, saat dan sesudah terjadinya fenomena La-Nina.

(10)

508

Gambar 11. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat La-Nina Tahun 1999

Gambar 12. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat La-Nina Tahun 2008

Gambar 13. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat La-Nina Tahun 2010 dan Awal 2011

Kondisi perairan Sumatera Barat ketika terjadi fenomena La-Nina yang diidentifikasi dari Gambar 11 sampai dengan Gambar 13 ditampilkan pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil rekapitulasi pada Tabel 2, kondisi permukaan laut perairan Sumatera Barat pada saat fenomena La-Nina mengalami kenaikan, yaitu dengan nilai rata-rata permukaan lautnya 1,65 m. Sedangkan sebelum terjadi fenomena La-Nina, nilai rata-rata permukaan laut di perairan Sumatera Barat sekitar 1,57 m dan setelah terjadi fenomena La-Nina, rata-rata permukaan laut perairan Sumatera Barat sekitar 1,61 m.

(11)

509

Tabel 2. Kondisi Perairan Sumatera Barat ketika Fenomena La-Nina

Tahun

Rata-rata Nilai Indeks Nino3.4 ketika Fenomena La-Nina (°c)

Rata-rata Nilai SLA ketika Fenomena La-Nina (m)

Sebelum Saat Sesudah Sebelum Saat Sesudah 1999 1.50 -1.07 -0.15 1.38 1.52 1.52 2008 -0.01 -1.25 0.11 1.67 1.70 1.69 2011 0.84 -1.10 0.24 1.65 1.72 1.63 Rata-rata 0.77 -1.15 0.06 1.57 1.65 1.61

3.3. Analisis Pengaruh Fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap Perairan Sumatera Barat

Untuk melihat besarnya pengaruh fenomena El-Nino dan La-Nina terhadap kondisi permukaan laut perairan Sumatera Barat dilakukan analisis korelasi antara data SLA yang mewakili kondisi perairan Sumatera Barat dan data Indeks Nino 3.4 yang mewakili fenomena El-Nino dan La-Nina. Nilai korelasi antara data SLA multi satelit altimetri dan data Indeks Nino3.4 selama 20 tahun adalah -0,32. Nilai korelasi negatif, menunjukkan hubungan yang dibentuk antar kedua data adalah berkebalikan, artinya semakin tinggi nilai Indeks Nino3.4 maka semakin rendah nilai SLA.

Untuk menguji tingkat hubungan antara kedua data maka dilakukan uji korelasi (uji r) yaitu dengan membandingkan nilai r hitung dan r tabel (hasil bacaan tabel). Hipotesis yang dibuat dalam pengujian ini adalah:

a) H0: korelasi = 0, artinya tidak terdapat hubungan antara variabel 1 dan variable 2. b) Ha: korelasi ≠ 0, artinya terdapat hubungan antara variabel 1 dan variabel 2.

Nilai r hitung adalah 0,32 sedangkan nilai bacaan r tabel pada tingkat kepercayaan 95% untuk derajat kebebasan 239 adalah 0,13. Berdasarkan nilai tersebut, nilai r hitung lebih besar dari pada r tabel. Berdasarkan kriteria pengujian nilai r hitung dan r tabel (seperti yang dijelaskan pada metode), hal tersebut berarti H0 ditolak dan Ha diterima, artinya korelasi tidak sama dengan nol. Korelasi tidak sama dengan nol artinya kedua data saling berhubungan. Berarti dapat dikatakan bahwa fenomena ENSO mempengaruhi kondisi perairan Sumatera Barat. Pengaruh tersebut dapat terlihat ketika fenomena El-Nino terjadi maka kondisi perairan Sumatera Barat mengalami penurunan dan saat terjadi fenomena La-Nina, kondisi perairan Sumatera Barat mengalami kenaikan. Hasil penelitian ini bersesuaian dengan penelitian Riyadi (2015) dimana dalam penelitiannya menyebutkan bahwa awal terjadinya El-Nino ditandai dengan variasi muka laut yang mulai menurun sedangkan awal terjadinya La-Nina ditandai dengan variasi muka laut yang mulai naik.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Kondisi perairan Sumatera Barat pada saat terjadi fenomena El-Nino mengalami penurunan. Rata-rata nilai SLA saat fenomena El-Nino adalah 1,52 m, sebelum terjadinya El-Nino rata-rata nilai permukaan laut Sumatera Barat 1,59 m, dan setelah El-Nino adalah 1,63 m.

2. Kondisi perairan Sumatera Barat pada saat terjadi fenomena La-Nina megalami mengalami kenaikan. Rata-rata nilai SLA saat fenomena La-Nina adalah 1,65 m, sebelum terjadinya La-Nina rata-rata nilai permukaan laut Sumatera Barat 1,57 m, dan setelah La-Nina adalah 1,61 m.

3. Pengaruh ENSO terhadap Perairan Sumatera Barat dapat dilihat dari nilai korelasi antara 2 data. Nilai korelasi yang didapat berdasarkan data multi satelit altimetri dan indeks nino3.4 selama 20 tahun yaitu -0,32. Hal ini menunjukkan hubungan yang dibentuk antar kedua data adalah berkebalikan, artinya semakin tinggi nilai Indeks Nino3.4 (variabel 2), maka semakin rendah nilai SLA (variabel 1), begitu pula sebaliknya terhadap La-Nina.

(12)

510

757.

Irawan, B. (2006). Fenomena Anomali Iklim El-Nina dan La-Nina: Kecenderungan Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan, Forum Penelitian Agro Ekonomi Vol. 24, Bogor.

Ilahude, A. G. (1996). Kajian Arlindo di Indonesia, Orasi Ilmiah Pengukuhan APU Bidang Oseanografi Kimia, LIPI-Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Jakarta.

Khasanah, I.U. (2015). Variasi Permukaan Laut Perairan Pulau Jawa Berdasarkan Data Satelit Altimetry dan Pasang Surut, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Podbury. , Sheales T.C, Hussain.I , Fisher. B.S. (1998). Use Of El Nino Climate Forecasts In Australia. Amer. J.Agr. Econ.80(5).

Prabowo, M. dan Nicholls, N. (2002). Kapan Hujan Turun? Dampak Osilasi Selatan di Indonesia. Brisbane: Publishing Services.

Putra, I.W.K.E. (2013). Evaluasi Hasil Post-Processing Data satelit Altimetri Envisat sebagai Data Prediksi ancaman Peningkatan Muka Air Laut untuk Pemetaan Genangan Wilayah Pesisir, Tesis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Riyadi. (2015). Pengamatan Pasang Surut Air Laut di Pelabuhan Bitung Sebagai Prediksi Awal Terjadinya El-Nino dan

La-Nina, Stasiun Geofisika, Manado.

Seeber, G. (2003). “Satellite Geodesy, 2nd Edition”, Walter de Gruyter, German http://www.bom.gov.au

Gambar

Gambar 2. Fenomena La-Nina (www.bom.gov.au)
Gambar 4. Konsep Dasar Satelit Altimetry (Seeber, 2003)  Keterangan gambar:
Gambar 5. Grafik Hubungan antara Data SLA Perairan Sumatera Barat dan Indeks Nino 3.4
Gambar 6. Kondisi Perairan Sumatera Barat saat El-Nino Tahun 1997
+3

Referensi

Dokumen terkait

Operasi kerja mesin ini berlangsung hampir terus menerus mendekati kontinu atau mirip system kerja motor Wankel membuat RPM mesin lebih tinggi, Mengingat aksi kerja mekanik

Kebijakan yang ditinjau adalah kebijakan dalam bentuk regulasi yang mempunyai kaitan dengan penanganan kemacetan di Kota Makassar terutama pada Jalan Andi Pangeran Pettarani,

Goal dari The Spirit of Sobean ini adalah melahirkan destinasi baru di Buleleng selain 86 Daya Tarik wisata (DTW) di Buleleng. Penetapan 86 DTW ini merujuk pada

Sedangkan penggunaan deiksis persona, penunjuk, dan waktu yang paling dominan dalam novel Sunset Bersama Rosie adalah deiksis waktu khususnya deiksis waktu dengan

Daripada persepsi pegawai yang ditemu bual, kajian mendapati mereka menghadapi beberapa masalah dalam pelaksanaan program pembelajaran tersebut. Ini merangkumi tiga masalah

Hasil evaluasi dan tindak lanjut terhadap penyampaian informasi kepada masyarakat, sasaran kegiatan UKM, lintas program dan lintas sektor.... Hasil evaluasi

Bagaimana penerapan hasil penelitian perbedaan kandungan timbal (Pb) dan mikroba pada ikan layang (Decapterus sp.) segar dan pindang di kecamatan Paciran