• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN NIKAH SIRRI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974, KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN SIKAP PENGADILAN AGAMA TERHADAP NIKAH SIRRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEDUDUKAN NIKAH SIRRI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974, KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN SIKAP PENGADILAN AGAMA TERHADAP NIKAH SIRRI"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDUDUKAN NIKAH SIRRI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974, KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN SIKAP

PENGADILAN AGAMA TERHADAP NIKAH SIRRI

A. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

1. Defenisi Pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Di Indonesia peraturan tentang perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, BAB I Dasar Perkawinan Pasal 1Undang-Undang ini memberi pengertian Pernikahan/Perkawinan sebagai berikut37:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk mebentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

Jadi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara 2 orang yaitu pria dan wanita, Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama suami istri. Ikatan lahir ini merupakan hubungannya formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita

(2)

untuk hidup bersama suami istri.38 Perkawinan barulah sah apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita.39

Dari pengertian tersebut unsur-unsur perkawinan adalah: 1. Adanya seorang pria dan wanita;

2. Ikatan lahir dan batin;

3. Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal; 4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja.40Dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Dalam agama Islam, perintah religius merupakan sunnah Rasulullah. Keberadaan unsur Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta (Allah SWT). Dengan adanya unsur

38

Tan Kamello, Hukum Perdata: Hukum Orang Dan Keluarga, (Medan, USU Press 2011) hal. 42.

39 Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.15.

(3)

Ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata.41

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dalam pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa hukum Islam sebagai rujukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan merujuk paham religius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.

Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil menyangkut formalitas-formalitas atau cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat dilangsungkannya perkawinan, syarat-syarat materiil dan formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu :42

a. Syarat Materiil

Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah:

1) Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.43 dimaksudkan agar supaya setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam

41 .Ibid.

42 Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974, (Medan: Tesis Pascasarjana USU, 2005) hal.16.

(4)

perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam undang perkawinan, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu, yaitu seorang anak yang hidup patuh pada orang tuanya. Sebagai anak harus mau dan tidak dapat menolak kehendak orang tuannya, walaupun kehendak anak tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, undang-undang perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1) apabila paksaan untuk itu di bawah ancaman yang melanggar hukum.

2) Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1)44. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak-pihak yang akan melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Izin kedua orang tua mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang

(5)

masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin diminta izinnya (pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5).45

Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana diatur dalam pasal 6 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

b. Syarat Formil meliputi:

1. pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai pencatat perkawinan,

2. pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan,

3. pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing

4. pencatat perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan46

Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebalum perkawinan dilangsungkan, dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang

45 Ibid, hal.20.

46 Mega Magdalena, Fungsi Pencatatan Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1

(6)

memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan nama istri/suami terdahulu bila salah seorang atau keduanya pernah kawin (pasal 3, 4, 5 peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975).47

Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh pegawai pencatat nikah/perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan. Pengumuman dilakukan dengan suatu formil khusus untuk itu, ditempelkan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan ditandatangani oleh pegawai pencatat perkawinan. Pengumuman memuat data pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari ini, tanggal, jam dan tempat dilangsungkannya perkawinan (pasal 8 jo pasal 6, 7 dan 9 peraturan pemerintah Nomor 9 tahun 1975).

2. Kedudukan Nikah Sirri menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Nikah Sirri atau perkawinan yang dirahasiakan adalah perkawinan yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain Sebagai mana wawancara penulis dengan salah seorang pelaku Nikah Sirri Mariani penyebab melakukan nikah sirri adalah karena ia, dan suaminya tidak tahu dan tidak ada biaya untuk melakukan nikah secara tercatat sesuai peraturan perundang-undangan,.48

47 Ibid, hal.22.

(7)

Sebagaimana wawancara dengan pelaku Nikah Sirri yang lain bernama Sumiati alasannya melakukan nikah sirri yang tidak dicatatkan karena alasan ekonomi tidak mampu membayar biaya pencatatan pernikahan.49 Sebagaimana hasil wawancara penulis dengan Siti pelaku nikah sirri alasannya melakukan nikah sirri adalah karena suaminya tidak ingin diketahui istri pertama, Anak-anaknya dan masyarakat umum tahu bahwa ia telah melangsungkan perkawinan.50

Di Indonesia, perkawinan yang tidak bermasalah adalah perkawinan yang dilakukan menurut ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Bagi orang Islam, perkawinan yang tidak bermasalah itu adalah perkawinan yang diselenggarakan menurut hukum Islam seperti disebut dalam pasal (2) ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dicatat, menurut ayat (2) pasal yang sama. Setelah itu, sesuai sunnah Rasulullah, diumumkan melalui walimah supaya diketahui orang banyak.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia bersifat menentukan, apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinannya itu tidak sah, demikian juga bila tidak dicatat.

Sebagaimana wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Kelas 1 A Medan: Nikah Sirri pada prinsipnya pernikahan tidak resmi tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku, Namanya (Nikah di bawah Tangan), dan

49 Hasil wawancara dengan Sumiati pelaku Nikah Sirri hari selasa tanggal 2 Agustus 2011. 50 Hasil wawancara dengan Siti pelaku Nikah Sirri hari rabu tanggal 3 Agustus 2011.

(8)

biasanya tidak di catat oleh pejabat yang berwenang, sahnya pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 apabila dicatat oleh pejabat yang berwenang. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak sah Nikah yang dilakukan tanpa dicatatkan pada pencatatan sipil.51

B. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia 1. Defenisi Pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia

Disamping kata nikah digunakan juga kata Alzawaj secara etimologi Zawaj

berasal dari bahasa Azzawa’ju artinya (genap), lawan kata dari alfarda (sendiri,

gajil), dipergunakan untuk beragam maksud. Di antaranya, Asynfu walnaw’u (jenis atau ragam). Setiap dua jenis, dua betuk, atau model yang saling berkaitan disebut Al

zawjani. maka dikatakan bagi laki dan wanita (yang menikah,). Sebagai Al zawjani

(sepasang). Masing-masing pihak menjadi pasangan bagi pihak lainnya. Sebagaimana firman Allah yang artinya:52

“dan bahwasanya dia-lah yang menciptakan (sesuatu) berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.”(An-Najam:45).

Selain itu ada juga kata alnikahu (pernikahan) secara etimologi mengandung pengertian Aldhammu waltadakhulu (penggabungan dan saling mengisi). Dikatakan dalam sebuah ungkapan, tanakahati al zara-u, maksudnya sebagian pohon menyatu dan menyelinap (masuk) pada sebagian lainnya. Pernikahan diistilahkan dengan

51 Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Medan pada hari senin, tanggal 24 Oktober 2011, Pukul 13.00 WIB.

(9)

(masuk), karena memuat unsur penyatuan antara salah satu pasangan suami istri dengan pasangannya berdasarkan aturan agama islam, baik melalui persetubuhan atau akad nikah, sehingga dua pihak tersebut menjelma bak dua sisi pintu, dan sepasang sepatu. Kata nikah ini, bisa dipergukan untuk makna akad nikah, sehingga bermakna pernikahan atau juga diarahkan pada pengertian alwath-’u (hubungan badan).53

Pengertian Al zzawju (pernikahan) secara termonologi Kata Al zzawju seperti yang telah disampaikan, merupakan bantuk sinonim kata alnikahu (nikah).

Para ahli fikih mendefinisikannya dengan beragam definisi.Hal ini karena, setiap madzhab memiliki definisi khusus yang berbeda-beda. Berikut ini penjelasannya,

1. Ulama Hanafiyah mengatakan, “pernikahan adalah perjanjian yang disenggarakan untuk tujuan memperoleh kenikmatan dari wanita dengan disengaja. Maksudnya, untuk menghalalkan seorang lelaki memperoleh kesenangan (istimta’) dari seorang wanita. Definisi ini menghindari keracuan dari akad jual beli (wanita), yang bermakna sebuah akad perjanjian yang dilakukan untuk memiliki budak wanita.54

2. Ulama Malikiyah mendefinisikan, “pernikahan adalah akad perjanjian untuk menghalalkan meraih kenikmatan dengan wanita yang bukan mahram, wanita ahli kitab melalui sebuah ikrar.

53 Ibid, hal.16.

(10)

3. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan, pernikahan merupakan akad perjanjian yang mengandung unsur memperbolehkan persetubuhan dengan menggunakan lafazh

inkahu (aku menikahimu wahai fulan dengan fulana) atau tazawwajtu (aku

mengawinkan engkau wahai fulan dengan fulanah).55

4. Ulama Hanabilah berkata, akad pernikahan maksudnya sebuah perjanjian yang didalamnya, terdapat lafazh nikah atau tazwij atau terjemahan (dalam bahasa lain) nya yang dijadikan sebagai pedoman.56

Definisi yang terbaik untuk pernikahan adalah sebagai berikut: perjanjian yang bersifat syar’i yang berdampak pada halalnya seseorang (lelaki atau perempuan), memperoleh kenikmatan dengan pasangan berupa bersetubuh badan dan cara-cara dalam bentuk yang disyaratkan, dengan ikrar tertentu secara disengaja, Begitu akad nikah usai, maka menjadi halal bagi masing-masing pihak untuk mendapatkan kenikmatan dari pasangannya dalam bingkai yang diperolehkan oleh syariat.57

Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat terperinci, untuk membawa umat manusia hidup terhormat, sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah-tengah mahkluk Allah yang lain. Hubungan manusia laki-laki dengan perempuan ditentukan agar didasarkan pada rasa pengabdian kepada Allah sebagai al-Khaliq dan kebaktian kepada kemanusiaan guna melangsungkan kehidupan jenisnya.

55 Ibid.

56 Ibid, hal.18. 57 Ibid.

(11)

Syarat dan Rukun Nikah menurut Hukum Islam

Bagi umat Islam disyaratkan beberapa hal yang berkenaan dengan akad nikah untuk mencapai sahnya perkawinan yaitu harus memenuhi syarat dan rukun nikah. Menurut M. Idris Ramulyo, bahwa bagi golongan muslim diberlakukan hukum perkawinan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum, yang memerlukan syarat dan rukun agar dapat dipandang sah menurut hukum. Yang dimaksud dengan syarat disini ialah syarat perkawinan,58 yaitu yang berkaitan dengan rukun-rukun pernikahan itu sendiri, diantaranya syarat bagi calon mempelai pria yang bukan merupakan mahram dari mempelai wanita, atas kemauan sendiri, jelas orangnya dan tidak sedang menjalani ihram. Syarat bagi wanita diantaranya tidak

berhalangan syar`i,59 jelas orangnya dan tidak sedang melaksanakan ihram. Syarat bagi wali diantaranya laki-laki, baligh, berakal sehat, adil dan tidak sedang

melaksanakan ihram. Sedangkan saksi haruslah laki-laki, baligh, sehat akalnya adil, dapat mendengar dan melihat, tidak mengerjakan ihram dan memahami bahasa yang digunakan dalam ijab-kabul.

Adapun rukun-rukun nikah sebagai berikut: a. Lafadz Ijab dan Qabul,

b. Calon Suami, c. Calon Istri, d. Dua Saksi, e. Wali

58 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah, terjemahan Drs. Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hal. 30-31.

59 Yang dimaksud dengan berhalangan syar`i ialah sedang tidak bersuami, bukan mahram, dan tidak sedang dalam masa iddah.

(12)

Ijab Qabul merupakan lafadz yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan kepada calon mempelai pria. Lafadz yang mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam ikatan perkawinan. Ijab Qabul merupakan unsur yang paling penting antara yang mengakadkan, yaitu wali, dengan yang menerima akad. Berkaitan Artinya: Tidak sah nikah kecuali dengan wali.

Dalam pembahasan fiqh wali dibagi 3 (tiga) macam:

1. Wali Nasab, 2. Wali Hakim, 3. Wali Tahkim,

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan sebagai berikut Pasal 20 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) Ayat (1) yang bertindak sebagai wali nikah ialah sorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baligh, Ayat (2) Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab, (b) wali hakim60.

Syarat-syarat sahnya perkawinan adalah:

1. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya,

2. Dihadiri dua orang saksi laki-laki,

(13)

3. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad. Syarat ketiga ini dianut kaum muslimin di Indonesia dan merupakan pendapat Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Hasan Basari, Ibn Abi Layla dan Ibn Syubrumah.61

Perkawinan menurut ajaran Islam ditandai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut62: 1. pilihan jodoh yang tepat,

2. perkawinan didahului dengan peminangan,

3. ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan, 4. perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang bersangkutan, 5. ada persaksian dalam akad nikah,

6. perkawinan tidak ditentukan untuk waktu tertentu, 7. ada kewajiban pembayaran mahar oleh suami,

8. ada kebebasan mengajukan syarat atau perjanjian dalam akad nikah, 9. tanggung jawab pimpinan keluarga adalah suami,

10. ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.

Akad Nikah adalah perikatan hubungan perkawinan antara mempelai laki-laki dengan mempelai perempuan yang dilakukan di depan dua orang saksi laki-laki dengan menggunakan kata-kata ijab qabul. Ijab di ucapkan pihak wali perempuan, yang menurut kebanyakan fuqaha’ dilakukan oleh walinya (wakilnya) dan qabul adalah pernyataan manerima dari pihak mempelai laki-laki. Mas kawin tidak mesti

61 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.58.

(14)

ada dalam akad nikah, meskipun biasanya disebut dalam akad dan disertakan pula barangnya.63Karena mas kawin adalah kewajiban suami bukan syarat sah nikah.

Dari pengertian akad nikah tersebut kita ketahui adanya empat unsur akad nikah yaitu:

1. Mempelai laki-laki dan perempuan, 2. Wali mempelai perempuan,

3. Dua orang saksi laki-laki, 4. Ijab dan Kabul,

Seperti halnya dalam akad pada umumnya, pihak-pihak yang melakukan akad (mempelai laki-laki dan perempuan) di syaratkan mempunyai kecakapan sempurna, yaitu telah baliqh, berakal sehat dan tidak terpaksa. Orang yang kehilangan kecakapan karena gila, rusak akal atau di bawah umur tidak sah melakukan akad. Anak umur 7 tahun sampai sebelum baligh di pandang berkecakapan tak sempurna dan apabila mengadakan akad diserahkan kepada izin walinya, menurut pendapat kebanyakan fuqaha’, mempelai perempuan tidak boleh melakukan akad sendiri dan harus dilakukan oleh walinya. Selain itu ada syarat yang perlu ditambahkan, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad harus mendengar dan mengerti arti ucapan atau perkataan masing-masing. 64

Perkawinan yang mubah, adalah bahwa syarat kecakapan sempurna bagi calon mempelai diperlukan, umur yang melampaui umur baligh (15 tahun) seperti

63Ibid.50.

(15)

ketentuan undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa calon mempelai laki-laki sekurang-kurangnya mencapai umur 16 tahun (pasal 7 ayat 1).65

Obyek dalam akad nikah bukan orang yang terikat dalam perjanjian, tetapi apa yang menjadi persetujuan bersama, yaitu halal melakukan hubungan timbal balik antara suami dan istri. Hal ini berarti dengan adanya akad nikah itu tidak terjadi penguasaan suami terhadap pribadi istri atau sebaliknya. Oleh kerena itu diperlukan adanya syarat bahwa calon mempelai perempuan tidak haram dinikahi oleh calon suami, atau dengan kata lain tidak terdapat larangan perkawinan antara calon-calon suami dan sitri.66

Pada dasarnya akad nikah dapat terjadi dengan menggunakan bahasa apapun yang dapat menunjukan keinginan serta dapat dimengerti pihak-pihak bersangkutan dan dapat dipahami pula oleh para saksi. Di Indonesia sering dipergunakan bahasa arab di kalangan mereka yang memahaminya dengan menggunakan kata nikah. Mempergunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Daerah semuanya dipandang sah bila digunakan kata nikah. Selain itu pada dasarnya ijab qabul dilakukan secara lisan. Dalam hal secara lisan tidak mungkin dapat diganti dengan cara tertulis. Dalam hal secara tertulis tidak mungkin dilakukan karena salah satu pihak buta huruf misalnya, dapat dilakukan dengan isyarat.67

Antara ijab dan qabul disyaratkan terjadi dalam satu majelis, tidak disela dengan pembicaraan lain atau perbuatan-perbuatan yang menurut adat kebiasaan

65 A. Hamid Sarong, Ibid,hal.51. 66Ibid.

(16)

dipandang mengalihkan akad yang sedang dilakukan tapi tidak disyaratkan antara ijab dan qabul harus berhubungan langsung, andai kata setelah ijab dinyatakan oleh wali mempelai perempuan atau wakilnya, tiba-tiba mempelai laki-laki berdiam beberapa saat tidak segera menyatakan qabul, baru setelah itu menyatakan qabulnya, maka ijab qabul dipandang sah. Imam Malik berpendapat bahwa qabul hanya boleh terlambat dalam waktu amat pendek dari ijab. Ulama-Ulama Madzhab Syafi’i mensyaratkan harus langsung, yaitu setelah wali mempelai perempuan menyatakan ijab mempelai laki-laki harus segera menyatakan qabul tanpa berselang waktu. Pendapat terakhir ini yang diperaktekkan di kalangan kebanyakan kaum muslim di Indonesia. Dalam masalah ini, pendapat Ulama-Ulama Madzhab Hanafi dan Hanbali sudah memenuhi syarat sahnya ijab Kabul tanpa menentukan majelis dan interval waktu.68

Ada syarat ijab kabul yang perlu disebutkan, yaitu tidak boleh digantungkan kepada suatu syarat, disandarkan kepada waktu yang akan datang atau dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Akad bersyarat yang dipandang tidak sah ini ialah apabila syarat dimaksud tidak terjadi seketika, misalnya wali mengatakan kepada calon mempelai laki-laki: “Apabila engkau telah mendapat pekerjaan nanti, aku

nikahkan engkau dengan anakku fulanah dengan mahar lima ribu rupiah.” Ijab

seperti itu tidak sah, sebab syaratnya yaitu mendapat pekerjaan, belum tentu terpenuhi dalam waktu mendatang. Akad bersandar kepada waktu yang akan datang, misalnya wali mempelai perempuan mengatakan kepada calon suami: “Aku nikahkan anakku

(17)

fulana besok pagi, dengan mahar mushhaf ai-Qur’an ini.”Akad nikah seperti itu

tidak sah baik untuk hari diucapkan maupun untuk waktu yang disebutkan dalam akad.

Selain itu akad yang dibatasi untuk waktu tertentu, misalnya selama sebulan atau lebih, atau kurang, tidak di bolehkan, karena bertentangan dengan prinsip perkawinan dalam islam. Nikah untuk waktu tertentu disebut: “Nikah mut’ah” (nikah senang-senang) dan “nikah muqathi” (nikah terputus). Kebanyakan fuqaha’ berpendapat bahwa nikah mut’ah itu haram, dengan berdasarkan antara lain hadits nabi riwayat Ibn Majah yang mengajarkan: “wahai umat manusia, dulu aku mengizinkan kamu kawin mut’ah, tetapi ketahuilah, Allah telah mengharamkankannya sampai hari kiamat.” Ulama-Ulama Madzhab Syi’ah sampai sekarang masih membolehkan kawin mut’ah itu dengan beberapa persyaratan yang ketat. Tetapi Ulama-Ulama Madzhab lain tidak dapat menyetujuinya.69

2. Kedudukan Nikah Sirri Menurut Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia Pasal 4 KHI menyebutkan Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan70.

Pasal 14 bab IV rukun dan syarat perkawinan KHI disebutkan untuk melaksanakan perkawinan harus ada: calon suami, calon isteri, Wali nikah, dua orang saksi dan ijab Kabul71.

69. Ibid.

(18)

Seorang mukmin wajib menjaga agama dan nama baiknya, sementara kawin rahasia telah memaksa ia bersikap ragu kepada agama karena ia menolak hadis-hadis Rasul yang mengharuskan mengumumkan perkawinan. Di samping itu timbul perasaan ragu dan khawatir bila perkawinan yang dirahasiakannya diketahui orang lain. Untuk menghindarkan kedua hal itu kata syaltut tidak ada jalan lain kecuali memberantas segala sebab-sebab yang mendorong terjadinya perkawinan rahasia itu.72

Perkawinan Sirri ada yang dicatat dan ada yang tidak tercatat, kawin rahasia itu adalah perkawinan yang hanya dihadiri oleh yang berkepentingan saja, tanpa dihadiri para saksi, tanpa pengumuman, ada sirri yang tercatat ada juga tidak tercatat dalam akte perkawinan.

Kedua suami isteri itu hidup berkeluarga secara rahasia pula yang tidak diketahui orang lain kecuali mereka berdua. Mereka juga sepakat bahwa perkawinan yang semacam itu tidak sah, karena kurang syarat sahnya perkawinan, yaitu para saksi, Bila perkawinan itu dihadiri oleh para saksi yang diberi wewenang untuk menyebarluaskan perkawinan tersebut, maka perkawinan tersebut bukan rahasia lagi dan perkawinan itu dipandang sah menurut syara' dengan segala akibat hukum yang ditimbulkannya. Adapun perkawinan yang dihadiri para saksi, tetapi mereka dipesan untuk merahasiakan perkawinan tersebut, dalam hal ini para fiqh kata Syaltut berbeda

71Pasal 14 bab IV Kompilasi Hukum Islam.

72 Ramlan Yusuf Rangkuti, Hukum Perdata Islam Dalam Persepektif Mahmud Syaltut, (Pustaka Bangsa Press, Medan 2009) Hal. 179.

(19)

pendapat tentang sahnya perkawinan itu, namun mereka sepakat tentang kemakruhannya.73

Sebahagian ahli fiqh berpendapat bahwa dengan adanya saksi sudah meniadakan sifat kerahasiaannya, sebab persaksian itu sendiri sudah berarti pengumuman. Oleh sebab itulah, pesan kepada saksi untuk merahasiakan perkawinan tersebut tidak membatalkan sahnya perkawinan. Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengannya berpendapat bahwa pesan untuk merahasiakan itu menghilangkan jiwa persaksian serta tujuannya, yaitu pengumuman yang menyatakan tetapnya hak dan kewajiban sebagai suami isteri, untuk menghilangkan syubhat (keraguan) serta memisahkan yang halal dan haram, sebagaimana sabda Nabi:74 Artinya: "yang memisahkan antara yang halal dan yang haram adalah gendang dan suara”. Pada saat ini gendang dan suara di gantikan oleh akta nikah.

Kawin rahasia hukumnya antara tidak sah dan makruh, Perkawinan semacam itu mengandung kerahasiaan yang mendorong haramnya perkawinan. Seorang muslim hendaklah menolak perkawinan semacam itu dan jangan menceburkan diri ke dalamnya.75

Perkawinan rahasia seperti diuraikan itu tidak mungkin direstui syara', sebab perkawinan rahasia mengandung ketakutan dan kegelisahan karena khawatir diketahui oleh kaum kerabat, atau manusia pada umumnya, padahal perkawinan dijadikan Allah sebagai jalan untuk menyatukan hamba-hamba-Nya serta menjadi

73 Ibid, hal. 177.

74 Ibid.

(20)

sumber ketenangan, kemesraan, dan kasih sayang. Sementara perkawinan rahasia itu tidak mungkin dapat membentuk keluarga yang bahagia yang dapat memelihara keturunan dan memperkuat ikatan kekeluargaan di antara manusia. perkawinan menurut syara' selalu bersifat jelas, terus terang dalam akidah, akhlak, dan amaliyah, serta berdasarkan kesamaan antara lahir dan batin. Persaksian tidak dijadikan syarat sahnya perkawinan kecuali dijadikan sebagai alat media yang mengumumkan perkawinan tersebut sehingga diketahui oleh masyarakat. Bila persaksian tidak dapat memenuhi fungsi tersebut kata syaltut maka ia hanya sebagai saksi formalitas untuk dapat menghalalkan larangan-larangan Allah, dan sama sekali tidak ada nilainya dipandang dari segi syara' dan agama.76

Pendapat tersebut dikuatkan sebagaimana hasil tanya jawab kasus dengan syaikh shalih bin Fauzan: Pertanyaan Menikah Sirri Karena Suatu Alasan (tidak diketahui masyarakat sekitar) dengan seorang wanita. Pernikahannya hanya dihadiri oleh ayah mertua sebagai wali nikah, keluarga besar mempelai, dan teman-teman dekatnya. Keluarganya pun menyetujui pernikahan tersebut. Mempelai laki-laki tidak menghendaki pernikahannya diketahui masyarakat luas karena perbedaan status sosial yang mencolok antara dirinya dan calon istrinya. Bagaimana hukum pernikahan seperti ini, Kami mohon penjelasan Syaikh.77

76

Ramlan Yusuf Rangkuti, Hukum Perdata Islam Dalam Persepektif Mahmud Syaltut, (Pustaka Bangsa Press, Medan 2009) hal. 178-179.

77 Abu Muhammad bin Abdul Maqshud, Fatwa Pernikahan, (Jakarta: Embun Publishing, 2007), hal.210.

(21)

Jawaban syaikh shalih bin Fauzan: Suatu pernikahan, jika syarat-syaratnya telah sempurna, yaitu adanya wali, menghadirkan dua orang saksi adil, juga didasari saling suka antara kedua calon mempelai, maka pernikahan tersebut sudah bersifat syar’i. Sekalipun dalam proses pernikahan tersebut tidak ada publikasi secara luas kepada khalayak, hadirnya seorang wali dan dua orang saksi telah dianggap cukup sebagai upaya publikasi atas berlangsungnya pernikahan tersebut. Paling tidak, pernikahan dihardiri dan diketahui oleh orang-orang yang telah disebutkan tadi. hanya saja, semakin banyak yang menghadiri prosesi akad nikah, hal itu lebih utama.78

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting dalam Islam, sebab hukum perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti kehidupan masyarakat sejalan dengan kedudukan manusia sebagai mahkluk yang terhormat melebihi mahkluk-mahkluk yang lain. Hukum perkawinan Islam yang dikenal dengan fiqh munakahat merupan merupakan bagian dari ajaran agama Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah.79

Perkawinan adalah Sunatullâh, hukum alam di dunia. Perkawinan dilakukan manusia, hewan dan bahkan tumbuh-tumbuhan. Allah berfirman dalam Surat Yasin ayat 36 yang artinya:

Maha suci Allah yang telah menjadikan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan di bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (Yasin: 36).

78 Ibid..

(22)

Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya. Allah Swt tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kawin dengan lawan jenis semaunya atau seperti tumbuhan yang kawin dengan perantaraan angin, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

Artinya: … dan Kami hembuskan angin untuk mengawinkan tumbuh-tumbuhan. (Al-Hijr)

Dalam QS.al- zariyat: 49 mengajarkan:

“dengan segala sesuatu kami menciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” Dalam QS.yasin:36 dinyatakan pula:

“maha suci tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,

baik apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka, maupun dari apa yang mereka tidak ketahui.”80

Dengan hidup berpasang-pasangan itulah keturunan manusia dapat berlangsung, sebagaimana ditegaskan dalam QS. An-nisa ayat 1 yang menyatakan:

“Hai sekalian umat dari seorang diri ( adam) dan dari padanya Allah menciptakan isterinya (hawa); dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak…” 81

QS. An-nahl: 72 menegaskan pula:

“Allah menjadikan istri bagi kamu dari jenis kamu sendiri, dan dari istri-istri kamu itu dia menjadikan anak-anak dan cucu-cucu bagi kamu…”82

Dari dua ayat terakhir tersebut diperoleh penegasan bahwa di antara tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk mendapatkan keterunan.

80

A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.29.

81 Ibid. 82 Ibid..

(23)

Selain untuk memiliki keturunan, perkawinan juga akan dapat menimbulkan ketenangan hidup manusia dan menumbuhkan rasa kasih sayang, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-rum: 21 yang menegaskan: “dan di antara tanda-tanda

kekuasaannya, dia menciptakan untuk kamu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-nya rasa kasih sayang di antara kamu…”83

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits nabi tersebut di atas dapat diperoleh kepastian bahwa Islam menganjurkan perkawinan dan Islam memandang perkawinan mempunyai nilai keagamaan sebagai ibadah kepada Allah dan mengikuti Sunnah Nabi, guna menjaga keselamatan hidup keagamaan yang bersangkutan. Dari segi lain, perkawinan di pandang mempunyai nilai kemanusiaan, untuk memenuhi kebutuhan naluriah hidupnya, guna melangsungkan kehidupan jenisnya, mewujudkan ketentraman hidup dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih sayang dalam hidup bermasyarakat. Oleh karenanya, sengaja hidup membujang tidak dapat di benarkan. Larangan hidup membujang diperoleh pada bagian akhir hadits nabi yang mengatakan: “…barang siapa tidak senang mengikuti sunnahku, tidak

termasuk golonganku.”84

83 Ibid, hal.30.

84 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Banda Aceh: Pena, 2010) hal.32.

(24)

Sumber-sumber hukum perkawinan terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. 1. Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur masalah perkawinan dimulai dengan adanya penegasan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup berpasang-pasangan, baik dalam dunia manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan dan untuk memungkinkan terjadinya perkembangbiakan dan melangsungkan kehidupan jenis masing-masing.85

Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan adalah sebagai berikut:

1) Perkawinan adalah tuntutan kodrat hidup dan tujuannya antara lain adalah untuk memperoleh keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya.

1) QS. Al-Dzariyat: 49 mengatakan bahwa segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan.

2) QS. Yasin: 36 mengajarkan juga bahwa segala sesuatu diciptakan Allah berpasang-pasangan, baik dalam dunia tumbuh-tumbuhan, manusia dan lain-lainnya yang tidak diketahui manusia.

3) QS. Al-Hujurat: 13 menegaskan bahwa umat manusia diciptakan dari seorang diri (adam) dan daripadanya diciptakan isterinya dan dari mereka berdua Allah mengembangbiakan manusia, laki-laki dan perempuan.

4) QS.Ayat 72 Surat Al-Nahl menyatakan bahwa Allah menjadikan isteri-isteri itu dijadikan-nya pula anak-anak dan cucu-cucunya.86

85 Ibid, hal.2.

(25)

2) Perkawinan adalah untuk mewujudkan kediaman dan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa kasih sayang khususnya antara suami isteri, kalangan keluarga yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan umat manusia umumnya.87 1) QS. Al-Rum: 21 mengajarkan bahwa di antara tanda-tanda keagungan dan

kekuasaan Allah ialah diciptakan-nya isteri-isteri bagi kaum laki-laki dari jenis manusia yang sama, guna menyelenggarakan kehidupan damai dan tentram, serta menimbulkan rasa kasih sayang antara suami istri khususnya dan umat manusia umumnya.88

2) QS. An-Nur: 32 memerintahkan agar kepada laki-laki maupun perempuan yang belum kawin (dalam keadaan tidak kawin), padahal sudah pantas, diusahakan untuk kawin dengan diberi bantuan seperlunya. Allah berjanji akan memberikan anugerahnya kepada mereka yang mau melaksanakan perkawinan dan bila dalam keadaan kekurangan, Allah akan mencukupkan kebutuhan hidupnya. Ayat selanjutnya (33) memperingatkan agar mereka yang benar-benar belum mampu melaksanakan perkawinan, dapat memelihara kesucian hidupnya dan jangan mudah tergoda bujukan-bujukan setan yang membujuk untuk berbuat zina.89

c. Larangan-larangan Allah dalam perkawinan.

1) QS. Al-Baqarah: 235 memperingatkan agar laki-laki jangan meminang secara terang-terangan perempuan yang sedang menjalani masa ‘iddah

87 Ibid. 88Ibid.

(26)

(masa tunggu untuk memungkinkan kawin lagi dengan orang lain). Dapat dipahami bahwa meminang sebelum terjadi perkawinan adalah suatu hal yang diajarkan dalam islam.90

2) QS. An-Nisa: 22 melarang laki-laki kawin dengan janda ayah kandungnya.

3) QS. An-Nisa: 23 menyebutkan macam-macam perempuan yang haram dikawini laki-laki karena hubungan darah (nasabah), sesusuan dan semenda. Ayat berikutnya (24) melarang laki-laki mengawini perempuan yang dalam ikatan perkawinan dengan laki-laki lain.

4) QS. An-Nur: mengajarkan bahwa tidak pantas laki-laki mukmin kawin dengan perempuan penzina, demikian pula sebaliknya, perempuan mukmin kawin dengan laki-laki penzina.

5) QS. Al-Baqarah: 221 melarang laki-laki mukmin mengawini perempuan musyrikah, demikian pula sebaliknya; perempuan mukminah kawin dengan laki-laki musyrik.

6) QS.Al-Ma’idah: 5 membolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab (yahudi dan nasrani).

7) QS. Al-Mumtahana: 10 mengajarkan bahwa perempuan muslim tidak halal kawin dengan laki-laki (non muslim).91

90 Ibid.

(27)

C. Sikap Pengadilan Agama terhadap Nikah Sirri

Dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang mengenai Peradilan Agama, Nomor 7 Tahun 1989, pada tanggal 3 April 1990 telah di keluarkan SEMA (Surat

Edaran Mahkamah Agung) Nomor 2 Tahun 1990 Nomor

MA/KUMDIL/1973/IV/1990.92 yaitu mengatur ketentuan yang menjelaskan mengenai apa saja yang termasuk dalam Kewenangan Peradilan Agama dan apa yang masih harus tunduk kepada Pengadilan Negeri Umum (Peradilan Umum).

Tugas wewenang Peradilan Agama dalam pasal 49 dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 telah ditentukan bahwa Peradilan Agama mempunyai tugas wewenang untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara tingkat pertama antara “orang-orang yang beragama Islam”, dibidang93:

(a) Perkawinan;

(b) Warisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan “Hukum Islam”, (c) Waqaf dan Syadaqah

Disini ditekankan atas kritera yang menentukan yaitu “orang-orang yang Beragama Islam”. Jadi Suami dan istri ini harus memeluk agama Islam.

Untuk mendaftarkan sidang perceraian Pengadilan Agama harus memenuhi dan melengkapi syarat administrasi sebagai berikut:

1. Mengisi formulir dan membuat permohonan,

92 SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 2 tahun 1990 Nomor MA/KUMDIL/1973/IV/1990.

(28)

2. Melampirkan Foto Copy buku Nikah,

3. Foto copy KTP

4. dan panjar biaya perkara.

Jika melihat kepada persyaratan pengajuan sidang perceraian di Pengadilan Agama harus melampirkan foto copy buku nikah, sementara perkawinan sirri yang tidak dicatatkan jelas tidak memiliki buku nikah sebagai bukti telah berlangsung pernikahan diantara mereka, dan sebagai bukti ada hubungan perkawinan diantara mereka, maka terhadap perkawinan sirri yang tidak dicatatkan dan tidak memiliki buku nikah maka syarat pengajuan sidang perceraiannya tidak lengkap syarat dan Pengadilan Agama menolak karena tidak lengkap syarat. Sebaliknya terhadap Perkawinan Sirri yang dicatatkan yang mempunyai bukti dapat disidang cerai. Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera Pengadilan Agama Kelas I A Medan94: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak ada mengatur tentang Nikah Sirrih, tetapi dapat disimpulkan syahnya Nikah apabila dicatat oleh pencatatan sipil atau oleh pejabat yang berwenang.

Sikap Pengadilan Agama jika ada perkawinan dengan dasar perkawinan sirri minta disidangkan di PA, Sebagaimana hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera Pengadilan Agama Kelas I A Medan Perkawinan yang tidak memiliki buku nikah tidak dapat di proses untuk sidang cerai kecuali memohonkan kepada

94 Hasil wawancara dengan Bapak Hilman Panitera pada Pengadilan Agama Klas 1A Medan, pada hari Senin, tanggal 24 Oktober 2011, Pukul 13.00 WIB.

(29)

Pengadilan Agama Isbat Nikah yaitu mohon dikeluarkan penetapan Pengadilan Agama terhadap pernikahannya, tetapi Isbat/pengesahan hanya dibolehkan untuk perkawinan yang belum dicatat dibawah tahun 1974 jika perkawinan tersebut dilangsungkan di atas tahun 1974 Isbatnya hanya boleh dikeluarkan untuk keperluan Sidang percerian agar dapat memperoleh harta gono-gini status anak, Taspen, dan lain-lain.

Referensi

Dokumen terkait

Pada variabel kualitas informasi diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,160 dimana signifikansi yang diperoleh dari t-uji lebih besar dari nilai signifikansi yang di tentukan

Rencana Kerja yang disingkat Renja mempunyai fungsi penting dalam sistem perencanaan daerah, hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004

Penelitian ini membahas tentang perkuatan lentur balok beton bertulang menggunakan GFRP (glass fiber reinforced polymer) dan Wiremesh. Balok yang digunakan mempunyai dimensi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Tingkat kesegaran jasmani siswa SMA Negeri 1 Sendana Kabupaten Majene diketahui terdapat 26 orang siswa memiliki tingkat

Then, on your answer sheet, find the number of the question and fill in the space that corresponds to the letter of the answer you have chosen.. Look at the

Memandangkan kajian dalam negeri menggambarkan wujudnya anziati dan kemurungan dalam kalangan ibu bapa namun demikian ianya tidak melibatkan berkaitan anak-anak yang

Uji ANOVA dari masing-masing kelompok uji baik aktivitas dan kapasitas fagositosis dari variasi konsentrasi logaritma yang diberikan 0,1 – 1000 µg maupun terhadap kontrol (-)

Komunikasi ini menggunakan karya audio visual berupa motion grafis karena motion grafis merupakan penggabungan dari elemen-elemen visual yang bergerak. Dalam