• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berarti menitikkan malam dengan canting, sehingga membentuk corak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. berarti menitikkan malam dengan canting, sehingga membentuk corak"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

9 A. Batik

Batik dalam bahasa Jawa berasal dari kata “tik”, mempunyai pengertian sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan yang halus, lembut, kecil dan mengandung unsur keindahan. Secara etimologis berarti menitikkan malam dengan canting, sehingga membentuk corak yang terdiri atas susunan titik dan garis. Batik sebagai kata benda merupakan hasil penggambaran corak di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat gambar dan malam sebagai zat perintang (Anas, 1997 : 14).

Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional, beragam hias pola batik tertentu, yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam atau lilin batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang1 yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik (Doellah, 2002 : 10).

Pengertian batik menurut (Sewan Susanto : 1980:5) ,merupakan teknik pembuatan lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan

1 Teknik celup mengacu pada pewarnaan sedangkan rintang merupakan proses menahan warna

(2)

menggunakan alat yang disebut canting, sedangkan pekerjaan melukis atau menggambar pada kain disebut mbatik. Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian batik adalah sehelai kain yang dibuat dengan teknik celup rintang di atas permukaan kain menggunakan canting dan lilin sebagai bahan dasarnya.

Pada batik terdapat ragam hias, yaitu hias-hiasan yang disusun sedemikian rupa berbentuk satu kesatuan rancangan yang berpola. Ragam hias batik memiliki variasi bentuk yang beragam. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan kain batik seperti letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan sosial, gaya hidup masyarakat serta lingkungan alam setempat (Anas, 1997: 41-42).

Ragam hias terdiri dari pola dan motif. Motif merupakan kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan (Susanto, 1980 : 212). Menurut unsur-unsurnya, motif batik dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu ornamen pola batik dan isen pola batik. Ornamen pola batik dibedakan lagi menjadi ornamen utama dan ornamen pengisi bidang (Sarwono,2010 : 14).

Ornamen utama merupakan suatu ragam hias yang menentukan dan memiliki arti dalam pola batik, sehingga susunan ornamen – ornamen itu dalam suatu motif batik membuat jiwa atau arti yang pokok pada motif batik tersebut. Sedangkan ornamen tambahan tidak mempunyai arti dalam pembentukan motif serta berfungsi sebagai pengisi bidang. Isen motif batik juga berfungsi sebagai ornamen dari

(3)

pola batik, baik di dalam ornamen utama maupun ornamen tambahan (Sarwono,2010 : 14).

Pola batik merupakan suatu kesatuan motif batik dalam sebuah kain (mori) dengan ukuran sesuai fungsinya, misalnya ukuran kain untuk dodot berbeda dengan kain untuk ukuran sarung, nyamping, udeng dan lainnya. Ukuran pola terbagi dalam dua macam, yang pertama pola yang panjangnya sesuai lebar kain. Kedua, pola yang panjangnya diukur dengan sistem sepertiga lebar kain (mori) atau sepertiga panjang pola pertama. Jika pola pertama ½ kacu, maka ukuran pola kedua menjadi 1/6 kacu, yang dimaksud pola ½ , ¼ dan seterusnya, ialah ukuran lebar pola atau ukuran lebar dari jenis-jenis kain mori. Tetapi pola satu dan dua sering tidak selalu tetap, karena ukuran lebar dari jenis-jenis kain (mori) yang menjadi dasar tidak sama (Sarwono, 2010 : 16).

Ragam hias umumnya dipengaruhi dan berkaitan erat dengan faktor-faktor sebagai berikut : (1) Letak geografis daerah pembuat batik yang bersangkutan, (2) Sifat dan tata penghidupan daerah yang bersangkutan, (3) Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah yang bersangkutan, (4) Keadaan alam sekitarnya, termasuk flora dan fauna, (5) Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan (Nian S, 1990 : 1).

Menurut perkembangannya, batik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu batik klasik (batik keraton) dan batik kontemporer. Batik kontemporer adalah batik yang sudah mengalami pengembangan atau

(4)

inovasi baru. Batik klasik adalah batik tradisi berasal dari warisan leluhur. Disamping itu, batik klasik memiliki nilai estetik yang tinggi dan terdapat pesan moral di dalamnya. (Doellah, 2002 : 55).

1. Batik klasik

Batik klasik adalah batik yang memiliki pakem atau batasan-batasan tertentu pada ornamen maupun warnanya (Kusrianto, 2013: 311). Pola batik Klasik adalah keseluruhan motif yang dibatikkan pada sehelai kain mori, pada dasarnya sesuai selera dan maksud hati (Siswomiharjo, 2011: 4).

Keunikan pada pola batik Klasik antara lain (Siswomiharjo, 2011: 4-5):

a. Motif-motif merupakan lambang, mengarah pada tujuan yang baik.

b. Motif-motif mengandung pesan ajaran hidup, do’a, keselamatan dan penolak bala. Pencipta selalu memasukkan nilai-nilai spiritual dalam penciptaan pola.

c. Pola-pola jenis tersebut diberi nama oleh penciptanya ,nama pola juga penuh arti.

Penggolongan pola batik Klasik (Siswomiharjo, 2011 : 10-12) :

a. Golongan Geometris atau bentuk-bentuk ilmu ukur dimulai dari titik , menjadi garis, lingkaran , segitiga dan sebagainya. Susunannya pun memperlihatkan garis-garis vertical, horizontal dan diagonal. Contoh : Parang, Ceplok, Tirto Tedjo.

(5)

b. Golongan Non Geometris berupa flora, fauna, dan sayap dalam berbagai bentuk dan benda alam. Contoh : Kakrasana.

Pola batik klasik tergolong masih sangat sederhana, karena pola yang dihasilkan pada masa itu hanya terdiri dari garis lurus, bentuk segi tiga, dan bentuk segi empat. Dikatakan klasik karena motif tersebut sudah mengalami perkembangan dan penyempurnaan dalam kurun waktu yang relatif panjang, sehingga diakui keberadaannya dengan mempunyai ciri khas yang sudah baku.

Motif masih sangat kaku dan bentuk garis yang belum sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat dan bahan yang digunakan waktu itu bukan dari bahan malam seperti sekarang, tetapi masih menggunakan kanji ketan. Alat untuk menorehkan kanji masih terbuat dari bambu. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa proses dan motif batik pada masa itu masih sangat sederhana. Warna yang dibuat juga masih sangat minim, yaitu warna biru (wedelan), dan warna coklat atau soga (Utara, Kuwat, 1979: 77).

2. Batik tradisi

Batik Tradisi adalah batik yang dibuat berdasarkan adat istiadat secara turun temurun. Kain batik pada masa lampau mempunyai arti dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya menandai kejadian-kejadian penting dalam proses hidup manusia, misalnya digunakan pada proses mitoni (usia kehamilan tujuh bulan), persalinan, khitanan, pernikahan dan lain-lain. Disamping itu masyarakat tempo dulu juga telah mengganggap bahwa pemakaian jenis kain tertentu dapat

(6)

merupakan lambang atau tingkat sosial bagi seseorang (Kurniadi, 1996 : 101)

Dalam segi ragam hias batik tradisional umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Kurniadi, 1996 :100).

a) Sederhana dalam tata letak dan corak pewarnaan. b) Terbatas lingkup fungsinya.

c) Secara struktural terbentuk oleh teknologi dan bahan baku sederhana dalam arti tinggi keterlibatan fisik si pembuatnya dan tergantung alam lingkungan daerah produksi.

Batik tradisional mempunyai motif-motif dengan makna simbolik yang tinggi, terkait dengan makna yang terkandung di dalamnya, sehingga terdapat motif-motif yang hanya dipergunakan untuk kelengkapan upacara-upacara tertentu (motif larangan). Motif larangan untuk daerah Kasunanan Surakarta, misalnya motif yang mengandung sawat, parang rusak, udanliris dan motif cemukiran (Elliot, 1984 : 68 ).

3. Batik kontemporer

Batik Kontemporer adalah modifikasi dari motif batik yang telah ada, seperti gabungan antara motif Parang dan Klithik atau improvisasi dari motif Sekar Jagad. Desain dan warna tidak terikat pada pakem tertentu menyebabkan pengerjaannya relatif mudah dan dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Motif tidak serumit batik klasik. (Musman, Ambar, 2011 : 52).

(7)

Berdasarkan tekniknya, batik kontemporer merupakan kain batik dengan pemilihan bahan yang tidak terbatas pada kain katun, poliester dan sutra namun sampai pada bahan-bahan yang dibuat dengan teknologi tinggi seperti kevlar, karet bahkan batuan mineral (Komarudin, 2011 : 9)

B. Pola Batik Tirto Tedjo

Pola ini memiliki bentuk yang berbeda dari pola batik lainnya, yaitu berupa garis-garis datar, terdiri dari garis diagonal pendek yang saling bertemu.( Siswomiharjo, 2011 : 29).Pada pola Tirto Tedjo, garis diagonal yang saling bertemu tersebut mendiskripsikan gelombang air.

Gambar 1 Pola Tirto Tedjo

Sumber : Oetari Siswomiharjo (2011)

Menurut Oetari Siswomiharjo (2011:71) Tirto berarti air dan

Tedjo berarti cahaya atau sinar, sehingga Tirto Tedjo berarti pelangi.

(8)

Jawa, Tirta : air, Tedjo : pelangi. Tirta Tedjo berarti pemandangan yang indah karena pemantulan air yang mengombak (Hamzuri, 1981 : 51).

Dengan demikian pola ini menggambarkan kesuburan, karena dimana ada pelangi, pasti di dekatnya terdapat sumber mata air. Ada pula yang berpendapat bahwa pola ini mempunyai gambaran pasang surutnya perjalanan hidup manusia. Di antara yang berpendapat demikian adalah seorang sepupu Nayana Ismangun Kusumo. Pada waktu melangsungkan upacara pernikahan dengan Kuseto Sutono pada tahun 1962, Kedua pengantin menggunakan pola Tirto Tedjo dengan harapan dapat hidup rukun dan bahagia (Siswomiharjo, 2011 : 71).

Gambar 2

Foto pernikahan Kuseto Sutono dengan Nayana Ismangoen Koesoemo di Surabaya pada tahun 1962

(9)

Gambar 3 : Tirto Tedjo Sumber : Hamzuri (1981)

C. Rupa

1. Unsur Rupa

Unsur-unsur rupa terdiri dari beberapa bagian, yaitu garis, arah, bidang, ukuran, tekstur, nada, khroma dan warna (Irawan, Priscilla , 2002 : 11-30) .

a. Garis

Garis adalah suatu titik yang diperluas menjadi sesuatu yang mempunyai panjang, kedudukan, dan arah. Bentuk garis terdiri dari tiga macam antara lain garis organis, garis jadian-geometris, dan garis batas.

1) Garis Organis : bentuk garis tersebut mengadopsi bentuk-bentuk garis yang terdapat di alam. Garis-garis organis memiliki bentuk yang bebas dan tidak terikat pada kaidah bentuk.

2) Garis Jadian-geometris : garis yang terbentuk melalui suatu proses dan alat. Apabila kedua ujungnya ditautkan, akan tercipta raut yang secara geometris membentuk sebuah bidang. Semenjak Zaman

(10)

Yunani, hanya ada tiga bentuk dasar utama geometris, yaitu bujur-sangkar, segi-tiga sama sisi dan lingkaran.

3) Garis batas : garis yang terbentuk karena ada dua bidang atau permukaan yang warna atau nada warnanya berbeda atau pertemuan dua permukaan yang berbeda kedudukannya.

b. Arah

Arah adalah unsur seni rupa yang menghubungkan bentuk raut dengan ruang (Ebdi, 2009 : 117). Sebuah garis juga memiliki arah. Di dalam suatu perancangan atau desain, arah berperan untuk memberikan kesan gerak dan irama. Tujuan utama dari arah gerak ini agar gerakan maupun irama yang terjadi tetap membentuk suatu kesatuan dan tidak keluar dari bidang gambar. Dalam mencapai sebuah komposisi gerak dan irama, terdapat dua macam penerapan, yaitu arah komplementer dan arah gelang-gelang.

1) Arah komplementer adalah arah yang berlawanan, misalnya ke atas berlawanan dengan ke bawah. Tujuan penerapannya dalam desain atau lukisan agar kesan gerak yang ditimbulkan oleh arah tidak keluar bidang gambar.

2) Arah gelang-gelang adalah beberapa arah yang bergerak seolah-olah memutar mengelilingi suatu pusat. Tujuannya agar kesan gerak tidak keluar dari bidang gambar sehingga seolah-olah gerak arah tersebut seperti gelang.

(11)

c. Bidang

Beberapa garis berbeda arah dan saling berpotongan akan membentuk bidang atau pola (pattern). Bidang bersifat dua dimensi atau bermatra dua karena, karena tidak memiliki kedalaman (depth) tetapi memiliki ukuran atau luasan.

d. Ukuran

Perbedaan jarak antar garis dan antar bidang membentuk sebuah ukuran. e. Tekstur

Tekstur adalah permukaan bahan yang penghayatannya dirasakan dengan indera peraba. Tekstur ini berpengaruh terhadap psikis dan para ahli desain. Tekstur mempunyai dua pengukur atau nilai, yaitu :

1) Kuantitatif (secara objektif) : licin, halus, kasar dan sebagainya. 2) Kualitatif (secara subjektif) : pengalaman psikis terhadap tekstur.

Tekstur juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tekstur raba dan tekstur lihat.

a) Tekstur raba (tekstur nyata) adalah apabila permukaan bidang atau benda sangat kasar, sehingga dapat dilihat oleh mata.

b) Tekstur lihat (tekstur semu) adalah tekstur yang keberadaanya hanya dwimatra dan merupakan hasil gambar.

f. Khroma

Khroma adalah deret intensitas dari warna. Dalam hal ini, khroma merupakan pigmen dari warna.

(12)

g. Nada

Nada adalah unsur gelap terang dalam karya seni rupa timbul karena adanya perbedaan intensitas cahaya yang jatuh pada permukaan benda. Perbedaan tersebut menyebabkan munculnya tingkat nada warna (value) yang berbeda. Bagian yang terkena cahaya akan lebih terang sedangkan bagian yang kurang terkena cahaya terlihat gelap.

h. Warna

Warna didefinisikan secara objektif atau fisik sebagai sifat cahaya yang dipancarkan atau secara subjektif (psikologis) sebagai bagian dari pengalaman indra penglihatan. Menurut kejadiannya warna terbagi menjadi warna addictive (warna dari cahaya atau spectrum, yaitu Red,

Green, Blue) dan Subractive (Cyan, Magenta, Yellow). (Ebdi, 2009 :

11-13).

Garis atau bidang dapat memiliki bermacam-macam warna. Susunan warna yang tepat dapat menciptakan suasana yang harmonis dan memikat mata, baik antara dua warna yang memiliki kemiripan (gradasi), ataupun dua warna yang kontras.

2. Prinsip Penataan Rupa

Suatu karya dapat dikatakan memiliki nilai seni jika saat dianalisis terdapat prinsip-prinsip dasar di dalamnya. Dengan demikian, prinsip-prinsip ini merupakan alat untuk menciptakan karya seni atau desain sekaligus dijadikan sebagai alat analisis suatu karya seni atau desain (Ebdi, 2009 : 147).

(13)

Prinsip penataan adalah hukum paduan atau perencanaan yang menentukan cara memadukan unsur rupa untuk mencapai efek tertentu yang diinginkan dan bernilai estetis. Prinsip-prinsip rupa antara lain (Irawan, Priscilla , 2002 : 33-49) :

a. Ulang adalah selisih antara dua bentuk yang letaknya di dalam ruang.

b. Mirip : semua unsur rupa yang paduan satu sama lainnya saling mirip dan dengan interval sedang akan menimbulkan laras.

c. Kontras : sebuah dinamika dari semua eksistensi.

d. Kesatuan (Unity) : kemanunggalan menjadi satu unit utuh. Karya seni atau desain harus tampak menyatu menjadi satu keutuhan. Seluruh bagian atau elemen harus saling mendukung, tidak ada bagian yang mengganggu. Prinsipnya adalah adanya saling hubungan antar unsur yang disusun (Ebdi, 2009 : 215).

e. Keutuhan : tujuan akhir yang harus dicapai dalam penciptaan suatu komposisi dan desain, agar hasil karya tersebut dapat dikatakan baik dan menarik untuk dilihat. Keutuhan adalah kohesi dan konsistensi yang merupakan inti pokok dari komposisi.

f. Gerak : susunan unsur-unsur rupa yang teratur pada suatu komposisi dan mempunyai tujuan tertentu.

g. Irama : gerak teratur (organized movement) dari unsur-unsur rupa yang mempunyai interval yang berproporsi dan terukur.

h. Prinsip irama sesungguhnya merupakan hukum “hubungan perulangan” unsur rupa. Ada 3 kemungkinan hubungan

(14)

pengulangan unsur seni rupa yang dapat membentuk jenis irama tertentu (Ebdi, 2009 : 175) :

1) Repetisi : hubungan pengulangan dengan kesamaan ekstrem pada semua unsur-unsur atau elemen seni (rupa) yang digunakan, sehingga didapatkan hasil yang monoton.

2) Transisi : hubungan pengulangan dengan perubahan-perubahan dekat atau peralihan – peralihan dekat pada satu atau beberapa unsur seni rupa yang digunakan, sehingga terkesan harmonis. Transisi berarti keajegan pengulangan dengan perubahan-perubahan.

3) Oposisi : hubungan pengulangan dengan ekstrem perbedaan pada satu atau beberapa unsur atau elemen seni rupa yang digunakan dan terkesan kontras.

i. Ragam merupakan variasi dari sebuah garis, bidang dan lain-lain. j. Proporsi adalah perbandingan satuan ukuran yang dinyatakan

dengan bilangan dan simbol.

k. Aksentuasi atau aksen adalah sentuhan pada suatu komposisi yang kehadirannya seolah-olah dominan, proporsional, dan terukur dalam komposisi tersebut. Tujuan : menarik perhatian dan menghilangkan kesan monoton.

l. Dominan adalah penonjolan dalam suatu komposisi. Dominasi disebut juga keunggulan, keistimewaan, keunikan, keganjilan dan penyimpangan.

(15)

m. Keseimbangan adalah sama berat dari kekuatan yang bertentangan.

n. Keseimbangan formal adalah keseimbangan antara dua pihak yang berlawanan, dari satu atau unsur yang sama. Kebanyakan bersifat simetris.

o. Keseimbangan informal adalah keseimbangan antara dua atau lebih unsur yang tidak sama (kontras) pada sebuah komposisi. p. Keseimbangan radial adalah susunan dari semua bentuk atau

unsur desain memusat pada suatu titik pusat.

q. Kesederhanaan : tidak lebih dan tidak kurang, jika ditambah terasa menjadi rumit dan jika dikurangi terasa ada yang hilang. Sederhana tidak berarti sedikit tetapi sesuatu yang tepat. (Ebdi, 2009 : 263)

D. Batik di Surakarta

1. Maklumat Solo

Para pembatik di Keraton Surakarta menghasilkan karya-karya motif batik yang diangkat menjadi hak milik Keraton. Sri Susuhan Paku Buwana III lalu membuat peraturan tata tertib penggunaan motif-motif batik di kalangan keraton. Tata tertib tersebut bertujuan untuk menanamkan kesadaran pada masyarakatnya akan kandungan nilai budaya motif batik. Beberapa motif tertentu dilarang untuk digunakan di luar keluarga Keraton (Kusrianto, 2013 : 39).

(16)

Larangan tersebut dikenal dengan istilah “Maklumat Solo”. Di antaranya isi maklumat menyebutkan :

“…. Apa dene kang arupa jejarit kang kalebu laranganningsun, batik Sawat, batik Parang lan batik Cemukiran kang calacap modang, bangun tulak, lengateleng lan tumpal, apa dene batik Cemukiran kang calacap lung-lungan,

kang sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan

sentananingsun, dene kawulaningsun padha wedia” (Kusrianto,

2013 : 39). Yang artinya :

“… Ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan saya, batik Sawat, batik Parang dan batik Cemukiran yang berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng serta berwujud tumpal dan juga batik Cemukiran yang berbentuk ujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya izinkan memakai adalah Patih dan para Kerabat saya. Sedangkan para kawula tidak diperkenankan” (Kusrianto, 2013 : 39).

Dari kebijakan inilah batik gagrak2 Surakarta mulai jadi tatanan berbusana di dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di bumi Mataram Surakarta Hadiningrat atau yang sekarang popular dengan sebutan kota Solo. (Kusrianto, 2013 : 39).

2. Berkembangnya batik gagrak Surakarta

Pada pemerintahan Paku Buwana IV pembuatan batik semakin berkembang. Setiap golongan dalam keraton dibuatkan sendiri-sendiri. Selanjutnya berkembang semakin pesat saat di bawah pemerintahan Paku Buwono X yang memerintah pada periode 1893-1939.

2

Gagrak adalah istilah dalam bahasa Jawa yang sulit dicari dengan tepat padanannya dalam bahasa Indonesia. Kata itu sama dengan “versi”, “model”, “ala” maupun “cara khas”. Digunakan pada istikah misalnya Wayang gagarak Solo, upacara pengantin gagrak Yogya, juga batik gagrak Surakarta dan sebagainya.

(17)

Selain nama motif yang telah disebutkan, berikut nama-nama motif batik dan peruntukkannya secara protokoler saat dalam pasowanan di Keraton Surakarta (Kusrianto, 2013 : 40 ).

3. Motif-motif Batik sesuai Protokoler Keraton Surakarta antara lain (Kusrianto, 2013 : 41-42 ):

a) Batik Parang Rusak : motif ini dipakai oleh bangsawan yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (KGPAA), Pangeran Putra, Pangeran Sentana dan Sentana dalem yang berpangkat bupati riya nginggil yang bergelar Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH).

b) Batik Udan Liris : dipakai oleh pepatih dalem.

c) Batik Rejeng : dikenakan para komandan prajurit (setingkat Perwira Tinggi) dan duta Keraton.

d) Batik Tambal Kanoman : batikan kampuh atau Dodotan para bupati dan dujadikan seragam bupati Anom dan juru tulis kantor lingkungan Kabupaten.

e) Batik Semen Latar Putih : diapakai oleh Abdidalem berpangkat Bupati, Bupati Anom dalam dan luar.

f) Batik Padas Gempal : diapakai para Abdidalem yang berpangkat Panewu atau Mantri dari golongan sorogeni (prajurit soro geni cirinya berseragam merah) kebawah.

g) Batik Medhangan : dipakai oleh para Panewu dan mantra ke bawah dari golongan Sangkragnyana.

(18)

h) Batik Kumitir : digunakan oleh para Panewu tau Mantri ke bawah dari golongan kanoman.

i) Batik Tambal Miring : diapakai oleh Abdidalem yang berpangkat Panewu atau Mantri dari golongan Juru Tulis. j) Batik Jamblang : dipakai oleh para Panewu, Mantri ke bawah

dari golongan kadipaten Anom.

k) Batik ayam Puger : dipakai oleh para Abdidalem yang berpangkat Panewu/ Mantri ke bawah dari golongan Yogeswara atau suranata atau Abdidalem ulama.

l) Batik Slobog : digunakan oleh para Abdidalem panewu/mantra ke bawah dari golongan niyaga (penabuh gamelan).

m) Batik wora-wari rumpuk : digunakan oleh para abdidalem panewu dari golongan Pangrehpraja atau yang membawahi wilayah.

n) Batik krambil secukil : para abdidalem Panewu/mantra ke bawah, di bawah perintah kepatihan.

E. Estetika Timur

Dalam Kajian geo-budaya, Indonesia kerap dikategorikan sebagai negara Timur bersama dengan sebagian wilayah Asia lainnya. Dunia berpendapat bahwa estetika Timur cenderung menekankan pada aspek intuisi daripada akal. Pada msyarakat Timur pusat kepribadian seseorang bukanlah pada daya intelektualnya, melainkan ada dalam hati, yang mempersatukan akal budi, intuisi, kecerdasan, dan perasaan

(19)

Masyarakat Timur menghayati hidup dalam apa adanya, bukan semata akali. Hati atau rasa dinilai sebagai pengganti logika kaku yang serba terbatas menghadapi kebenaran hidup. Manusia Timur memiliki suatu bentuk pemikiran berdasarkan intuisi, yang akrab, hangat, personal dan biasanya memiliki kedekatan dengan realitas yang hakiki. (Sachari, 2002 : 2)

Di belahan Timur, terutama Asia, filsafat Budhisme telah terbangun menjadi kedayaan tersendiri yang menekankan bahwa manusia telah mengalami pencarahan di luar pendekatan rasional. Manusia mengalami proses pengosongan, penghampaan, peniadaan, untuk mencapai “kesadaran ontologis yang setinggi-tingginya”, “melihat ke dalam hakikat benda-benda”, dan juga untuk menyadari diri yang benar”. Hanya mereka yang lebih tinggi, dan selanjutnya mampu mencapai kebebasan. (Sachari, 2002 : 10).

Di dunia Timur, aspek “rasa”, luar akal, misteri, teka-teki, kekacauan, ketidaklogisan, fantasi dan sebagainya, diterima sebagai suatu dunia yang berada “di atas” yang bersifat rasional. Masyarakat Timur adalah masyarakat yang hidup dalam kebudayaan agraris yang senantiasa terbiasa dengan bahasa diam, tenang, langit, musim, tanah, awan, dan bulan. Umumnya mereka mengalami betapa alam menunjukkan diri dalam “diam”, tetapi mengesankan. Dalam kesederhanaan hidup, masyarakat Timur lebih melatih dengan perasaan daripada pikiran. Perasaan lebih sulit diungkapkan lewat kata-kata, sehingga dihindari tingkah banyak berbicara, tetapi lebih banyak

(20)

“diam”, lebih menggunakan tanda, sikap, dan komunikasi. (Sachari, 2002 : 10).

Berbeda dengan perkembangan estetika Barat. Perkembangan estetika di negara-negara timur tampaknya sudah berkembang mulai zaman primitif hingga munculnya berbagai agama besar sampai era modern sekarang ini. Estetika pada dasarnya sangat dinamis dengan filosofi dan pemikiran baru, tetapi di timur justru statis dan dogmatis, sehingga sangat lamban dan bahkan dikatakan tidak berkembang. Meskipun demikian sulit mengatakan keunggulan masing-masing pihak. Hal tersebut karena pijakan atau latar belakang budaya masing-masing yang berbeda. Di Cina, Tao lah yang dianggap sumber dari segala sumber yang ada. Manusia dianggap sempurna apabila hidupnya diterangi Tao. Bagi bangsa Cina Tao adalah kemutlakan ; sesuatu yang memberi keberadaan, kehidupan, dan kedamaian. Kong Hu cu seorang filsuf Cina yang dianggap Nabi, mengutarakan sebuah pertanyaan tentang bagaimana seseorang yang rusak dan bejad hidupnya mampu membuat barang-barang yang Indah? Padahal barang-barang yang indah adalah penjelmaan dari Tao. Oleh karena itu tugas seniman adalah menangkap Tao dan mengungkapkannya dalam bentuk karya seni. (Dharsono ,2004: 158).

F. Pandangan Agus Sachari Mengenai Estetika

Menurut Agus Sachari, yaitu Estetika tidak lagi menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, melainkan telah bergeser

(21)

kearah sebuah wacana dan fenomena. Estetika bukan hanya simbolisasi dan makna, melainkan juga daya. Berikut penjelasan tentang makna, simbol dan daya :

a. Makna

Dalam memberikan pemaknaan, seorang penafsir terikat oleh aspek tematis, pertama, tidak ada titik nol yang absolut sebagai awal menafsirkan makna; kedua, tidak ada pandangan yang bersifat total untuk memahami suatu objek dalam sekejap; ketiga, tidak ada penafsiran secara total sehingga tidak ada pula situasi yang mutlak membatasi; keempat, peluang memadukan antar fenomena, karena fenomena yang diamati manusia pada hakikatnya tidak bersifat tertutup.(Sachari, 2007 : 40).

Pada lingkup kesejarahan, suatu objek kebudayaan dinilai tidak memiliki makna dalam percaturan peradaban, jika tidak terjadi proses pemaknaan dalam perjalanan transformasinya. Capra menyatakan bahwa kebudayaan dunia yang besar, akhirnya lenyap ketika tidak terjadi proses pemaknaan lebih lanjut oleh masyarakatnya. Kebudayaan-kebudayaan itu kehilangan daya adaptasinya menghadapi dinamika peradaban yang kompleks dan kuat. Hal tersebut dapat diamati pada pola kebangkitan dan keruntuhan peradaban besar di sekitar Laut Tengah. Di antara peradaban penting itu terdapat kebudayaan yang lenyap, tak berbekas, karena generasi berikutnya tak mampu memberikan

(22)

pemaknaan, seperti terjadi pada kebudayaan Mesir, Sumeria, Asiria, Babilonia dan Persia.(Sachari, 2007 : 40).

Pemaknaan suatu objek budaya amatlah penting, baik secara subyektif maupun secara lebih luas. Tanpa upaya memberi makna pada objek-objek budaya yang dihasilkan oleh satu generasi sebelumnya, maka karya-karya yang dihasilkan akan hilang dalam peradaban umat manusia di kemudian hari. (Sachari, 2007 : 40). b. Simbol

Dalam wacana dunia kesenirupaan dan budaya benda, pembicaraan estetika yang penting adalah mengupas simbolisme. Hal itu karena manusia bukan saja sebagai makhluk pembuat alat, melainkan juga sebagai makhluk pembuat simbol melalui bahasa-bahasa visual (Sachari, 2002 : 14 ).

Pada kajian makna, proses simbolisasi suatu objek estetik menjadi penting karena makna secara tajam dapat diamati pada proses penyimbolan satu fenomena atau juga penyimbolan gagas estetik. Untuk itu, peranan Langer dalam memaparkan teori-teori simbol menjadi lebih penting (Sachari, 2002 : 18).

Simbol yang “diskursif” atau yang nalar dalam lingkup Neopositivisme, merupakan simbol logika modern untuk melakukan pelbagai analisa pengungkapan. Simbol-simbol ini secara jelas terlihat dalam konstruksi logika kebahasaan. Tiap simbol mewakili satu nama, sehingga deretan simbol akan tersusun menurutaturan sintaksis tertentu yang menghasilkan suatu gambaran mengenai satu

(23)

kenyataan tertentu. Simbol diskursif menyiratkan suatu struktur yang dibangun oleh pelbagai unsur teratur yang dapat dipahami maknanya. Tidak ditaatinya aturan yang menghubungkan unsur tersebut, menyebabkan tak adanya struktur yang jelas dan kaburnya makna simbol itu.Dalam suatu kalimat, tak ditaatinya hukum sintaksis akan menyebabkan kalimat itu kehilangan maknanya sehingga tak dapat dipahami. (Sachari, 2002 : 18).

Langer mempertanyakan kemungkinan suatu jenis simbol lain yang pemahannya tidak bergantung pada hukum yang mengatur perhubungan unsur-unsurnya, tetapi pada intuisi. Jenis simbol inilah yang disebutnya sebagai simbol “presentasional”. Simbol macam ini tidak berupa suatu konstruksi yang dapat diuraikan ke dalam unsur-unsurnya, tetapi satu kesatuan bulat dan utuh. Simbol tersebut dapat menjadi unsur dari suatu simbol “diskursif”. Sebagai unsur, simbol “presentasional” tidak dapat diuraikan lagi ke bagian lain yang lebih kecil. Simbol “presentasional” tidak perlu harus menjadi unsur saja, namun dapat berdiri sendiri sebagai simbol yang penuh, bukan sebagai suatu konstruksi, bukan pula suatu unsur dari suatu konstruksi atau susunan. Simbol semacam itulah yang terdapat dalam kreasi seni atau karya estetik. (Sachari, 2002 :18).

Langer berusaha memerumuskan sebuah teori seni yang dekat dengan hasil teori simbol. Simbol estetis bukan suatu struktur atau konstruksi, melainkan suatu kreasi yang utuh. Simbol tersebut memiliki makna tersendiri, tidak disusun dalam prinsip konstruktif.

(24)

Simbol estetik adalah satu dan utuh dalam menyampaikan pesan untuk diresapi dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai yang hendak dikomunikasikan (terdapat elastisitas yang luas terhadap peresapan pesan). (Sachari, 2002 : 19).

Dalam simbol terdapat suatu hubungan erat dan timbal balik antara simbol yang dipilih dengan benda yang disimbolkan. Keduanya mempunyai arti yang sama serta hubungan erat dengan kepercayaan. Perngertian simbol berasal dari bahasa Yunanai , yaitu “simbolos” berarti “ciri, tanda” sedangkan dalam Kamus Modern

Indonesia dapat diartikan “lambang: merupakan suatu hal yang

mengandung arti tertentu dan tersembunyi, seperti lampu merah sebagai tanda berhenti dan lain-lain (Zain, 1988 : 159).

c. Daya (Pemberdayaan)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata benda : daya adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan ; ikhtiar. Kemampuan mendatangkan hasil dan manfaat, efisien;tepat guna; sangkil

Dalam hal ini, “daya” berkaitan dengan pemberdayaan. Di negara berkembang, istilah tersebut identik dengan percaturan ekonomi untuk yang berupaya meningkatkan ekonomi rakyat kecil atau kelompok usaha yang tertinggal. Pada pemahaman yang luas, pemberdayaan memiliki keterkaitan dengan upaya untuk mengimbangi kedayaan yang mengancam atau mendominasi suatu

(25)

kegiatan yang mengalami hambatan untuk berkembang. (Sachari, 2002 : 84).

Robert Dahl berpendapat bahwa pemberdayaan merupakan kedayaan yang mampu mempengaruhi pelaku lain untuk bertindak tidak sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, pemberdayaan kerap dinilai sebagai usaha memberi “daya” kepada pihak lain untuk bertindak. Pemberdayaan kerap dilihat sebagai persamaan tindakan untuk memperoleh kedayaan melakukan sesuatu. Meskipun demikian, telah disadari terdapat kontradiksi dalam pemberdayaan individu, yaitu terjadinya pembatasan ruang gerak individu karena adanya kecenderungan masyarakat menguasai orang lain sebagai hasil hubungan antarpersonal atau pula struktur-struktur di luar kontrol mereka sendiri. (Sachari, 2002 : 90).

Dalam lingkup pergeseran nilai, pemberdayaan merupakan upaya untuk mengubah dengan cara-cara yang khusus, baik didasarkan kepada bakat sesorang, kedayaan pribadi, maupun kedayaan cinta. Daya disini berpengaruh tehadap simbol dan makna. Dalam proses perwujudan dari makna ke simbol diperlukan daya agar makna dapat dikomunikasikan dengan baik. Begitu juga ketika mencoba menafsirkan simbol-simbol untuk mengetahui makna (Sachari, 2002 : 91).

(26)

G. Kerangka Pikir

Dalam pola Tirto Tedjo terdapat makna dan simbol. Keduanya tidak berdiri sendiri namun diciptakan dengan daya. Daya tersebut berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik. Dalam proses perwujudan dari makna ke simbol diperlukan daya agar makna dapat dikomunikasikan dengan baik. Begitu juga ketika mencoba menafsirkan simbol-simbol untuk mengetahui makna.

Kerangka pikir tersebut digambarkan pada diagram berikut :

Gambar 4 Bagan Kerangka Pikir

Lingkungan masyarakat Laweyan pada saat itu juga memberikan pengaruh terhadap terciptanya motif batik Tirto Tedjo.

(27)

Kultur masyarakat pada abad ke- 20, yaitu pemberian gelar “Mbok

Mase” pada para pengusaha kaya di kampung batik Laweyan

memberikan pemahaman lain pada penciptaan batik Tirto Tedjo. Selain itu, adanya motif larangan yang hanya boleh diproduksi oleh pihak keraton membuat pengusaha Laweyan berusaha membuat motif-motif batik tertentu.

Pola batik Tirto Tedjo saat ini mulai dimodifikasi dengan pola batik lainnya dan juga dikembangkan dari segi warna maupun bentuknya. Ada pola batik yang dipadukan dengan pola batik lainnya, seperti batik klasik. Dalam penciptaannya, batik klasik berkaitan erat dengan lingkungan budaya keraton.

Pengubahan pada motif memberikan dampak terhadap segi simbol dan makna. Dari segi simbol akan muncul pola batik Tirto Tedjo modifikasi sedangkan dalam hal makna bisa saling bersinggungan atau memperkuat makna satu sama lain. Selain itu, pola batik Tirto Tedjo modifikasi muncul dari adanya daya penyadaran, daya pembelajaran serta daya pesona. Pola batik Tirto Tedjo memiliki potensi untuk dimdifikasi oleh pengusaha Kampung Batik Laweyan.

Usaha masyarakat dalam pelestarian motif batik ditempuh dengan berbagai cara dalam memodikasi motif batik yang sudah ada. Pertama, modifikasi berupa pengubahan pada ukuran motif, bentuk motif, komposisi hingga warna. Modifikasi ini bisa juga mengambil bentuk motif kemudian dilakukan penambahan maupun pengurangan. Kedua, modifikasi berupa kombinasi dengan motif batik lainnya.

Gambar

Gambar 3 : Tirto Tedjo  Sumber : Hamzuri (1981)
Gambar 4  Bagan Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

 Bebas membangun aplikasi kustom termasuk untuk Aplikasi Pendidikan (Elearning), Aplikasi Kesehatan (eKlinik) dan semua aplikasi Sistem informasi lainnya.  Data Aman, Harddisk

Kalimat yang tepat untuk melengkapi paragraf tersebut adalah .... Pelan-pelan air mata meluncur

Di kota padat seperti Tokyo dimana suami-istri benar-benar harus bekerja keras untuk membiayai hidup, bahkan untuk mempunyai anak saja tidak ada waktu, mengurus

Administration of a single massive oral dose vitamin A has been recon~nlended for the pre- vention of vitamin A deficiency in pre-school children.. (Swaminathan,

The funds available for the running of these health services conic fiom several sources: public funds: nattonal budget (development budget or DIP and routine

AKTIVITAS PENYEMPURNAAN IDE PENGAMATAN LINGKUNGAN Kebijakan Publik Makro Kompetisi Riset Pasar  ANALISA PASAR LOKAL Demografi Ekonomi Kultur Sosial ANALISA PERSAINGAN

Contoh sederhana ketika kita menggosok gigi yang dibiasakan sejak dini secara berulang, maka sekarang menjadi kebiasaan yang telah tertanam dalam alam bawah sadar

Pada penelitian sebelumnya seorang peneliti jepang bernama Akihiko Kondo (Akihiko kondo, et al, 2001) telah melakukan penelitian tentang sintesis biodiesel