• Tidak ada hasil yang ditemukan

BBWS Citanduy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BBWS Citanduy"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DAS CITANDUY

Gambaran Umum

DAS Citanduy merupakan DAS yang sebagian besar berada di Provinsi Jawa Barat dan sebagian kecil berada di Provinsi Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas. Secara geografis wilayah sungai Citanduy terletak pada posisi 1080 04’ hingga 1090 30’ Bujur Timur (BT) dan 70 03’ hingga 70 52’ Lintang Selatan (LS). Iklimnya dipengaruhi dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Temperatur DAS Citanduy berkisar antara 240C hingga 310C dengan curah hujan rata-rata 3.000 milimeter per tahun. Pada musim kemarau, DAS bagian hulu ini masih dapat mencapai curah hujan sekitar 200 – 300 milimeter per bulan, di mana wilayah Tasikmalaya dan Ciamis termasuk ke dalam wilayah DAS bagian hulu tersebut yang ternyata saat ini kondisinya masih termasuk kategori kritis akibat degradasi yang menurunkan kualitas lingkungan.

Gambar 1. Peta DAS Citanduy

DAS Citanduy merupakan salah satu DAS prioritas di Jawa. Prioritas DAS ini disebabkan oleh sedimentasi yang sangat besar pada bagian hilir Sungai Citanduy. DAS Citanduy terdiri dari 6 (enam) Sub, yaitu Sub DAS Citanduy Hulu,

(2)

Sub DAS Cijolang, Sub DAS Cikawung, Sub DAS Cimuntur, Sub DAS Ciseel, Sub DAS Citanduy Hulu dan Sub DAS Segara Anakan.

DAS Citanduy dibagi dalam 3 bagian yaitu DAS bagian hulu, tengah dan hilir.  DAS bagian hulu terdiri dari Sub DAS Citanduy Hulu, Sub DAS Cimuntur, Sub

DAS Cijolang. DAS bagian hulu berfungsi sebagai kawasan penyangga daerah tengah dan hilir. DAS bagian hulu dicirikan sebagai daerah dengan tutupan lahan pegunungan dengan variasi topografi dengan slope rata-rata 0,035 (curam), dan mempunyai curah hujan yang tinggi.

 DAS bagian tengah terdiri dari Sub DAS Ciseel dan Cikawung. DAS Citanduy bagian tengah memiliki panjang ± 60 km dengan topografi relatif landai dengan slope rata-rata 0,006 (sedang).

 DAS bagian hilir terdiri dari Sub DAS Segara Anakan dan sebagian Sub DAS Ciseel. DAS bagian hilir dicirikan dengan topografi landai dengan slope rata-rata 0,0002 (landai), dan curah hujan yang lebih rendah.

Karakteristik Lingkungan FIsik

Potensi sumberdaya air tidak lepas dari karakteristik lingkungan fisik yang terdiri dari jenis dan formasi batuan penyusun, relief atau topografi, jenis tanah serta pemanfaatan lahan. Masing-masing karakteristik lingkungan fisik akan mempengaruhi potensi sumberdaya air yang dapat terlihat dari kuantitas maupun kualitas air di tiap daerah. Berikut karakteristik lingkungan fisik pada DAS Citanduy.

Geologi

DAS Citanduy berada diantara dua sesar utama, yaitu sistem sesar Citanduy di sebelah selatan dan sistem sesar Baribis di sebelah utara. Arah sesar pada umumnya mengarah ke arah barat laut – tenggara dan timur – barat. Sesar arah barat laut – tenggara pada umumnya lebih panjang dari arah timur barat (BBWS Citanduy, 2008).

Perkembangan sistem pengaliran sungai di DAS Citanduy sangat dipengaruhi oleh pola retakan (joint parrern) yang terbentuk akibat aktivitas tektonik dengan pergeseran sesar-sesar Baribis dan sesar Citanduy. Daerah ini tergolong rawan gerakan tanah akibat dari kondisi geologi (genesis) yang berbatuan lemah

(3)

kembang-kerut (swelling shinking clays). Kondisi fisik tersebut merupakan keterbatasan karakter genesis dalam keperluan tata ruang untuk pengembangan wilayah. Jenis batuan penyusun berupa :

a) Perlapisan batu lempung dari Formasi Pemali, berusia miosen bawah sampai tengah.

b) Selang-seling perlapisan batu pasir, batulempung dan breksi dari Formasi Halang, dengan massa breksi yang cukup tebal berada di bagian bawah; berusia miosen tengah hingga Pliosen Bawah.

c) Breksi volkanik dari Formasi Cijolang berusia Pliosen, yang menutupi Formasi Pemali dan Formasi Halang secara tidak selaras.

d) Endapan volkanik Kuarter dari Gunung Sawal yang tidak selaras di atas semua formasi bawahnya.

e) Endapan aluvium yang terdiri dari lempung dan lanau. Adanya lapisan batuan aluvium disebabkan oleh pengendapan sedimen yang terbawa arus air setelah terjadi banjir. Formasi batuan ini menyebar di daerah lembah yang memiliki elevasi yang lebih rendah dengan kemiringan dasar sungai yang relatif kecil. Formasi Pemali dan Formasi Halang telah terlipat-lipat dan tersesarkan. Sesar Baribis adalah Sesar naik, kemudian pada Kala Pliosen-Pleistosen Sesar Citanduy bergeser mendatar (Simandjuntak & Surono, 1982). Wilayah ini berada di dalam pengaruh pergerakan Sesar Baribìs dan Sesar Citanduy yang sejak kala tersebut bergerak menganan (right lateral slip faults), sehingga blok wilayah di antara kedua sesar mengalarni dampak gaya-gaya kopel yang menyebabkan terbentuk retakan-retakan dan terbentuknya cekungancekungan depresi. Gejala tersebut díkenal sebagai mekanisme pull apart basin.

Zona Depresi Citanduy berada pada wilayah tektonik aktif, yaitu suatu wilayah yang dibatasi di selatan oleh Sistem Sesar Ciawi-Pangandaran dan batas utara oleh Sistem Sesar Baribis-Majenang. Zona depresi ini berarah barat laut-tenggara, dengan panjang lebih dari 200 km dan lebar lebih dari 50 km. Zona Depresi

(4)

merupakan zona yang relatif datar dan rendah yang terjadi karena merosok turun sehingga berelevasi lebih rendah dari wilayah sekitarnya. Zona depresi ini terbentang luas mulai dari dataran Banjar sampai ke Cilacap, berarah barat laut-tenggara sepanjang lebih dari 50 km dan lebar sekira 15 km, dibatasi sesar-sesar atau patahan-patahan besar berarah N290oE – N310oE.

Segara Anakan merupakan salah satu produk kegiatan tektonik yang berada di dalam zona depresi. Proses pembentukan wilayah perairan Segara Anakan terjadi karena berada pada bagian yang rendah di bawah muka laut, termasuk Rawa Lakbok yang dahulu juga memiliki kondisi ekosistem mangrove seperti Segara Anakan saat ini. Rawa Lakbok telah lama menjadi daratan sebagai pedataran aluvium, dengan pematang-pematangnya dan batuan dasarnya atau alasnya yang tersusun oleh batu pasir dari formasi tapak, berusia miosen atas – Pliosen (terdapat jejak pelawangan atau muara). Mirip dengan kondisi Segara Anakan sekarang dengan pematang dan batuan dasarnya berupa pugunungan-pegunungan selatan termasuk Nusakambangan (dengan pelawangannya) dari formasi jampang, formasi pamali, dan formasi pamutuan. Tiga formasi terakhir ini yang berusia jauh lebih tua oligo-miosen, adalah alas atau batuan dasar yang berada jauh di bawah formasi tapak tersebut di atas (Kastowo & Simanjuntak, 1979).

Jenis Tanah

Secara umum jenis tanah dominan yang terdapat di DAS Citanduy berupa latosol dengan bahan induk Tuff Vilkan yang sangat peka erosi. Jenis tanah ini mendominasi luasan Sub-DAS. Jenis tanah akan berbeda sejalan dengan relief atau topografi yang berbeda. Tanah pada lahan atas DAS Citanduy terdiri dari residu incesed yang terbentuk dari bahan vulkanis. Debu vulkanis dan debris dari hasil letusan Gunung Galunggung tercampur dengan tanah ini. Jenis tanahnya berupa kambisol, gleisol, latosol mediteran dan pedsolik merah kuning. Jenis tanah pada elevasi yang lebih tinggi adalah andosol, sedangkan pada elevasi yang lebih rendah berupa tanah latosol. Jenis tanah ini merupakan batuan induk yang selama ini tererosi dan terangkut oleh aliran sungai dan akhirnya terendapkan di Segara Anakan.

(5)

Hidrologi

Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalam bentuk hujan atau kabut. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:

a) Evaporasi/transpirasi

Air yang ada dalam satu kawasan kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.

b) Infiltrasi/ Perkolasi ke dalam tanah

Air bergerak ke dalam tanah melalui celah dan pori-pori tanah menuju muka airtanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.

c) Air Permukaan

Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut

Air permukaan, baik yang mengalir maupun yang tergenang di sungai, danau, waduk dan rawa maupun yang berada dibawah permukaan tanah akan terkumpul dan mengalir membentuk sungai dan berakhir ke laut. Proses perjalanan air di daratan itu terjadi dalam komponen-komponen siklus hidrologi yang membentuk sistem DAS.

(6)

Hubungan antara aliran ke dalam (In flow) dan aliran ke luar (out flow) di suatu daerah untuk suatu periode tertentu dari proses sirkulasi air di lapangan dapat diketahui dengan menggunakan persamaan neraca air. Neraca merupakan persamaan antara jumlah air yang diterima dalam satu sistem DAS dengan kehilangan air melalui proses evapotranspirasi maupun keluaran dari outlet DAS itu sendiri.

Data yang digunakan untuk mengetahui neraca air DAS Citanduy adalah data potensial evapotranspirasi dan curah hujan bulanan dan kapasitas simpanan airtanah. Output yang diperoleh adalah informasi mengenai simpanan airtanah, kelebihan air serta aliran langsung (run off). Parameter yang dihitung berdasarkan data curah hujan dan evapotranspirasi potensial. Bila berkurangya curah hujan terhadap evapotranspirasi potensial bernilai negatif maka akan terjadi pengurangan nilai kelembaban airtanah. kelebihan ai terjadi apabila curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi potensial melebihi kapasitas medan. Kelebihan air akan menjadi aliran permukaan dan aliran bawah permukaan serta infiltrasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rachmat (2007) mengenai ketersediaan airtanah di DAS Citanduy, diketahui bahwa harga water surplus tidak pernah bernilai negatif untuk periode Januari – Desember pada tahun 1993 dan 1998. Hal ini disebabkan karena curah hujan selalu lebih besar daripada evapotranspirasi potensial yang terjadi. Nilai water surplus terbesar terjadi pada pada bulan Februari sebesar 436,71 mm/bulan, sedangkan harga kelebihan air yang terkecil terjadi pada bulan September sebesar 66.13 mm/bulan.

Pemanfaatan Lahan

Berdasarkan analisis pada citra satelit landsat diketahui, terdapat 13 tipe penggunaan lahan. Penggunaan lahan dominan di DAS Citanduy berupa, hutan tanaman (pinus dan jati), kebun campuran dan hutan alam. Hutan alam dan hutan tanaman merupakan kawasan hutan negara (Hutan Lindung dan Hutan Suaka Alam). Kebun campuran merupakan penggunaan lahan dengan berbagai spesies pohon (buah-buahan dan kayu, sengon) terutama di lahan masyarakat. Sawah terutama dibudidayakan di dataran landai di Sub DAS Segara Anak dan Citanduy

(7)

hulu, diantara G. Sawal dan kompleks G. Galunggung, G.Tlagabodas, G. Cakrabuana dan G. Sadakeling.

Hutan tanaman mengalami penurunan yang cukup tajam sebesar 31 900 ha (6.73%), yang terjadi di semua Sub DAS. Sedangkan Kebun campuran mengalami peningkatan sebesar 34 157 ha (7.2%), terutama di Sub DAS di bagian Hulu (Sub Das Cimuntur, Citanduy Hulu, Cijolang). Dari trend perubahan lahan periode 1991 – 2003, terdapat kecenderungan peningkatan areal hutan alam, konversi hutan tanaman menjadi peruntukan lain dan ada peningkatan areal kebun campuran.

Kondisi DAS Citanduy

Menurut Pusat Studi Pembangunan IPB (2005), perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS mengindikasikan bahwa telah terjadi proses penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya DAS. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk, maka berbagai tatanan kehidupanpun ikut berubah mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat. Dampak dari perubahan tersebut ialah pola pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat yang berada sekitar DAS. Diantara perubahan-perubahan penggunaan lahan yang terjadi, perubahan yang paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan lainnya seperti pertanian, perumahan ataupun industri.

Adanya keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya alam semaksimal mungkin untuk pertanian membuat masyarakat kurang memperhatikan dampak lingkungan yang akan muncul pada DAS tersebut. Masyarakat cenderung mencari lahan yang relatif lebih subur, sehingga banyak masyarakat di sekitar DAS yang menggarap lahan di kawasan hutan atau pada lahan dengan ketinggian yang lebih tinggi.

Semakin tingginya tingkat pertumbuhan penduduk serta kebutuhan akan tempat tinggal juga akan mendesak pola pemanfaatan lahan, sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Hal ini dikarenakan pertambahan penduduk yang begitu pesat yang tidak disertai dengan kecukupan luasan DAS yang tersedia.

Bagian hulu DAS yang merupakan kawasan penyangga bagi daerah hilir dan tengah, harus tetap terjaga kemampuan konservasinya. Hal tersebut

(8)

berarti bahwa upaya konservasi tanah dan konservasi air pada DAS hulu menjadi suatu keharusan untuk kelangsungan hidup penduduk di sekitar DAS yang pada umumnya merupakan masyarakat tani yang sangat tergantung dengan lahan pertanian, baik berupa kebun campuran maupun sawah.

Wilayah Desa Tanjungsari berada di wilayah hulu Sungai Citanduy. Desa Tanjungsari ini letaknya sangat strategis karena diapit oleh dua sungai, yaitu Sungai Citanduy dan Sungai Cikidang. Meskipun letak desa tersebut diapit oleh dua sungai, tidak berarti membuat Desa Tanjungsari memiliki pasokan air yang cukup di musim kemarau. Hal ini karena masyarakat tidak mengkonsumsi kedua air sungai tersebut untuk kebutuhan rumah tangganya. Menurut keterangan beberapa warga, air Sungai Citanduy maupun Sungai Cikidang sudah tidak layak untuk dikonsumsi, airnya sudah tidak jernih lagi dan banyak endapan lumpur. Selain disaat musim kemarau mengalami kekurangan air, desa juga mengalami kebanjiran di musim hujan. Menurut penduduk desa, bencana banjir yang melanda desa ini sudah terbiasa terjadi dalam lima tahun belakangan ini. Desa Tanjungsari sendiri biasanya mengalami dua sampai tiga kali banjir tiap tahunnya. Banjir akan melanda Desa Tanjungsari apabila hujan yang turun deras. Selain itu, letak desa ini yang berada di dataran rendah dan diapit oleh dua sungai (Sungai Citanduy dan Cikidang) juga memberikan peluang yang besar untuk terjadinya banjir.

Permasalahan

Permasalahan yang ada di DAS Citanduy diantaranya adalah permaslahan lingkungan di mana permasalahan tersebut tidak lepas dari kondisi lahan yang mulai terdegradasi yang ditunjukan oleh semakin menyusutnya penutup lahan yang berupa hutan. Adanya degradasi lahan pada DAS Citanduy ditunjukan dengan semakin memburuknya kondisi kualitas perairan baik dari segi fisik maupun kimianya. Tingkat kekeruhan air sungai yang berwarna coklat kemerahan mengindikasikan semakin buruknya kualitas fisik perairan DAS Citanduy. Hal ini dikarenakan oleh aliran sungai membawa beban sedimen yang luar biasa. Permasalahan lingkungan DAS selanjutnya akan dibahas dengan membedakan berdasarkan sumber pencemaran sumberdaya air di DAS Citanduy dan sumber kerusakan lingkungannya.

(9)

Aktivitas kehidupan masyarakat di sekitar DAS yang sangat tinggi, telah menimbulkan efek terhadap kondisi air DAS itu sendiri, seperti kegiatan pertanian, penebangan hutan, limbah rumah tangga maupun industri dan lain-lain. Aktifitas yang dilakukan masyarakat tersebut dapat mengakibatkan terganggunya kualitas bahkan kuantitas air. Permasalahan utama yang dihadapi menyangkut sumberdaya air adalah kuantitas air yang berkualitas sudah tidak dapat lagi memenuhi kehidupan masyarakat DAS.

Beberapa bentuk pencemaran air pada DAS yang banyak terjadi diantaranya: 1. Pencemaran oleh kegiatan pertanian Kegiatan pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas air, seperti penggunaan pupuk buatan yang mengandung nitrogen dan fosfat yang tinggi. Limbah pertanian dari lahan sawah tersebut kemudian mengalir ke sungai Citanduy yang lebih rendah.

2. Limbah rumahtangga

Masyarakat yang bermukim di DAS akan menghasilkan limbah rumahtangga (organik maupun anorganik) yang dapat mempengaruhi kualitas air pada perairan sungai. Pada umumnya warga yang membangun rumah tepat berada di pinggiran Sungai Citanduy masih membuang limbah rumahtangga mereka ke sungai tersebut. Hal ini karena menurut mereka lebih praktis jika dibandingkan dengan membakarnya untuk anorganik, sedangkan untuk limbah organik pada umumnya pembuangan disalurkan ke sungai oleh warga yang bermukim tepat di pingggir sungai.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh BBWS Citanduy terhadap 3 lokasi yang berada di DAS Citanduy yaitu Pataruman, Tunggilis dan Panumbangan selama pemantauan, tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria baku mutu air kelas II, karena tingginya kandungan koli tinja. Parameter lainnya yang tidak memenuhi kriteria umumnya adalah kadar BOD. Demikian halnya dengan pengamatan yang dilakukan oleh BBWS Citanduy yang disampaikan dalam rencana pola pengelolaan sumberdaya air Wilayah Sungai Citanduy (2008) menyebutkan bahwa Sungai Cijolang Bantarheulang, Sungai Citanduy Hulu,

(10)

Sungai Banjar, Sungai Citanduy Pataruman dan Sungai Ciseel Bantarloa memeiliki kualitas air yang sudah tidak sesuai untuk digunakan pada kelas 1 dan kelas 2 Tabel 6.82. Kualitas Air Sungai DAS Citanduy.

Tabel 6.82. Kualitas Air Sungai DAS Citanduy

b) Kerusakan lingkungan DAS Citanduy

Beberapa permasalahan lingkungan terkait dengan potensi sumberdaya air di DAS Citanduy berupa:

1. Tingginya Degradasi atau Rusaknya Lingkungan DAS

Perubahan tata guna lahan di DAS terutama di daerah catchment area tidak diimbangi dengan usaha dan upaya konservasi. Diganggunya hutan pelindung lahan sebagai media penangkap hujan menyebabkan air hujan sebagian besar menjadi run off dan langsung ke badan sungai sehingga menyebabkan banjir dengan membawa erosi dan sedimentasi yang tinggi. Air hujan yang meresap makin sedikit, maka tanah di lapisan bawah secara alami tidak lagi menampung air (natural groundwater reservoir) maka pada musim kemarau terjadi kekeringan. Semakin berkurangnya kawasan hutan juga dapat menambah jumlah kategori luas lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak saja menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS yang menyebabkan semakin menurunnya kuantitas dan kualitas air sungai (sedimentasi sungai).

Semakin berkurangnya kawasan hutan dapat menambah jumlah kategori luas lahan kritis di DAS. Terjadinya lahan-lahan kritis di DAS tidak saja menyebabkan penurunan produktivitas tanah, tetapi juga mengakibatkan hasil tanaman terus menurun sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan ekonomi keluarga petani. Di wilayah DAS Citanduy sendiri masih banyak terdapat lahan kritis, bahkan jumlahnya terus bertambah seiring semakin berkurangnya luas hutan yang ada di DAS.

(11)

Berdasarkan citra satelit Landsat tahun 2000, luas lahan kritis dan kerusakan hutan di Indonesia mencapai 54,65 juta hektar yang terdiri dari 9,75 juta hektar hutan lindung, 3,9 juta hektar hutan konservasi dan 41 juta hektar hutan produksi. Sedangkan kerusakan lahan di luar kawasan hutan mencapai 41,69 juta hektar. Laju kerusakan hutan terus meningkat setiap tahunnya. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, yaitu pada periode 1995 – 1997, laju kerusakan hutan mencapai 1,6 juta hektar per tahun, namun setelah reformasi dan otonomi daerah kerusakan lebih besar yaitu mencapai 2,3 juta hektar per tahun.

Tabel 1 : Kondisi lahan kritis di DAS Citanduy tahun 2009

Ciri utama lahan kritis adalah gundul, berkesan gersang, dan bahkan muncul batu-batuan di permukaan tanah, topografi lahan pada umumnya berbukit atau berlereng curam (Hakim et al., 1991). Meluasnya lahan kritis dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: tekanan penduduk, perluasan areal pertanian yang tidak sesuai, perladangan berpindah, pengelolaan hutan yang tidak baik, dan pembakaran yang tidak terkendali.

2. Sedimentasi tinggi

DAS Citanduy bagian hilir terdapat ekosistem mangrove unik (Segara Anakan) yang terancam keberadaanya karena proses pendangkalan oleh sedimenasi Sungai Citanduy. Pada tahun 1970 luas Segara Anakan diperkirakan 4580 ha, sedangkan pada tahun 2002 diperkirakan hanya tinggal 850 ha. Total Sedimentasi yang masuk ke Segara Anakan adalah 5.000.000 m3/tahun dan yang diendapkan di Laguna Segara Anakan adalah 1.000.000 m3/tahun. Laju penurunan luas

(12)

laguna dari tahun 1984 hingga 2003 dapat terlihat pada Gambar 6.87. dan Tabel 6.84

Gambar 6.86. Laju Penurunan Luas Laguna (Profil BBWS Citanduy)

Tabel 6.84. Luas dan Selisih Laguna Segara Anakan

3. Ancaman Degradasi Habitat dan Komunitas Mangrove

Peranan fungsi kawasan mangrove pada hakekatnya merupakan pengendali alamiah terhadap lahan basah di bagian belakangnya. Terganggunya kawasan mangrove di Segara Anakan, sebagai akibat dari genangan air tawar dan akumulasi sedimen yang dibawa oleh sungai dapat menyebabkan kematian total terhadap jenis-jenis mangrove berakar lutut. Sedimentasi tanah kapur yang terjadi akibat dari aktivitas pemanfaatan bahan baku semen menyebabkan sistem perakaran mangrove menjadi terganggu. Lumpur berpasir yang menjadi persyaratan habitat mangrove menjadi dangkal dan mengeras, hingga menyebabkan kematian mangrove secara total, dan kini mulai digantikan oleh semak jenis-jenis wrakas dan gradelan. Terganggunya komunitas mangrove pada zona ini, berpengaruh langsung terhadap semakin menjauhnya batas pasang surut. Semakin jauh batas pasang surut, menyebabkan terhambatnya aliran air sungai yang masuk ke laguna Segara Anakan, hingga menyebabkan lebih dari 10 tahun sawah-sawah di daerah Sitinggil dan Kawunganten terendam, dan tidak produktif lagi menjadi lahan pesawahan

4. Tingginya Kerusakan Infrastruktur Sumberdaya Air

Infrastruktur sumberdaya air rata-rata dibangun pada tahun 1970-1990 sehingga usia bangunan sudah cukup tua, kemudian biaya rehabilitasi dan pemeliharaan masih belum sesuai dengan kebutuhan di lapangan, serta perhatian dan

(13)

partisipasi masyarakat dalam hal pemeliharaan masih kurang maka hal ini mengakibatkan tingginya biaya investasi yang diperlukan untuk merehabilitasi dan memelihara infrastruktur sumberdaya air. Sedimentasi yang tinggi di DAS Citanduy juga menyebabkan bangunan sumberdaya air berkurang fungsinya dan memperpendek umur pakainya seperti bangunan pelimpah banjir di Wanareja. 5. Menyempitnya Kapasitas Alur Sungai

Terganggunya kapasitas alur sungai seringkali diakibatkan oleh ulah manusia terutama diperkotaan, digangunya daerah sempadan sungai dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas alur sungai untuk mengalirkan debit sehingga terjadi luapan air atau banjir

6. Minimnya Kawasan Hutan di Sekitaran Wilayah DAS Citanduy

Kawasan hutan yang semakin berkurang dapat berpengaruh pada keseimbangan kondisi tata air di DAS, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas DAS itu sendiri. Hutan yang terdapat di wilayah DAS Citanduy terdiri atas hutan rakyat dan hutan Negara.

Tabel 3 : Data luas hutan wilayah DAS Citanduy tahun 2007

Sesuai dengan UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu suatu kawasan/wilayah minimal harus memiliki kawasan hutan sabagai daerah penyangga sebesar 30 persen dari luas total wilayah. Jika dilihat dari perbandingan luas wilayah yang masuk kawasan Citanduy seperti Kabupaten/Kota Tasikmalaya, Ciamis, Banjar dan Cilacap, masih kurang dari jumlah minimum yang diperlukan sebagai suatu kawasan penyangga, yaitu 30% dari luas wilayah.

(14)

Luas kawasan hutan yang ada di Kabupaten Tasik dan Kota Banjar hanya 24,70% dari luas wilayah, kemudian luas kawasan hutan Kabupaten Tasikmalaya dan kota Tasikmalaya hanya 26,05% dari luas kawasan. Luas hutan yang dimiliki Kota Kuningan hampir mendekati 30%, yakni 29,12% dari luas wilayah. Kota Majalengka memiliki kawasan hutan seluas 19,95% dari luas wilayahnya, sedangkan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas memiliki kawasan hutan sebesar 19,60% dari luas wilayah. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa luas kawasan di DAS Citanduy belum mampu menjadi wilayah penyangga dalam menjaga keseimbangan sistem ekologis.

Tabel 4 : perbandingan luas hutan di DAS Citanduy dan luas hutan yang dibutuhkan menurut UU No.41 Tahun 1999

Upaya Pengelolaan DAS

• Pengendalian erosi dan banjir dengan melakukan rehabilitasi bangunan konservasi dan normalisasi sungai. Selain itu juga dilakukan penataan sempadan sungai di sejumlah titik strategis, seperti di wilayah Parunglesang, Parungsari, tepatnya di belakang Pendopo dan RSU Banjar, bendungan Doboku, pembuatan taman, dan jogging track, serta penguatan tebing, dengan menerapkan konsep River Front City

• Melalui Kementerian PU Balitbang, akan membangun jembatan apung yang akan menghubungkan Desa Ujung Alang dan Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Jembatan apung sepanjang 40 meter ini nantinya akan menjadi jembatan dengan teknologi apung pertama di Indonesia.

(15)

Dipilihnya teknologi apung untuk jembatan ini dikarenakan setelah dilakukan pegamatan, lokasi di mana jembatan ini akan dipasang tidak dimungkinkan untuk membangun jembatan dengan teknologi pancang. Hasil pengamatan tim Pusjatan menemukan bahwa sedimen yang di lokasi tempat akan dibangun jembatan memiliki kedalaman hingga 20 meter. Karena kondisi inilah maka tim memutuskan bahwa teknologi apunglah yang cocok untuk diaplikasikaan dalam pembangunan jembatan di kampung nelayan ini. Selain biaya produksinya lebih murah, keunggulan dari jembatan hasil teknologi Balitbang PUPR ini mudah dibongkar-pasang atau dipindah-pindah.

• permasalahan sedimentasi di Segara Anakan juga menjadi pokok masalah yang

harus segera ditangani. Pendangkalan yang disebabkan material yang terbawa oleh aliran Sungai Citanduy telah menimbulkan permasalahan di Segara Anakan, di antaranya banjir dan terhambatnya akses kapal-kapal yang lewat akibat dari pendangkalan tersebut.

• Penanganan masalah sedimentasi guna mempertahankan keberadaan Laguna

(16)

pengendalian sedimen sungai, mengatur tata letak muara sungai Citanduy serta pengerukan secara bertahap.

• Pengerukan bertahap akan dilakukan di alur pelayaran, yaitu Plawangan Barat dan

alur transportasi Cilacap dan Majingklak, serta normalisasi anak-anak sungai yang bermuara di laguna Segara Anakan. Pada tahun 2004 pernah dilakukaan pengerukan sebanyak 544 Ha atau 9 juta m2 dengan rata-rata kedalaman 1,75 m, akan tetapi kondisi ini tidak berlangsunng lama karena saat ini sudah menjadi dangkal kembali.

• permasalahan permukiman di Desa Klaces yang sebagian besar bangunan yang

dibangun merupakan bangunan semi dan non permanen yang tidak memenuhi standar, bangunan berupa landed houses (rumah tapak) dan pembangunannya asal bangun. Ditambah kondisi sanitasi, air bersih, pengeloalaan sampah, drainase yang ada tidak terpelihara dan tidak layak.

• Untuk permasalahan permukiman di Desa Klaces, tim Balitbang PUPR sudah

melakukan beberapa renovasi dan penataan di beberapa bangunan desa. Untuk bangunan rumah, rencananya akan dibangun dengan sistem rumah panggung dan menerapkan model rekayasa teknologi bangunan rumah yaitu Rumah Instan Sederhana (RISHA).

• Dalam sambutan Bupati Cilacap yang diwakilkan oleh Sekretaris Daerah Sutarjo,

mengatakan bahwa salah satu permasalahan yang dialami masyarakat Kampung Laut adalah sulitnya akses transportasi penghubung antar wilayah dan juga permasalahan tingginya sedimentasi di Laguna Segara Anakan

(17)
(18)

Gambar

Gambar 1. Peta DAS Citanduy
Tabel 3 : Data luas hutan wilayah DAS Citanduy tahun 2007
Tabel   4   :   perbandingan   luas   hutan   di   DAS   Citanduy   dan   luas   hutan   yang dibutuhkan menurut UU No.41 Tahun 1999

Referensi

Dokumen terkait

02 yang berjudul Deforestasi dan Degradasi Lahan DAS Citanduy, mencoba untuk melihat tekanan penduduk pada level kecamatan terhadap sumberdaya hutan, kemudian melihat

PENGARUH JARAK SIMPANAN DEPRESI TERHADAP ALIRAN PERMUKAAN DAN EROSI PADA TANAH..

Format basisdata yang digunakan dalam Sistem lnforrnasi DAS Citanduy adalah sistem basisdata relasional yaitu sistem basisdata yang didaiamnya terdiri dari kumpulan tabel

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa jenis tanah Latosol dan komplkes Podsolik merah kuning, Litosol mendominasi wilayah Kabupaten Luwu Timur dengan luas areal

Faktor penyebabnya adalah curah hujan yang tinggi, jenis tanah pedsolik merah kuning yang peka terhadap erosi, faktor kemiringan lereng timbunan, tidak adanya

Hasil survei lapang dibeberapa tempat menyangkut lahan kritis yang diduga memberikan kontribusi penurunan kualitas air (sedimentasi sungai) di DAS Citanduy hulu

Sedangkan jenis tanah yang paling mendominasi Kecamatan Gunungpati yaitu latosol coklat kemerahan, terdapat pada sebagian kecil Kelurahan Kandri, sebagian besar

Pengelolaan Kawasan Hulu DAS Belawan Terhadap Faktor Erodibilitas Tanah K Nilai erodibilitas tanah pada hulu DAS Belawan terhadap erosi kemungkinan erosi yang terjadi pada jenis tanah