1
Mencerna Logika Ahok
Terbaca satu tulisan “Mencernakan Logika Ahok” yang sangat pencerahan dan menyejukkan, dimana penulis Zulfikar Akbar bukan terutama melihat sosok Ahok yang Tionghoa minoritas, non-pribumi bahkan Kristen, dan memper-TENTANGKAN dengan dirinya yang mayoritas, Pribumi dan Islam! Tidak! Tapi lebih dahulu mencerna LOGIKA Ahok, lebih utamakan menganalisa KEPUTUSAN yang diambil Ahok itu BENAR atau SALAH dan dilanjutkan dengan ketegasan/kekerasan menggusur sebagai langkah usaha menyelesaikan masalah banjir di Jakarta.
Sepintas pelaksanaan penggusuran sebagian penduduk itu memang “KEJAM”, Ahok dicerca “tidak manusiawi”, melanggar HAM, … tapi nampak jelas pemerintah DKI-Jakarta sudah lebih dahulu menyiapkan Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) untuk merelokasi penghuni bantaran Sungai Ciliwung, Kampung Pulo itu. Ternya, menurut pengakuan Ahok, DKI Jakarta juga sudah lebih dahulu mengirimkan Surat Peringatan, SP1, SP2 dan SP3, pada penghuni rumah liar itu untuk pindah ke Rusun dan akan digusur paksa dihari H minggu yl. Hanya saja saya tidak menemukan, konkritnya berapa ribu seluruh penghuni liar di Bantaran Sungai Ciliwung, Kampung Pulo itu? Lalu, hanya berapa penghuni, atau berapa % yg ngotot tidak hendak pindah dan harus digusur paksa itu. Sebagai perbandingan, saya beri sedikit gambaran penggusuran penduduk yang terjadi di Tiongkok, ada 2 kejadian dengan kondisi yang berbeda. Yang satu saat memindahkan jutaan penduduk petani disepanjang sungai Yang Tse yang terrendam air setelah permukaan dinaikkan 170meter, dalam proses pembangunan Bendungan Raksasa Tiga Ngarai Sungai Yang Tse.
Pemerintah lebih dahulu membangun perumahan baru diatas gunung dengan membuka sawah-ladang sesuai jumlah penduduk yang akan dipindah setahap demi setahap itu. Mereka menemui kesulitan saat memindahkan penghuni orang-tua, yang memang sudah beberapa generasi hidup dirumah itu. Orang-orang tua macam inilah yang sulit untuk dipindah keluar dari sarang mereka. Kabarnya, mereka dibiarkan sampai air naik dan mengancam rumahnya tergenang, akhirnya mereka dengan terpaksa pindah juga. Katanya, orang-orang tua yang semula berkeras tidak mau pindah, justru setelah masuk kerumah baru, jadi lebih merasakan kenikmatannya dibanding rumah semula. Malah mereka akhirnya yang paling aktif berpropaganda kebaikan dan nyamannya rumah baru yang rapih dan memudahkan berladang, … Dengan sendirinya, mereka-mereka inilah yang
2 dijadikan agitator untuk mengajak orang-orang tua berikut yang juga berkeras tidak hendak pindah naik keatas gunung.
Lalu penggusuran saat membangun perkampungan Olympic Beijing, yang harus memindahkan 300 ribuan penduduk. Tentu setiap warga mempunyai kondisi yang berbeda dan tuntutannya sendiri-sendiri, dan kebijaksanaan Pemerintah Beijing tentunya sulit bisa diterima dan memuaskan setiap warga yg hendak dipindahkan itu. Tapi yang jelas sampai saat-saat terakhir hanya puluhan rumah saja yang ngotot tidak hendak pindah. Sedang proyek pembangunan tidak bisa dihentikan. Pemerintah Tiongkok membiarkan saja mereka tidak pindah, cukup dengan menghentikan aliran air dan listrik diwilayah itu, …akhirnya sebagian besar mau pindah juga. Tertinggal beberapa rumah saja yang tetap ngotot tidak hendak pindah, penggalian fondasi bangunan diteruskan, tertinggal sekitar rumah mereka saja yang tidak digali. Penghuni rumah jadi sulit untuk turun apalagi naik masuk rumah, … Terpaksa pindah juga. Sebagian lagi betul-betul digusur paksa, orang dan barang dikeluarkan dan rumah dirobohkan dengan boldoser. Kejadian ini, banyak wartawan asing mengekspose RRT tidak manusiawi dalam usaha memindahkan penduduknya! Sementara penghuni berhisteria minta pertolongan orang asing disitu! Akhirnya terbongkar juga, kalau diantara mereka yang ngotot bertahan tidak hendak pindah itu, memang dibayar oleh asing untuk ngacau, berusaha keras menasbot kelancaran pembangunan perkampungan Olympic.
Nah, dalam usaha pembangunan tentu ada saja kelompok yang tidak senang dan berusaha menghambat, bahkan hendak menggagalkan. Yang penting Pemerintah tegas dalam menjalankan politiknya menjamin program bisa berjalan baik dan semua itu demi kebaikan dan kepentingan rakyat banyak. Dalam hal ini nampak jelas ketegasan dan keberanian Ahok yang berprinsip dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Tekadnya untuk membangun Jakarta lebih baik, … HEBAT! Patut didukung lebih kuat untuk mensukseskan programnya lebih lanjut, ...
Salam, ChanCT
http://www.kompasiana.com/soefi/mencerna-logika-ahok_55ddd0d12e9773d708ea1d1d?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Ktswp
Mencerna Logika Ahok
3 Sekali waktu, saya menuliskan status di akun facebook, yang berisikan kalimat kira-kira, "Jika saya diminta memilih antara seorang Habib yang menikmati dirinya yang dipuja-puja dengan Ahok yang tak peduli dengan pujian, maka saya memilih yang kedua!".
Ya, status facebook itu sempat membuat saya menjadi sasaran "tembakan" alias bully beberapa kalangan, tak terkecuali dari sebagian di antaranya yang terbilang teman dekat.
Ada di antaranya yang berprinsip, seburuk apapun seorang pemimpin asalkan berasal dari agama kita sendiri, masih jauh lebih baik dibandingkan pemimpin terbaik yang datang dari luar agama kita. Itu juga yang sempat disodorkan kepada saya, seperti mendesak saya agar mengubah sudut pandang dan memilih untuk menggunakan baju dikotomi "seagama atau tidak".
Jelas, Ahok bukanlah figur seagama dengan saya dan mayoritas penghuni Jakarta. Ia juga kerap disebut-sebut sebagai orang non-pribumi alias seseorang yang hanya "nyasar" ke Nusantara ini.
Parahnya lagi, mereka yang setia dengan dikotomi pribumi-nonpribumi, mayoritas-minoritas, memiliki amunisi terlalu banyak untuk memberikan alasan. Bahkan mereka memiliki alasan untuk membenarkan peristiwa pembantaian pada etnik tertentu pada 1998 lalu.
Hawa permusuhan lantaran perbedaan latar belakang itu kembali diungkit-ungkit saat terjadi penggusuran Kampung Pulo, yang menjadi salah satu kebijakan Ahok. Ekses dari itu juga, banyak yang terkesan mengompori agar melawan, dan meniup terompet perang, melibas mereka yang "hanya dari kalangan minoritas". Ada kesan, hanya dengan cara itu, mereka yang di posisi sebagai mayoritas merasa menang.
4 Padahal, soal pembenahan Jakarta bukan soal ini kepentingan minoritas dan itu kepentingan mayoritas. Sementara berharap kepada yang mayoritas pun, hanya membawa masyarakat pada mimpi indah yang berisi bisikan merdu, membuai, dan ingin tertidur lebih lelap. Ini sudah sangat kerap terjadi.
Dalam kasus penggusuran, ini masih terus diembuskan sebagai kebijakan yang tak bijak yang telah dilakukan seorang Ahok! Ini tentu saja tuduhan yang sulit dikatakan sebagai sesuatu yang lebih bijak dari kebijakan itu.
Ya, mungkin saja mereka ingin berempati pada masyarakat yang menjadi "korban" penggusuran. Mereka ingin menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat biasa. Sebab, memang tak semua yang menolak kebijakan Ahok sebagai orang yang tidak benar.
Mungkin lagi merekapun hanya berusaha melihat fenomena itu dengan nurani, dengan mata hati.
Tapi jika ingin proporsional dan melihat lagi, apa yang sesungguhnya dibutuhkan Jakarta seraya melihat juga apa saja persoalan yang terjadi di sini, saya rasa tak cukup hanya berlandas kepada tega-atau tak tega.
Ketika melihat proses penggusuran itu lewat televisi, memang saya sendiri mencoba merasakan bagaimana kesedihan yang dialami oleh masyarakat itu, yang mungkin sebagiannya telah lahir di sana dan sebagian besar keluarganya ada di sana. Di sisi lain, saya juga berusaha mereka-reka, kira-kira apa yang terpikir oleh Ahok ketika kemudian ia melihat banyak rumah yang telah rata dengan tanah.
Tak bisa dinafikan, ada kesedihan mendalam yang terasa oleh sebagian masyarakat di sana. Tapi, saya juga tak percaya bahwa seorang Ahok yang kerap dilabeli sebagai gubernur yang keras tidak merasa kasihan atas kesedihan masyarakatnya yang dengan terpaksa harus digusurnya.
Dua potret, Ahok di satu sisi dan masyarakat sasaran penggusuran di sisi lain, memang tak bisa sepenuhnya dipersalahkan. Tapi juga kurang elok, karena alasan iba dan kasihan lantas melupakan apa yang seharusnya dilakukan untuk kebaikan masyarakat itu juga. Sebab, alasan penggusuran itu sendiri tentu saja terjadi karena adanya masalah yang harus diselesaikan; dari soal banjir, penanggulangannya, hingga mengembalikan kondisi sungai, dan lain sebagainya. Itu juga harus dilakukan sebagai pencegahan atas kemungkinan berbagai masalah di masa depan agar tak terjadi lagi.
5 Memang, logika penggusuran yang dilakukan Ahok, sedikit tidaknya memiliki kemiripan dengan logika perang. Sebuah peperangan mungkin akan terasa tidak manusiawi, memakan korban terlalu mahal hingga nyawa manusia sendiri, dan rentan dengan berbagai hal. Tapi dalam kondisi tertentu, ini menjadi pilihan tak terelakkan jika itu memang harus dilakukan.
Atau, jika melihat dari perspektif lain, keputusan penggusuran itu juga mirip dengan pilihan yang harus diambil oleh seorang dokter. Terkadang ia harus memisahkan satu anggota tubuh yang lebih kecil dari tubuh itu sendiri, agar tak membuat nyawa pasiennya terpisah dari badannya. Pilihan untuk mengamputasi seperti itu jelas takkan membuat si dokter tega, jika ia hanya bersandar pada tega tak tega.
Tapi, lagi-lagi, ini berkaitan dengan kemestian yang harus dilakukan. Sesuatu yang tak bisa dilepaskan ketika berbicara masalah yang harus dituntaskan.
Ketika ingin membangun sebuah bangunan yang lebih baik, tak jarang, suatu bangunan lama yang terbilang lebih buruk harus dihilangkan lebih dulu. Saat sebuah kehidupan lebih baik diinginkan, maka cara hidup yang lebih buruk harus dihilangkan lebih dulu.
Sedikitnya, logika itulah yang kira-kira--menurut pendapat subjektif saya--menjadi sandaran Ahok dalam menjalankan kebijakannya. Meski, dengan keputusan yang ia pilih tersebut, ia harus menerima sangat banyak konsekuensi. Tapi, toh, ia juga sudah pernah diancam bunuh dan menerima berbagai ancaman lainnya. Maka itu, berbagai konsekuensi yang akan diterimanya, nyaris bisa dipastikan tak luput dari pertimbangan seorang Ahok. Lagi-lagi, dalam perannya sebagai pemimpin, tentu saja yang mesti ia lakukan bukan sekadar memasang senyum manis. Sebab sekadar memasang "senyum manis" akan membuat dia pribadi terlihat baik, tapi terkadang bisa menjadi penghalang untuk ia melakukan sebuah keputusan berat yang bisa menghilangkan "sisi manis" dari senyum tersebut, merusak citranya.
Kembali pada keputusan penggusuran, sepertinya Ahok takkan alpa meraba risiko bahwa keputusan itu akan membuat dirinya akan terlihat sebagai sosok "si bengis". Langkah itu akan membuat dirinya mengundang kebencian banyak kalangan. Itu juga akan berdampak pada risiko secara politis, dia bisa saja takkan dipilih sebagai gubernur pada pemilihan mendatang.
Namun di tengah berbagai risiko tersebut, kenapa kemudian ia tetap memilih langkah yang konon tidak populer, karena memilih melakukan penggusuran dan bahkan diikuti bentrokan?
6 Sederhana. Itu justru bukti, figur pemimpin seperti Ahok bukan figur pemimpin yang bertindak karena ingin terlihat baik saja. Dia melakukan langkah yang menunjukkan bahwa kebaikan seorang pemimpin itu harus bisa dirasakan bahkan jika kelak ia sudah tidak memimpin lagi. Tak masalah jika hari ini dengan keputusannya, ia justru terlihat layaknya hantu, karena ia meyakini jika pekerjaan itu bertujuan baik, kelak masyarakatnya akan mampu melihat "sisi malaikat" yang selama ini tak dipamerkannya. Setidaknya, ini merupakan sudut pandang subjektif saya.
Masyarakat yang hari ini menjadi korban penggusuran, mungkin bisa dilihat sebagai pasien dan sasaran pisau bedah seorang "dokter" bernama Ahok. Semua pihak bebas untuk melihat, pilihan membedah itu sebagai sebuah kekejaman, ataukah itu memang sudah menjadi suatu keniscayaan.
Yang jelas, jika melihat keputusan sang gubernur tak lebih sebuah kekejaman, sebagai hal brutal, maka waktu bisa saja lebih brutal di masa depan. Ya, masa depan bisa menjadi lebih brutal ketika tak ada pemimpin yang berani melakukan keputusan baik ketika itu berisiko membuat dia terlihat buruk.
Sejauh mana keyakinan saya ini benar? Lagi-lagi, akan kita lihat sama-sama di masa depan. (Twitter: @zoelfick)