• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: SURUNG SOLIN NIM:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI SARJANA O L E H NAMA: SURUNG SOLIN NIM:"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

i

ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR RITME REPERTOAR

GENDANG MENGKERBOI DALAM UPACARA NCAYUR NTUA

MASYARAKAT PAKPAK DI DESA NATAM JEHE, KECAMATAN KERAJAAN, KABUPATEN PAKPAK BHARAT

SKRIPSI SARJANA

O L E H

NAMA: SURUNG SOLIN

NIM:

110707040

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

ii

ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR RITME REPERTOAR

GENDANG MENGKERBOI DALAM UPACARA NCAYUR NTUA

MASYARAKAT PAKPAK DI DESA NATAM JEHE, KECAMATAN KERAJAAN, KABUPATEN PAKPAK BHARAT

SKRIPSI SARJANA

O L E H

NAMA: SURUNG SOLIN

NIM:

100707040

Disetujui

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.

NIP 196512211991031001 NIP 196102201998031003

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

iii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Analisis Fungsi dan Struktur Ritme Repertoar

Gendang Mengkerboi dalam Upacara Ncayur Ntua Masyarakat pakpak di Desa

Natam Jehe, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat.” Tujuan utama skripsi ini adalah menganalisis upacara ncayur ntua, fungsi musik (gendang), serta struktur ritme repertoar Gendang Mengkerboi yang digunakan dalam upacara ini.

Metode yang penulis gunakan dalam menganalisis upacara, fungsi musik, dan struktur ritme ini adalah melalui: studi pustaka, media sosial, internet, pengamatan terlibat, wawancara, perekaman data baik berupa audio, visual, maupun audio visual. Data-data lapangan kemudian diolah di laboratorium yang bersifat etnomusikologis. Teori yang penulis gunakan adalah tiga teori utama. Untuk mengkaji upacara digunakan teori upacara, fungsi musik dalam masyarakat digunakan teori fungsionalisme (uses and

functions), selanjutnya untuk kajian struktur ritme gendang, digunakan teori analisis waktu dalam musik.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa jalannya upacara ncayur ntua dibagi dalam enam sesi: (1) tenggo raja (persiapan); (2)

memasukken bengke ni rumah (menyemayamkan jenazah di dalam rumah); (3) mengapul pergenderrang (mengundang pemusik untuk memainkan musik); (4) tatak ikan nulan kerja njahat ncayur ntua (menari adat pada upacara ncayur ntua) yang terdiri dari: (4a) tatak ikan ibages sapo (tarian malam hari) dan (4b) tatak ikan ikasea (tarian pagi sampai siang hari keesokannya); (5) mengkerboi

(upacara memotong kerbau) untuk sulang, yang terdiri dari (5a) memasukken

jerreten dengan gendang raja; (5b) gajah mangiring; (5c) mangiring gajah;

dan (6) peberkatken bangke ni pendebaen (jenazah ditataki dan dikuburkan). Kemudian dari sudut penggunaannya gendang ini adalah: (i) untuk mengiringi upacara adat kerja njahat ncayur ntua; (ii) memeriahkan jalannya upacara; dan (iii) sarana memberitahu penyembelihan kerbau (atau hewan lain). Fungsi Gendang Mengkerboi dalam upacara ncayur ntua adalah: (1) mengabsahkan upacara; (2) sarana integrasi sosial; (3) ekspresi emosi gembira dan sekaligus sedih; (4) sarana doa kepada Tuhan; (5) sarana hiburan; (6) upaya memelihara kebudayaan tradisional Pakpak. Dari kajian struktur ritme diperoleh hasil: (1) meter yang digunakan adalah meter empat; (2) taktusnya adalah berkisar antara 120 hingga 200 ketukan dasar per menit; (3) unsur-unsur pembentuk waktunya adalah memakai jenis-jenis ritme tunggal, dupel, kuadrupel, dan tanda-tanda istirahat yang dikomposisikan sedemikian rupa.

Kata kunci: upacara, fungsi, struktur, ritme, gendang, mengkerboi, ncayur

(4)

iv DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 13

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.3.1 Tujuan ... 14

1.4.1 Manfaat ... 14

1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan ... 15

1.4.1 Konsep yang Digunakan ... 15

1.4.2 Teori yang Digunakan... 21

1.5 Metode Penelitian ... 25 1.5.1 Studi Kepustakaan ... 26 1.5.2 Kerja Lapangan ... 27 1.5.3 Wawancara ... 27 1.5.4 Kerja Laboratorium ... 28 1.5.5 Lokasi Penelitian ... 29

BAB II. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 31

2.1 Letak Geografis Kabupaten Pakpak Bharat ... 31

2.2 Sistem Kepercayaan ... 33

2.2.1 Kepercayaan kepada Dewa-dewa ... 33

2.2.2 Kepercayaan terhadap Roh-roh ... 35

2.3 Sistem Bahasa ... 36 2.4 Sistem Kekerabatan ... 37 2.4.1 Marga ... 37 2.4.2 Sulang Silima... 37 2.5 Kesenian ... 40 2.5.1 Seni Musik ... 40 2.5.2 Seni Suara ... 46 2.5.3 Seni Tari ... 49

2.6 Sistem Mata Pencaharian ... 51

2.7 Proses Kesinambungan dan Perubahan Budaya Masyarakat Pakpak ... 52

BAB III. GENDANG MENGKERBOI DALAM UPACARA ADAT KERJA NJAHAT NCAYUR NTUA ... 54

3.1 Kerja Njahat Ncayur Ntua Suku Pakpak ... 54

3.2 Tahapan Upacara Adat Kerja Njahat Ncayur Ntua ... 56

3.2.1 Tenggo Raja ... 57

3.2.2 Memasukken Bangke ni Rumah-rumahna ... 59

3.2.3 Mengapul Pergenderrang (Sipalu Koling-koling Tasak) ... 60

3.2.4 Tatak Ipas Ulan Kerja Njahat Ncayur Ntua ... 66

3.2.4.1 Tatak Tikan Ibages Sapo ... 66

3.2.4.2 Tatak Tikan Ikasean ... 70

3.2.5 Mengkerboi ... 71

3.2.6 Peberkatken Bengke ni Pendebaen ... 78

BAB IV. GUNA DAN FUNGSI GENDANG MENGKERBOI PADA UPACARA NCAYUR NTUA DALAM BUDAYA PAKPAK ... 94

4.1 Pengantar ... 94

4.2 Pengertian Penggunaan dan Fungsi ... 95

4.3 Penggunaan Gendang Mengkerboi ... 98

4.3.1 Untuk Mengiringi Upacara Adat Kerja Njahat Ncayur Ntua ... 99

4.3.2 Memeriahkan Jalannya Upacara ... 100

(5)

v

4.4 Fungsi ... 102

4.4.1 Untuk Mengabsahkan Upacara Adat Kerja Njahat Ncayur Ntua ... 102

4.4.2 Sebagai Sarana Integrasi Sosial ... 103

4.4.3 Sebagai Ekspresi Emosi Gembira dan Sekaligus Sedih ... 105

4.4.4 Sebagai Sarana Doa Kepada Tuhan ... 107

4.4.5 Sebagai Sarana Hiburan ... 108

4.4.6 Sebagai Upaya Memelihara Budaya ... 109

BAB V. TRANSKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTUR RITME REPERTOAR GENDANG MENGKERBOI ... 111

5.1 Transkripsi Gendang Mengkerboi ... 111

5.1.1 Transkripsi Gendang Raja ... 114

5.1.2 Transkripsi Gendang Gajah Mangiring ... 116

5.1.3 Transkripsi Gendang Mangiring Gajah ... 120

5.2 Analisis Meter ... 126

5.3 Analisis Taktus (Pulsa Dasar) ... 130

5.4 Analisis Unsur-unsur Pembentuk Waktu ... 134

BAB VI. PENUTUP ... 136

6.1 Kesimpulan ... 136

6.2 Saran ... 138

(6)

6 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pakpak adalah salah satu etnik1 yang mendiami daerah geografis Provinsi Sumatera Utara. Etnik Pakpak memiliki budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyangnya. Salah satu bentuk dari warisan budaya tersebut adalah kesenian dalam beberapa bentuk, di antaranya adalah seni tari (tatak), seni ukir, seni tekstil, seni patung, dan seni musik (genderang).

Pada umumnya etnik yang ada di Sumatera Utara, memiliki beragam jenis upacara adat. Suku Pakpak memiliki dua jenis kelompok upacara berdasarkan fungsinya—yaitu, kerja njahat atau jenis upacara adat yang bersifat duka cita (seperti kematian, mangongkal tulan, hilangnya seseorang tanpa terlacak, sedang sakit keras, dan lainnya) dan kerja mbaik atau jenis upacara yang bersifat suka cita

1

Dalam skripsi sarjana ini, yang penulis maksud dengan etnik, kelompok etnik (ethnic

group) atau dalam bahasa Indonesia suku bangsa atau suku menurut disiplin ilmu antropologi

adalah (misalnya Narroll, 1964), sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsi ini juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli antropologi berkeimpulan bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menghasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-beda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri. Dalam rangka penelitian ini, orang-orang Pakpak secara keseluruhan dapat dipandang sebagai sebuah kelompok etnik. Namun demikian, mereka bisa saja dipandang dan menganggap dirinya sebagai bagian dari masyarajat Batak yang lebih luas. Mereka menjadi bagian dari bangsa Indonesia, yang wilayah budayanya ada di Provinsi Sumatera Utara.

(7)

7

(seperti perkawinan, mendapat hasil panen yang banyak, mencapai cita-cita, dan lainnya).

Sebelum melaksanakan kegiatan-kegiatan upacara adat biasanya ada perencanaan-perencanaan. Sebelum upacara adat dilaksanakan, dibentuklah perkumpulan untuk merencanakannya, masyarakat Pakpak menyebutnya dengan istilah tenggo raja. Ini harus dilaksanakan apabila ingin membuat suatu upacara adat kerja njahat maupun kerja mbaik, karena di sinilah saat semua orang yang akan terlibat dalam upacara tersebut membahas dan merencanakan kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan dan juga membahas apa saja yang diperlukan dalam upacara tersebut.2 Mengenai hal penyajian dan penyertaan musik dalam kegiatan upacara tersebut, juga turut dibahas dalam kegiatan tenggo raja tersebut.

Dalam upacara adat kerja njahat maupun kerja mbaik pada masyarakat Pakpak, ada istilah yang disebut mengkerboi, yaitu acara proses penyembelihan kerbau yang dibawa oleh kula-kula3 untuk dijadikan persulangen. Istilah persulangen pada masyarakat Pakpak berarti bagian-bagian tubuh hewan yang

sudah ditentukan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya.

Mengkerboi ini akan dilaksanakan atau tidak, termasuk hal yang dibahas

pada acara tenggo raja karena proses mengkerboi ini akan dilaksanakan jika memang kemampuan ekonomi yang membuat pesta mencukupi untuk menyelenggarakannya dan disepakati semua pihak yang terlibat untuk mengadakan

2Hasil wawancara dengan Dayo Sinamo, pada tanggal 20 Agustus 2015. 3

Istilah kula-kula ini adalah merujuk kepada kelompok sosial kemasyarakatan Pakpak, yang terdiri dari tiga kelompok utama dalam hubungan darah dan perkawinan, yang disebut dengan

daliken sitelu (tungku yang tiga). Ketiga kelompok sosial itu adalah: (1) dengan sibeltek, adalah

saudara kandung dan saudara luas satu merga (klen) yang ditarik secara patrilineal (berdasarkan garis keturunan ayah); (2) kula-kula adalah pihak keluarga luas yang memberikan istri kepada pihak kita; dan (3) berru, adalah pihak keluarga luas yang menerima istri yang erasal dari pihak kita.

(8)

8

pesta, yaitu antara keluarga yang membuat pesta dan pihak keluarga yang memberi istri atau dalam bahasa Pakpak disebut kula-kula. Pada acara mengkerboi ini nantinya ada empat tahapan yang harus dilaksanakan yaitu: (1) acara membawa kayu jeretten sebagai tiang untuk tempat diikatnya kerbau yang akan disembelih, (2) urutan kedua yaitu mengiring ke tiang jeretten, (3) urutan ketiga yaitu penyembelihan kerbau; dan (4) yang terakhir adalah menampakken page tumpar, di bagian ini padi akan ditumpahkan ke sekeliling tempat penyembelihan kerbau. Keempat urutan yang ada dalam acara mengkerboi ini harus diiringi oleh

genderang (ensambel musik) Pakpak karena masing-masing mempunyai reportoar

yang khusus.

Jika mengkerboi sudah ditetapkan dalam suatu upacara adat di Pakpak, maka upacara tersebut sudah tergolong upacara yang besar dan harus turut mengundang para pergotci,4 karena selama proses mengkerboi mulai dari kerbau diarak menuju tempat penyembelihan sampai akhirnya disembelih harus diiringi oleh musik tradisional yang dimainkan secara langsung (live) oleh para pergotci.

Genderang yang dipakai pergocci juga harus sesuai dengan upacara yang

dilaksanakan, jika upacara yang akan dilaksanakan adalah upacara yang bersifat suka cita, maka yang dipakai adalah genderang sisibah atau genderang sipitu. Sebaliknya jika upacara yang akan dilaksanakan bersifat duka cita, maka

genderang yang dipakai adalah genderang silima.

4Sebutan untuk para pemusik tradisional musik Pakpak, kata bentukan ini terdiri dari dua unsur yaitu awal per yang artinya orang atau ahli dan gocci, yang maknanya adalah musik. Jadi

pergocci secara harfiah (etimologis) adalah pemusik atau musisi. Mereka ini memiliki kedudukan

yang khas di dalam sistem sosial masyarakat Pakpak. Mereka dihormati, dihargai, dan diberi materi atas kegiatan yang mereka lalukan di dalam sebuah upacara. Di dalam kebudayaan Batak Toba, istilah yang memiliki arti yang hampir sama adalah pargonsi, dan di dalam kebudayaan Karo disebut dengan sierjabaten.

(9)

9

Bagi suku Pakpak, musik mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan masyarakatnya, karena hampir seluruh kegiatan adat, ritual, dan hiburan selalu menggunakan musik. Masyarakat Pakpak mempunyai budaya musikal sendiri. Dalam penyajiannya ada yang menggunakan alat musik, vokal, dan gabungan vokal dengan musik, dalam penggunaan alat musiknya ada yang dimainkan secara ensambel ada juga yang secara tunggal (solo instrumen).5

Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk penyajian dan cara memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya, alat-alat musik tersebut dibagi menjadi beberapa ensambel dan solo instrumen,6 yakni genderang

sisibah, genderang sipitu-pitu, genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul, dan gung. Di sisi lain, berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik

tersebut terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: sipaluun (alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul), sisempulen (alat musik yang dimainkan dengan cara ditiup), dan sipiltiken (alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik).

Alat-alat musik yang digunakan di dalam ensambel genderang sisibah ini,

terdiri dari: alat musik sipaluan dan sisempulen saja. Adapun alat-alat musik itu adalah: genderang sisibah (conical single headed drums) yang terdiri dari sembilan buah gendang yang berbentuk konis satu sisi membrannya, gung sada rabaan (idiofon yang teridiri dari empat buah gung (knobbed suspended gongs) yaitu

5

Istilah instrument dalam Kamus Musik yang ditulis oleh M. Soeharto (1992:54) adalah istilah dalam bahasa Inggris, yang artinya adalah alat musik yang digolongkan berdasarkan cara memakainya. Kadangkala istilah ini diserap di dalam Bahasa Indonesia menjadi instrumen, dengan makna yang sinonim dengan alat musik.

6

Terminologi ensambel atau ansambel pada Kamus Musik yang ditulis oleh M. Soeharto, (1992:4) adalah berasal dari bahasa Prancis, yang kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris dan kemudian diserap pula ke dalam Bahasa Indonesias, artinya adalah kelompok kegiatan seni musik, dengan jenis kegiatan seperti tercantum dalam sebutannya. Biasanya tampil sebagai kerjasama pesertanya di bawah pimpinan seorang pelatih.

(10)

10

panggora, poi, tapudep, dan pong-pong), sarune (double reed shawm), dan cilatcilat (concussion idiophone).

Dalam penyajiannya, ensambel ini dipakai pada jenis upacara sukacita (kerja mbaik) saja pada tingkatan upacara terbesar atau tertinggi saja. Ensambel

genderang sipitupitu dan genderang silima terdiri dari alat musik yang terdapat

pada ensambel genderang sisibah, perbedaannya hanya terdapat pada penggunaan

genderang saja. Genderang sipitu-pitu menggunakan 7 dari 9 gendang yang

terdapat pada genderang sisibah, sedangkan genderang silima menggunakan 5 dari 9 buah gendang (gendang yang digunakan gendang pada bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar). Ensambel ini digunakan pada upacara duka cita (kerja

njahat), seperti upacara kematian dan mengongkal tulan (menggali

tulang-belulang). Selanjutnya adalah ensambel gendang sidua-dua.

Ensambel gendang ini terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk

barrel (double head barrel drums). Kedua gendang ini terdiri dari gendang inangna (gendang induk, gendang ibu) yaitu gendang terbesar dan gendang anakna

(gendang anak, jantan) yaitu gendang terkecil. Instrument lainnya yang terdapat dalam ensambel ini adalah gung sada rabaan, dan sepasang cilat-cilat.

Ensambel ini digunakan pada upacara ritual, seperti upacara mendeger uruk (upacara mengusir roh penunggu hutan sebelum diolah menjadi lahan pertanian) dan hiburan saja seperti upacara penobatan raja atau mengiringi tarian pencak. Ensambel yang terakhir adalah oning-oningen. Ensambel ini terdiri dari gendang

(11)

11

sitelu-telu, gung sada rabaan, lobat (aerophone), kalondang (xylophone),7 dan

kucapi (short neck lute). Ensambel ini digunakan pada upacara suka cita (kerja mbaik) seperti upacara penikahan dan untuk mengiringi tarian.

Oleh karena data yang didapat penulis adalah upacara yang bersifat duka cita atau kerja njahat ncayur tua8 yang berlokasi di desa Natam Jehe, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat. dan pada upacara tersebut melaksanakan salah satu kegiatan adat mengkerboi, maka penulis memfokuskan untuk membahas tentang musik yang yang dimainkan pergotci pada saat proses upacara mengkerboi berlangsung untuk dijadikan tulisan ilmiah. Terlebih karena acara ini tergolong jarang dilaksanakan di daerah Pakpak sendiri, dan sebagai orang yang bersuku Pakpak, penulis merasa ini menjadi beban moral dan tanggung jawab untuk memelihara dan meregenerasikan Budaya Pakpak.

Kajian ini tentu saja menggunakan disiplin ilmu etnomusikologi, yaitu ilmu yang penulis pelajari selama kurun empat tahun terakhir ini. Untuk itu, konsep keilmuan (saintifk) tentang apa itu etnomusikologi, yang kemudian penulis gunakan dalam mengkaji musik dalam upacara mengkerboi ini, adalah menggunakan konsep yang diajukan oleh Society for Ethnomusicology (SEM) dalam websitenya webdb.iu.edu.

7

Xilo (kayu) fon (suara/bunyi) yang artinya adalah kayu atau bilah kayu yang bersuara, (www.wilkipedia.com). Xilofon ini dalam konteks musik di seluruh dunia biasanya berbetuk bilahan-bilahan kayu. Sedangkan alat-alat musik yang terbuat dari logam ada pula yang bberbetuk bilahan, misalnya saron dalam musik Jawa. Untuk membedakan alat-alat musik bilahan yang terbuat dari kayu dan logam ini, maka xilofon biasanya merujuk kepada alat musik berbilahan kayu, dan

metalophone keys merujuk kepada alat musik berbilahan logam.

8

Jenis upacara kematian orang tua yang sudah lanjut usia dan semua keturunannya telah berumah tangga, dan sudah memiliki cucu maupun cicit. Di kalangan masyarakat lain di Sumatera Utara, terdapat pula upacara sejenis, yaitu di dalam kebudayaan Batak Toba disebut saur matua, di dalam kebudayaan Simalungun disebut sayur matua, dan di dalam kebudayaan Karo disebut cawir

(12)

12

Dalam konteks perkembangan disiplin etnomusikologi masa kini, penjelasan mengenai apa itu etnomusikologi adalah seperti kutipan dari laman web resmi Society for Ethnomusicology sebagai berikut.

Ethnomusicology encompasses the study of music-making throughout the world, from the distant past to the present. Ethnomusicologists explore the ideas, activities, instruments, and sounds with which people create music.European and Chinese classical musics, Cajun dance, Cuban song, hip hop, Nigerian juju, Javanese gamelan, Navajo ritual healing, and Hawaiian chant are a few examples of the many varieties of music-making examined in ethnomusicology. Ethnomusicology is interdisciplinary—many ethno-musicologists have a background not only in music but in such areas as anthropology, folklore, dance, linguistics, psychology, and history.Ethnomusicologists generally employ the methods of ethnography in their research. They spend extended periods of time with a music community, observe and document what happens, ask questions, and sometimes learn to play the community’s types of music. Ethnomusicologists may also rely on archives, libraries, and museums for resources related to the history of music traditions. Sometimes ethnomusicologists help individuals and communities to document and promote their musical practices.Most ethnomusicolo-gists work as professors at colleges and universities, where they teach and carry out research. A significant number work with museums, festivals, archives, libraries, record labels, schools, and other institutions, where they focus on increasing public knowledge and appreciation of the world’s music.Many colleges and universities have programs in ethnomusicology. To see a list of some of these programs, visit our guide to Program in Ethnomusicology (http://webdb.iu.edu)

Dalam situs web tersebut dipaparkan dengan tegas bahwa etnomusikologi adalah kajian keilmuan yang menjangkau terbentuknya musik di seluruh dunia ini, dari masa dahulu hingga sekarang. Etnomusikologi mengeksplorasi segala gagasan, kegiatan, alat-alat musik, dan suara yang dihasilkan (alat-alat musik atau vokal), dengan masyarakat yang menghasilkan musik tersebut. Musik klasik Eropa dan China, tarian Cajun, nyanyian masyarakat Kuba, hip hop, juju dari Nigeria,

(13)

13

gamelan Jawa, ritual penyembuhan penyakit masyarakat Indian Navaho, nyanyian

keagamaan Hawaii, adalah beberapa contoh kajian terhadap musik di seluruh dunia, yang dilakukan oleh para etnomusikolog.

Etnomusikologi merupakan disiplin ilmu pengetahuan yang sifatnya interdisiplin. Beberapa etnomusikolog mempunyai latar belakang tidak hanya di dalam musik saja, tetapi ada yang berasal dari bidang ilmu antropologi, folklor, tari, linguistik, psikologi, dan sejarah. Etnomusikologi secara umum melibatkan metode etnografi dalam penelitiannya. Para etnomusikolog mengkaji musik dalam dimensi waktu dan komunitas pendukungnya, mengamati, mengumpulkan dokumen tentang apa yang terjadi, bertanya tentang apa yang diteliti, dan juga turut terlibat memainkan musik seperti yang dilakukan komunitasnya. Para etnomusikolog juga melakukan studi terhadap arsip, perpustakaan, dan museum, untuk mencari sumber-sumber yang berkaitan dengan sejarah musik. Kadangkala etnomusikolog melakukan dokumentasi dan mempromosikan pertunjukan musik. Sebahagian besar etnomusikolog biasanya menjadi ilmuwan di berbagai jenis pendidikan dan universitas. Sejumlah karya penting mereka berkaitan dengan museum, festival, arsip, perpustakaan, label rekaman, sekolah, berbagai institusi, di mana mereka memfokuskan pencerahan untuk ilmu pengetahuan dan apresiasi musik di seluruh dunia. Beberapa perguruan tinggi dan universitas mempunyai program etnomusikologi.

Dalam kaitannya dengan musik dalam upacara mengkerboi di dalam budaya etnik Pakpak, maka disiplin etnomusikologi sangat relevan digunakan untuk mengkaji fenomena budaya, sosial, dan seni. Studi musik dalam kebudayaan adalah

(14)

14

salah satu pendekatan di dalam etnomusikologi. Demikian pula yang penulis terapkan di dalam meneliti dan menulis skripsi sarjana ini.

Dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut dalam sebuah tulisan ilmiah yang berbentuk skripsi sarjana, dengan judul: “Analisis Fungsi dan Struktur Ritme Repertoar Gendang Mengkerboi dalam Upacara Ncayur Ntua Masyarakat Pakpak di Desa Natam Jehe, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat.”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana pelaksanaan kegiatan upacara mengkerboi dalam upacara adat kerja njahat ncayur ntua pada masyarakat Pakpak di Desa Natam Jehe Kerajaan Pakpak Bharat?

2. Sejauh apa guna dan fungsi musik tradisional Pakpak dalam upacara adat mengkerboi dalam upacara adat kerja njahat ncayur ntua (kerja njahat) pada masyarakat Pakpak di Desa Natam Jehe Kerajaan Pakpak Bharat?

3. Bagaimana pola ritme repertoar Gendang Mengkerboi yang digunakan dalam kegiatan mdalam upacara adat kerja njahat ncayur ntua pada masyarakat Pakpak di Desa Natam Jehe Kerajaan Pakpak Bharat?

(15)

15 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Untuk mengetahui, memahami, menganalisis bagaimana struktur dan aturan-aturan kegiatan adat mengkerboi yang dilaksanakan dalam upacara adat ncayur ntua pada masyarakat Pakpak di Desa Natam Jehe Kerajaan Pakpak Bharat.

2) Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis sejauh apa guna dan fungsi musik tradisional Pakpak dalam upacara adat mengkerboi pada masyarakat Pakpak di Desa Natam Jehe Kerajaan Pakpak Bharat? 3) Untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis bagaimana struktur

musik repertoar Gendang Mengkerboi pada upacara mengkerboi pada masyarakat Pakpak di Desa Natam Jehe Kerajaan Pakpak Bharat.

1.3.2 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai budaya Pakpak di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatra Utara.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan selanjutnya.

3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.

(16)

16

4. Sebagai suatu upaya untuk memelihara dan melestarikan musik tradisional daerah sebagai bagian dari budaya Nasional.

5. Untuk memenuhi syarat ujian untuk mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan 1.4.1 Konsep yang Digunakan

Pengertian istilah konsep, yang penulisgunakan di dalam konteks penulisan skripsi ini, merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991:431). Jadi konsep berasal dari kenyataan sesungguhnya yang kemudian diabstrakkan.

Di dalam skripsi sarjana ini, konsep yang perlu diuraikan adalah terutama menjelaskan judul skripsi dan yang berkait dengannya. Adapun konsep-konsep yang perlu diurai adalah: (1) analisis atau kajian, (2) musik, (3) penggunaan dan fungsi, (4) struktur, (5) ritme, (6) repertoar (7) mengkerboi, (8) upacara, (9)

ncayur ntua, dan (10) masyarakat Pakpak.

(1) Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari Kamus Besar Bahasa

Indonesia edisi keempat (2008:58), kajian atau analisis adalah penguraian suatu

pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Berpedoman dengan definisi di atas, kata analisis dalam tulisan ini berarti hasil penguraian dan penelaahan objek penelitian, dalam hal ini adalah

(17)

17

kajian terhadap dua aspek utama yaitu fungsi dan struktur ritme Gendang

Mengkerboi sebagai sebuah repertoar (yang terdiri dari empat lagu) dalam konteks

upacara ncayur ntua masyarakat Pakpak.

(2) Istilah musik dalam Oxford Universal Dictionary Third Edition (Merriam, 1964:27) didefinisikan sebagai berikut: That one of the fine arts which is

concerned with the combination of sounds with a view to beauty of form and the expression of thought or feeling. Artinya secara harfiah adalah salah satu bagian

seni murni yang meliputi kombinasi bunyi-bunyian dengan suatu pandangan dalam memperindah bentuk dan ekspresi hasil pikiran atau perasaan.

Selain itu, musik diartikan di dalam American College Dictionary Text

Edition (Merriam 1964:27) sebagai: An art of sound in time which expresses ideas and emotions in significant forms through the elements of rhythm, melody, harmony, and color. Artinya musik adalah sebagai salah satu seni yang medianya

suara diolah berdasarkan waktu, yang mengekspresi berbagai gagasan dan emosi dalam bentuk yang signifikan melalui unsure-unsur ritme, melodi, harmoni, dan warna suara. Berdasarkan dua pengertian musik di atas, dapat disimpulkan bahwa musikal adalah suatu hal yang berkaitan dengan hasil pikiran dan perasaan di mana mengandung kombinasi bunyi-bunyian (ritme, melodi, harmoni, dan warna) dan berbagai ide serta emosi.

(3) Istilah penggunaan dan fungsi, lazim dipakai dalam disiplin etnomusikologi. Merriam menjelaskan kaitan dan perbedaan yang bernuansa antara konsep penggunaan dan fungsi musik dalam masyarakat, seperti berikut ini. Merriam membedakan pengertian penggunaan (uses) dan fungsi (functions) musik

(18)

18

berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bagiannya. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seseorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dikaji sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, menikah, dan berumah tangga—dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanismenya berhubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara.

Oleh karena itu, menurut Merriam “penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh musik yang dikaji. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa penggunaan repertoar Gendang Mengkerboi adalah untuk mengiringi jalannya upacara ncayur ntua, sedangkan fungsinya adalah untuk mengabsahkan upacara tersebut, sebagai hiburan, komunikasi, perlambangan, integrasi sosial, mengekspresikan struktur kekerabatan daliken sitelu, pertanda peralihan antara alam kehidupan dengan alam berikutnya, dan lain-lainnya.

(19)

19

(4) Yang dimaksud dengan struktur di dalam tulisan ini adalah mengacu kepada KBBI (1991), yaitu: (i) cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan, bangunan; (ii) yang disusun dengan pola tertentu; (iii) pengaturan unsur atau bagian suatu benda; (iv) ketentuan unsur-unsur dari suatu genda; (v) dalam linguistik adalah pengaturan pola dalam bahasa secara sintagmatis. Dalam skripsi sarjana ini, yang penulis maksudkan dengan struktur adaalah cara repertoar Gendang

Mengkerboi disusun atau dibangun oleh ritme-ritmenya yang terdiri dari meter

(birama), pulsa dasar (taktus), dan unit-unit pembentuk birama, seperti durasi not, aksentuasi, down beat, up beat, dupel, kuadrupel, cepat dan lambatnya tempo lagu, dan lain-lainnya.

(5) Seterusnya masih menurut KBBI (1991) yang dimaksud ritme adalah gerakan berturut-turut secara teraturm turun dan naiknya lagu (bunyi) yang beraturan. Ritme ini juga memiliki makna yang sama dengan irama. Di dalam skripsi sarjana ini, yang penulis maksud dengan ritme adalah irama yang dihasilkan oleh alat-alat musik dalam ensambel genderrang yang disajikan di dalam upcara

kerja njahat ncayur ntua pada masyarakat Pakpak, terutama di lokasi penelitian,

Desa Natam Jehe Kerajaan Pakpak Bharat.

(6) Seterusnya, konsep tentang repertoar (dari bahasa Inggris repertoire) dalam tulisan ini adalah: (a) persediaan nyanyian, lakon, opera yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok seni yang siap untuk dimainkan; (b) daftar lagu, judul sandiwara, opera, dan sebagainya yang akan disajikan oleh pemain musik, sanggar penyanyi, dan sebagainya; (c) istilah linguistik perbendaharaan bahasa (dialek, ragam) yang dimiliki oleh seseorang atau masyarakat (KBBI online). Di

(20)

20

dalam skripsi sarjana ini, yang dimaksud dengan repertoar adalah persediaan nyanyian atau lagu yang disajikan ensambel genderrang, yang dalam upacara mengkerboi terdiri dari lagu-lagu: (1) Gendang Si Sangkar Roh, (2) Gendang

Gajah Mangiring, (3) Gendang Mangiring Gajah, dan (4) Gendang Raja.

(7) Mengkerboi adalah istilah yang digunakan masyarakat Pakpak untuk penyembelihan kerbau yang dibawa oleh kula-kula untuk dijadikan persulangen dengan empat tahapan yaitu, acara membawa kayu jeretten sebagai tiang untuk tempat diikatnya kerbau yang akan disembelih, urutan kedua yaitu mengiring ke tiang jeretten, urutan ketiga yaitu penyembelihan kerbau dan yang terakhir adalah

menampakken page tumpar, di bagian ini padi akan di tumpahkan ke sekeliling

tempat penyembelihan kerbau. Pada saat melaksanakan kegiatan mengkerboi, setiap tahapan harus diiringi oleh genderrang.

(8) Selanjutnya, konsep mengenai upacara menurut KBBI (1991) adalah: (i) tanda-tanda kebesaran seperti payung kerajaan, seperti dalam kalimat dayang-dayang mengiringkan raja, masing-masing membawa upacara [tanda kebesaran]; (ii) peralatan menurut adat-istiadat, rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu menurut adat atau agama, misalnya dalam kalimat upacara perkawinan dilakukan secara sederhana; (iii) perbuatan atau perayaan yang dilakukan atau diadakan sehubungan dengan peristiwa penting (seperti pelantikan pejabat, pembukaan gedung baru); contoh dalam kalimat upacara pelantikan bupati, upacara peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, dan lainnya. Dalam tulisan ini, yang dimaksud upacara adalah seperti konsep pada butir (ii) dan (iii) yang tertera di dalam KBBI, khususnya upacara kematian ncayur ntua yang mengikuti

(21)

21

adat dan agama serta perbuatan dan perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting dalam budaya masyarakat Pakpak yaitu kematian ncayur ntua, sebagai kematian ideal bagi masyarakatnya.

Dalam kebudayaan Pakpak, upacara ini secara umum disebut dengan kerja. Berdasarkan jenisnya dibagi dua yaitu upacara duka cita yang disebut dengan kerja

njahat (misalnya kematian dan mengangkat tulang leluhur) dan upacara suka cita

(misalnya perkawinan dan pesta panen) yang disebut dengan kerja mbaik. Terdapat lima jenis upacara kematian dalam budaya masyarakat Pakpak yaitu: (1) Mate

bura-bura koning jika yang meninggal dunia berusia satu hingga lima tahun, (2) Mate bura-bura cipako jika yang meninggal dunia berusia enam sampai lima belas

tahun, (3) Males bulung buluh jika yang meninngal dunia dana meninggalkan anak yang masih kecil, (4) Males bulung sampula yang meninggal dunia sudah termasuk berusia tua tetapi keturunannya belum semua berkeluarga, dan (5) Males

bulung sibernae (ncayur ntua ) adalah kategori kematian yang paling tinggi

tingkatannya karena meninggal dalam usia tua dan semua keturunannya sudah berkeluarga dan mempunyai cucu dan bahkan sudah meningglakan cicit juga.

Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas mengenai upaca kematian

ncayur ntua saja. Ncayur ntua adalah jenis jenis upacara kematian orang tua yang

sudah lanjut usia dan semua keturunannya telah berumah tangga, dan sudah memiliki cucu maupun cicit.9

9

(22)

22 1.4.2 Teori yang Digunakan

Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991:1041). Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa landasan teori yang berkaitan (relevan) dengan tulisan ini.

Artinya secara harfiah, teori adalah sebuah rangkaian hubungan konsep, definisi, dan proposisi yang menunjukkan suatu urutan yang sistematis dari fenomena dengan menggambarkan hubungan antara banyak variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan fenomena tersebut. Dengan ini, penulis menggunakan teori untuk membahas dan menjawab tiga pokok permasalahan seperti telh diurai dalam bagian latar pokok masalah.

Untuk menganalisis pokok masalah pertama yaitu upacara adat ncayur tua suku Pakpak di Desa Natam Jehe penulis berpedoman pada teori upacara yang menjadi perhatian dari para ahli antropologi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2009:296), yakni secara khusus mengandung empat aspek: (1) tempat upacara dilakukan; (2) saat-saat upacara dijalankan; (3) benda-benda dan alat upacara; dan (4) orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara.

Selanjutnya dalam menganalisis upacara ncayur tua, tertama bagian

mengkerboi, dalam konteks kebudayaan, penulis menggunakan teori tradisi lisan.

Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sistem-sistem musik yang berbeda, karena kebudayaan musik dunia dikerjakan dengan cara yang tidak sama oleh setiap pendukung kebudayaan (Nettl, 1977:3). Sistem-sistem musik tersebut dapat berupa teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumentasian, penggunaan, fungsi,

(23)

23

pengajaran, estetika, kesejarahan, dan lain-lain. Salah satu sistem yang terlihat jelas dalam suatu kebudayaan musik dunia adalah pengajarannya yang diwariskan dari mulut ke mulut yang lazim disebut oral tradition (Nettl, 1973:3). Dengan demikian pewarisan kebudayaan melalui mulut ke mulut dapat menciptakan hasil kebudayaan musik yang berbeda dari setiap generasi. Hal ini tentu dapat dijadikan sebagai hal yang menarik untuk diteliti dan harus diketahui tentang materi-materi lisan dan variasi ragam musik yang menggunakan istilah-istilah ideal dari suatu kebudayaan musik itu sendiri. Tradisi lisan dalam pewarisan kebudayaan musik menciptakan berbagai ragam variasi musik dan materi-materi lisan. Gendang

mengkerboi merupakan bagian dari pewarisan budya musik suku Pakpak yang

tercipta bersamaan dengan perubahan waktu dan lingkungan sebagai konsekuensi dari tradisi lisan.

Seterusnya untuk menganalisis guna dan fungsi musik repertoaar Gendang

Mengkerboi di dalam kebudayaan etnik Pakpak, khususnya di Desa Natam Jehe, penulis menggunakan teori fungsionalisme. Menurut Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Contohnya, kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Teknologi muncul karena manusia ingin mudah bekerja di dalam mengisi hidupnya. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu.

(24)

24

Dengan paham ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak

masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.10

Selaras dengan pendapat Malinowski, repertoar Gendang Mengkerboi pada upacara ncayur tua, dalam budaya masyarakat Pakpak, timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakatnya. Musik ini timbul, karena masyarakat pendukungnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan dan ritual. Namun lebih jauh dari itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, dan lainnya.

Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.

By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may

10

Abstraksi tentang fungsi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi begitu mantap (Koentjaraningrat, 1987:67).

(25)

25

define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated (1952:181).

Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, musik Gendang Mengkerboi bisa dianggap sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat Pakpak. Pertunjukan musik tersebut adalah salah satu bagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat Pakapak. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Pakpak, khususnya di wilayah penelitian ini adalah Desa Natam Jehe.

Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada kebiasaan (the ways) musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210).

Untuk mengkaji struktur ritme pada repertoar Gendang Mengkerboi, penulis juga menggunakan teori analisis waktu di dalam musik oleh William P.

(26)

26

Malm (dalam terjemahan Takari, 2003) yang mengatakan ada langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pengamatan seni pertunjukan yaitu: (1) mendeskripsikan sifat seni pertunjukan apakah penyanyi dan/atau pemain musik; (2) menganalisis “waktu” termasuk di dalamnya meter, pulsa dasar (taktus), dan unit-unit pembentuk birama, serta; (3) menganalisis melodi musik dengan menggunakan metode weighted scale (bobot tangga nada).

Sesuai dengan judul, maksud, serta tujuan penelitian ini, penulis menggunakan langkah pertama mengenai peretunjukan, dan kedua yaitu menganalisis unsur “waktu” lewat pendekatan musik Barat yang terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) mencatat tempo dalam tanda-tanda metronom (jumlah ketukan dasar per menit); (2) menotasikan ritme yang dihasilkan, serta hubungannya dengan melodi; (3) mencatat meter atau tanda birama (skema waktu dalam musik) untuk dapat menetukan pulsa dasar berdasarkan ketukan-ketukan beraksen (sesuai dengan latar belakang budaya si penulis); dan (4) Merangkum pulsa-pulsa ini ke dalam unit-unit yang disebut birama (Takari, 1993).

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

sasaran ilmu yang bersangkutan, (Koentjaraningrat, 1997:16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memahami permasalahan yang telah ditetapkan.

Penulis juga menerapkan penelitian kualitatif, yaitu tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), Tahap kerja lapangan, Analisis data dan penulisan laporan

(27)

27

(Moleong, 2002:109). Di samping itu, untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (laboratory work). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir.

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data. Dalam hal ini digunakan dua macam metode, yakni menggunakan daftar pertanyaan tertulis (questionnaires), dan menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut, dalam penelitian ini digunakan pengamatan (observation) dan penggunaan catatan harian (Djarwanto, 1984:25).

1.5.1 Studi Kepustakaan

Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.

Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini.

(28)

28 1.5.2 Kerja Lapangan

Menurut Harja W. Bachtiar (1985:108), bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan (field work) dengan menggunakan teknik observasi untuk melihat, mengamati objek penelitian dengan tujuan mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan.

Dalam hal ini, penulis juga langsung melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang telah diketahui sebelumnya, dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara penulis dengan informan, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru, yang menjadi bahan pertanyaan yang dirasa mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini dilakukan untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar, untuk mendukung proses penelitian.

1.5.3 Wawancara

Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1985:139), yaitu: wawancara berfokus (focused interview), wawancara bebas (Free interview), dan wawancara sambil lalu (casual interview). Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.

(29)

29

Lebih jauh lagi, menurut Harja W. Bachtiar (1985:155), wawancara adalah untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada yang hilang. Seterusnya agar data nantinya dikaji, maka dilakukan pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera Canon 1100d.

1.5.4 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan dari berbagai sumber yaitu hasil pengamatan, hasil wawancara, rekaman audio, visual, dan audiovisual,

selanjutnya ditelaah dan diolah dalam kerja laboratorium. Penulis

menstranskripsikan bunyi musik yang telah direkam. Transkripsi dilakukan dengan menggunakan notasi balok dengan bantuan perangkat lunak program sibellius agar memperjelas kualitas notasi balok di dalam tulisan ini. Hasilnya dapat dilihat dalam Bab V skripsi ini. Aktivitas berikutnya adalah menganalisis aspek ritmenya.

Setelah melakukan kerja laboratorium, maka penulis membuatnya ke dalam sebuah tulisan ilmiah berbentuk skripsi sarjana sesuai dengan teknik-teknik penulisan karya ilmiah yang berlaku di Program Studi Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Sesuai dengan pendekatan di bidang etnomusikologi, maka dalam menganalisis repertoar Gendang Mengkerboi dalam upacara ncayur tua perlu dilihat dalam konteks multidisiplin ilmu. Dengan demikian, tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pembaca dan menambah wawasan pengetahuan di bidang etnomusikologi.

(30)

30

Untuk mengetahui sistem permainan atau teknik permainan alat musik yang terdapat dalam ansambel gendrang silima yang digunakan dalam acara gendang

mengkerboi, penulis mengacu pada teori berikut: ”Kita dapat menganalisis dan

mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat”

Selanjutnya Charles Seeger juga mengemukakan dalam Nettl (1964:100) yaitu: ”Ada dua tujuan musikal yaitu secara perspektif dan deskriptif. Secara ringkas diterangkan bahwa perspektif dapat disebut sebagai notasi yang tidak lebih dari untuk membantu pemain mengingat terhadap musik pada saat pertunjukan. Sedangkan deskriptif adalah notasi yang menuliskan semua karakter musikal secara rinci dari suatu komposisi musik yang diperdengarkan.”

1.5.5 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat berlangsungnya kegiatan upacara Ncayur tua di Desa Natam Jehe, Kecamatan Kerajaan, Kabupaten Pakpak Bharat. Desa ini dihuni oleh mayoritas penduduknya suku Pakpak. Cara penulis melihat desa ini adalah baik secara administratif pemerintahan Republik Indonesia, maupun secara antropologis, yaitu melihatnya sebagai sebuah wilayah kebudayaan etnik, dalam hal ini etnik Pakpak. Tentu saja ada perbedaan antara cara melihat etnik berdasarkan wilayah administratif dan wilayah kebudayaan.

(31)

31 Bagan1.1:

Latar Belakang Kajian Etnomusikologis terhadap Fungsi dan Struktur Ritme Repertoar Gendang Mengkerboi dalam Upacara Ncayur Ntua Masyarakat Pakpak

(32)

32 BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Letak Geografis Kabupaten Pakpak Bharat

Kabupaten Pakpak Bharat adalah salah satu kabupaten yang ada di Sumatera Utara. Kabupaten ini dibentuk pada tanggal 25 Februari 2003, beribukotakan Kota Salak. Kabupaten ini berdiri sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi. Kini Kabupaten Pakpak Bharat memiliki 8 kecamatan, yaitu Kecamatan Salak, Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe, Kecamatan Pangindar, Kecamatan Sitellu Tari Urang Julu, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut, Kecamatan Kerajaan, Kecamatan Tinada, dan Kecamatan Siempat Rube—dan memiliki sebanyak 52 desa.

Pakpak Bharat bukan menunjukkan daerah Pakpak yang terletak di bagian barat, melainkan memiliki dua arti nama yang digabungkan menjadi satu yaitu Pakpak adalah nama daerah sedangkan Bharat artinya adalah baik, jadi Pakpak Bharat adalah daerah Pakpak yang baik. Kabupaten Pakpak Bharat terletak pada garis 2,00–3,00 Lintang Utara dan 96,00–98,30 Bujur Timur, dan berada di ketinggian 2501.400 M di atas permukaan laut.

Kabupaten Pakpak Bharat memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut.

(1) Sebelah Utara: Kecamatan Silima Pungga-pungga, Kecamatan Lae Parira dan Kecamatan Sidikalang Kabupaten Dairi;

(2) Sebelah Selatan: Kecamatan Tara Bintang Kabupaten Humbang Hasundutan,

(33)

33

(3) Sebelah Timur: Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi, Kecamatan Harian Kabupaten Tobasa; dan

(4) Sebelah Barat: Kecamatan Aceh Singkil Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

Luas keseluruhan Kabupaten Pakpak Bharat adalah 1.218,30 km (121.830 Ha) atau 1,7 dari luas Provinsi Sumatera Utara. Dari luas wilayah tersebut 63.974 Ha (52,51) diantaranya merupakan lahan yang efektif dan 53.156 Ha (43,63) merupakan lahan yang belum dioptimalkan. Pada umumnya masyarakat Pakpak Bharat tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian utamanya adalah bertani. (Data Statistik Kecamatan Kerajaan 2013)

Gambar 2.1:

(34)

34 2.2 Sistem Kepercayaan

Sebelum agama Islam dan Kristen masuk ke wilayah Pakpak, masyarakat setempat menganut kepercayaan yang disebut persilihi atau perbegu. Persilihi atau

perbegu ini ialah suatu kepercayaan yang meyakini bahwa alam ini berada di

bawah kuasa pengaruh roh gaib atau dengan adanya Dewa-Dewa maupun roh-roh nenek moyang yang dikultuskan (Naiborhu, 1988 : 22-26).1

2.2.1 Kepercayaan Terhadap Dewa-dewa

Sebelum agama Kristen dan Islam masuk ke lingkungan masyarakat Pakpak, masyarakat mempercayai kekuatan gaib dan percaya bahwa alam adalah sumber kehidupan. Masyarakat Pakpak percaya terhadap Debata Guru/Sinembe

nasa si lot yang artinya maha pencipta segala sesuatu yang ada di bumi ini yang

diklasifikasikan atau diistilahkan sebagai berikut.

Debata Guru atau Batara Guru menjadikan wakilnya untuk menjaga dan melindungi, yaitu:

1. Beraspati Tanoh

Diberi simbol dengan menggambar cecak yang berfungsi melindungi segala tumbuh-tumbuhan. Jadi, jika seorang orang tua menebang pohon bambu, kayu atau tumbuhan lainnya, maka ia harus permisi kepada Beraspati Tanoh.

2. Tunggung Ni Kuta

Tunggung Ni Kuta ini diyakini mempunyai peranan untuk menjaga dan

melindungi kampung atau desa serta manusia sebagai penghuninya. Karena itu,

1

Skripsi Sarjana Kajian Organologi Kucapi Pakpak Buatan Bapak Kami Capah di

(35)

35

maka Tunggung Ni Kuta memberikan kepada manusia beberapa benda yaitu sebagai berikut:

a. Lapihen, yaitu terbuat dari kulit kayu yang di dalamnya terdapat tulisan- tulisan yang berbentuk mantra ataupun ramuan obat-obatan serta ramalan-ramalan.

b. Naring, yaitu wadah berisi ramuan untuk pelindung kampung. Apabila suatu kampung akan mendapat ancaman, maka naring akan memberikan pertanda berupa suara gemuruh ataupun siulan.

c. Penghulu balang, yaitu sejenis patung yang terbuat dari batu yang berfungsi untuk memberikan sinyal berupa gemuruh sebagai tanda gangguan, bala, musuh, atau penyakit bagi suatu desa.

d. Sibiangsa, yaitu wadah berbentuk guci yang diisi ramuan yang ditanam di dalam tanah yang bertugas mengusir penjahat yang datang.

e. Sembahen ni ladang, yaitu roh halus dan penguasa alam sekitarnya yang diyakini dapat menggangu kehidupan dan sekaligus dapat melindungi kehidupan manusia apabila diberi sesajian.

f. Tali solang, yaitu tali yang disimpul di ujungnya, mempunyai kepala ular yang digunakan untuk menjerat musuh.

g. Tongkat balekat, yaitu terbuat dari kayu dan hati ular yang berukuran lebih kurang satu meter yang diukir dengan ukiran Pakpak dan dipergunakan untuk menerangi jalan.

h. Kahal-kahal, yaitu menyerupai telapak kaki manusia untuk melawan musuh.

(36)

36

i. Mbarla, yaitu roh yang berfungsi untuk menjaga ikan di laut, sungai dan danau.

j. Sineang Naga Lae, yaitu roh yang menguasai laut, danau dan air.

2.2.2 Kepercayaan terhadap Roh- Roh

Selain kepercayaan terhadap Dewa-dewa, masyarakat Pakpak juga memiliki kepercayaan terhadap roh-roh yang meliputi:

a. Sumangan, yaitu tendi (roh) orang yang sudah meninggal mempunyai kekuatan yang menentukan wujud dan hidup seseorang yang dikenang. b. Hiang, yaitu kekuatan gaib yang dibagikan kepada saudara secara turun

temurun.

c. Begu Mate Mi Lae atau disebut juga dengan begu Sinambela, yaitu roh orang yang sudah meninggal diakibatkan karena hanyut di dalam air atau sungai.

d. Begu Laus, yaitu sejenis roh yang menyakiti orang yang datang dari tempat lain dan dapat membuat orang menjadi sakit secara tiba-tiba.

Kepercayaan-kepercayaan di atas sudah jarang dilaksanakan oleh masyarakat Pakpak khususnya yang berada di wilayah Kecamatan Kerajaan sejak masuknya agama. Masyarakat Pakpak di daerah ini sebagian besar sudah memeluk agama yang tetap, yaitu agama yang sudah diakuai oleh pemerintah. Sebagian besar masyarakat yang ada di daerah ini beragama Islam, Kristen, dan sebagian kecil beragama Katolik.

(37)

37 2.3 Sistem Bahasa

Pada umumnya, bahasa yang dipakai oleh masyarakat di Kecamatan Kerajaan adalah bahasa Pakpak, karena mayoritas penduduk di sana adalah suku Pakpak. Hal ini menyebabkan kehidupan sehari-hari penduduk di sana menggunakan bahasa Pakpak begitu juga dalam acara adat. Terdapat juga sebagian kecil suku lain seperti suku Batak Toba, Karo, Nias, dan Jawa yang datang ke daerah Kecamatan Kerajaan. Dalam realitas sosial, setelah tinggal beberapa lama di sana, masyarakat dari suku-suku tersebut diatas sudah mengerti dan fasih menggunakan bahasa Pakpak. Selain bahasa Pakpak, bahasa yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Indonesia yang digunakan di tempat-tempat umum, seperti sekolah, puskesmas dan kantor kelurahan.

Ada beberapa jenis gaya bahasa yang digunakan dalam kehidupan masyarakat Pakpak, yaitu:

1. Rana telangke yaitu kata-kata perantara atau kata-kata tertentu untuk menghubungkan maksud si pembicara terhadap objek si pembicara.

2. Rana tangis yaitu gaya bahasa yang dituturkan dengan cara menangis atau bahasa yang digunakan untuk menangisi sesuatu dengan teknik bernyanyi (narrative songs atau lamenta dalam istilah etnomusikologi) yang disebut tangis mangaliangi (bahasa tutur tangis).

3. Rana mertendung yaitu gaya bahasa yang digunakan di hutan.

4. Rana nggane yaitu bahasa terlarang, tidak boleh diucapkan di tengah-tengah kampung karena dianggap tidak sopan, dan

5. Rebun (rana tabas atau mangmang) yaitu bahasa pertapa datu atau bahasa mantera oleh guru (Naiborhu, 2002:51).

(38)

38 2.4 Sistem Kekerabatan

Seperti halnya etnik lain, etnik Pakpak juga memiliki sistem kekerabatan yang dapat membedakannya dengan etnik lainnya. Di dalamnya mencakup marga (klen), dan sulang silima, seperti uraian berikut ini.

2.4.1 Marga

Marga dalam kajian antropologi disebut dengan klen yaitu suatu kelompok kekerabatan yang dihitung berdasarkan satu garis (unilineal), baik melalui garis laki-laki (patrilineal) maupun perempuan (matrilineal). Marga pada masyarakat Pakpak bukan hanya sekedar sebutan atau konsep tetapi di dalamnya nilai budaya yang mencakup norma dan hukum yang berguna untuk mengatur kehidupan sosial. Misalnya dengan adanya marga maka dikenal perkawinan eksogami marga, yakni adat yang mengharuskan seseorang kawin diluar marganya. Bila terjadi perkawinan semarga maka orang tersebut diberi sanksi hukum berupa pengucilan, cemoohan, dan malah pengusiran, karena melanggar adat yang berlaku.

2.4.2 Sulang Silima

Sulang silima adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari kula- kula, dengan sebeltek siampun-ampun/ anak yang paling kecil, serta anak berru. Sulang silima ini berkaitan dengan pembagian sulang/jambar dari daging-daging tertentu

dari seekor hewan seperti kerbau, lembu, atau babi yang disembelih dalm konteks upacara adat masyarakat Pakpak. Pembagian daging/jambar ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan pihak kesukuten atau yang melaksanakan

(39)

39

upacara. Dalam masyarakat Pakpak, kelima kelompok tersebut masing- masing mempunyai tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam acara adat.

(1) Kula-kula

Kula-kula merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam sistem

kekerabatan pada masyarakat Pakpak. Kula-kula adalah kelompok/pihak pemberi istri dalam sistem kekerabatan masyarakat Pakpak dan merupakan kelompok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai pemberi berkat oleh masyarakat. Dengan demikian, kula-kula juga disebut dengan istilah Debata Ni Idah (Tuhan yang dilihat). Oleh karena itu, pihak kula-kula ini haruslah dihormati. Sikap menentang

kula-kula sangat tidak dianjurkan dalam kebudayaan masyarakat Pakpak. Dalam

acara-acara adat, kelompok kula-kula diwajibkan untuk hadir, termasuk juga dalam adat kematian dan mendapat peran yang penting termasuk juga dalam upacara kematian.

(2) Dengan sebeltek/senina

Dengan sebeltek/senina adalah mereka yang mempunyai hubungan tali

persaudaraan yang mempunyai marga yang sama. Mereka adalah orang-orang yang satu kata dalam permusyawaratan adat. Selain itu, dalam sebuah upacara adat ada kelompok yang dianggap dekat dengan sebeltek, yaitu senina. Dalam sebuah acara adat, senina dan seluruh keluarganya akan ikut serta dan mendukung acara tersebut. Secara umum, hubungan senina ini dapat disebabkan karena adanya hubungan pertalian darah, sesubklen/semarga, memiliki ibu yang bersaudara, memiliki istri yang bersaudara dan memiliki suami yang bersaudara.

(40)

40 (3) Anak beru

Anak berru artinya anak perempuan yang disebut dengan kelompok

pengambil anak dara dalam sebuah acara adat, anak berru lah yang bertanggung jawab atas acara adat tersebut. Tugas anak berru adalah sebagai pekerja, penanggung jawab dan pembawa acara pada sebuah acara adat. Sedangkan situaan adalah anak yang paling tua, siditengah adalah anak tengah dan siampun-ampun adalah anak yang paling kecil. Mereka adalah pihak yang mempunyai ikatan persaudaraan yang terdapat dalam sebuah ikatan keluarga.

Kelima kelompok di atas mempunyai pembagian sulang (jambar) yang berbeda, yaitu sebagai berikut: Kula-kula (pihak pemberi istri dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang per-punca naidep. Situaan (orang tertua yang menjadi tuan rumah sebuah pesta akan mendapat sulang per-isang-isang).

Siditengah (keluarga besar dari keturunan anak tengah) akan mendapat sulang per-tulan tengah. Siampun-ampun (keturunan paling bungsu dalam satu keluarga) akan

mendapat sulang perekur-ekur. Anak berru (pihak yang mengambil anak gadis dari keluarga yang berpesta) akan mendapat sulang perbetekken atau takal peggu. Biasanya penerimaan perjambaren anak berru disertai dengan takal peggu, yang artinya mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap berjalannya pesta. Anak berru memiliki peran dan tanggungjawab yang besar dalam setiap pesta, karena anak berru lah yang bertugas untuk menyiapkan serta menghidangkan makanan selama pesta berlangsung. Sulang silima dalam hubungannya dengan daliken sitelu ini dapat digambarkan seperti pada bagan berikut ini.

(41)

41 Bagan 2.1

Daliken Sitelu dan Sulang Silima

dalam Kebudayaan Pakpak

2.5 Kesenian 2.5.1 Seni Musik

Masyarakat Pakpak membagi alat musiknya berdasarkan bentuk

penyajiannya dan cara memainkannya. Berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu gotci dan oning-oningen. Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrumen musik tersebut terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu sipaluun (alat musik yang dimainkan instrument musik tersebut dibagi atas dua kelompok, yaitu gotci dan oning-oningen. Sedangkan berdasarkan cara memainkannya, instrument musik tersebut terbagi

(42)

42

menjadi beberapa kelompok, yaitu: sipaluun (alat musik yang dimainkan dengan cara dipukul), sisempulen (alat musik yang dimainkan dengan cara ditiup) dan

sipiltiken (alat musik yang dimainkan dengan cara dipetik). Istilah gotci dan oning-oningen sudah mendapat pergeseran arti dikalangan masyarakat Pakpak.

Dalam tulisan Skripsi Sarjana Anna Rosita yang berjudul Deskripsi

Organologi Sarune Pakpak–Dairi halaman 2 menyebutkan bahwa gotci adalah

kelompok alat-alat musik yang dimainkan secara ensambel (berkelompok). Sedangkan oning-oning adalah sekelompok alat-alat musik yang dimainkan secara tunggal atau dalam bentuk solo (bukan sekumpulan alat-alat musik yang sejenis). Namun menurut wawancara dengan beberapa pemusik tradisi Pakpak sekarang menyebutkan bahwa gotchi adalah istilah untuk beberapa ensambel seperti: ensambel genderang sisibah, genderang sipitu-pitu, genderang silima, gendang

sidua-dua, gerantung, mbotul dan gung. Sedangkan istilah oning-oningen

digunakan untuk ensambel yang terdiri dari gendang sitelu-telu, gung sada rabaan,

lobat (aerophone), kalondang (xylophone), dan kucapi (chordophone), yang pada

penggunaannya di gunakan untuk upacara mbaik seperti upacara pernikahan (merbayo).

(A) Instrumen Musik Berdasarkan Bentuk penyajian

Gotci adalah instrumen musik yang disajikan dalam bentuk seprangkat

(ansambel) yang terdiri dari ensambel genderang sisibah, genderang sipitu-pitu,

genderang silima, gendang sidua-dua, gerantung, mbotul dan oning-oningen. Genderang sisibah adalah seperangkat gendang satu sisi yangterdiri dari

Sembilan buah gendang yang berbentuk konis. Dalam adat, instrumen ini disebut

(43)

43

di iringinya karena ramai dan besarnya acara tersebut. Masing-masing nama dari kesembilan gendang tersebut dari ukuran terbesar hingga ukuran terkecil adalah sebagai berikut.

1) Genderang I, Si raja gumeruhguh (suara bergemuruh) dengan pola ritmis

menginang-inangi atau megindungi (induk).

2) Genderang II, Si Raja Dumerendeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola ritme menjujuri atau mendonggil-donggili (mengangungkan, mentakbiri, menghantarkan).

3) Genderang III s/d VII, Si Raja Menak-enak dengan pola ritmis benna kayu sebagai pembawa ritmis melodis (menenangkan atau menentramkan). 4) Genderang VIII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis menehtehi

(menyeimbangkan).

5) Genderang IX, Si Raja Mengapuh dengan pola ritmis menganak-anaki atau

Gambar

Gambar 3.2  Genderang Sisibah  (Dokumentasi Surung Solin, 2015)
Gambar 3.4  Pergenderrang

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul “Peningkatan Hasil Belajar Biologi Menggunakan Strategi Pembelajaran

Dengan latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat dan melakukan penelitian terhadap masalah ini dengan judul Penerapan Model

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah dengan judul “Perbandingan Metode Klasifikasi Naive Bayes dan K-Nearest

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, nandong mencakup empat aspek yang menarik perhatian penulis, yakni: (1) latar belakang sejarah dan kebudayaan Etnik

Penelitian ini akan dibuat ke dalam karya tulis ilmiah dengan judul: “Kajian Makna Teks dan Struktur Melodi Lagu Onang-onang yang Disajikan Bapak Ridwan Aman

FORM PENGAJUAN JUDUL SKRIPSI JUDUL/TOPIK :. LATAR BELAKANG/

Dari latar belakang permasalahan yang telah dibahas, Penulis tertarik menganalisis hubungan antara pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan perilaku (behavior)

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian di Desa Cebolek Kidul Margoyoso dengan judul “Mitigasi Bencana