JURNAL
ILMIAH PENDIDIKAN CITRA BAKTI
Volume 1, Nomor 1 Maret 2014
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI
Diterbitkan oleh
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI ISSN 2355-5106
Volume 1, Nomor 1 Maret 2014
Penerbit
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti
PENGARAH
Prof. Dr. I Wayan Koyan, M.Pd (Ketua STKIP Citra Bakti) Dek Ngurah Laba Laksana, S.Pd.,M.Pd
(WK I STKIP Citra Bakti)
PENANGGUNG JAWAB Dimas Qondias, S.Pd.,M.Pd
(Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti)
KETUA PELAKSANA HARIAN Melkior Wewe, M.Pd
SEKRETARIS PELAKSANA HARIAN Pt Agus Wawan Kurniawan
DEWAN REDAKSI Ketua
Prof. Dr. Wayan Lasmawan, M.Pd
Anggota
Maria Patrisia Wau, SE., M.Pd Yohanes Vianey Sayangan, S.Pd,SS, M.Si
PENYUNTING BAHASA INDONESIA Ely Firdaus, M.Pd
Dra Veronika Ulle Bogha, M.Si
PENYUNTING BAHASA INGGRIS Ferdinandus Samri, SS.,M.Pd
Indra Kusuma, M.Pd
EDITING
Konstantinus Dhua Dhiu, SH, M.Pd Bernardus Keo Siga, S.Kom
BENDAHARA
Natalia Rosalina Rawa, S.Pd Regina Natalia Fono Nawa, SE
TATA USAHA DAN SIRKULASI Siswanto, M.Pd
David Agus Priyanto, M.Pd Ekolodang Januarisca, M.Pd Yohanes Bayo Ola Tapo, S.Pd
Robertus Lili Bile, S.Pd
JIP terbit sekali dalam setahun (Maret)
Alamat Redaksi : JLN. Bajawa-Ende, Malanuza, Kec, Golewa, Kab. Ngada-Flores-NTT E-Mail: lp2mstkipcitrabakti@yahoo.co.id
Pembaca yang budiman, edisi ini adalah penerbitan perdana Jurnal Ilmiah Pendidikan Citra Bakti oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat STKIP Citra Bakti Ngada. Kehadiran jurnal ini diharapkan dapat mengoptimalkan kinerja Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, khususnya dalam upaya menyebarluaskan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan ilmu pendidikan melalui publikasi ilmiah secara berkala.
Penerbitan Jurnal ini dilaksanakan setahun sekali yaitu pada bulan maret. Pada penerbitan perdana ini menyajikan 10 artikel sebagai berikut: (1) Pengembangan Alat Ukur Pendidikan Karakter dan Kepekaan Moral Para Mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada (Penulis I Wayan Koyan); (2) Analisis Pendidikan Multikultur Berbasis Budaya Lokal Pada Sekolah dasar di Kecamatan Bajawa (Penulis Dimas Qondias); (3) Profil Pemahaman Konsep IPA Guru-guru Kelas Sekolah Dasar di Kabupaten Ngada (Dek Ngurah laba Laksana); (4) Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel di Kelas VIII SMP N 4 Bajawa Tahun Ajaran 2013/2014 (Penulis Melkior Wewe); (5) Peningkatan Prestasi dan Motivasi Belajar IPS Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif STAD Berbantuan Kartu Bergambar Pada Siswa Kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada (Penulis Dimas Qondias, Maria Magdalena Detu); (6) Kajian Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Oleh Guru-guru di Kecamatan Jerebuu (Penulis Veronika Ulle Bogha); (7) Analisis Keterampilan Dasar Mengajar Guru-Guru Non Sarjana Sekolah dasar Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada (Penulis Dek Ngurah Laba Laksana); (8) Penerapan Model Pembelajaran Generatif Dengan Setting Kelas Kooperatif STAD (Student Team Achievement Division) Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Kinerja Ilmiah Siswa Kelas V Sd Inpres Nirmala Tahun Ajaran 2013/2014 (Penulis Putu Agus Wawan Kurniawan, Frederikus Mawo); (9) Tingkat Penguasaan Kompetensi Pedagogik Guru SD Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada (Penulis Dek Ngurah Laba Laksana, Natalia Rosalina Rawa); (10) Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Sdk Regina Pacis Tahun Pelajaran 2012/2013 (Penulis Putu Agus Wawan Kurniawan, Dimas Qondias)
Demikian wacana ini dikemukakan untuk dapat digunakan sebagai bahan renungan ilmiah bagi para pembaca.
Diterbitkan oleh
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT STKIP CITRA BAKTI ISSN 2355-5106
Volume 1, Nomor 1 Maret 2014 Penerbit
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STKIP Citra Bakti DAFTAR ISI
Halaman I Wayan Koyan. Pengembangan Alat Ukur Pendidikan Karakter dan Kepekaan
Moral Para Mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada
1
Dimas Qondias. Analisis Pendidikan Multikultur Berbasis Budaya Lokal Pada Sekolah dasar di Kecamatan Bajawa
9
Dek Ngurah Laba Laksana. Profil Pemahaman Konsep IPA Guru-guru Kelas Sekolah Dasar di Kabupaten Ngada
15
Melkior Wewe. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Pada Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linier Dua Variabel di Kelas VIII SMP N 4 Bajawa Tahun Ajaran 2013/2014
27
Dimas Qondias, Maria Magdalena Detu. Peningkatan Prestasi dan Motivasi Belajar IPS Melalui Penerapan Pembelajaran Kooperatif STAD Berbantuan Kartu Bergambar Pada Siswa Kelas VA SDI Bobou Kabupaten Ngada
33
Veronika Ulle Bogha. Kajian Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas Oleh Guru-guru di Kecamatan Jerebuu
41
Dek Ngurah Laba Laksana. Analisis Keterampilan Dasar Mengajar Guru-Guru Non Sarjana Sekolah Dasar Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada
51
Putu Agus Wawan Kurniawan, Frederikus Mawo. Penerapan Model Pembelajaran Generatif Dengan Setting Kelas Kooperatif STAD (Student Team Achievement Division) Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Dan Kinerja Ilmiah Siswa Kelas V Sd Inpres Nirmala Tahun Ajaran 2013/2014
59
Dek Ngurah Laba Laksana, Natalia Rosalina Rawa. Tingkat Penguasaan Kompetensi Pedagogik Guru SD Di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada
70
Putu Agus Wawan Kurniawan, Dimas Qondias. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V Sdk Regina Pacis Tahun Pelajaran 2012/2013
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |1 PENGEMBANGKAN ALAT UKUR PENDIDIKAN KARAKTER
DAN KEPEKAAN MORAL PARA MAHASISWA STKIP CITRA BAKTI NGADA
I Wayan Koyan
Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi STKIP Citra Bakti
Ngada-NTT
wayankoyan@gmail.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:(1) proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter, dan (2) tingkat kepekaan moral para mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada tahun 2013. Penelitian ini tergolong penelitian pengembangan dan deskriptif. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada tahun 2013. Tehnik sampling yang digunakan adalah simple randomsampling.Besarnya anggota sampel penelitian ini adalah 84 orang yang ditentukan dengan menggunakan tabel Krejcie dan Morgan. Untuk mengukur kepekaan moral mahasiswa, digunakan kuesioner tentang “Moral sensitivity or interpreting the situation. Proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter dilakukan melalui tahapan penyusunan kisi-kisi, penyusunan instrumen, uji coba, dan validasi instrumen. Kepekaan moral mahasiswa dikumpulkan dengan alat ukur yang telah dikembangkan dan divalidasi. Data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian berupa (1) langkah-langkah pengembangan alat ukur pendidikan karakter komponen kepekaan moral yang telah divalidasi dan siap digunakan untuk mengumpulkan data kepekaan moral mahasiswa, dan (2) kepekaan moral mahasiswa tergolong pada kategori sangat tinggi.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |2 THE DEVELOPMENT OF MEASUREMENT TOOLS OF CHARACTERS
EDUCATION AND MORAL SENSITIVITY OF THE STUDENTS OF STKIP CITRA BAKTI NGADA
Abstract
The purposes of this study were (1) to investigate the process of developing Characters education’s measurement tools and (2) to investigate the level of moral sensitivity of the students of STKIP Citra Bakti Ngada in the academic year of 2013. This research belonged to development and descriptive research. The population of this study was the entire students of STKIP Citra Bakti Ngada in the academic year of 2013. The sampling technique used was simple random sampling. The sample was 84 students which were chosen by using Krejcie and Morgan table. To measure the students’ moral sensitivity, questionnaires about Moral sensitivity or interpreting the situation were used. The process of developing the measurement tools of characters education started from constructing blueprint, instrument arrangement, tryout, and instruments validation. The sensitivity of students’ moral was measured by using tools which were developed and validated. The data was analyzed descriptively. The results of the study are (1) the steps of developing measurement tools of characters education and moral sensitivity which have been validated and are ready to be used to collect data about students’ moral sensitivity, and (2) the students’ moral sensitivity was categorized as excellent.
Keywords: developing measurement tools and moral sensitivity
PENDAHULUAN
Pelaksanaan pendidikan karakter sangat penting karena hampir seluruh masyarakat di dunia, termasuk di Indonesia, kini sedang mengalami bermacam-macam masalah moral atau krisis moral, seperti (1) meningkatnya perkelahian remaja, (2) meningkatnya ketidakjujuran, seperti suka nyontek, bolos dari sekolah dan suka mencuri, (3) berkurangnya rasa hormat, (4) meningkatnya kelompok teman sebaya yang kejam, (5) munculnya kejahatan, (6) merosotnya kesopanan, (7) meningkatnya sifat-sifat egois, (8)penyimpangan seksual, (9) perilaku bunuh diri, dan (10) adanya kecenderungan untuk memeras, tidak menghormati peraturan-peraturan dan hukum, serta perilaku menyimpang lainnya (Lickona, 1992).
Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, telah mendorong minat untuk melaksanakan pendidikan karakter di berbagai negara dan makin terorganisasi melalui organisasi seperti: ”The Character Education Partnership, The Character Counts Coalition,
and the Communication Network” (Lickona, 1996: 94). Untuk melaksanakan pendidikan
karakter yang efektif, paling sedikit terdapat sebelas prinsip yang perlu diperhatikan. (1) Pndidikan karakter hendaknya mengembangkan ”Core Ethical Values” sebagai basis dari karakter yang baik. Dasar pelaksanaan pendidikan karakter berawal dari prinsip-prinsip filosofi, yang secara obyektif menganggap bahwa nilai-nilai etika yang murni atau inti, seperti kepedulian, kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab, dan rasa hormat pada diri sendiri dan orang lain adalah sebagai basis daripada karakter yang baik. (2) Karakter, harus didefinisikan secara komprehensif, termasuk pikiran, perasaan, dan perilaku. Dalam program
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |3 pendidikan karakter yang umumnya menyentuh ranah afektif, karakter mengandung makna yang lebih luas, meliputi aspek-aspek kognitif, emosi, dan aspek perilaku dalam kehidupan moral. Karakter yang baik terdiri atas pemahaman, kepedulian tentang nilai-nilai etika dasar, dan tindakan atas dasar nilai-nilai etika yang inti. (3) Pendidikan karakter yang efektif menuntut niat yang sungguh-sungguh, proaktif dan melakukan pendekatan komprehensif yang dapat memacu nilai-nilai inti pada semua tahap kehidupan sekolah. Sekolah-sekolah dalam melaksanakan pendidikan karakter, perhatikanlah karakter itu melalui lensa moral dan lihat bagaimana sebenarnya segala sesuatu yang berpengaruh terhadap nilai-nilai di sekoah dan karakter para peserta didik. (4) Sekolah harus sebagai ”a caring community”. Sekolah itu sendiri harus menampakkan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang memiliki karakter yang baik. Hal ini harus dipacu untuk maju menjadi sebuah mikrokosmos bagi rakyat banyak, menjadi masyarakat yang mantap dan peduli serta kreatif.Sekolah dapat berbuat demikian dengan menjadikan sekolah sebagai masyarakat bermoral yang bias menolong para peserta didik untuk membina rasa kasih sayang dan rasa hormat kepada orang tua, guru, dan orang lain. (5) Untuk mengembangkan karakter, para peserta didik memerlukan kesempatan untuk berprilaku moral. Dalam tata susila seperti pada kawasan intelektual, para peserta didik menjadi pelajar yang konstruktif, mereka belajar dengan baik sambil bekerja. Untuk mengembangkan karakter, mereka memerlukan banyak kesempatan yang bervariasi untuk mengaplikasikan nilai-nilai, seperti tanggung jawab dan kejujuran pada interaksi dan diskusi-diskusi setiap hari. (6) Pendidikan karakter yang efektif harus melibatkan kurikulum akademik yang menantang dan bermakna, yang memperhatikan semua peserta didik dan membantunya untuk mencapai hasil belajar. Pendidikan karakter dan pengetahuan akademik harus disusun secara terintegrasi dan saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. (7) Pendidikan karakter hendaknya berupaya untuk mengembangkan motivasi instrinsik para peserta didik. Sebagai peserta didik yang sedang mengembangkan karakter yang baik, mereka harus membangkitkan kemauan kuat dari dalam batin sendiri untuk mengerjakan apa yang menurut pertimbangan moral mereka, adalah benar. Sekolah, khususnya dalam menggunakan pendekatan disiplin, harus berusaha untuk mengembangkan kemauan intrinsik terhadap nilai-nilai inti.(8) Staf sekolah (kepala sekolah, guru-guru, dan pegawai) harus menjadi masyarakat belajar dan bermoral dalam mana semua bagian bertanggung jawab pada pendidikan karakter dan berusaha untuk mengikuti dengan setia nilai-nilai inti yang sama, yang dapat membimbing pendidikan pada para peserta didik.
Memperhatikan adanya gejala-gejala negatif tersebut, nilai-nilai apakah yang perlu diajarkan? Dua buah nilai moral utama adalah ”respect and responsibility” (rasa hormat dan tanggung jawab). Di samping itu ada sejumlah nilai yang diajarkan, antara lain: “honesty (kejujuran), fairness (keterkuaan), tolerance (toleransi), prudence (kehati-hatian), self-discipline (disiplin diri), helpfulness (membantu dengan tulus), compassion (rasa terharu),
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |4 cooperation (bekerjasama), courage (keteguhan hati), and host of democratic values” (Lickona, 1991:43-45).
Apakah syarat-syarat karakter yang baik? Karakter, berkaitan dengan pengetahuan moral, perasaan moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan berbuat kebaikan, atau kebiasaan pikiran, kebiasaan perasaan dalam hati, dan kebiasaan berperilaku yang baik. Ketiga hal inilah yang menentukan kehidupan bermoral. Komponen-komponen karakter yang baik adalah seperti tercantum pada bagan berikut (Lickona, 1991: 53).
COMPONENTS OF GOOD CHARACTER
MORAL KNOWING MORAL FEELING
1. Moral awareness 1. Conscience
2. Knowing moral values 2. Self- esteem
3. Perspective-taking 3. Empathy
4. Moral Reasoning 4. Loving the good
5. Decision-making 5. Self-control 6. Self-knowledge 6.Humility MORAL ACTION 1. Competence 2. Will 3. Habit
Gambar 01. Komponen Pendidikan Karakter
Dalam komponen “moral knowing” (pengetahuan moral) terdapat enam aspek, yaitu (1) kesadaran moral (kesadaran hati nurani). (2) Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral), terdiri atas rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab terhadap orang lain, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati. (3) Perspective- taking (kemampuan untuk memberi pandangan kepada orang lain, melihat situasi seperti apa adanya, membayangkan bagaimana dia seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan). (4) Moral reasoning (pertimbangan moral) adalah pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan bermoral dan mengapa kita harus bermoral. (5) Decision-making (pengambilan keputusan) adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral. (6) Self-knowledge (kemampuan untuk mengenal atau memahami diri sendiri), dan hal ini paling sulit untuk dicapai, tetapi hal ini perlu untuk pengembangan moral.
Dalam komponen ”moral feeling” (perasaan moral), terdapat enam aspek penting, yaitu (1) conscience (kata hati atau hati nurani), yang memiliki dua sisi, yakni sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar) dan sisi emosi (perasaan wajib berbuat kebenaran). (2) Self-esteem (harga diri), dan jika kita mengukur harga diri sendiri berarti menilai diri sendiri; jika menilaia diri sendiri berarti merasa hormat terhadap diri sendiri. (3) Empathy (kemampuan untuk mengidentifikasi diri dengan orang lain, atau seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami oleh orang lain dan dilakukan orang lain). (4) Loving the good (cinta pada kebaikan); ini merupakan bentuk tertinggi dari karakter, termasuk menjadi tertarik
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |5 dengan kebaikan yang sejati. Jika orang cinta pada kebaikan, maka mereka akan berbuat baik dan memiliki moralitas. (5) Self-control (kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri), dan berfungsi untuk mengekang kesenangan diri sendiri. (6) Humility (kerendahan hati), yaitu kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, pada hal ini merupakan bagian penting dari karakter yang baik.
Dalam komponen ”moral action” (perilaku moral), terdapat tiga aspek penting, (1) competence (kompetensi moral), yaitu kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dalam berperilaku moral yang efektif; (2) will (kemauan), yakni pilihan yang benar dalam situasi moral tertentu, biasanya merupakan hal yang sulit; (3) habit (kebiasaan), yakni suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar.
Mengenai model pengukuran pendidikan karakter, dari kajian terhadap literatur-literatur, dapat diungkapkan bahwa keberadaan dan atau perangkat pendidikan moral atau pendidikan karakter dilabel dengan berbagai istilah, antara lain: “moral choice” (Nisan & Kariat, 1989), “moral reasoning” (Rest, 1979; Walker, 1989), “moral behavior, moral development, moral judgement” (Piaget, 1965; Kohlberg, 1987), “moral socialization” (Hoffman, 1983), “moral orientation” (Gilligan, 1982), “moral conflict, moral context, moral content” (Johnstone et al.,1990) dan “ascribed source of morality” (Henry, 1983). Masing-masing istilah tersebut mengandung makna yang spesifik dan memberi tekanan khusus pada konsep moralitas yang begitu kompleks. Berdasarkan penelitian-penelitian dalam bidang perkembangan moral yang pernah dilakukan, ditemui adanya beberapa model pengukuran dalam perkembangan moral, antara lain: (1) Moral Judgement Interview (M J I), yang dikembangkan oleh Piaget dan Kohlberg; (2) “Defining Issues Test” (DIT), yang dikembangkan oleh Rest (1978); dan (3) “Moral Authority Scale”, yang dikembangkan oleh Henry. Dalam penelitian ini, model alat ukur pendidikan karakter yang dikembangkan adalah model Defining Issue Test (DIT) yang dikembangkan oleh James Rest (1978) dari Universitas Minnesota. Model pengukuran ini menggunakan test bentuk pilihan ganda, dengan menggunakan tema atau ceritera-ceritera yang mengandung dilemma moral. Selanjutnya J. Rest (1994) mengembangkan model tersebut menjadi “Four Component Model”, yaitu empat komponen pokok yang mempengaruhi perilaku moral. Keempat komponen pokok yang diukur adalah: “(1) Moral sensitivity or interpreting the situation; (2) Moral judgement or judging which action is morality right/wrong; (3) Moral motivation or prioritizing moral values relative to other values; (4) Moral character or having, courage,
persisting, overcoming distrastions, implementing skills” (J.Rest & D. Narvaez, 1994, p.23).
Dalam penelitian ini digunakan komponen Moral sensitivity or interpreting the situation. Dengan demikian, timbul pertanyaan: (1) bagaimanakah proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter dan validasinya sehingga dapat digunakan untuk mengukur kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada; dan (2) bagaimanakah
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |6 kecenderungan kepekaan moral para mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada terhadap perilaku moral yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pengembangan tentang “Moral sensitivity or interpreting the situation”. Tahapan pengembangan model alat ukur pendidikan karakter, meliputi kegiatan sebagai berikut. (1) Menentukan definisi operasional tentang Moral sensitivity or interpreting the situation, (2) membuat kisi-kisi instrument, (3) menyusun draf instrument, (4) uji pakar untuk menentukan validitas isi, (5) uji coba lapangan, (6) uji validitas butir dengan teknik korelasi Pearson, (7) menghitung reliabilitas instrument dengan Alpha-Cronbach, (8) merevisi butir-butir instrument, dan (9) merakit butir-butir instrument dan pengadministrasiannya. Populasi penelitian ini adalah para Mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada dan sampel penelitiannya menggunakan simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana terhadap populasi dengan menggunakan teknik undian. Untuk menentukan besarnya sampel yang diperlukan digunakan tabel Morgan dan Krejcie dengan taraf signifikansi 5%. Untuk mengumpulkan data mengenai kepekaan moral, digunakan kuesioner tentang moralitas dengan menggunakan model DIT bagian Moral sensitivity or interpreting the situation, yang dikenakan terhadap mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada. Selanjutnya, data dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Untuk menguji validitas butir kuesioner kepekaan moral, digunakan rums korelasi product moment dari Pearson, sedangkan untuk menghitung reliabilitas kuesioner, digunakan formula Alpha Cronbach.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis hasil uji coba kuesioner kepekaan moral terhadap 42 orang rsponden mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada, ternyata semua butir kuesioner berada pada kategori valid dan kuesioner kepekaan moral memiliki reliabilitas yang tinggi, yaitu 0,706. Dengan demikian, kuesioner kepekaan moral dapat digunakan untuk mengumpulkan data tentang kecenderungan kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada. Rekapitulasi validitas butir kuesioner kepekaan moral adalah sebagai Tabel 4.2 berikut.
Tabel 01. Validitas Butir Kuesioner Kepekaan Moral
No. butir r hitung r tabel Keputusan
1 0,625 0,304 Valid 2 0,356 0,304 Valid 3 0,614 0,304 Valid 4 0,509 0,304 Valid 5 0,411 0,304 Valid 6 0,524 0,304 Valid 7 0,625 0,304 Valid 8 0,650 0,304 Valid 9 0,668 0,304 Valid 10 0,528 0,304 Valid
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |7 Kecenderungan kepekaan moral mahasiswa secara deskriptif dengan menggunakan skala lima teoretik kurve normal sebagai berikut. Langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut ini. (1) Menghitung skor maksimal ideal kuesioner: 10 * 3 = 30; (2) Menghitung skor minimal ideal: 1 * 10 = 10; (3) Menghitung Mean Ideal: ½ (skor maksimal ideal + skor minimal ideal) = ½ (30 + 10) = 20; (4) Menghitung SD ideal: 1/6 (skor maksimal ideal – skor minimal ideal) = 1/6 (30-10) = 3,33; (5) Membuat kategori skala lima teoretik dengan menggunakan Mean ideal dan SD ideal dengan formula sebagai Tabel 02 berikut.
Tabel 02. Kategori Kepekaan Moral Mahasiswa
Formula Rentangan Kategori
Mi +1,5 SDi ke atas ( 25 – 30 ) Sangat Tinggi Mi +0,5 SDi - > Mi +1,5 SDi ( 21 – 24) Tinggi
Mi - 0,5 SDi - > Mi +0,5 SDi ( 18 – 20 ) Cukup/ Sedang Mi - 1,5 SDi - > Mi - 0,5 SDi ( 15 – 17 ) Rendah
Mi - 3 SDi - > Mi - 1,5 SDi (10 – 14 ) Sangat Rendah
Berdasarkan Tabel 02 di atas, kemudian dikonversi dengan skor rata-rata yang diperoleh. Skor total yang diperoleh = 2277. Rata-rata yang diperoleh = 2277/84 = 27,11. Dengan demikian kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada berada pada kategori sangat tinggi.
Penelitian ini telah menemukan dua hal penting, yakni proses pengembangan alat ukur kepekaan moral mahasiswa yang telah divalidasi sehingga dapat digunakan dalam penelitian untuk mengukur kecenderungan kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada. Berdasarkan temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi peneliti lain untuk mengadakan penelitian sejenis dengan sampel yang lebih luas dan dengan metodologi yang lebih akurat. Misalnya, dengan mengadakan studi eksperimen dengan analisis kovariansi sehingga variabel lain diluar variabel yang diteliti yang diduga memiliki pengaruh besar terhadap pengembangan karakter mahasiswa dapat dikendalikan secara statistik.
Di samping itu, teori-teori yang digunakan sebagai dasar pijak membangun konstruk teori dalam penelitian ini telah cukup lama, yakni sebelum tahun 2000. Jika dalam penelitian menggunakan teori-teori baru, seperti teori tahun 2010 ke atas, mungkin akan menghasilkan penelitian yang lebih akurat. Namun demikian, hasil penelitian ini telah memberikan gambaran singkat tentang proses pengembangan alat ukur pendidikan karakter dan gambaran singkat juga mengenai kondisi kepekaan moral mahasiswa dewasa ini. Masalahnya, adalah bahwa perlu diamati dalam kehidupan sehari-hari apakah perilaku mahasiswa telah menunjukkan kepekaan moral dan menunjukkan perilaku moral yang positif
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |8 dalam proses interaksi mereka dengan teman sejawat, dengan orang tua, dan dengan masyarakat sekitar.
SIMPULAN DAN SARAN
Langkah-langkah pengembangan kuesioner kepekaan moral adalah sebagai berikut: (1) Sintesis dari teori-teori yang dikaji, dirumuskan konstruk dari variabel yang hendak diukur dan dikembangkan indikator dari variabel yang akan diukur.(2) Membuat kisi-kisi instrument yang indicator, nomor butir dan jumlah butir untuk setiap dimensi dan indikator. (3) Menetapkan besaran atau parameter yang bergerak dalam suatu rentangan kontinum dari suatu kutub ke kutub lain yang berlawanan, misalnya dari rendah ke tinggi, dari positif ke negatif, dari otoriter ke demokratik. (4) Menulis butir-butir instrument yang dapat berbentuk pernyataan atau pertanyaan. (5)Tahap uji-coba instrumen. (6) Uji-coba instrumen di lapangan.(7) Analisis data hasil uji-coba untuk menguji validitas. (8) Perakitan butir-butir instrumen yang valid untuk dijadikan instrumen final. Berdasarkan hasil analisis uji validitas butir dan perhitungan reliabilitas kuesioner kepekaan moral, ternyata semua butir kuesioner memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi sehingga kuesioner kepekaan moral mahasiswa dapat digunakan untuk mengukur kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada.
Berdasarkan analisis data secara deskriptif terhadap jawaban 84 responden, kepekaan moral mahasiswa STKIP Citra Bakti Ngada berada pada kategori sangat tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Anglada, D. (2007). ”An introduction to Instructional Design: Utilizing a Basic Design Model”. Tersedia pada http://www.pace.edu/ctlt/newsletter (diakses tgl. 17 September 2007 Bennett, William J. (Ed., 1997). The Book of Virtues for Young People: A Treasury of Great
Moral Stories. New York: Simon & Schuster.
CIFTCI ARIDAG, Nermin & Asuman YUKSEL. (2010). Analysis of the Relationship between Moral Judgment Competences and Empathic Skill of University Students. Tersedia pada http://www.eric.gov.ed (diakses tgl. 5 Maret 2011).
Koyan, I Wayan. (2012). Statistik Pendidikan. Teknik Analisis Data Kuantitatif. Singaraja: Penerbit Universitas Pendidikan Ganesha Press.
Lickona, T. (1996). Eleven Principles of Effective Character Education. Journal of Moral Education.1, 1996, pp.93-94.
Noble, Karen & Robyn Henderson. (2011). The Promotion of “Character” and its Relationship to Retention in Higher Education. Australian Journal of Teacher Education Vol.36:Iss.3, Article 4. Tersedia pada http://ro.ecu.edu.au/ajte/vol36/iss3/4 (diakses tgl 6 Maret 2011).
Patariya Ngammuk. (2011). A Study of 8 Fundamental Moral Characteristics among Thai Undergrduate Students. Hawaii International Conference on Education 9th Annual Conference January 4-7, 2011 Honolulu Hawaii. Tersedia pada http://www.eric.gov.ed (diakses tgl. 5 Maret 2011).
Rest, J.R. (1994). Moral Development in Professions: Psychology and Applied Ethics. New Jersey: Lawrense Erlbaum Associates Publishers.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |9 ANALISIS KEBUTUHAN PENDIDIKAN MULTIKULTUR
BERBASIS BUDAYA LOKAL PADA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN BAJAWA
Dimas Qondias
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Bakti
Ngada-NTT
dimasqondias@yahoo.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendapat guru tentang perlunya pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal di sekolah dasar kecamatan bajawa. Penelitian ini melihat apakah pembelajaran disekolah dasar perlu adanya pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive random sampling untuk menentukan sekolah yang memiliki siswa multikultur dan simple random sampling untuk menentukan subyek yang akan diberikan pendapat tentang pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Besarnya anggota sampel penelitian ini adalah 73 orang yang ditentukan dengan menggunakan table Krejcie dan Morgan. Untuk mengukur besaran kesetujuan pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal digunakan kuesioner pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Data dianalisis secara deskriptif dengan mengacu pada skala teoretik. Hasil penelitian yang diperoleh dari 73 responden menunjukan pada rata-rata 122 (sangat setuju), ini berarti bahwa pendidikan multikultur berbasis budaya lokal sangat setuju dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah dasar.
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |10 THE NEED ANALYSIS OF LOCAL CULTURE-BASED MULTI-CULTURE
EDUCATION IN ELEMENTARY SCHOOLS IN BEJAWA SUB-DISTRICT
Abstract
This study aims at investigating the teachers’ opinions about the necessaries of developing local culture-based multi-culture education in elementary schools in Bejawa sub-district. This study also investigates whether instructions in elementary schools need a development of local culture-based multi-culture education or not. This study belonged to descriptive qualitative study. The sampling technique used was purposive random sampling technique to determine the schools which students were having multi-culture. Simple random sampling was used to determine the subject who would be asked the opinion about local culture-based multi-culture education. The amount of the sample was 73 respondents which were chosen by using Krejcie and Morgan table. To determine the agreement of the development of local culture-based multi-culture education, questionnaires about local culture-based multi-culture education were used. The data was analyzed descriptively which the purpose were about theoretic scale.The results gathered from 73 respondents show that the mean score is 122 (Strongly Agree), it means that the respondents agree with the development of local culture-based multi-culture education in the instructions in elementary schools.
Keywords: need analysis, multi-culture education, local culture-based PENDAHULUAN
Globalisasi membawa kemajuan zaman yang begitu pesat dan memicu masyarakat untuk bersaing di segi ekonomi, untuk meningkatkan taraf hidup manusia dewasa ini manusia melakukan perpindahan yang dimana sering disebut imigrasi. Fenomena tersebut sudah lumrah kita jumpai di kota-kota besar yang dimana memberikan kesempatan setiap manusia untuk meningkatkan taraf hidupnya. Hal tersebut tidak lepas peran pendidikan seorang manusia yang harus meningkatkan taraf hidupnya. Pendidikan di gadang-gadang sebagai masalah pemicu utama meningkatkan kehidupan manusia Tanpa kita sadari perkembangan pendidikan tidak terlepas dari adanya globalisasi di bidang IPTEK dan ekonomi yang membawa determinasi yang cukup besar.
Pada umumnya tujuan dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kehidupan manusia. Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tantangan pendidikan di Indonesia sangat kompleks bersifat makro dan mikro. Apabila kita lihat bahwa guru banyak mengalami masalah terutama dalam mengelola kelas dan menghadapi siswa yang heterogen.
Keberagaman siswa tidak terlepas dari meledaknya penduduk yang disuatu daerah. Di pertengahan tahun 1997 kekisruhan etnik terjadi di banyak tempat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dimana bangsa Indonesia pada saat itu menghadapii krisis multi dimensi. Kekisruhan etnik tersebut telah menggugah kesadaran baru diantara
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |11 komponen bangsa Indonesia bahwa kebanggaan akan kehidupan berbangsa satu di atas kebhinekaan adalah sebuah angan-angan belaka. Ini membuktikan bahwa kekokohan bangunan supra-struktur Negara kebangsaan sangat rapuh.
Apabila kita menelisik system pendidikan nasional dimasa lalu, pendidikan lebih cenderung berseragam budaya nasional yang berdiri di atas puncak-puncak budaya daerah. Dapat dikatakan pendidikan diselenggarakan secara monokultur yang dimana rentan terhadap konflik SARA. SARA merupakan konflik yang berlatar belakang suku, agama,ras (Purwasito 2002). Prasangka dan diskriminasi merupakan dua hal yang saling berkaitan. Apabila kita lihat bahwa prasangka ini dapat merugikan pertumbuhan dan perkembangan dan bahkan integrasi masyarakat. Menurut Soelaeman (2000) bahwa prasangka dapat diartikan sebagai suatu sikap terhadap anggota kelompok etnis atau ras tertentu yang terbentuk terlalu cepat tanpa suatu induksi. Prasangka itu akan muncul apabila karena minimnya pendidikan seseorang, sehingga kurangnya pengetahuan, fakta dari kejadian dan dominasi kepentingan golongan maupun kelompok. Keadaan seperti inilah yang sering menyebabkan kesenjangan dan menghasilkan suatu konflik, karena kurangnya pemahaman kelompok masyarakat terhadap budaya yang berbeda di suatu daerah.
Menurut Mulyana 2003, budaya merupakan gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. Budaya merupakan suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna,, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi-generasi melalui usaha individu atau kelompok (Mulyana dan rakhmat,2003). Menurut Rian (2013) Budaya memiliki banyak arti, budaya berarti budi atau akal budi atau pikiran. Kebudayaan berasal dari kata budayah yang dapat kita artikan sebagai hasil rasa, cipta, dan karsa manusia.
Untuk lebih optimalkan pendidikan yang menekankan keberagaman budaya diperlukan pendidikan multikultur yang diiringi dengan budaya local disuatu daerah sebagai salah satu alat untuk menekan dan meminimalisir potensi konflik antar etnik, agama dan ras. Intinya, pada dasarnya peran dari orang tua, sekolah, organisasi keagamaan dan sebagainya, bertanggung jawab menjadikan anak-anak untuk memahami multikultur, akan tetapi peran yang paling penting untuk mengajarkan pendidikan multikultur ini adalah dari pihak sekolah. Oleh karena itu melalui program pendidikan multikultur yang di konsepsi dengan baik dan dilaksanakan secara berkesinambungan agar terbentuk sebuah masyarakat terhadap keragaman budaya yang dibutuhkan bagi masa kini dan masa depan bangsa Indonesia dan dunia.
Menurut Hafizh (2012) Pendidikan multikultur adalah sebuah tawaran model pendidikan yang mengusung ideologi yang memahami, menghormati, dan menghargai harkat dan martabat manusia di manapun dia berada dan dari manapun datangnya (secara
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |12 ekonomi, sosial, budaya, etnis, bahasa, keyakinan, atau agama, dan negara). Pendidikan multikultural secara inhern merupakan dambaan semua orang, lantaran keniscayaannya konsep “memanusiakan manusia”. Pasti manusia yang menyadari kemanusiaanya dia akan sangat membutuhkan pendidikan model pendidikan multikultural ini. Sedangkan Menurut (Tilaar dalam Hafizh 2012) pendidikan multikultural sebagai merupakan suatu wacana lintas batas yang mengupas permasalahan mengenai keadilan sosial, musyawarah, dan hak asasi manusia, isu-isu politik, moral, edukasional dan agama. Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang ada di tengah-tengah masyarakat plural (Anzis 2013). Menurut Suparlan (2006), berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme adalah demokratis, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa, keyakinan, keagaman ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komunitas dan konsep lainnya.
Pendidikan berbasis budaya lokal merupakan upaya untuk mengintegrasikan budaya lokal dalam proses pendidikan yang mana proses pendidikan tidak hanya fokus terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi melainkan juga dengan mempelajari budaya lokal. Setiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda. Keunggulan dari potensi daerah itu sangatlah beragam. Dengan kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu diperhatikan sehingga pelajar yang merupakan generasi penerus bangsa tidak asing dengan daerahnya sendiri dan memahami potensi dan nilai-nilai serta budaya daerahnya sendiri.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah pendidikan multikultur berbasis budaya lokal perlu dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah dasar? Dengan tujuan untuk mengetahui pendapat guru tentang perlunya pengembangan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal di sekolah dasar.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuatitatif deskriptif. Pendekatan ini digunakan untuk mengungkap yang menjadi masalah dalam penelitian ini. Sugiyono 2012 menyatakan penelitian kuantitatif digunakan pada realitas/gejala/fenomena yang dapat teramati dan terukur. Penelitian yang dilakukan ini ingin mengungkap fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan yang terkait dengan usaha dalam rangka terpenuhinya kebutuhan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal.
Penelitian ini dilakukan di kecamatan bajawa kabupaten ngada yang dimana di kecamatan bajawa ini terdapat banyak keragaman etnik. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh SD di kecamatan Bajawa yang ada sebanyak 27 sekolah dasar di kecamatan Bajawa. Sampel penelitian diambil dengan teknik purposive random sampling untuk mencari
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |13 sekolah yang memiliki siswa multikultur. dari 27 sekolah dasar yang ada di bajawa di ambil 7 sekolah yang memiliki keragaman etnis. Setelah di tentukan sekolah dasar yang dimana siswanya memiliki multikultur dilanjutkan dengan pengambilan sampel dengan simple random sampling untuk menentukan subjek yang akan di berikan pendapat tentang pendidikan multikultur berbasis budaya lokal.
Tabel 1 Data Sekolah Dasar di Kecamatan Bajawa. No Nama Sekolah Jumlah Guru Penentuan Subjek
1 SDI Bobou 12 11 2 SDI Bajawa 15 11 3 SDI Lebijaga 16 11 4 SDK Regina Pacis 13 10 5 SDK Tanalodu 11 10 6 SDK Ngedukelu 10 10 7 SDK Kisanata 11 10 88 73
Sumber : Dinas Pendidikan dan kebudayaan kab Ngada
Setelah ditentukan subjek dalam penelitian ini akan dilanjutkan dengan pemberian kuisioner yang telah disediakan dengan menggunakan model skala likert yang telah ditetapkan. Data dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan skala 5 teoritik, untuk menetukan kesetujuan atau kesesuaian pendidikan multikultur berbasis budaya lokal disekolah dasar dapat ditentukan sebagai berikut:
Tabel 2 Skala Penilaian atau kategori/ Klasifikasi pada skala lima Teoritis RENTANG SKOR KLASIFIKASI
120 - 150 Sangat Setuju 100 - 119 Setuju
80 - 99 Ragu-Ragu 60 - 79 Tidak Setuju 30 - 59 Sangat Tidak Setuju
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tanggapan dari 73 responden dari 7 sekolah yang berada di kabupaten ngada diperoleh rata-rata 122, hal ini menjawab bahwa pendidikan multikultur berbasis budaya lokal setuju untuk dikembangkan dalam pembelajaran di sekolah dasar. Bila dilihat secara terperinci dari 73 responden, bahwa terdapat 49 responden atau sebesar 67% yang menyatakan sangat setuju apabila pembelajaran disekolah dasar dikembangkan pendidikan multikultur berbasis budaya lokal. Terdapat 24 responden atau sebesar 34% yang menyatakan setuju apabila pembelajaran disekolah dasar dikembangkan pendidikan multikultur. Hasil ini menjawab bahwa pendidikan
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |14 multikultur berbasis budaya lokal di sekolah dasar sangat perlu diberikan oleh siswa SD di kecamatan bajawa, perlunya pengembangan ini di karenakan di kecamatan bajawa ini banyak memiliki ragam budaya/ etnik. Selain penduduk asli kecamatan bajawa banyak juga pendatang dari jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali yang menetap di Bajawa, oleh karena itu ragam budaya di daerah bajawa ini sangat banyak dan tidak tertutup kemungkinan akan terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan kekisruhan diantara etnik yang berbeda.
SIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan multikultur dapat ditekankan pada tema multikultur dan di integrasikan dalam pembelajaran di sekolah dasar. Terlihat bahwa dari 73 responden guru sekolah dasar dibajawa menyatakan kata sepakat bahwa pendidikan multikultur berbasis budaya lokal sangat perlu di kembangkan kedalam pembelajaran di sekolah dasar. Hal ini dipertegas dengan rata-rata yang diperoleh secara keseluruhan sebesar 122 (sangat setuju).
Berdasarkan hasil temuan penelitian dianjurkan saran atau rekomendasi sebagai berikut. 1) dalam kegiatan belajar mengajar disekolah, guru sebagai orang yang paling dekat dengan siswa disarankan untuk mempelajari dan memahami unsur-unsur pendidikan multikultur berbasis budaya lokal, sehingga nantinya dapat bersikap dan berprilaku yang mencerminkan nilai-nilai multikulturalisme, yang dimana adanya pengakuan perbedaan siswa, adil dalam memberikan penilaian. 2) Kepada pengambil kebijakan dalam pendidikan disarankan untuk menjalankan program pendidikan multikultur berbasis budaya lokal ini hendaknya disediakan kebijakan paying hukum dalam pelaksanaannya sehingga guru tidak bimbang dalam mengimplementasikannya. 3) Dengan adanya penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan waktu dan peneliti oleh sebab itu peneliti berharap akan ada penelitian lain yang mengambil wilayah yang lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Anzis. 2013. Pendidikan Multikultur. http://anzisarna.blogspot.com. Diakses 10 Juli 2013 Purwasito. 2003. Komunikasi multikultur. Surakarta Muhamadiyah Universiti: Press.
Soelaeman, M. 2000. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: PT Refika Aditama
Mulyana, D. 2003. Komunikasi Antar Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hafizh, M. 2012. Pengertian multikultur. http://www.referensi makalah.com/pengertian-pendidikan-multikultural. Diakses pada 10 Juli 2013.
Suparlan. 2006. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultur. http://www.sercpps.ohion.edu/news/ciud/artikel. Diakses 10 juli 2013.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |15 PROFIL PEMAHAMAN KONSEP IPA GURU-GURU KELAS
SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN NGADA
Dek Ngurah Laba Laksana
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar STKIP Citra Baki
Ngada-NTT
laba.laksana@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi dan mendeskripsikan pemahaman konsep tentang materi IPA SD pada guru-guru kelas sekolah dasar di Kabupaten Ngada. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang dilakukan pada guru-guru sekolah dasar dengan jumlah responden 50 orang.. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah observasi. wawancara dan tes diagnostik. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Maret 2013 dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan agar pengumpulan data yang diperoleh dari sumber pendukung penelitian ini lebih akurat. Data kemudian dianalisis secara deskriptif melalui empat tahapan yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil pemahaman konsep guru sekolah dasar pada konsep-konsep dalam materi IPA sekolah dasar sangat bervariasi. Hal ini menunjukkan bahwa guru memiliki beragam konsepsi terhadap suatu konsep yang telah dipelajari. Rata-rata pemahaman konsep ilmiah adalah sebesar 25% sedangkan 75% adalah miskonsepsi dan bukan miskonsepsi (hanya mengulang soal sebagai alasan). Konsep-konsep yang dominan mengalami miskonsepsi tersebut mempunyai persentase di atas 50%. Konsep-konsep tersebut antara lain 1) konsep zat-zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau (60%), 2) konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya (50%), 3) konsep massa jenis zat (68%), dan 4) konsep gerak jatuh bebas (78%).
Kata-kata kunci : miskonsepsi, materi IPA SD
THE PROFILE OF CONCEPTION IN SCIENCE SUBJECT AT ELEMENTARY SCHOOL BY TEACHER OF ELEMENTARY SCHOOL IN NGADA REGENCY
Abstract
This study aimed at describing and identifying the misconception of student in Elementary School Teacher on science subject in Ngada Regency. This study was a quallitative descriptive research conducted at elementary school teacher by involving some informants which consisted of 50 people. Observation, interview and study documentation of diagnostic test was used in this study as the methods of data collection. The research was conducted on March 2013 and the implementation adapted based on the needs and the condition in the field to ascertain data more accurate from the supporting sources. The results were the teacher’s conception were varied. The average scientific concept is 25% while about 75% is a misconception or unmiconception (just a repeatly anwers from the question). Almost misconception was percentage above 50%. They are such as the concept of element were needed to photosynthesis (60%), the concept of photosynthesis that occured in the night (50%), the concept of density of matter (68%), and the concept of free falling out movement (78%).
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |16 PENDAHULUAN
Menterjadikan pendidikan yang merata dengan wilayah cakupan yang luas memang dirasa sulit. Seperti yang tertulis dalam halaman www.dpr.go.id pendidikan di wilayah timur masih jauh panggang dari api. Kondisi yang serba kekuarangan dan keterbatasan serta tanpa alat laboratorium dan perpustakaan yang layak, bagaimana bisa kualitas pendidikan ini disandingkan dengan wilayah lain di Indonesia seperti Jawa, Bali dan Sumatera. Lebih miris lagi, masih banyak sekolah yang gurunya mengajar sampai enam kelas dalam waktu yang bersamaan. Kondisi ini diperkuat oleh fakta bahwa wilayah timur seperti NTT masuk ke dalam peringkat bawah hasil Ujian Nasioanl tahun 2012 (www.kupang.tribunnews.com).
Mata pelajaran IPA menjadi salah satu bagian yang tak terpisahkan dari hasil yang diperoleh tersebut. Mata pelajaran IPA saat ini diasuh oleh guru kelas yang berasal dari tenaga pendidikan yang sebagian besar masih berkualifikasi bukan sarjana. Fakta ini dipertegas lagi oleh hasil Uji Kompetensi guru untuk tingkat sekolah dasar, rata-rata nilai adalah 36,86 (www.kupang.tribunnews.com).
IPA di sekolah dasar menjadi penting karena mampu melahirkan pemikiran kritis jika mampu dilakukan dalam pembelajaran yang bermakna. IPA memiliki tujuan untuk memahami berbagai gejala alam, konsep, dan prinsip IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; mengembangkan pemahaman dan kemampuan IPA untuk menunjang kompetensi produktif; meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan serta sumber daya alam (BSNP, 2006).
Pembelajaran bermakna (meaningful learning) mendapatkan tempat utama dalam pembelajaran IPA (Amien, 1990). Menurut Ausubel seperti dikutip Dahar (1988) belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep yang relevan yang menyebabkan tidak terjadinya proses asimilasi pengetahuan baru dengan konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur kognitif maka informasi baru tersebut akan dipelajari secara hafalan.
Hiller seperti dikutip Hewindati (2001) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang erat antara kualitas penjelasan dan pengetahuan guru dengan pencapaian belajar siswa. Kurangnya pengetahuan guru akan menyebabkan tidak jelasnya penyajian pelajaran yang dapat menimbulkan pemahaman yang kurang bahkan pemahaman yang bersifat miskonsepsi. Sementara Winkel (1991) menyatakan penguasaan guru tentang bidang studi merupakan hal yang sangat mendasar dalam kegiatan proses belajar mengajar. Guru yang menjadi salah satu komponen pembelajaran tidak seharusnya menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi peserta didik.
Beberapa survei dan penelitian yang ada, tampak komponen guru sebagai pengajar menjadi titik awal terjadinya miskonsepsi pada siswa. Hal ini ditunjukkan dari fakta bahwa
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |17 pemahaman guru terhadap materi IPA masih rendah. Jayono (dalam Suryanto, 1997) menyatakan bahwa rata-rata guru SD hanya mampu menguasai 45% dari keseluruhan materi yang seharusnya mereka kuasai. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Suryanto terhadap guru IPA SD di Yogyakarta yang menunjukkan bahwa tingkat pemahaman guru terhadap materi IPA masih rendah. Kurangnya pemahaman guru terhadap materi IPA juga dikemukakan oleh Simamora dan Redhana (2007) yang menyatakan bahwa guru-guru yang mengajarkan sains banyak mengalami masalah pembelajaran yang berkaitan dengan model pengubahan konseptual ditinjau dari karakteristik suatu konsep baru. Masalah-masalah yang terjadi antara lain guru menyajikan masalah-masalah yang tidak sesuai, mempresentasikan penjelasan yang tidak perlu, menjelaskan konsepsi secara prematur, menggunakan istilah-istilah yang membingungkan, kurang menekan pentingnya konteks, mengabaikan pengetahuan awal siswa, sedikit membahas aplikasi konsep dan terlalu banyak menggunakan persamaan matematis.
Melihat fakta dan kondisi ini, perlu kiranya melakukan upaya awal untuk menggali pemahaman IPA guru-guru sekolah dasar. Untuk itu akan dilakukan sebuah kajian di wilayah Kabupaten Ngada yang menjadi salah satu kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur untuk mengetahui profil pemahaman konsep pada materi IPA guru-guru kelas sekolah dasar di Kabupaten Ngada.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah profil pemahaman konsep IPA guru-guru kelas di sekolah dasar di Kabupaten Ngada? Dengan tujuan dari untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan pemahaman konsep tentang materi IPA SD pada guru-guru kelas sekolah dasar di Kabupaten Ngada.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif karena menggambarkan secara alamiah tentang pola konsepsi guru-guru SD dalam materi IPA di Sekolah Dasar.
Rancangan penelitian kualitatif dapat diwujudkan dengan tahap-tahap penelitian kualitatif. Tahap penelitian kualitatif memiliki ciri pokok yang berbeda dengan penelitian kuantitatif, yaitu peneliti berperan sebagai alat penelitian. Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yakni (1) tahap pralapangan, tahap ini merupakan tahap penyusunan, perencanaan, dan penyiapan segala bentuk materi yang dibutuhkan sebagai bahan dasar tahap berikutnya. (2) tahap lapangan, pada tahap ini dilakukan proses pengumpulan data, peneliti menggunakan alat-alat penelitian yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Alat penelitian yang penting digunakan adalah catatan lapangan. Catatan lapangan adalah catatan yang dibuat oleh peneliti pada saat mengadakan pengamatan, pemberian tes diagnostik, dan wawancara. Kemudian, data digolongkan menjadi; data pemahaman konsep, profil
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |18 miskonsepsi serta penyebab/sumber miskonsepsi yang dialami mahasiswa. (3) tahap pasca lapangan adalah melakukan analisis data lanjutan, pengambilan simpulan akhir, konfirmasi dan penyusunan laporan. Kegiatan analisis data lanjutan dilakukan setelah keseluruhan data terkumpul dan setelah kegiatan pengumpulan data di lapangan terakhir.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ngada, Provinsi NTT. Penentuan tempat penelitian ini dilakukan dengan teknik sampling bertujuan (purposive sampling). Sumber data peneliti adalah guru-guru SD se-Kabupaten Ngada. Jumlah guru yang diteliti adalah 32 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada Maret 2013.
Analisis data dilakukan secara induktif. Analisis secara induktif dilakukan untuk menemukan simpulan akhir terhadap data yang dikumpulkan sedikit demi sedikit. Analisis yang dilakukan yaitu jawaban informan pada saat wawancara tentang sumber informasi konsep-konsep IPA yang mereka pelajari dan petikan-petikan hasil tes diagnostik dan wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil analisis, memperlihatkan persentase pemahaman konsep IPA guru-guru pada materi IPA di sekolah dasar adalah 25,4%. Sementara, 74,6% guru-guru tidak memahami konsep IPA dengan baik yang perinciannya 31% adalah miskonsepsi dan 43,6% termasuk kategori bukan miskonsepsi. Adapun hasil analisis pemahaman konsep IPA guru-guru seperti pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil Uji Tes Diagnostik guru-guru SD di Kabupaten Ngada pada Materi IPA
No.
soal Konsep Tes Diagnostik
Jawaban Guru (%) Konsepsi ilmiah Miskon-sepsi Bukan miskonsep si 1 Memahami konsep zat-zat yang
diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau
16 60 24
2 Memahami konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya
26 50 24
3 Memahami konsep zat-zat yang dihasilkan dari proses fotosintesis
32 18 50
4 Memahami proses pernafasan pada tumbuhan
66 16 18
5 Memahami bahwa tumbuhan hijau mendapatkan makanan dari proses fotosintesis
22 38 40
6 Memahami konsep air dalam wujud gas 14 28 58 7 Memahami konsep perbedaan berat dan
massa suatu benda padat
12 16 72
8 Memahami konsep massa jenis zat 8 68 24 9 Memahami konsep tekanan pada benda
cair
36 8 56
10 Memahami konsep pemuaian udara 18 44 38 11 Memahami konsep benda diam
mengalami gaya
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |19 12 Memahami konsep gaya gravitasi di bulan 14 48 38 13 Memahami konsep kuat arus listrik 16 34 50 14 Memahami konsep gerak jatuh bebas 12 78 10 15 Memahami konsep besarnya gaya tarik
suatu benda
24 4 72
16 Memahami konsep rotasi bumi 50 18 32 17 Memahami konsep benda-benda langit
yang memancarkan cahayanya sendiri
58 12 30
18 Memahami konsep revolusi bumi 42 10 48 19 Memahami konsep gerhana bulan 10 10 80 20 Memahami konsep gerhana matahari 2 16 82 Persentase rata-rata (%) 25,4 31,0 43,6
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa terdapat 4 konsep yang paling banyak mengalami miskonsepsi. Konsep-konsep yang dominan mengalami miskonsepsi tersebut mempunyai persentase di atas 50%. Konsep-konsep tersebut antara lain 1) konsep zat-zat yang diperlukan dalam proses fotosintesis pada tumbuhan hijau (60%), 2) konsep proses fotosintesis membutuhkan cahaya (50%), 3) konsep massa jenis zat (68%), dan 4) konsep gerak jatuh bebas (78%).
Sementara itu, dari hasil tes diagnostik dan wawancara pada informan menunjukkan bahwa dalam setiap item tes diagnostik terdapat miskonsepsi. Berdasarkan hasil kajian peneliti, umumnya miskonsepsi yang terjadi menyangkut kesalahan informan dalam memahami hubungan antar konsep-konsep dalam materi IPA di sekolah dasar. Profil pemahaman konsep guru tentang materi IPA sekolah dasar dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Profil Pemahaman Konsep Guru-guru SD di Kabupaten Ngada pada Materi IPA
No Butir jawaban responden
Jenis Pemahama n Konsep Dalam persen (%) 1 Air diperlukan oleh tumbuhan hijau dalam proses
fotosintesis untuk menghasilkan oksigen dan karbohidrat (glukosa/zat gula)
Konsepsi ilmiah
16%
Air merupakan unsur penting bagi tumbuhan untuk mengangkut zat-zat makanan ke seluruh bagian tumbuhan
Miskonsepsi 18%
Air diperlukan untuk proses pertumbuhan oleh semua makhluk hidup
Miskonsepsi 16%
Proses fotosintesis membutuhkan oksigen dan karbondioksida
Miskonsepsi 4%
Dalam air terdapat zat hara yang diperlukan dalam proses fotosintesis
Miskonsepsi 8%
Air diperlukan dalam proses penguapan Miskonsepsi 2% Uap air merupakan salah satu zat yang diperlukan dalam
proses fotosintesis
Miskonsepsi 12%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
24%
2 Proses fotosintesis dapat terjadi jika ada cahaya, cahaya matahari maupun cahaya lain seperti cahaya lampu yang
Konsepsi ilmiah
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |20
No Butir jawaban responden
Jenis Pemahama n Konsep Dalam persen (%) memiliki energi tertentu dapat memicu terjadinya proses
fotosintesis
Proses fotosintesis dapat terjadi di malam hari karena fotosintesis terjadi di daun dengan sari-sari makanan yang diserap melalui akar
Miskonsepsi 8%
Fotosintesis tidak dapat terjadi di malam hari karena proses fotosintesis hanya terjadi jika ada cahaya matahari
Miskonsepsi 44%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan miskonsepsi
22%
3 Gas yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh tumbuhan hijau saat ada cahaya matahari adalah oksigen karena gas ini dihasilkan saat terjadi fotosintesis sedangkan gas karbondioksida adalah gas yang dibutuhkan dalam proses tersebut
Konsepsi ilmiah
32%
Gas yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh tumbuhan hijau saat ada cahaya matahari adalah karbondioksida karena gas oksigen diperlukan dalam proses tersebut
Miskonsepsi 8%
Gas yang dihasilkan dalam jumlah besar oleh tumbuhan hijau ketika ada cahaya matahari adalah karbondioksida karena gas tersebut digunakan dalam proses pernafasan tumbuhan
Miskonsepsi 10%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
50%
4 Tumbuhan bernafas di siang hari karena semua makhluk hidup harus bernafas untuk mendapatkan energi untuk kelangsungan hidupnya
Konsepsi ilmiah
66%
Tumbuhan bernafas di siang hari karena tumbuhan sedang melakukan proses fotosintesis
Miskonsepsi 6%
Tumbuhan bernafas di siang hari karena terdapat udara seperti karbondioksida di lingkungan sekitarnya
Miskonsepsi 6%
Tumbuhan bernafas di siang hari dengan cara menghirup karbondioksida, sedangkan pada malam hari menghirup oksigen
Miskonsepsi 4%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
18%
5 Tumbuhan hijau memperoleh makanan dengan cara melakukan proses fotosintesis
Konsepsi ilmiah
22%
Tumbuhan hijau memperoleh makanan dari zat hara di dalam tanah kemudian menggunakannya dalam proses fotosintesis
Miskonsepsi 34%
Tumbuhan hijau memperoleh makanan dari air di dalam tanah karena air adalah sumber makanan untama tumbuhan hijau
Miskonsepsi 4%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
40%
6 Gelembung-gelembung yang muncul ketika air mendidih adalah uap air karena ketika air didihkan maka akan terjadi perubahan wujud dari cair menjadi gas
Konsepsi ilmiah
14%
Gelembung-gelembung yang muncul ketika air mendidih adalah udara yang terdapat di dasar air yang mengalir ke
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |21
No Butir jawaban responden
Jenis Pemahama n Konsep Dalam persen (%) bagian atas permukaan air
Gelembung-gelembung yang muncul ketika air mendidih adalah gas oksigen karena gas tersebut akan menguap ketika air didihkan
Miskonsepsi 16%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
58%
7 Besaran yang dapat diukur dengan menggunakan neraca duduk adalah massa denagn satuan kilogram sedangkan berat dipengaruhi oleh gravitasi bumi
Konsepsi ilmiah
12%
Besaran yang dapat diukur dengan menggunakan neraca duduk adalah berat karena memiliki satuan kilogram
Miskonsepsi 8%
Besaran yang dapat diukur dengan menggunakan neraca duduk adalah berat karena massa dengan berat adalah sama
Miskonsepsi 8%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
72%
8 Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan terapung jika dimasukkan ke dalam air karena kedua buah benda tersebut akan memiliki massa jenis yang sama
Konsepsi ilmiah
8%
Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan ada yang terapung dan tenggelam karena kedua benda tersebut memiliki massa jenis yang berbeda tergantung besar kecilnya suatu benda
Miskonsepsi 56%
Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan terapung jika dimasukkan ke dalam air laut karena tempat memepengaruhi terapung atau tidaknya suatu benda
Miskonsepsi 6%
Berdasarkan gambar, dua buah benda yang terbuat dari bahan yang sama tetapi memiliki massa yang berbeda akan ada yang terapung dan tenggelam karena kedua buah benda tersebut memiliki tekanan yang berbeda
Miskonsepsi 6%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
24%
9 Berdasarkan gambar, titik yang tekanannya terbesar adalah titik T karena semakin dalam benda dalam zat cair maka tekanan yang dialaminya semakin besar
Konsepsi ilmiah
36%
Berdasarkan gambar, titik yang tekanannya terbesar adalah titik P karena benda yang terdapat paling atas mendapatkan tekanan yang besar dari zat cair
Miskonsepsi 8%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
56%
10 Balon-balon udara jika terus bergerak ke atas, lama kelamaan balon tersebut akan pecah karena udara yang terdapat di dalam balon akan mengalami peristiwa pemuaian
Konsepsi ilmiah
18%
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |22
No Butir jawaban responden
Jenis Pemahama n Konsep Dalam persen (%) kelamaan balon tersebut akan pecah karena tekanan
udara semakin tinggi sehingga terdapat perbedaan besarnya tekanan udara di dalam balon
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
38%
11 Berdasarkan ilustrasi, benda yang diam akan mengalami gaya yaitu gaya gesekan dengan lantai serta gaya berat yang dipengaruhi oleh massa benda dan gaya gravitasi bumi
Konsepsi ilmiah
30%
Berdasarkan ilustrasi, benda yang diam tidak mengalami gaya karena benda yang diam tidak mengalami perpindahan/bergerak
Miskonsepsi 44%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
26%
12 Berdasarkan ilustrasi, suatu benda jika dijatuhkan di permukaan bulan akan terjatuh ke bawah karena di bulan terdapat gaya gravitasi bulan
Konsepsi ilmiah
14%
Berdasarkan ilustrasi, suatu benda jika dijatuhkan di permukaan bulan tidak akan terjatuh ke bawah karena di bulan tidak terdapat gaya gravitasi
Miskonsepsi 34%
Berdasarkan ilustrasi, suatu benda jika dijatuhkan di permukaan bulan tidak akan terjatuh ke bawah karena di bulan tidak terdapat udara
Miskonsepsi 14%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
38%
13 Berdasarkan gambar, kuat arus listrik yang masuk ke lampu sama besar dengan kuat arus yang keluar dari lampu karena arus listrik tidak dipengaruhi oleh hambatan lampu
Konsepsi ilmiah
16%
Berdasarkan gambar, kuat arus listrik yang masuk ke lampu sama besar dengan kuat arus yang keluar dari lampu karena memiliki rangkaian seri
Miskonsepsi 4%
Berdasarkan gambar, kuat arus listrik setelah keluar dari lampu akan berkurang karena arus listrik sudah digunakan oleh lampu
Miskonsepsi 30%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
50%
14 Dua buah bola yang terbuat dari bahan yang berbeda jika dijatuhkan dari ketinggian yang sama maka kedua bola akan sampai ke lantai secara bersamaan hal ini dikarenakan kedua benda tersebut memiliki percepatan dan waktu tempuh yang sama sehingga menyentuh lantaipun bersamaan
Konsepsi ilmiah
12%
Dua buah bola yang terbuat dari bahan yang berbeda jika dijatuhkan dari ketinggian yang sama maka bola yang lebih berat akan menyentuh lantai terlebih dahulu
Miskonsepsi 78%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
10%
15 Berdasarkan gambar, besarnya gaya tarik yang dimiliki oleh benda (i) sama dengan gaya tarik yang dimiliki oleh benda (ii) hal ini disebabkan karena besarnya gaya tarik tidak dipengaruhi oleh luas permukaan sentuhnya
Konsepsi ilmiah
JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN |23
No Butir jawaban responden
Jenis Pemahama n Konsep Dalam persen (%) Berdasarkan gambar, besarnya gaya tarik yang dimiliki
oleh benda (i) lebih besar daripada benda (ii) hal ini disebabkan karena gaya gesekan yang terjadi pada benda (i) lebih besar daripada yang terjadi pada benda (ii)
Miskonsepsi 4%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
72%
16 Peristiwa matahari terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat terjadi karena gerak perputaran bumi pada porosnya (rotasi bumi) dimana saat berotasi ada bagian bumi yang tidak terkena cahaya matahari yang mengakibatkan terjadinya malam (matahari tenggelam), dan bagian bumi yang terang yang mengakibatkan terjadinya siang (matahari terbit)
Konsepsi ilmiah
50%
Peristiwa matahari terbit di sebelah timur dan tenggelam di sebelah barat terjadi karena gerakan bumi mengelilingi matahari dimana setiap planet berputar mengelilingi pusat tata surya yaitu matahari
Miskonsepsi 18%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
32%
17 Bulan adalah benda langit yang tidak dapat memancarkan cahayanya sendiri karena cahaya bulan yang terlihat dari bumi merupakan cahaya pantulan sinar matahari oleh permukaan bulan
Konsepsi ilmiah
58%
Bulan adalah benda langit yang dapat memancarkan cahaya sendiri karena bulan termasuk bintang
Miskonsepsi 6%
Bulan adalah benda langit yang dapat memancarkan cahaya sendiri karena bulan termasuk satelit yang bercahaya
Miskonsepsi 6%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
30%
18 Semua planet di dalam tata surya termasuk bulan beredar mengelilingi matahari karena matahari sebagai pusat dalam sistem tata surya sehingga semua benda angkasa yang ada dalam sistem ini yang beredar mengelilingi matahari
Konsepsi ilmiah
42%
Semua planet di dalam tata surya termasuk bulan beredar mengelilingi bumi karena adanya peristiwa revolusi
Miskonsepsi 4%
Semua planet beredar mengelilingi matahari tetapi bulan hanya beredar mengelilingi bumi
Miskonsepsi 6%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi
48%
19 Berdasarkan gambar, tidak ada pilihan yang benar mengenai peristiwa terjadinya gerhana bulan karena gerhana bulan terjadi jika cahaya bulan (hasil pantulan cahaya matahari) terhalangi menuju bagian bumi yang tidak terkena cahaya matahari
Konsepsi ilmiah
10%
Berdasarkan gambar, gerhana matahari terjadi jika posisi bulan berada diantara bumi dan matahari
Miskonsepsi 10%
Tidak menjawab atau mengulang soal sebagai alasan jawaban
Bukan Miskonsepsi