• Tidak ada hasil yang ditemukan

Literasi Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Literasi Kesehatan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Literasi Kesehatan

Konsep mengenai literasi kesehatan muncul dalam kaitannya dengan pendidikan kesehatan pada tahun 1970 di Amerika Serikat dan ketertarikan terhadap topik ini telah meningkat dengan pesat sejak tahun 1990 (Sørensen & Brand, 2013). Berdasarkan informasi yang diperoleh dari WHO dalam Konferensi Global ke-7 tahun 2009 mengenai promosi kesehatan dan pembangunan, dikemukakan bahwa literasi kesehatan dibangun atas gagasan bahwa kesehatan dengan literasi atau keaksaraan merupakan sumber daya yang sangat penting bagi kehidupan sehari-hari (WHO, 2009). Literasi kesehatan tidak hanya mempengaruhi kemampuan seseorang untuk bertindak berdasarkan informasi kesehatan tetapi juga agar seseorang lebih mampu mengontrol kesehatannya sebagai individu, keluarga, dan masyarakat. Menurit Weiss (2007) mengatakan bahwa keaksaraan merupakan prediktor paling kuat dari status kesehatan individu dibandingkan pendapatan, status pekerjaan, tingkat pendidikan dan kelompok ras atau etnis.

Literasi sendiri melibatkan pembelajaran kontinum yang memungkinkan individu mencapai tujuan mereka, mengembangkan pengetahuan dan potensi yang mereka miliki, serta dapat berpartisipasi dalam masyarakat yang luas (UNESCO, 2004). Begitu pula dengan literasi kesehatan yang membutuhkan proses yang panjang dalam membangun keterampilan dan kemampuan yang dibutuhkan (Europan).

Perbedaan antara literasi dengan literasi kesehatan yaitu literasi mengacu pada keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk berhasil dalam masyarakat sementara literasi kesehatan memerlukan beberapa keterampilan tambahan seperti kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, dan menggabungkan informasi kesehatan dari berbagai konteks, serta memerlukan beberapa pengetahuan terkait kesehatan (Rootman, 2009). Sistem pelayanan kesehatan yang semakin modern juga menuntut peran yang semakin kompleks

(2)

bagi konsumen kesehatan, misalnya dalam hal perawatan diri individu dituntut untuk mampu menjalankan peran baru dalam hal mencari informasi, memahami hak dan kewajibannya, dan membuat keputusan kesehatan yang tepat bagi dirinya sendiri dan hal tersebut membutuhkan pengetahuan dan keterampilan (Bohlman et al., 2004).

National Assessment of Adults Literacy di Amerika Serikat mengemukakan bahwa literasi kesehatan merupakan kemampuan untuk menggunakan informasi kesehatan yang tertulis maupun lisan untuk dapat digunakan di tengah masyarakat dalam mencapai tujuan, serta mengembangkan pengetahuan dan potensinya. Kemampuan ini meliputi kemampuan membaca label obat, brosur informasi kesehatan, informed consent, memahami informasi yang diberikan oleh petugas kesehatan, serta kemampuan untuk melakukan petunjuk serta prosedur pengobatan (Chen et al., 2011; Dennison et al., 2011; White, 2008).

Menurut Institute of Medicine (2004), literasi kesehatan merupakan sejauh mana individu memiliki kapasitas untuk memperoleh, memproses, dan memahami mengenai informasi kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk dapat membuat keputusan yang tepat mengenai kesehatan (Chen et al., 2011). Sedangkan menurut World Health Organization (WHO), literasi kesehatan adalah keterampilan kognitif dan sosial yang menentukan motivasi dan kemampuan individu untuk mendapatkan akses, memahami dan menggunakan informasi dalam mendukung dan menjaga kesehatan yang baik.

Definisi-definisi di atas menggambarkan literasi kesehatan sesuai dengan ruang lingkupnya diantaranya secara fungsional yaitu menekankan pada kemampuan individu untuk mengakses, memahami, dan menggunakan informasi kesehatan dalam konteks pelayanan kesehatan. Secara konseptual literasi kesehatan menekankan pada kemampuan individu untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi kesehatan dalam membuat keputusan kesehatan yang tepat guna mengurangi risiko kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup.

(3)

Sebagai strategi pemberdayaan, literasi kesehatan sangat penting dalam meningkatkan kontrol individu atas kesehatan mereka dan meningkatkan kemampuan individu dalam mencari informasi kesehatan (Santosa 2012; WHO, 2009).

Seseorang dengan literasi kesehatan yang rendah memiliki kesulitan dalam mengikuti instruksi perawatan diri yang sederhana sehingga individu tersebut sering membutuhkan bantuan orang lain, kurang pemahaman mengenai pelayanan kesehatan dasar sehingga dapat memperburuk kondisi kesehatannya serta dapat dapat tersesat dalam sistem kesehatan yang semakin kompleks (Institute of Medicine, 2009; Rootman & El-Bihbety, 2008). Sampai saat ini masih banyak orang yang tidak memahami literasi kesehatan atau pentingnya hal tersebut bagi kesehatan. Literasi kesehatan merupakan upaya yang sangat penting dalam mewujudkan individu yang sehat dan merupakan faktor penentu kesehatan (determinant of health) (Institute of Medicine, 2009).

Literasi kesehatan dapat ditemukan pada seseorang dengan tingkat literasi yang tinggi misalnya ketika seorang guru sains yang mungkin tidak memahami informasi yang diberikan dokter mengenai tes fungsi otak dan seorang akuntan mungkin tidak memahami ketika mendapatkan hasil dari pemeriksaan mammogram (Bohlman et al., 2004).

Kerangka Kerja Literasi Kesehatan (Health Literacy Framework)

Institute of Medicine mengembangkan kerangka kerja literasi kesehatan. Kerangka kerja ini menggambarkan tiga bidang utama yang berpengaruh terhadap literasi kesehatan dan menjadi titik dalam memberikan intervensi dilihat dari interaksi individu dengan sistem pendidikan, sistem kesehatan, serta faktor sosial budaya yang dianggap bahwa 3 bidang

(4)

utama tersebut pada akhirnya akan memrikan kontribusi terhadap hasil akhir (outcome) dan biaya kesehatan (Institute of Medicine, 2009).

Gambar 2.2 Kerangka kerja literasi kesehatan (Health Literacy Framework). Sumber: (Institute of Medicine, 2009).

Dilihat dari kerangka kerja di atas dikatakan bahwa literasi kesehatan didasarkan pada interaksi antara keterampilan individu dengan sistem pelayanan kesehatan, sistem pendidikan, dan faktor sosial budaya. Keterampilan tersebut meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, berbicara, mendengarkan, budaya serta pengetahuan. Faktor sosial budaya termasuk ke dalam titik intervensi sebab budaya didapatkan melalui interaksi antar individu dan media nyata seperti buku, televisi yang akan berdampak terhadap informasi kesehatan dan dapat mempengaruhi persepsi individu dalam masyarakat mengenai pengetahuan penyakit, hambatan proses perawatan, serta hambatan bahasa. Namun, sebagian besar instrumen yang tersedia untuk mengukur literasi kesehatan yang tersedia saat ini hanya melihat keterampilan membaca seseorang yang dilihat dari kemampuan membaca termasuk

2 Sistem Kesehatan

1 Hasil akhir dan

biaya kesehatan Literasi Kesehatan Sosial dan Budaya Sistem Pendidikan 3

(5)

pelafalan kata, berhitung, dan memahami bacaan tersebut tanpa mengukur keterampilan penting lainnya.

Pentingnya Literasi Kesehatan

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari WHO dalam Konferensi Global ke-7 tahun 2009 mengenai promosi kesehatan dan pembangunan, dikemukakan bahwa literasi kesehatan penting untuk diidentifikasi sebab (WHO, 2009):

1. Seluruh individu berhubungan dengan kesehatan

Literasi kesehatan merupakan kebutuhan seluruh individu sebab setiap individu selalu dihadapkan dengan situasi yang menuntut individu tersebut membuat keputusan berhubungan dengan kesehatan serta mengaplikasikanenya. Seseorang dengan tingkat literasi kesehatan yang rendah cenderung cenderung melakukan perilaku berisiko dan memiliki kesehatan yang lebih buruk. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Dennison et al. (2011) dan Chen et al. (2011) bahwa seseorang dengan kondisi kronis seperti gagal jantung disertai literasi kesehatan inadekuat akan meningkatkan risiko perawatan yang buruk karena kurangnya pengetahuan mengenai penyakitnya serta dapat menurunkan kepercayaan diri untuk mampu melakukan perawatan yang efektif.

Pada pasien dengan literasi kesehatan rendah akan kesulitan dalam mengikuti dan memahami prosedur pengobatan yang harus dilakukan seperti kesulitan dalam membaca label obat, memahami peringatan yang tertera pada label obat, serta menentukan dosis obat yang harus dikonsumsi oleh pasien ketika berada di rumah sesuai resep dokter sehingga lebih berisiko mengalami kesalah dalam menjalani pengobatan (Cajita et al., 2015; Chen et al., 2011; Dennison et al., 2011; Wolf et al., 2007). Hal tersebut dapat menyebabkan pasien berisiko menjalani pengobatan yang

(6)

kurang (under-treatment) atau berlebihan (over-treatment) dan akan lebih berbahaya jika pasien mengalami efek samping obat yang mengakibatkan komplikasi.

2. Hasil akhir kesehatan yang buruk

Bukti menunjukkan bahwa tingkat literasi kesehatan inadekuat berpengaruh terhadap kesehatan yang buruk, kurangnya pemahaman mengenai penyakit dan prosedur pengobatan sehingga sering menyebabkan kesalahan dalam pengobatan. Seseorang dengan literasi kesehatan rendah membuat pasien kurang dapat mengenali tanda dan gejala penyakitnya sehingga menyebabkan pasien terlambat mencari perawatan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Schillinger et al. (2002) yang mengungkapkan bahwa literasi kesehatan yang rendah pada pasien diabetes berhubungan dengan buruknya kemampuan pasien dalam mengontrol gula darah dan menyebabkan tingkat komplikasi yang tinggi.

3. Peningkatan angka penyakit kronis

Angka kejadian penyakit kronis di berbagai negara semakin meningkat dan paling sering dialami oleh individu dengan usia lebih tua sedangkan dalam menangani penyakitnya diperlukan keterlibatan pasien agar dapat mengelola penyakitnya dengan lebih efektif. Literasi kesehatan memainkan peran penting dalam manajemen diri penyakit kronis. Dalam hal mengelola penyakit kronis atau penyakit yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang individu harus mampu memahami dan menilai atau mengevaluasi informasi kesehatan yang sering berisi mengenai rejimen medis yang kompleks, serta mampu membuat keputusan kesehatan yang tepat dan mengetahui bagaimana cara mengakses pelayanan ketika dibutuhkan.

4. Biaya perawatan kesehatan

Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa terjadi biaya tambahan dalam perawatan kesehatan sebesar 3-5% pada individu yang memiliki literasi kesehatan yang rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kalichman et al. dalam Santosa (2005) yang menunjukkan bahwa penderita HIV yang memiliki tingkat literasi kesehatan yang rendah memiliki sel CD4 yang lebih rendah, viral load yang

(7)

lebih tinggi, ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi antiretroviral, dan lebih sering menjalani rawat inap di rumah sakit yang tentunya akan meningkatkan biaya perawatan kesehatan.

5. Tuntutan informasi kesehatan

Ketidaksesuaian antara isi informasi kesehatan dengan tingkat kemampuan membaca seseorang. Isi informasi kesehatan seringkali menggunakan bahan seperti istilah kesehatan yang sulit dipahami sehingga pasien sering kesulitan dalam membaca maupun menafsirkannya.

6. Ekuitas (equity)

Seseorang dengan tingkat literasi kesehatan yang rendah diartikan bahwa individu tersebut tidak mampu mengelola kesehatan mereka sendiri secara efektif, tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan, tidak memahami informasi kesehatan yang tersedia sehingga mengakibatkan individu tersebut kesulitan dalam membuat keputusan kesehatan yang tepat berdasarkan informasi yang didapatkan dan hal tersebut berdampak pada ekuitas atau pemerataan peluang untuk mengakses pelayanan kesehatan. Oleh karena itu upaya meningkatkan literasi kesehatan merupakan alat penting dalam menurunkan kesenjangan kesehatan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi literasi kesehatan

Berdasarkan model konseptual yang dikembangkan oleh Paasche-Orlow and Wolf (2007), literasi kesehatan dipengaruhi oleh karakteristik sosiodemografis serta kemampuan kognitif dan fisik yang seluruh hal tersebut merupakan penentu hasil kesehatan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dilaporkan bahwa literasi kesehatan pada seseorang juga dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, suku/budaya, bahasa, kemampuan kognitif, status sosial ekonomi, pekerjaan, pendapatan, akses informasi kesehatan, dan akses pelayanan kesehatan (Cajita et al., 2015; Tung et al., 2014; Santosa, 2012).

(8)

Berdasarkan sistematik riview yang dilakukan oleh Cajita et al. (2015) dilaporkan bahwa terdapat 8 penelitian yang mengatakan seseorang dengan tingkat usia semakin bertambah dewasa cenderung memiliki literasi kesehatan yang semakin menurun. Sebab pada usia yang semakin bertambah dewasa terjadi penurunan kemampuan berfikir, kemampuan sensoris, rentang waktu yang lama sejak pendidikan terakhir dan penurunan kemampuan tersebut mempengaruhi kemampuan dalam membaca dan memahami informasi (Shah et al., 2010; Ng & Omariba 2010 dalam Santosa, 2012). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tung et al. (2014) pada pasien gagal jantung yang mayoritas penderitanya berusia 50 tahun ke atas. Pasien dengan usia semakin bertambah dewasa dianggap rentan memiliki literasi kesehatan rendah dan hal tersebut berpengaruh pada perawatan diri terutama dalam hal mengelola kondisi kronis agar dapat tercapainya kondisi kesehatan yang lebih baik.

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan sistematik riview yang dilakukan oleh Cajita et al. (2015) dilaporkan bahwa jenis kelamin perempuan cenderung memiliki literasi kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Namun penelitian yang dilakukan oleh Macabasco et al., (2011) dikemukakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakana antara jenis kelamin dengan literasi kesehatan.

c. Pendidikan

Pendidikan dilaporkan memiliki korelasi yang positif dengan literasi kesehatan. Hal tersebut sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh Macabasco et al., (2011) dan Laramee (2007). Seseorang dengan tingkat pendidikan sekolah yang rendah lebih mungkin memiliki literasi kesehatan yang rendah. Selain berdampak pada pembentukan pengetahuan kesehatan, pendidikan juga membentuk keahlian atau kompetensi yang dibutuhkan dalam pembelajaran

(9)

kesehatan, misalnya kemampuan membaca berbagai sumber informasi kesehatan dan kemampuan menggunakan internet (Santosa, 2012).

d. Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif mempunyai korelasi yang kuat dengan literasi kesehatan. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Morrow et al. (2006) dan Hawkins (2012) yang menyatakan seseorang yang memiliki fungsi kognitif lebih baik menunjukkan tingkat literasi kesehatan yang lebih tinggi.

e. Bahasa

Literasi kesehatan yang adekuat juga membutuhkan keterampilan dalam berkomunikasi, baik dari individu tersebut maupun pemberi layanan kesehatan agar dapat terjalin interaksi yang baik sehingga informasi kesehatan dapat tersampaikan dengan baik (Kindig et al., 2004). Bahasa merupakan salah satu yang berpengaruh dalam cara seseorang mengaplikasikan keterampilan tersebut. Sebab ketika petugas kesehatan menjelaskan mengenai prosedur pengobatan menggunakan istilah kesehatan yang sulit ditambah apabila bahasa utama yang pasien gunakan sehari-hari bukan merupakan bahasa nasional (bahasa resmi yang digunakan di negaranya) maka hal tersebut dapat menyebabkan pasien tidak memahami instruksi yang telah diberikan (Santosa, 2012).

f. Etnis

Etnis dapat mempengaruhi tingkat literasi kesehatan pada seseorang khususnya pada kaum minoritas dalam suatu populasi sehingga lebih banyak individu yang memiliki literasi kesehatan rendah. Tempat pemukiman yang terpisah, sulitnya akses pendidikan, dan berbagai hambatan dalam ekonomi menjadi beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi (Santosa, 2012). Masyarakat dengan berbagai latar belakang etnis juga dapat memiliki hambatan dalam komunikasi kesehatan karena merasa petugas kesehatan tidak mengetahui

(10)

pengobatan tradisional dan budaya terkait dengan kesehatan yang ada pada komunitas mereka. (American College of Physicians, 2010).

Budaya yang dimiliki berbagai etnisberpengaruh dalam cara menginterpretasikan pesan-pesan kesehatan, pola pencarian pelayanan kesehatan, dan cara berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Seseorang yang berasal dari budaya yang tidak menggunakan sendok akan bingung dalam memahami takaran obat yang memakai istilah ‘sendok teh’ (Singleton & Krause, 2009; Andrulis & Brach, 2007 dalam Santosa 2012).

g. Pekerjaan

Menurut Ng & Omariba 2010 dalam Santosa, 2012, dengan bekerja maka seseorang terlibat lebih banyak dalam kegiatan membaca, menulis, berhitung dalam konteks pekerjaannya. Hal tersebut dapat lebih meningkatkan kemampuannya dalam memahami istilah, angka, dan teks bacaan yang juga dapat mereka aplikasikan ketika membaca informasi kesehatan. Selain itu, dengan bekerja maka lebih besar kemungkinan bagi seseorang untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari tempatnya bekerja (Santosa, 2012).

h. Pendapatan

Faktor ekonomi mempengaruhi kemampuan seseorang dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelayanan kesehatan, sehingga hal tersebut mempengaruhi pula kemampuan seseorang dalam memperoleh, memahami, dan mengaplikasikan informasi kesehatan (Pawlak, 2005). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ng & Omariba (2010) yang mengatakan bahwa seseorang dengan tingkat pendapatan yang rendah cenderung memiliki tingkat literasi kesehatan yang rendah pula.

i. Akses Pelayanan Kesehatan

Akses pelayanan kesehatan dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mendapatkan informasi kesehatan. Adanya program jaminan kesehatan sebagai salah satu bagian akses pelayanan kesehatan juga sangat berkontribusi dalam

(11)

peningkatan literasi kesehatan yang adekuat. Sesuai dengan penelitian oleh Bains dan Egede (2011) juga menunjukkan hasil bahwa pada orang-orang yang memiliki tidak memiliki jaminan kesehatan terdapat proporsi tingkat literasi kesehatan inadekuat yang lebih besar.

h. Akses Informasi Kesehatan

Literasi kesehatan dibangun atas gagasan bahwa kesehatan dengan literasi atau keaksaraan (WHO, 2009). Hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan oleh Speros (2005) mengenai konsep literasi kesehatan bahwa terdapat faktor yang mendahului (anteseden) literasi kesehatan yaitu literasi (melek huruf) dan pengalaman yang berkaitan dengan kesehatan.

Speros mengungkapkan bahwa literasi merupakan sebuah kemampuan meta-kognitif yang melibatkan kemampuan membaca, memahami, dan berhitung. Untuk melengkapi kemampuan tersebut seseorang harus mempunyai pengalaman kesehatan dimana individu tersebut terpapar oleh istilah kesehatan dan penjelasan agar informasi kesehatan yang diterimanya terlihat logis. Literasi kesehatan membutuhkan familiaritas atau pengenalan dengan struktur dan jenis informasi kesehatan (misalnya pemberian brosur untuk pasien). Paparan terhadap informasi kesehatan tersebut akan membentuk kemampuan baru dibanding kemampuan literasi secara umum (Santosa, 2012).

(12)

 Rootman, I. 2009. Health Literacy: What should we do about it? Presentation at the University of Victoria, BC. Canada.

 UNESCO Education Sector. 2004. The Plurality of Literacy and its implications for Policies and Programs: Position Paper. Paris: United National Educational, Scientific and Cultural Organization, p. 13, citing a internationalexpert meeting in June 2003 at UNESCO. Available at : http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001362/136246e.pdf  World Health Organization. (WHO). 2009. Paper for discussion at the 7th Global

Conference on Health Promotion, "Promoting Health and Development: Closing the Implementation Gap".

 Macabasco-O’Connell A, DeWalt DA, Broucksou KA, et al. 2011. Relationship between literacy, knowledge, self-care behaviors,and heart failure-related quality of life among patients with heart failure. J Gen Intern Med.

 Laramee AS, Morris N, Littenberg B. 2007.Relationship of literacy and heart failure in adults with diabetes. BMC Health Serv Res.

 Morrow D, Clark D, Tu W, et al. 2006. Correlates of health literacy in patients with chronic heart failure. Gerontologist.

Hawkins LA. 2012. Health literacy, cognitive impairment, and medication adherence in veterans with heart failure.

Gambar

Gambar 2.2 Kerangka kerja literasi kesehatan (Health Literacy Framework).

Referensi

Dokumen terkait

Pengalaman empiris yang dilakukan diDesa Tenganan, memberikan inspirasi dan ide untuk mengungkapkan tradisi tersebut kedalam sebuah bentuk komposisi musik dengan konsep

Dalam hal ini sumber data primer adalah informasi atau data yang berkaitan dengan pokok masalah, yaitu berupa berkas-berkas penetapan dispensasi kawin yang

TEMPATNYA DI HATI [BAWAH PENTIL SUSU KIRI SEKITAR DUA

Penelitian dari Siregar (2010) yang berjudul Hubungan Gaya Pengasuhan Orangtua dengan Motivasi Berprestasi pada Mahasiswa Suku Batak yang Tinggal di Jakarta dan

57 pendidikan pengasuh, riwayat pemberian ASI, status sosial ekonomi dan status higiene sanitasi tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik pada rerata

Hasil uji Statistik menunjukkan parameter yang berpengaruh terhadap pola persebaran leptospirosis di Kecamatan Bantul yaitu penggunaan lahan dengan nilai

Data yang diperoleh dari hasil penelitian menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu suatu metode penelitian yang bersifat menggambarkan kenyataan atau

Kemampuan berpikir kritis siswa dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan tes kemampuan berpikir kritis yang diberikan dalam bentuk Pre-test dan Post-test pada kelas