LAPORAN FARMAKOGNOSI
Analisis Mikroskopis, Histokimia dan Kromatografi Lapis Tipis
Cinnamomi Cortex
Oleh : KELOMPOK E-1 1 Faridatul Hasanah 122210101104 2 Herlina Ekawati 132210101005 3 Nurul Shalikah 132210101011 4 Mirzatus Sholicha 132210101047 5 Terryda Ayu P. 132210101059 6 Sugi Hartono 1322101010627 Zayd Rifqi Dzulqarnayn 132210101063
8 Syafi’ Mirza 132210101084
9 Heppy Ayu Andira 132210101087 10 Friska Wira S 132210101095
LABORATORIUM BIOLOGI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JEMBER
2016
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Dalam farmakognosi ini, yang menjadi kajian utama adalah bahan alam. Tumbuhan memiliki banyak kandungan senyawa yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Bahan alam kemudian dapat diolah menjadi suatu senyawa yang dapat memberikan manfaat melalui zat-zat atau kandungan kimia yang ada di dalamnya. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung jawab terhadap respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Anonim, 2000).
Pada makalah kali ini, kami akan membahas tentang hasil praktikum uji histokimia dan KLT terhadap Cinnamomi Cortex. Dimana dari hasil uji tersebut dapat diketahui kandugan apa saja yang terdapat pada Cinnamomi Cortex. Uji seperti ini sangat bermanfaat, karena dengan melakukan pengujian terhadap suatu simplisia kita dapat menentukan kandungan kimia apa saja yang terdapat pada simplisia tersebut sehingga memudahkan kita dalam membuat sauatu sediaan yang sesuai dengan keinginan.
Uji kandungan ini juga berguna agar sediaan yang terbuat dari suatu simplisia dapat memberi efek terapi yang optimum sesuai dengan kandungan kimia pada simplisia tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah hasil uji histokimia Cinnamomi Cortex dengan penambahan berbagai reagen?
1.2.2 Bagaimanakah cara mengidentifikasi kandungan Cinnamomi Cortex dengan metode KLT?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat mengidentifikasi Cinnamomi Cortex dengan uji histokimia dan mengetahui fungsi masing-masing reagen kimia yang ditambahkan untuk analisis metode histokimia.
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui kandungan kimia dalam Cinnamomi Cortex melalui analisis histokimia dan kromatografi lapis tipis.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apa pun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan (Anonim, 2000).
Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar mutu yaitu sebagai berikut :
1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).
2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat tetap diupayakan memiliki tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya, yaitu
Quality, Safety, Efficacy (mutu, aman, manfaat).
3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggungjawab terhadap respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan (Anonim, 2000).
2.2 Simplisia Cinnamomi Cortex
Klasifikasi simplisia Cinnamomi Cortex : Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas: Magnoliidae
Ordo: Laurales Famili: Lauraceae Genus: Cinnamomum
Akhir-akhir ini, pemanfaatan pengobatan alternatif dengan menggunakan tanaman tradisional semakin sering dilakukan. Salah satu tanaman obat tersebut diantaranya adalah kayu manis (Cinnamomum zeylanicum). Kayu manis ini sudah dikenal keberadaannya sejak 5000 tahun yang lalu. Sedangkan pemanfaatannya dalam dunia pengobatan medis pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Eropa dan Yunani pada 500 tahun Sebelum Masehi. Kayu manis merupakan tanaman asli yang berasal dari India, Srilangka, Cina, dimana negara-negara tersebut memiliki hutan yang bersifat tropis (Sastroamidjojo Setio, 1997).
Beberapa kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam kayu manis yaitu pada bagian kulit batang mengandung sinamaldehid 65-80 %, eugenol 5-10 %, daun mengandung sinamaldehid 1-5 %, eugenol 70-95 %, akar mengandung kampora 60 %, buah mengandung trans-sinamal asetat dan β-kariofilen, bunga mengandung sinamil asetat, trans-alfabergamoten dan kariofilen oksida, kuncup mengandung terpen hidrokarbon, alfa-kopaen dan terpenoid teroksigenasi (Vangalapati et al., 2012:657).
Kayu manis banyak dimanfaatkan untuk penyedap pada makanan, pengobatan medis, serta tak jarang digunakan sebagai dupa dalam upacara keagamaan (Syamsuhidayat SS, 1991). Berbagai efek farmakologis yang dimiliki Kayu manis diantaranya sebagai peluruh keringat (diaphoretic), penambah nafsu makan (stomachiva), carminative, antibakteri, antijamur, dan lain-lain. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam Kayu manis diantaranya minyak atsiri, eugenol, cinnamaldehyde, safrol, tannin, kalsium oksalat, dammar, dan zat penyamak. Kandungan minyak atsiri dan Cinnamaldehyde ini diperkirakan dapat menghambat aktifitas dan pertumbuhan jamur, diantaranya Malassezia furfur (Sastroamidjojo Setio, 1997).
2.3 Uji Simplisia
Untuk mengetahui kebenaran dan mutu obat tradisional termasuk simplisia, maka dilakukan analisis yang meliputi analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif terdiri atas pengujian organoleptik, pengujian makroskopik, pengujian mikroskopik, dan pengujian histokimia.
2.3.1 Uji Organoleptik
Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui khususnya bau dan rasa simplisia yang diuji.
2.3.2 Uji Makroskopik
Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari khususnya morfologi, ukuran, dan warna simplisia yang diuji.
2.3.3 Uji mikroskopik
Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang diuji dapat berupa sayatan melintang, radial, paradermal maupun membujur atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari unsure-unsur anatomi jaringan yang khas. Dari pengujian ini akan diketahui jenis simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang spesifik bagi masing-masing simplisia.
2.3.4 Uji Histokimia
Uji histokimia bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat kandungan yang terdapat dalam jaringan tanaman. Dengan pereaksi spesifik, zat-zat kandungan tersebut akan memberikan warna yang spesifik pula sehingga mudah dideteksi (Anonim,1987).
2.3.5 Kromatografi Lempeng Tipis
Kromatografi merupakan pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. Pemilihan teknik kromatografi sebagian besar bergantung pada sifat kelarutan senyawa yang akan dipisahkan. Metode kromatografi planar dibagi menjadi tiga, yaitu kromatografi lapis tipis, kromatografi kertas dan elektrokromatografi. Ketiganya menggunakan material tipis yang dilapisi gelas, plastik atau permukaan logam. (Skoog et al., 2004).
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan yang memisahkan, yang terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), setelah plat atau lapisan ditaruh didalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama rambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya, senyawa yang tidak berwarna harus dideteksi (E Dumont, 1985).
KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida-lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa kimia secara kromatografi dan isolasi senyawa murni dalam skala kecil (Rohman, 2007).
BAB III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum
Tempat Praktikum : Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Jember.
Waktu : Selasa, 08 November 2016 Pukul 10.40 – 13.10 WIB.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Uji Histokimia
Alat : Plat tetes
Bahan : Simplisia Cinnamomi Cortex, Asam sulfat Pekat, Asam sulfat 10N, Asam klorida Pekat, Asam klorida encer, NaOh 5%, Koh 5%, Amonia 25% dan FeCl.
3.2.2 Uji KLT
Alat : Tabung reaksi, Neraca analitik, Corong kaca, Gel silica GF 254, Chamber, Sinar UV 254, Penggaris, Pensil, Pipet ukur, Mikropipet, Kertas saring, Labu ukur dan Botol timbang.
Bahan : Simplisia Cinnamomi Cortex 3.2. Cara Kerja
3.3.1 Mikroskopis Cinnamomum zeylanicum
3.3.2 Histokimia Cinnamomum zeylanicum
3
Ambil sedikit serbuk Cinnamomum zeylanicum , letakkan pada objek glass
Tambahkan beberapa tetes air Tutup dengan cover glass
Amati dibawah mikroskop dan gambar fragmen-fragmen sebagai berikut: Parenkim cortex dengan sel minyak dan sel batu, Fragmen sel batu, Serabut
sklerenkimHablur kalsium oksalat bentuk prisma
Ambil sedikit serbuk Cinnamomum zeylanicum , letakkan di 9 lubang plat tetes
Amati perubahan warna Ditambah dengan reagen berikut ini :
Asam sulfat pekat, Asam sulfat 10N, Asam klorida P, Asam asetat encer, Natrium hidroksida 5%, Kalium hidroksida 5%, Amonia 25%, Feri klorida 5%
3.3.3 Identifikasi Cinnamomum zeylanicum menggunakan KLT
Letakkan pada labu ukur, tambahkan larutan ethanol 10 ml ad tanda batas Ambil serbuk Cinnamomum zeylanicum timbang sebanyak 1 gram
Amati di sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm Angkat letakkan di UV
Eluasi dengan larutan toluen : etil asetat (7:3)
Totolkan pada lempeng KLT dengan menggunakan mikropipet Letakkan di vial
Disaring dan endapannya dibuang larutkan di ultrasonic ad homogen
BAB IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Organoleptis Cinnamomi Cortex
Hasil yang didapat setelah dilakukan identifikasi secara organoleptis berupa bau serbuk khas aromatik, rasa agak manis, agak pedas dan kelat serta warna coklat muda. 4.2 Uji Makroskopis Cinnamomi Cortex
Potongan kulit : bentuk gelondong, agak menggulung membujur, agak pipih atau berupa berkas yang terdiri dari tumpukan beberapa potong kulit yang tergulung membujur; panjang sampai 1m, tebal kulit 1mm sampai 3mm atau lebih. Permukaan luar: yang tidak bergabus berwarna coklat kekuningan atau coklat sampai coklat kemerahan, bergaris-garis pucat bergelombang memanjang dan bergaris-garis pendek melintang yang menonjol atau agak berlekuk; yang bergabus berwarna hijau kehitaman atau coklat kehijauan, kadang-kadang terdapat terdapat bercak-bercak lumut kerak berwarna agak putih atau coklat muda. Permukaan dalam: berwarna coklat kemerahan tua sampai coklat kehitaman. Bekas patahan tidak rata.
4.3 Uji Mikroskopis Cinnamomi Cortex
Secara mikroskopik, fragmen yang ditemukan berupa fragmen pengenal dari simplisia Cinnamomi Cortex adalah parenkim cortex dengan sel minyak dan sel batu, fragmen sel batu, serabut sklerenkim dan hablur kalsium oksalat bentuk prisma.
Pada kulit yang lapisan luarnya belum dibuang akan tampak: lapisan epidermis dengan kutikula berwarna kuning ; lapisan gabus terdiri beberapa sel berwarna coklat, dinding tangensial dan dinding radial lebih tebal dan berlignin, kambium gabus jernih tanpa penebalan dinding. Korteks : terdiri dari beberapa lapis sel parenkim dengan dinding berwarna coklat diantaranya terdapat kelompok sel batu, sel lendir dan sel minyak. Sel parenkim : Didalamnya benyak terdapat butir pati atau hablur kalsium oksalat berbentuk prisma. Lapisan sklerenkim : terdapat dibawah parenkim korteks, hampir tidak terputus-putus. Terdiri dari 3 atau lebih lapisan sklereida, diantaranya terdapat sejumlah kelompok kecil serabut perisikel. Sklereida : berbentuk isodiametrik, kadang-kadang agak terentang tangensial, penebalan dinding berbentuk huruf U dengan dinding dalam dan dinding radial lebih tebal dari dinding luar, berlapis-lapis, warna kekuningan, bernoktah, berlignin tebal, lumen agak lebar, kadang-kadang berisi butir pati. Serabut perisikel : Berdinding sangan tebal, agak jernih, berlignin, lumen sempit, garis tengah serabut lebih kecil dari garis tengah sel batu. Floem sekunder : terdiri dari jalur-jalur tangensial jaringan tapis, berseling dengan parenkim floem ; diantara parenkim terdapat sel minyak dan sel lendir seperti pada korteks; parenkim mengandung butir pati dan hablur seperti pada korteks. Serabut floem
sekunder : umumnya tunggal atau dalam kelompok kecil berderet kearah tangensial, dinding serabut sangat tebal, jernih, agak berlignin, garis tengah serabut sampai 3,5 µm, lumen sempit. Jari-jari empulur : terdiri dari 1 sel sampai 2 sel, mengandung butir pati atau hablur kalsium oksalat bentuk prisma kecil; hablur di jari-jari empulur lebih banyak dari pada hablur di parenkim floem.
Serbuk : warna coklat kekuningan. Fragmen pengenal adalah sklereida dengan penebalan dinding tidak rata; serabut perisikel dan serabut floem; butir-butir pati dan hablur kalsium oksalat bentuk prisma, lepas atau dalam parenkim; jaringan parenkim dengan sel lendir atau sel minyak: sel gabus dan serabut sklerenkim.
4.4 Hasil Uji Histokimia Cinnamomi Cortex
No Reagen Studi Pustaka Hasil Pemeriksaan
+/-1 Asam Sulfat P Coklat merah Coklat merah +
2 Asam sulfat 10 N Coklat merah Coklat merah +
3 Asam kloria P Merah kekuningan Merah kekuningan +
4 Asam klorida encer - -
-5 Natrium Hidroksida 5 % - - +
6 Kalium Hidroksida 5 % Merah Merah +
7 Ammonia 25 % Coklat kemerahan Coklat kemerahan +
8 Feri Klorida 5 % Hijau kekuningan Hijau kekuningan +
9 Kalium iodida - -
-Tabel 1. Hasil uji histokimia Cinnamomi Cortex Fungsi penambahan reagen pada simplisia Cinnamomi Cortex, yaitu: a. Reagen Asam Sulfat 10N
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi asam sulfat 10 N di lemari asam serta diaduk. Warna yang dihasilkan adalah coklat merah. Hal ini sesuai dengan literatur. Literatur menyatakan bahwa warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah penambahan reagen asam sulfat 10N adalah coklat merah yang menunjukkan adanya terpenoid, steroid dan minyak atsiri.
Terpenoid termasuk derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari senyawa terpen. Terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian kelompok hewan.Terpenoid merupakan komponen penyusun minyak atsiri. Sifat fisika dari terpenoid yaitu dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika teroksidasi
indeks bias tinggi, kebanyakan optik aktif, kerapatan lebih kecil dari air, larut dalam pelarut organik eter dan alkohol. Sifat kimianya yaitu senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik) dan isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk enantiomer. Minyak atsiri merupakan minyak dari tanaman yang komponennya secara umum mudah menguap. Minyak atsiri berupa cairan pekat yang tidak larut air, mengandung senyawa-senyawa beraroma yang berasal dari berbagai tanaman. Minyak atsiri mempunyai peran yang penting dalam bidang niaga sebagai cita rasa dan bau makanan, kosmetik, parfum, antiseptik, insektisida, obat-obatan dan sebagainya (Robinson, 1991).
b. Reagen Asam Klorida P
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi beberapa tetes asam klorida P di lemari asam serta diaduk. Warna yang dihasilkan adalah merah kekuningan. Hal ini sesuai dengan literatur. Warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah penambahan reagen asam klorida P adalah hijau yang menunjukkan adanya lignin.
c. Reagen Natrium Hidroksida 5%
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi beberapa tetes natrium hidroksida 5% serta diaduk. Warna yang dihasilkan adalah coklat.
d. Reagen Kalium Hidroksida 5%
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi beberapa tetes kalium hidroksida 5% serta diaduk. Warna yang dihasilkan adalah merah. Hal ini sesuai dengan literatur. Literatur menyatakan bahwa warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah penambahan reagen kalium hidroksida 5% adalah merah.
e. Reagen Ammonia 25%
Serbuk warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah penambahan reagen asam klorida P adalah coklat kemerahan.
f. Reagen Kalium Iodida 6%
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi beberapa tetes kalium iodida 6% serta diaduk secara pelan-pelan. Warna yang dihasilkan adalah hijau coklat. Hal ini sesuai dengan literatur.
g. Reagen Feri Klorida 5%
Serbuk Cinnamomi Cortex diletakkan pada plat tetes dan ditetesi beberapa tetes feri klorida 5% serta diaduk secara pelan-pelan. Warna
yang dihasilkan adalah hijau kekuningan. Hal ini tidak sesuai dengan literatur. Literatur menyatakan bahwa warna yang dihasilkan dari Cinnamomi Cortex setelah penambahan reagen adalah hijau kekuningan yang menunjukkan adanya tanin.
Tanin adalah suatu senyawa polifenol yang berasal dari tumbuhan,
berasa pahit dan kelat, yang bereaksi
dengan dan menggumpalkan protein,
atau berbagai senyawa organik lainnya
termasuk asam amino dan alkaloid. Tanin
merupakan salah satu komponen zat
organik yang sangat kompleks, berbentuk
serbuk putih atau kecoklatan, atau
mempunyai rasa spesifik (sepet). Bagian
tumbuhan yang banyak mengandung
tanin adalah kulit kayu, daun, akar, dan
buahnya (Suprijati, 1999).
Hasil pengamatan uji histokimia Cinnamomi Cortex dengan penambahan berbagai reagen menghasilkan warna yang sesuai dengan literatur.
Gambar 1. Hasil percobaan Cinnamomi Cortex metode histokimia dengan penambahan berbagai reagen dan metode KLT
4.5 Hasil Pengamatan Uji Kromatografi Lapis Tipis Pembanding : Sinamaldehida 1% dalam etanol Vol. Penotolan : 1 µlpembanding dan 10 µl larutan uji Fase gerak :Toluen : Etil asetat (97:3) Fase diam : Silika Gel 60 F254
Penampak noda :UV 254 nm
Warna noda : Ungu tua, Rf sinamaldehida ± 0,80 Rf standar : 0,49
Rf sampel : 0,49
Hasil tersebut didapat dari perhitungan sebagai berikut : Jarak tempuh sampel = 4,2 cm Menentukan nilai Rf :
Jarak tempuh eluent = 8,5 cm Rf sampel = Jaraktempuh sampelJaraktempuh eluent = 4,28,5=0,49
Jarak tempuh standar = 4,2 cm Rf standar = Jaraktempuh standarJaraktempuh eluent = 4,28,5=0,49
Hasil praktikum menunjukkan nilai Rf sampel 0,49 sedangkan nilai Rf standar 0,49. Nilai Rf standar dan nilai Rf sampel sesuai dengan literatur.
BAB V. PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Pada uji histokimia, Cinnamomi Cortex menghasilkan warna yang sesuai dengan literatur ketika ditambahkan berbagai reagen. Simplisia Cinnamomi Cortex mengandung sinamaldehida karena nilai Rf sampel yang diperoleh hasilnya sama dengan literatur dan Rf pembanding adalah 0,49 dengan warna noda ungu tua. Cinnamomi Cortex minyak atsiri, terpenoid, steroid, tanin, lignin dan sinamaldehid.
DAFTAR PUSATAKA
Anonim.2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. 3-5. Jakarta : Depkes RI. Anonim.1987. Analisis Obat Tradisional. 2 – 3. Jakarta : Depkes RI.
E Dumont, dkk. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi Dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Sastroamidjojo, S., 1997. Obat Asli Indonesia. Jakarta : Penerbit Dian Rakyat.
Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia Seri 1. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Harborne. J.B.,1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, 69 – 94, 142-158, 234-238. Bandung : ITB Press.
Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Skoog, Douglas, A., 2004. Fundamentals of Analitical Chemistry Eight Edition. Kanada: Brooks/Cole.
Vangalapati et al., 2012. A Review on Pharmacological Activities and Clinical Effect of Cinnamon Species, Research Journal of Pharmaceutical, Biological and Chemical
Sciences, Vol 3 issue 1:657,660.