• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Komunikasi Antara (Dyana Marantika dan Lena Satlita M.Si)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pola Komunikasi Antara (Dyana Marantika dan Lena Satlita M.Si)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

POLA KOMUNIKASI ANTARA DINAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK DENGAN PENGURUS RW05

TEGALREJO DALAM PROGRAM KAMPUNG RAMAH ANAK KOTA

YOGYAKARTA

THE COMMUNICATION PATTERNS BETWEEN WOMEN COMMUNITY AND CHILD PROTECTION OFFICE WITH THE ADMINISTRATORS OF RW05 TEGALREJO VILLAGE CHILDREN WELCOMING OF VILLAGE PROGRAM IN YOGYAKARTA

Oleh: Dyana Marantika, Universitas Negeri Yogyakarta, marantika_@yahoo.com Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui pola komunikasi dan faktor pendukung serta penghambat komunikasi antara pemerintah yaitu Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dalam program Kampung Ramah Anak Kota Yogyakarta. Urgensi dalam penelitian ini terlihat pada pola komunikasi yang kurang baik antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Kampung Ramah Anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta, dan di RW 05 Tegalrejo. Subjek penelitian yaitu Kepala Bidang Perlindungan Anak, Ketua RW 05 Tegalrejo, tim gugus tugas KRA Tegalrejo RW 05. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri, dengan dilengkapi pedoman wawancara dan observasi. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan yaitu triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan model interaktif dari Milles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dalam program Kampung Ramah Anak Kota Yogyakarta menggunakan pola komunikasi formal dan informal. Pola komunikasi formal adalah pesan yang mengalir melalui jalan resmi yang ditentukan oleh hierarki resmi organisasi. Sedangkan pola komunikasi informal yaitu komunikasi dengan lainnya tanpa memperhatikan posisi mereka dalam organisasi, maka pengarahan arus informasi bersifat pribadi. Dampak yang ditimbulkan dari pola komunikasi formal dan informal yaitu pola komunikasi berjalan kurang baik sehingga implementasi program Kampung Ramah Anak tidak berjalan secara maksimal. Faktor penghambat komunikasi antara lain (1) penekanan pentingnya hak anak tidak ditekankan dalam penyampaian program Kampung Ramah Anak, (2) tidak adanya saran atau ide yang diberikan dari KRA Tegalrejo RW 05 kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak, (3) kemampuan dalam berkomunikasi yang kurang, (4) pemilihan media komunikasi yang kurang tepat. Faktor pendukung adalah adanya peraturan tentang hak anak yaitu Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2016 tentang Kota Layak Anak.

Kata kunci: Pola komunikasi, Kampung Ramah Anak Abstract

The purpose of this research was to determine the communication patterns, supporting factors and inhibiting communication between goverment, that was Community Empowerment and Child Protection with the administrators of RW 05 Tegalrejo in Yogyakarta Cityuses formal communication pattern. The urgency in this research saw in the poor of communication pettern between government administrators of RW 05 Tegalrejo in Yogyakarta. The research used qualitative approach with descriptive methode. This research was done in Community Empowerment and Child Protection Office and Rw 05 in Tegalrejo Village. The research subjects were the leader of child protection in Community Empowerment and Child Protection Office, the leader of Rw 05 in Tegalrejo Village, the leader, secretary, and members of Gugus Tugas KRA Tegalrejo village. The research instrument was the researcher herself, that assisted by interview and observation sheet guidance. Data collecting technique used interview, observation and documentation. The validity technique was triangulation sources. Data were analyzed using interactive model from Milles and Huberman.The result of this research showed that communication patterns between Community Empowerment and Child Protection with the administrators of RW 05 Tegalrejo in Yogyakarta City uses formal and informal communication pattern. Formal communication patrern is a message flows through the regime determined by the official hierarchy of the organization. While informal communication pettern was a communication whit others regardless their position in the organization, so the flow of information was being private. The impact was implementation of Children Welcoming Of Village Program not well. The obstactles of communication between (1) Community Empowerment and Child Protection with the administrators of RW 05 Tegalrejo in Yogyakarta City, (2) were the absence of suggestion and idea given from KRA of Tegalrejo RW 05 to Community Empowerment and Child Protection, (3) the lack ability in communication, (4) the lack of the right choice of communication media. The supporting factors was the presentence of children rights, the Local Policy of Yogyakarta Government.

(2)

PENDAHULUAN

Di Indonesia bukan hanya wanita yang sering kali kurang mendapat perlindungan, bahkan anak-anak juga sering mendapat perlakuan buruk. Berbagai praktik buruk yang mengancam hak-hak anak masih terjadi sampai saat ini. Mulai dari masih banyaknya pekerja anak, perkawinan anak, anak berhadapan dengan hukum (ABH), anak dengan gizi buruk, kekerasan terhadap anak (termasuk kekerasan seksual), trafficking dan sebagainya. (http://www.kompasiana.com/kang_ maman72 /isu-dan-tantangan-perlindungan-anak-di-indone sia-1556b6975 2ab0bd154de40ee8, diakses 26 September 2016 pukul 20:00 WIB)

Wujud upaya pemenuhan hak anak yang diakukan pemerintah Kota Yogyakarta dengan membuat kebijakan Kota Layak Anak. KLA merupakan istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2009 melalui Kebijakan Kota Layak Anak. Upaya dalam mencapai predikat Kota Yogyakarta menjadi Kota Layak Anak (level tertinggi), pada tahun 2016 Pemerintah membuat suatu Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2016 tentang Kota Layak Anak untuk lebih memperkuat regulasi tingkat lokal mengenai Kota Layak Anak. Kebijakan Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta yang memiliki tiga program besar yaitu program Kampung Ramah Anak berbasis RW, Sekolah Ramah Anak dan Layanan Kesehatan Ramah Anak. Berdasarkan ketiga program tersebut, Kota Yogyakarta telah melaksanakan program Kampung Ramah Anak dimulai sejak tahun 2011. Sekarang pada tahun 2017 telah mencapai 169 KRA yang tersebar diberbagai wilayah Kota Yogyakarta. Sedangkan

dua program lainnya sedang dalam masa rintisan pelaksanaan program.

Upaya Kota Yogyakarta mewujudkan Kota Layak Anak tersebut pertama kali ditempuh dengan cara pembangunan Kampung Ramah Anak di tingkat paling rendah yaitu RW. Terbentuknya Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta terjadi sebelum adanya Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2016, karena sebelum adanya Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2016 pemerintah Kota Yogyakarta telah lebih dulu melaksanakan program KRA yang dimulai sejak tahun 2011 berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 2009 tentang KLA. Secara keseluruhan jumlah kampung yang ada di Kota Yogyakarta mencapai 616 RW, seluruhnya merupakan target pembentukan program KRA.

Pengkomunikasian program yang dilakukan pemerintah Kota Yogyakarta adalah dengan melakukan sosialisasi terhadap kampung-kampung di Yogyakarta. Sosialisasi dilakukan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan cara mengundang tokoh masyarakat untuk hadir di Balai Kota dalam acara sosialisasi KRA. Tokoh masyarakat yang terkait seperti ketua RW, Ketua RT, Lurah dan Camat. Sosialisasi tidak hanya dihadiri oleh tokoh masyarakat yang ada di Kota Yogyakarta saja, tetapi juga dihadiri oleh gugus tugas Kota Layak Anak yang berperan dalam mewujudkan kebijakan tersebut. Salah satu dari kampung yang menjadi target sasaran sosialisasi yaitu kampung Tegalrejo RW 05. Sekarang ini kampung Tegalrejo RW 05 merupakan salah satu kampung yang menjadi percontohan KRA di Kota Yogyakarta yang dibentuk sejak tahun 2012.

(3)

Komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dilakukan secara terus menerus dan berulang. Komunikasi yang dilakukan secara ajeg ini membentuk suatu pola komunikasi. Pola komunikasi adalah bentuk proses komunikasi yang menggambarkan komponen komunikasi dalam menyampaikan pesan atau informasi melalui media tertentu, baik antar manusia maupun organisasi secara berulang. Berdasarkan kebutuhan akan berkomunikasi maka terdapat beberapa pola komunikasi. Dalam penelitian ini, pola komunikasi dilihat menurut teori Muhammad (2014:107-127), dimana pola komunikasi terdiri atas 2 macam yaitu Pola Komunikasi Formal dan Informal. Pola komunikasi formal yaitu apabila pesan mengalir melalui jalan resmi yang ditentukan oleh hierarki resmi organisasi atau oleh fungsi pekerjaan. Ada tiga bentuk utama dari pola komunikasi formal yang mengikuti garis komunikasi seperti yang digambarkan dalam struktur organisasi yaitu (1) Pola Komunikasi ke Bawah (Downward Communication), (2) Pola Komunikasi ke Atas (Upward Communication), dan (3) Pola komunikasi Horizontal (Horizontal Communication).

Melihat pola komunikasi yang terjalin antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dalam program KRA, faktanya masih terdapat masalah terkait pemenuhan hak anak. Masalah tersebut dilihat dari masih banyak anak atau remaja yang mengonsumsi rokok ditempat umum pada wilayah Tegalrejo RW05. Masalah ini terlihat bahwa pada wilayah Tegalrejo RW 05 memiliki

peraturan tentang larangan merokok di tempat umum. Dimana tujuan adanya peraturan yang disepakati bersama yaitu untuk mengurangi jumlah anak atau remaja yang mengonsumsi rokok. Peran adanya KRA menyediakan wilayah atau tempat yang sehat untuk tumbuh dan berkembang anak, sebab rokok berpengaruh bagi kesehatan anak itu sendiri.

Selain permasalahan terkait banyak anak atau remaja yang mengonsumsi rokok ditempat umum pada wilayah Tegalrejo RW05, permasalahan juga muncul dari keterbatasan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta dalam SDM pelaksanaan program KRA. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak kesulitan dalam pendampingan dan pengkomunikasian program-program KRA. Sebab, Bidang Perlindungan Anak yang merupakan bidang pokok yang mengurusi seluruh program KLA baik itu program Kampung Ramah Anak, Sekolah Ramah Anak dan Layanan Kesehatan Ramah Anak hanya memiliki tiga anggota SDM.

Keterbatasan SDM yang dialami Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dalam pelaksanaan program KLA membutuhkan penambahan SDM yang berkompeten. Akan tetapi, penambahan SDM yang mereka butuhkan sulit untuk terealisasi. Ini disebabkan karena, penambahan SDM bukan kewenangan pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak. Keterbatasan SDM ini berpengaruh terhadap performa kinerja dan totalitas, sedangkan pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan

(4)

bertanggungjawab hanya pada satu kebijakan melainkan banyak kebijakan juga banyak program. Inilah yang menyebabkan bahwa pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan KRA Tegalrejo RW 05 tidak terjadi secara intensif.

Pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05 Tegalrejo juga menimbulkan permasalahan terkait dana bantuan untuk pelaksanaan program KRA. Pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak kurang membuka informasi terkait dana bantuan yang diberikan pemerintah kepada seluruh kampung-kampung atau RW yang telah terdaftar menjadi KRA di wilayah Kota Yogyakarta. Komunikasi terjadi terkesan hanya kepada kampung yang aktif saja, sedangkan kampung yang kurang aktif tidak melakukan komunikasi.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pola Komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dalam Program Kampung Ramah Anak Kota Yogyakarta. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat sejauh mana keberhasilan program KRA dan kebermanfaatan program KRA dalam pemenuhan hak anak. Pemilihan tempat di Kampung Tegalrejo RW 05 Kota Yogyakarta dikarenakan wilayah Kampung Tegalrejo RW05 sudah menjadi Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta sejak tahun 2012 juga yang terkenal kampung aktif percontohan KRA di Kota Yogyakarta. Berdasarkan keaktifan Kampung

Tegalrejo RW05, peneliti melihat bagaimana Pola Komunikasi antara Pemerintah selaku pengimplementasi kebijakan yaitu Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta dengan pengurus RW 05 Tegalrejo sebagai sasaran kebijakan.

METODE PENELITIAN Desain Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskripsi kualitatif menurut Boghan dan Taylor (Moleong, 2014:3) adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang yang diamati. Melalui penelitian deskriptif kualitatif, peneliti bermaksud untuk menjelaskan tentang pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05 Tegalrejo.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini mengambil tempat di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Yogyakarta, dan di Kampung Tegalrejo RW 05. Penelitian ini telah dilaksanakan dari tanggal 5 Desember 2016 sampai dengan 17 Maret 2017.

Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini yang bertindak sebagai pemberi informasi dalam penelitian ini antara lain:

1. Hendro Basuki, SKM.Mkes, Epid. Sebagi ketua Bidang Perlindungan Anak pada Dinas

(5)

Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak.

2. Pipin Ani S., SIP. Sebagai anggota pada Bidang Perlindungan Anak pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak.

3. Mulyanto. Sebagai ketua RW s05 Kampung Tegalrejo

4. Dimas. Sebagai ketua Gugus Tugas KRA Tegalrejo RW05

5. Nita. Sebagai sekretaris Gugus Tugas KRA Tegalrejo RW05

6. Deva. Sebagai ketua forum anak Kampung Tegalrejo RW05

7. Dila. Sebagai anggota forum anak Kampung Tegalrejo RW05

Instrumen Penelitian, Sumber dan Jenis Data Instrumen atau alat pengambilan data dalam penelitian ini adalah peneliti itu sendiri dengan dilengkapi pedoman wawancara, dan pedoman observasi. Menurut Lofland dalam Moleong (2012:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Sumber dan jenis data penelitian ini meliputi :

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian melalui wawancara dan observasi terhadap informan penelitian Sumber primer yang digunakan dalam penelitian ini melalui proses wawancara dan observasi.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data-data yang didapat dari sumber bacaan dan berbagai macam sumber lainnya yang terdiri dari surat-surat, buku harian, notulen rapat perkumpulan, sampai dokumen-dokumen resmi, lampiran kegiatan, hasil-hasil

studi, Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2016, UUD 1945, Permen PP&PA No.02 tahun 2009. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data memerlukan instrumen penelitian yang menurut Sugiyono (2012:119) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu wawancara dengan teknik wawancara semi terstruktur, observasi dan juga dokumentasi.

Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pemeriksaan keabsahan data melalui triangulasi sumber. Untuk mengecek keabsahan data, peneliti membandingan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan membandingkan persepsi antara satu informan dengan informan yang lain.

Teknik Analisis Data

Pengumpulan data memerlukan instrumen penelitian yang menurut Sugiyono (2012:119) merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu wawancara dengan teknik wawancara semi terstruktur, observasi dan juga dokumentasi.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dalam program KRA Kota Yogyakarta melakukan pola komunikasi secara formal dan informal. Pola

(6)

komunikasi formal pola komunikasinya terbagi menjadi tiga yaitu yaitu pola komunikasi ke atas, kebawah dan horizontal. Dalam penelitian ini, pola komunikasi formal tersebut yaitu:

1. Pola komunikasi Informal

Pola komunikasi informal yaitu apabila bawahan berkomunikasi dengan lainnya tanpa memperhatikan posisi mereka dalam organisasi. Pada pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 melaksanakan pola komunikasi informal. Interaksi informal dilakukan dengan berkomunikasi pada jam istirahat, atau saat pihak pengurus KRA datang ke Dinas untuk berkonsultasi mengenai program KRA yang ada di wilayah Tegalrejo RW 05. Akan tetapi pola komunikasi informal yang dilakukan antara kedua pihak tidak dilaksanakan secara optimal, contohnya pada RW 05 Tegalrejo masih terdapat anak atau remaja yang merokok di tempat umum yang seharusnya perilaku merokok tersebut tidak dilakukan oleh anak maupun remaja pada wilayah tersebut, sehingga program Kampung Ramah Anak di RW 05 Tegalrejo pelaksanaannya pun belum sesuai dengan apa yang diharapkan. 2. Pola Komunikasi Formal

Pola ini disebut sebagai pola komunikasi secara formal sebab, struktur penugasan dan organisasinya telah diatur. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak memiliki SK tentang gugus tugas Kota Layak Anak, dimana Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak sebagai sekretaris. Sedangkan Kampung Tegalrejo RW05 struktur keanggotaannya memiliki SK atau Surat Keputusan Lurah Tegalrejo Nomor

09/KPTS/TR/XI/2012 tentang pembentukan struktur organisasi gugus tugas Kampung Ramah Anak Kampung Tegalrejo RW 05 Kelurahan Tegalrejo. Adapun bentuk pola komunikasi formal yaitu:

a. Pola komunikasi ke Bawah (Downward Communication)

Pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dalam program KRA Kota Yogyakarta menggunakan pola komunikasi ke bawah, yaitu pola yang menunjukkan arus pesan yang mengalir dari para atasan atau pimpinan kepada bawahannya. Indikator pola komunikasi ke bawah terbagi menjadi lima indikator, indikator tersebut yaitu instruksi tugas, rasional, ideologi, informasi, balikan.

Pola komunikasi yang dilakukan antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05 Tegalrejo dalam program KRA di Kota Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan pola komunikasi ke bawah. Indikator pola komunikasi ke bawah berupa instruksi tugas dari pemerintah daerah berupa kebijakan Kota Layak Anak dengan program khusus yaitu Kampung Ramah Anak. Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak diamanatkan oleh pemerintah daerah Kota Yogyakarta berupa tugas pembinaan terhadap KRA-KRA yang membutuhkan bimbingan serta arahan mengenai pemenuhan hak anak. Terbentuknya organisasi KRA ini ada karena instruksi tugas keorganisasian guna menunjang program Kampung Ramah Anak.

(7)

Indikator penyampaian pola komunikasi ke bawah yang kedua adalah rasional. Rasional adalah pesan yang menjelaskan mengenai tujuan aktivitas dan bagaimana kaitan aktivitas itu dengan aktivitas lain dalam organisasi atau objek organisasi. Pola komunikasi ke bawah antara dinas dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dalam program KRA memiliki tujuan yang terdapat pada Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2016 diantaranya mewujudkan komitmen wilayah dalam menjamin perlindungan dan pemenuhan hak anak.

Indikator yang ketiga dari pola komunikasi ke bawah adalah informasi. Informasi dimaksudkan untuk memperkenalkan bawahan dengan praktik-praktik organisasi, peraturan organisasi, keuntungan, kebiasaan dan data lain yang tidak ada kaitan dengan instruksi dan rasional. Pola komunikasi ke bawah dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo memberikan informasi-informasi mengenai program Kampung Ramah Anak. Informasi terkait KRA tersebut diantaranya yaitu informasi mengenai apa keuntungan atau manfaat terbentuknya KRA serta informasi yang berhubungan dengan program KRA.

Keempat indikator dari pola komunikasi ke bawah adalah balikan. Merupakan informasi berupa ketepatan ketepatan individu dalam melakukan pekerjaan. Dalam penelitian ini feedback diberikan dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak pada KRA Tegalrejo RW05, yaitu berupa evaluasi pelaksanaan program KRA yang dilaksanakan satu tahun sekali oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan

Perlindungan Anak Kota Yogyakarta. Evaluasi ini merupakan balikan yang diberikan dinas kepada KRA Tegalrejo RW 05 berupa penilaian dan kritikan terhadap jalannya program.

Berdasarkan penelitian ini peneliti tidak menemukan unsur ideologi terhadap pentingnya pemenuhan hak anak menurut Arni Muhammad dalam pelaksanaan program KRA di Kampung Tegalrejo RW 05. Unsur idiologi pentingnya hak anak tersebut dirasa penting dalam pelaksanaan pola komunikasi ke bawah dalam pelaksanaan program KRA di Kampung Tegalrejo RW05 agar masyarakat tergerak hatinya dan memahami pentingya menjaga dan melindungi anak. Ini mengakibatkan bahwa seluruh kampung di Kota Yogyakarta belum seluruhnya mengikuti program Kampung Ramah Anak.

Dilihat dari keempat indikator diatas bahwa indikator rasional dari tujuan adanya Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2016 tentang Kota Layak Anak, menunjukkan hasil yang baik. Sebab, adanya raionalisasi tujuan dapat terbentuknya program perlindungan anak yaitu program Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta. b. Pola Komunikasi ke Atas

Pola komunikasi ke atas merupakan pesan yang mengalir dari bawahan kepada atasan atau dari tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi. Pola komunikasi ke atas dilakukan dari pengurus RW 05 Tegalrejo kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan menggunakan indikator dari pola komunikasi yaitu yang pertama apa yang dilakukan bawahan, pekerjaannya, hasil dan pencapaiannya, kemajuan mereka dan rencana masa yang akan datang. Kedua, menjelaskan masalah pekerjaan yang

(8)

tidak terpecahkan yang mungkin memerlukan bantuan tertentu. Ketiga, menawarkan saran-saran atau ide-ide bagi penyempurnaan unitnya masing-masing atau organisasi secara keseluruhan. Keempatnya, menyatakan bagaimana pikiran dan perasaan mereka mengenai pekerjaannya, teman sekerjanya dan organisasi.

Berdasarkan hasil penelitian ini, indikator pertama yaitu apa yang dilakukan bawahan, pekerjaannya, hasil dan pencapaiannya, kemajuan mereka dan rencana masa yang akan datang. Indikator ini dilakukan oleh KRA Tegalrejo RW 05, sebab setiap program yang mereka laksanakan pasti dilakukannya rencana pelaksanaan. Perencanaan program biasanya dilakukan melalui musyawarahkan dengan tokoh masyarakat, baik dengan anaknya masyarakat yaitu orang tua, kemudian ketua RW, Ketua RT dan ketua gugus tugas.

Indikator yang kedua yaitu menjelaskan masalah pekerjaan yang tidak terpecahkan yang mungkin memerlukan bantuan tertentu. Indikator tersebut dilakukan dalam pola komunikasi ke atas antara dinas dengan KRA di Tegalrejo RW05. Indikator ini dilakukan ketika ada satu anak di kampung tersebut memiliki gangguan kejiwaan, setelah berkonsultasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak akhirnya disarankan untuk ditindaklanjuti oleh Dinas Sosial diberi pengobatan satu bulan secara gratis.

Berdasarkan penelitian indikator ketiga yaitu menawarkan saran-saran atau ide-ide bagi penyempurnaan unitnya masing-masing atau organisasi secara keseluruhan, dan indikator keempat menyatakan bagaimana pikiran dan perasaan mereka mengenai pekerjaannya, teman

sekerjanya dan organisasi tidak ditemukan dalam penelitian ini. Pada pola komunikasi ke atas memerlukan terpenuhinya dari keempat indikator, sebab apabila tidak semua indikator pola komunikasi ke atas tidak dilaksanakan, maka pola komunikasi ke atas tidak berjalan dengan baik menurut Arni Muhammad (2014: 117-118).

Pola komunikasi ke atas antara Dinas dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dilihat dari indikator bahwa pola komunikasi ke atas belum berjalan dengan baik. Karena dari pola komunikasi ke atas yang dilakukan bahwa pihak pengurus RW 05 kurang memberikan ide-ide kreatif terhadap kemajuan dan pelaksanaan program KRA, sehingga program ini berjalan apabila ada program atau acara dari pemerintah saja.

c. Pola Komunikasi Horizontal

Pola komunikasi horizontal adalah pertukaran pesan diantara orang yang sama tingkatan otoritasnya di dalam organisasi. Pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan pola komunikasi horizontal dengan indikator pola komunikasi horizontal yang pertama yaitu adanya rapat komite, kedua interaksi pada jam istirahat, ketiga percakapan telepon, keempat memo dan nota, kelima aktivitas sosial dan terakhiradanya kelompok mutu.

Pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo dilakukan secara horizontal berdasarkan indikator yang pertama yaitu adanya rapat komite. Pola komunikasi antara keduanya melaksanakan indikator rapat komite. Rapat yang biasanya diadakan adalah rapat koordinasi dengan

(9)

mengundang dari pihak KRA bersama tim gugus tugas KLA dalam pembahasan program-program kedepan dalam pemenuhan hak anak.

Indikator yang kedua yaitu interaksi informal pada waktu jam istirahat. Pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05 menggunakan indikator ini dalam berinteraksi dengan pengurus KRA Tegalrejo RW05. Interaksi informal pada jam istirahat, dari pengurus RW datangke Dinas, berkonsultasi bertanya mengenai program KRA.

Indikator yang ketiga yaitu percakapan lewat telepon. Indikator ini dalam pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 dilaksanakan. Untuk lebih mempermudah informasi yang disampaikan dari Dinas maupun dari pengurus RW berkomunikasi lewat letepon, untuk lebih menyingkat waktu. Indikator ke empat yaitu adanya memo, indikator adanya aktivitas sosial dan indikator kelompok mutu tidak dilakukan pada pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05.

Pola komunikasi horizontal yang dilakukan dalam penelitian ini tidak dilaksanakan secara maksimal, sebab menurut indikator pola komunikasi horizontal tidak semua indikator dilaksanakan dalam penelitian ini. Pola komunikasi dalam penelitian ini tidak banyak digunakan, pemerintah kurang melakukan aktivitas sosial yang dapat mempererat hubungan kedua pihak. Hal ini berdampak pada keterbukaan informasi masyarakat dan pelaksanaan program KRA tidak berjalan secara maksimal.

Penelitian ini terdapat faktor penghambat dan pendukung dalam komunikasi yang terjadi antara pihak Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05 Tegalrejo dalam program KRA di Kota Yogyakarta. Faktor penghambat tersebut antara lain (1) penekanan Pentingnya Hak Anak Tidak ditekankan dalam Penyampaian Program Kampung Ramah Anak, (2) tidak adanya saran atau ide yang diberikan dari KRA Tegalrejo RW05 kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak, (3) kemampuan dalam berkomunikasi kurang, (4) pemilihan media komunikasi yang kurang tepat. Sebab faktor tersebut dirasa penting dalam komunikasi akan tetapi tidak digunakan secara maksimal oleh kedua pihak dalam pelaksanaan program Kampung Ramah Anak, sehingga pelaksaan program Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta belum berjalan dengan maksimal.

Hasil penelitian ini juga terdapat faktor pendukung komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05 Tegalrejo. Faktor pendukung tersebut adalah yaitu adanya kebijakan tentang hak anak yaitu kebijakan Nomor 1 tahun 2016 tentang Kota Layak Anak. Dengan adanya Peraturan Daerah, Pemerintah Kota Yogyakarta mempunyai regulasi yang lebih kuat dalam mengatur dan membuat program-program untuk memenuhi hak anak. Serta menindaklanjuti permasalahan yang terjadi pada anak.

(10)

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW05 Tegalrejo dalam program KRA di Kota Yogyakarta, peneliti menyimpulkan bahwa pola komunikasi yang digunakan yaitu pola komunikasi formal dan informal. Karena dalam komunikasi yang baik tidak hanya komunikasi formal yang digunakan, tetapi juga perpaduan komunikasi formal dan informal agar suatu pesan atau kebijakan dapat tersampaikan dengan baik. Akan tetapi dalam penelitian ini, pola komunikasi yang digunakan masih belum berjalan secara optimal. Faktor Penghambat dalam penelitian ini adalah (1) penekanan Pentingnya Hak Anak Tidak ditekankan dalam Penyampaian Program Kampung Ramah Anak, (2) tidak adanya saran atau ide yang diberikan dari KRA Tegalrejo RW05 kepada Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak, (3) kemampuan dalam berkomunikasi kurang, (4) pemilihan media komunikasi yang kurang tepat. Sedangkan Faktor pendukung penelitian ini yaitu adanya kebijakan tentang hak anak yaitu kebijakan Nomor 1 tahun 2016 tentang Kota Layak Anak.

Saran

Guna memperbaiki temuan hasil penelitian ini yang berjudul pola komunikasi antara Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak dengan pengurus RW 05 Tegalrejo, penulis menyarankan:

1. Pemerintah harus melakukan komunikasi secara intensif dalam menggandeng dan menggerakkan para tokoh penting dalam masyarakat dalam program Kampung Ramah Anak.

2. Kampung Tegalrejo RW05 Kota Yogyakarta perlu meningkatkan keaktifannya dalam berkomunikasi dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak.

3. Menggunakan media komunikasi yang lebih interaktif untuk mengembangkan program Kampung Ramah Anak di Kota Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA

Arni Muhammad, (2014). Komunikasi Organisasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara Moleong Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian

Kualitatif Edisi Refisi. Bandung: PT Remaja Roksadaya

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Alfabeta: Bandung.

Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Nomor 2 Tahun 2009 tentang Kebijakan Kabupaten/ Kota Layak Anak (KLA).

Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Kota Layak Anak di Kota Yogyakarta Undang-Undang Dasar 1945 tentang Hak Asasi

Manusia

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tentang Penyelenggaraan Hari Anak Nasional

(http://www.kompasiana.com/kang_ maman72 /isu-dan-tantangan-perlindungan-anak-di-indone sia-1556b6975 2ab0bd154de40ee8,

Referensi

Dokumen terkait

Rumah Bung Karno dan Rumah Fatmawati merupakan kekayaan sejarah yang dimiliki oleh propinsi Bengkulu, kedua rumah tersebut jika dikelola dengan baik maka akan

Suku jambu-jambuan ini merupakan tumbuhan perdu. Letak daunnya berhadapan, makhota kecil dengan jumlah benang sari yang banyak, dan buahnya berupa buah buni.

Pada saat observasi awal (pretest), pencapaian hasil belajar siswa pada kelas eksperimen adalah 53,62dan pada kelas kontrol adalah 54,80, jadi skor hasil belajar

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) Pemanfaatan penggunaan smartphone dalam proses belajar mengajar di SMA Negeri 4 Wajo, 2) Dampak penggunaan smartphone

Apakah ada larangan memperjual-belikan daging yang berasal dari sapi potong selama pengobatan anti biotic atau hormone untuk konsumsi manusia, kecuali apabila ternak

Perbedaan kadar Pb, Cd akibat penambahan asam asetat secara terpisah dapat diketahui dengan uji Anova, sehingga diketahui logam berat apa yang kadarnya pada daging

Tujuan dari kegiatan ini yaitu terciptanya taman tanaman obat keluarga yang subur dan asri serta meningkatnya pengetahuan warga sekolah terkait manfaat tanaman

Torsi adalah ukuran kemampuan mesin untuk melakukan kerja, jadi torsi adalah suatu energi. Besaran torsi adalah besaran turunan yang biasa digunakan untuk menghitung