• Tidak ada hasil yang ditemukan

Apa artinya cinta? Durhaka membawa sengsara di dalam novel Siksa an Allah oleh The Liep Nio pada tah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Apa artinya cinta? Durhaka membawa sengsara di dalam novel Siksa an Allah oleh The Liep Nio pada tah"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Novel yang berjudul Siksa'an Allah oleh pengarang wanita yang bernama The Liep Nio

diterbitkan pada tahun 1931 dalam majalah Tjerita Roman,

nomor 30. [1]

Seperti biasa dengan format kalawarta tersebut, terbitan ini kecil (berukuran 16 x 10,5 cm) dan tipis (ceritanya hanya terdapat pada hlm. 7-62). Di dalam bibliografi susunan Claudine Salmon mengenai karya sastra Melayu oleh pengarang peranakan Tionghoa ada deskripsi pendek mengenai plot Siksa'an Allah : [2]

According to John Kwee, p. 136, novel about a Peranakan Chinese couple who were brave enough to marry without their parents’ consent but whose marriage is presented as an unhappy one.

Novel tersebut dibicarakan secara lebih terperinci oleh Salmon di dalam artikelnya mengenai masalah emansipasi wanita dari sudut pandang penulis wanita peranakan Tionghoa di Indonesia. Jalan cerita Siksa'an Allah diringkaskan oleh Salmon seperti begini:[3]

The Liep Nio in Siksa'an Allah or “God's Torment” describes the love affair between Liang Nio the daughter of a rich merchant from Kediri and Siok Tjwan the son of the late contractor Oei Hong Too. They have known each other since they were children, but Liang Nio's parents want her [ sic] daughter to stop seeing him.[4] They intend to marry her to the son of the late Oei Hong Liang, who inherited all the wealth of his father. Liang Nio refuses to obey her parents and instead runs away with her sweetheart. They go to Solo (Central Java) where Siok Tjwan who has no relation cannot find a job; then they proceed to Surabaya, a city where the business is under the control of the

(2)

, or Chinese newcomers, but without much success. In despair, they come back to Kediri. But Kim [

sic

] Nio and Siok Tjwan are both rejected by their respective parents. Siok Tjwan starts mingle [ sic

]  with unreliable men and one day he sells his wife to a rich merchant from Jombang who abuses her. Siok Tjwan is out most of the time and Kim [

sic

] Nio who has given birth to a girl Liesje has to support herself by selling prepared dishes. Some twenty years have elapsed and Liesje falls in love with a boy named Tik Hian. The parents of the latter are opposed to the marriage and in the meantime Siok Tjwan sells his daughter to a rich merchant to be his concubine. Liang Nio whose health was undetermined [

baca

undermined, EPW] by her sorrows dies and her daughter is induced to becoming a prostitute and finally commits suicide.

Kemudian Salmon menarik kesimpulan bahwa masyarakat menindas anggotanya yang dianggap salah:[5]

In this novel it is the society which represses its members deemed guilty. The punishment inflicted is so severe that the condemned have no chance to escape; even their children have to suffer the consequences of their “faults”. It is quite clear that the peranakan community could not easily accept a change of values as regards the position of women.

Setelah membaca ikhtisar ini pembaca modern pasti mendapat kesan negatif tentang novel tersebut yang rupanya sangat kolot karena menolak gagasan cinta asmara antara pria dan wanita. Sebenarnya ada banyak cerita mengenai pasangan yang ‘berani’ untuk menikah meskipun tanpa persetujuan orang tuanya dan biasanya akhir ceritanya bahagia. Kita terbiasa

(3)

dengan pesan bahwa barang siapa berani berjuang pasti akan menang. Mengapa kiranya tidak demikian dalam novel The Liep Nio? Apakah tradisi perkawinan yang dipaksakan oleh orang tua dipertahankan oleh seorang pengarang wanita? Bahkan di dalam konteks ini perlu dicatat juga bahwa menurut Salmon jumlah pengarang/penerjemah peranakan Tionghoa di dalam bibliografinya kira-kira 800 orang, namun hanya 30 di antaranya berjenis kelamin perempuan.[

6]

Saya harus mengakui bahwa saya tidak punya informasi tentang latar belakang The Liep Nio selain data-data yang dikumpulkan oleh Salmon. Komentar Salmon mengenai sudut

pandangan The Liep Nio berbunyi begini:[7]

Miss Kin and The Liep Nio the two other writers who produced one novel respectively in 1931 are not better disposed towards their [selipkan no, EPW?] less docile heroines. Instead of portraying “exemplary” wives, they present young girls who for having opposed the society are

unable to enjoy a life of hapiness [ sic].

Saya tidak menolak tafsiran Salmon, tetapi pada hemat saya pengarang Siksa'an Allah lebih menekankan aspek moral daripada dimensi sosial. Di dalam novel tersebut pencerita

mengutamakan pentingnya perkawinan yang bahagia dan oleh karena itu para gadis dinasehati agar memperhatikan pandangan ayah-bundanya karena pada prinsipnya orang tua berniat baik dan lebih berpengalaman daripada anaknya. The Liep Nio dalam

Siksa'an Allah

tidak menyerang sistem perkawinan yang diatur oleh orang tua karena menurut perspektifnya tidak ada unsur pemaksaan: peranan orang tua dalam memilih jodoh dipandang oleh

pengarang ini secara positif, hingga ia tak mampu membayangkan jika seorang gadis akan berdurhaka terhadap orang tuanya, sebab ayah-bunda hanya ingin yang terbaik bagi anaknya.

Menurut Myra Sidharta, dari pihak pembela kawin paksa justru diklaim bahwa para gadis terpelajar yang akur dengan pilihan orang tuanya akhirnya hidup lebih bahagia dengan suami

(4)

Advocates of arranged marriages argued that educated girls, fluent in French, English, and German, accepted their parents’ choice and found themselves happier with their husbands than most of their friends who had chosen their own husbands (Han Po Lay 1929). Other writers warned girls more indirectly to obey their parents: The Liep Nio (1931), a woman, wrote in ‘Siksaan Allah’ (God’s ordeal) about a girl who defies her parents by running away with the young man of her choice. Her husband, a good-for-nothing, cannot find work, and she has to earn money by sewing and making cakes. Her daughter becomes a prostitute, because good families refuse to accept as their daughter-in-law a girl from an illegitimate marriage.[9]

Boleh dikatakan bahwa tema perkawinan termasuk topik yang paling penting dalam

kesusastraan Nusantara pada periode prakemerdekaan, baik dalam sastra Melayu maupun dalam sastra-sastra daerah. Masalah pemilihan jodoh merupakan ciri jalur kepengarangan sastra yang teristimewa pada zaman modern. Pada tahun 1931 gejala kawin paksa sudah terlalu berkonotasi buruk dan tentu saja tidak dapat dipertahankan begitu saja seolah-olah tidak ada masalah, namun The Liep Nio sebaliknya juga mempermasalahkan bayangan ideal

modern tentang cinta romantis: pencerita Siksa'an Allah menegaskan bahwa rasa jatuh cinta belaka tidak cukup untuk menjamin perkawinan yang bahagia seumur hidup. Seperti

diungkapkan oleh ayah tokoh utama: “Bukan semoea matanja lelaki jang memandang soeatoe prempoean dengen berapi lantas anggep bahoea ia menjinta padanja”? (hlm. 12). Apa artinya cinta?

The Liep Nio menjelaskan bahwa tindakan tergesa-gesa dalam memilih jodoh merupakan bahaya besar. Maka novelnya berakhir dengan amanat dalam bentuk sajak yang cukup kejam (hlm. 62):

(5)

Djanganlah menjesel kaloe ALLAH hoekoem siksa,

Dan djangan anggep ietoe ada perboeatan langka,

Kerna IA tjoema wadjibken kau moesti teboes dosa.

Tokoh utama di dalam cerita Siksa'an Allah bernama Liang-nio, seorang gadis di Kediri yang jatuh cinta dengan Siok-tjwan, “anaknja ’ntjik Oei Hong-toe almarhoem, aannemer rangsoem

dan soedagar kaja di itoe kota djoega” (hlm. 13). [1

0]

Namun ‘pencerita diaan serba tahu’ ( omniscient narrator

) menggambarkan Siok-tjwan sebagai seorang anak manja yang suka menganggur-anggur saja. Pemuda tersebut diperkenalkan seperti berikut (hlm. 13):

Lantaran Siok-tjwan soeda tida mempoenjain ajah dan lagi iboenja terlaloe kliwat sabar, maka djangan heran kaloe Siok-tjwan tida bisa toentoet hidoepnja sebagi selajiknja orang, kerna satoe djejaka seperti ia lantas tjoema toeroetin hati dari pada goenaken iapoenja isih kepala, lebih soeka memboeroe kasenengan dari pada mentjari pengertian.

Kemoedian, dari sebab koerang dapet pendidikan, ia lantas lebih soeka bergaoelan sama orang-orang jang tida karoean, kerna tjoema dengen ini matjem orang-orang baroe bisa menjotjokin sama iapoenja keada’an.

(6)

Dasar ia memang tida mempoenjain pokoh batin sendiri, dari tersesat achirnya ia djadi roesak dan sama sekali tida masoek di koeping semoea larangan dari iboenja.

Siok-tjwan dapat menaklukkan Liang-nio yang masih lugu dan percaya kepada bual basungnya, tetapi pencerita diaan serba tahu memberikan komentar umum terhadap makna konsep ‘cinta’ (hlm. 15):

Siok-tjwan poenja menjinta sama Liang-nio memang ada dengen sasoenggoenja. Tapi menjinta dan menjinta bisa saling berbedah seperti masakan jang tergantoeng sama boemboe. Tjinta koedoe dibrikoetin dengan perasa’an menanggoeng atas kahidoepannja laen machloek dari dirinja sendiri, inilah baroe katjinta’an jang membri berkat. Tapi Siok-tjwan tida begitoe; iapoenja menjinta ada tersoeroeng meloeloe goena kabroentoengan dan kasenengannja sendiri.

Siok-tjwan boekan pandeng Lian-nio sebagi satoe dewi jang nanti membri berkat kaslametan dan kabroentoengan, tapi pandeng ia sebagi satoe bidadari tjantik jang nanti menggirangken iapoenja kahidoepan.

Encik Sian-ling, yaitu ayah Liang-nio, memberi kesan sebagai bapak yang baik dan penuh perhatian. Anaknya diperingatkannya bahwa Siok-tjwan tidak cocok sebagai suami (hlm. 12):

(7)

“Apa...? Ia tjinta pada kau...? Omong kosong! Boekan semoea matanja lelaki jang memandeng soeatoe prempoean dengen berapi lantas anggep bahoea ia menjinta padanja. Maski kau tida oetjapken, akoe mengerti bahoea kau memang ada kandoeng itoe anggepan. Tapi kau moesti pertjaja sama ajahmoe, jang kaloe oepama ia koerang pengertian, tapi ia tentoe kaja sama pengalaman. Akoe poenja mata lebih tadjem dan akoe poenja koeping lebih tjeli dari kau, anak. Brapa lama kau kenal padanja? Baroe brapa boelan! Maka djangan

gegabah kau sembarangan djoeal kapertjaja’anmoe. Kaloe, kaloe kau nanti soeda mengatoein sedjatinja iapoenja penghidoepan kau pasti nanti menjingkir sendiri dari ia sa’olah-olah

berdeketan sama satoe setan.”

Jalan cerita digerakkan melalui lamaran Kian-soen, “poetra jang soeloeng dari ’ntjik Oei

Hong-liang, satoe tonnair jang terkenal di itoe kota” (hlm. 9).[11] Kian-soen pernah jalan-jalan di kampung-kampung dan kebetulan melihat Liang-nio yang cantik itu. Langsung Kian-soen jatuh cinta dan minta ibunya supaya melamarkan Liang-nio. Orang tua Liang-nio sangat antusias: seperti diungkapkan oleh ibunya, Encim Siang-ling: “Ia ada anaknja saorang

hartawan, moeka tjakep dan lagi pinter serta alim; apalagi jang kau kapingin taoe?” (hlm. 18).

Lantas Siok-tjwan pun meminang Liang-nio, tetapi pencerita diaan serba tahu menyatakan bahwa pemuda itu tidak dapat dipercaya: “’Ntjik Sian-ling dengerken oetjapannja itoe pamoeda jang gila-basah dengen tjelengap sa’olah-olah orang lagi dengerken pridato [sic] di satoe roemah komedie” (hlm. 20). Walaupun pinangannya ditolak oleh orang tua gadis itu,

malam-malam Siok-tjwan secara tersembunyi mengunjungi Liang-nio dan merayu-rayu supaya “minggat”. Ditekankan oleh pencerita bahwa “Liang-nio tida lebih tjoema satoe prempoean, satoe gadis jang lemah, dan machloek begini tida mempoenjain kategoehan hati boeat hadepin satoe perkara soelit, apalagi dalem oeroesan tjinta” (hlm. 27). Liang-nio merasa kasihan

terhadap Siok-tjwan, tetapi dia juga sadar bahwa kepatuhan kepada orang tuanya sebenarnya lebih penting: “Oh, Allah, apa nanti terdjadi atas ajahkoe kaloe akoe ikoetin kau poenja

boedjoekan. Boekan sadja nanti orang koetoek padakoe, tapi poen orang nanti bitjarain hal ajahkoe. Inilah akoe tida maoe, dan lebih baek akeo antjoer leboer dari pada lakoeken itoe” (hlm. 28).

Namun Siok-tjwan pintar membujuknya supaya kawin lari (hlm. 28-29):

(8)

“Tida apa boeat sedikit tempo ajahmoe goesar dan doeka, tapi achirnja nanti toch girang dan mengalah kapan nanti kita soeda kombali dengan sambil membawa madoenja karoekoenan dan katjinta’an. Nah, apakah ini ada satoe kadjahatan? Tida, ini boekan satoe kadosa’an; ini tjoema satoe pengorbanan dari satoe kekasih pada katjinta’annja”.

Akhirnya Liang-nio ikut karena percaya akan maksud baik Siok-tjwan, tetapi pencerita diaan serba tahu tentu saja sudah kenal tentang peristiwa masa depan dan memberi peringatan kepada khalayak pembaca (hlm. 29):

Orang prempoean memang, boekan sadja lemah toeboehnja, poen djoega lemah hatinja. Di waktoe doeka bisa bikin antjoer hatinja lebih lemboet dari hawa, di masa marah bisa bikin panas hatinya melebihin barah, di koetika kalap bisa binal melebihin koeda dan di tempo penasaran bisa kedjem melebihin setan bantal.

Tida ada moeloet jang bisa lebih manis dari goela katjoeali moeloetnja satoe lelaki jang sedeng menjinta, menjinta boeat goenanja diri sendiri dan goena poelas sedjatinja iapoenja batin jang boeroek.

Oesia moeda memang penoeh penggoda, maka itoe orang koedoe berlakoe perdata, kerna gambarnya kita poenja nasib di hari toea ada tergantoeng dari ini koetika.

Soeara ratapan dari itoe lelaki dan itoe moeloet manis telah ratjoenin Liang-nio poenja kabedjikan dan kadjernihan pikiran!

(9)

Dengan kata yang lain, pencerita memberi teguran bahwa masalah cinta itu tidak hanya terletak di bibir saja dan dikutipnya sajak yang mengritik omong kosong dari mulut para buaya darat:

Moeloet lelaki ada lemes, sebab lida tida bertoelang.

Maka kau djangan lantas pertjaja apa jang dibilang.

Soearanja lemes, tapi bisanja melebihin oeler belang.

Kaloe hatimoe tertjengkerem, kabroentoengan ilang.

Di sini khalayak pembaca pasti teringat akan nyanyian keroncong mengenai bahaya buaya, misalnya dalam lagu Terang Bulan yang memberi peringatan yang berbunyi begini:[12]

Terang bulan, terang bulan di kali

(10)

Jangan percaya mulutnya lelaki

Berani sumpah tapi takut mati

Pilihan Liang-nio memang berakibat fatal. Orang tuanya merasa malu karena perbuatannya dan tidak lagi mengakui ‘anak cilaka’ itu. Ayahnya lantas sakit parah. Liang-nio dan Siok-tjwan juga tidak beruntung. Terlebih dahulu mereka ke Solo, namun segera menghadapi masalah

keuangan dan watak aslinya Siok-tjwan lekas muncul (hlm. 33):

Marika loepa kaloe ini doenia ada daratan, marika loepa kaloe noraka sabenernja poen berada di doenia, hingga marika bisa begitoe njenjak lelepken dirinja di itoe laoetan katjinta’an. Tapi segala apa ada batesnja. Achirnja sampe djoega itoe koetika boeat Siok-tjwan tersedar dari keada’annja, jalah sekarang marika soeda kapoetoesan oewang.

Di Solo Siok-tjwan moendar-mandir kasana-sini mentjari lowongan pakerdja’an jang terboeka, tapi ia tida bisa dapetken, kerna maski ada itoe lowongan, orang tida bisa pake padanja sebab ia sebagi satoe pamoeda tida mempoenjain kamampoean apa-apa, kerna oemoemnja

anak-anak moeda hartawan dari bangsa kita memang djarang jang soeka lakoeken pakerdja’an apa-apa katjoeali tjoema maoe hidoep sebagi anak radja.

Kemudian mereka pindah ke Surabaya, sebab Siok-tjwan kira bahwa “kota Soerabaia jang rame dan padet dengan pendoedoek bisa kasi banjak tempat boeat kita semboeniken diri. Dan

(11)

laginja, disana brangkali ada lebih gampang boeat akoe bisa beroleh pakerdja’an jang pantes goena kita poenja penghidoepan” (hlm. 33). Namun di Surabaya Siok-tjwan tidak berhasil mendapatkan pekerjaan, “kerna di sana djarang ada firma-firma dagang jang mendingan, dan oepama ada tentoe itoe ada djadi kapoenja’annja Tionghoa totok, jang tentoe sadja tida boeka pintoe boeat ia” (hlm. 35). Berbulan-bulan Siok-tjwan hanya “loentang-lantoeng sama

sakawanan ‘bala-kerat’ atawa ‘kaoem kaleleran’ dengen zonder mempoenjain toedjoean jang tetep” (hlm. 35).

Akhirnya Siok-tjwan ingat lagi kepada ibunya dan “[p]ikiran maoe kombali dan maoe minta ampoen kapada masing-masing orang toeanja laloe timboel dalam hatinja marika” (hlm. 35). Akan tetapi mereka tidak diterima lagi oleh masing-masing orang tuanya. Walaupun Liang-nio berkali-kali meminta maaf, ibunya tetap marah: “Pergi, kau soeda tida ada harga boeat

koendjoengin kombali ini roemah; biarin ajahmoe mangkat dengen zonder menampak poelah anaknja jang doerhaka!” (hlm. 37). Pencerita diaan serba tahu agaknya kasihan dengan Liang-nio dan menggambarkan ibunya sebagai “satoe orang type koena jang keras hati” (hlm. 37). Sebaliknya, deskripsi nasib Siok-tjwan bernada sarkastis: dia “mendapet nasib saroepa dengen Liang-nio, maskipoen ia telah kombali poelang dengen sambil membekel penoeh kamenjeselan, beriboe permoehoenan ampoen dan tobat-tobat jang ia aken perbaekin penghidoepannja bersama-sama Liang-nio” (hlm. 38). Sekali lagi pencerita diaan serba tahu memberi komentar yang umum (hlm. 38):

Apa sikepnja itoe berdoea orang toea ada bener? Apa sasoeatoe orang jang berdosa moesti dihoekoem atawa apa diperbaekin? Apa sasoeatoe kadosa’an semoea memang tersebab dari perboeatan-perboeatan jang disengadja atawa ada djoega jang tjoema terdesek oleh banjak sebab dan keada’an? Inilah ada satoe soeal jang haroes tida didjawab dengan gegabah.

Terpaksa Siok-tjwan dan Liang-nio harus kembali dan mereka tinggal di suatu gubuk di satu kampung di Sidhoarjo. Pada suatu hari anak perempuan mereka dilahirkan yang dinamakan Liesje dan Siok-tjwan mengucapkan bahwa “Kabroentoengan boekan tjoema berada pada orang jang banjak doeit, tapi poen bisa berada pada orang jang hidoep roekoen dan menerima nasib” (hlm. 39). Namun pencerita menganggap ucapan itu sebagai omongan kosong laki-laki

(12)

kelap-kelipnja itoe pelita jang sa’olah-olah aken djadjakin sampe dimana tegoehnja akarnja itoe oetjapan-oetjapan” (hlm. 39).

Pada bab berikutnya ternyata ‘akar’ ucapan Siok-tjwan sama sekali tidak teguh dan watak sebenarnya menjadi lebih jelas: Siok-tjwan bukan suami dan ayah teladan melainkan dia

berkeluyuran, main judi dan buat taruhan bahkan tega ‘menjual’ istrinya. Ketika seorang laki-laki yang bernama Tjoen-bian ingin menagih janji, Liang-nio terlebih dahulu menolak dan

memaki-maki. Namun Tjoen-bian berhak ‘menikmati kemenangannya’ dan berkata: “Ini semoea ada kamaoeannja Allah” (hlm. 44). Liang-nio menjawab bahwa “Allahnja setan alas...!” tetapi Tjoen-bian membalas: “Abis, kaloe kau poenja soeami sendiri tida lindoengin, apakah Allah brani toeroet tjampoer?” (hlm. 44). Pencerita diaan serba tahu tidak bosan mengulangi

pesannya bahwa dosa harus ditebus. Misalnja dalam bab VIII (hlm. 44-50) yang menceritakan mengenai kesengsaraan dan kemelaratan Liang-nio, ada sajak oleh M. Novel yang dipakai sebagai moto:

Doenia ada Allah, pembatja, doenia poenja mata,

Kau tra bisa membohong atawa kau maoe mendjoesta,

Apa jang kau berboeat, jang kau pernah bikin pata,

Moesti dibajar loenas, zonder kau boleh membanta.

Bertahun-tahun Liang-nio bekerja membanting tulang. Di kampungnya dia terkenal dengan panggilan nyonya ‘putu bumbung’ sebab dia sehari-hari menjual kue-kue. Dia juga

(13)

ampoenken iapoenja dosa-dosa bisa lindoengin iapoenja hari toea” (hlm. 46). Pencerita meringkaskan kehidupan pasangan yang sial itu sebagai berikut (hlm. 47):

Bertaoen-taoen Siok tjwan hidoep oepama praoe jang zonder lajar dan dajoeng dan

bertaoen-taoen Liang-nio hidoep dalem kamelaratan dan kasengsara’an. Inilah ada hoekoeman dari marika berdoea poenja orang toea. Tapi, apakah ini hoekoeman boeat bikin marika djadi baek atawa bikin iaorang djadi tambah tersesat sampe di dasar jang paling dalem?

Sementara itu ada lompatan waktu di dalam cerita dan Liesje sudah masuk usia 17 tahun. Gadis yang cantik itu merupakan kebanggaan dan harapan ibunya. Sudah lama Liesje bergaul dengan Tik-hian, jejaka yang baik dari keluarga yang mampu. Sebenarnya Tik-hian ingin nikah dengan Liesje, tetapi orang tuanya menolak: kemiskinan Liesje tidak dipersoalkan, namun perilaku ayahnya, Siok-tjwan, sebagai penjudi dan pemabuk tidak dapat diterima, sedangkan Liang-nio dianggap sebagai ‘kembang dagangan’.[13] Penolakan itu merupakan pukulan berat buat Liang-nio (hlm. 52-53):

Bertaoen-taoen kaloe Liang-nio masih maoe tinggal hidoep di bawahnja sinar matahari, oedjan dan angin dengen menderita roepa-roepa kasengsara’an, kahina’an dan kasedihan, itoelah tjoema boeat iapoenja Liesje: ia soempel milinja iapoenja aer-mata, ia peres kringetnja serti langit toewang oedjan, ia banting toelang seperti koeda jang tarik kreta, dan ia tjegah bibirnja bersenjoemken kagirangan, inilah poen tjoema boeat Liesje soepaja diharian iapoenja brangkat djadi besar nanti bisa mendjadi satoe njonja oetama; tapi... helaas![14] Liang-nio poenja pengharepan jang dikoempoelken dari delapanblas taoen kamari’in telah tersia-sia, boejar berhamboeran seperti deboe jang tertioep angin toefan!

(14)

tapi poen pada toeroenan.

Pada suatu hari Siok-tjwan mengusulkan agar Liesje menjadi istri Kim-sik yang hartawan, tetapi Liang-nio tidak setuju: “itoe boekan satoe perboeatan bagoes, itoe boekan satoe kamoestian jang kita haroes memaksa padanja, memaksa boeat djoeal iapoenja kasoetjian tjoema goena djadi orang poenja bini moeda!” (hlm. 54). Akan tetapi, Siok-tjwan “poenja batin soeda merosot sampe di dasarnja karendahan, boekan sadja ia djoeal istri dan sekarang poen aken djoeal kamoelia’an anaknja. Dan ini semoea ada lantaran gara-garanja sang djoedi”.

Akhirnya, di luar pengetahuan dan persetujuan Liang-nio, kemuliaan dan kesucian anaknya  toh dijual dan Liesje masuk suatu rumah yang mewah sebagai bini muda Kim-sik yang kaya-raya. Ketika Liang-nio mengetahui anaknya sudah terboyong, hatinya hancur. Liang-nio yang sudah sakit-sakitan semakin sakit dan meninggal. Sementara itu Siok-tjwan lupa daratan sebab dia tiba-tiba mendapat modal berjudi melalui hubungannya dengan menantu yang kaya, tetapi “[m]eninggalnja Liang-nio dalem keada’an jang begitoe mereres[15] bagi Siok-tjwan ada oepama satoe tjamboekan jang kliwat keras pada moekanja, boeat ia tengok poelah apa jang dimasa moedanja ia telah berboeat dan berlakoe” (hlm. 59).

Sesudah itu Siok-tjwan suka mabuk-mabukan, “katanja itoe boeat ilangken iapoenja

kadoeka’an, boeat menjegah soepaja ia tida djadi gila lantaran menanggoeng kadoeka’an” (hlm. 60). Liesje tidak mendapat uang dari Kim-sik lagi dan pulang, tetapi karena “kasoekeran doeit, makan dan pake, djadi gampang sekali kena penggoda” (hlm. 60). Diabaikan oleh ayahnya, gadis yang cantik itu menempuh jalan sesat: berbulan-bulan dia dapat hidup secara enak sebagai ‘kembang dagangan’ alias pelacur, tetapi pada suatu ketika dia kena ‘penyakit hebat’ (artinya penyakit kelamin, di sini pasti sifilis) dan kecantikannya hilang. Walhasil dia hidup terlunta-lunta dan menanggung malu yang amat besar. Akhirnya dia putus asa dan menjatuhkan diri di depan kereta api. Moto yang dipilih untuk epilog adalah sajak dari Koo Han Siok:

(15)

Maski orang tida menagih, maski orang bisa loepa,

Tapi kau moesti inget senantiasa,

Itoe doesa moesti dibarjar, Allah tida meloepa.

Kisah berakhir dengan Siok-tjwan menjadi orang gila dan ditangkap polisi yang membawanya ke rumah sakit gila (hlm. 62): “Satelah bertaoen-taoen Siok-tjwan dalem itoe keadaan, tida mati dan tida hidoep, di itoe roemah sakit, kamoedian ia laloe meninggalken ini doenia jang fana dengen keada’an jang amat memiloeken hati”.

Demikianlah melodrama Siksa’an Allah oleh The Liep Nio. Ringkasan saya lebih panjang daripada ikhtisar yang dibuat oleh Salmon (lihat kutipan di atas). Walaupun garis besar cerita tersebut dilukiskan oleh Salmon secara tepat, saya rasa di dalam ikhtisarnya aspek terpenting tidak begitu digarisbawahi, yaitu gambaran negatif mengenai tabiat kedua tokoh utamanya. Pencerita diaan serba tahu mempersalahkan baik Siok-tjwan maupun Liang-nio untuk ‘nasib malang’ yang menimpa kehidupan mereka berdua. Siok-tjwan berwatak pembual dan seumur hidupnya memang tokoh tersebut ternyata laki-laki yang tidak berharga. Sebaliknya Liang-nio sebenarnya berkepribadian baik, tetapi dia lemah dan bersifat mengalah sesuai ‘naluri

perempuan’, akibatnya jadi korban.

Ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari cerita Siksa’an Allah ialah bahwa durhaka membawa kesengsaraan. Gagasan bahwa menentang kekuasan yang sah (Tuhan, orang tua, suami, raja) dapat disamakan dengan dosa sudah lama berakar dalam sastra Melayu.

[16]

Menurut saya novel The Liep Nio tidak mempertahankan tradisi kawin paksa begitu saja, tetapi sebaliknya pengarang ini juga tidak berpihak kepada pendukung cinta romantis yang

dianggapnya terlalu naif. Sepertinya The Liep Nio menyetujui konsep tradisional tentang perkawinan yang baik seperti diungkapkan dalam Bahasa Tionghoa, yaitu

(16)

atau “sesuai dalam kedudukan sosial dan ekonomi”. [17]

Namun begitu, rasa cinta asmara antara pria dan wanita tetap didukungnya juga. Tampaknya The Liep Nio di dalam novelnya berusaha mencari jalan kompromi yang menyatukan ‘kaum kolot’ (pihak orang tua, tradisi, ‘kawin paksa’) dan ‘kaum muda’ (pihak muda-mudi, kemodernan, ‘cinta romantis’).

The Liep Nio terharu oleh nasib tokoh utamanya, Liang-nio, namun penciptaan citra tokoh wanita dalam karyanya sebenarnya tidak berbeda dengan penulis peranakan Tionghoa yang lain pada periode ini, yaitu dari 1924 sampai 1942, seperti dinyatakan oleh Salmon: “Eksistensi mereka [tokoh wanita, EPW] dikemukakan sebagai pasif; mereka harus tunduk kepada

norma-norma yang ditentukan oleh alam dan masyarakat, dan apabila mereka menolak, mereka menanggung risiko mengalami bahaya yang paling dahsyat (...) dan dihukum oleh nasib”.[18]

(17)

E.P. Wieringa adalah Guru Besar dalam bidang Bahasa dan Sastra Indonesia dan Pengkajian Islam di Universitas Cologne, Jerman.

[1]Claudine Salmon, 1981, Literature in Malay by the Chinese of Indonesia. A provisional

annotated bibliography , Paris, hlm. 448.

[2]Salmon, Literature in Malay, hlm. 334.

[3]Claudine Salmon, 1984, “Chinese women writers in Indonesia and their views of female emancipation”, Archipel 28, hlm. 165.

[4]Pernyataan ini kurang tepat. Pada permulaan cerita ayah Liang-nio yang tidak setuju dengan pergaulan itu bertanya secara retoris kepada anaknya: “Brapa lama kau kenal padanya?” dan langsung menjawab sendiri: “Baroe brapa boelan!” (hlm. 12).

[5]Salmon, “Chinese women writers”, hlm. 165.

[6]Salmon, “Chinese women writers”, hlm. 152.

[7]Salmon, “Chinese women writers”, hlm. 164.

(18)

[8]Myra Sidharta, 1987, “The making of the Indonesian Chinese woman”, Elsbeth

Locher-Scholten dan Anke Niehof (peny.), Indonesian women in focus. Past and present

notions , Dordrecht/Providence, hlm. 63.

[9]Pernyataan ini kurang tepat, lihat ringkasan saya di dalam artikel ini.

[10]Kata Belanda aannemer masuk Bahasa Indonesia sebagai ‘anemer’ (yaitu ‘pemborong pekerjaan; ‘kontraktor’).

[11]Kata tonnair tidak terdaftar dalam kamus. Bahkan kata tonnair (atau variannya tonair) tidak termasuk daftar kata Belanda yang paling lengkap, yaitu

Referentiebestand Nederlands yang dapat diakses lewat internet:

http://www.inl.nl/nl/lexica/referentiebestand-nederlands-(rbn)

. Saya kira bahwa kata tersebut merupakan neologisme, yaitu turunan dari kata Belanda ton

dalam arti ‘seratus ribu [uang]’ dan bentukannya seperti miljonair

(‘miliuner’, orang yang hartanya berjuta-juta) atau miljardair

(‘miliarder’, orang kaya-raya yang hartanya bermiliar-miliar).

[12]Tema ‘buaya darat’ dan lagu Terang Bulan dibicarakan lebih mendalam di dalam artikel saya yang berjudul “Trouw niet met Bataviase juffertjes! Bataviase juffertjes zitten vol kuren. Herhaling als wezenskenmerk van de pantoen en pantoum”, Sjef Houppermans, Jef Jacobs dan

Remke Kruk (peny.), 2011, Da Capo. Herhaling

als middel in literatuur en kunst wereldwijd , Leiden, akan terbit.

[13]Istilah kembang dagangan tidak terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi keempat, tahun 2008). Artinya sama dengan kembang latar/malam, yaitu pelacur.

(19)

[15]Kata mereres berasal dari bahasa Jawa, yaitu ngreres (juga ngeres), ‘memilukan, menyedihkan’.

[16]Bandingkan E.U. Kratz, 1993, “The concept of durhaka in the Hikayat Hang Tuah”, Southe ast Asia Research

1, hlm. 68-97.

[17]Salmon, Literature, hlm. 134 (catatan 82). Kutipan diambil dari terjemahan oleh Dédé Oetomo, yaitu Claudine Salmon, 1985, Sastra Cina peranakan dalam

bahasa Melayu , Jakarta, hlm.

106.

[18]Salmon, Literature, hlm. hlm. 56. Kutipan dari Salmon, Sastra Cina peranakan, hlm. 105.

Referensi

Dokumen terkait

Didoega jang djadi bangsatnja itoe ada satoe penggawe Boemi- poetra dari itoe firma, bernama Kasiamin, tinggal di Kapas-Kram- poeng, lantaran mana pada hari

Tetapi oen- toeng ini kedoea orang laloe bisa keboeroe dipisah oleh kawan kawannja, sebelonnja sala satoe dari marika dapet loeka pajah, Sebabnja itoe orang

sekarang soeda lari tida kataoean kamana perginja, kerna 'waktoe tengah malem Darmo mendoesin dari tidoernja, telah dapet liat itoe kawan lagi pandjat satoe

Djika dari satoe hectare tanah bisa didapet lebi banjak kahasilan dan berikoet dengen itoe harga pengangkoetan djadi banjak lebi moerah, nistjaja satoe orang

Beberapa fabriek itoe di taksir akan selesai didirikannja dalam tempo satoe setengah tahoen, dan tidak beberapa lama lagi dari fa- briek2 terseboet bisa di

'ada itoe satoe doea glintir Do- Igolan jang roepanja poera-poera Imaoe kasi oendjoek setianja pada litoe angen-angen dogol boeat tida maoe toeroet rajahken taon

nda satoe pendapetan pameren- Kemaren telah terdjadi satoe Tembok roeboeh, tan jua memang eras djoega dan dari itoe boeat tara tram no. 405 jang dikenda-

toe banjak soeda taoe dalem paprangan di Europa sekarang ini, begimana heibatnja itoe pemboenoehan jang lantaran satoe sama laen hendak pegang kadoedoekannja