• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARTIKEL. Azrijal Magister Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Riau Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARTIKEL. Azrijal Magister Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Riau Abstract"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 19

PENERAPAN AJARAN MELAWAN HUKUM TERHADAP

TINDAK PIDANA KORUPSI: STUDI TERHADAP TINDAK

PIDANA KORUPSI YANG DIPUTUS SETELAH PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 003/PUU-IV/2006.

Azrijal

Magister Ilmu Hukum Program Kekhususan Hukum Pidana Universitas Riau

Email: asrijal85@gmail.com Abstract

The purpose of this study is to analyze the application of the teachings against the law against acts of corruption that violate the provisions of Article 2 of Law No. 31 of 1999 Jo Law Number 20 of 2001 after the Constitutional Court Decision Number 003 / PUU-IV / 2006 and criminal prosecution of perpetrators criminal acts of corruption that violate the provisions of Article 2 of Law Number 31 of 1999 Jo Law Number 20 of 2001 after the decision of the Constitutional Court Number 003 / PUU-IV / 2006. The teachings against the law that are regulated in the provisions of Article 2ayat (1) of Law Number 31 of 1999 in conjunction with Law Number 20 of 2001 include teachings against the law in formal and material terms. However, after the Constitutional Court's Decision Number 003-PUU / IV / 2006 stated that it was against the law recognized in the provisions of Article 2 paragraph (1) of Law Number 31 of 1999 in conjunction with Law Number 20 of 2001 as long as it was against formal law. This means that as the final and binding nature of the Constitutional Court's decision, after the Constitutional Court's decision a criminal act of corruption that violates the provisions of Article 2 paragraph (1) in matters against the law must be interpreted as against the law in the formal sense and no longer permitted to interpret against the law in the material sense.

Keywords: Teaching Against the Law, Corruption, Constitutional Court. A. PENDAHULUAN

Korupsi merupakan musuh bersama seluruh rakyat Indonesia. Berbagai cara tentunya sudah dilakukan oleh pemangku kewenangan dalam bidang penegakan tindak pidana korupsi. Pada tahun 1997 Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam lokakarya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia pernah merumuskan 3 strategi didalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara nasional, yaitu Pertama strategi

(2)

ARTIKEL

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 20

persuasif yaitu upaya untuk menghilangkan peluang melakukan korupsi untuk semaksimal mungkin mencegah terjadinya korupsi. Kedua strategi detektif yaitu berupa upaya untuk menampilkan suatu informasi apabila korupsi sudah terjadi dan semaksimal mungkin dapat diidentifikasikan dalam waktu yang sesingkat mungkin. Ketiga strategi represif, yaitu suatu upaya semaksimal mungkin memproses korupsi yang sudah diidentifikasikan menurut ketentuan hukum secara cepat, tepat dengan tingkat kepastian tinggi meliputi proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan dan putusan pengadilan (Arief, 2006).

Berbagai strategi tersebut khususnya strategi represif memiliki 2 tujuan yakni prevensi special dan prevensi general (Muradi dan Arief, 1984). Selanjutnya Pengenaan pidana penjara yang tinggi dan pengenaan uang penganti yang cukup besar sebagai upaya prevensi geneneral bagi masyarakat, sampai saat ini dirasakan belum efektif dikarenakan dalam perkembangannya tetap saja perbuatan korupsi tersebut masih tetap dilakukan.

Korupsi yang terjadi tersebut memberikan dampak yang sangat besar bagi masyarakat. Menurut Alatas (1987), pengaruh korupsi terhadap masyarakat dan individu sedemikian rumit dan aneka ragamnya sehingga kita hanya dapat memusatkan perhatian pada beberapa diantaranya yang menyolok saja. Korupsi tidak hanya mempengaruhi manusia dalam kehidupan ekonomi dan politiknya belaka melainkan juga kebutuhan rohaniah dan filsafatnya.

Korupsi dipandang dapat mengganggu dan menghambat pembangunan naasional, merintangi tercapainya tujuan nasional, mengancam upaya mewujudkan keadilan sosial, merusak citra aparatur yang bersih dan berwibawa yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya. Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang sangat tercela oleh Negara manapun, karena dampaknya dapat menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi perekonomian negara (Timomor, 2012).

(3)

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 21 Setelah mencermati dampak yang sangat besar yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tentunya hanya ada satu cara untuk mengatasinya yakni melakukan pemberantasan atas perbuatan tersebut, dengan menyeret pelakunya ke muka persidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, pasal dalam undang-undang korupsi yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pasal yang langsung menyoroti tentang kondisi tersebut adalah Pasal 2. Ketentuan Pasal 2 tersebut menguraikan unsur yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah: Setiap orang; Melawan hukum; Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; dan Yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;

Namun demikian walaupun dengan banyak perdebatan, penerapan melawan hukum sesuai dengan ketentuan penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tetap diterapkan dalam praktek beracara perkara tindak pidana korupsi. Namun disisi lain ternyata kondisi yang memperdebatkan antara ajaran melawan hukum formal dan materiil telah mendorong Ir. Dawud Jatmiko yang merupakan karyawan PT. Jasa Marga untuk mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi .

Dawud Jatmiko mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji ketentuan dari penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam hal ini terfokus pada ajaran melawan hukum mana yang dapat diterapkan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi. Atas gugatan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan pokok perkara tersebut dengan amar sebagai berikut: “Menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia

(4)

ARTIKEL

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 22 Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi ‘yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam artian formil dan artian materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbutaan tersebut dapat dipidana’ bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945.”

Putusan tersebut memberikan penegasan bahwa melawan hukum yang diatur dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah melawan hukum dalam artian formal. Putusan Mahkamah Kostitusidiatas, tentunya memberikan warna baru bagi penegakan hukum terkait dengan penerapan ajaran melawan hukum yang dapat diterapkan dalam penanganan tindak pidana korupsi khususnya terhadap tindak pidana yang dikenakan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-UndangNomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebagaimana sifat dari putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Final and Binding maka dampak hukum yang terjadi adalah bahwa terhadap putusan yang telah diucapkan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut akan langsung berlaku mengikat dan tidak memiliki upaya hukum lagi. Oleh karenanya setelah putusan dibacakan maka putusan tersebut telah membentuk norma baru dalam penegakan hukum penanganan perkara tindak pidana korupsi yakni penanganan perkara tindak pidana korupsi harus memenuhi ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan hal tersebut diatas, mendorong penulis untuk meneliti lebih jauh bagaimana penerapan ajaran melawan hukum oleh aparat penegak hukum terhadap tindak pidana korupsi yang melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-UndangNomor 20 Tahun 2001 setelah putusan Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

(5)

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 23 menganalisis penerapan ajaran melawan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang melanggar ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 setelah Putusan Mahkamah KonstitusiNomor 003/PUU-IV/2006 dan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang melanggar ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian yang penulis lakukan adalah merupakan bentuk penelitian hukum (Legal reseach) normatif dengan menggunakan metode penelitian berupa pendekatan terhadap perundang-undangan (statute approach) yakni pendekatan yang menggunakan legislasi dan regulasi berupa undang-undang serta teori-teori hukum yang berkaitan dengan ajaran melawan hukum dan tindak pidana korupsi (Marzuki 2011).

Dalam melakukan pengumpulan data, penulis melakukan studi kepustakaan yakni mengumpulkan bahan baik itu bahan hukum primer, sekunder maupun tersier yang berkaitan dengan ajaran melawan hukum dan tindak pidana korupsi. Studi pustaka merupakan alat pengumpulan data yang tidak ditujukan langsung kepada subyek penelitian. Pustaka/dokumen yang diteliti dapat berbagai macam, tidak hanya dokumen resmi, dapat berupa laporan, catatan kasus dan dokumen lainnya (Suteki, 2017).

Penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif, yakni bahan hukum yang terkumpul disusun dan diolah serta diuraikan dalam bentuk uraian deskriptif analitis sesuai dengan perudangan-undangan yang berlaku. Data kualitatif bersifat mendalam dan perinci, sehingga data kualitatif bersifat panjang lebar. Akibatnya analisis data kualitatif bersifat spesifik, terutama untuk meringkas data dan menyatukannya dalam suatu alur analisis yang mudah dipahami pihak lain. Penelitian ini menggunakan metode deduktif yakni suatu penarikan kesimpulan dari hal yang bersifat umum ke khusus.

(6)

ARTIKEL

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 24 C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Penerapan Ajaran Melawan Hukum Terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Melanggar Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki sifat final and binding artinya berlaku mengikat dan langsung memiliki kekuatan hukum serta tidak ada upaya hukum terhadap putusannya. Sifat putusan yang demikian tentunya akan memberikan warna tersendiri pada penegakan hukum atas undang-undang yang dimintakan judicial review.

Bahwa terkait dengan tindak pidana korupsi khususnya penerapan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah diajukan judial review oleh Dawud Djatmiko selaku pemohon. Menarik untuk dicermati atas permohonan pemohon tersebut yang dimintakan untuk diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi adalah beberapa hal sebagai berikut:

a. Menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), penjelasan pasal 2 ayat (1), Pasal 3, penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang kata “percobaan”) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertentangan terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; b. Menyatakan materi muatan dalam Pasal 2 ayat (1), penjelasan pasal 2

ayat (1), Pasal 3, penjelasan Pasal 3, dan Pasal 15 (sepanjang kata “percobaan”) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

(7)

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 25 Pidana Korupsi, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;

Bahwa berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pemohon tersebut pada pokoknya yang dimintakan judial review adalah hanya terbatas pada frase “percobaan” namun dalam putusannya majelis hakim telah memberikan putusan melebihi dari apa yang dimohonkan oleh pemohon (ultra petita), dalam hal ini Mahkamah Konstitusi telah juga memberikan putusan mengenai batasan melawan hukum yang dianut dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Dalam pertimbangannya Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah kami ulas pada bab II menyebutkan sebagai berikut: Menimbang bahwa selanjutnya yang perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara mendalam adalah kalimat pertama penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK, yang juga dimohonkan oleh Pemohon sebagaimana tertulis dalam petitum permohonannya meskipun Pemohon tidak memfokuskan argumentasinya secara khusus terhadap bagian tersebut.

Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada pokoknya telah jelas bahwa Mahkamah Konstitusi telah mengakui pemohon tidak mempersoalkan dalam permohonannya tentang unsur melawan hukum yang diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1), Pemohon menuliskan dalam petitum tersebut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) jika dicermati dalam Putusan Mahakamah adalah hanya sebatas mengenai frase kata “dapat” yang tercantum pada frase sebelum “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” sedangkan frase melawan hukum tidak dipermasalahkan oleh Pemohon. Putusan mengenai pengertian melawan hukum sebagaiman diatur dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dirasakan oleh Mahkamah Konstitusi telah memberikanbatasan yang sulit untuk pembuktian dalam persidangan. Kemudian atas dasar pertimbangan tersebut, sebagaimana telah penulis uraikan pada bab 2, namun untuk lebih mendapatkan pemahaman yang komprehensif, maka berikut penulis tuliskan kembali amar putusan mahkamah Konstitusi yakni sebagai berikut: Menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun

(8)

ARTIKEL

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 26

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa “yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam artian formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Menyatakan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa “yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam artian formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan putusan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengajuan perkara tindak pidana korupsi dimana terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) maka unsur melawan hukum yang harus terpenuhi dalam Pasal tersebut

(9)

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 27 adalah melawan hukum formil yakni ada aturan tertulis yang memang dilanggar oleh pelaku tindak pidana korupsi tersebut.

Sebagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang tertuang dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusimenyebutkan ‘putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan

hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum’hal tersebut berarti bahwa terhadap putusan yang diucapkan oleh Mahkamah Konstitusi maka tidak ada upaya hukum atas putusan tersebut dan putusan tersebut langsung berlaku mengikat seluruh warga negara termasuk lembaga kenegaraan.

Artinya jika dikaitkan antara sifat putusan Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 terkait dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang mengenai frasa yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam artian formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana” bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang mengartikan melawan hukum yang dianut oleh Pasal 2 ayat (1) adalah meliputi melawan hukum dalam artian formil dan materiil dinyatakan tidak dapat diterapkan kembali, Mahkamah konstitusi sebagaimana dalam pertimbangannya tidak menganut melawan hukum dalam artian materiil dikarenakan melawan hukum dalam artian materiil telah melanggar doktrin asas legalistas (tiada pidana tanpa undang-undang). Lebih lanjut mahkamah menjelaskan bahwa ukuran melawan hukum dalam artian materiil sulit diterapkan dikarenakan tidak ada ukuran yang sama dalam beberapa kondisi masyarakat untuk menetapkan suatu perbuatan yang dianggap melanggar kepatutan. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya dengan

(10)

ARTIKEL

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 28 lugas meyatakan pendapatnya lebih condong dengan doktrin melawan hukum dalam artian formil yakni kesalahan pelaku tindak pidana korupsi harus jelas peraturan mana yang dilanggarnya.

Secara sederhana bahwa dengan adanya putusan Mahakmah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 maka semua aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi, Jaksa dan Hakim dalam menangani perkara tindak pidana korupsi yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1), maka pembuktian untuk unsur melawan hukum haruslah diartikan sebagai melawan hukum dalam artian formil, yakni ada aturan tertulis yang dilanggar oleh pelaku.

2. Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana yang Melanggar Ketentuan Pasal 2 Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006

Berdasarkan uraian kasus-kasus yang diteliti terkait dengan pemidanaan yang dijatuhkan pada para terdakwa maka jika ditelisik berdasarkan teori pemidanaan sebagaimana telah penulis uraikan pada bab terdahulu, dijelaskan bahwa menurut teori absolut atau teori pembalasan bahwa pidana dijatuhkan semata-mata karena orang melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est). pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut Johanes Andenaes tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice)

sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Imanuel Kant didalam bukunya “philosophy of law” sebagai berikut: “… pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri maupun

(11)

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 29 bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya), pembunuh terakhir yang masih berada didalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum (Muladi dan Arief, 1984).

Sedangkan menurut Teori relatif atau teori tujuan, menyatakan bahwa memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu menurut Andeneaes, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence). Menurut Nigel Walker Teori ini lebih lebih tepat disebut teori atau aliran reduktif karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori inipun sering disebut teori tujuan. Dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Teori ini dikenal juga sebagai teori pencegahan (detterence). Adapun fungsinya adalah sebagai sarana menegakkan kewibawaan, menegakkan norma, membentuk norma.

Terlepas dari teori pemidanaan dengan fungsinya yang memberikan penjeraan bagi terdakwa dan pelajaran bagi masyarakat, khusus untuk tindak pidana korupsi ada satu hal yang ingin diselamatkan dalam penegakan hukum

(12)

ARTIKEL

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 30 terhadap perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa yakni perekonomian, keuangan dan pertumbuhan kesejahteraan masyarakat yang sangat penting bagi suatu negara. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa alasan sebagai berikut berikut:

1. Bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negra dan menghambat pembangunan nasional;

2. Akibat dari tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;

3. Dalam kenyataannya adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar dan pada gilirannya berdampak pada timbulnya krisis di berbagai bidang.

Oleh karenanya telah tepat jika kerangka berfikir dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi adalah memiskinkan koruptor dengan cara memberikan pidana pokok yang tinggi, dan menyita semua aset yang dihasulkan dari tindak pidana korupsi serta pengenaan denda yang tinggi jumlahnya. Diharapkan hal tersebut dapat memberikan pelajaran untuk semua masyarakat agar jangan sampai melakukan korupsi.

D. KESIMPULAN

Ajaran melawan hukum yang diatur dalam ketentuan Pasal 2ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah meliputi ajaran melawan hukum dalam pengertian formil dan materiil. Namun setelah adanya putusan Mahakmah Konstitusi Nomor 003-PUU/IV/2006 yang menyatakan bahwa melawan hukum yang diakui dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 adalah sepanjang melawan hukum formil. Artinya sebagaimana sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final and

(13)

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 31

binding, maka setelah putusan Mahkamah Konstitusi tindak pidana korupsi yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dalam hal melawan hukum haruslah diartikan sebagai melawan hukum dalam artian formil dan tidak diperbolehkan lagi mengartikan melawan hukum dalam artian materiil.

Namun, ternyata putusan Mahkamah Konstitusi tidak serta merta dapat diikuti oleh majelis hakim, majelis hakim tetap dalam pendapatnya bahwa melawan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah melawan hukum yang harus diartikan sebagai melawan hukum formil dan materiil. Hal tersebut bukan karena majelis hakim ingin mengingkari putusan dari Mahkamah Konstitusi tersebut, melainkan adanya pertimbangan majelis hakim untuk memberikan keadilan yang sebenarnya dalam masyarakat.

Tentunya penerapan ajaran melawan hukum sebagimana tersebut di atas memiliki dampak kepada pemidanaan terhadap terdakwa. hal itu dapat terlihat jelas bahwa tidak ada dari satu perkarapun yang diputus bebas oleh Majelis Hakim mengingat jika tidak melanggar aturan pastinya perbuatan korupsi tersebut melanggar norma yang hidup dalam masyarakat. Sehingga pemidanaan berupa penjara, denda serta pembayaran uang penggantti menjadi kasat mata terlihat dalam beberapa putusan yang penulis sajikan dalam pembahasan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, S. H. (1987). Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.

Alatas, S. H. (1983). Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer. Jakarta: LP3ES.

Arief, B. N. (2006). Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana Prenada Media Group;

Arief, B. (2006). Korupsi dan Upaya Penegakan Hukum (Kapita Selekta). Jakarta: PT. Adika Remaja Indonesia.

Arofa, E. (2017). Pertanggungjawaban Korporasi Atas Tindak Pidana Korupsi.

Yogyakarta: Genta Publishing.

Effendy, M. (2013). Korupsi dan Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya. Jakarta: Referensi.

(14)

ARTIKEL

JISPO VOL. 9 No. 2 Edisi: Juli-Desember Tahun 2019 32 Effendy, M. (2012). Kapita Selekta Hukum Pidana (Perkembangan dan Isu-Isu

Aktual dalam Kejahatan Finansial dan Korupsi), Jakarta: Referensi.

Huda, N. (2008). Urgensi Judicial Review Dalam Tata Hukum Indonesia. Jurnal Hukum, 1(15).

Jonaedi, E. (2017). Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim (Berbasis Nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat). Depok: Prenada Media Group.

Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media Group.

Mertokusumo, S. (2009). Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Moeljatno. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi, & Arief, B. N. (1984). Pidana dan Pemidanaan. Semarang: Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.

Mulyadi, L. (2000). Tindak Pidana Korupsi Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan,Penuntutan,Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut UU No. 31 Tahun 1999. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Putrajaya, N. S. (2005). Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Priyatno, D. (2006). Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Prodjodikoro, W. (2003). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.

Putusan Mahkamah Agung Nomor: 207 K/Pid/2007 tanggal 28 Februari 2007. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 3003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli

2006.

Sapardjaja, K. E. (2002). Aajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indoenesia. Bandung: PT. Alumni.

Sudarto. (1981). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Suteki, dan Taufani, G. (2017). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik). Depok: PT. Raja Grafindo Persada.

Taher, T. (2004). Korupsi Sebagai Kanker Bangsa. Jakarta: Lembaga Pencegah Korupsi.

Timomor, A. (2012). Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, 20(2).

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2002). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau peraturan kepala

Akhirnya strategi pengembangan bisnis disusun berdasarkan 11 alternatif strategi yang diusulkan oleh David.Penelitian yang dilakukan dengan metode kualitatif ini

Dengan masing-masing sistem yang digunakan baik pajak parkir dan pajak air tanah apabila di dorong dengan lebih menggali potensi pada tahun yang akan datang,

(1) Badan Usaha Angkutan Udara Niaga berjadwal yang telah menetapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat ( 1), wajib mempublikasikan maklumat

[r]

Asuhan kebidanan pada Ny.”W” dilakukan secara berkelanjutan mulai dari usia kehamilan 39/40 minggu dengan frekuensi kunjungan 1 kali, persalinan 1 kali, Nifas 4

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 30 orang yang dijadikan sebagai sampel, menujukkan bahwa distribusi keputihan sesudah pemberian daun sirsak pada wanita usia subur

Berdasarkan gambar di atas, menunjukkan bahwa hasil pengukuran kadar HDL pada mencit setelah diberi pakan diet tinggi lemak selama 28 hari, kemudian diberi perlakuan selama