dokumen hasil
1
DOKUMEN HASIL
DARI PRAKTIK KE KEBIJAKAN:
MEMAJUKAN INISIATIF, KARAKTER DAN BUDAYA
MENUJU INDONESIA INKLUSIF 2030
9 September 2020 – 14 Januari 2021
ami peserta Temu Inklusi 2020 yang merupakan perwakilan organisasi Difabel / Penyandang Disabilitas,
organisasi masyarakat sipil, tokoh
masyarakat, organisasi / program mitra pembangunan Indonesia, serta perwakilan pemerintah daerah dan kementerian / lembaga, yang merupakan pegiat gerakan inklusi disabilitas di Indonesia, sejak 9 September 2020 hingga 14 Januari 2021, telah berkumpul dalam forum Temu Inklusi 2020 secara daring yang diinisiasi oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), serta mitra organisasi masyarakat sipil, aktor pembangunan yang inklusif, dan pemerintah penggerak inklusi disabilitas di Indonesia.
Temu Inklusi 2020 diselenggarakan untuk kali ke empat, sebagai forum dua tahunan
untuk merefleksikan perkembangan
perwujudan Indonesia inklusi, serta menggali strategi baru yang dapat mempercepat
upaya perwujudan masyarakat dan bangsa Indonesia yang inklusif. Dengan tema ‘DARI PRAKTIK KE KEBIJAKAN: MEMAJUKAN INISIATIF, KARAKTER DAN BUDAYA MENUJU INDONESIA INKLUSIF 2030’, kami meyakini bahwa inovasi dan gagasan kreatif, baik lokal atau nasional, perlu dilihat sebagai solusi alternatif dalam mengatasi ketimpangan bagi kelompok rentan, utamanya masyarakat Difabel, dimana ekslusi sosial masih menjadi salah satu masalah utamanya. Kami, yang bekerja di berbagai sektor isu dan komponen pembangunan, juga yakin bahwa kolaborasi berbagai pihak untuk menjawab masalah ekslusi Difabel sangat dibutuhkan, karena isu Difabel merupakan isu lintas sektor, lintas disiplin, multi expertees, dan karenanya, sangat tidak tepat untuk menempatkan isu Difabel sebagai sebuah isu sektoral.
Kami meyakini, bahwa Indonesia adalah rumah kebhinnekaan,dimana keberragaman
2
setiap warga negara, tanpa terkecualipenyandang disabilitas, diakui, dihormati, serta selayaknya memperoleh ruang yang
setara dan adil. Penghargaan,
penghormatan, serta akomodasi atas berragam perbedaan serta kebutuhan itulah yangdimaksudkan sebagai ‘inklusi’. Untuk itu, kami yakin, bahwa sangat penting untuk terus membawa semangat dan falsafah ‘Bhinneka Tunggal Ika’, tidak berhenti dalam prinsip dan alam pemikiran, tetapi membumi dalam keseharian serta kerja kolektif kita dalam memajukan bangsa.
Dalam forum aktor inklusi disabilitas lintas pemangku kepentingan ini, Kami melakukan serangkaian diskusi mendalam melalui seminar, curah gagasan, serta lokakarya tematik untuk sejumlah isu penting yang mengemuka serta menjadi agenda kerja sejumlah aktor di tingkat daerah dan pusat, dari Desa hingga ke nasional.
Dalam Temu Inklusi 2020, sejumlah 3 seminar nasional, 12 diskusi tematik, serta
beberapa creative event telah
diselenggarakan yang mempertemukan komunitas disabilitas dengan berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, swasta, akademisi, provesional serta
pihak-pihak lainnya untuk bersama-sama
memetakan situasi dan mengumpulkan
solusi-solusi baik dalam menjawab
permasalahan eksklusi yang masih dialami penyandang disabilitas di berbagai sektor seperti pendidikan, ekonomi dan pekerjaan, layanan kesehatan dan perlindungan sosial, hingga akses dan perlindungan hukum dan partisipasi politik.
Kami,Peserta Temu Inklusi 2020,
mengapresiasi sejumlah kemajuan yang telah diupayakan dan dihasilkan oleh Pemerintah dalam dua tahun terakhir sejak dilaksanakannya Temu Inklusi 2018. Dalam hal kemajuan regulasi, Setidaknya, dua Peraturan Presiden dan 6 Peraturan Pemerintah turunan UU Disabilitas telah
disahkan. Regulasi turunan tersebut
mengatur pemenuhan hak penyandang disabilitas di berbagai sektor yang
mencakup perlindungan hukum da
peradilan, kesejahteraan sosial, pendidikan, pekerjaan, habilitasi dan rehabilitasi, hingga monitoring pemenuhan hak penyandang disabilitas dan pembentukan komisi nasional disabilitas (KND). Merujuk pernyataan Bapak Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo dalam sambutan beliau pada acara puncak Hari Internasional Disabilitas pada 3 Desember 2020 lalu, regulasi terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas yang sudah ada perlu didorong agar implementasinya maksimal dan memberikan dampak bagi kehidupan dan pemberdayaan secara nyata. ‘Implementasi yang efektif’ adalah kata kunci yang menurut peserta Temu Inklusi 2020 perlu dikawal dan dikuatkan bersama-sama melalui partisipasi penyandang disabilitas dalam memonitor
dan mengevaluasi program-program
pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dalam seminar dan diskusi daring yang dilakukan, peserta Temu Inklusi juga memetakan sitausi dan permasalahan inklusi disabilitas di berbagai sektor penghidupan. Atas sejumlah catatan refleksi dan temuan tersebut, Kami, peserta Temu Inklusi 2020
menyepakati dan menyampaikan
3
Bagian I
Rekomendasi Sektor Partisipasi dan pelibatan Efektif Penyandang Disabilitas
dalam Perencanaan, Implementasi dan Monitoring
Sejumah praktik baik di berbagai daerah menunjukkan bahwa inklusi disabilitas dalam berbagai sektor program pembangunan hanya dapat secara efektif terbangun jika penyandang disabilitas terlibat dan berpartisipasi aktif sebagai aktor, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, hingga pengawasan, monitoring maupun evaluasi. Pelibatan efektif dalam sistem perencanaan mulai dari tingkat desa terbukti menghasilkan perencanaan yang lebih akurat dan menjawab kebutuhan masyarakat dengan ragam kebutuhan.
Lahirnya PP no.70 tahun 2019 tentang perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi pemenuhan hak penyandang disabilitas telah memberikan kerangka atas jaminan penuh partisipasi penyandang disabilitas. Regulasi ini perlu didorong implementasinya bukan hanya di beberapa daerah dimana pengorganisasian penyandang disabilitas telah terbangun kuat, melainkan menjadi standar yang dilaksanakan di seluruh daerah. Untuk itu, Temu Inklusi 2020 merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1.
Keterlibatan disabilitas di semua forum pengambilan keputusan publik di Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan Nasional. Upaya melibatkan penyandangdisabilitas untuk memahami isu
disabilitas harus dilakukan mulai dari
perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi.
2.
Mengakselerasi pendataan dari sisicakupan maupun kualitas. Hal ini dilaksanakan khususnya dalam lingkup
administrasi kependudukan dan
pencatatan sipil, Data Terpadu
Kesejahteraan Sosial, dan registrasi sosial menggunakan platform Sistem Informasi Desa atau yang sejenis bekerjasama
dengan organisasi penyandang
disabilitas.
3.
Forum khusus/tematik bagi penyandangdisabilitas/kelompok rentan lainnya
diperlukan sebagai langkah afirmasi untuk mengakselerasi pelaksanaan RIPD
dan integrasinya dalam proses
musrenbang yang tercermin dalam
dokumen perencanaan dan
penganggaran pembangunan.
4.
Mendorong kerjasama multi-pihakdalam merancang dan melaksanakan berbagai terobosan pemberdayaan dan perbaikan pelayanan publik secara berkesinambungan.
5.
Mempromosikan replikasi dankeberlanjutan berbagai inovasi didukung oleh kementerian / lembaga dan Pemda, melalui berbagai forum dan media pembelajaran.
4
Bagian II
Rekomendasi Sektor Pengarusutamaan Gender dan Disabilitas
Perempuan penyandang disabilitas adalah kelompok dengan kerentanan berlapis dan berpotensi mengalami berbagai bentuk diskriminasi berganda, sebagai Perempuan, dan penyandang disabilitas. Tingginya angka kekerasan dan exploitasi yang dialami oleh Perempuan penyandang disabilitas, setidaknya berdasarkan data organisasi pendamping difabel berhadapan dengan hukum, membuktikan betapa kurangnya perlindungan yang menjamin pembelaan dan kepastian hukum bagi Perempuan penyandang disabilitas. Pun demikian, Perempuan dengan disabilitas menunjukkan kesempatan partisipasi yang lebih sedikit dibanding laki-laki. Catatan ini hanya mewakili bagian yang lebih besar dari isu gender dan disabilitas, serta kepemimpinan perempuan dengan disabilitas.
Atas catatan di atas, Berikut beberapa rekomendasi yang disampaikan:
1.
Upaya pengarusutamaan gender danpeningkatan partisipasi Perempuan oleh
kementerian Pemberdayaan dan
Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA) dan berbagai pihak terkait perlu memastikan di dalamnya partisipasi perempuan dengan disabilitas. Hal ini
hanya dapat dilakukan dengan
mengenali, serta meminimalkan
hambatan bagi Perempuan dengan disabilitas agar dapat berpartisipasi secara setara pada ruang-ruang maupun program yang dilaksanakan.
2.
Program perlindungan atas Perempuandan anak perlu ditingkatkan
perspektifnya dengan mengenali dan mengakomodasi kebutuhan perempuan
dan anak dengan disabilitas.
Sebagaimana diketahui, perempuan dan anak Perempuan dengan disabilitas mempunyai kebutuhan yang lebih kompleks Karena status mereka sebagai Perempuan / anak dengan disabilitas.
Kelompok perempuan dan anak adalah kelompok yang beresiko tinggi atas perlakuan tidak adil karena minimnya
ruang partisipasi dan Tindakan
kekerasan karena lemahnya
perlindungan hukum yang berperspektif gender, perlu menjadi pertimbangan bagi program-program perlindungan perempuan dan anak, Baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun masyarakat.
3.
Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi perempuan, serta organisasi penyandang disabilitas perlumempromosikan keterlibatan dan
representasi perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas pada ruang-ruang publik dan pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan (langsung maupun tidak) dengan
kepentingan dan pemenuhan
5
Bagian III
Rekomendasi Sektor Pemenuhan HAM Orang dengan Disabilitas Psikososial.
Salah satu di antara ragam disabilitas yang memiliki situasi-situasi khusus, tetapi masih kerap dilupakan dalam agenda-agenda pembangunan di Indonesia adalah disabilitas psikososial. Orang dengan disabilitas psikososial (ODP) adalah orang-orang yang mengalami hambatan-hambatan struktural akibat masalah kejiwaan yang mereka alami dan persepsi masyarakat luas terhadap mereka.Kurangnya pemahaman yang tepat mengenai ODP, ditambah struktur regulasi yang tidak memberikan ruang atas perlakuan yang adil bagi ODP, menyebabkan terrampasnya keadilan dan penikmatan hak yang setara bagi ODP. Mereka bahkan dengan mudah dapat diambil kapasitas hukumnya oleh orang-orang yang menjadi pengampu Tanpa persetujuan dan kehendak mereka. Perlakuan ketidakadilan secara struktural dan kultural ini perlu dijawab dengan upaya-upaya kolektif dan sistematis untuk membangun sistem hukum dan perlindungan HAM yang lebih memberikan keadilan bagi mereka.
Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa rekomendasi yang mencuat dalam diskusi temu inklusi bertemakan disabilitas psikososial. Rekomendasi-rekomendasi tersebut dibuat tersegmen sesuai dengan lembaga-lembaga negara yang berwenang.
Kementerian Hukum dan HAM
1. Membuat instrumen-instrumen hukum terkait yang mendorong aparat penegak
hukum dan lembaga-lembaga terkait untuk menghargai kapasitas hukum ODP, dan menyediakan bantuan yang diperlukan bagi mereka untuk melaksanakan kapasitas hukumnya.
2. Mendorong lahirnya pokja disabilitas psikososial berisikan lembaga-lembaga
pemerintah terkait dan OPD sehingga mempermudah koordinasi kerja-kerja penegakan HAM bagi ODP.
Kementerian Sosial
1. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap praktik-praktik perampasan kapasitas hukum di panti-panti rehabilitasi sosial evaluasi terhadap pemberian izin;
2. Mencabut izin atau bantuan finansial dari panti-panti rehabilitasi yang terbukti melakukan perampasan kemerdekaan, kekerasan, pemberian gizi buruk, tindakan-tindakan disipliner yang merendahkan martabat manusia, serta perlakuan-perlakuan buruk lainnya yang tidak sesuai dengan CRPD.
3. Melakukan revitalisasi sistem rehabiltasi sosial berkaitan dengan kesehatan jiwa yang mengubah struktur panti dari tempat detensi menjadi asrama sementara bagi ODP.
6
Kementerian Kesehatan
1. Melakukan evaluasi terhadap penanganan pasien di Rumah Sakit Jiwa untuk
memastikan tidak adanya lagi perawatan paksa tanpa alasan jelas, rawat inap tanpa batas waktu, kekerasan, ataupun tindakan-tindakan medis yang bertentangan dengan standar Hak Asasi Manusia, seperti Terapi Elektrokonvulsif (ECT).
2. Memastikan tidak ada Surat Keterangan Kesehatan Jiwa yang disalahgunakan oleh psikiater ataupun keluarga pasien untuk merampas kebebasan atau kapasitas hukum ODP.
Mahkamah Agung
1. Memastikan implementasi akomodasi yang layak bagi ODP sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
2. Menyusun Perma atau SEMA yang mengatur lebih detail tentang pemeriksaan
perkara pengampuan sehingga bisa mendorong hakim untuk mempertimbangkan keterangan dari calon terampu, ahli-ahli terkait, serta organisasi penyandang disabilitas.
3. Melakukan sensitisasi hakim-hakim yang menangani kasus-kasus pengampuan
sehingga mampu untuk memberikan penetapan secara berhati-hati dan tetap menghargai kapasitas hukum orang tersebut.
Kepolisian
1. Memastikan implementasi akomodasi yang layak bagi ODP sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
2. Melakukan sensitisasi HAM dan isu disabilitas terhadap personil kepolisian agar mereka memperlakukan ODP yang berkonflik dengan hukum secara setara dan menghargai martabat mereka.
3. Melakukan penyidikan terhadap dugaan kasus pelanggaran hak atas kebebasan, penganiayaan, kekerasan seksual, dan perlakuan buruk lainnya yang dialami oleh ODP di panti rehabilitasi, rumah sakit jiwa, ataupun institusi-institusi lain yang menampung ODP.
Dirjenpas
1. Memastikan implementasi akomodasi yang layak bagi ODP sesuai dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
2. Memastikan ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan jiwa yang
7
Bagian IV:
Rekomendasi Sektor Pendataan Disabilitas
Hingga saat ini, data penyandang disabilitas yang terupdate dan akurat masih menjadi tantangan besar, dimana data nasional disabilitas saat ini masih didasarkan pada survey yang tidak mencerminkan data sebenarnya, sehingga belum dapat menjadi acuan perencanaan program secara tepat di berbagai sektor. Beberapa daerah, melalui kerjasama berbagai pihak telah menunjukkan praktik baik pendataan disabilitas, baik di tingkat Desa maupun Kabupaten. Hal ini semestinya dapat diadopsi menjadi model yang dilakukan secara nasional. Atas catatan tersebut, Temu Inklusi merekomendasikan hal-hal berikut:
1. Aspek Kebijakan:
a.
Sinkronisasi antara Undang-UndangNomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, dan perundang-undangan
lainnya dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang
Penyandang Disabilitas, untuk
memperjelas dan memastikan
keterlibatan penuh Pemerintah Daerah
dan Desa dalam pendataan
penyandang disabilitas;
b.
Percepatan implementasi RIPD dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas dan Rencana Aksi Daerah Penyandang DisabilitasProvinsi dalam perencanaan
pelaksanaan pendataan penyandang disabilitas;
c.
Pelibatan penyandang disabilitasdan/atau organisasi penyandang
disabilitas dalam penyusunan RANPD dan/atau RADPD;
d.
Meningkatkan kesempatan partisipasipenyandang disabilitas dan/atau
organisasi penyandang disabilitas dalam musyawarah perencanaan pada tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi untuk memastikan dan mengawal implementasi RADPD;
e.
Mendorong Pemerintah Desa,Kecamatan, Kabupaten/Kota dan
Provinsi menetapkan kebijakan
pendataan inklusif disabilitas yang akan dapat terus dilaksanakan secara rutin meskipun terjadi pergantian kepemimpinan;
2. Aspek Sistem Database
a.
Sinkronisasi sistem informasi atau database yang telah tersedia dari tingkat Desa (SID/SAID/SDDK) hingga Pusat/Nasional (Sisminduk) untukmemastikan setiap penyandang
disabilitas di Indonesia memiliki
Nomor Induk Kependudukan dan Nomor Kartu Keluarga;
b.
Pemutakhiran data penyandangdisabilitas secara rutin, setidaknya 2 tahun sekali seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8
8
Tahun 2016 tentang PenyandangDisabilitas;
c.
Integrasi data populasi penyandang disabilitas tingkat Desa ke dalamSistem Informasi Administrasi
Kependudukan;
3. Aspek Pendataan
a.
Pendekatan yang dipergunakanadalah bottom-up, dimana pendataan penyandang disabilitas dilakukan dari tataran Desa yang mencakup seluruh RT/RW/Dusun/Kampung;
b.
Pelibatan semua komponenmasyarakat dari penyandang
disabilitas, kader-kader tingkat
RT/RW/Dusun/Kampung (PKK,
Posyandu, dan lainnya), organisasi
penyandang disabilitas, aparatur
Desa, pendamping, TKSK, aparatur sipil negara di tingkat kecamatan / kabupaten / kota / provinsi dari berbagai dinas, dan lainnya;
c.
Instrumen yang sederhana danmudah dipergunakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pendataan penyandang disabilitas. Instrumen mencakup indikator demografi dasar dan indicator spesifik disabilitas. Indikator data demografi dasar adalah indikator yang dipergunakan Dukcapil untuk penetapan NIK dan Nomor Kartu Keluarga. Sedangkan indikator spesifik disabilitas mencakup jenis dan tingkat hambatan yang dialami, kebutuhan atau dukungan yang dibutuhkan, dan biaya tambahan disabilitas;
4. Aspek Pembiayaan
a.
Mendorong Desa untuk menetapkanpendataan dan pemutakhiran data
penduduk desa, termasuk
penyandang disablitas, sebagai mata anggaran rutin dalam pengelolaan dan pemanfaatan Dana Desa;
b.
Mendorong Pemerintah Pusat hinggaPemerintah Daerah agar
mengalokasikan anggaran untuk
penyempurnaan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan yang
inklusif disabilitas, pelaksanaan
pendataan penyandang disabilitas, dan serta update dan pemutakhiran data penyandang disabilitas secara periodik.
c.
Mendorong Pemerintah Pusat hinggaPemerintah Daerah untuk
menganggarkan penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas sebagai salah satu bentuk validasi data penyandang disabilitas.
9
Bagian V
Rekomendasi Sektor Perwujudan Desa Inklusi untuk Memastikan Inklusi
Disabilitas hingga tingkat Desa
Model dan percontohan Desa Inklusi telah dimulai sejak tahun 2015, dimulai dari Yogyakarta, yang saat ini telah menyebar di lebih dari 160 Desa di beberapa provinsi. Organisasi penyandang disabilitas bersama sejumlah program pembangunan telah bekerja bersama Desa dan Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal dalam memperkuat piloting tersebut. Bahkan, panduan Desa Inklusi telah dikeluarkan oleh Kementerian Desa sebagai upaya untuk mendorong lebih banyak Desa yang menjadikan perspektif inklusi dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan.
Atas catatan tersebut, berikut beberapa rekomendasi Temu Inklusi:
1.
Kementerian Desa dan PembangunanDesa Tertinggal agar menguatkan kebijakan serta sistem pendukung dalam rangka memberikan stimulus replikasi Desa Inklusi. Potensi lokal Desa, serta
kekayaan ragam budaya perlu
dioptimalkan sebagai pijakan penguatan perspektif inklusi dalam pembangunan di Desa. Selain itu, monitoring atas keberhasilan program pembangunan di Desa perlu menggunakan tolok ukur kemampuan Desa menjawab permasalah eksklusi sosial pada masyarakat rentan, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas.
2.
KEMENDES PDT perlu mendorong Desauntuk mengoptimalkan pemberdayaan ekonomi yang inklusif melalui penguatan
BUMDes sebagai platform
pemberdayaan ekonomi masyarakat yang menyasar penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.
3.
KEMENDES PDT bersama pemerintahdaerah agar memfasilitasi forum belajar dalam mewujudkan Desa Inklusi sebagai upaya untuk memperluas pengetahuan
dan kemampuan Desa dalam
menerapkan perspektif inklusi dalam pembangunan Desa.
10
Bagian VI
Rekomendasi Sektor Ketenagakerjaan
Pemerataan kesempatan kerja yang inklusif disabilitas merupakan salah satu prioritas dalam menjawab tingginya angka pengangguran penyandang disabilitas. Mweski hal ini telah diatur dalam UU Disabilitas dan turunannya, lahirnya UU Cipta Kerja seolah menegasikan regulasi yang telah memberikan penguatan perlindungan penyandang disabilitas di sektor pekerjaan. Selain itu, minimnya data angkatan kerja penyandang disabilitas serta akses terhadap pelatihan yang minim menjadi permasalahan penting yang perlu dijawab. Atas catatan tersebut, Temu Inklusi 2020 menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1.
Perlunya peninjauan kembali UU Cipta Kerja secara partisipatif dan transparandengan melibatkan
organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok penyandang disabilitas dari berbagai provinsi di Indonesia.
2.
Penyediaan database angkatan kerjapenyandang disabilitas yang proses
penyusunannya melibatkan
kelompok/organisasi penyandang
disabilitas dan merujuk pada inisiatif pendataan yang telah dilakukan di berbagai wilayah oleh organisasi disabilitas. Database dapat diakses publik dan diperbaharui secara berkala serta menjadi dasar merancang program kegiatan para pihak baik pemerintah, penyedia kerja, pusat-pusat pelatihan, dan pihak lain yang berkepentingan
seperti organisasi penyandang
disabilitas.
3.
Perlu disusun regulasi perihal sistem dan mekanisme monitoring dan evaluasi serta mekanisme penghargaan dan sanksi untuk mengawal implementasi aturan kuota perekrutan penyandang disabilitas oleh penyedia kerja baikperusahaan swasta maupun
instansi/badan usaha pemerintah.
4.
Diperlukan kolaborasi antarapemerintah, sektor swasta, maupun kelompok disabilitas dalam mendorong terlaksananya inisiatif-inisiatif program
yang mendukung ketenagakerjaan
inklusif seperti perekrutan Aparatur Sipil Negara dan karyawan BUMN dari penyandang disabilitas, pemagangan, penyediaan akomodasi yang layak di lingkungan kerja, dan pengawalan proses penempatan kerja bagi angkatan kerja disabilitas yang telah menjalani proses pemagangan.
5.
Perlu dikembangkan strategi yangkomprehensif untuk meningkatkan
kapasitas angkatan kerja disabilitas, baik melalui pendidikan maupun pelatihan vokasi inklusif berkualitas.
6.
Perlu disusun skema jaminan sosialtenaga kerja disabilitas pada sektor informal seperti Kartu Prakerja Inklusif serta BPJS Kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan bagi penyandang
disabilitas yang bekerja pada sektor informal.
11
Bagian VII
Rekomendasi Sektor Infrastruktur Inklusif Disabilitas
Salah satu hambatan terbesar bagi penyandang disabilitas adalah infrastruktur dan sarana publik yang belum sepenuhnya menjamin aksesibilitas dan menerapkan standar desain yang aksesibel. Disahkannya Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2020 tentang Aksesibilitas Sarana Publik dan Permukiman serta Perlindungan dalam situasi bencana bagi penyandang disabilitas, serta sejumlah aturan yang telah ada sebelumnya perlu didorong percepatan implementasinya.
Atas catatan tersebut, Berikut beberapa rekomendasi untuk mendorong terwujudnya infrastruktur yang inklusif:
PARTISIPASI
Partisipasi inklusif dari semua kelompok kepentingan (perempuan, penyandang disabilitas, pemuda pemudi, pengguna jalan, organisasi profesi, media, dan lain-lain), yang berkontribusi pada keberhasilan program.
Partisipasi penuh masyarakat sebagai mitra pemerintah daerah mulai dari
proses perencanaan, pelaksanaan
sampai dengan pemantauan dan evaluasi.
Partisipasi bermakna dengan
memperhatikan segala aspirasi dari semua pihak, dalam bentuk program dan alokasi anggaran, mendorong agar praktik baik diadopsi berkelanjutan.
Pelibatan penyandang disabilitas
sebagai konsultan dalam perumusan kebijakan dalam semua tahapan proyek mulai dari perencanaan, desain dan
kontrak sampai konstruksi dan
penyelesaian dengan mengidentifikasi kebutuhan infrastruktur yang ramah disabilitas.
Organisasi profesi perlu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Fasilitas Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Kompetensi sebagai Arsitek.
Keterlibatan aktif sektor swasta dalam implementasi aksesibilitas infrastruktur secara umum
KOORDINASI
Penguatan forum multisektor, seperti Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ), sesuai amanah CRPD dan UU No. 8/2016 untuk mengidentifikasi isu
lintas kepentingan dan lintas pengguna. FLLAJ adalah wahana koordinasi antar instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan untuk menjawab
12
kebutuhan keamanan dan keselamatanpengguna jalan.
Peningkatan komitmen
multistake-holders terutama sektor Pekerjaan
umum, perumahan rakyat,
Perhubungan, serta semua perencana
infrastruktur dan penyelarasan
keamanan lingkungan dalam
mendukung penyediaan fasilitas
aksesibilitas menuju terciptanya
lingkungan bebas hambatan, aman, nyaman serta dalam penerapan prinsip universal design
Kerjasama untuk keberlanjutan dan
berbagi praktik baik penerapan
inklusifitas infrastruktur, baik di tingkat kebijakan maupun praktik.
PENINGKATAN KESADARAN
Meningkatkan kesadaran publik melalui perluasan media komunikasi, informasi, edukasi untuk aksesibilitas dan mobilitas bagi penyandang disabilitas.
Memahami interseksionalitas pada
identitas seseorang, seperti
memperhitungkan kelompok umur
(anak, dewasa, lansia), gender (laki-laki, perempuan dan lainnya), wilayah (kota dan desa), dsb dengan mengakomodasi
kebutuhan aksesibilitas pada fasilitas dan utility untuk mengakomodasi kerentanan terkait identitas, serta menjamin keamanan dalam mengakses fasilitas, seperti lampu jalan yang terang
guna memastikan keselamatan
perempuan, anak, orangtua dan
13
Bagian VIII
Rekomendasi Sektor Pendidikan Inklusif
Pendidikan adalah salah satu sektor dimana ketimpangan masih sangat tajam terjadi pada penyandang disabilitas. Salah satu indikatornya adalah rendahnya angka partisipasi penyandang disabilitas di tingkat dasar, apa lagi tingkat menengah dan tinggi. Pemberlakuan pendidikan inklusi masih banyak terkendala oleh stigma, alokasi anggaran, hingga tumpang-tindihnya kewenangan yang masih menyebabkan sulitnya penyelenggaraan pendidikan inklusi untuk berkembang.
Atas sejumlah permasalahan tersebut, Temu Inklusi 2020 menyampaikan rekomendasi sebagai Berikut:
1.
Agar pemerintah yangber-tanggungjawab pada penyelenggaraan pendidikan menyusun peta jalan menuju penyelenggaraan pendidikan yang inklusif. Termasuk di dalamnya adalah penguatan regulasi-regulasi yang diperlukan untuk diharmonisasi dengan UU disabilitas sehingga inklusi
menjadi kerangka dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.i
2.
Mendorong peran pemerintah daerahuntuk turut mengalokasikan program dan sumberdaya dalam mendukung pendidikan inklusif melalui program dukungan akomodasi yang layak serta alat bantu penunjang pendidikan bagi siswa dengan disabilitas.
3.
Kementerian yang menanganipenyelenggaraan pendidikan agar
memprioritaskan program-program
intervensi dan pendampingan bagi sekolah, atau memfasilitasi pihak-pihak
lain untuk memberikan pendampingan
terhadap sekolah-sekolah inklusif,
termasuk di dalamnya penguatan
kapasitas sekolah dan tenaga
kependidikan dan non kependidikan dalam hal pembelajaran, pengelolaan sumberdaya, jejaring, untuk tujuan penguatan pendidikan yang inklusif..
4.
Kepada pemerintah maupun lembagaterkait agar membangun mekanisme aduan atas diskriminasi yang mungkin saja terjadi pada tahap penerimaan peserta didik baru, maupun pada Tahap pembelajaran.
5.
Mendorong pemerintah melaluikerjasama pembangunan luar negeri
agar memobilisasi proyek-proyek
pembangunan di bidang pendidikan
untuk menguatkan sistem
penyelenggaraan pendidikan inklusif
serta peningkatan kapasitas
14
Bagian IX
Rekomendasi Sektor Layanan Kesehatan yang Inklusif
Diskusi tematik Temu Inklusi 2020 pada isu layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas memunculkan sejumlah catatan yang menunjukkan masih belum optimalnya penyelenggaraan Serta keterjangkauan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Di luar masalaah akses sarana fisik maupun non-fisik yang belum merata, beberapa hal yang menjadi kebutuhan yang secara khusus dibutuhkan oleh beberapa ragam disabilitas masih belum cukup menjadi prioritas di dalam pengembangan layanan kesehatan saat ini. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan atas tenaga terapis provesional, obat-obatan yang lebih mudah diakses untuk mereka dengan disabilitas psikososial, layanan dan sistem deteksi dini disabilitas, Serta sistem deteksi dini disabilitas dan rujukan perolehan alat bantu disabilitas.
Atas sejumlah catatan tersebut, Berikut beberapa rekomendasi yang disampaikan:
4.
Kementerian Kesehatan agarmemfasilitasi pengembangan
complementary alternative medication (CAM) sebagai salah satu upaya
alternatif untuk mempercepat
ketersediaan layanan terapi untuk penyandang disabilitas.
5.
Kementerian kesehatan, bersamadengan pemerintah daerah hingga desa, Serta melibatkan masyarakat perlu membangun mekanisme yang meliputi deteksi dini, sistem rujukan, hingga asesmen dan perolehan alat bantu disabilitas yang terhubung dengan sistem pendataan dan layanan lain terkait disabilitas.
6.
Untuk mengoptimalkan penguatanlayanan kesehatan yang lebih inklusif, termasuk penguatan kesadaran para
tenaga kesehatan atas disabilitas,
kementerian kesehatan Serta
penyelenggara pelayanan kesehatan agar bekerjasama dengan organisasi penyandang disabilitas.
7.
Pemerintah agar meninjau kembali,serta mengoptimalkan implementasi standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan sebagai bagian dari
upaya percepatan implementasi
roadmap layanan kesehatan yang inklusif.
8.
Lembaga yang berwenang, agarmelakukan monitoring atas pencapaian layanan kesehatan yang lebih inklusif disabilitas, termasuk perbaikan dari sisi
aksesibilitas infrastruktur, dan
melakukan penilaian secara berkala yang diinformasikan kepada publik.
15
Bagian X
Rekomendasi Sektor Hak Politik
Pemilu sebagai wujud partisipasi politik setiap warga negara dalam sistem negara demokrasi sesungguhnya juga menjadi gambaran mengenai pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Tantangan dan hambatan untuk berpartisipasi dalam Pemilu tidak melulu merujuk pada hak politik, tetapi juga hak dalam berbagai bidang. Bahkan, pelaksanaan Pemilu menjadi gambaran tentang stigma dan diskriminasi yang masih membelit Penyandang Disabilitas. Ketika Pemilu diyakini menjadi penentu masa depan Warga Negara, termasuk Penyandang Disabilitas, rekomendasi-rekomendasi berikut ini penting dipertimbangkan untuk mewujudkan Pemilu yang inklusif dan aksesibel, yaitu:
1.
Prinsip kemudahan/aksesibilitas daninklusi perlu dicantumkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Demikian juga, perlengkapan untuk memberikan kemudahan bagi Penyandang Disabilitas, seperti template braille serta standar bilik suara dan meja pencoblosan perlu dicantumkan dalam daftar logistik Pemilu agar dapat
diterjemahkan dalam penganggaran
Pemilu dan Pilkada. Dengan demikian, Undang-Undang Pemilu dan Pilkada perlu diamandemen untuk mewujudkan sistem kepemiluan yang inklusif dan mudah diakses bagi semua Warga Negara, termasuk Penyandang Disabilitas.
2.
Pendataan dan pemutakhiran datapemilih perlu secara konsisten
mencantumkan jenis disabilitas pemilih karena akan menentukan aksesibilitas dan akomodasi yang layak yang perlu diberikan pada saat pemungutan suara. Pendataan dan pemutakhiran data pemilih perlu melibatkan organisasi-organisasi penyandang disabilitas untuk mendukung akurasi data dan menjamin
terdatanya semua penyandang disabilitas yang memiliki hak pilih.
3.
Pemilu yang inklusif dan aksesibel harus dipahami oleh seluruh penyelenggara Pemilu dari tingkat pusat hingga TPS. Buku Putih Pemilu yang inklusif danaksesibel perlu disusun untuk
memberikan acuan dalam penganggaran maupun pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Bimbingan teknis mengenai perspektif disabilitas serta Pemilu yang inklusif dan aksesibel juga perlu diberikan kepada penyelenggara Pemilu dan Pilkada di semua tingkatan.
4.
Untuk menjamin keterwakilan Disabilitas di Parlemen ada beberapa upaya yang bisa dilaksanakan yaitu: 1). Menjalinkaukus politik untuk memastikan
keterwakilan isu Disabilitas di parlemen; 2) Langkah afirmasi, yaitu dengan
mendorong adanya kuota 5-15%
keterwakilan Penyandang Disabilitas baik itu di parlemen maupun dalam kandidasi di tingkat partai politik; 3). Melakukan judicial review atas kebijakan Pemilu.
16
Bagian XI
Rekomendasi Sektor Peradilan Inklusif dan Akses terhadap Keadilan
Dalam sejumlah diskusi Temu Inklusi 2020 pada tema peradilan, Kami memberikan apresiasi kepada Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Kementerian PPN yang telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai upaya dan terobosan mengatasi segala tantangan yang ada untuk mewujudkan akomodasi yang layak, proses peradilan yang setara, bagi penyandang disabilitas;
Namun disamping capaian-capaian yang sudah diperoleh tersebut, kita sama-sama menyadari bahwa masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan.
Bahwa belum ada satupun instansipenegak hukum yang melakukan
pendataaan secara seragam dan
terstandarisasi atas penyandang
disabilitas yang berhadapan dengan hukum,
Bahwa belum semua unit-unitpenyelenggara layanan dari instansi penegak hukum memiliki sarana dan prasarana yang aksesibel bagi setiap tipe penyandang disabilitas,
Bahwa belum ada satupun instansipenegak hukum yang memiliki dan menerapkan standar prosedur layanan
yang sesuai, atau, memberikan
akomodasi yang layak secara
menyeluruh bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,
Bahwa jumlah penegak hukum danaparatur yang memiliki pemahaman
mengenai bagaimana memberikan
pelayanan dan menjalankan proses peradilan bagi penyandang disabilitas masih sangat sedikit,
Bahwa layanan yang sesuai yangdibutuhkan oleh penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, yaitu bantuan hukum, layanan penerjemah,
layanan psikolog/psikiater dan
pendamping khusus, masih sangat minim—mendekati tidak ada, yang disediakan oleh negara,
Bahwa belum ada satupun instansipenegak hukum yang memonitor dari waktu ke waktu pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses hukum yang menjadi tugasnya.
Berefleksi atas kondisi-kondisi tersebut, dengan kerendahan hati, kami memohon agar usulan dan rekomendasi yang kami sampaikan berikut ini dapat diterima dan dijalankan oleh masing-masing instansi penegak hukum.
Kepada Kepolisian Republik Indonesia, dengan memahami bahwa Kepolisian adalah
instansi yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya terwujudnya peradilan yang adil bagi kami penyandang disabilitas, kami merekomendasikan untuk:
17
1.
Segera menerapkan prosedur penilaian personal dalam setiap perkara yangmelibatkan penyandang disabilitas,
untuk mengetahui hambatan yang
dialami oleh setiap penyandang
disabilitas dalam menjalani proses peradilan, dan menyediakan layanan yang sesuai berdasarkan hasil penilaian atau asesmen tersebut, sesuai ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 PP No. 39/2020;
2.
Mempersiapkan komponen anggarankhusus, dan/atau membentuk
mekanisme lain yang memungkinkan tersedianya layanan bantuan hukum dan layanan-layanan lain yang diperlukan oleh penyandang disabilitas untuk menjalani proses peradilan dengan akomodasi yang layak;
3.
Menyesuaikan prosedur-prosedur yangberlaku dalam proses penyelidikan dan penyidikan agar sesuai dengan jaminan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan, sebagaimana diakui dan diatur dalam instrumen-instrumen internasional dan nasional, terutama, PP No. 39/2020;
4.
Menyediakan sarana dan prasarana yangsesuai dengan kebutuhan setiap tipe disabilitas yang akan menggunakan
layanan atau menjalani proses hukum di kantor-kantor pelayanan Kepolisian;
5.
Menyediakan petugas, aparat penegakhukum yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas
tipe-tipe disabilitas dan kebutuhan
khususnya, yang mampu menjalankan proses peradilan yang adil sekaligus mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas—termasuk bagi mereka yang paling rentan, yaitu perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta penyandang disabilitas mental dan psikososial;
6.
Menetapkan hasil penilaian personalterhadap penyandang disabilitas yang terlibat dalam proses peradilan sebagian persyaratan dan kelengkapan berkas perkara yang akan dilimpahkan kepada instansi dan lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan dan Pengadilan; dan,
7.
Segera menyusun rencana kerja untuk mengimplementasikan dan memantau pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.Kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia, sebagai instansi penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan, kami memandang Kejaksaan juga turut bertanggungjawab atas memenuhi syarat atau tidaknya hasil penyidikan Kepolisian yang akan digunakan dalam proses penuntutan. Untuk itu, kami merekomendasikan untuk:
1.
Mensyaratkan Kepolisian untukmenyertakan dan menjelaskan
pelaksanaan pemenuhan hasil penilaian personal yang dilaksanakan terhadap penyandang disabilitas yang berhadapan
dengan hukum dalam berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan kepada Kejaksaan, dan menyatakan berkas perkara tidak dapat diterima tanpa kelengkapan tersebut;
18
2.
Mempersiapkan komponen anggarankhusus, dan/atau membentuk
mekanisme lain yang memungkinkan tersedianya layanan bantuan hukum dan layanan-layanan lain yang diperlukan oleh penyandang disabilitas untuk menjalani proses di tahap penuntutan dan persidangan;
3.
Menyesuaikan prosedur-prosedur yangberlaku dalam proses penyidikan dan penuntutan agar sesuai dengan jaminan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan, sebagaimana diakui dan diatur dalam instrumen-instrumen internasional dan nasional, terutama, PP No. 39/2020;
4.
Menyediakan sarana dan prasarana yangsesuai dengan kebutuhan setiap tipe disabilitas yang akan menggunakan layanan atau menjalani proses hukum di kantor-kantor Kejaksaan;
5.
Menyediakan petugas, aparat penegakhukum yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas
tipe-tipe disabilitas dan kebutuhan
khususnya, yang mampu menjalankan proses peradilan yang adil sekaligus mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas—termasuk bagi mereka yang paling rentan, yaitu perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta penyandang disabilitas mental dan psikososial;
6.
Menyertakan pernyataan tentangterpenuhinya seluruh kebutuhan khusus yang teridentifikasi dalam penilaian
personal terhadap penyandang
disabilitas dalam setiap perkara, dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan dalam berkas perkara yang akan dilimpahkan ke Pengadilan; dan
7.
Segera menyusun rencana kerja untuk mengimplementasikan dan memantau pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.Kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, sebagai benteng terakhir penegakan HAM
di negara ini, untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:
1.
Mensyaratkan Kejaksaan untukmenyertakan pernyataan tentang
terpenuhinya seluruh kebutuhan
khusus yang teridentifikasi dalam
penilaian personal terhadap
penyandang disabilitas dalam perkara yang bersangkutan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan dalam berkas perkara yang akan dilimpahkan ke Pengadilan, dan menyatakan berkas perkara tidak dapat diterima tanpa kelengkapan tersebut;
2.
Mempersiapkan komponen anggarankhusus, dan/atau membentuk
mekanisme lain yang memungkinkan tersedianya layanan bantuan hukum
dan layanan-layanan lain yang
diperlukan oleh penyandang disabilitas untuk menjalani proses persidangan;
3.
Menyesuaikan prosedur-prosedur yangberlaku dalam proses pelayanan administrasi dan perkara di pengadilan agar sesuai dengan jaminan hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana
19
diakui dan diatur dalaminstrumen-instrumen internasional dan nasional, terutama, PP No. 39/2020;
4.
Menyediakan sarana dan prasaranayang sesuai dengan kebutuhan setiap
tipe disabilitas yang akan
menggunakan layanan atau menjalani proses hukum di setiap pengadilan;
5.
Menyediakan petugas dan hakim yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas tipe-tipe disabilitas dan kebutuhan khususnya, yang mampu menjalankan proses peradilan yang adil sekaligus mewujudkanakomodasi yang layak bagi
penyandang disabilitas—termasuk bagi mereka yang paling rentan, yaitu perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta penyandang disabilitas mental dan psikososial;
6.
Mensyaratkan hakim untukmempertimbangkan terpenuhi atau tidaknya hak-hak dan kebutuhan
khusus penyandang disabilitas,
sebagaimana teridentifikasi dalam
penilaian personal terhadap
penyandang disabilitas dalam perkara tersebut, sebelum mengambil putusan dalam setiap jenis perkara, yaitu perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; dan
7.
Segera menyusun rencana kerja untuk mengimplementasikan dan memantaupemenuhan ketentuan-ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
20
Bagian XII
Rekomendasi Sektor Perlindungan Konsumen yang Inklusif Disabilitas
Dalam diskusi tematik perlindungan konsumen, tercatat bahwa sejauh ini,, disabilitas belum menjadi perspektif dalam penyelenggaran perlindungan konsumen. Hal ini dibuktikan dengan pertama, masih minimnya keberpihakan bagi kelompok konsumen rentan dalam kerangka kebijakan utama perlindungan konsumen seperti UU perlindungan konsumen dan aturan turunannya. Kedua, belum adanya upaya edukasi perlindungan dan hak konsumen yang menjangkau kelompok masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas. Ketiga, aksesibilitas informasi, serta keterjangkauan mekanisme aduan yang masih sangat menjadi hambatan bagi kelompok konsumen penyandang disabilitas.
Atas catatan di atas, Temu Inklusi 2020 menyampaikan rekomendasi di bawah ini untuk dipertimbangkan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), serta para pihak lainnya yang bertanggungjawab, dan mempunyai peran pendukung dalam penegakan perlindungan konsumen:
1.
Perlunya amandemen UU perlindungankonsumen agar lebih berperspektif hak azazi manusia, serta harmonisasinya terhada UU disabilitas agar lebih memunculkan substansi perlindungan
bagi kelompok rentan, termasuk
konsumen dengan disabilitas. Perubahan regulasi ini merupakan hal mendasar yang akan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen bagi penyandang disabilitas, baik oleh negara maupun aktor non pemerintah, seperti dunia usaha.
2.
Perlunya dikembangkan dandisosialisasikan panduan
penyelenggaraan dan penyampaian komunikasi / informasi yang aksesibel mengenai produk dan jasa, baik online maupun offline.
3.
Lembaga perlindungan konsumenseperti BPKN dan YLKI perlu
memprioritaskan edukasi hak dan perlindungan konsumen yang inklusif, dengan menyasar kelompok konsumen
rentan seperti penyandang disabilitas.
Bagian dari edukasi ini, selain
memberikan pemahaman akan hak dan prlindungan kosumen, juga memastikan konsumen kelompok rentan dapat mengakses sarana pengaduan dan pendampingan ketika hak mereka sebagai konsumen terlanggar.
4.
Untuk mendukung pelaksanaanperlindungan dan edukasi konsumen kelompok rentan, negara, melalui
kementerian yang sesuai, perlu
mengalokasikan perencanaan dan
penganggaran sesuai kebutuhan, serta
mempromosikan keterlibatan dan
partisipasi aktif penyandang disabilitas dan organisasinya.
5.
Lembaga yang bertugas melakukanpengawasan atas perlindungan
konsumen perlu memfokuskan obyek
pengawasan kepada pelaksanaan
perlindungan konsumen bagi kelompok
rentan, dengan secara berkala
21
perlindungan dan penanganan kasuspelanggaran hak yang dialami oleh konsumen kelompok rentan, serta menjadikannya sebagai evaluasi dalam
peningkatan perlindungan bagi
konsumen dengan disabilitas.
6.
Lembaga yang bertanggungjawab dalamupaya pemenuhan perlindungan hak
konsumen perlu mempromosikan
layanan non-diskriminasi terhadap
ragam konsumen, termasuk mereka dengan disabilitas psikososial. Promosi dan edukasi ini perlu dilakukan dengan menyasar para pelaku usaha dan penyedia barang maupun jasa. Hal ini perlu diikuti dengan penyediaan sistem dukungan untuk melakukan pembelaan
dan pendampingan atas kasus
diskriminasi dan pelanggaran
yangdialami oleh konsumen dengan disabilitas.
22
Rekomendasi di atas disarikan dari sejumlah diskusi dan seminar yang berlangsung sepanjang penyelenggaraan Temu Inklusi 2020. Segenap peserta Temu Inklusi 2020 berharap rekomendasi ini dapat menjadi perhatian bagi pemerintah, nasional maupun daerah, lembaga-lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, organisasi penyandang disabilitas, maupun berbagai pihak terkait lainnya, untuk turut serta berkontribusi lebih aktif dalam pengarusutamaan inklusi disabilitas di berbagai sektor.Kepada organisasi dan komunitas disabilitas, Temu Inklusi dan rekomendasi ini bukanlah Akhir dari apa yang kita akan sama-sama kerjakan. Seperti sebelumhya, usai kegiatan ini, kita akan kembali berada bersama masyarakat dan kelompok penyandang disabilitas yang kita dampingi, menangani kasus, mengisi ruang-ruang pengambilan keputusan bersama masyarakat lainnya, menyumbangkan gagasan, serta melanjutkan kerja-kerja pengorganisasian yang belum usai. Negara, melalui PP 70/2019 dan banyak regulasi lain telah Menjamin partisipasi kita, maka mari kita ambil ruang itu, dan mengisinya sebaik mungkin untuk memberikan makna lebih dan dampak nyata untuk pemenuhan hak yang lebih baik bagi 15% rakyat Indonesia.
Kepada semua perwakilan pemerintahan, lembaga negara, mitra pembangunan, maupun organisasi masyarakat sipil yang telah sama-sama menjadi bagian dari Temu Inklusi 2020, mari kita jaga komitmen bersama ini. Apa yang dituangkan ke dalam pokok pikiran hasil Temu Inklusi ini adalah gagasan dan telah menjadi komitmen kita bersama untuk mewujudkannya.
Akhirnya, diucapkan Terimakasih kepada semua pihak yang telah menjadi bagian dalam Temu Inklusi 2020. Semoga kegiatan ini terus memberikan tanda atas menguatnya pemenuhan hak dan inklusi disabilitas menuju Indonesia Inklusi 2030. Sampai jumpa dengan karya, cerita Baik, dan perubahan-perubahan yang lebih besar dalam dua tahun mendatang.
Atas nama Temu Inklusi 2020 Panitia Pengarah dan Pelaksana