• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOKUMEN HASIL MEMAJUKAN INISIATIF, KARAKTER DAN BUDAYA DARI PRAKTIK KE KEBIJAKAN: MENUJU INDONESIA INKLUSIF September Januari 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DOKUMEN HASIL MEMAJUKAN INISIATIF, KARAKTER DAN BUDAYA DARI PRAKTIK KE KEBIJAKAN: MENUJU INDONESIA INKLUSIF September Januari 2021"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

dokumen hasil

(2)

1

DOKUMEN HASIL

DARI PRAKTIK KE KEBIJAKAN:

MEMAJUKAN INISIATIF, KARAKTER DAN BUDAYA

MENUJU INDONESIA INKLUSIF 2030

9 September 2020 – 14 Januari 2021

ami peserta Temu Inklusi 2020 yang merupakan perwakilan organisasi Difabel / Penyandang Disabilitas,

organisasi masyarakat sipil, tokoh

masyarakat, organisasi / program mitra pembangunan Indonesia, serta perwakilan pemerintah daerah dan kementerian / lembaga, yang merupakan pegiat gerakan inklusi disabilitas di Indonesia, sejak 9 September 2020 hingga 14 Januari 2021, telah berkumpul dalam forum Temu Inklusi 2020 secara daring yang diinisiasi oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), serta mitra organisasi masyarakat sipil, aktor pembangunan yang inklusif, dan pemerintah penggerak inklusi disabilitas di Indonesia.

Temu Inklusi 2020 diselenggarakan untuk kali ke empat, sebagai forum dua tahunan

untuk merefleksikan perkembangan

perwujudan Indonesia inklusi, serta menggali strategi baru yang dapat mempercepat

upaya perwujudan masyarakat dan bangsa Indonesia yang inklusif. Dengan tema ‘DARI PRAKTIK KE KEBIJAKAN: MEMAJUKAN INISIATIF, KARAKTER DAN BUDAYA MENUJU INDONESIA INKLUSIF 2030’, kami meyakini bahwa inovasi dan gagasan kreatif, baik lokal atau nasional, perlu dilihat sebagai solusi alternatif dalam mengatasi ketimpangan bagi kelompok rentan, utamanya masyarakat Difabel, dimana ekslusi sosial masih menjadi salah satu masalah utamanya. Kami, yang bekerja di berbagai sektor isu dan komponen pembangunan, juga yakin bahwa kolaborasi berbagai pihak untuk menjawab masalah ekslusi Difabel sangat dibutuhkan, karena isu Difabel merupakan isu lintas sektor, lintas disiplin, multi expertees, dan karenanya, sangat tidak tepat untuk menempatkan isu Difabel sebagai sebuah isu sektoral.

Kami meyakini, bahwa Indonesia adalah rumah kebhinnekaan,dimana keberragaman

(3)

2

setiap warga negara, tanpa terkecuali

penyandang disabilitas, diakui, dihormati, serta selayaknya memperoleh ruang yang

setara dan adil. Penghargaan,

penghormatan, serta akomodasi atas berragam perbedaan serta kebutuhan itulah yangdimaksudkan sebagai ‘inklusi’. Untuk itu, kami yakin, bahwa sangat penting untuk terus membawa semangat dan falsafah ‘Bhinneka Tunggal Ika’, tidak berhenti dalam prinsip dan alam pemikiran, tetapi membumi dalam keseharian serta kerja kolektif kita dalam memajukan bangsa.

Dalam forum aktor inklusi disabilitas lintas pemangku kepentingan ini, Kami melakukan serangkaian diskusi mendalam melalui seminar, curah gagasan, serta lokakarya tematik untuk sejumlah isu penting yang mengemuka serta menjadi agenda kerja sejumlah aktor di tingkat daerah dan pusat, dari Desa hingga ke nasional.

Dalam Temu Inklusi 2020, sejumlah 3 seminar nasional, 12 diskusi tematik, serta

beberapa creative event telah

diselenggarakan yang mempertemukan komunitas disabilitas dengan berbagai pemangku kepentingan baik pemerintah, swasta, akademisi, provesional serta

pihak-pihak lainnya untuk bersama-sama

memetakan situasi dan mengumpulkan

solusi-solusi baik dalam menjawab

permasalahan eksklusi yang masih dialami penyandang disabilitas di berbagai sektor seperti pendidikan, ekonomi dan pekerjaan, layanan kesehatan dan perlindungan sosial, hingga akses dan perlindungan hukum dan partisipasi politik.

Kami,Peserta Temu Inklusi 2020,

mengapresiasi sejumlah kemajuan yang telah diupayakan dan dihasilkan oleh Pemerintah dalam dua tahun terakhir sejak dilaksanakannya Temu Inklusi 2018. Dalam hal kemajuan regulasi, Setidaknya, dua Peraturan Presiden dan 6 Peraturan Pemerintah turunan UU Disabilitas telah

disahkan. Regulasi turunan tersebut

mengatur pemenuhan hak penyandang disabilitas di berbagai sektor yang

mencakup perlindungan hukum da

peradilan, kesejahteraan sosial, pendidikan, pekerjaan, habilitasi dan rehabilitasi, hingga monitoring pemenuhan hak penyandang disabilitas dan pembentukan komisi nasional disabilitas (KND). Merujuk pernyataan Bapak Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo dalam sambutan beliau pada acara puncak Hari Internasional Disabilitas pada 3 Desember 2020 lalu, regulasi terkait pemenuhan hak penyandang disabilitas yang sudah ada perlu didorong agar implementasinya maksimal dan memberikan dampak bagi kehidupan dan pemberdayaan secara nyata. ‘Implementasi yang efektif’ adalah kata kunci yang menurut peserta Temu Inklusi 2020 perlu dikawal dan dikuatkan bersama-sama melalui partisipasi penyandang disabilitas dalam memonitor

dan mengevaluasi program-program

pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dalam seminar dan diskusi daring yang dilakukan, peserta Temu Inklusi juga memetakan sitausi dan permasalahan inklusi disabilitas di berbagai sektor penghidupan. Atas sejumlah catatan refleksi dan temuan tersebut, Kami, peserta Temu Inklusi 2020

menyepakati dan menyampaikan

(4)

3

Bagian I

Rekomendasi Sektor Partisipasi dan pelibatan Efektif Penyandang Disabilitas

dalam Perencanaan, Implementasi dan Monitoring

Sejumah praktik baik di berbagai daerah menunjukkan bahwa inklusi disabilitas dalam berbagai sektor program pembangunan hanya dapat secara efektif terbangun jika penyandang disabilitas terlibat dan berpartisipasi aktif sebagai aktor, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, hingga pengawasan, monitoring maupun evaluasi. Pelibatan efektif dalam sistem perencanaan mulai dari tingkat desa terbukti menghasilkan perencanaan yang lebih akurat dan menjawab kebutuhan masyarakat dengan ragam kebutuhan.

Lahirnya PP no.70 tahun 2019 tentang perencanaan, penyelenggaraan dan evaluasi pemenuhan hak penyandang disabilitas telah memberikan kerangka atas jaminan penuh partisipasi penyandang disabilitas. Regulasi ini perlu didorong implementasinya bukan hanya di beberapa daerah dimana pengorganisasian penyandang disabilitas telah terbangun kuat, melainkan menjadi standar yang dilaksanakan di seluruh daerah. Untuk itu, Temu Inklusi 2020 merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

1.

Keterlibatan disabilitas di semua forum pengambilan keputusan publik di Desa, Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, dan Nasional. Upaya melibatkan penyandang

disabilitas untuk memahami isu

disabilitas harus dilakukan mulai dari

perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi.

2.

Mengakselerasi pendataan dari sisi

cakupan maupun kualitas. Hal ini dilaksanakan khususnya dalam lingkup

administrasi kependudukan dan

pencatatan sipil, Data Terpadu

Kesejahteraan Sosial, dan registrasi sosial menggunakan platform Sistem Informasi Desa atau yang sejenis bekerjasama

dengan organisasi penyandang

disabilitas.

3.

Forum khusus/tematik bagi penyandang

disabilitas/kelompok rentan lainnya

diperlukan sebagai langkah afirmasi untuk mengakselerasi pelaksanaan RIPD

dan integrasinya dalam proses

musrenbang yang tercermin dalam

dokumen perencanaan dan

penganggaran pembangunan.

4.

Mendorong kerjasama multi-pihak

dalam merancang dan melaksanakan berbagai terobosan pemberdayaan dan perbaikan pelayanan publik secara berkesinambungan.

5.

Mempromosikan replikasi dan

keberlanjutan berbagai inovasi didukung oleh kementerian / lembaga dan Pemda, melalui berbagai forum dan media pembelajaran.

(5)

4

Bagian II

Rekomendasi Sektor Pengarusutamaan Gender dan Disabilitas

Perempuan penyandang disabilitas adalah kelompok dengan kerentanan berlapis dan berpotensi mengalami berbagai bentuk diskriminasi berganda, sebagai Perempuan, dan penyandang disabilitas. Tingginya angka kekerasan dan exploitasi yang dialami oleh Perempuan penyandang disabilitas, setidaknya berdasarkan data organisasi pendamping difabel berhadapan dengan hukum, membuktikan betapa kurangnya perlindungan yang menjamin pembelaan dan kepastian hukum bagi Perempuan penyandang disabilitas. Pun demikian, Perempuan dengan disabilitas menunjukkan kesempatan partisipasi yang lebih sedikit dibanding laki-laki. Catatan ini hanya mewakili bagian yang lebih besar dari isu gender dan disabilitas, serta kepemimpinan perempuan dengan disabilitas.

Atas catatan di atas, Berikut beberapa rekomendasi yang disampaikan:

1.

Upaya pengarusutamaan gender dan

peningkatan partisipasi Perempuan oleh

kementerian Pemberdayaan dan

Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPPA) dan berbagai pihak terkait perlu memastikan di dalamnya partisipasi perempuan dengan disabilitas. Hal ini

hanya dapat dilakukan dengan

mengenali, serta meminimalkan

hambatan bagi Perempuan dengan disabilitas agar dapat berpartisipasi secara setara pada ruang-ruang maupun program yang dilaksanakan.

2.

Program perlindungan atas Perempuan

dan anak perlu ditingkatkan

perspektifnya dengan mengenali dan mengakomodasi kebutuhan perempuan

dan anak dengan disabilitas.

Sebagaimana diketahui, perempuan dan anak Perempuan dengan disabilitas mempunyai kebutuhan yang lebih kompleks Karena status mereka sebagai Perempuan / anak dengan disabilitas.

Kelompok perempuan dan anak adalah kelompok yang beresiko tinggi atas perlakuan tidak adil karena minimnya

ruang partisipasi dan Tindakan

kekerasan karena lemahnya

perlindungan hukum yang berperspektif gender, perlu menjadi pertimbangan bagi program-program perlindungan perempuan dan anak, Baik yang diinisiasi oleh pemerintah maupun masyarakat.

3.

Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, termasuk organisasi perempuan, serta organisasi penyandang disabilitas perlu

mempromosikan keterlibatan dan

representasi perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas pada ruang-ruang publik dan pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan (langsung maupun tidak) dengan

kepentingan dan pemenuhan

(6)

5

Bagian III

Rekomendasi Sektor Pemenuhan HAM Orang dengan Disabilitas Psikososial.

Salah satu di antara ragam disabilitas yang memiliki situasi-situasi khusus, tetapi masih kerap dilupakan dalam agenda-agenda pembangunan di Indonesia adalah disabilitas psikososial. Orang dengan disabilitas psikososial (ODP) adalah orang-orang yang mengalami hambatan-hambatan struktural akibat masalah kejiwaan yang mereka alami dan persepsi masyarakat luas terhadap mereka.

Kurangnya pemahaman yang tepat mengenai ODP, ditambah struktur regulasi yang tidak memberikan ruang atas perlakuan yang adil bagi ODP, menyebabkan terrampasnya keadilan dan penikmatan hak yang setara bagi ODP. Mereka bahkan dengan mudah dapat diambil kapasitas hukumnya oleh orang-orang yang menjadi pengampu Tanpa persetujuan dan kehendak mereka. Perlakuan ketidakadilan secara struktural dan kultural ini perlu dijawab dengan upaya-upaya kolektif dan sistematis untuk membangun sistem hukum dan perlindungan HAM yang lebih memberikan keadilan bagi mereka.

Berdasarkan pemaparan di atas, ada beberapa rekomendasi yang mencuat dalam diskusi temu inklusi bertemakan disabilitas psikososial. Rekomendasi-rekomendasi tersebut dibuat tersegmen sesuai dengan lembaga-lembaga negara yang berwenang.

Kementerian Hukum dan HAM

1. Membuat instrumen-instrumen hukum terkait yang mendorong aparat penegak

hukum dan lembaga-lembaga terkait untuk menghargai kapasitas hukum ODP, dan menyediakan bantuan yang diperlukan bagi mereka untuk melaksanakan kapasitas hukumnya.

2. Mendorong lahirnya pokja disabilitas psikososial berisikan lembaga-lembaga

pemerintah terkait dan OPD sehingga mempermudah koordinasi kerja-kerja penegakan HAM bagi ODP.

Kementerian Sosial

1. Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap praktik-praktik perampasan kapasitas hukum di panti-panti rehabilitasi sosial evaluasi terhadap pemberian izin;

2. Mencabut izin atau bantuan finansial dari panti-panti rehabilitasi yang terbukti melakukan perampasan kemerdekaan, kekerasan, pemberian gizi buruk, tindakan-tindakan disipliner yang merendahkan martabat manusia, serta perlakuan-perlakuan buruk lainnya yang tidak sesuai dengan CRPD.

3. Melakukan revitalisasi sistem rehabiltasi sosial berkaitan dengan kesehatan jiwa yang mengubah struktur panti dari tempat detensi menjadi asrama sementara bagi ODP.

(7)

6

Kementerian Kesehatan

1. Melakukan evaluasi terhadap penanganan pasien di Rumah Sakit Jiwa untuk

memastikan tidak adanya lagi perawatan paksa tanpa alasan jelas, rawat inap tanpa batas waktu, kekerasan, ataupun tindakan-tindakan medis yang bertentangan dengan standar Hak Asasi Manusia, seperti Terapi Elektrokonvulsif (ECT).

2. Memastikan tidak ada Surat Keterangan Kesehatan Jiwa yang disalahgunakan oleh psikiater ataupun keluarga pasien untuk merampas kebebasan atau kapasitas hukum ODP.

Mahkamah Agung

1. Memastikan implementasi akomodasi yang layak bagi ODP sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

2. Menyusun Perma atau SEMA yang mengatur lebih detail tentang pemeriksaan

perkara pengampuan sehingga bisa mendorong hakim untuk mempertimbangkan keterangan dari calon terampu, ahli-ahli terkait, serta organisasi penyandang disabilitas.

3. Melakukan sensitisasi hakim-hakim yang menangani kasus-kasus pengampuan

sehingga mampu untuk memberikan penetapan secara berhati-hati dan tetap menghargai kapasitas hukum orang tersebut.

Kepolisian

1. Memastikan implementasi akomodasi yang layak bagi ODP sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

2. Melakukan sensitisasi HAM dan isu disabilitas terhadap personil kepolisian agar mereka memperlakukan ODP yang berkonflik dengan hukum secara setara dan menghargai martabat mereka.

3. Melakukan penyidikan terhadap dugaan kasus pelanggaran hak atas kebebasan, penganiayaan, kekerasan seksual, dan perlakuan buruk lainnya yang dialami oleh ODP di panti rehabilitasi, rumah sakit jiwa, ataupun institusi-institusi lain yang menampung ODP.

Dirjenpas

1. Memastikan implementasi akomodasi yang layak bagi ODP sesuai dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

2. Memastikan ketersediaan dan aksesibilitas layanan kesehatan jiwa yang

(8)

7

Bagian IV:

Rekomendasi Sektor Pendataan Disabilitas

Hingga saat ini, data penyandang disabilitas yang terupdate dan akurat masih menjadi tantangan besar, dimana data nasional disabilitas saat ini masih didasarkan pada survey yang tidak mencerminkan data sebenarnya, sehingga belum dapat menjadi acuan perencanaan program secara tepat di berbagai sektor. Beberapa daerah, melalui kerjasama berbagai pihak telah menunjukkan praktik baik pendataan disabilitas, baik di tingkat Desa maupun Kabupaten. Hal ini semestinya dapat diadopsi menjadi model yang dilakukan secara nasional. Atas catatan tersebut, Temu Inklusi merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Aspek Kebijakan:

a.

Sinkronisasi antara Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa, dan perundang-undangan

lainnya dengan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2016 tentang

Penyandang Disabilitas, untuk

memperjelas dan memastikan

keterlibatan penuh Pemerintah Daerah

dan Desa dalam pendataan

penyandang disabilitas;

b.

Percepatan implementasi RIPD dalam penyusunan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas dan Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas

Provinsi dalam perencanaan

pelaksanaan pendataan penyandang disabilitas;

c.

Pelibatan penyandang disabilitas

dan/atau organisasi penyandang

disabilitas dalam penyusunan RANPD dan/atau RADPD;

d.

Meningkatkan kesempatan partisipasi

penyandang disabilitas dan/atau

organisasi penyandang disabilitas dalam musyawarah perencanaan pada tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten dan Provinsi untuk memastikan dan mengawal implementasi RADPD;

e.

Mendorong Pemerintah Desa,

Kecamatan, Kabupaten/Kota dan

Provinsi menetapkan kebijakan

pendataan inklusif disabilitas yang akan dapat terus dilaksanakan secara rutin meskipun terjadi pergantian kepemimpinan;

2. Aspek Sistem Database

a.

Sinkronisasi sistem informasi atau database yang telah tersedia dari tingkat Desa (SID/SAID/SDDK) hingga Pusat/Nasional (Sisminduk) untuk

memastikan setiap penyandang

disabilitas di Indonesia memiliki

Nomor Induk Kependudukan dan Nomor Kartu Keluarga;

b.

Pemutakhiran data penyandang

disabilitas secara rutin, setidaknya 2 tahun sekali seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8

(9)

8

Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas;

c.

Integrasi data populasi penyandang disabilitas tingkat Desa ke dalam

Sistem Informasi Administrasi

Kependudukan;

3. Aspek Pendataan

a.

Pendekatan yang dipergunakan

adalah bottom-up, dimana pendataan penyandang disabilitas dilakukan dari tataran Desa yang mencakup seluruh RT/RW/Dusun/Kampung;

b.

Pelibatan semua komponen

masyarakat dari penyandang

disabilitas, kader-kader tingkat

RT/RW/Dusun/Kampung (PKK,

Posyandu, dan lainnya), organisasi

penyandang disabilitas, aparatur

Desa, pendamping, TKSK, aparatur sipil negara di tingkat kecamatan / kabupaten / kota / provinsi dari berbagai dinas, dan lainnya;

c.

Instrumen yang sederhana dan

mudah dipergunakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pendataan penyandang disabilitas. Instrumen mencakup indikator demografi dasar dan indicator spesifik disabilitas. Indikator data demografi dasar adalah indikator yang dipergunakan Dukcapil untuk penetapan NIK dan Nomor Kartu Keluarga. Sedangkan indikator spesifik disabilitas mencakup jenis dan tingkat hambatan yang dialami, kebutuhan atau dukungan yang dibutuhkan, dan biaya tambahan disabilitas;

4. Aspek Pembiayaan

a.

Mendorong Desa untuk menetapkan

pendataan dan pemutakhiran data

penduduk desa, termasuk

penyandang disablitas, sebagai mata anggaran rutin dalam pengelolaan dan pemanfaatan Dana Desa;

b.

Mendorong Pemerintah Pusat hingga

Pemerintah Daerah agar

mengalokasikan anggaran untuk

penyempurnaan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan yang

inklusif disabilitas, pelaksanaan

pendataan penyandang disabilitas, dan serta update dan pemutakhiran data penyandang disabilitas secara periodik.

c.

Mendorong Pemerintah Pusat hingga

Pemerintah Daerah untuk

menganggarkan penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas sebagai salah satu bentuk validasi data penyandang disabilitas.

(10)

9

Bagian V

Rekomendasi Sektor Perwujudan Desa Inklusi untuk Memastikan Inklusi

Disabilitas hingga tingkat Desa

Model dan percontohan Desa Inklusi telah dimulai sejak tahun 2015, dimulai dari Yogyakarta, yang saat ini telah menyebar di lebih dari 160 Desa di beberapa provinsi. Organisasi penyandang disabilitas bersama sejumlah program pembangunan telah bekerja bersama Desa dan Kementerian Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal dalam memperkuat piloting tersebut. Bahkan, panduan Desa Inklusi telah dikeluarkan oleh Kementerian Desa sebagai upaya untuk mendorong lebih banyak Desa yang menjadikan perspektif inklusi dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan.

Atas catatan tersebut, berikut beberapa rekomendasi Temu Inklusi:

1.

Kementerian Desa dan Pembangunan

Desa Tertinggal agar menguatkan kebijakan serta sistem pendukung dalam rangka memberikan stimulus replikasi Desa Inklusi. Potensi lokal Desa, serta

kekayaan ragam budaya perlu

dioptimalkan sebagai pijakan penguatan perspektif inklusi dalam pembangunan di Desa. Selain itu, monitoring atas keberhasilan program pembangunan di Desa perlu menggunakan tolok ukur kemampuan Desa menjawab permasalah eksklusi sosial pada masyarakat rentan, termasuk di dalamnya penyandang disabilitas.

2.

KEMENDES PDT perlu mendorong Desa

untuk mengoptimalkan pemberdayaan ekonomi yang inklusif melalui penguatan

BUMDes sebagai platform

pemberdayaan ekonomi masyarakat yang menyasar penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.

3.

KEMENDES PDT bersama pemerintah

daerah agar memfasilitasi forum belajar dalam mewujudkan Desa Inklusi sebagai upaya untuk memperluas pengetahuan

dan kemampuan Desa dalam

menerapkan perspektif inklusi dalam pembangunan Desa.

(11)

10

Bagian VI

Rekomendasi Sektor Ketenagakerjaan

Pemerataan kesempatan kerja yang inklusif disabilitas merupakan salah satu prioritas dalam menjawab tingginya angka pengangguran penyandang disabilitas. Mweski hal ini telah diatur dalam UU Disabilitas dan turunannya, lahirnya UU Cipta Kerja seolah menegasikan regulasi yang telah memberikan penguatan perlindungan penyandang disabilitas di sektor pekerjaan. Selain itu, minimnya data angkatan kerja penyandang disabilitas serta akses terhadap pelatihan yang minim menjadi permasalahan penting yang perlu dijawab. Atas catatan tersebut, Temu Inklusi 2020 menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:

1.

Perlunya peninjauan kembali UU Cipta Kerja secara partisipatif dan transparan

dengan melibatkan

organisasi-organisasi atau kelompok-kelompok penyandang disabilitas dari berbagai provinsi di Indonesia.

2.

Penyediaan database angkatan kerja

penyandang disabilitas yang proses

penyusunannya melibatkan

kelompok/organisasi penyandang

disabilitas dan merujuk pada inisiatif pendataan yang telah dilakukan di berbagai wilayah oleh organisasi disabilitas. Database dapat diakses publik dan diperbaharui secara berkala serta menjadi dasar merancang program kegiatan para pihak baik pemerintah, penyedia kerja, pusat-pusat pelatihan, dan pihak lain yang berkepentingan

seperti organisasi penyandang

disabilitas.

3.

Perlu disusun regulasi perihal sistem dan mekanisme monitoring dan evaluasi serta mekanisme penghargaan dan sanksi untuk mengawal implementasi aturan kuota perekrutan penyandang disabilitas oleh penyedia kerja baik

perusahaan swasta maupun

instansi/badan usaha pemerintah.

4.

Diperlukan kolaborasi antara

pemerintah, sektor swasta, maupun kelompok disabilitas dalam mendorong terlaksananya inisiatif-inisiatif program

yang mendukung ketenagakerjaan

inklusif seperti perekrutan Aparatur Sipil Negara dan karyawan BUMN dari penyandang disabilitas, pemagangan, penyediaan akomodasi yang layak di lingkungan kerja, dan pengawalan proses penempatan kerja bagi angkatan kerja disabilitas yang telah menjalani proses pemagangan.

5.

Perlu dikembangkan strategi yang

komprehensif untuk meningkatkan

kapasitas angkatan kerja disabilitas, baik melalui pendidikan maupun pelatihan vokasi inklusif berkualitas.

6.

Perlu disusun skema jaminan sosial

tenaga kerja disabilitas pada sektor informal seperti Kartu Prakerja Inklusif serta BPJS Kesehatan dan BPJS

Ketenagakerjaan bagi penyandang

disabilitas yang bekerja pada sektor informal.

(12)

11

Bagian VII

Rekomendasi Sektor Infrastruktur Inklusif Disabilitas

Salah satu hambatan terbesar bagi penyandang disabilitas adalah infrastruktur dan sarana publik yang belum sepenuhnya menjamin aksesibilitas dan menerapkan standar desain yang aksesibel. Disahkannya Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2020 tentang Aksesibilitas Sarana Publik dan Permukiman serta Perlindungan dalam situasi bencana bagi penyandang disabilitas, serta sejumlah aturan yang telah ada sebelumnya perlu didorong percepatan implementasinya.

Atas catatan tersebut, Berikut beberapa rekomendasi untuk mendorong terwujudnya infrastruktur yang inklusif:

PARTISIPASI

 Partisipasi inklusif dari semua kelompok kepentingan (perempuan, penyandang disabilitas, pemuda pemudi, pengguna jalan, organisasi profesi, media, dan lain-lain), yang berkontribusi pada keberhasilan program.

 Partisipasi penuh masyarakat sebagai mitra pemerintah daerah mulai dari

proses perencanaan, pelaksanaan

sampai dengan pemantauan dan evaluasi.

 Partisipasi bermakna dengan

memperhatikan segala aspirasi dari semua pihak, dalam bentuk program dan alokasi anggaran, mendorong agar praktik baik diadopsi berkelanjutan.

 Pelibatan penyandang disabilitas

sebagai konsultan dalam perumusan kebijakan dalam semua tahapan proyek mulai dari perencanaan, desain dan

kontrak sampai konstruksi dan

penyelesaian dengan mengidentifikasi kebutuhan infrastruktur yang ramah disabilitas.

 Organisasi profesi perlu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Fasilitas Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Kompetensi sebagai Arsitek.

 Keterlibatan aktif sektor swasta dalam implementasi aksesibilitas infrastruktur secara umum

KOORDINASI

 Penguatan forum multisektor, seperti Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ), sesuai amanah CRPD dan UU No. 8/2016 untuk mengidentifikasi isu

lintas kepentingan dan lintas pengguna. FLLAJ adalah wahana koordinasi antar instansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan untuk menjawab

(13)

12

kebutuhan keamanan dan keselamatan

pengguna jalan.

 Peningkatan komitmen

multistake-holders terutama sektor Pekerjaan

umum, perumahan rakyat,

Perhubungan, serta semua perencana

infrastruktur dan penyelarasan

keamanan lingkungan dalam

mendukung penyediaan fasilitas

aksesibilitas menuju terciptanya

lingkungan bebas hambatan, aman, nyaman serta dalam penerapan prinsip universal design

 Kerjasama untuk keberlanjutan dan

berbagi praktik baik penerapan

inklusifitas infrastruktur, baik di tingkat kebijakan maupun praktik.

PENINGKATAN KESADARAN

 Meningkatkan kesadaran publik melalui perluasan media komunikasi, informasi, edukasi untuk aksesibilitas dan mobilitas bagi penyandang disabilitas.

 Memahami interseksionalitas pada

identitas seseorang, seperti

memperhitungkan kelompok umur

(anak, dewasa, lansia), gender (laki-laki, perempuan dan lainnya), wilayah (kota dan desa), dsb dengan mengakomodasi

kebutuhan aksesibilitas pada fasilitas dan utility untuk mengakomodasi kerentanan terkait identitas, serta menjamin keamanan dalam mengakses fasilitas, seperti lampu jalan yang terang

guna memastikan keselamatan

perempuan, anak, orangtua dan

(14)

13

Bagian VIII

Rekomendasi Sektor Pendidikan Inklusif

Pendidikan adalah salah satu sektor dimana ketimpangan masih sangat tajam terjadi pada penyandang disabilitas. Salah satu indikatornya adalah rendahnya angka partisipasi penyandang disabilitas di tingkat dasar, apa lagi tingkat menengah dan tinggi. Pemberlakuan pendidikan inklusi masih banyak terkendala oleh stigma, alokasi anggaran, hingga tumpang-tindihnya kewenangan yang masih menyebabkan sulitnya penyelenggaraan pendidikan inklusi untuk berkembang.

Atas sejumlah permasalahan tersebut, Temu Inklusi 2020 menyampaikan rekomendasi sebagai Berikut:

1.

Agar pemerintah yang

ber-tanggungjawab pada penyelenggaraan pendidikan menyusun peta jalan menuju penyelenggaraan pendidikan yang inklusif. Termasuk di dalamnya adalah penguatan regulasi-regulasi yang diperlukan untuk diharmonisasi dengan UU disabilitas sehingga inklusi

menjadi kerangka dalam

penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.i

2.

Mendorong peran pemerintah daerah

untuk turut mengalokasikan program dan sumberdaya dalam mendukung pendidikan inklusif melalui program dukungan akomodasi yang layak serta alat bantu penunjang pendidikan bagi siswa dengan disabilitas.

3.

Kementerian yang menangani

penyelenggaraan pendidikan agar

memprioritaskan program-program

intervensi dan pendampingan bagi sekolah, atau memfasilitasi pihak-pihak

lain untuk memberikan pendampingan

terhadap sekolah-sekolah inklusif,

termasuk di dalamnya penguatan

kapasitas sekolah dan tenaga

kependidikan dan non kependidikan dalam hal pembelajaran, pengelolaan sumberdaya, jejaring, untuk tujuan penguatan pendidikan yang inklusif..

4.

Kepada pemerintah maupun lembaga

terkait agar membangun mekanisme aduan atas diskriminasi yang mungkin saja terjadi pada tahap penerimaan peserta didik baru, maupun pada Tahap pembelajaran.

5.

Mendorong pemerintah melalui

kerjasama pembangunan luar negeri

agar memobilisasi proyek-proyek

pembangunan di bidang pendidikan

untuk menguatkan sistem

penyelenggaraan pendidikan inklusif

serta peningkatan kapasitas

(15)

14

Bagian IX

Rekomendasi Sektor Layanan Kesehatan yang Inklusif

Diskusi tematik Temu Inklusi 2020 pada isu layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas memunculkan sejumlah catatan yang menunjukkan masih belum optimalnya penyelenggaraan Serta keterjangkauan layanan kesehatan bagi penyandang disabilitas. Di luar masalaah akses sarana fisik maupun non-fisik yang belum merata, beberapa hal yang menjadi kebutuhan yang secara khusus dibutuhkan oleh beberapa ragam disabilitas masih belum cukup menjadi prioritas di dalam pengembangan layanan kesehatan saat ini. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan atas tenaga terapis provesional, obat-obatan yang lebih mudah diakses untuk mereka dengan disabilitas psikososial, layanan dan sistem deteksi dini disabilitas, Serta sistem deteksi dini disabilitas dan rujukan perolehan alat bantu disabilitas.

Atas sejumlah catatan tersebut, Berikut beberapa rekomendasi yang disampaikan:

4.

Kementerian Kesehatan agar

memfasilitasi pengembangan

complementary alternative medication (CAM) sebagai salah satu upaya

alternatif untuk mempercepat

ketersediaan layanan terapi untuk penyandang disabilitas.

5.

Kementerian kesehatan, bersama

dengan pemerintah daerah hingga desa, Serta melibatkan masyarakat perlu membangun mekanisme yang meliputi deteksi dini, sistem rujukan, hingga asesmen dan perolehan alat bantu disabilitas yang terhubung dengan sistem pendataan dan layanan lain terkait disabilitas.

6.

Untuk mengoptimalkan penguatan

layanan kesehatan yang lebih inklusif, termasuk penguatan kesadaran para

tenaga kesehatan atas disabilitas,

kementerian kesehatan Serta

penyelenggara pelayanan kesehatan agar bekerjasama dengan organisasi penyandang disabilitas.

7.

Pemerintah agar meninjau kembali,

serta mengoptimalkan implementasi standar pelayanan minimal (SPM) bidang kesehatan sebagai bagian dari

upaya percepatan implementasi

roadmap layanan kesehatan yang inklusif.

8.

Lembaga yang berwenang, agar

melakukan monitoring atas pencapaian layanan kesehatan yang lebih inklusif disabilitas, termasuk perbaikan dari sisi

aksesibilitas infrastruktur, dan

melakukan penilaian secara berkala yang diinformasikan kepada publik.

(16)

15

Bagian X

Rekomendasi Sektor Hak Politik

Pemilu sebagai wujud partisipasi politik setiap warga negara dalam sistem negara demokrasi sesungguhnya juga menjadi gambaran mengenai pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Tantangan dan hambatan untuk berpartisipasi dalam Pemilu tidak melulu merujuk pada hak politik, tetapi juga hak dalam berbagai bidang. Bahkan, pelaksanaan Pemilu menjadi gambaran tentang stigma dan diskriminasi yang masih membelit Penyandang Disabilitas. Ketika Pemilu diyakini menjadi penentu masa depan Warga Negara, termasuk Penyandang Disabilitas, rekomendasi-rekomendasi berikut ini penting dipertimbangkan untuk mewujudkan Pemilu yang inklusif dan aksesibel, yaitu:

1.

Prinsip kemudahan/aksesibilitas dan

inklusi perlu dicantumkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Pemilu dan Pilkada. Demikian juga, perlengkapan untuk memberikan kemudahan bagi Penyandang Disabilitas, seperti template braille serta standar bilik suara dan meja pencoblosan perlu dicantumkan dalam daftar logistik Pemilu agar dapat

diterjemahkan dalam penganggaran

Pemilu dan Pilkada. Dengan demikian, Undang-Undang Pemilu dan Pilkada perlu diamandemen untuk mewujudkan sistem kepemiluan yang inklusif dan mudah diakses bagi semua Warga Negara, termasuk Penyandang Disabilitas.

2.

Pendataan dan pemutakhiran data

pemilih perlu secara konsisten

mencantumkan jenis disabilitas pemilih karena akan menentukan aksesibilitas dan akomodasi yang layak yang perlu diberikan pada saat pemungutan suara. Pendataan dan pemutakhiran data pemilih perlu melibatkan organisasi-organisasi penyandang disabilitas untuk mendukung akurasi data dan menjamin

terdatanya semua penyandang disabilitas yang memiliki hak pilih.

3.

Pemilu yang inklusif dan aksesibel harus dipahami oleh seluruh penyelenggara Pemilu dari tingkat pusat hingga TPS. Buku Putih Pemilu yang inklusif dan

aksesibel perlu disusun untuk

memberikan acuan dalam penganggaran maupun pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. Bimbingan teknis mengenai perspektif disabilitas serta Pemilu yang inklusif dan aksesibel juga perlu diberikan kepada penyelenggara Pemilu dan Pilkada di semua tingkatan.

4.

Untuk menjamin keterwakilan Disabilitas di Parlemen ada beberapa upaya yang bisa dilaksanakan yaitu: 1). Menjalin

kaukus politik untuk memastikan

keterwakilan isu Disabilitas di parlemen; 2) Langkah afirmasi, yaitu dengan

mendorong adanya kuota 5-15%

keterwakilan Penyandang Disabilitas baik itu di parlemen maupun dalam kandidasi di tingkat partai politik; 3). Melakukan judicial review atas kebijakan Pemilu.

(17)

16

Bagian XI

Rekomendasi Sektor Peradilan Inklusif dan Akses terhadap Keadilan

Dalam sejumlah diskusi Temu Inklusi 2020 pada tema peradilan, Kami memberikan apresiasi kepada Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan Kementerian PPN yang telah menunjukkan komitmennya melalui berbagai upaya dan terobosan mengatasi segala tantangan yang ada untuk mewujudkan akomodasi yang layak, proses peradilan yang setara, bagi penyandang disabilitas;

Namun disamping capaian-capaian yang sudah diperoleh tersebut, kita sama-sama menyadari bahwa masih banyak permasalahan yang belum terselesaikan.

Bahwa belum ada satupun instansi

penegak hukum yang melakukan

pendataaan secara seragam dan

terstandarisasi atas penyandang

disabilitas yang berhadapan dengan hukum,

Bahwa belum semua unit-unit

penyelenggara layanan dari instansi penegak hukum memiliki sarana dan prasarana yang aksesibel bagi setiap tipe penyandang disabilitas,

Bahwa belum ada satupun instansi

penegak hukum yang memiliki dan menerapkan standar prosedur layanan

yang sesuai, atau, memberikan

akomodasi yang layak secara

menyeluruh bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,

Bahwa jumlah penegak hukum dan

aparatur yang memiliki pemahaman

mengenai bagaimana memberikan

pelayanan dan menjalankan proses peradilan bagi penyandang disabilitas masih sangat sedikit,

Bahwa layanan yang sesuai yang

dibutuhkan oleh penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, yaitu bantuan hukum, layanan penerjemah,

layanan psikolog/psikiater dan

pendamping khusus, masih sangat minim—mendekati tidak ada, yang disediakan oleh negara,

Bahwa belum ada satupun instansi

penegak hukum yang memonitor dari waktu ke waktu pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses hukum yang menjadi tugasnya.

Berefleksi atas kondisi-kondisi tersebut, dengan kerendahan hati, kami memohon agar usulan dan rekomendasi yang kami sampaikan berikut ini dapat diterima dan dijalankan oleh masing-masing instansi penegak hukum.

Kepada Kepolisian Republik Indonesia, dengan memahami bahwa Kepolisian adalah

instansi yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, yang sangat menentukan berhasil atau tidaknya terwujudnya peradilan yang adil bagi kami penyandang disabilitas, kami merekomendasikan untuk:

(18)

17

1.

Segera menerapkan prosedur penilaian personal dalam setiap perkara yang

melibatkan penyandang disabilitas,

untuk mengetahui hambatan yang

dialami oleh setiap penyandang

disabilitas dalam menjalani proses peradilan, dan menyediakan layanan yang sesuai berdasarkan hasil penilaian atau asesmen tersebut, sesuai ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 PP No. 39/2020;

2.

Mempersiapkan komponen anggaran

khusus, dan/atau membentuk

mekanisme lain yang memungkinkan tersedianya layanan bantuan hukum dan layanan-layanan lain yang diperlukan oleh penyandang disabilitas untuk menjalani proses peradilan dengan akomodasi yang layak;

3.

Menyesuaikan prosedur-prosedur yang

berlaku dalam proses penyelidikan dan penyidikan agar sesuai dengan jaminan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan, sebagaimana diakui dan diatur dalam instrumen-instrumen internasional dan nasional, terutama, PP No. 39/2020;

4.

Menyediakan sarana dan prasarana yang

sesuai dengan kebutuhan setiap tipe disabilitas yang akan menggunakan

layanan atau menjalani proses hukum di kantor-kantor pelayanan Kepolisian;

5.

Menyediakan petugas, aparat penegak

hukum yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas

tipe-tipe disabilitas dan kebutuhan

khususnya, yang mampu menjalankan proses peradilan yang adil sekaligus mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas—termasuk bagi mereka yang paling rentan, yaitu perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta penyandang disabilitas mental dan psikososial;

6.

Menetapkan hasil penilaian personal

terhadap penyandang disabilitas yang terlibat dalam proses peradilan sebagian persyaratan dan kelengkapan berkas perkara yang akan dilimpahkan kepada instansi dan lembaga penegak hukum lainnya, yaitu Kejaksaan dan Pengadilan; dan,

7.

Segera menyusun rencana kerja untuk mengimplementasikan dan memantau pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Kepada Kejaksaan Agung Republik Indonesia, sebagai instansi penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan, kami memandang Kejaksaan juga turut bertanggungjawab atas memenuhi syarat atau tidaknya hasil penyidikan Kepolisian yang akan digunakan dalam proses penuntutan. Untuk itu, kami merekomendasikan untuk:

1.

Mensyaratkan Kepolisian untuk

menyertakan dan menjelaskan

pelaksanaan pemenuhan hasil penilaian personal yang dilaksanakan terhadap penyandang disabilitas yang berhadapan

dengan hukum dalam berkas perkara hasil penyidikan yang diserahkan kepada Kejaksaan, dan menyatakan berkas perkara tidak dapat diterima tanpa kelengkapan tersebut;

(19)

18

2.

Mempersiapkan komponen anggaran

khusus, dan/atau membentuk

mekanisme lain yang memungkinkan tersedianya layanan bantuan hukum dan layanan-layanan lain yang diperlukan oleh penyandang disabilitas untuk menjalani proses di tahap penuntutan dan persidangan;

3.

Menyesuaikan prosedur-prosedur yang

berlaku dalam proses penyidikan dan penuntutan agar sesuai dengan jaminan hak-hak penyandang disabilitas dalam proses peradilan, sebagaimana diakui dan diatur dalam instrumen-instrumen internasional dan nasional, terutama, PP No. 39/2020;

4.

Menyediakan sarana dan prasarana yang

sesuai dengan kebutuhan setiap tipe disabilitas yang akan menggunakan layanan atau menjalani proses hukum di kantor-kantor Kejaksaan;

5.

Menyediakan petugas, aparat penegak

hukum yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas

tipe-tipe disabilitas dan kebutuhan

khususnya, yang mampu menjalankan proses peradilan yang adil sekaligus mewujudkan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas—termasuk bagi mereka yang paling rentan, yaitu perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta penyandang disabilitas mental dan psikososial;

6.

Menyertakan pernyataan tentang

terpenuhinya seluruh kebutuhan khusus yang teridentifikasi dalam penilaian

personal terhadap penyandang

disabilitas dalam setiap perkara, dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan dalam berkas perkara yang akan dilimpahkan ke Pengadilan; dan

7.

Segera menyusun rencana kerja untuk mengimplementasikan dan memantau pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

Kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia, sebagai benteng terakhir penegakan HAM

di negara ini, untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi sebagai berikut:

1.

Mensyaratkan Kejaksaan untuk

menyertakan pernyataan tentang

terpenuhinya seluruh kebutuhan

khusus yang teridentifikasi dalam

penilaian personal terhadap

penyandang disabilitas dalam perkara yang bersangkutan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan pra penuntutan dalam berkas perkara yang akan dilimpahkan ke Pengadilan, dan menyatakan berkas perkara tidak dapat diterima tanpa kelengkapan tersebut;

2.

Mempersiapkan komponen anggaran

khusus, dan/atau membentuk

mekanisme lain yang memungkinkan tersedianya layanan bantuan hukum

dan layanan-layanan lain yang

diperlukan oleh penyandang disabilitas untuk menjalani proses persidangan;

3.

Menyesuaikan prosedur-prosedur yang

berlaku dalam proses pelayanan administrasi dan perkara di pengadilan agar sesuai dengan jaminan hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana

(20)

19

diakui dan diatur dalam

instrumen-instrumen internasional dan nasional, terutama, PP No. 39/2020;

4.

Menyediakan sarana dan prasarana

yang sesuai dengan kebutuhan setiap

tipe disabilitas yang akan

menggunakan layanan atau menjalani proses hukum di setiap pengadilan;

5.

Menyediakan petugas dan hakim yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai atas tipe-tipe disabilitas dan kebutuhan khususnya, yang mampu menjalankan proses peradilan yang adil sekaligus mewujudkan

akomodasi yang layak bagi

penyandang disabilitas—termasuk bagi mereka yang paling rentan, yaitu perempuan dan anak penyandang disabilitas, serta penyandang disabilitas mental dan psikososial;

6.

Mensyaratkan hakim untuk

mempertimbangkan terpenuhi atau tidaknya hak-hak dan kebutuhan

khusus penyandang disabilitas,

sebagaimana teridentifikasi dalam

penilaian personal terhadap

penyandang disabilitas dalam perkara tersebut, sebelum mengambil putusan dalam setiap jenis perkara, yaitu perkara pidana, perdata dan tata usaha negara; dan

7.

Segera menyusun rencana kerja untuk mengimplementasikan dan memantau

pemenuhan ketentuan-ketentuan

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.

(21)

20

Bagian XII

Rekomendasi Sektor Perlindungan Konsumen yang Inklusif Disabilitas

Dalam diskusi tematik perlindungan konsumen, tercatat bahwa sejauh ini,, disabilitas belum menjadi perspektif dalam penyelenggaran perlindungan konsumen. Hal ini dibuktikan dengan pertama, masih minimnya keberpihakan bagi kelompok konsumen rentan dalam kerangka kebijakan utama perlindungan konsumen seperti UU perlindungan konsumen dan aturan turunannya. Kedua, belum adanya upaya edukasi perlindungan dan hak konsumen yang menjangkau kelompok masyarakat rentan seperti penyandang disabilitas. Ketiga, aksesibilitas informasi, serta keterjangkauan mekanisme aduan yang masih sangat menjadi hambatan bagi kelompok konsumen penyandang disabilitas.

Atas catatan di atas, Temu Inklusi 2020 menyampaikan rekomendasi di bawah ini untuk dipertimbangkan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), serta para pihak lainnya yang bertanggungjawab, dan mempunyai peran pendukung dalam penegakan perlindungan konsumen:

1.

Perlunya amandemen UU perlindungan

konsumen agar lebih berperspektif hak azazi manusia, serta harmonisasinya terhada UU disabilitas agar lebih memunculkan substansi perlindungan

bagi kelompok rentan, termasuk

konsumen dengan disabilitas. Perubahan regulasi ini merupakan hal mendasar yang akan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen bagi penyandang disabilitas, baik oleh negara maupun aktor non pemerintah, seperti dunia usaha.

2.

Perlunya dikembangkan dan

disosialisasikan panduan

penyelenggaraan dan penyampaian komunikasi / informasi yang aksesibel mengenai produk dan jasa, baik online maupun offline.

3.

Lembaga perlindungan konsumen

seperti BPKN dan YLKI perlu

memprioritaskan edukasi hak dan perlindungan konsumen yang inklusif, dengan menyasar kelompok konsumen

rentan seperti penyandang disabilitas.

Bagian dari edukasi ini, selain

memberikan pemahaman akan hak dan prlindungan kosumen, juga memastikan konsumen kelompok rentan dapat mengakses sarana pengaduan dan pendampingan ketika hak mereka sebagai konsumen terlanggar.

4.

Untuk mendukung pelaksanaan

perlindungan dan edukasi konsumen kelompok rentan, negara, melalui

kementerian yang sesuai, perlu

mengalokasikan perencanaan dan

penganggaran sesuai kebutuhan, serta

mempromosikan keterlibatan dan

partisipasi aktif penyandang disabilitas dan organisasinya.

5.

Lembaga yang bertugas melakukan

pengawasan atas perlindungan

konsumen perlu memfokuskan obyek

pengawasan kepada pelaksanaan

perlindungan konsumen bagi kelompok

rentan, dengan secara berkala

(22)

21

perlindungan dan penanganan kasus

pelanggaran hak yang dialami oleh konsumen kelompok rentan, serta menjadikannya sebagai evaluasi dalam

peningkatan perlindungan bagi

konsumen dengan disabilitas.

6.

Lembaga yang bertanggungjawab dalam

upaya pemenuhan perlindungan hak

konsumen perlu mempromosikan

layanan non-diskriminasi terhadap

ragam konsumen, termasuk mereka dengan disabilitas psikososial. Promosi dan edukasi ini perlu dilakukan dengan menyasar para pelaku usaha dan penyedia barang maupun jasa. Hal ini perlu diikuti dengan penyediaan sistem dukungan untuk melakukan pembelaan

dan pendampingan atas kasus

diskriminasi dan pelanggaran

yangdialami oleh konsumen dengan disabilitas.

(23)

22

Rekomendasi di atas disarikan dari sejumlah diskusi dan seminar yang berlangsung sepanjang penyelenggaraan Temu Inklusi 2020. Segenap peserta Temu Inklusi 2020 berharap rekomendasi ini dapat menjadi perhatian bagi pemerintah, nasional maupun daerah, lembaga-lembaga negara, organisasi masyarakat sipil, organisasi penyandang disabilitas, maupun berbagai pihak terkait lainnya, untuk turut serta berkontribusi lebih aktif dalam pengarusutamaan inklusi disabilitas di berbagai sektor.

Kepada organisasi dan komunitas disabilitas, Temu Inklusi dan rekomendasi ini bukanlah Akhir dari apa yang kita akan sama-sama kerjakan. Seperti sebelumhya, usai kegiatan ini, kita akan kembali berada bersama masyarakat dan kelompok penyandang disabilitas yang kita dampingi, menangani kasus, mengisi ruang-ruang pengambilan keputusan bersama masyarakat lainnya, menyumbangkan gagasan, serta melanjutkan kerja-kerja pengorganisasian yang belum usai. Negara, melalui PP 70/2019 dan banyak regulasi lain telah Menjamin partisipasi kita, maka mari kita ambil ruang itu, dan mengisinya sebaik mungkin untuk memberikan makna lebih dan dampak nyata untuk pemenuhan hak yang lebih baik bagi 15% rakyat Indonesia.

Kepada semua perwakilan pemerintahan, lembaga negara, mitra pembangunan, maupun organisasi masyarakat sipil yang telah sama-sama menjadi bagian dari Temu Inklusi 2020, mari kita jaga komitmen bersama ini. Apa yang dituangkan ke dalam pokok pikiran hasil Temu Inklusi ini adalah gagasan dan telah menjadi komitmen kita bersama untuk mewujudkannya.

Akhirnya, diucapkan Terimakasih kepada semua pihak yang telah menjadi bagian dalam Temu Inklusi 2020. Semoga kegiatan ini terus memberikan tanda atas menguatnya pemenuhan hak dan inklusi disabilitas menuju Indonesia Inklusi 2030. Sampai jumpa dengan karya, cerita Baik, dan perubahan-perubahan yang lebih besar dalam dua tahun mendatang.

Atas nama Temu Inklusi 2020 Panitia Pengarah dan Pelaksana

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Ibrahim dan Nurhadi (2009: 2) : “Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan nama lain project based teaching (pembelajaran proyek), experience based education

isi 92,31 Sangat tinggi Berdasarkan persentase jawaban guru tersebut, dapat disimpulkan bahwa aspek grafika dan kesesuaian isi prosedur praktikum berbasis green chemistry

Pelayanan kesehatan di desa terpencil menjadi objek penelitian saya untuk mengamati dan memperoleh data yang diperlukan, tempat yang biasa di singgahi oleh petugas medis

Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

PENGGUNAAN TIMBANGAN ANALITIK Dipastikan dg menekan ke-empat sudut timbangan Menyalakan timbangan 1 set battery digunakan rata-rata untuk 40-50 subyek Memasang battery

Faktor yang dikaji oleh pengkaji dalam kajian ini adalah terdiri daripada tahap pengetahuan dan keyakinan guru, faktor yang membawa kepada kejayaan pelajar – pelajar di

Perlakuan daun gambir untuk mendapatkan tanin meliputi pengeringan, penghalusann (blender), pengayakan, pengekstrakan dengan sokletasi sehingga diperoleh rendemen gambir.

Paper ini bertujuan untuk membangun sebuah animasi interaktif berbasis android untuk meningkatkan intensitas dan efesiensi penyampaian, menggunakan media pembelajaran