• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akreditasi PB IDI 2 SKP. Sindrom Hepatorenal. Hamzah Pratama RSU Siloam, Tangerang, Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Akreditasi PB IDI 2 SKP. Sindrom Hepatorenal. Hamzah Pratama RSU Siloam, Tangerang, Indonesia"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

DEFINISI

Sindrom hepatorenal (hepatorenal syndrome/ HRS) merupakan komplikasi terjadinya gagal ginjal pada pasien penyakit hati kronik, kadang-kadang berupa hepatitis fulminan dengan hipertensi portal dan ascites.1

SEJARAH

Pada abad ke-19, beberapa ahli membuat deskripsi gangguan fungsi ginjal pada pasien penyakit hati. Pada saat itu dideskripsikan sebagai oliguria pada pasien penyakit hati kronis tanpa proteinuria dan dihubungkan dengan gangguan ginjal pada sirkulasi sistemik.2 Mulai tahun 1967, ditemukan bahwa tanda khas HRS berupa vasokonstriksi ginjal berat.2

Istilah sindrom hepatorenal digunakan pertama kali pada tahun 1939 untuk mendeskripsikan gagal hati yang terjadi setelah operasi bilier ataupun trauma pada hati, yang makin berkembang menjadi berbagai tipe gagal ginjal akut pada penyakit hati.2 Pada tahun 1950, deskripsi

klinis HRS makin berkembang, Sherlock, dkk. menekankan perjalanan alami sindrom ini dengan adanya gangguan sirkulasi dan prognosis yang buruk. Mereka mendeskripsikan gagal ginjal pada 9 pasien penyakit hati yang mempunyai karakteristik oliguria progresif, ekskresi Na urin sangat rendah, hiponatremia, tetapi tanpa proteinuria. Setelah itu ditemukan bahwa kelainan tersebut fungsional, karena fungsi ginjal kembali normal setelah transplantasi hati. Studi lanjutan pada 20 tahun terakhir menunjukkan bahwa gagal ginjal terjadi karena vasokonstriksi sirkulasi renal dan vasodilatasi arteriol sistemik hebat yang menghasilkan penurunan sirkulasi vaskuler sistemik dan arterial hypotension.2

Pada tahun 1996, International Ascites Club menginginkan defi nisi dan kriteria diagnosis baru HRS, karena istilah ini telah diterima secara umum untuk gagal ginjal fungsional yang berkembang pada pasien sirosis tahap lanjut. Kriteria tahun 1996 tersebut telah mengalami revisi pada tahun 2007. Kriteria

HRS tahun 1996 dan setelah revisi pada tahun 20071,2 dapat dilihat pada Tabel 1. EPIDEMIOLOGI

Pada pasien sirosis tahap lanjut dan ascites, diperkirakan 18% akan mengalami HRS dalam 1 tahun setelah didiagnosis, dan mencapai 40 % pada tahun kelima.3

PATOFISIOLOGI

Tanda khas HRS adalah terjadinya vasokonstriksi ginjal, walaupun berbagai mekanisme dianggap mungkin berperan dalam timbulnya HRS. Karakteristik pola hemodinamik pasien HRS antara lain: pe-ningkatan curah jantung (cardiac output), penurunan resistensi vaskuler sistemik, dan peningkatan resistensi vaskuler renal. Menurut studi Doppler pada arteri brachial,

cerebri media, dan femoralis menunjukkan

bahwa resistensi ekstrarenal meningkat pada pasien HRS, sementara sirkulasi splanchnic yang bertanggung jawab untuk vasodilatasi arteri dan resistensi vaskuler sistemik total menurun.4 Patofi siologi sindrom hepatorenal ABSTRAK

Sindrom hepatorenal (HRS) merupakan gagal ginjal yang timbul pada pasien penyakit hati kronik. Tanda khas sindrom hepatorenal adalah vasokonstriksi ginjal dengan mekanisme yang masih belum jelas. Beberapa faktor pencetus dianggap dapat mempengaruhi timbulnya HRS. Rekomendasi terapi HRS hingga saat ini adalah transplantasi hati. Terapi medikamentosa sebelum transplantasi hati dapat menggunakan regimen yang tercantum pada beberapa rekomendasi terapi.

Kata kunci: Sindrom Hepatorenal, gagal ginjal, penyakit hati, vasokonstriksi

ABSTRACT

Hepatorenal syndrome (HRS) is a renal failure in patients with chronic liver disease. Typical sign of hepatorenal syndrome is renal vasoconstriction caused by still unclear mechanisms. Some trigger factors can infl uence the onset of HRS. The recommended therapy for HRS is liver transplantation. Medical therapy prior to liver transplantation can use a choice of recommended multiple regimens. Hamzah Pratama.

Hepatorenal syndrome

Keywords: Hepatorenal syndrome, renal failure, liver disease, vasoconstriction

Alamat korespondensi email: pratama_med@yahoo.com

Akreditasi PB IDI–2 SKP

Sindrom Hepatorenal

Hamzah Pratama

(2)

pada pasien sirosis dan ascites, dan efek ini makin besar pada HRS.5 Dua teori utama yang berusaha menjelaskan mekanisme tersebut adalah teori vasodilatasi arteri dan teori refl ex hepatorenal.2

Teori pertama mengenai retensi air dan natrium pada sirosis merupakan hipotesis paling rasional. Menurut teori ini, pada fase awal saat hipertensi portal dan sirosis masih terkompensasi, gangguan pengisian arteri menyebabkan penurunan volume darah arteri dan menyebabkan aktivasi sistem vasokonstriktor endogen. Dilatasi pembuluh darah splanchnic pada pasien hipertensi portal dan sirosis yang terkompensasi dapat dimediasi oleh beberapa faktor, terutama oleh pelepasan vasodilator lokal seperti NO (nitric oxide). Pada fase ini, perfusi renal masih dapat dipertahankan atau mendekati batas normal karena sistem vasodilator menghambat sistem vasokonstriktor ginjal.1,2 Lalu terjadi aktivasi RAAS dan SNS yang menyebabkan sekresi hormon anti-diuretik, selanjutnya terjadi kekacauan sirkulasi. Hal ini mengakibatkan vasokonstriksi bukan

hanya di pembuluh darah renal, tetapi juga di pembuluh darah otak, otot, dan ekstremitas. Namun, sirkulasi splanchnic tetap resisten terhadap efek ini karena produksi terus-menerus vasodilator lokal, yaitu NO, sehingga masih terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik total.5 Jika penyakit hati makin berat dapat mengakibatkan terjadinya level kritis kurangnya pengisian pembuluh darah. Sistem vasodilator ginjal tidak dapat lagi mengatasi aktivasi maksimal vasokonstriktor eksogen dan/ atau vasokonstriktor intra-renal, menyebabkan tidak terkontrolnya vasokonstriksi renal. Studi yang mendukung hipotesis ini adalah bahwa pemberian vasokonstriktor splanchnic dikombinasi volume expanders menghasil-kan perbaimenghasil-kan temenghasil-kanan arteri, RPF, dan GFR.5 Teori alternatif lain adalah vasokonstriksi ginjal pada HRS tidak berhubungan dengan hemodinamik sistemik, tetapi karena defi siensi sintesis faktor vasodilator atau

refl ex hepatorenal yang mengakibatkan

vasokonstriksi ginjal. Teori vasodilatasi sampai sekarang dianggap lebih menjelas-kan timbulnya HRS (Gambar 1).2,5

pada sirosis sampai sekarang masih belum diketahui secara jelas.2

Konsep terjadinya HRS pernah diteliti meng-gunakan Doppler ultrasonography atau plethysmography pada pasien dengan

berbagai derajat keparahan sirosis, yang hasilnya menunjukkan vasodilatasi pada sirkulasi splanchnic dan vasokonstriksi pada area lain, misalnya pada ginjal dan hati, sementara aliran darah pada otot dan kulit dilaporkan bervariasi.1

Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya hubungan dengan sistem renin-angiotensin-aldosteron

(renin-angiotensin-aldosterone system/RAAS), saraf simpatis

(SNS), dan fungsi prostaglandin pada ginjal. Aktivitas sistem RAAS dan SNS meningkat Tabel 1 Kriteria International Ascites Club mengenai HRS

tahun 1996 dan setelah revisi pada tahun 2007

1996 Criteria [39] Major Criteria

• Chronic or acute liver disease with advance hepatic failure and portal hypertension

• Serum creatinine > 1.5 mg/dL or 24-h creatinine of < 40 mL/min

• Absence of shock, ongoing bacterial infection, and current or recent treatment with nephrotoxic drugs. Absence of gastrointestinal fluid losses (repeated vomiting or intense diarrhea) or renal fluid losses • No sustained improvement in renal function defined

as a decrease in serum creatinine to < 1.5 mg/dL or increase in creatinine clearance to 40 mL/min or more following diuretic withdrawal and expansion of plasma volume with 1.5 L of isotonic saline • Proteinuria < 500 mg/dL and no ultrasonographic

evidence of obstructive uropathy or parenchymal renal disease

Minor Criteria

• Urine volume < 500 mL/d • Urine sodium < 10 mEq/L • Urine osmolality > plasma osmolality • Urine red blood cells < 50 per high power field

2007 Criteria [40]

• Cirrhosis with ascites • Serum creatinine > 1.5 mg/dL

• No improvement of serum creatinine (decrease to a level ≤ 1.5 mg/dL) after at least two days of diuretic withdrawal and volume expansion with albumin. The recommended dose of albumin is 1 g/kg of body weight per day up to a maximum of 100 g/day • Absence of shock

• No current of recent treatment with nephrotoxic drugs

• Absence of parenchymal kidney disease as indicated by proteinuria > 500 mg/day, microhematuria (>50 red blood cells per high power field), and/or abnormal renal ultrasonography

(3)

Pada HRS, gambaran histologi ginjal terlihat normal, dan ginjal sering kembali ke fungsi normal setelah transplantasi hati. Hal ini menjadikan HRS merupakan kelainan patofi siologi unik yang memberi kan kemungkinan untuk dipelajari hubungan antara sistem vasokonstriktor dan vaso-dilator pada sirkulasi renal.1,5

Faktor pencetus juga mempengaruhi timbulnya HRS, dan faktor pencetus ini dapat lebih dari satu pada seorang pasien (Gambar 2). Faktor pencetus yang teridentifikasi di antaranya infeksi bakteri,

paracentesis volume besar tanpa infus

albumin, perdarahan saluran cerna, acute

alcoholic hepatitis.1,5

JENIS HRS

Gagal hati atau gangguan hati berat dapat berkembang menjadi 2 bentuk HRS, dikenal dengan HRS tipe 1 dan tipe 2. Pembagian ini berdasarkan perjalanan penyakit dan faktor pencetusnya. Tipe 3 dan tipe 4 pernah

disebutkan, tetapi belum cukup studi yang mendukung pembagian ini.6,7

Tipe 1

Pada HRS tipe 1 serum kreatinin naik dua kali lipat atau lebih dari 2,5 mg/ dL dalam 2 minggu. Tanda khas tipe ini adalah perkembangan penyakit yang cepat dan risiko kematian tinggi, rata-rata kelangsungan hidup hanya 1-2 minggu. HRS tipe ini dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri, seperti spontaneous bacterial peritonitis (SBP),

variceal hemorrhage, infeksi besar, acute alcoholic hepatitis, atau acute hepatic injury

yang berhubungan dengan sirosis. Acute

hepatic decompensation dapat terjadi karena

hepatitis virus akut, drug-induced liver injury (acetaminophen, idiopathic drug-induced hepatitis).6,7

Tipe 2

Pada HRS tipe 2, gagal ginjal ditunjukkan dengan peningkatan kadar serum kreatinin selama beberapa minggu atau bulan

bersamaan dengan penurunan glomerular

fi ltration rate (GFR) tanpa faktor pencetus.

Rerata ketahanan hidup pada HRS tipe 2 ini kurang lebih 6 bulan, secara bermakna lebih lama dibandingkan dengan HRS tipe pertama. HRS tipe 2 dapat berkembang menjadi HRS tipe 1 karena faktor pencetus atau tanpa faktor pencetus yang jelas. Mekanisme perkembangan ini sampai sekarang masih belum jelas.6,7

Tipe 3

Tipe ketiga merupakan sindrom hepatorenal dengan ada penyakit ginjal sebelumnya. Pada studi didapatkan bahwa 85% pasien sirosis tahap akhir mempunyai gangguan ginjal intrinsik yang ditemukan dengan pemeriksaan biopsi ginjal. Masih belum jelas apakah penurunan nilai GFR dasar secara kronis yang berasal dari penyakit ginjal intrinsik kronis merupakan faktor predisposisi HRS pada pasien sirosis hati.6

Tipe 4

Tipe keempat ini merupakan sindrom hepatorenal pada gagal hati akut. Gagal hati akut (acute liver failure/ALF) dapat berkembang menjadi HRS, meskipun frekuensinya bervariasi tergantung pe-nyebab ALF. Patofisiologi ALF dipercaya sama dengan HRS pada sirosis hati, tetapi sampai sekarang belum jelas.6

PENATALAKSANAAN

Rekomendasi EASL (European

Association for the Study of the Liver).8

Walaupun tidak ada studi prospektif, terapi HRS sebelum dilakukan transplantasi hati, misalnya pemberian vasokonstriktor, dapat memperbaiki hasil setelah dilakukan transplantasi. Penurunan serum kreatinin setelah terapi seharusnya tidak mengubah keputusan untuk melakukan transplantasi hati, karena prognosis HRS tipe 1 masih buruk.

Rekomendasi Terapi HRS Tipe 1

Pemberian kombinasi Terlipressin (1 mg/4-6 jam secara bolus intravena) dengan albumin harus dipertimbangkan sebagai lini pertama. Tujuan terapi ini adalah memperbaiki fungsi ginjal untuk menurunkan kadar kreatinin serum kurang dari 113μmol/L (1,5 mg/dL), hal ini disebut dengan respons penuh. Jika kadar kreatinin serum tidak turun minimal 25% dalam 3 hari, dosis terlipressin dinaikkan Gambar 2 Hubungan faktor pencetus dengan timbulnya sindrom hepatorenal5

(4)

bertahap sampai maksimal 2 mg/4 jam. Untuk pasien dengan respons sebagian (kadar kreatinin serum tidak turun < 113μmol/L) atau pada pasien tanpa penurunan kadar kreatinin serum, terapi harus dihentikan dalam waktu 14 hari (level A1).8

Alternatif potensial terlipressin antara lain

norepinephrine atau midodrine ditambah octreotide, keduanya berhubungan dengan

albumin, tetapi data terbatas pada pasien HRS tipe 1 (level B1).8 Untuk terapi non-farmakologis HRS tipe 1 seperti TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic shunt atau transjugular intrahepatic portosystemic

stent shunting) dapat memperbaiki fungsi

renal, namun data penggunaan TIPS pada HRS tipe 1 tidak cukup untuk mendukung penggunaannya sebagai terapi pasien HRS tipe 1. Terapi pengganti ginjal (misalnya: hemodialisis atau transplantasi ginjal) ber-guna pada pasien yang tidak merespons pemberian vasokonstriktor dan memenuhi kriteria untuk support renal.8

Rekomendasi Terapi HRS Tipe 2

Pemberian terlipressin ditambah albumin efektif pada 60-70% pasien HRS tipe 2, tetapi data mengenai dampak dan hasil klinis dari terapi ini masih belum cukup (level B1).8 Transplantasi hati adalah terapi terbaik, baik untuk HRS tipe 1 maupun HRS tipe 2. HRS seharusnya diberi terapi sejak se-belum dilakukan transplantasi hati, karena dapat memperbaiki hasil setelah dilakukan transplantasi hati (level A1).8

Pasien HRS yang telah merespons terapi

vasopressor sebaiknya diterapi dengan

transplantasi hati, sedangkan pasien HRS yang tidak merespons terapi vasopressor dan membutuhkan renal support secara umum juga harus diterapi dengan transplantasi hati saja, karena sebagian besar pasien akan mengalami pemulihan fungsi renal setelah transplantasi hati.Beberapa subgrup pasien membutuhkan renal support jangka panjang (>12 minggu), misalnya hemodialisis, dan pada kelompok ini harus dipertimbangkan dilakukan transplantasi hati-ginjal (level B2).8 Pasien spontaneous bacterial peritonitis (SBP) sebaiknya diberi terapi albumin intravena karena menurunkan insiden HRS dan memperbaiki ketahanan hidup (level A1).

Ada beberapa data bahwa pentoxifylline menurunkan insiden HRS pada pasien hepatitis alkoholik berat dan norfl oxacin me-nurunkan insiden HRS pada sirosis tahap lanjut (level B2).8

Rekomendasi American Association for

the Study of Liver Diseases (AASLD) tahun

20129 Pencegahan

Pemberian infus albumin telah ditunjukkan dalam studi acak untuk mencegah HRS dan memperbaiki ketahanan hidup dalam keadaan SBP.9 Pentoxifylline dalam studi acak lebih superior dibandingkan plasebo sebagai pencegahan sindrom hepatorenal pada pasien sirosis, ascites, dan klirens kreatinin antara 41 dan 80 mL/menit. Banyak pasien tersebut yang mengalami ascites refrakter. Pengobatan ini juga mencegah sindrom hepatorenal dan memperbaiki ketahanan hidup pasien hepatitis alkoholik berat.9 Terapi

Hemodialisis sering digunakan untuk mengontrol azotemia dan menjaga kese-imbangan elektrolit sebelum transplantasi hati. Banyak pasien membutuhkannya dengan interval bervariasi setelah trans-plantasi. Hipotensi sering menjadi masalah saat dialisis. Tanpa transplantasi ketahanan hidup pasien buruk. Dilaporkan 8 dari 30 pasien HRS bertahan 30 hari dengan dialisis atau continuous venovenous hemodialysis di ICU.9

Terapi farmakologi banyak digunakan, paling utama adalah vasokonstriktor. Saat ini, terapi lebih berhasil pada sindrom hepatorenal tipe 1. Kombinasi obat dengan infus albumin, yang telah dilaporkan di Eropa dan Amerika Serikat adalah octreotide dan midodrine. Pada studi awal, 5 pasien menerima 10-20 gram albumin intravena per hari selama 20 hari ditambah octreotide dengan target dosis 200 g subkutan tiga kali sehari, dan

midodrine dititrasi sampai maksimal 12,5 mg

oral 3 kali sehari untuk mencapai peningkatan rata-rata tekanan darah 15 mmHg, hasilnya lebih baik. Pengobatan ini dapat diberikan di luar ICU bahkan di rumah. Sebuah studi retrospektif di Amerika Serikat, dengan 60 subjek yang mendapat octreotide/midodrine/ albumin dan 21 subjek medapatkan albumin saja, hasilnya terjadi penurunan mortalitas pada kelompok terapi (43% vs 71%, P < 0.05).9

Sebuah studi pilot tanpa kontrol atas kombinasi obat ini, dilanjutkan dengan TIPS (transjugular intrahepatic portosystemic shunt atau transjugular intrahepatic portosystemic

stent shunting) pada 14 pasien; dilaporkan

terjadi perbaikan fungsi ginjal dan natriuresis. Dua studi menunjukkan bahwa pemberian

octreotide saja tidak menguntungkan HRS,

tampaknya diperlukan tambahan midodrine. Dua studi acak membandingkan peng-gunaan norepinephrine dengan terlipressin, keduanya mempunyai efi kasi yang sama dalam mengatasi sindrom hepatorenal tipe 1 dan tipe 2, namun terapi ini membutuhkan perawatan di ICU.9

Terlipressin banyak diteliti di Amerika. Sebuah

studi multisenter, acak, dengan kontrol antara

terlipressin dibandingkan plasebo pada 112

pasien dengan sindrom hepatorenal tipe 1 hampir mencapai perbedaan bermakna (p=0,059) pada end point primer (ketahanan hidup 14 hari dengan kadar kreatinin serum <1,5mg/dL), tetapi tidak ada perbedaan ketahanan hidup.9 Meta-analisis terbaru atas 8 studi yang meliputi 320 pasien menunjukkan efi kasi hampir mencapai 50% dengan odds ratio 7,5 dalam mengatasi sindrom hepatorenal.9

TIPS saja juga dilaporkan efektif untuk sindrom hepatorenal tipe 1 pada studi pilot 7 pasien tanpa kontrol. Masih terlalu sedikit subjek studi penggunaan TIPS saja pada HRS dengan atau tanpa vasokonstriktor.9 Dua studi pasien sindrom hepatorenal tipe 2 telah dipublikasikan; yang pertama sebuah studi tanpa kontrol dengan terapi terlipressin pada 11 pasien diikuti TIPS pada 9 pasien, fungsi ginjal membaik secara bermakna dibandingkan sebelum terapi. Studi lain adalah studi pilot TIPS pada 18 pasien yang menunggu transplantasi hati, 8 pasien remisi total ascites, pada 10 pasien mengalami respons sebagian tanpa membutuhkan

paracentesis.9

Meta-analisis terapi vasokonstriktor (ter-masuk terlipressin, octreotide/midodrine, dan

norepinephrine) pada sindrom hepatorenal

tipe 1 dan tipe 2, melaporkan bahwa pengobatan vasokonstriktor dengan atau tanpa albumin, menurunkan mortalitas dibandingkan jika tanpa intervensi sama sekali atau hanya pemberian albumin saja (relative risk 0,82; 95% CI 0,40-1,39). Terlipressin

(5)

ditambah albumin menurunkan mortalitas dibandingkan dengan pemberian albumin saja (relative risk 0,81; 95% CI 0,68-0,97) pada HRS tipe 1, tapi tidak pada HRS tipe 2.9 Antusiasme tinggi pada terapi baru tetap harus didukung studi acak tersamar ganda. Sampai data cukup, penggunaan albumin, octreotide, dan midodrine

harus dipertimbangkan dalam terapi sindrom hepatorenal tipe 1. Albumin dan

norepinephrine atau vasopressin dapat

di-pertimbangkan pada perawatan di ICU.9 Sudah lebih dari 30 tahun transplantasi hati efektif sebagai terapi sindrom hepatorenal. Namun apabila pasien telah menjalani dialisis lebih dari 8 minggu sebelum transplantasi hati, transplantasi ginjal juga diperlukan untuk mencegah dialisis setelah transplantasi.9 Umum

Infus albumin ditambah obat vasoactive, seperti octreotide dan midodrine, harus

dipertimbangkan pada terapi sindrom hepatorenal tipe 1 (Class IIa, Level B).

Infus albumin ditambah norepinephrine harus dipertimbangkan juga pada pasien sindrom hepatorenal tipe 1 saat dirawat di ICU (Class

IIa, Level A).

Pasien sirosis dengan ascites, sindrom hepatorenal tipe 1 dan tipe 2 sebaiknya segera dirujuk untuk transplantasi hati (Class

I, Level B).

SIMPULAN

Sindrom hepatorenal (HRS) adalah gagal ginjal pada pasien penyakit hati kronis. Kriteria HRS yang dipakai adalah kriteria dari International Ascites Club tahun 1996 yang telah mengalami revisi pada tahun 2007.

Mekanisme timbulnya HRS sampai saat ini masih belum jelas, diduga pada pasien

dengan hipertensi portal dan sirosis ter-kompensasi terjadi gangguan pengisian arteri menyebabkan penurunan volume darah arteri dan menyebabkan aktivasi sistem vasokonstriktor. Namun, sirkulasi

splanchnic resisten terhadap efek ini karena

produksi terus-menerus vasodilator lokal (NO), sehingga masih terjadi penurunan resistensi vaskuler sistemik total. Apabila penyakit hati makin berat, sistem vasodilator ginjal tidak dapat lagi mengatasi aktivasi maksimal sehingga menyebabkan tidak terkontrol nya vasokonstriksi renal. Beberapa faktor pen-cetus juga dianggap dapat mempengaruhi timbulnya HRS.

Terapi HRS sampai saat ini yang tetap di-rekomendasikan adalah dengan trans-plantasi hati. Pencegahan dan terapi medikamentosa (misalnya: terlipressin,

octreotide/midodrine, dan norepinephrine)

sebelum transplantasi hati dapat meng ikuti rekomendasi dari EASL maupun AASLD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Salerno F, Gerbes A, Ginès P, Wong F, Arroyo V. Diagnosis, prevention and treatment of hepatorenal syndrome in cirrhosis. Gut. 2007 Sep;56(9):1310-8. Epub 2007 Mar 27. 2. Ng C, Chan M, Tai M, Lam C. Hepatorenal syndrome. Clin Biochem Rev. 2007 Feb;28(1):11-7.

3. Nadim MK, Kellum JA, Davenport A, Wong F, Davis C, Pannu N, et al. Hepatorenal syndrome: The 8th international consensus conference of the acute dialysis quality initiative (ADQI) group. Crit Care. 2012 Feb 9;16(1):R23. doi: 10.1186/cc11188.

4. Solà E, Guevara M, Ginès P. Current treatment strategies for hepatorenal syndrome. Clinical Liver Dis. 2013;2:136–9. doi: 10.1002/cld.209

5. Wadei HM, Mai ML, Ahsan N, Gonwa TA. Hepatorenal syndrome: Pathophysiology and management. Clin J Am Soc Nephrol. 2006 Sep;1(5):1066-79. Epub 2006 Jul 12.

6. Rajekar H, Chawla Y. Terlipressin in hepatorenal syndrome: Evidence for present indications. J Gastroenterol Hepatol. 2011 Jan;26(Suppl 1):109-14. doi: 10.1111/j.1440-1746.2010.06583.x. 7. Lata J. Hepatorenal syndrome. World J Gastroenterol. 2012 Sep 28;18(36):4978-84. doi: 10.3748/wjg.v18.i36.4978.

8. European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2010 Sep;53(3):397-417. doi: 10.1016/j.jhep.2010.05.004. Epub 2010 Jun 1.

Gambar

Gambar 1 Patofi siologi sindrom hepatorenal 5
Gambar 2 Hubungan faktor pencetus dengan timbulnya sindrom hepatorenal 5

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Simons kriterium eer boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat

Atas segala pertolonganMu dan RidhloMu , sehingga penulis dapat menye lesaikan penelitian skripsi dengan judul” EFEK IMUNOMODULATOR EKSUDAT IKAN GABUS ( Channa

[r]

Dari intervensi yang telah dilakukan diketahui bahwa pasien juga menderita prediabetes yang ditegakkan dari pemeriksaan OGTT yang masuk ke dalam kriteria prediabetes dan

Dalam penulisan ini dibahas antara lain: Data Topografi, identifikasi pola tanam yang ada, analisa kebutuhan air, perhitungan debit andalan, perhitungan kebutuhan

Rasa bangga yang dimiliki karyawan dalam perusahaan dan keinginan untuk tetap menetap pada suatu perusahaan juga dapat mencerminkan bahwa karyawan memiliki

taufik, hidayah, dan karunia- Nya, sehingga skripsi dengan judul “ Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis siswa Kelas VIII E SMP N 1 Kejobong melalui

Berdasarkan analisis deskriptif dari variabel kinerja karyawan, hasil grand mean sebesar 4,07 yang berada pada interval baik, yang berarti secara keseluruhan dapat