• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Abstrak.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika 2. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Abstrak."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN PARAMETER SUMBER GEMPABUMI MENGGUNAKAN METODE INVERSI W-PHASE DAN PENGGUNAANNYA DALAM PEMODELAN TSUNAMI

DETERMINATION OF THE EARTHQUAKE SOURCE PARAMETERS USING W-PHASE INVERSION METHOD AND ITS USES FOR TSUNAMI MODELLING

Lintang Kesumastuti1 Agus Marsono2 Tatok Yatimantoro2 1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

2Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika email: lintangkst@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini melakukan inversi W-Phase dari delapan gempabumi (M>7) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2006 sampai 2016 dari data IRIS DMC (Incorporated Research

Institutions for Seismology Data Management Center). Hasil dari inversi W-Phase, baik

magnitudo momen dan mekanisme fokus secara umum mirip dengan data dari Global CMT (Centroid Moment Tensor). Hasil menunjukkan selisih maksimum magnitudo momen (Mw) dari hasil inversi W-Phase dan Global CMT sebesar 0,09 dan selisih rata-ratanya 0,03625. Perbandingan magnitudo momen (Mw) mengindikasikan bahwa momen seismik dari Global CMT dan inversi W-Phase lebih besar dibandingkan dengan parameter yang ditentukan oleh gelombang badan, khususnya untuk kejadian gempabumi Mentawai 2010. Penulis membuat pemodelan tsunami dengan menggunakan dua parameter sumber dan deformasi dasar laut yang berbeda yaitu dari Global CMT dan inversi W-Phase untuk mendapatkan waktu tiba dan ketinggian gelombang tsunami di tepi pantai dan divalidasi dengan data observasi tide gauge dari IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission). Hasil dari kedua pemodelan menunjukkan hasil yang relatif sama, tetapi terdapat sedikit perbedaan dengan data observasi pada beberapa lokasi tide gauge.

Kata kunci : inversi W-Phase, tsunami, gempabumi besar

Abstract

This study performed W-Phase inversion for eight events with large magnitude (M>7) that occured in Indonesia for the period of 2006-2016 by using global data obtained from IRIS DMC (Incorporated Research Institutions for Seismology Data Management Center). The results of

W-Phase inversion ; both moment magnitude and focal mechanism were generally similar with

the Global CMT (Centroid Moment Tensor) solutions. The result shows that maximum deviation of moment magnitude was 0,09 and the average of magnitudo deviation was 0.03625. Comparison of moment magnitude (Mw) indicates that seismic moments from Global CMT and

W-Phase inversion are larger than that from body waves, especially for the 2010 Mentawai

earthquake. Tsunami simulation was performed using two different source parameters and sea floor deformation, from Global CMT and W-Phase inversion to get arrival times and heights on the coasts to be validated by observation tide gauge data from IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission). The simulation shows that these two models; Global CMT and

W-Phase inversion yields similar tsunami arrival times and heights on the coasts, but they have

a bit difference with the observation data for some tide gauge station. Keywords : W-Phase inversion, tsunami, large earthquake

(2)

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan wilayah dengan aktivitas seismik yang cukup tinggi yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Filipina. Tingginya aktivitas seismik menyebabkan wilayah Indonesia rawan gempabumi dan tsunami. Kondisi yang demikian mengharuskan adanya informasi gempabumi dan peringatan dini tsunami yang cepat dan akurat. Kualitas informasi gempabumi ditentukan oleh hasil penentuan parameter sumber gempabumi seperti Mw dan mekanisme fokus.

Penentuan parameter sumber gempabumi berupa Mw dan mekanisme fokus dengan menggunakan metode inversi W-Phase telah dilakukan oleh Kanamori (2008) untuk mendukung sistem peringatan dini tsunami. Handayani (2009) menggunakan metode inversi W-Phase untuk menentukan parameter sumber gempabumi (M>7) pada tahun 2004-2009 yang terjadi di Indonesia dan memperoleh hasil yang relatif sama dengan Global CMT (Centroid Moment Tensor) walaupun metode inversi W-Phase kurang cocok diterapkan untuk peringatan dini tsunami karena jenis tsunami yang terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal.

Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan metode inversi W-Phase pada gempabumi (M>7) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2006-2016 dan memvalidasinya dengan data Global CMT. Selanjutnya dilakukan pemodelan tsunami pada gempabumi jenis tsunami earthquake dengan menggunakan parameter gempabumi dari hasil inversi

W-Phase dan data Global CMT, kemudian

divalidasi dengan data observasi.

2. DATA

Data yang digunakan dalam pengolahan inversi W-Phase adalah data seismogram

long-period gempabumi di Indonesia (M>7)

dari tahun 2006-2016 yang didownload dari IRIS-DMC (Incorporated Research Institutions for Seismology Data Management Center) dalam format .seed. Sinyal seismik

yang digunakan adalah 1 sample-per-second rekaman komponen LHZ, LHN, dan LHE. Terdapat delapan kejadian gempabumi yang digunakan dalam penelitian ini, ditunjukkan

dengan symbol bintang merah pada gambar 1. Selain itu digunakan data CMTSOLUTION dari Global CMT untuk data masukan dalam pengolahan inversi W-Phase sekaligus sebagai validasi.

Gambar 1. Peta sebaran episenter gempabumi di Indonesia (M>7) dalam

rentang waktu 2006-2016

Selanjutnya, pada pemodelan tsunami digunakan data parameter sumber gempabumi hasil inversi W-Phase, data batimetri dari GEBCO (General Bathimetry Chart of the

Oceans) dengan ketelitian 30 detik, data

topografi dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission), dan data observasi

berupa rekaman tidegauge yang diunduh dari website IOC (Intergovernmental

Oceanographic Commission). Gempabumi

yang digunakan dalam pemodelan tsunami adalah gempabumi Mentawai 2010.

3. METODE 3.1. Inversi W-Phase

W-Phase adalah fase periode panjang

yang muncul setelah fase gelombang P dan membawa informasi long-period dari sumber lebih cepat daripada gelombang permukaan.

W-Phase memiliki kecepatan grup sekitar 4,5

– 9 km/s dengan renantg periode 100 s – 1000 s (Kanamori, 1993).

Langkah awal pengolahan inversi

W-Phase adalah dengan mengkonversi sinyal

format .seed menjadi .SAC menggunakan rdseed. Selanjutnya, untuk memperoleh

W-Phase dilakukan dekonvolusi sinyal

seismogram dalam acceleration time series, kemudian dilakukan bandpass filter pada domain waktu dengan passband yang berbeda-beda untuk masing-masing kejadian gempabumi. Kemudian dilakukan integrasi dua kali untuk mendapatkan sinyal

displacement. Time window dari W-Phase

(3)

15∆ sekon (∆ adalah jarak episenter dengan stasiun perekam dalam derajat) setelah kedatangan gelombang P.

Proses inversi dilakukan dengan mencocokkan sinyal sintetis dan observasi. Sinyal sintetis diperoleh dari konvolusi

green’s function dengan data observasi berupa

fungsi waktu sumber (moment rate function). Jika pencocokan sinyal buruk maka proses diulang kembali ke penentuan filter frekuensi dan sinyal-sinyal yang tidak cocok (misfit) dan rusak (error) dihilangkan untuk memperoleh nilai deviasi rendah. Jika pencocokan baik, W-Phase disambungkan secara berurutan berdasarkan jarak stasiun terhadap epicenter. Proses inversi ini menghasilkan momen tensor, besar magnitudo momen serta mekanisme sumber gempabumi. Untuk menentukan uji kebenaran inversi

W-Phase maka dilakukan perbandingan

dengan solusi Global CMT. Parameter perbandingan terdiri dari kecocokan sinyal sintetik (misfit), kuadrat terkecil (Root Mean

Square) ±1, kekosongan distribusi stasiun

(azimuth gap) <135°, standar kesalahan data (epsilon) ±0,1, perbandingan rasio bola fokus (RFC) ±1 dan perbandingan visual mekanisme dan sudut sesar (Pribadi, 2014).

3.2. Pemodelan Tsunami

Dalam pemodelan tsunami yang akan dilakukan, terlebih dahulu dilakukan penentuan region atau batasan wilayah yang akan dibuat pemodelan penjalaran tsunami.

Region mencakup epicenter gempabumi dan

seluruh daerah penelitian yang berupa titik-titik pengamatan waktu tiba dan tinggi gelombang tsunami.

Selanjutnya dilakukan perhitungan lebar (W), panjang (L) dan slip rupture (u) untuk data masukan pada program TUNAMI menggunakan tiga rumusan berbeda yaitu persamaan Papazachos (2004), persamaan Wells dan Coppersmith (1994), dan persamaan Hank dan Kanamori (1979). Persamaan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Persamaan Papazachos (2004)

log 𝐿 = −2.42 + (0.58 𝑀𝑤) log 𝑊 = −1.61 + (0.41 𝑀𝑤) log 𝑀𝐷 = −1.38 + (1.02 log 𝐿) log 𝐴𝐷 = −1.43 + (0.88 log 𝐿)

2. Persamaan Wells dan Coppersmith (1994) log 𝐿 = −2.86 + 0.63 𝑀𝑤,

untuk kedalaman 15 km atau 30 km log 𝐴 = −3.99 + 0.98 𝑀𝑤 𝑊 = 𝐴/𝐿

log 𝑀𝐷 = −5.46 + 0.82 𝑀𝑤 log 𝐴𝐷 = −4.80 + 0.69 𝑀𝑤

3. Persamaan Hank dan Kanamori (1979) log 𝐿 = 0.55 𝑀𝑤 − 2.19 log 𝑊 = 0.31 𝑀𝑤 − 0.63 log 𝐴 = 0.86 𝑀𝑤 − 2.82 Dimana, L = panjang patahan (km) W = lebar patahan (km) A = luas patahan (km2) MD = Maximum Displacement (m) AD = Average Displacement (m)

Pengolahan data menggunakan program TUNAMI dilakukan dengan memasukkan data batimetri, data parameter gempabumi dan data parameter bidang sesar. Hasil dari pengolahan ini adalah waktu tiba dan ketinggian gelombang tsunami di titik-titik dekat pantai berupa lokasi tide gauge observasi.

Pada kejadian gempabumi tsunami Mentawai 25 Oktober 2010, terdapat empat

tide gauge observasi yang merekam tinggi

gelombang dan waktu tiba tsunami yaitu stasiun tide gauge Padang, Telukdalam, Cocos, dan Tanahbala. Posisi tide gauge pencatat gelombang tsunami Mentawai dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Posisi tide gauge pencatat tinggi gelombang gempabumi Mentawai 2010.

(4)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Inversi W-Phase

Inversi W-Phase menghasilkan mekanisme sumber dan magnitudo momen dari gempabumi. Pada penelitian ini dilakukan inversi W-Phase pada delapan kejadian gempabumi, hasilnya dibandingkan dengan data dari Global CMT. Filter yang digunakan pada masing-masing pengolahan gempabumi berbeda-beda. Tabel 1 menunjukkan batasan filter yang digunakan pada delapan kejadian gempabumi.

Tabel 1. Batasan filter yang digunakan pada masing-masing gempabumi Gempabumi Passband Pangandaran 2006 0,002-0,007 Hz Bengkulu 2007 0,00167-0,004 Hz Sulawesi 2008 0,005-0,01 Hz Papua 2009 0,0057-0,01 Hz Talaud 2009 0,005-0,01 Hz Sumut 2010 0,002-0,007 Hz Mentawai 2010 0,002-0,008 Hz Maluku 2014 0,01-0,03 Hz

Tabel 2 menunjukkan hasil magnitudo momen Mw dan bola fokal hasil inversi

W-Phase dan data Global CMT. Selisih

maksimum Mw antara hasil inversi W-Phase dan data Global CMT dari delapan kejadian gempabumi tersebut adalah 0,09 dan selisih rata-ratanya adalah 0,03625.

Tabel 2. Hasil Mw (GCMT) dan Mw (W-Phase) Gempabumi Mw (GCMT) Mw (WP) Selisih Mw Pangandaran 7,71 7,67 0,04 Bengkulu 8,48 8,39 0,09 Sulawesi 7,35 7,33 0,02 Papua 7,66 7,62 0,04 Talaud 7,11 7,11 0 Sumut 7,81 7,80 0,01 Mentawai 7,82 7,79 0,03 Maluku 7,05 6,99 0,06

Selain Mw, hasil dari inversi W-Phase adalah mekanisme fokus gempabumi. Kesesuaian mekanisme fokus dilihat dari beberapa aspek seperti kecocokan sinyal sintetik (misfit), kuadrat terkecil (Root Mean

Square) ±1, kekosongan distribusi stasiun

(gap) <135°, standar kesalahan data (epsilon) ±0,1, perbandingan rasio bola fokus (Ratio of

Focal sphere Comparison) atau RFC ±1 dan

perbandingan visual mekanisme dan sudut sesar. Perbandingan visual bola fokus telah ditunjukkan pada tabel 3, sedangkan kecocokan sinyal observasi dan sintetik ditunjukkan pada gambar 3 yaitu contoh kejadian gempabumi Mentawai 2010.

Tabel 3. Bola fokus hasil inversi W-Phase dan Global CMT No Lokasi W-Phase Global CMT 1. Pangandaran 2. Bengkulu 3. Sulawesi 4. Papua 5. Talaud 6. Sumatera Utara 7. Mentawai 8. Maluku

(5)

Gambar 3. Perbandingan sinyal observasi (hitam) dan sintetik (merah) di sembilan

stasiun pada gempabumi Mentawai. Nilai dari aspek-aspek lainnya seperti gap, epsilon, rasio bola fokus, dan jumlah stasiun ditunjukkan pada tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji inversi W-Phase pada masing-masing gempabumi objek

penelitian.

Lokasi Gap Eps RFC Sta Pangandaran 30,8° 0,169 1,14 52 Bengkulu 30,8° 0,150 1,37 52 Sulawesi 30,2° 0,101 1,04 72 Papua 124,9° 0,185 1,14 35 Talaud 37,3° 0,155 1,00 58 Sumut 34,2° 0,057 1,05 52 Mentawai 51,1° 0,055 1,10 36 Maluku 26,0° 0,237 1,22 74

Kekosongan distribusi stasiun seismik yang merekam W-Phase dinyatakan dengan sudut gap dalam sistem kuadran azimut. Batas

gap ideal dalam peneliitian ini adalah kurang

dari 135°. Dari hasil pengolahan inversi

W-Phase yang dilakukan, azimuth gap yang

dihasilkan sudah memenuhi kriteria baik, yaitu kurang dari 135° dengan rata-rata azimuth gap 45,66° dan nilai azimuth gap terbesar adalah pada gempabumi Papua 2009 sebesar 124,9°.

Adapun standar kesalahan data (epsilon) menunjukkan nilai kesalahan data dengan batasan tidak lebih dari 0,150. Pada penelitian ini ditemukan beberapa gempa dengan epsilon melampaui batas ambang diantaranya gempabumi Pangandaran sebesar 0,169, gempabumi Papua sebesar 0,185, gempabumi Talaud sebesar 0,155, dan gempabumi Maluku sebesar 0,237.

Perbandingan bola fokus hasil W-Phase (bola merah) dengan Global CMT (bola biru) secara kualitatif dinyatakan dalam nilai ratio

of focal sphere comparison (RFC). Idealnya

batas RFC tidak lebih dari 1,5, dan dalam penelitian ini dihasilkan RFC pada masing-masing gempabumi kurang dari 1,5 sehingga dianggap cukup baik. Meskipun demikian secara umum mekanisme fokus dari hasil

W-Phase ini cukup konsisten dengan Global

CMT seperti tampak pada tabel 3 yang menunjukkan perbandingan hasil inversi

W-Phase dengan Global CMT.

Jika parameter uji kebenaran yang telah disebutkan sebelumnya diterapkan, maka banyak data yang tidak terpakai. Oleh karena itu parameter terpenting uji kebenaran adalah berdasarkan gambaran mekanisme fokus. Adapun hasil-hasil yang tidak konsisten dengan solusi Global CMT adalah disebabkan oleh perbedaan sensor, filter frekuensi pembacaan fase gelombang dan model kecepatan. W-Phase menggunakan sensor periode panjang dengan kisaran frekuensi sangat rendah (0,001-0,05 Hz). Sedangkan data Global CMT menggunakan sensor

broadband dengan frekuensi rendah sampai

tinggi. Perbedaan frekuensi sensor tersebut memengaruhi kisaran dan jenis bandpass filter yang digunakan. Disamping itu teknik pembacaan fase gelombang pada seismogram juga cukup memengaruhi hasil masing-masing metode.

4.2. Pemodelan Tsunami

Dilakukan pemodelan tsunami gempabumi Mentawai 2010 menggunakan parameter dari hasil inversi W-Phase dan data Global CMT. Tabel 5 menunjukkan strike, dip, rake, dan Mw hasil inversi W-Phase dan data Global CMT.

Tabel 5. Bidang nodal dan Mw hasil inversi W-Phase dan data Global CMT dari gempabumi Mentawai 2010 (Mw=7,82) Inversi Bid Nodal-1

Strike/Dip/ Rake (°) Bid Nodal-2 Strike/Dip/ Rake (°) Mw GCMT 315,7 / 7,9 / 96,0 129,7 / 82,2 / 89,2 7,82 WP 328,1 / 8,0 / 107,1 130,8 / 82,3 / 87,6 7,79

(6)

Dengan menggunakan rumusan Papazachos (2004), Wells dan Coppersmith (1994), dan Hanks dan Kanamori (1979), diperoleh ukuran patahan berupa panjang (L), lebar (W), dan slip (u) yang ditunjukkan pada tabel 6.

Tabel 6. Parameter patahan gempabumi Mentawai 2010. Perumus an Parameter Patahan Global CMT W-Phase Papazac hos (2004) Panjang (L) 130,49 km 125,37 km Lebar (W) 39,46 km 38,36 km Slip maksimum 5,99 m 5,75 m Slip rata-rata 2,70 m 2,60 m Slip (u) 5 m 4 m Wells dan Coppers mith (1994) Panjang (L) 116,57 km 111,60 km Lebar (W) 40,45 km 39,49 km Slip maksimum 8,96 m 8,46 m Slip rata-rata 3,94 m 3,75 m Slip (u) 8 m 7 m Hank dan Kanamo ri (1979) Panjang (L) 129,12 km 124,30 km Lebar (W) 62,25 km 60,93 km Slip (u) 3 m 3 m

Hasil perhitungan parameter patahan dan deformasi dasar laut inilah yang digunakan sebagai input untuk pemodelan tsunami patahan gempabumi Mentawai 2010. Dari program TUNAMI, diperoleh hasil berupa perkiraan waktu tiba gelombang dan tinggi

gelombang di titik-titik lokasi tide gauge (gambar 2) yaitu stasiun Padang, Telukdalam, Cocos, dan Tanahbala. Grafik tinggi gelombang (sumbu y) terhadap waktu (sumbu x) hasil pemodelan dan observasi di stasiun Padang, Telukdalam, Cocos, dan Tanahbala terlihat pada gambar 4 hingga 7, dimana gambar (a) merupakan hasil pemodelan dari perumusan ukuran patahan Hank dan Kanamori, gambar (b) merupakan hasil pemodelan dari perumusan ukuran patahan Papazachos, dan gambar (c) merupakan hasil pemodelan dari perumusan ukuran patahan Wells dan Coppersmith. Grafik warna biru merupakan data observasi, grafik warna merah adalah data pemodelan dari W-Phase, dan warna hijau adalah data pemodelan dari Global CMT.

Gambar 4. Grafik waktu tiba dan tinggi gelombang tsunami di stasiun tide gauge

Padang.

Gambar 5. Grafik waktu tiba dan tinggi gelombang tsunami di stasiun tide gauge

Telukdalam.

(a) (b)

(c)

(a) (b)

(7)

Gambar 4. Grafik waktu tiba dan tinggi gelombang tsunami di stasiun tide gauge

Cocos.

Gambar 4. Grafik waktu tiba dan tinggi gelombang tsunami di stasiun tide gauge

Cocos.

Pemodelan tsunami dari parameter hasil inversi W-Phase dengan pemodelan tsunami dari parameter Global CMT tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Hanya terdapat selisih yang relatif kecil nilai waktu tiba dan tinggi gelombang hasil pemodelan dari parameter inversi

W-Phase dengan data Global CMT. Adanya

perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar karena dalam proses simulasi tsunami itu sendiri sangat banyak parameter-parameter yang memengaruhi hasil. Input parameter pemodelan tsunami meliputi strike, dip, rake, kedalaman, ukuran patahan berupa panjang, lebar dan slip (pergeseran) patahan serta fault

origin yang secara tidak langsung

memengaruhi hasil pemodelan.

Dip berhubungan secara langsung dengan

deformasi patahan gempabumi, dengan adanya faktor magnitudo dan kedalaman menjadikan dip berpengaruh terhadap ketinggian tsunami. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Titov, dkk. (2001) tentang sensitivitas pemodelan tsunami terhadap sudut rake dan

dip. Dilakukan beberapa pemodelan dengan

parameter sumber gempabumi yang sama kecuali nilai dip, diperoleh bahwa berkurangnya sudut dip dari 20° menjadi 10° menyebabkan amplitudo gelombang berkurang 30%. Sedangkan variasi rake tidak berpengaruh secara signifikan terhadap gelombang tsunami. Amplitudo gelombang tsunami dari gempabumi dengan rake 135° adalah 20% lebih kecil daripada gelombang tsunami dari gempabumi dengan rake 90°.

Pemodelan tsunami dari gempabumi Mentawai 2010 menunjukkan hasil yang relatif sama dengan data observasi yang berupa rekaman tidegauge, meskipun pada beberapa titik pengamatan terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan hasil yang cukup signifikan tampak pada stasiun Padang dan Telukdalam dimana waktu tiba hasil pemodelan lebih cepat dibandingkan data observasi, dan tinggi gelombang hasil pemodelan underestimate terhadap data observasi. Akan tetapi, fase awal gelombang tsunami hasil pemodelan sama dengan data observasi, baik pada stasiun Padang maupun Telukdalam.

Perbedaan hasil pemodelan dengan observasi juga merupakan hal yang wajar karena seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa terdapat banyak parameter pada pemodelan tsunami yang memengaruhi hasil pemodelan. Adanya perbedaan tersebut dapat disebabkan karena kekurangtepatan dalam menentukan ukuran bidang patahan, dalam hal ini merujuk pada rumus yang digunakan. Hal ini didukung oleh jenis tsunami yang disebabkan oleh gempabumi itu sendiri. Gempabumi tsunami Mentawai merupakan jenis tsunami earthquake dimana magnitudo yang tidak signifikan dapat menyebabkan energi gelombang tsunami yang cukup besar. Penelitian ini menggunakan persamaan empiris untuk menentukan ukuran patahan dimana penentuan ukuran patahan secara cepat menggunakan rumusan empiris merupakan fungsi dari magnitudo. Hal ini yang kemungkinan menjadi penyebab hasil pemodelan menjadi underestimate terhadap

(a) (b)

(c)

(a) (b)

(8)

data observasi, dimana tinggi gelombang jauh lebih kecil daripada data observasi.

Parameter pemodelan tsunami yang juga cukup berpengaruh pada hasil pemodelan yaitu fault origin yang merupakan sebuah titik sudut kanan bawah dari patahan. Penulis menentukan fault origin berdasarkan data gempa susulan dari gempabumi Mentawai.

Fault origin tidak bisa dirubah secara acak

karena fault origin menggambarkan patahan dari kejadian gempabumi tersebut sehingga lokasinya harus berada di sekitar gempabumi utama dan gempabumi susulan. Pada simulasi tsunami, fault origin berpengaruh pada waktu tiba gelombang tsunami pada suatu lokasi.

Selain parameter-parameter yang telah disebutkan di atas, gelombang tsunami dalam penjalarannya juga sangat dipengaruhi oleh kondisi batimetri lautan. Bentuk dasar permukaan laut sangat kompleks. Perlu digunakan batimetri yang menggambarkan kondisi real dari lautan untuk mendapatkan hasil simulasi yang bagus.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut :

1. Inversi W-Phase pada gempabumi besar (M>7) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2006 sampai 2016 menghasilkan magnitudo momen dan mekanisme fokus yang hampir sama dengan data Global CMT.

2. Pada umumnya, simulasi tsunami yang diterapkan pada kejadian gempabumi Mentawai menunjukkan bahwa waktu tiba dan ketinggian gelombang tsunami antara hasil pemodelan parameter Global CMT dan W-Phase relatif sama. Akan tetapi, terdapat perbedaan hasil pemodelan dengan data observasi di beberapa lokasi pengamatan.

5.2. Saran

Berikut saran dari penulis yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk penelitian berikutnya : 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan

menerapkan metode inversi W-Phase untuk kejadian gempabumi di Indonesia

dalam rentang waktu yang lebih lama dan dengan magnitudo yang bervariasi untuk mendapatkan karakteristik batasan filter yang digunakan sehingga mempermudah pengolahan inversi W-Phase itu sendiri. 2. Perlu meninjau ulang parameter dan

software yang akan dijadikan masukan

parameter simulasi tsunami untuk memperoleh hasil pemodelan tsunami yang lebih baik.

6. UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada IRIS-DMC (Incorporated Research Institutions for Seismology Data Management Center), Global CMT (Centroid Moment

Tensor), dan IOC (Intergovernmental

Oceanographic Commission) yang telah

membantu menyediakan data penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Duputel, Z. dkk., 2011, Real-time W-Phase

Inversion during the 2011 off the Pacific coast of Tohoku Earthquake, Earth Planet

Space, Vol. 63, Hal. 535–539.

Duputel, Z. dkk., 2012, W-Phase Source

Inversion for Moderate to Large

Earthquakes (1990-2010), Geophysical

Journal International, doi : 10.11 11/j.1365-246X.2012.05419.x.

Dziewonski, A.M., dan Anderson, D.L., 1981,

Preliminary Reference Earth Model (PREM), Phys.Earth Planet. Inter., 25,

297–356.

Handayani, T., 2009, W-Phase Analysis for

Tsunami Warning, National Graduate

Institute for Policy Studies, Tokyo, Japan, Building Research Institute, Tsukuba, Japan, Master Thesist (MEE08175), Disaster Management Policy Program. Hanks dkk., 1979, Moment Magnitude Scale.

Journal of Geophysical Research 84, B5: 2348-2350. Retrieved 2007-10-06.

Hayes, G.P., Rivera, L., dan Kanamori, H., 2009, Source Inversion of the W-Phase:

Real Time Implementation and Extension to Low Magnitudes, Seis. Res. Let., Vol.

(9)

International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, 2016, [daring], http://iisee.kenken.go.jp/staff/fujii/Sumatr a2010/tsunami.html,diakses pada tanggal 20 Juli 2016

Kanamori, H., 1993, W-Phase, Geophys. Res. Lett., 20(16), 1691–1694.

Kanamori, H. dan Rivera, L., 2008, Source

Inversion of W-Phase, Speeding Up Seismic Tsunami Warning, Geophys. J.

Int., 175, 222–238, doi: 10,1111/j,1365-246X,20083887.x.

Papazachos, B. dkk., 2004, Global Relations

Between Seismic Fault Parameters and Moment Magnitude of Earthquakes,

Bulletin Geol. Soc. Greece 36, 1482-1489.

Pribadi, S., 2014, Karakteristik Gempabumi Pembangkit Tsunami di Indonesia Berdasarkan Analisis Parameter Sumber,

Disertasi, Program Doktor, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Satake, K. dkk., 2013, Tsunami Source of the

2010 Mentawai, Indonesia Earthquake Inferred Field Survey and Waveform Modeling, Pure Appl. Geophys. 170

(2013), 1567-1582.

Setyonegoro, W. dkk., 2012, Analisis Sumber

Gempabumi dengan Potensi Tsunami

pada Segmen Mentawai, Jurnal

Meteorologi dan Geofisika BMKG, Vol. 13 No. 2, Hal: 138-139, 2012. Jakarta: Badan Meteorologi dan Geofisika.

Shearer, P. M., 2009, Introduction to

Seismology Second Edition, Cambridge

University Press, New York. ISBN-13978-0-511-58010-9.

Stein, S. dan Wysession, M., 2003, An

Introduction to Seismology, Earthquakes, and Earth Structure. Oxford: Blackwell

Publishing Ltd.

Tim Survey BMKG, 2010, Laporan Survey

Tsunami Mentawai 2010, BMKG, Jakarta

Titov, dkk., 2001, MOST Model Simulations

of the 1996 Andreanov Island Tsunami. Offshore Forecasting of Tsunami. G. T.

Hebenstreit (Ed), Tsunami Research at

The End of a Critical Decade, 75-87,

Kluwer Academic Publishers.Virginia. Trisnawati, 2015, Analisis Inundasi Tsunami

di Bali Selatan, Skripsi, Program Sarjana Sains Terapan, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Tangerang Selatan.

Wells, D. L., Coppersmith, K. J., 1994, New

Empirical Relationships among

Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface

Displacement. Bulletin of the

Seismological Society of America, 84(4). 1994.

Zhu, L., 2003, Recovering Permanent

Displacements from Seismic Records of

the June 9, 1994 Bolivia Deep

Earthquake, Geophys. Res. Lett., 30, 14,

Gambar

Gambar 1. Peta sebaran episenter  gempabumi di Indonesia (M&gt;7) dalam
Gambar 2. Posisi tide gauge pencatat tinggi  gelombang gempabumi Mentawai 2010.
Tabel  2  menunjukkan  hasil  magnitudo  momen  Mw  dan  bola  fokal  hasil  inversi   W-Phase  dan  data  Global  CMT
Tabel 4. Hasil uji inversi W-Phase pada  masing-masing gempabumi objek
+3

Referensi

Dokumen terkait

4.1.4.2 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan indikasi relatif Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa penderita tonsilitis kronis yang telah

Logo berfungsi sebagai identitas suatu perusahaan, desain logo haruslah mudah dipahami, diingat, dan memiliki arti yang sesuai dengan konsep usaha, sedangkan

Remarks No Description Unit CONTRACT

Dari hasil pengujian kontroler proporsional, diferensial ditambah kontroler integral dapat disimpulkan bahwa respon robot akan semakin baik bila penggunaan integral

[r]

Data hasil observasi pembelajaran yang dilakukan guru dengan menerapkan model pembelajaran Numbered Heads Together dalam pembelajaran Matematika dinilai dengan rumus

Gambar 2 Layout Desain Alternatif 1 Type ini sangat fleksible digunakan untuk batasan kolam dewasa, ataupun bisa dipakai untuk pembuatan whirlpool atau kolam pemanas,

Secara umum analisis rekrutmen calon walikota dan wakiBalikpapan oleh partai golkar pada pemilihan kepala daerah kota Balikpapan tahun 2015 adalah sebuah proses untuk