• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Kewarganegaraan Kewiraan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendidikan Kewarganegaraan Kewiraan Nasional"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

(KEWIRAAN NASIONAL)

EDISI

REVISI

BUTIR-BUTIR BAHAN DISKUSI

Untuk Mahasiswa Strata Satu di Lingkungan Universitas Suryakancana Cianjur

Disusun Oleh : Drs. DJUNAEDI SAJIDIMAN, MM, M.Pd.

UNIVERSITAS SURYAKANCANA

UNIVERSITAS SURYAKANCANA

UNIVERSITAS SURYAKANCANA

UNIVERSITAS SURYAKANCANA

CIANJUR

CIANJUR

CIANJUR

CIANJUR

----20

20

2011

20

11

11----

11

KATA PENGANTAR

(2)

Sesuai dengan tugas untuk memberikan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (dh. Kewiraan Nasional) pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Pertanian Universitas Suryakancana Cianjur, penulis mencoba membuat ikhti-sar berupa butir-butir bahan diskusi untuk memudahkan para mahasiswa strata satu berdiskusi pada waktu perkuliahan.

Bahannya diambil dari berbagai buku sumber dan bahan pendukung lainnya, mengacu pada Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-rambu Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi yang termasuk di dalamnya Pendidikan Kewarganegaraan.

Diktat ini adalah hasil revisi dari yang penulis susun tahun 2007, isinya dikoreksi dan ditambah dengan perkembangan baru pasca Pemilu dan Pilpres tahun 2009, serta disesuaikan pula dengan buku-buku tentang pendidikan kewarganegaraan yang terbit mutakhir.

Untuk pengayaan dan pendalaman materi, para mahasiswa dianjurkan untuk mempelajari lebih lanjut buku-buku yang penulis pergunakan, yang dicantumkan juga dalam daftar kepustakaan.

Semoga kiranya bermanfaat.

Cianjur, Januari 2011. Penulis

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

BAB II. KEWARGANEGARAAN ... 5

BAB III. IDENTITAS NASIONAL INDONESIA ... 20

BAB IV. HAK ASASI MANUSIA ……….. 25

BAB V. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ... 44

BAB VI. BELA NEGARA ………... 49

BAB VII. DEMOKRASI ………... 61

BAB VIII. WAWASAN NUSANTARA ………... 86

BAB IX. KETAHANAN NASIONAL ………. 97

BAB X. POLITIK STRATEGI NASIONAL ………. 106

BAB XI. OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI ... 113

BAB XII. MASYARAKAT MADANI ... 125

BAB XIII. TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH.. 132

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 142

-djuns-

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di Perguruan Tinggi atau yang di lingkungan Uni-versitas Suryakancana (UNSUR) Cianjur masih memakai istilah lama, yaitu Pendidikan Kewiraan, berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departe-men Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK) di Perguruan Tinggi.

Adapun kurikulum untuk Perguruan Tinggi (PT) terdiri dari : Kurikulum Inti dan Kuri-kulum Instansional. KuriKuri-kulum inti adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang

berlaku secara nasional, meliputi : 1. Kelompok MPK (Matakuliah Pengembangan Kepribadian), 2. Kelompok MKK (Matakuliah Keilmuan dan Keterampilan), 3. Kelom-pok MKB (Matakuliah Keahlian Berkarya), 4. KelomKelom-pok MPB (Matakuliah Perilaku Berkarya), dan 5. Kelompok MBB (Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat). Se-dangkan kurikulum instansional adalah sejumlah bahan kajian dan pelajaran yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan tinggi, terdiri atas tambahan dari kelom-pok ilmu dalam kurikulum inti yang disusun dengan memperhatikan kebutuhan

ling-kungan serta ciri khas perguruan tinggi yang bersangkutan.

Khusus kelompok MPK dapat dijelaskan : 1. Kelompok bahan kajian dan mata pela- jaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap

Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap dan mandiri, serta mem-punyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, 2. Bertujuan pengayaan wawasan, pendalaman intensitas, pemahaman dan penghayatan, 3. Wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi, yang terdiri atas :

Ke-lompok MPK Kurikulum Inti : a. Pendidikan Pancasila, b. Pendidikan Agama, dan c. Pendidikan Kewarganegaraan. Adapun Kelompok MPK Kurikulum Instansional : a. Bahasa Indonesia, b. Bahasa Inggris, c. Ilmu Budaya Dasar, d. Ilmu Sosial Dasar, e. Ilmu Alamiah Dasar, f. Ilmu Filsafat, dan g. Olahraga, dll.

(5)

A. VISI, MISI, TUJUAN, DAN KOMPETENSI

Visi, misi, tujuan, dan kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan mengacu pada visi, misi, tujuan, dan kompetensi MPK, yaitu :

1. Visi :

Menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan mahasiswa mengembangkan kepribadiannya.

2. Misi :

Membantu mahasiswa agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dan

kebuda-yaan serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menerapkan ilmu penge-tahuan, teknologi dan seni yang dikuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan.

3. Tujuan :

Mempersiapkan mahasiswa agar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat dapat mengembangkan kehidupan pribadi yang memuaskan, menjadi anggota keluarga yang bahagia, serta menjadi warga negara yang berkesadaran kebang-saan yang tinggi dan bertanggung kawab kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

4. Kompetensi :

Menguasai kemampuan berpikir, bersikap rasional dan dinamis, serta berpan-dangan luas sebagai manusia intelektual, yaitu :

a. Mengantarkan mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengambil sikap yang bertanggung jawab sesuai dengan hati nuraninya;

b. Mengantarkan mahasiswa memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan, serta cara-cara pemecahannya;

c. Mengantarkan mahasiswa mampu mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;

(6)

d. Mengantarkan mahasiswa memiliki kemampuan untuk memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk menggalang persatuan Indonesia.

B. METODOLOGI PEMBELAJARAN 1. Pendekatan :

Menempatkan mahasiswa sebagai subyek pendidikan, mitra dalam proses

pem-belajaran, dan sebagai umat, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.

2. Metode Proses Pembelajaran :

Pembahasan secara kritis, analitis, induktif, deduktif, dan reflektif melalui dialog yang bersifat partisipatoris untuk meyakini kebenaran substansi dasar kajian.

3. Bentuk Aktivitas Proses Pembelajaran :

Kuliah tatap muka, ceramah, diskusi interaktif, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil, dan evaluasi proses belajar.

4. Motivasi :

Menumbuhkan kesadaran bahwa proses belajar mengembangkan kepribadian merupakan kebutuhan hidup.

C. DASAR SUBSTANSI KAJIAN (POKOK BAHASAN)

1. Pendahuluan. 2. Kewarganegaraan.

3. Identitas Nasional Indonesia. 4. Hak Asasi Manusia.

5. Hak dan Kewajiban Warga Negara. 6. Bela Negara.

7. Demokrasi.

8. Wawasan Nusantara. 9. Ketahanan Nasional.

(7)

10. Politik Strategi Nasional.

11. Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. 12. Masyarakat Madani.

13. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih.

D. KOMPETENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Berdasarkan substansi kajian tersebut di atas, maka rumusan kompetensi ril yang hendak dituju oleh Pendidikan Kewarganegaraan menurut Hamdan Mansoer

(2005) adalah agar manusia Indonesia :

1. Menjadi warga negara yang memiliki wawasan berbangsa dan bernegara.

2. Menjadi warga negara yang komit terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi, serta berpikir kritis terhadap permasalahannya.

3. Berpartisipasi dalam hal :

a. Upaya menghentikan budaya kekerasan dengan damai dan menghormati supremasi hukum;

b. Menyelesaikan konflik dalam masyarakat dilandasi sistem nilai Pancasila yang universal.

4. Berkontribusi terhadap berbagai persoalan dalam kebijakan publik.

5. Memiliki pengertian internasional tentang civil society (masyarakat madani), menjadi warga negara yang kosmopolit.

(8)

BAB II

KEWARGANEGARAAN

A. WARGA NEGARA DAN KEWARGANEGARAAN 1. Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan : Warga Negara = Warga + Negara

Warga = anggota, peserta;

Negara = organisasi bangsa, atau organisasi kekuasaan suatu bangsa. Jadi, warga negara = anggota, peserta, atau warga dari suatu organisasi bangsa.

Istilah warga negara dalam bahasa Inggris adalah citizen yang mempunyai arti : 1. Warga negara, 2. Petunjuk dari sebuah kota, 3. Sesama warga negara, sesama penduduk, orang se-tanah air, 4. Bawahan atau kawula, 5. Anggota dari suatu komunitas yang membentuk negara itu sendiri.

Dengan demikian kewarganegaraan (citizenship), berarti keanggotaan yang me-nunjukkan hubungan atau ikatan antara negara dengan warga negara. Adapun istilah kewarganegaraan dibedakan menjadi dua, yaitu :

a. Kewarganegaraan dalam Arti Yuridis dan Sosiologis :

(1) Dalam arti yuridis, ditandai dengan adanya ikatan hukum antara warga negara dengan negara yang menimbulkan akibat hukum tertentu. Tanda adanya ikatan hukum dimaksud misalnya ada akte kelahiran, surat per-nyataan bukti kewarganegaraa, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, akte perkawinan, dll.

(2) Dalam arti sosiologis, tidak ditandai dengan ikatan hukum, tetapi ikatan emosional (perasaan), ikatan keturunan (darah), ikatan nasib, ikatan sejarah, dan ikatan tanah air. Ikatan-ikatan ini lahir dari penghayatan warga negara bersangkutan.

b. Kewarganagaraan dalam Arti Formal dan Material :

(1) Dalam arti formal, menunjuk pada tempat kewarganegaraan. Dalam sistem hukum, masalah kewarganegaraan berada pada hukum publik; (2) Dalam arti material, menunjuk pada akibat hukum dari status kewarga-

(9)

negaraan, yaitu adanya hak dan kewajiban.

Dengan memiliki status sebagai warga negara, orang mempunyai hubungan dengan negara yang tercermin dalam hak dan kewajiban. Pada zaman penjajah-an Belpenjajah-anda dipakai istilah kawula, menunjukkpenjajah-an hubungpenjajah-an warga ypenjajah-ang tidak sederajat dengan negara.

Beda antara istilah rakyat, penduduk, dan warga negara : a. Rakyat :

Merupakan konsep politis, menunjuk pada orang-orang yang berada di bawah satu pemerintahan, dan tunduk pada pemerintahan itu. Istilah rakyat umumnya dilawankan dengan istilah penguasa/pemerintah.

b. Penduduk :

Orang-orang yang bertempat tinggal di suatu wilayah negara. Penduduk di Indonesia terdiri dari Warga Negara Indonesia (WNI) dan orang asing atau Warga Negara Asing (WNA). Terdapat juga yang nonpenduduk, yaitu orang-orang yang tinggal di Indonesia untuk sementara, misalnya turis asing. c. Warga Negara :

Penduduk yang secara resmi menjadi anggota/warga suatu negara. Atau warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara bersangkutan.

Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

WARGA NEGARA (WNI)

PENDUDUK

ORANG YANG ORANG ASING (WNA)

BERADA DI WILAYAH NEGARA

BUKAN PENDUDUK

(10)

Sementara itu pengertian kewarganegaraan menurut Undang-Undang No. 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, adalah segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara. Dan pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan RI melalui permohonan.

2. Penentuan Warga Negara :

Setiap negara berdaulat berwenang menentukan siapa-siapa yang menjadi warga

negara. Dalam menentukan kewarganegaraan dikenal dua aspek, yaitu aspek

kelahiran dan aspek perkawinan.

a. Aspek Kelahiran :

(1) Asas Ius Soli (Law of The Soil) :

Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran. Di Indonesia diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU 62/1958, dan sekarang UU 12/2006).

(2) Asas Ius Sanguinis (Law of The Blood) :

Asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan darah/

keturunan. b. Aspek Perkawinan :

(1) Asas Persamaan Hukum :

Suami-istri adalah satu ikatan yang tidak terpecah sebagai inti dari ma-syarakat. Dengan demikian status kewarganegaraannya sama.

(2) Asas Persamaan Derajat :

Suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan suami-istri. Masing-masing memiliki hak yang sama dalam menentukan kewarganegaraannya. Jadi, suami-istri bisa berbeda kewarganegeraan seperti sebelum mereka melakukan perkawinan.

Dalam UU 12/2006 dikenal pula :

(1) Asas Kewarganegaraan Tunggal, yaitu asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang;

(11)

(2) Asas Kewarganegaraan Ganda, yaitu asas yang menentukan kewargane-

garaan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang (merupakan suatu pengecualian, karena pada dasarnya tidak boleh ada apatride, bipatride, lebih-lebih multipatride).

Beberapa asas khusus juga menjadi dasar dalam penyusunan undang-undang kewarganageraan di Indonesia, yaitu :

(1) Asas Kepentingan Nasional, adalah asas yang menentukan bahwa per-aturan kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan tujuan sendiri;

(2) Asas Perlindungan Maksimum, adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia dalam keadaan apa pun baik di dalam maupun di luar negeri;

(3) Asas Persamaan di Dalam Hukum dan Pemerintahan, adalah asas yang menentukan bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan per-lakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan;

(4) Asas Kebenaran Substantif, adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat dipertanggungjawabkan kebenar-annya;

(5) Asas Nondiskriminatif, adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis kelamin, dan gender;

(6) Asas Pengakuan dan Penghormatan Terhadap Hak Asasi Manusia, adalah asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin, melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya, dan hak warga negara pada khususnya;

(7) Asas Keterbukaan, adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka;

(12)

(8) Asas Publisitas, adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh atau kehilangan kewargaan RI diumumkan dalam Berita

Negara RI agar masyarakat mengetahuinya.

Pokok materi yang diatur dalam UU 12/2006 meliputi : (1) Siapa yang menjadi WNI;

(2) Syarat dan tata cara memperoleh kewarganegaraan RI; (3) Kehilangan kewarganegaraan RI;

(4) Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI; (5) Ketentuan pidana.

Perbedaan penentuan kewarganegaraan oleh setiap negara dapat menyebabkan masalah, yaitu munculnya :

a. Apatride, yaitu istilah bagi orang-orang yang tidak memiliki kewarga-negaraan;

b. Bipatride, yaitu istilah bagi orang-orang yang memiliki dua kewarga-negaraan;

c. Multipatride, yaitu istilah bagi orang-orang yang memiliki banyak kewarga-negaraan (lebih dari dua).

3. Warga Negara Indonesia :

Ketentuan mengenai kewarganegaraan Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 BAB X Pasal 26 :

a. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara;

b. Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. (Perubahan II/2000);

c. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang. (Perubahan II/2000).

(13)

a. Orang-orang bangsa Indonesia asli;

b. Orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang menjadi warga negara.

Berdasarkan Pasal 26 Ayat (2), penduduk negara Indonesia terdiri dari dua, yaitu Warga Negara Indonesia (WNI), dan orang asing (WNA). Sebelumnya, berda-sarkan Indische Staatsregeling 1927 Pasal 163, penduduk Indonesia adalah : a. Golongan Eropa, terdiri dari :

(1) Bangsa Belanda;

(2) Bukan bangsa Belanda, tetapi dari Eropa;

(3) Orang bangsa lain yang hukum keluarganya sama dengan golongan Eropa.

b. Golongan Timur Asing, terdiri dari : (1) Tionghoa (Cina);

(2) Timur asing bukan Cina; c. Golongan Bumiputra, terdiri dari :

(1) Orang Indonesia asli dan keturunannya;

(2) Orang lain yang menyesuaikan diri dengan orang Indonesia asli.

Sementara itu berdasarkan UU 12/2006 BAB II tentang Warga Negara Indo-nesia, tercantum dalam :

Pasal 4 Warga Negara Indonesia adalah :

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau ber-dasarkan perjanjian pemerintah RI dengan negara lain sebelum UU 12/2006 berlaku, sudah menjadi WNI;

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI; c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu

WNA;

d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNA dan ibu WNI;

e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi ayah Nya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya ti-

(14)

dak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;

f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI;

g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI;

h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin; i. Anak yang lahir di wilayah negara RI yang pada waktu lahir tidak jelas

sta-tus kewarganegaraan ayah dan ibunya;

j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara RI selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

k. Anak yang lahir di wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tidak mempu-nyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;

l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara RI dari seorang ayah dan ibu WNI yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;

m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewar-ganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Pasal 5

(1) Anak WNI yang lahir di luar perkawinan yang sah, belum berusia 18 (dela-pan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing, tetap diakui sebagai WNI;

(2) Anak WNI yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh WNA berdasarkan penetapan pengadilan, tetap diakui sebagai WNI;

Pasal 6

(1) Dalam hal status kewarganegaraan RI terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau

(15)

sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarga-negaraanya.

(2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan me-lampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.

Pasal 7

Setiap orang yang bukan WNI diperlakukan sebagai orang asing.

4. Pendidikan Kewarganegaraan :

Pendidikan kewarganegaraan asalnya dari bahasa Latin ”civis” dan dalam

baha-sa Inggris ”civic” atau ”civics.” Civic = mengenai warga negara atau kewarga-negaraan, sedangkan civics = ilmu kewargakewarga-negaraan, dan civic education = pendidikan kewarganegaraan. Untuk selanjutnya istilah ”civics” saja sudah berarti pendidikan kewarganegaraan.

Untuk lebih jelas mengenai pengertian civics, berikut ini dikemukakan beberapa definisi :

a. The Advanced Leaner’s Dictionary of Current English, 1954 :

Civics : The study of city government and the duties of citizens.

b. Webster’s New Collegiate Dictionary, 1954 :

Civics : The department of political science dealing with right of citizen of

duties of citizens.

c. Dictionary of Educations, 1956 :

Civics : The element of political science or that science dealing with right and duties of citizens.

(16)

Civics : The science of right and duties of citizenship, esp, as the subject of school course.

e. Creshore Education, VII. 264:1886-1887 :

Civics : The science of citizenship - the relations of man, the individual to

man in organized collections – the individual to the state.

f. Webster’s New Cincise Dictionary : Civics : Science of government. g. Edmonson, 1968:3-5 :

Civics : The study of government and citizenship – that is, the duties right

and privilege of citizens.

Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa civics menyangkut : a. Warga negara dengan hak dan kewajibannya;

b. Pemerintah; c. Negara;

d. Merupakan cabang dari ilmu politik.

Menurut Ahmad Sanusi, sejauh civics dapat dipandang sebagai disiplin ilmu politik, maka fokus studinya mengenai ”kedudukan dan peranan warga negara dalam menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dan sepanjang batas-batas ketentuan konstitusi negara yang bersangkutan.” Sementara itu menurut

Nu’man Soemantri, isi dan manfaat dari civics yang merupakan bagian dari

ilmu politik, diambil demokrasi politiknya, dengan materi :

a. Konteks ide demokrasi : Teori demokrasi politik, teori demokrasi dalam pemerintahan, teori ”mayority rule,” ”minority right,” konsep demokrasi dalam masyarakat, dll.

b. Konstitusi negara : Sejarah legal status, masalah pokok dalam konstitusi, rangkaian krisis dalam ”nation building,” identitas, integritas, penetrasi, partisipasi, distribusi, dll.

c. Input dari sistem politik : Arti pendapat umum terhadap kehidupan politik, studi tentang ”political behavior” (kebutuhan pokok manusia, tradisi rumah,

(17)

status sosial, etnic group, komunikasi, pengaruh rumah, sahabat, teman sepe-kerjaan, dsb.);

d. Partai politik dan ”pressure group” : Sistem kepartaian, fungsi partai poli-tik (parpol), peranan kelompok penekan, public relations, dsb.

e. Pemilihan umum : Maksud pemilu dalam distribusi kekuasaan, sistem pe-milu, dsb.

f. Lembaga-lembaga pengambil keputusan (decision maker) : Legislator dan

kepentingan masyarakat, bagaimana konstitusi memberi peranan ”policy

maker” kepada Presiden, bagaimana Presiden berperan sebagai legislator, proses kegiatan lembaga legislatif, dsb.

g. Presiden sebagai Kepala Negara : Kedudukan Presiden menurut konstitusi,

kontrol lembaga legislatif terhadap Presiden dan birokrasi, organisasi dan manajemen pemerintahan, pemerintah daerah, dsb.

h. Lembaga yudikatif : Sistem dan administrasi peradilan, hak dan kedudukan seseorang dalam pengadilan, proses pengadilan, hubungan lembaga legisla- tif, eksekutif, dan yudikatif,

i. Output dari sistem demokrasi politik : Hak dan kemerdekaan individu dalam konstitusi, kebebasan berbicara, pers dan massmedia, kebebasan akademis, perlindungan yang sama, cara penduduk memperoleh dan kehilangan kewar-ganegaraan.

j. Kemakmuran umum dan pertahanan negara : Tugas negara dan warga negara dalam mencapai kemerdekaan umum, hak-hak memiliki barang/ kekayaan, pajak untuk kepentingan umum, politik luar negeri dan keselamat-an nasional, hubungkeselamat-an internasional.

k. Perubahan sosial dan demokrasi politik : Demokrasi politik, pembangunan masa sekarang, bagaimana mengisi dan mengefektifkan demokrasi politik, tantangan bagi warga negara dalam menghadapi perkembangan sain dan teknologi, dsb.

Menurut Nu’man Soemantri, obyek studi civics adalah warga negara dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan, sosial, ekonomi, agama, kebu-dayaan, dan negara. Termasuk dalam obyek ini adalah :

(18)

a. Tingkah laku;

b. Tipe pertumbuhan berpikir;

c. Potensi yang ada dalam setiap warga negara; d. Hak dan kewajiban;

e. Cita-cita dan aspirasi;

f. Kesadaran (patriotisme, nasionalisme, pengertian internasional, moral Panca-sila, dsb.);

g. Usaha, kegiatan, partisipasi, tanggung jawab, dsb.

Jadi, civics tidak semata-mata mengajarkan pasal-pasal UUD, UU, PP, Perpres/ Keppres, Perda, dll. tetapi hendaknya mencerminkan juga hubungan tingkah

laku warga negara dalam kehidupan sehari-hari, dengan manusia lain dan alam sekitarnya. Dengan demikian materi civics memasukkan unsur-unsur :

a. Lingkungan fisik;

b. Sosial, pendidikan, kesehatan; c. Ekonomi, keuangan;

d. Politik, hukum, pemerintahan; e. Etika, agama;

f. Sain dan teknologi.

5. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan :

a. Mulai diperkenalkan di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1790 dengan nama

civics, dalam rangka ”mengamerikakan bangsa Amerika” atau terkenal dengan nama ”theory of americanization.” Hal ini dianggap penting meng-ingat bangsa AS berasal dari berbagai bangsa yang datang di samping bangsa (suku) asli yang ada. Dalam taraf ini materinya adalah ”government” serta hak dan kewajiban warga negara.

b. Di Indonesia, pelajaran civics telah ada sejak zaman Hindia Belanda dengan nama “Burgerkunde.” Dua buku penting yang dipakai adalah :

(19)

(1) Indische Burgerkunde karangan P. Tromps terbitan J.B. Wolters Maats-chappij N.V. Groningen, Den Haag, Batavia, tahun 1934. Materinya mengenai :

- Masyarakat pribumi, pengaruh Barat, bidang sosial, ekonomi, hukum, ketatanegaraan, dan kebudayaan;

- Hindia Belanda dan rumah tangga dunia;

- Pertanian, perburuhan, kaum menengah dalam industri dan perdagang-an, kewanitaperdagang-an, ketatanegaraan Hindia Belanda dengan terbentuknya Dewan Rakyat (Volksraad);

- Hukum dan pelaksanaannya;

- Pendidikan, kesehatan masyarakat, pajak, tentara, dan angkatan laut. (2) Recht en Plicht (Indische Burgerschapkunde voor Iedereen) karangan

J.B. Vortman yang diberi pengantar oleh B.J.O. Schrieke, Direktur

Onderwijs en Eredienst (O&E), terbitan G.C.T. van Dorp & Co. N.V. (Derde, Herziene en Vermeerderdruk) Semarang-Surabaya-Bandung, ta-hun 1940. Materinya mengenai :

- Badan pribadi : Masyarakat di mana kita hidup (dari lahir sampai dewasa), pernikahan dan keluarga;

- Bezit dari obyek hukum : Eigendom Eropa dan hak-hak atas tanah, hak-hak agraris atas tanah, kedaulatan raja terhadap kewajiban-kewajiban warga negara;

- Sejarah pemerintahan Hindia Belanda, perundang-undangan, alat pem-bayaran, dan kesejahteraan.

Dari materi ke dua buku di atas, jelas terlihat bahwa pada zaman Hindia Belanda belum terdapat kesatuan pendapat tentang materi pelajaran civics.

c. Dalam suasana merdeka, tahun 1950 di Indonesia diajarkan civics di sekolah menengah. Walaupun ke dua buku tersebut di atas pada zaman Hindia Be-landa dijadikan pegangan guru, tetapi ada perubahan kurikulum dengan materi kewarganegaraan di samping tata negara, yaitu tentang tugas dan

(20)

kewajiban warga negara terhadap pemerintah, masyarakat, keluarga, dan diri sendiri, misalnya :

(1) Akhlak, pendidikan, pengajaran, dan ilmu pengetahuan; (2) Kehidupan;

(3) Rakyat, kesehatan, imigrasi, perusahaan, perburuhan, agraria, kemak-muran rakyat, kewanitaan, dsb.

(4) Keadaan dalam dan luar negeri, pertahanan rakyat, perwakilan, peme-rintahan, dan soal-soal internasional.

d. Tahun 1955 terbit buku civics karangan J.C.T. Simorangkir, Gusti Mayur, dan Sumintardjo berjudul ”Inti Pengetahuan Warga Negara” dengan mak-sud untuk membangkitkan dan memelihara keinsyafan dan kesadaran bahwa warga negara Indonesia mempunyai tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, dan negara (good citizenship). Materinya mengenai :

(1) Indonesia tanah airku; (2) Indonesia Raya;

(3) Bendera dan Lambang Negara;

(4) Warga negara dengan hak dan kewajibannya; (5) Ketatanegaraan;

(6) Keuangan negara; (7) Pajak;

(8) Perekonomian termasuk koperasi.

e. Pada tahun 1961 istilah kewarganegaraan diganti dengan kewargaan negara karena menitikberatkan warga sesuai dengan Pasal 26 Ayat (2) UUD 1945 yang mengandung pengertian akan hak dan kewajiban warga negara ter-hadap negara, yang tentu berbeda dengan orang asing. Tetapi istilah tersebut baru secara resmi dipakai pada tahun 1967 dengan Instruksi Dirjen Pendi-dikan Dasar Departemen PendiPendi-dikan dan Kebudayaan No. 31 Tahun 1967. Buku pegangan resminya adalah ”Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia” karang Supardo, dkk. Materinya adalah pidato kenegaraan Presiden

Soekarno ditambah dengan :

(21)

(2) Sejarah pergerakan;

(3) Hak dan kewajiban warga negara;

f. Pada tahun 1966 setelah peristiwa G-30-S/PKI, buku karangan Supardo ter-sebut di atas dilarang dipakai. Untuk mengisi kekosongan materi civics, Departemen P&K mengeluarkan instruksi bahwa materi civics (kewargaan negara) adalah : (1) Pancasila; (2) UUD 1945; (3) Ketetapan-ketetapan MPRS; (4) Perserikatan Bangsa-Bangsa; (5) Orde Baru; (6) Sejarah Indonesia; (7) Ilmu Bumi Indonesia.

Pelajaran civics diberikan di tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Di perguruan tinggi terdapat mata kuliah ”Kewiraan Nasional” yang intinya berisi pendi-dikan pendahuluan bela negara.

g. Sejak zaman Hindia Belanda sampai dengan RI tahun 1972, belum ada kejelasan pengertian tentang apakah kewargaan negara atau pendidikan

kewargaan negara. Baru pada tahun 1972 setelah Seminar Nasional Pengajaran dan Pendidikan Civics (Civic Education) di Tawangmangu Sura-karta, mendapat ketegasan dan memberi batasan bahwa :

(4) Civics diganti dengan ”Ilmu Kewargaan Negara,” yaitu suatu disiplin ilmu dengan obyek studi tentang peranan para warga negara dalam bidang spiritual, sosial, ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan, sesuai dan sejauh diatur dalam UUD 1945;

(2) Civic education diganti dengan ”Pendidikan Kewargaan Negara,” yaitu suatu program pendidikan yang tujuan utamanya membina warga negara yang lebih baik menurut syarat-syarat, kriteria, dan ukuran ketentuan-ketentuan UUD 1945. Bahannya diambil dari ilmu

(22)

kewar-gaan negara termasuk kewiraan nasional, filsafat Pancasila, mental Pancasila, dan filsafat pendidikan nasional.

h. Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi :

(1) Tahun 1970an–1983 terdapat mata kuliah Kewiraan Nasional dengan inti pendidikan pendahuluan bela negara;

(2) Tahun 1983 – 2000 dengan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Depdikbud No. 32/DJ/Kep/1983 yang disempurnakan dengan Keputus-an Dirjen Dikti No. 25/DIKTI/Kep/1985 dKeputus-an disempurnakKeputus-an lagi de-ngan Keputusan Dirjen Dikti No. 151/DIKTI/Kep/2000 ditetapkan Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Pendidikan Kewiraan. (3) Berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas Pasal 39 Ayat (2)

yang menyebutkan isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pen- didikan wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama, dan

pendidikan kewarganegaraan yang di dalamnya termasuk pendidikan pendahuluan bela negara yang tercakup dalam MPK, maka dengan

Keputusan Dirjen Dikti No. 150/DIKTI/Kep/2000 mengharuskan untuk selalu mengevaluasi kesahihan isi silabus dan GBPP pendidikan kewar-ganegaraan beserta proses pembelajarannya. Berdasarkan hasil evaluasi dimaksud, maka dengan Keputusan Dirjen Dikti No. 267/DIKTI/Kep/

2000, ditetapkan penyempurnaan pendidikan kewarganegaraan pada perguruan tinggi di Indonesia yang memuat silabus dan GBPP-nya.

(4) Tahun 2002, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) No. 232/U/2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa, maka de-ngan Keputusan Dirjen Dikti No. 38/DKITI/Kep/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK), ditetapkan Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan

Pendidikan Kewarganegaraan, merupakan kelompok MPK yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/ kelompok studi di Perguruan Tinggi.

(23)

Sementara itu di UNSUR Cianjur khusunya di FKIP, namanya Pendidikan

Kewiraan, tetapi isinya tetap mengacu pada kurikulum yang ditetapkan oleh Depdiknas. Materi pendidikan kewiraan yang dahulu pendidikan pendahulu-an bela negara, adalah bagipendahulu-an dari pendidikpendahulu-an kewargpendahulu-anegarapendahulu-an.

(24)

BAB III

IDENTITAS NASIONAL INDONESIA

A. PENGERTIAN

1. Identitas nasional = identitas kebangsaan.

2. Identitas berasal dari bahasa Inggris “identity,” yang berarti ciri, tanda, atau jatidiri, yang melekat pada seseorang, kelompok, atau sesuatu, yang membeda-kannya dengan yang lain.

3. Nasional merujuk pada konsep kebangsaan.

4. Jadi, identitas nasional adalah ciri, tanda, atau jatidiri bangsa yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Identitas nasional lebih merujuk pada identitas bangsa dalam pengertian politik (political unity). Identitas nasional Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain salah satu di antaranya adalah adanya ideologi Pancasila sebagai dasar filsafat, pandangan hidup, kepribadian, dan dasar negara.

Pengertian identitas nasional yang dikemukakan oleh Koento Wibisono (2005) adalah ”manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam kebidupannya.”

Adapun indikator yang dijadikan sebagai salah satu parameter budaya untuk menca-ri identitas nasional antara lain :

1. Pola perilaku yang terwujud melalui aktivitas masyarakat sehari-hari. Hal ini menyangkut adat-istiadat, tata kelakuan dan kebiasaan.

2. Lambang-lambang yang merupakan ciri dari bangsa dan secara simbolis meng-gambarkan tujuan dan fungsi bangsa. Hal ini biasanya dinyatakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti Garuda Pancasilan, bendera, bahasa, dan lagu kebangsaan.

3. Alat-alat kelengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan seperti ba-ngunan, teknologi, dan peralatan lain. Contohnya bangunan tempat ibadah,

(25)

pakaian adat, teknologi bercocok tanam, dan teknologi lain seperti pesawat terbang, kapal laut, alat komunikasi, dll.

4. Tujuan yang ingin dicapai suatu bangsa yang sifatnya dinamis dan tidak tetap seperti budaya unggul, prestasi dalam bidang tertentu (pertanian, olah raga, dll.).

B. FAKTOR PEMBENTUK IDENTITAS

Menurut Ramlan Surbakti (1999), proses pembentukan bangsa-negara memer-lukan identitas-identitas untuk menyatukan. Faktor-faktor yang menjadi identitas bersama suatu bangsa meliputi primordial, sakral, tokoh, sejarah, bhinneka tunggal

ika, perkembangan ekonomi, dan kelembagaan.

1. Primordial :

Faktor ini meliputi ikatan kekerabatan (darah dan keluarga), kesamaan suku-bangsa, daerah asal (homeland), bahasa, dan adat-istiadat. Dengan faktor ini masyarakat dapat membentuk bangsa-negara. Contoh : Bangsa Yahudi mem-bentuk negara Israel.

2. Sakral :

Faktor ini dapat berupa agama atau ideologi yang dianut/diakui oleh masyarakat bersangkutan. Contoh : Agama Katholik mampu membentuk beberapa negara di Amerika Latin, Uni Soviet diikat oleh kesamaan ideologi komunisme, dll.

3. Tokoh :

Kepemimpinan para tokoh yang disegani dan dihormati masyarakat

(kharis-matik), dapat menjadi faktor yang menyatukan bangsa-negara. Contoh :

Mahat-ma Ghandi di India, Yoseph Broz Tito di Yugoslavia, Nelson Mandela di

Afrika Selatan, dan Dr. Ir. Sukarno (Bung Karno) di Indonesia. 4. Sejarah :

Persepsi yang sama tentang pengalaman masa lalu yang menderita akibat penjajahan menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan dan solidaritas

(26)

warga masyarakat, sehingga melahirkan tekad dan tujuan untuk membentuk negara. Contoh : Indonesia.

5. Bhinneka Tunggal Ika :

Kesediaan warga masyarakat untuk bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat-istiadat, ras, dan agama, dapat membentuk organisasi besar berupa negara. Contoh : Republik Indonesia.

6. Perkembangan Ekonomi :

Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan dan profesi sesuai dengan aneka kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi mutu dan variasi kebutuhan masyarakat, semakin saling bergantung di antara jenis pekerjaan, dan akan semakin besar solidaritas dan persatuan dalam masyarakat. Contoh : Negara-negara di Amerika utara dan Eropa barat.

7. Kelembagaan :

Kerja dan perilaku lembaga pemerintahan dan politik yang baik, yang mem-pertemukan dan melayani warga tanpa membeda-bedakan asal-usul, suku, agama, ras, dll. dapat mempersatukan orang-orang sebagai suatu bangsa.

Berdasarkan parameter sosiologi, faktor-faktor pembentuk identitas nasional me-nurut Srijanti (2009:35) adalah :

1. Suku bangsa, yaitu golongan sosial yang khusus dan bersifat askriptif (ada sejak lahir) yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa (lk. 300) dan setiap suku bangsa mempunyai adat-istiadat, tata kelakuan, dan norma yang berbeda-beda, akan tetapi trintegrasi dalam suatu negara Indonesia.

2. Kebudayaan, yang menurut ilmu sosiologi termasuk di dalamnya adalah ilmu pengetahuan, teknologi, bahasa, kesenian, mata pencarian, peralatan/perkakas, kesenian, sistem kepercayaan, adat-istiadat, dll. Kebudayaan sebagai parameter identitas nasional harus yang merupakan milik bersama (bukan individu/ pribadi).

(27)

3. Bahasa, yang merupakan kesitimewaan manusia dalam berkomunikasi dengan sesamanya. Bahasa memiliki simbol yang menjadikan suatu perkataan mampu melambangkan arti apa pun.

4. Kondisi geografis, yang menunjukkan lokasi negara dalam kerangka ruang, tempat, dan waktu, sehingga menjadi jelas batas-batas wilayahnya di muka bumi.

C. IDENTITAS KESUKUBANGSAAN

Identitas kesukubangsaan (Cultural Unity) merujuk pada bangsa dalam pengertian

kebudayaan atau sosiologis-antroplogis, yang disatukan oleh adanya kesamaan ras, suku, agama, adat-istiadat, keturunan (darah), dan daerah asal (homeland). Identitas yang dimiliki oleh sebuah cultural unity bersifat askriptif (sudah ada sejak lahir), alamiah (bawaan), primer, dan etnik. Setiap anggota memiliki kesetiaan/loyalitas pada identitasnya (pada suku, agama, budaya, kerabat, daerah asal, dan bahasa). Identitas ini disebut juga identitas primordial yang pada umumnya sangat kuat karena memiliki ikatan emosional dan solidaritas erat.

D. IDENTITAS KEBANGSAAN DAN IDENTITAS NASIONAL INDONESIA

Identitas kebangsaan (political unity) merujuk pada bangsa dalam pengertian politik, yaitu bangsa-negara. Bisa saja dalam negara hanya ada satu bangsa (homogen), tetapi umumnya terdiri dari banyak bangsa (heterogen). Karena itu negara perlu menciptakan identitas kebangsaan atau identitas nasional, yang merupakan kesepakatan dari banyak bangsa di dalamnya. Identitas nasional dapat berasal dari identitas satu bangsa yang kemudian disepakati oleh bangsa-bangsa lainnya yang ada dalam negara itu, atau juga dari identitas beberapa bangsa yang ada kemudian disepakati untuk dijadikan identitas bersama sebagai identitas bangsa-negara. Kesediaan dan kesetiaan warga bangsa/negara untuk mendukung identitas nasional perlu ditanamkan, dipupuk, dan dikembangkan terus-menerus. Mengapa? Karena warga lebih dulu memiliki identitas kelompoknya, sehingga jangan sampai melun-turkan identitas nasional. Di sini perlu ditekankan bahwa kesetiaan pada identitas

(28)

nasional akan mempersatukan warga bangsa itu sebagai ”satu bangsa” dalam negara. Bentuk identitas kebangsaan bisa berupa adat-istiadat, bahasa nasional, lambang nasional, bendera nasional, termasuk juga ideologi nasional.

Proses pembentukan identitas nasional di Indonesia cukup panjang, dimulai dengan kesadaran adanya perasaan senasib sepenanggungan ”bangsa Indonesia” akibat kekejaman penjajah Belanda, kemudian memunculkan komitmen bangsa (tekad, dan kemudian menjadi kesepakatan bersama) untuk berjuang dengan upaya yang lebih teratur melalui organisasi-organisasi perjuangan (pergerakan) kemerdekaan meng-usir penjajah sampai akhirnya Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan membentuk negara. Beberapa bentuk identitas nasional Indonesia sebagai wujud konkrit dari hasil perjuangan bangsa dimaksud adalah :

1. Dasar falsafah dan ideologi negara, yaitu Pancasila.

2. Bahasa nasional atau bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. 3. Lagu kebangsaan, yaitu Indonesia Raya.

4. Lambang negara, yaitu Garuda Pancasila. 5. Semboyan negara, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. 6. Bendera negara, yaitu Sang Merah Putih.

7. Hukum dasar negara (konstitusi), yaitu UUD 1945.

8. Bentuk negara, yaitu NKRI dan bentuk pemerintahannya Republik.

9. Konsepsi wawasan nusantara, yaitu sebagai cara pandang bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan memiliki nilai stra-tegis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, untuk mencapai tujuan nasional.

10. Beragam kebudayaan daerah yang telah diterima sebagai kebudayaan nasional.

(29)

BAB IV

HAK ASASI MANUSIA

A. PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam bahasa Perancis dikenal dengan “droit de l’homme,” dalam bahasa Inggris “human right,” dan dalam bahasa Belanda “mensen

rechten,” yang berarti hak-hak manusia. Di bawah ini dikemukakan pengertian HAM menurut para pakar dan berdasarkan ketentuan resmi.

1. Mustafa Kemal Pasha (2002) :

”Hak asasi manusia ialah hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir yang melekat pada esensinya sebagaia nugrah Allah Swt.”

2. Dardji Darmodihardjo :

”Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar atau hak-hak pokok yang dibawa

manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan YME. Hak-hak ini menjadi dasar daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban lain.”

3. Padmo Wahyono :

”Hak-hak asasi manusia adalah hak-hak yang memungkinkan orang hidup

berdasarkan suatu harkat dan mertabat tertentu (beradab).”

4. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 :

”Hak asasi manusia adalah hak sebagai anugrah Tuhan YME yang melekat pada

diri manusia, bersifat kodrati, universal dan abadi, berkaitan dengan harkat dan martabat manusia.”

5. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 :

”Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat

kebe-radaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugra-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,

(30)

pemerin-tah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Adapun tujuan pelaksanaan hak asasi manusia adalah untuk mempertahankan hak-hak warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat negara, dan mendorong tumbuh serta berkembangnya pribadi manusia yang multi dimensional.

B. LANDASAN PENGAKUAN, SERTA CIRI POKOK DAN HAKIKAT HAM :

1. Landasan Pengakuan HAM :

a. Landasan langsung yang pertama : Kodrat manusia.

Semua manusia sederajat, tanpa membedakan ras, suku, agama, bahasa, asal-usul, adat-istiadat, dsb.

b. Landasan kedua yang lebih mendalam : Makhluk ciptaan Tuhan YME.

Semua manusia, bahkan seluruh yang ada di jagat raya, adalah ciptaan Tuhan

YME. Karena itu di hadapan Tuhan manusia adalah sama, kecuali nanti pada amalnya.

2. Ciri Pokok dan Hakikat HAM :

a. Hak asasi manusia tidak perlu diberikan, dibeli, atau diwariskan. Hak asasi manusia adalah bagian dari manusia secara otomatis;

b. Hak asasi manusia berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, asal-usul, ras, agama, etnik, pandangan politik, dsb.

c. Hak asasi manusia tidak boleh dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak membatasi atau melanggar hak orang lain.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM

1. Pada Masa Sejarah :

a. Perjuangan Nabi Musa As. dalam membebaskan bangsa Yahudi dari

per-budakan (tahun 6000 sM);

b. Hukum Hammurabi di Babylonia yang memberi jaminan keadilan bagi warga negara (tahun 2000 sM);

(31)

c. Socrates (469-399 sM), Plato (429-347 sM), dan Aristoteles (384-322 sM) para filosof Yunani peletak dasar hak asasi manusia. Mereka mengajarkan untuk mengkritik pemerintahan yang tidak berdasarkan keadilan, cita-cita, dan kebijaksanaan;

d. Perjuangan Nabi Besar Muhammad Saw. untuk membebaskan para bayi wanita dan wanita dari penindasan bangsa Quraisy (tahun 600). Pada saat itu di Arab terkenal dengan sebutan zaman jahiliyah (kebodohan).

2. HAM di Inggris :

a. Pada tahun 1215, akibat tidak puas atas tindakan Raja John yang sewenang-wenang, para bangsawan berhasil membuat perjanjian yang disebut ”Magna

Charta” (Piagam Agung) yang membatasi kekuasaan raja.

b. Pada tahun 1628 keluar piagam ”Petition of Right” yang berisi pernyataan

mengenai hak hak-hak rakyat beserta jaminannya :

(1) Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan rakyat (no

taxation without refresentation);

(2) Warga negara tidak boleh dipaksa menerima tentara di rumahnya; (3) Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai. c. Tahun 1679 muncul “Habeas Corpus Act,” yaitu undang-undang yang

meng-atur tentang penahanan seseorang :

(1) Seseorang yang ditahan harus segera diperiksa dalam waktu dua hari

setelah penahanan;

(2) Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut hukum.

d. Pada tahun 1689 keluar “Bill of Right” yang merupakan undang-undang yang diterima parlemen sebagai bentuk perlawanan terhadap Raja James II tentang :

(1) Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen; (2) Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat;

(3) Pajak, undang-undang, dan pembentukan tentara harus seizin parlemen; (4) Hak warga negara untuk memeluk agama menurut kepercayaannya

(32)

masing-masing;

(5) Parlemen berhak mengubah keputusan raja.

3. HAM di Amerika Serikat :

Rakyat AS yang umumnya datang dari Eropa sebagai emigran, merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris sebagai penjajah. Perjuangan pene-gakkan HAM didasari pemikiran John Locke, yaitu hak-hak alam seperti hak hidup (life), hak kebebasan (liberty), dan hak milik (property). Dasar ini dijadikan ”Declaration

Independence of The United States” dan pada saat kemerdekaan 4 Juli 1776 dimasukkan dalam konstitusi AS.

4. HAM di Perancis :

Perjuangan HAM dirumuskan dalam suatu naskah pada awal revolusi Perancis

tahun 1789 sebagai pernyataan tidak puas kaum borjuis dan rakyat terhadap

Raja Louis XVI, yang dikenal dengan ”Declaration des Droits de L’homme et Du Citoyen” (pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia dan warga negara) yang berisi bahwa ”hak asasi manusia adalah hak-hak alamiah yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tidak dapat dipisahkan daripada hakikatnya, dan karena itu bersifat suci.” Deklarasi ini pada tahun 1791 dimasukkan dalam konstitusi Perancis. Dalam revolusi Perancis ini muncul semboyan : Liberty,

Egality, dan Fraternity (Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan).

5. Atlantic Charter Tahun 1941 :

Piagam Atlantik ini muncul pada saat terjadi Perang Dunia II yang dipelopori oleh Franklin Delano Roosevelt (AS) yang menyebutkan ”The Four Freedom” (Empat Kebebasan) :

a. Kebebasan beragama (Freedom of Religion);

b. Kebebasan berbicara dan berpendapat (Freedom of Speech and Thought); c. Kebebasan dari rasa takut (Freedom of Fear);

d. Kebebasan dari kemelaratan (Freedom of Want).

(33)

a. Pada tanggal 10 Desember 1948 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU-PBB) berhasil merumuskan naskah “Universal Declaration of

Human Right” sehingga tanggal tersebut tiap tahun diperingati sebagai Hari

Hak Asasi Manusia. Isi pokok deklarasi tersebut tertuang dalam Pasal 1 yang menyatakan : “Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi, dan hen-daknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.” Semuanya ada 30 pasal.

b. Tahun 1966 dalam Sidang MU-PBB telah diakui ”Covenants on

Hu-man Right” dalam hukum internasional dan diratifikasi oleh negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia. Isi covenants dimaksud antara lain : (1) The International on Civil and Political Right, yaitu tentang hak sipil

dan hak politik;

(2) The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Right

1966, yang berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem demokrasi ekonomi, sosial, dan budaya;

(3) Optional Protokol 1966, yaitu adanya kemungkinan seorang warga negara yang mengadukan pelanggaran hak asasi manusia kepada The

Human Right Committee UNO (PBB) setelah upaya pengadilan di negaranya tidak memuaskannya;

(4) Wina Declaration 1993, yaitu deklarasi universal dari negara-negara yang tergabung dalam PBB.

7. Deklarasi HAM Dunia Ketiga :

a. Declaration on The Right of Peoples to Peace 1984 (Deklarasi Hak Bangsa

dan Perdamaian);

b. Declaration on The Right to Development 1986 (Deklarasi Hak Atas Pembangunan);

c. African Charter on Human and Peoples Right (Banjul Charter 1981) oleh negara-negara Afrika yang tergabung dalam Persatuan Afrika (OAU);

d. Cairo Declaration on Human Right in Islam 1990, oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI);

(34)

e. Bangkok Declaration 1993, yang diterima oleh negara-negara di Asia.

Kesimpulan :

Berdasarkan sejarah perkembangannya, terdapat empat generasi hak asasi manusia :

1. Generasi I : Hak Sipil dan Politik, yang bermula di dunia Barat (Eropa). Contohnya : Hak atas hidup, hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas kesamaan di muka pengadilan, hak kebebasan berpikir dan berpendapat, hak beragama, hak berkumpul dan berserikat.

2. Generasi II : Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang diperjuangkan oleh negara-negara sosialis di Eropa timur. Contohnya : Hak atas pekerjaan, hak atas penghasilan yang layak, hak membentuk serikat pekerja, hak atas pangan, kesehatan, perumahan, pendidikan, dan hak atas jaminan sosial.

3. Generasi III : Hak Perdamaian dan Pembangunan, yang diperjuangkan oleh

negara-negara berkembang (Asia-Afrika). Contohnya : Hak bebas dari ancam-an musuh, hak setiap bancam-angsa untuk merdeka, hak sederajat dengancam-an bancam-angsa lain, dan hak mendapatkan kedamaian.

4. Generasi IV : Declaration of The Basic Duties of Asian Peoples and Govern-ment 1983, yang diperjuangkan oleh negara-negara Asia. Hak asasi manu-sia pada generasi ini lebih maju karena tidak saja mencakup struktural, tetapi juga berpijak pada terciptanya tatanan sosial yang berkeadilan. Di sini dikritik peranan negara yang sangat dominan dalam proses pemba-ngunan yang berfokus pada bidang ekonomi, yang menimbulkan dampak negatif bagi keadilan rakyat, karena hanya mementingkan sekelompok elit (konglomerat) dan penguasa saja.

D. HAM DI INDONESIA

Pengakuan atas martabat dan hak-hak yang sama sebagai manusia yang hidup di dunia telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi MU-PBB pada tanggal 10 Desember 1948 dalam “Universal Declaration of Human Right” (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia). sinya memuat 30 Pasal yang meliputi : 1. Hak berpikir dan mengeluarkan pendapat.

(35)

2. Hak memiliki sesuatu.

3. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran. 4. Hak menganut agama atau aliran kepercayaan. 5. Hak untuk hidup.

6. Hak untuk kemerdekaan hidup. 7. Hak untuk memperoleh nama baik. 8. Hak untuk memperoleh pekerjaan.

9. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Di Indonesia pengaturan HAM ini tercantum dalam berbagai peraturan perundang-undangan termasuk undang-undang yang mengesahkan berbagai konvensi interna-sional mengenai HAM. Namun untuk memayungi seluruh peraturan perundang-undangan tadi dipandang perlu dibentuk undang-undang tentang HAM tersendiri. Maka berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVII/ MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, terbit Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dengan judul yang sama.

Dalam UUD 1945 sendiri sama sekali tidak ada kata-kata atau istilah HAM. Baru setelah perubahan (amandemen) yang kedua tahun 2000, secara tegas dan cukup rinci dimuat tentang HAM, yaitu dalam BAB XA Pasal 28A s/d 28J (10 Pasal dan 24 Ayat). Kemudian karena materinya sudah termuat dalam UUD 1945 setelah perubahan tersebut, maka Tap MPR tersebut di atas dicabut dengan Tap MPR No. 1/MPR/2003. Dengan demikian walaupun dalam UUD 1945 asli (sebelum perubah-an) tidak ada kata-kata atau istilah HAM, tetapi sebenarnya pengakuan atas HAM di Indonesia telah ada sejak ditetapkannya UUD pada tanggal 18 Agustus 1945. Jadi lebih dulu daripada deklarasi MU-PBB tanggal 10 Desember 1948. Contohnya : 1. Pada Pembukaan UUD 1945 alinea pertama : ”Bahwa sesungguhnya

kemer-dekaan itu adalah hak segala bangsa ... ” dst. Jelas, Indonesia mengakui adanya hak untuk merdeka dan bebas.

2. Pada Pembukaan UUD 1945 alinea keempat : Di dalamnya terdapat tuju-an nasional, tugas yang harus dilaksanakan, dan falsafah negara Pancasila. Sila

(36)

kedua Pancasila adalah ”kemanusiaan yang adil dan beradab,” berarti ada pengakuan atas hak asasi manusia seutuhnya.

3. Batang tubuh UUD 1945 dari Pasal 27 s/d 34 yang mencakup hak dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hal ini berarti adanya HAM, akan tetapi memang masih terbatas dan rumusannya amat singkat.

Sebelum Tap MPR No. XVII/MPR/1998 dan UU No. 39 Tahun 1999, penerap-an HAM di Indonesia selain atas dasar UUD 1945 yang sangat singkat seperti disebutkan di atas, juga didasarkan beberapa macam konvensi internasional yang kemudian diratifikasi, antara lain :

1. Konvensi Jenewa (Geneva Convention) 12 Agustus 1949 yang diratifikasi dengan UU No. 59 Tahun 1958.

2. Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (Convention on The Political

Right of Women), yang diratifikasi dengan UU No. 68 Tahun 1958.

3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Pe-rempuan (Convention on The Elimination of Discrimination Againts Women), yang diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1984 dan menjiwai keluarnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

4. Konvensi Hak Anak (Convention on The Right of The Child), yang diratifikasi dengan Keppres No. 36 Tahun 1990.

5. Konvenasi Pelarangan Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan Senja-ta Biologis dan Beracun, serta Pemusnahannya (Convention on The Prohibi-tation

of The Development, Production, and Stockpiling of Bacteriological/ Biological and Toxic Weapon and on Their Destruction), yang diratifikasi dengan Keppres No. 58 Tahun 1991.

6. Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam Olahraga (Interna-tional

Convention Againts Apartheid in Sports), yang diratifikasi dengan UU No. 48 Tahun 1993.

7. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Torture

(37)

8. Konvensi Organisasi Buruh Internasional No. 87 Tahun 1998 (Convention No.

87 Concerning Freedom of Association and Protection on The Right to Organize), yang diratifikasi dengan UU No. 83 Tahun 1998.

9. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial (Convention on The Elimination of Racial Discrimination), yang dira-tifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999.

Untuk memantapkan pelaksanaan hak asasi manusia berdasarkan aturan-aturan tersebut di atas, telah dibentuk Pengadilan HAM berdasarkan UU No. 26 Tahun 2000. Dan sebelumnya telah pula dibentuk Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) berdasarkan Keppres No. 5 Tahun 1993 yang kemudian diku-kuhkan dalam UU No. 39 Tahun 1999. UU No. 26/2000 ini juga memberikan alternatif bahwa untuk penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang berat dapat dilakukan di luar pengadilan HAM, yaitu melalui Komisi Kebenar-an dan Rekonsilisasi yang dibentuk berdasarkan UU. Untuk penegakkan dan perlindungan hak asasi manusia, masyarakat pun dapat membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan tugas menuntut pihak-pihak yang me-langgar hak asasi manusia, melindungi korban hak asasi manusia, menuntut keadilan, dsb. Contoh LSM yang ada : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekeras-an (KONTRAS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Human Right Watch (HRW), dll.

Dasar pemikiran pembentukan Undang-Undang tentang HAM (UU No. 39

Tahun 1999) adalah :

1. Tuhan YME adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya.

2. Pada dasarnya manusia dianugrahi jiwa, bentuk struktur, kemampuan, kemauan, serta berbagai kemudahan oleh penciptanya untuk menjamin kelangsungan hidupnya.

3. Untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manu-sia, diperlukan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia, karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat dan martabatnya, sehing-ga dapat

(38)

mendorong manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini

lupus).

4. Karena manusia merupakan mahluk sosial (zoon politicon), maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak asasi manusia yang lain, sehingga ke-bebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas.

5. Hak asasi manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun.

6. Setiap hak asasi manusia mengandung kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia lain, sehingga di dalam hak asasi manusia terdapat kewajib-an dasar atau kewajiban asasi manusia.

7. Hak asasi manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegak-kan, dan untuk itu pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lain-nya mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjamin terselenggara-nya penghormatan, perlindungan, dan penegakkan hak asasi manusia.

Beberapa istilah dalam Ketentuan Umum UU No. 39 Tahun 1999 : 1. Hak asasi manusia (lihat di depan).

2. Kewajiban dasar manusia, adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia. 3. Diskriminasi, adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang

langsung atau tak langsung didasarkan pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kela-min, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggu-naan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. 4. Penyiksaan, adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, se-hingga

menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau kete-rangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut

(39)

ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan/atau pejabat publik.

5. Anak, adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

6. Pelanggaran hak asasi manusia, adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, meng-halangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak menda-patkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

7. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang selanjutnya disebut Komnas HAM, adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lem-baga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Macam dan jenis HAM meliputi berbagai bidang, yaitu :

1. Dari segi subyeknya : Hak asasi individu, dan hak asasi kolektif. 2. Dari segi obyek atau kepentingannya :

a. Hak Asasi Pribadi (Personal Right), seperti menyatakan pendapat, kebe-basan memeluk agama tertentu, kebekebe-basan bergerak, dsb.

b. Hak Asasi Ekonomi (Property Right), seperti hak untuk memiliki sesuatu, membeli, menjual, dan memanfaatkannya.

c. Hak Perlakuan Sama (Legal Quality Right), dalam hukum dan peme-rintahan.

d. Hak Asasi Politik (Political Right), yaitu hak ikut dalam pemerintahan, seperti hak memilih dan dipilih dalam Pemilu, hak mendirikan Parpol dan Ormas, dsb.

e. Hak Sosial dan Kebudayaan (Social and Cultural Right), seperti hak untuk memilih pendidikan, mengembangkan seni budaya, dsb.

(40)

f. Hak Perlindungan (Procedural Right), seperti perlakuan tata cara pera-dilan, bila terjadi penggeledahan, penangkapan, dsb.

g. Hak Membangun (Developmen Right), seperti hak bagi negara untuk membangun negara tanpa campur tangan negara asing, dsb.

Beberapa butir HAM yang ada dalam UU No. 39 Tahun 1999 : 1. Hak untuk hidup (Pasal 4).

2. Hak untuk berkeluarga (Pasal 10).

3. Hak untuk mengembangkan diri (Pasal 11 s/d 16). 4. Hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17 s/d 18). 5. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20 s/d 27). 6. Hak atas rasa aman (Pasal 28 s/d 35).

7. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36 s/d 42).

8. Hak turutserta dalam pemerintahan (Pasal 43 s/d 44). 9. Hak wanita (Pasal 45 s/d 51).

10. Hak anak (Pasal 52 s/d 66).

Hak Asasi Manusia dalam BAB XA Pasal 28A s/d 28J UUD 1945

(Perubah-an II/2000) :

Pasal 28A :

Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Pasal 28B :

(1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.

(2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Referensi

Dokumen terkait

Kepada Penyedia Jasa Pengadaan Barang/Jasa yang mengikuti lelang paket pekerjaan tersebut di atas dan berkeberatan atas Pengumuman ini, diberikan kesempatan mengajukan

/P ULP- KEPRI/DISPAR/BAHS/ /LU ta ggal Mei aka Pokja U it Laya a Pe gadaa Pro i si Kepulaua Riau Tahu A ggara e yi pulka ah a tidak ada peserta/ alo pe yedia ya g lulus e aluasi

PELELANGAN GAGAL DAN TINDAK LANJUT PELELANGAN GAGAL , angka 36 “ Pelelangan Gagal dan Tindak Lanjut Pelelangan Gagal” , maka Pelelangan sederhana ini dinyatakan GAGAL karena

6 0 - 2 0 1 6 Unit Layanan Pengadaan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menyatakan Pelelangan Pemilihan Langsung GAGAL dan untuk selanjutnya akan dilaksanakan lelang Ulang..

Pada hari ini SENIN Tanggal SEPULUH Bulan JULI Tahun DUA RIBU TUJUH BELAS , Pokja I Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Barito Timur yang ditetapkan dengan Surat Keputusan

Bisa pergi ke festival kampus, menyenangkan. Selanjutnya mari berjumpa di

Pemberian pakan secara kering maupun basah memiliki beberapa kelemahan yang dapat mengganggu pertumbuhan, penambahan probiotik dengan kandungan mikroba yang berfungsi memacu

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS RIAU