JAWA TIMUR
JAWA TIMUR
PROPOSAL SKRIPSI PROPOSAL SKRIPSI Oleh: Oleh: AHMAD THOHA AHMAD THOHA NIM: 1074201 NIM: 1074201009009FAKULTAS HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BOJONEGORO
UNIVERSITAS BOJONEGORO
2014
2014
1.1. Latar Belakang
Dalam sistem perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terdapat penekanan atas kebijakan otonomi daerah yang menetapkan kabupaten dan kota sebagai titik berat otonomi. Hal ini berusaha untuk memberikan kesempatan kepada daerah untuk mengembangkan diri dan memberikan harapan kepada masyarakat untuk dapat menikmati pelayanan publik yang lebih baik melalui kebijakan-kebijakan daerah yang lebih mementingkan nasib mereka.
Transisi politik yang terjadi di Indonesia menghasilkan dua proses politik yang berjalan secara simultan, yaitu desentrali sasi dan demokratisasi. Kedua proses politik itu terlihat jelas dalam pergeseran format pengaturan politik di area lokal maupun nasional, yaitu dari pengaturan politik yang bersifat otoritarian-sentralistik menjadi lebih demokratis-desentralistik (Dwipayana, 2003:5). Sementara itu Noordiawan (2007:284) menyatakan bahwa desentralisasi, penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, Suparmoko (2002:19) menyatakan bahwa untuk pemahaman sistem pemerintahan perlu dipahami perbedaan pengertian antara istilah desentralisasi dan dekonsentrasi. Desentralisasi diartikan sebagai pengembangan otonomi daerah, sedangkan dekonsentrasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan atau perangkat pusat di daerah. Mardiasmo (2002:6-7) menyatakan, secara teoritis desentralisasi diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata, yaitu: pertama mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia di masyarakat-masyarakat daerah; kedua: memperbaiki alokasi sumber daya produktif
melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling
lengkap, sedangkan tingkat pemerintahan yang paling rendah adalah Desa. Sejalan dengan pertumbuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, desentralisasi dan otonomi daerah secara terus menerus mengalami perkembangan. Seiring dengan tumbangnya Orde Baru dan munculnya tuntutan reformasi pemerintahan dalam segala aspeknya, maka mulai tahun 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan terakhir diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian di ubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Keberadaan Desa secara yuridis formal diakui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang kemudian di ubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Berdasarkan ketentuan ini Desa diberi pengertian sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemahaman Desa di atas menempatkan Desa sebagai suatu organisasi pemerintahan yang secara politis memiliki kewenangan tertentu untuk mengurus dan mengatur warga atau komunitasnya. Dengan posisi tersebut desa memiliki peran yang sangat penting dalam menunjang kesuksesan Pemerintahan Nasional secara luas. Desa menjadi garda
terdepan dalam menggapai keberhasilan dari segala urusan dan program dari Pemerintah. Hal ini juga sejalan apabila dikaitkan dengan komposisi penduduk Indonesia menurut sensus terakhir BPS pada tahun 2010 bahwa sekitar 135 juta jiwa (57 %) atau sebagian besar penduduk Indonesia saat ini masih bertempat tinggal di kawasan permukiman pedesaan. Maka menjadi sangat logis apabila pembangunan desa menjadi prioritas utama bagi kesuksesan pembangunan nasional. Oleh karena itu otonomi desa benar- benar merupakan kebutuhan yang harus diwujudkan. Agar dapat melaksanakan perannya dalam mengatur dan mengurus komunitasnya, desa berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005,
diberikan kewenangan yang mencakup:
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota; dan
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.
Sebagai konsekuensi logis adanya kewenangan dan tuntutan dari pelaksanaan otonomi desa adalah tersedianya dana yang cukup. Sadu
Wasistiono (2006; 107) menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan merupakan faktor esensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimana juga pada penyelenggaraan otonomi daerah. sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa “ autonomy” identik dengan “auto money”, maka untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri desa
membutuhkan dana atau biaya yang memadai sebagai dukungan pelaksanaan kewenangan yang dimilikinya.
Sumber pendapatan desa berdasarkan pasal 212 ayat (3) undang-undang nomor 32 tahun 2004 terdiri dari:
a. Pendapatan asli desa,
b. Bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota;
c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota;
d. Bantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;
e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
Implementasi otonomi bagi desa akan menjadi kekuatan bagi pemerintah desa untuk mengurus, mengatur dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, sekaligus bertambah pula beban tanggung jawab dan kewajiban desa, namun demikian penyelenggaraan pemerintahan tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban yang dimaksud diantaranya adalah pertanggungjawaban dalam pengelolaan anggaran desa. Untuk saat ini kendala umum yang dirasakan oleh sebagian besar desa terkait keterbatasan dalam keuangan desa. Seringkali Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) tidak berimbang, antara penerimaan dengan pengeluaran. Kenyataan yang demikian disebabkan oleh empat faktor utama (Hudayana dan FPPD, 2005). Pertama: desa memiliki APBDes yang kecil dan sumber pendapatannya sangat tergantung pada bantuan yang sangat kecil pula. Kedua: kesejahteraan masyarakat desa rendah. Ketiga: rendahnya dana operasional desa untuk menjalankan pelayanan. Keempat : bahwa banyak program pembangunan masuk ke desa, tetapi hanya dikelola oleh
dinas.
Sistem pengelolaan dana desa yang dikelola oleh pemerintah desa termasuk di dalamnya mekanisme penghimpunan dan pertanggungjawaban merujuk pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam aturan
tersebut dijelaskan bahwa pendanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk di dalamnya pemerintah desa menganut prinsip money follows function yang berarti bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Dengan kondisi tersebut maka transfer dana menjadi penting untuk menjaga/menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum (Simanjuntak, 2002). Konsekuensi dari pernyataan tersebut adalah desentralisasi kewenangan harus disertai dengan desentralisasi fiskal. Realisasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di daerah mengakibatkan adanya dana perimbangan keuangan antara kabupaten dan desa yang lebih dikenal sebutan Alokasi Dana Desa (ADD).
Sebagai konsekuensi logis adanya kewenangan dan tuntutan dari pelaksanaan otonomi desa adalah tersedianya dana yang cukup. Sadu
Wasistiono (dalam Daru Wisakti, 2006:17) menyatakan bahwa pembiayaan atau keuangan merupakan faktor esensial dalam mendukung penyelenggaraan otonomi desa, sebagaimana juga pada penyelenggaraan
otonomi daerah.
Ada beberapa hal yang menjelaskan mengapa selama ini banyak kebijakan, program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang mendapat dukungan secara luas. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi pada kekuasaan bukannya menyadari peranannya sebagai penyedia layanan kepada masyarakat. Budaya paternalistik yang memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan birokrat tersebut juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang benar-benar dikehendaki masyarakat (Wahyudi Kumorotomo, 2005).
Kondisi yang mengungkung para birokrat yang sekian lama selalu tunduk kepada pimpinan politis dan kurang mengutamakan pelayanan publik tersebut berpengaruh negatif terhadap akuntabilitas birokrasi publik. Oleh sebab itu, di samping implementasi peraturan perundangan yang konsisten diperlukan pula reorientasi pejabat publik agar benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik. Mekanisme checks and balances harus terus dikembangkan diantara lembaga-lembaga pemerintah daerah yang ada, dan yang tidak kalah penting seluruh komponen dalam masyarakat hendaknya lebih berani untuk terus menerus menyuarakan aspirasi mereka kepada birokrasi publik (Wahyudi Kumorotomo, 2005).
Fenomena-fenomena di masa lalu telah melahirkan konsep pembangunan yang sedikit berbeda di masa sekarang. Pembangunan yang cenderung mengarah pada sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan dari atas ke bawah (top-down) kini mulai diminimalkan, dan muncul konsep pembangunan alternatif yang menekankan pentingnya pembangunan berbasis masyarakat (community based development ), yang bersifat bottom up dan menggunakan pendekatan lokalitas yaitu pembangunan yang menyatu dengan budaya lokal serta menyertakan partisipasi masyarakat lokal bukan memaksakan suatu model pembangunan
dari luar (Zubaedi, 2007).
Prinsip pelayanan publik harus dilaksanakan oleh jenjang pemerintahan yang sedekat mungkin kepada rakyat. Itu berarti pemerintah desa adalah sebagai ujung tombak pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat karena pemerintah desa merupakan tingkat pemerintahan terkecil yang berhadapan langsung dengan rakyat. Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten. Adapun tujuan dari Alokasi Dana Desa (ADD) ini adalah untuk:
1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya;
2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa;
3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa;
4. Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat desa. Pemerintah mengharapkan kebijakan Alokasi Dana Desa ini dapat mendukung pelaksanaan pembangunan partisipatif berbasis masyarakat dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan sekaligus memelihara kesinambungan pembangunan di tingkat desa. Sekian banyak desa yang ada di Indonesia, banyak yang belum begitu mengembangkan serta memanfaatkan Alokasi Dana Desa (ADD)
sesuai yang diharapkan masyarakat seperti yang terjadi di Desa Pekuwon Melintang. Hal inilah yang jadi pengaruh besar bagi masyarakat dalam rangka menumbuhkan ekonomi yang baik untuk kesejahteraan hidup.
Dari alasan yang diterangkan di atas penulis menulis skripsi ini. 1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Anggaran Dana Desa?
2. Bagaimanakah implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa Pekuwon di Kecamatan Sumberejo Kabupaten?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan:
1. Memberikan gambaran pelaksanaan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Bojonegoro.
2. Mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Alokasi Dana Desa di Kecamatan Sumberejo Kabupaten Bojonegoro.
1.4. Manfaat Penelitian
Harapan penelitian ini dapat berguna bagi kalangan akademisi dan praktisi, yaitu antara lain:
1. Dari segi keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi media untuk mengaplikasikan berbagai teori yang dipelajari, sehingga akan berguna dalam pengembangan pemahaman, penalaran, dan pengalaman penulis, juga berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu sosial, khususnya pengembangan ilmu pemerintahan daerah, sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut dalam penelitian-penelitian berikutnya. 2. Dari segi praktis hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan
masukan pada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mengambil keputusan dalam permasalahan Alokasi Dana Desa serupa, sebagai bahan kajian bagi pihak yang terkait dengan kebijakan ini sehingga
dapat mengoptimalkan keberhasilan kebijakan. 1.5. Review Literatur
1.5.1. Kebijakan Publik
Menurut Carl Freidrich (Irfan Islami, 2001), kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan menunjukkan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan untuk mencapai tujuan.
1.5.2. Implementasi Kebijakan Publik
Metter dan Horn (1975) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Definisi ini menyiratkan adanya upaya mentransformasikan keputusan ke dalam kegiatan operasional, serta mencapai perubahan seperti yang dirumuskan oleh keputusan kebijakan.
1.5.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Van Metter dan Van Horn (AG. Subarsono, 2005) menyebutkan ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implemantasi, yaitu :
a. Standar dan sasaran kebijakan; b. Sumberdaya;
c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; d. Karakteristik agen pelaksana;
1.6. Kerangka Konsep
Agar dalam penelitian ini tidak terlalu luas maka perlu adanya batasan yang dirumuskan dalam suatu kerangka konsep sebagai berikut:
KEBIJAKAN ADD
1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa. 2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di
desa.
3. Meningkatkan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha masyarakat desa.
4. Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat desa.
IMPLEMENT
Standar dan sasaran kebijakan Sumberdaya;
Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; Karakteristik agen pelaksana;
Susunan organisasi dan tata kerja pemerintahan desa ditetapkan dengan peraturan desa. Susunan struktur organisasi pemerintahan desa tersebut dapat dilihat seperti bagan di bawah ini:
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Desain Penelitian
Dilihat dari obyek dan metode analisis yang digunakan, maka penelitian ini termasuk dalam tipe penelitian deskriptif kualitatif. Tipe penelitian ini berusaha mendeskripsikan gambaran yang nyata dari fenomena yang terjadi pada pengelolaan dana desa, khususnya Alokasi Dana Desa di wilayah Kecamatan Sumberejo.
1.7.2. Instrumen Penelitian
Penelitian Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di wilayah Kecamatan Sumberejo Kabupaten Bojonegoro. Instrumen utamanya adalah peneliti sendiri, dengan alat bantu berupa pedoman wawancara, yaitu sejumlah pertanyaan terstruktur atau tidak terstruktur apabila dianggap perlu untuk memperoleh keterangan yang diperlukan dari responden.
1.7.3. Pemilihan Informan
Informan dipilih untuk mendapatkan informasi yang jelas dan mendalam tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah penelitian. Prosedur pengambilan informan awal dilakukan secara purposive, sedangkan informan selanjutnya dengan teknik snowball , yaitu mengambil satu orang untuk diwawancarai selanjutnya bergulir kepada informan lain secara berantai hingga diperoleh sejumlah informan yang diperlukan.
1.7.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat peneliti dapat menangkap keadaan yang sebenarnya dari objek yang akan diteliti. Adapun lokasi penelitian adalah Desa Pekuwon Kecamatan Sumberejo Kabupaten Bojonegoro.
1.7.5. Metode Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian ini, digunakan cara studi kepustakaan, penelitian terhadap dokumen-dokumen, observasi, dan melakukan wawancara dengan Pemerintah Kecamatan Sumberejo, Pemerintah Desa di wilayah Kecamatan Sumberejo, unsur Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan di Desa, target group, dan non-target group yang relevan dengan masalah penelitian. Adapun jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. 1.7.6. Teknik Analisis
Menurut Bungin (2007) teknik analisis dalam penelitian kualitatif tergantung pada pendekatan yang digunakan. Jadi langkah-langkah analisis yang digunakan adalah pendekatan fenomenologis.
1.7.7. Keabsahan Data
Menurut Patton (dalam Moleong, 2002), untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, digunakan teknik Triangulasi Data. Jenis triangulasi data yang digunakan adalah triangulasi sumber yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam kualitatif.
Bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku teks, jurnal, artikel, bahan seminar, dan bahan publikasi lainnya. Sedangkan bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang berupa kamus ataupun ensiklopedi.
Penelitian ini akan menggunakan studi dokumen untuk mendapatkan bahan-bahan sekunder, untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan dasar
mengenai Hukum Administrasi dan Tata Usaha Negara menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Selain menggunakan studi pustaka terhadap literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan, penulis juga akan menggunakan metode wawancara dalam penelitian ini. Wawancara akan dilakukan dengan Perangkat Desa terkait dengan Implementasi Kebijakan Alokasi Dana Desa di Desa Pekuwon Kecamatan Sumberejo Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur. Dengan adanya wawancara ini penulis akan dapat melihat bagaimana pelaksanaan undang-undang tentang Desa pada prakteknya. Wawancara ini digunakan untuk menemukan informasi yang bersifat subjektif dan mendalam dari para responden yang secara khusus dipilih karena sifatnya yang khas1.
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata2. Bahan penelitian akan dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dibandingkan dengan kenyataan sesuai dengan prakteknya. Hal ini sesuai dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dalam penelitian normatif karena didasarkan pada penelitian yang dilakukan terhadap bahan hukum yang ada3. Dalam melakukan pendekatan perundang-undangan penulis mengikuti pula pendapat Haryono, bahwa seorang peneliti harus melihat hukum sebagai
sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut4:
1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis.
2. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum.
1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 1993), hal 138.
2
Sri Mamudji, et. al., op. cit., hal. 67. 3
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , cet. ke-2, (Malang: Banyumedia Publishing, 2006), hal. 301.
4
3. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis.
1.8. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II Tinjauan Pustaka, terdiri dari telaah teori, dan kerangka pemikiran.
BAB III Metode Penelitian, terdiri dari desain penelitian, instrumen penelitian, pemilihan informan, lokasi penelitian, metode pengumpulan
data, teknik analisis dan keabsahan data.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Memuat gambaran umum lokasi penelitian, hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan, 2007, Penelitan Kualitatif, Prenada Meda Group, Jakarta.
Islami, M. Irfan, DR,MPA, 1997, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, BumiAksara, cetakan ke 8, Jakarta.
Moleong, Lexy J., 2002, Metode Penelitian Kualitatif , Remaja Rosdakarya, Bandung.
Subarsono, AG, Drs,M.Si, MA, 2005, Analisis Kebijakan Publik , Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Van Meter, Donald S & Van Horn, Carl E. 1975, The Policy Implementation Process : A Concentual Framework in : Administration and Society, Vol.