• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan dan perkembangan yang cepat dalam hal komunikasi dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Perubahan dan perkembangan yang cepat dalam hal komunikasi dan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Perubahan dan perkembangan yang cepat dalam hal komunikasi dan manajemen pengetahuan, menuntut adanya sistem penilaian yang efektif bagi kinerja organisasi. Berbagai model telah diciptakan oleh para ahli untuk sistem penilaian kinerja sehingga organisasi dapat memilih menggunakannya sesuai dengan jenis organisasi, visi, misi, struktur dan tenaga kerja. Fungsi penilaian kinerja bagi karyawan adalah sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, kelebihan, kekurangan, dan potensi yang dimilikinya sehingga bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan karir dalam organisasi, atau perusahaan sendiri. Sistem penilaian tersebut sangat penting artinya dan peranannya dalam pengambilan keputusan tentang berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen, seleksi, program pengenalan, penempatan, promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek lain dari proses dari manajemen sumber daya manusia yang efektif. Berkaitan dengan fungsi di atas salah satu dampak dari penerapan sistem penilaian kinerja adalah peringkat kepuasan dan menekan stres kerja karyawan, yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Penelitian ini dilakukan di PT.Aerofood Indonesia Unit Aerofood ACS Denpasar. PT. Aerofood Indonesia adalah perusahaan penyedia jasa boga penerbangan berstandar internasional yang berdiri di bawah bendera PT.

(2)

Aerowisata Internasional (holding company). Aerofood ACS Denpasar melayani penerbangan luar negeri (foreign), dan lokal (domestic). Maskapai penerbangan luar negeri (foreign) yang dilayani diantaranya China Airlines, Eva Air (China

Taipei), Korean Air, Jet Star (Australia), Virgin Australia dan Air New Zealand

sedangkan maskapai penerbangan lokal (domestic) yang dilayani adalah Garuda Indonesia. Sistem penilaian kinerja di Aerofood ACS Denpasar dilakukan setiap semester dengan menggunakan checklist yang di dalamnya terdapat indikator penilaian yaitu disiplin, loyalitas/tanggung jawab, sikap terhadap supervisi, kerja sama dengan teman sekerja, tingkat pengetahuan tentang pekerjaan, kualitas pekerjaan, kuantitas pekerjaan inisiatif/prakarsa, kemauan untuk perbaikan peningkatan, pengembangan, kemampuan perencanaan dan mengorganisir, kemampuan memotivasi bawahan dan kemampuan mengambil keputusan. Penilaian dilakukan oleh atasan langsung dan atasan dari atasan langsung. Evaluasi dari hasil penilaian kinerja selama ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya sehingga aspek transparansi, adil, objektif dan umpan balik tidak dilakukan ke karyawan. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa penerapan sistem penilaian kinerja tidak dilakukan sesuai dengan prosedur dan indikator yang berlaku untuk mempertajam dan mendapatkan gambaran mengenai persepsi karyawan terhadap penerapan sistem penilaian kinerja, observasi awal dilakukan dengan wawancara kepada responden, adapun hasil yang di dapatkan sebagai berikut :

(3)

Tabel 1.1 Persepsi Responden terhadap Penerapan Sistem Penilaian Kinerja

No. Indicator Interpretation

1. Hasil evaluasi secara terbuka dijelaskan dan dibahas untuk karyawan bersangkutan.

Tidak Setuju

2. Sistem penilaian yang diterapkan akurat dalam hal isi dan tujuan.

Tidak Setuju

3. Evaluasi dilakukan secara jujur dan adil. Tidak Setuju 4. Sistem penilaian kinerja yang diterapkan relevan dan

dapat dipercaya.

Tidak Setuju

5. Sistem penilaian kinerja bersifat adil dan obyektif. Tidak Setuju 6. Karyawan puas dengan hasil evaluasi dan peringkat

penilaian.

Tidak Setuju

7. Sistem penilaian kinerja efektif dalam mendorong karyawan untuk mengurangi stres kerja.

Tidak Setuju

Number of Respondents 35 employee

Sumber : data primer 2014, diolah

Dari hasil wawancara dengan 35 karyawan, diduga bahwa responden menilai sistem penilaian kinerja yang diterapkan kurang terbuka, tujuan yang dicapai kurang jelas, bersifat kurang adil sehingga menyebabkan karyawan merasa kurang puas. Penerapan sistem penilaian kinerja yang berkaitan dengan prosedur, evaluasi, transparansi, rasa adil, objektif, kepuasan terhadap hasil evaluasi dan pengurangan stres kerja dinilai oleh seluruh responden dengan hasil yang kurang baik, sehingga peneliti ingin mengkaji lebih dalam terkait dengan hal tersebut.

Brown et al. (2010) menganalisis hubungan antara kualitas penilaian kinerja diukur dengan aspek kejelasan, komunikasi, kepercayaan, dan keadilan dari proses penilaian kinerja, kepuasan kerja dan komitmen, berdasarkan sampel sebesar lebih dari 2.300 karyawan non-manajerial Australia dari organisasi sektor

(4)

publik. Temuan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa karyawan yang dilaporkan mendapatkan nilai rendah dari penilaian kinerja (dikarenakan tingkat kepercayaan terhadap atasan rendah, komunikasi yang buruk, kurangnya kejelasan tentang harapan, persepsi dan adil dalam proses penilaian kinerja) juga dilaporkan memiliki tingkat yang lebih rendah dari kepuasan kerja dan komitmen. Alexia Deneire et al. (2014) meneliti tentang bagaimana karakteristik sistem penilaian kinerja yang digunakan untuk guru sekolah menengah mempengaruhi kepuasan kerja. Hasil penelitian menunjukkan sistem penilaian kinerja yang digunakan dianggap memiliki keputusan yang adil, baik dan memiliki dampak positif terhadap kepuasan kerja dan kejelasan sistem penilaian dianggap memiliki kualitas sehingga berdampak pada kepuasan kerja.

Fletcher (2001) berpendapat bahwa penilaian kinerja memiliki pendekatan strategis dan mengintegrasikan kebijakan organisasi dan kegiatan sumber daya manusia. Namun, reaksi dan konflik di sisi karyawan sering tak terelakkan. Ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dialami dalam proses penilaian dan evaluasi dapat menyebabkan sistem penilaian kinerja menjadi gagal (Taylor et al., 2011). Keluhan terbesar dari penilai adalah bahwa mereka tidak diberikan pedoman yang memadai untuk menilai orang, dan keluhan terbesar dari ternilai adalah bahwa proses ini tidak merata dan adil. Penilaian kinerja banyak berkonsentrasi dalam menilai perilaku masa lalu karyawan, dalam situasi ini beberapa manajer mengeksploitasi untuk mengorbankan karyawan yang tidak disukai (Bersin, 2008). Argumen tentang bagaimana organisasi untuk mengembangkan sistem penilaian kinerja yang dapat membuat karyawan bereaksi

(5)

positif bukanlah hal baru. Temuan dari studi awal (Hepner and Moore, 2013) menyarankan bahwa mengembangkan sistem penilaian kinerja yang dapat membuat karyawan bereaksi positif adalah penting untuk keberhasilan sistem tersebut. Lebih khusus lagi, Hepner (2013) menemukan bahwa ketika para penilai secara terbuka dan jujur melakukan komunikasi dari tujuan sistem penilaian kinerja karyawan, akan membantu peningkatan kepercayaan karyawan terhadap sistem itu sendiri. Moore (2013) menyarankan bahwa sistem penilaian kinerja yang efektif adalah cara untuk menciptakan keadilan yang dirasakan dalam keputusan pengembangan sumber daya manusia seperti ketika sistem ini dijalankan dengan cara yang terstruktur dan formal, sistem penilaian kinerja cenderung dianggap sebagai memberikan informasi obyektif sebagai dasar untuk keputusan yang membantu meningkatkan kepercayaan dan antusiasme karyawan terhadap sistem itu sendiri. Ada tiga unsur kepuasan terkait dengan sistem penilaian kinerja. Pertama adalah kepuasan terhadap peringkat penilaian, peringkat yang lebih tinggi menimbulkan reaksi positif terhadap penilaian dan berhubungan dengan kepuasan proses penilaian tersebut. Elemen kedua adalah kepuasan dengan para penilai . Di sini, peran yang menentukan bahwa pengawas memiliki hal untuk meyakinkan hasil positif menjadi berbeda, karena para penilai karyawan harus memberikan umpan balik atas kinerja mereka. Elemen ketiga adalah kepuasan terhadap umpan balik penilaian kinerja, umpan balik sangat penting karena dapat berpengaruh potensial terhadap respon karyawan terhadap peringkat penilaian (Kacmar et al., 1996). Mc Carthy dan Garavan (2013) menyatakan bahwa umpan balik kinerja meningkatkan kepuasan kerja, motivasi

(6)

dan banyak pengambilan keputusan dan model pengembangan karir, termasuk umpan balik menekankan bahwa individu belajar atas dasar menerima umpan balik atas kinerja mereka. Dengan demikian, umpan balik kinerja memainkan peran penting dalam banyak kegiatan organisasi seperti pengembangan karir, motivasi, kepuasan kerja, dan manajemen kinerja.

Selain masalah kesehatan mental dan fisik, stres kerja juga dapat menyebabkan masalah tertentu dalam organisasi, seperti ketidakpuasan, turnover karyawan, ketidakhadiran tinggi, peningkatan kecelakaan kerja dan penurunan kinerja. Untuk alasan ini, dapat dijelaskan sumber dan bagaimana memahami penyebab stres yang berhubungan dengan pekerjaan yang penting untuk meningkatkan intervensi pengurangan stres, meningkatkan kepuasan kerja, meningkatkan kinerja karyawan dan kualitas hidup (Mansoor et al., 2011).

Gary Roberts dan Michael Pregitzen (2007), meneliti tentang mengapa karyawan tidak menyukai sistem penilaian kinerja yang digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utama ketidakmampuan di dalam memberikan umpan balik kepada karyawan akan menyebabkan hasil penilaian menjadi ambigu. Ketika para manajer gagal untuk memberikan umpan balik secara korektif dan jujur, karyawan yang berkinerja rendah akan membebankan biaya dan pekerjaan kepada rekan kerja yang memiliki kinerja tinggi, sehingga meningkatkan kebencian dan menyebabkan stres kerja. Hasil penelitian juga dengan jelas menunjukkan sistem penilaian kinerja yang transparan dan dapat diverifikasi, serta karyawan memahami kriteria, standar dan proses akan menjadi sangat penting. Partisipasi karyawan yang penuh semangat dan berkelanjutan

(7)

dalam pengembangan dan administrasi dalam sistem penilaian kinerja akan meningkatkan transparansi, sehingga berpengaruh terhadap komitmen dan menurunkan stress kerja dan kekhawatiran karyawan.

Hanafiah et al. (2007) meneliti hubungan antara kepuasan kerja dan stres kerja yang berkaitan dengan pekerjaan dan retention to leave staf audit dalam perusahaan akuntan publik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepuasan kerja dan stres kerja berhubungan dengan pekerjaan secara signifikan terkait dengan niat untuk meninggalkan pekerjaan. Faktor seperti gaji, posisi pekerjaan dan pendidikan ditemukan memiliki efek tertinggi pada kepuasan kerja. Elemen motivasi dan unsur kesehatan berhubungan dengan kepuasan kerja dan stres kerja juga terkait.

Dengan mempertimbangkan keinginan Aerofood ACS Denpasar untuk memenangkan kompetisi di bidang inflight catering dan perannya dalam pendukung pelayanan penerbangan, maka pengelolaan di bidang sumber daya manusia juga menjadi penting, terutama terkait dengan sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja. Pengelolaan SDM dilakukan berdasarkan sistem manajemen berbasis kompetensi untuk menghasilkan karyawan yang mampu menjamin seluruh proses produksi dan pelayanan yang diberikan sesuai dengan SOP dan standar internasional. Para kompetitor pun bermunculan, seperti, PT. Purantara Mitra Angkasa Dua, PT. Kulinair dan PT. Parewa Air Catering, karena prospek bisnis inflight catering sangat maju pesat tiap tahunnya.

(8)

Berdasarkan hasil observasi dan penilaian di atas, maka peneliti bermaksud melakukan kajian lebih mendalam tentang penerapan sistem penilaian kinerja serta dampaknya terhadap kepuasan dan stres kerja karyawan.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1) Bagaimana pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja ?

2) Bagaimana pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap stres kerja ? 3) Bagaimana pengaruh kepuasan kerja terhadap stres kerja ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1) Menganalisis pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja

2) Menganalisis pengaruh penerapan sistem penilaian kinerja terhadap stres kerja 3) Menganalisis pengaruh kepuasan kerja terhadap stres kerja

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan praktis, sebagai berikut :

1) Manfaat teoritis

a. Untuk menguji konsistensi penelitian-penelitian sebelumnya yang menguji hubungan antara sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja

(9)

b. Untuk membuktikan secara empirik hubungan antara sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja

c. Untuk memberikan kontribusi mengenai sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja

2) Manfaat praktis

a. Untuk memberi masukan pada manajemen perusahaan tentang bagaimana mengendalikan kepuasan kerja dan stres kerja karyawan.

b. Untuk memberi masukan manajemen perusahaan terkait dengan hubungan dari implementasi sistem evaluasi kinerja Aerofood ACS Denpasar dalam hal sistem penilaian kinerja agar efektif mencapai tujuan organisasi.

(10)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2. 1 Sistem Penilaian Kinerja

Suatu organisasi menerapkan sistem penilaian kinerja untuk mengalokasikan imbalan bagi karyawan, memberikan saran pengembangan serta untuk memperoleh perspektif dan persepsi keadilan tentang pekerjaan mereka, departemen, manajer dan organisasi. Sebuah sistem penilaian kinerja terdiri dari berbagai unsur yang saling terkait dan terlibat dalam pelaksanaan, manajemen dan komunikasi di dalam penilaian kinerja (Walsh, 2011). Jawahar (2007) menjelaskan bahwa sistem penilaian kinerja berkaitan dengan proses dan prosedur yang mengatur penilaian kinerja dalam suatu organisasi. Sistem penilaian kinerja adalah sistem formal pemantauan karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor, manajer bahkan pekerja itu sendiri dan merupakan cara atau mekanisme yang digunakan organisasi mengembangkan kompetensi, meningkatkan kinerja dan mendistribusikan penghargaan karyawan.

William et al. (2000) mengidentifikasi empat tujuan sistem penilaian kinerja, yaitu :

1) Antara karyawan (between employees) (pengaturan gaji, promosi ke jabatan/posisi yang lebih tinggi, pemutusan hubungan kerja, mengidentifikasi karyawan yang memiliki kinerja rendah).

(11)

2) Di dalam seorang karyawan (within an employee) (mengidentifikasi kelemahan, kekuatan dan kebutuhan pelatihan karyawan ).

3) Pemeliharaan sistem (system maintenance) (membantu dalam evaluasi sistem karyawan (staffing), pencapaian tujuan organisasi, kebutuhan organisasi untuk pelatihan dan kebutuhan perkembangan organisasi). 4) Dokumentasi (documentation) (mendokumentasikan tindakan seluruh

karyawan dan memiliki catatan terkait proses hukum).

Sistem penilaian kinerja yang efektif dan efisien memerlukan sejumlah persyaratan agar menguntungkan organisasi dan karyawan yang bekerja untuk organisasi Wirawan (2009). Persyaratan tersebut antara lain sebagai berikut :

1) Relevansi

Sistem penilaian kinerja harus relevan, artinya harus ada hubungannya dengan sejumlah faktor organisasi. Pertama, sistem penilaian kinerja harus ada hubungannya dengan strategi dan tujuan organisasi. Kedua, standar kinerja harus ada relevansinya dengan pencapaian strategi organisasi. 2) Reliabilitas

Reliabilitas artinya konsistensi penilaian dari sistem penilaian kinerja. Sistem penilaian kinerja disebut reliabel atau dapat dipercaya jika seorang karyawan yang dinilai oleh dua orang penilai independen mempunyai nilai yang sama atau tidak terlalu berbeda.

(12)

3) Sensitivitas

Sistem penilaian kinerja harus sensitif, artinya dapat membedakan kinerja sangat baik, baik, sedang, buruk dan sangat buruk.

4) Akseptabilitas

Sistem penilaian kinerja harus akseptabel, artinya dapat diterima oleh mereka yang berkaitan dengan penilaian kinerja. Mereka yang berhubungan dengan penilaian kinerja pertama adalah organisasi atau perusahaan yang membuat sistem penilaian kinerja tersebut. Organisasi menggunakan penilaian kinerja untuk mengukur apakah karyawannya melaksanakan pekerjaan dan menghasilkan kinerja seperti yang diharapkan. Penilaian kinerja juga harus diterima oleh karyawan yang dievaluasi. Jika sistem penilaian kinerja merugikan para karyawan, mereka akan menolak penilaian kinerja tersebut. Jika karyawan menolak, tetapi perusahaan memaksakannya, maka akan terjadi keresahan (grievance), ketidakpuasan dan stres kerja karyawan. Sistem penilaian kinerja juga harus dapat diterima oleh para manajer yang akan melaksanakannya. Manajer umumnya tidak menyukai sistem evaluasi kinerja yang rumit dan memerlukan waktu untuk melaksanakannya. Sistem penilaian kinerja seperti itu menyita waktu para manajer sehingga mereka kurang memiliki waktu untuk mengembangkan pekerjaan dalam unitnya.

(13)

5) Praktikal

Sistem penilaian kinerja harus praktis artinya mudah dipahami dan dapat dilaksanakan oleh para manajer dengan mudah. Jika tidak praktis akan terjadi penolakan dari para manajer atau para karyawan. Praktis tidaknya sistem penilaian kinerja ditentukan oleh kriteria berikut : (1) sederhana, (2) tidak memerlukan waktu banyak (time consuming) dan (3) tidak berisiko tinggi.

6) Tidak melanggar undang-undang

Baik di negara-negara maju maupun di Indonesia, tidak ada undang-undang khusus yang mengatur penilaian kinerja. Jika organisasi memilih untuk menyusun dan melaksanakan penilaian kinerja, penilaian tersebut harus tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada. Misalnya, Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan menyatakan, “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Pasal ini merupakan pelaksanaan Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”

Peter Allan (1994) mengemukakan tiga belas persyaratan agar sistem penilaian kinerja dapat efektif, sebagai berikut :

1) Sistem penilaian kinerja harus disesuaikan dengan kebutuhan spesifik dari organisasi

(14)

2) Faktor-faktor penilaian harus subjektif dan sekonkret mungkin 3) Penilaian kinerja harus bebas dari bias

4) Prosedur dan administrasi penilaian kinerja harus seragam 5) Sistem penilaian kinerja harus mudah untuk dioperasikan

6) Hasil sistem penilaian kinerja harus dipakai untuk mengambil keputusan 7) Sistem penilaian kinerja harus menyediakan suatu telaah atau proses naik

banding

8) Sistem harus dapat diterima oleh para pemakai

9) Sistem penilaian kinerja harus dapat dioperasikan secara ekonomis 10) Penilaian kinerja harus didokumentasikan

11) Penilai harus terlatih dan mempunyai kualifikasi untuk melaksanakan penilaian kinerja

12) Sistem penilaian kinerja harus menyediakan cara memonitor dan mengevaluasi pelaksanaannya

13) Manajemen puncak harus mendukung sistem penilaian kinerja dengan jelas

Dalam sejarah penilaian kinerja, terdapat sejumlah pendekatan yang digunakan oleh sistem penilaian kinerja berbagai organisasi. Secara umum, pendekatan-pendekatan yang berbeda tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu (1) Pendekatan sifat pribadi, (2) Pendekatan hasil kerja, (3) Pendekatan perilaku kerja dan (4) Pendekatan campuran.

(15)

Keeping dan Levy (2000), menyatakan terdapat empat komponen utama dari penerapan sistem penilaian kinerja yang nantinya dapat dievaluasi apakah sistem yang digunakan efektif atau gagal, yaitu :

1) The Appraisal Process yaitu, panduan terhadap kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk mengimplementasikan dan mengelola proses penilaian kinerja.

2) The Appraisal Interview yaitu, berkenaan dengan pertemuan formal yang diadakan antara penilai dan ternilai sebagai proses untuk menyampaikan umpan balik kepada ternilai, membahas hasil penilaian kinerja, mendefinisikan dan mendiskusikan tujuan kinerja yang perlu dicapai di masa depan.

3) The Appraisal Outcome yaitu, berkaitan dengan kesempatan pelatihan, pengembangan karir, kenaikan gaji, dan performance rating.

4) Fairness yaitu, berkaitan dengan keterbukaan yang didalamnya terdapat aspek akurasi, transparansi, tepat waktu dan akuntabel.

George Ndemo et al. (2012), menyatakan terdapat lima komponen yang berpengaruh terhadap penerapan sistem penilaian kinerja, yaitu :

1) Process of the Performance Appraisal System, adalah melibatkan

guidelines atau prosedur yang mengatur tentang proses sistem penilaian

kinerja yang di dalamnya terdapat waktu pelaksanaan penilaian, tujuan dan target kinerja yang ingin dicapai.

(16)

2) Informational Factors, adalah berkaitan dengan interaksi dan komunikasi antara rater dan ratee yang nantinya akan terdapat evaluasi dari proses penilaian kinerja.

3) Rater Accuracy, adalah berkaitan dengan ketepatan, dan keterbukaan di dalam membahas hasil kinerja karyawan, terutamanya untuk menghilangkan aspek bias.

4) Interpersonal Factors, adalah berkaitan dengan persepsi keadilan dan kepercayaan yang diterima oleh rates, tidak adanya kepercayaan dapat membuat rates tidak puas sehingga seluruh sistem penilaian kinerja tidak akan efektif.

5) Employee Attitude, adalah berkaitan dengan kepuasan karyawan terhadap sistem penilaian kinerja, sistem yang digunakan harus formal, dimensi kerja harus relevan, adanya kesempatan untuk bertanya dan mengajukan banding dan memiliki tindakan yang cepat untuk menangani setiap kelemahan.

Sistem penilaian kinerja yang diterapkan di Aerofood ACS sering disebut juga sistem imbal jasa atau merit pay system, sistem imbal jasa menetapkan hubungan formal antara upaya dan kinerja individual karyawan dengan imbalan yang diterimanya. Karyawan mempunyai hak untuk menerima upah dan kenaikan upah jika telah menunjukkan kinerja tertentu. Makin tinggi kinerja pegawai, makin tinggi persentase kenaikan upah yang diterimanya pada level kepangkatan/grade atau posisinya. Efektivitas merit pay system bergantung pada sistem penilaian kinerja yang dapat menjaring kinerja karyawan dengan baik.

(17)

Sistem penilaian kinerja yang digunakan memungkinkan perusahaan menjaring kinerja karyawan sesuai dengan kompensasi yang akan dibayarnya. Penilaian kinerja organisasi yang menggunakan pola merit pay system berupaya menjaring tinggi rendahnya kinerja seorang karyawan pada posisi tertentu dalam kurun waktu penilaian kinerja. Selain itu, tinggi rendahnya kinerja karyawan menentukan apakah ia berhak untuk mendapatkan kenaikan pangkat/grade atau jabatan.

Persepsi karyawan terhadap sistem penilaian kinerja merupakan unsur penting dalam menentukan jangka panjang efektivitas suatu sistem, tidak hanya manajer, bawahan umumnya berbeda persepsi tentang suatu sistem penilaian yang efektif, tetapi mereka juga berbeda dalam hal apa yang menyebabkan penilaian tidak menjadi efektif. Longenecker dan Nykodym (1996) menemukan bahwa bawahan percaya penilai adalah kunci keberhasilan sistem dengan penekanan pada hal yang lebih efektif yakni perencanaan, umpan balik yang berkelanjutan dan pemantauan kinerja yang lebih baik oleh pengawas. Manajer, di sisi lain, cenderung untuk fokus pada desain sistem, operasi dan dukungan masalah. Menurut Wright (2013), karyawan menemukan penilaian lebih berguna ketika mereka spesifik dan terfokus, terencana dan dipersiapkan dengan baik, mudah dimengerti dan ketika mereka memiliki lebih banyak keterlibatan dan kontrol atas proses. Di sisi lain, penilai lebih peduli dengan isu-isu strategis, menjelaskan sistem penilaian mereka yang paling disukai seperti terkait dengan strategi bisnis, menantang, nilai tambah, dengan proses penetapan tujuan, direncanakan dengan baik, wajib dan terstruktur.

(18)

Keberhasilan sistem penilaian juga tergantung pada persepsi karyawan, untuk aspek-aspek penting dari proses penilaian keadilan dan reaksi mereka. Alhasil, dengan perasaan ketidakpuasan, ketidakadilan dalam proses dan ketidakadilan dalam evaluasi, setiap sistem penilaian akan ditakdirkan untuk gagal (Cardy dan Dobbins, 1994). Skarlicki dan Folger (1997) menunjukkan bahwa proses penilaian dapat menjadi sumber ketidakpuasan yang ekstrim ketika karyawan percaya sistem bias, politik atau tidak relevan.

Steven et al. (2011) memberikan perspektif yang lebih lengkap dan terbaik mengenai praktek untuk penilaian kinerja karyawan dalam organisasi global. Perspektif yang dihasilkan adalah pelatihan yang memadai harus disediakan untuk para penilai dan yang dinilai dalam rangka menghindari banyak kesalahan penilaian yang umum dalam penilaian kinerja. Pelatihan harus mencakup perbedaan budaya, hukum dan pelanggan suatu negara dengan menyediakan manajer alat untuk memperbaiki proses penilaian kinerja. Manajer juga harus diberi kesempatan untuk membangun hubungan yang diperlukan dengan karyawan.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas sistem penilaian kinerja adalah prosedur pemantauan karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor, manajer yang didalamnya terdapat aspek keterbukaan dengan tujuan untuk pengembangan karir, pelatihan, kenaikan gaji dan performance rating.

(19)

2. 2 Kepuasan Kerja

McShane dan Von Glinow (2008) menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya. Kepuasan kerja terkait dengan penilaian tentang karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Karyawan yang puas mempunyai penilaian yang baik tentang pekerjaan mereka, berdasarkan pengamatan dan pengalaman mereka. Kepuasan kerja benar-benar merupakan sekumpulan sikap tentang aspek-aspek yang berbeda dari tugas dan konteks pekerjaan.

Noe et al. (2011) mendefinisikan variabel ini sebagai perasaan senang sebagai akibat persepsi bahwa pekerjaan seseorang memenuhi atau memungkinkan terpenuhinya nilai-nilai kerja penting bagi orang itu. Definisi ini merefleksikan tiga aspek penting, yaitu :

1) Kepuasan kerja merupakan fungsi nilai yang didefinisikan sebagai apa yang ingin diperoleh seseorang baik sadar maupun tidak sadar

2) Beragam karyawan memiliki pandangan yang juga berbeda-beda menyangkut nilai-nilai yang dirasa penting dan sangat berpengaruh terhadap penentuan sifat dan derajat kepuasan mereka

3) Persepsi individu bisa saja bukan merupakan refleksi yang sepenuhnya akurat terhadap realitas, dan beragam orang bisa memandang situasi yang sama secara berbeda-beda

Kepuasan kerja merupakan tanggapan seorang karyawan berupa sikap terhadap organisasinya. Sebagai sebuah sikap, kepuasan kerja merupakan

(20)

konseptualisasi dari komponen evaluasi, kognitif, dan afektif. Antoncic (2011) mencatat beberapa riset terdahulu tentang sumber-sumber kepuasan, yaitu :

1) Kepuasan umum yang berhubungan dengan pekerjaan, termasuk didalamnya kondisi kerja, jam kerja, dan reputasi perusahaan.

2) Hubungan karyawan, terdiri dari hubungan antar karyawan dan juga wawancara personal tahunan dengan karyawan.

3) Remunerasi, benefits, dan budaya organisasi, unsur-unsur ini termasuk gaji, remunerasi dalam bentuk benefit dan pujian, promosi, pendidikan, sifat permanen pekerjaan, dan iklim dan budaya organisasi.

4) Loyalitas karyawan

Karyawan puas dengan sistem penilaian kinerja mereka ketika ada kepercayaan dari pengawas dan ketika pengawas mendukung umpan balik dari hasil penilaian, khususnya di bidang pengembangan keterampilan, pay for

performance, dll. Kemajuan karir terjadi selama sesi penilaian, dan bawahan

merasa bahwa mereka diberi waktu yang cukup untuk mengekspresikan perspektif mereka, memiliki kesempatan untuk mempengaruhi hasil dan penjelasan yang cukup dari peringkat penilaian mereka (Whiting, et. al 2007).

Menurut Luthans (2006) kepuasan kerja dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

1) Pekerjaan itu sendiri, yaitu variasi pekerjaan dan kontrol atas metoda serta langkah-langkah kerja.

2) Kepuasan terhadap kompensasi, yaitu imbalan finansial yang diterima oleh karyawan meliputi gaji dan tunjangan, (diukur melalui rasa keadilan,

(21)

sebanding dengan tempat kerja lain yang sejenis, dan jumlah gaji yang di berikan sesuai dengan profesi).

3) Kesempatan promosi karir, yaitu kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri dalam organisasi.

4) Kepuasan terhadap supervisi, yaitu kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu, (diukur melalui pemberian arahan oleh atasan dengan obyektif, menegur ketika bersalah, dan umpan balik positif ketika bekerja dengan benar).

5) Kepuasan terhadap hubungan personal, yaitu interaksi dan keterlibatan dengan rekan kerja, atasan, bawahan dan lain-lain, dalam melakukan suatu pekerjaan, (diukur melalui komunikasi dengan atasan, bekerjasama dengan sesama karyawan dan sikap saling menghargai).

Khim Ong et al. (2008), melakukan penelitian pada penilaian guru di sekolah dasar Singapura. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji atribut dari sistem penilaian kinerja, bagaimana atribut-atribut mempengaruhi kepuasan dan stres yang dialami dengan sistem penilaian kinerja, sikap terhadap bonus kinerja, kepuasan kerja, dan motivasi, dan kegotong-royongan yang dirasakan di antara para guru. Penelitian dilakukan melalui metode kuesioner dan dibagikan kepada 125 guru tetapi hanya 85 yang diambil karena mereka menanggapi survei atas dasar sukarela. Kuesioner bertanya tentang data demografi mereka, sikap terhadap pekerjaan, keinginan memiliki sistem penilaian kinerja yang baru, sistem penilaian kinerja saat ini, dan kepuasan dari sistem penilaian kinerja. Hasil dari

(22)

temuan menunjukkan bahwa keadilan dan kejelasan sistem penilaian kinerja terkait dengan kepuasan yang lebih besar dengan sistem penilaian kinerja. Sebagai kesimpulan, penelitian ini memberikan wawasan tentang bagaimana berbagai atribut dari sistem penilaian kinerja yang berhubungan dengan hasil seperti kepuasan kerja dan motivasi. Temuan ini dapat membantu untuk merancang dan mengimplementasikan sistem penilaian kinerja yang lebih efektif.

Rabia Karimi et al. (2011) meneliti hubungan sistem penilaian kinerja dan kepuasan kerja karyawan di organisasi internasional nirlaba. Berdasarkan tanggapan dari 53 responden laki-laki dan 48 responden perempuan hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara sistem penilaian kinerja karyawan dan kepuasan kerja karyawan. Hasil mengkonfirmasi bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara karyawan pria dan wanita sehubungan dengan penilaian kinerja mereka dan kepuasan. Ini menegaskan bahwa sistem penilaian kinerja dalam praktek cukup adil untuk menjaga semua karyawan puas. Hasil dari penelitian ini adalah sejalan dengan Khan (2007) dan berbeda dengan studi penelitian Bricker (1992) yang menyatakan bahwa karyawan tidak puas dengan sistem penilaian kinerja yang diadopsi oleh organisasi mereka. Banyak peneliti menegaskan bahwa kepuasan karyawan adalah kunci untuk individu yang lebih baik dan atau kinerja organisasi (Schneider et al., 2003).

Berdasarkan beberapa hasil penelitian di atas kepuasan kerja adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya yang diukur berdasarkan dimensi karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja.

(23)

2. 3 Stres Kerja

Menurut Spielberger (2003) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini Nimran (1999). Di antaranya adalah:

1) Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktifitas kerja karyawan.

2) Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi, stress juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya. 3) Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman

terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif.

4) Banyak di antara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah.

(24)

5) Dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia semakin sibuk. Di situ pihak peralatan kerja semakin modern dan efisien, dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin bertambah.

Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi pegawai yang lebih besar dari yang sudah ada. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa. Masalah-rnasalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara umum.

Cary Cooper dan Alison Straw (1995) mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini:

1) Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.

2) Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik, kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat keputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan hilangnya minat terhadap orang lain.

(25)

3) Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan, penjengkel menjadi meledak-ledak.

Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu meliputi: 1) Kepuasan kerja rendah

2) Kinerja yang menurun

3) Semangat dan energi menjadi hilang 4) Komunikasi tidak lancar

5) Pengambilan keputusan jelek 6) Kreatifitas dan inovasi kurang

7) Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif

Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.

Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik

(26)

individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.

Davis dan Newstrom (1999) stres kerja disebabkan:

1) Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi karyawan.

2) Supervisor yang kurang pandai. Seorang karyawan dalam menjalankan tugas sehari-harinya biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan, ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan benar.

3) Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya, karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang ditetapkan atasan.

(27)

4) Kurang mendapat tanggung jawab yang memadai. Faktor ini berkaitan dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada atasan.

5) Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas peran.

6) Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme).

7) Frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta penilaian kinerja/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. 8) Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal tersebut tidak umum. Situasi

ini bisa timbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah perusahaan pertama.

(28)

9) Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi di bawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternatif. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja tergantung pada individu karyawan, tetapi aman untuk mengatakan bahwa orang-orang yang mengalami stres yang tidak diinginkan biasanya juga mengalami sedikit kepuasan dari pekerjaan. Kepuasan kerja dan stres sering dianggap berhubungan semata-mata dengan cara ini, tetapi ada koneksi lain yang perlu dipertimbangkan juga. Sebagai contoh, seorang karyawan dengan kepuasan kerja dinyatakan tinggi mungkin akan lebih mampu menangani periode stres yang ekstrim yang berkaitan dengan pekerjaan karena dia merasa bahwa stres tersebut bermanfaat untuk kepentingan perusahaan. Demikian juga, perusahaan yang menghargai kebahagiaan karyawan menciptakan ikatan tambahan antara kepuasan kerja dan stres karena, untuk menjaga kepuasan, manajer dan pejabat perusahaan lain harus sangat selaras dengan situasi yang menyebabkan stres.

(29)

Menurut Cary Cooper (2009), stres kerja disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut :

1) Kondisi pekerjaan, meliputi beban kerja berlebihan secara kuantitatif, yaitu banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi kapasitas kerja karyawan, sehingga karyawan mudah lelah dan berada dalam tekanan tinggi. Secara kualitatif, yaitu bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit diselesaikan sehingga menyita kemampuan karyawan dan waktu kerja.

2) Stres karena peran, meliputi ketidakjelasan peran di dalam melaksanakan pekerjaannya dan tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh manajemen 3) Faktor interpersonal, meliputi hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang

buruk dan kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan

4) Perkembangan karir, meliputi proses promosi ke jabatan yang lebih tinggi dan terkait dengan keamanan pekerjaan.

5) Struktur organisasi, meliputi struktur yang tidak jelas, pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang dan ketidakterlibatan dalam membuat keputusan

6) Tampilan rumah-pekerjaan, meliputi mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi, kurangnya dukungan dari keluarga, konflik pernikahan dan stres karena memiliki dua pekerjaan

Teratanavat et al. (2006) menemukan proses sistem penilaian kinerja memiliki hasil seperti mengurangi stres karyawan, review kemajuan secara

(30)

keseluruhan, hubungan antara kinerja saat ini dan tujuan karyawan, dan rencana pengembangan tindakan tertentu untuk masa depan.

Khaled A. et al. (1995) melakukan penelitian dengan tanggapan dari 442 karyawan bekerja di 23 organisasi yang berbeda di Arab Saudi untuk menilai tingkat stres dan perbedaan mereka sehubungan dengan kewarganegaraan (Saudi, Arab, Asia dan Barat), usia, jabatan, jenis organisasi (publik, semi-swasta, swasta) dan ukuran organisasi (kecil, menengah, besar). Temuan menunjukkan bahwa, sumber utama stres bagi karyawan yang bekerja di organisasi swasta adalah kurangnya pengetahuan tentang hasil penilaian kinerja mereka, sementara, ini tidak berlaku untuk karyawan yang bekerja di organisasi publik, karyawan Saudi memiliki tingkat stres tertinggi, dengan Arab kedua, Asia ketiga, sementara orang Barat ( Eropa dan Amerika Utara ) terdaftar memiliki tingkat stres terendah. Karyawan dengan pengalaman dan usia kurang dari 30 tahun memiliki tingkat stres tertinggi, karyawan dengan pengalaman kerja antara 6 sampai 10 tahun juga menunjukkan tingkat stres tertinggi dan ada hubungan terbalik yang signifikan antara tingkat pendidikan dan tingkat stres. Berdasarkan beberapa penelitian di atas stress kerja adalah evaluasi individu terkait kesesuaian kapasitas individu dengan tuntutan lingkungan kerja.

(31)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEPTUAL, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Berpikir Dan Konseptual

Sejalan dengan semakin pesatnya pertumbuhan industri penerbangan yang menawarkan berbagai pelayanan yang memuaskan konsumen khususnya dalam hal makanan dan minuman berdampak pada munculnya kompetitor-kompetitor baru di bidang Inflight Catering. Munculnya kompetitor menyebabkan kompetisi menjadi sangat ketat, kompetisi ini terjadi bukan saja dari hal harga yang ditawarkan tetapi juga dari segi kualitas dan keamanan dari produk yang dihasilkan. Dalam rangka memenangkan persaingan tersebut dibutuhkan tenaga kerja profesional yang mampu bekerja sesuai standard operating procedure, memiliki integritas yang tinggi, handal, efektif dan efisien, pelayanan yang cepat dan berkualitas tinggi.

PT Aerofood ACS Denpasar, sebagai salah satu perusahaan inflight

catering terlibat dalam kompetisi tersebut. Perusahaan ini mengelola tenaga

kerjanya berdasarkan human resources practise sistem manajemen SDM yang tujuannya adalah senantiasa memberikan informasi mengenai aspek-aspek sistem penilaian kinerja dengan tujuan agar terus meningkatkan produktivitas dan disiplin kerja, memelihara kepuasan kerja dan mengurangi dampak stres bagi karyawan. Meskipun sudah banyak kebijakan yang diterapkan untuk mendukung tujuan-tujuan tersebut, hasil dari observasi awal dan survey employee engagement

(32)

yang dilakukan pada tahun 2013 menunjukkan hasil yang cukup mengecewakan, lebih dalam mengenai aspek sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan tingkat stres karyawan.

Berdasarkan pada fakta tersebut, PT Aerofood ACS DPS perlu mengkaji kembali kebijakan-kebijakan SDM yang diterapkan. Selain berfokus pada profit, maka kewajiban etis dalam mengelola karyawan perlu menjadi bagian dari strategi perusahaan. Karyawan tentu saja menuntut kesejahteraan, tetapi sebenarnya yang mereka perlukan lebih dari itu. Pada konteks etis inilah, tema sistem penilaian kinerja menjadi penting. Sebab lainnya adalah era keterbukaan yang memungkinkan karyawan mengungkapkan aspirasi terkait sistem penilaian kinerja baik secara individual maupun melalui serikat pekerja.

Sistem penilaian kinerja mempunyai konsekuensi terhadap sikap dan perilaku karyawan yang berkaitan dengan kepuasan kerja dan stres kerja. Kepuasan kerja menunjukkan hasil sistem penilaian kinerja yang dilakukan dengan adil dan nyata sehingga akan berdampak pada produktifitas menjadi semakin tinggi dan berpengaruh pada rendahnya tingkat stres karyawan.

Kepuasan kerja merupakan hasil dari kesadaran karyawan tentang seberapa baik pekerjaan mereka dapat memberikan hal-hal yang dipandang penting (Bernal et al., 2005). Sebuah kinerja dengan kualitas tinggi dari pengalaman penilaian diharapkan dapat meningkatkan perasaan karyawan, sikap, prestasi, diri tentang pekerjaan mereka dan perasaan mereka menuju posisi konstruktif dalam organisasi. Kinerja dengan kualitas tinggi dari pengalaman penilaian adalah berakibat penting untuk menghasilkan tingkat kepuasan kerja

(33)

tinggi (Brown et al., 2010). Sebuah kinerja dengan kualitas rendah dari pengalaman penilaian yang dilakukan dapat mengakibatkan tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah.

Signifikansi pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja telah dibuktikan oleh banyak riset, antara lain yang dilakukan oleh Ari Warokka

et al. (2012), Ayaz Khan (2009), Rabia Karimi et al. (2011), Mohsin Alvi et al.

(2013), Arshad et al. (2013), Sarminah Samad (2011), Herald Monis (2010). Darehzereshki et al. (2013) melalui hasil studinya menyajikan bahwa ketika sistem penilaian kinerja dilakukan dalam sebuah organisasi tetapi di dalamnya terdapat karyawan dengan memiliki kualitas kerja yang rendah, sistem penilaian kinerja tersebut akan gagal untuk menciptakan proses pengelolaan sumber daya manusia yang menggembirakan, tetapi juga membawa beberapa efek negatif dalam bentuk kepuasan kerja yang rendah pula.

Literatur keorganisasian mengenai stres kerja telah terperinci secara baik. Stres telah terbukti mempengaruhi psikologis karyawan, fisiologis dan perilaku (Cooper et al., 2001). Semua ini telah dikaitkan dengan prestasi kerja yang lebih rendah, yang selalu memberikan hasil negatif bagi organisasi (Longenecker et al., 1999). Hal yang terpenting mengenai masalah dan manfaat sistem penilaian kinerja dan evaluasi dalam organisasi tidak pernah hilang pada praktisi dan peneliti dari latar belakang sumber daya manusia, proses penilaian kinerja itu sendiri dapat meninggalkan kesan bagi yang ternilai dan para penilai tidak bahagia.

(34)

Signifikansi pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap kepuasan kerja dan stres kerja telah dibuktikan oleh beberapa riset, antara lain yang dilakukan oleh : Geoff Carter and Brian Delahaye (2005), Mansoor et al. (2011), Tennakoon dan Rehan Syed (2011), Chaudhry (2012), DeTienne et al. (2012), Pascal Paillé (2011), Caleb dan Weathington (2007), Yuko Fujimura et al. (2010). Gbolahan Gbadamosi (2006) meneliti tentang persepsi stres, ketidaknyamanan sistem penilaian kinerja dan inti evaluasi diri dalam konteks non - barat (CP). Hasil penelitian menunjukkan korelasi langsung namun tidak signifikan antara ketidaknyamanan dan keyakinan dalam penilaian kinerja ; berhubungan terbalik antara ketidaknyamanan penilaian kinerja dan persepsi stres, berhubungan terbalik antara ketidaknyamanan penilaian kinerja dan inti evaluasi diri. Semua hasil ini, adalah dalam arah yang diprediksi tidak signifikan. Sebuah hubungan yang signifikan dan langsung ditemukan antara persepsi stres dan inti evaluasi diri. Ini mungkin menunjukkan hubungan yang kuat antara bagaimana seseorang melihat pandangan dan nilai diri sebagai refleksi kemungkinan keadaan individu dari persepsi stres. Inti evaluasi diri dan ketidaknyamanan penilaian kinerja muncul sebagai variabel prediktor untuk persepsi stres, dengan menjadi prediktor kuat dan bersama-sama menjelaskan sekitar 7% dari varians.

Berdasarkan latar belakang, teori, studi empirik, dan observasi disusunlah suatu kerangka konseptual. Variabel eksogen yaitu sistem penilaian kinerja dan variabel endogen kepuasan kerja dan stres kerja. Kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut :

(35)

Gambar 3.1

Kerangka Konseptual Penelitian

3.2 Hipotesis Penelitian

3.2.1 Pengaruh Penerapan Sistem Penilaian Kinerja Terhadap Kepuasan Kerja

Mohsin Alvi (2013) menyatakan bahwa ada korelasi positif yang signifikan antara umpan balik dari evaluasi dan sistem penilaian kinerja berfungsi atas dasar kepuasan kerja. Ada korelasi positif yang signifikan antara penilaian kinerja berfungsi atas dasar kepuasan kerja dan antara penilaian kinerja berfungsi atas dasar promosi. Penelitian yang dilakukan oleh Mohsin Alvi (2013) adalah sejalan dengan Khan (2007) dan berbeda dengan studi penelitian Bricker (1992) yang menyatakan bahwa karyawan tidak puas dengan sistem penilaian kinerja yang diadopsi oleh organisasi mereka. Banyak peneliti menegaskan bahwa kepuasan kerja karyawan adalah kunci untuk individu yang lebih baik dan / atau kinerja organisasi (Schneider et al., 2003 ).

Kelly et al. (2008) menguji atribut dari sistem penilaian kinerja, bagaimana atribut-atribut tersebut dapat mempengaruhi kepuasan kerja, stres yang

H3 H2 H1 Kepuasan Kerja Sistem Penilaian Kinerja Stres Kerja

(36)

dialami terkait dengan sistem penilaian kinerja, motivasi dan sikap kerjasama, hasil penelitian menunjukkan pentingnya kejelasan dan keadilan di dalam sistem penilaian kinerja berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja, temuan ini dapat membantu untuk merancang dan mengimplementasikan sistem penilaian kinerja yang lebih efektif.

Sejalan dengan hal tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Rabia Karimi et al. (2011), Herald Monis, T. N. Sreedhara (2010), Kithuku dan Victoria Mutile (2012) menyatakan bahwa sistem penilaian kinerja berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja.

Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut :

H1 : Sistem penilaian kinerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja

3.2.2 Pengaruh Penerapan Sistem Penilaian Kinerja Terhadap Stres Kerja

Masalah-masalah yang timbul dari permasalahan penilai yang berkaitan erat dengan masalah proses sistem penilaian kinerja. Kritik penilai berkembang karena penilai memiliki tingkat stres yang tinggi di dalam memainkan peran dan mewakili organisasi dalam proses penilaian kinerja (Roberts 1998).

Milliman et al.(2002) menyatakan banyak manajer merasa tidak nyaman dengan proses sistem penilaian kinerja dan karyawan tidak suka menerima hasil dari penilaian kinerja. Menambah tekanan ini adalah keyakinan yang dimiliki oleh banyak karyawan yang merasa bahwa masa depan mereka mungkin berada di

(37)

bawah ancaman. Ini adalah kekhawatiran yang wajar mengingat bahwa salah satu peran dari sistem penilaian kinerja yang bersifat administratif yaitu kenaikan gaji dan / atau promosi, untuk para karyawan khususnya, review interaksi sistem penilaian kinerja sering menyebabkan stres (Delahaye 2005 ).

Meskipun ada banyak dugaan yang melekat, seperti yang ditunjukkan dalam literatur, tampaknya terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa ada hubungan langsung antara sistem penilaian kinerja dan stres kerja. Anggapan seperti itu tampaknya masuk akal dari beberapa penelitian tentang pengaruh sistem penilaian kinerja terhadap karyawan. Tattersall dan Morgan (1997) menyatakan bahwa individu dapat berinteraksi secara berbeda terhadap peristiwa stres mengenai sistem penilaian kinerja.

Sejalan dengan hal tersebut adalah penelitian yang dilakukan oleh Nesbit dan Wood (2002), Pettijohn dan Taylor (2000), Tattersall dan Morgan (1997) menyatakan bahwa sistem penilaian kinerja berpengaruh negatif terhadap stres kerja.

Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut :

H2 : Sistem penilaian kinerja berpengaruh negatif dan signifikan terhadap stres kerja

3.2.3 Pengaruh Kepuasan Kerja Terhadap Stres Kerja

Beberapa studi telah mengkaji hubungan antara kepuasan kerja dan stres diantaranya Cooper et al. (2001) dan Longenecker et al. (1999). Kepuasan kerja dan stres kerja adalah dua fokus panas di penelitian manajemen sumber daya

(38)

manusia. Meskipun ada hubungan antara kepuasan kerja dan stres kerja, penting untuk membedakan antara jenis stres yang berujung pada kepuasan dan jenis stres yang mengarah ke kelelahan. Jenis stres yang mengurangi kepuasan kerja adalah jenis yang konstan dan menyediakan pekerja dengan tidak ada manfaat. Dalam banyak kasus, stres jenis ini dapat menyebabkan penurunan kepuasan kerja yang pada akhirnya akan menyebabkan karyawan sangat tidak bahagia.

Studi yang dilakukan oleh Khaleque (2013) menunjukkan bahwa para pekerja yang tidak puas terhadap sistem penilaian kinerja menderita stres dan ketegangan yang lebih besar dibandingkan dengan pekerja yang puas. Blegen (1993) menyatakan kepuasan kerja erat dipengaruhi oleh stres kerja. Analisisnya menemukan stres kerja dan komitmen memiliki hubungan yang kuat dengan kepuasan kerja. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Irvine & Evans (1995) yang menyatakan kepuasan kerja memiliki hubungan yang kuat dengan stres kerja dan turnover karyawan.

Berdasarkan penjelasan hasil penelitian di atas dapat dikemukakan hipotesis penelitian sebagai berikut :

(39)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian Dan Ruang Lingkup Penelitian 4.1.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang dengan tujuan untuk dapat memahami, menjelaskan, dan memprediksi tingkat ketergantungan variabel independen terhadap variabel dependen. Penelitian ini bersifat asosiatif, menurut Sugiyono (2008) penelitian asosiatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih. Di mana hubungan antara variabel dalam penelitian akan dianalisis dengan menggunakan ukuran-ukuran statistika yang relevan atas data tersebut untuk menguji hipotesis. Variabel-variabel yang digunakan adalah sistem penilaian kinerja (X), kepuasan kerja (Y1), dan stres kerja (Y2), dengan menggunakan metode PLS (partial least square), data yang diperoleh dari hasil kuesioner diolah dengan bantuan software SmartPLS Ver. 2

for windows, menguraikan hasil penelitian ini melalui pembahasan, saran dan

kesimpulan tentang variabel yang diteliti. 4.1.2 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah meneliti penerapan sistem penilaian kinerja dan dampaknya terhadap kepuasan dan stres kerja karyawan PT Aerofood ACS Denpasar. Survei dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang akan didistribusikan ke kantor Aerofood ACS di Bandara Internasional Ngurah Rai dan Aerofood ACS II di daerah Kelan.

(40)

4.2 Variabel Penelitian 4.2.1 Identifikasi Variabel

Identifikasi variabel perlu dilakukan untuk memberikan gambaran dan acuan dalam penelitian. Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis penelitian, variabel penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut :

1) Variabel eksogen adalah sistem penilaian kinerja (X)

2) Variabel endogen adalah kepuasan kerja (Y1) dan stres kerja (Y2). 4.2.2 Definisi Operasional Variabel

Definisi operasional variabel merupakan jembatan yang menghubungkan

conceptual-theoritical level dengan empirical-observational level (Purwanto dan

Sulistyastuti, 2007). Untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan variabel yang dianalisis berikut ini dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel sebagai berikut:

1) Sistem Penilaian Kinerja (X)

Sistem penilaian kinerja (X) adalah prosedur pemantauan kerja karyawan yang melibatkan evaluasi kinerja berdasarkan penilaian dan pendapat dari bawahan, rekan kerja, supervisor dan manajer yang didalamnya mencakup aspek keterbukaan dengan tujuan untuk pengembangan karir, pelatihan, kenaikan gaji dan performance rating. Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur sistem penilaian kinerja dalam penelitian ini mengacu pada pengukuran yang dikembangkan oleh Keeping & Levy (2000), yaitu :

(41)

a) The Appraisal Process (X1.1) yaitu, persepsi responden terhadap panduan kebijakan dan prosedur yang digunakan untuk mengimplementasikan dan mengelola proses penilaian kinerja.

b) The Appraisal Interview (X1.2) yaitu, persepsi responden berkenaan dengan pertemuan formal yang diadakan antara penilai dan ternilai sebagai proses untuk menyampaikan umpan balik kepada ternilai, membahas hasil penilaian kinerja, mendefinisikan dan mendiskusikan tujuan kinerja yang perlu dicapai di masa depan.

c) The Appraisal Outcome (X1.3) yaitu, persepsi responden berkaitan dengan kesempatan pelatihan, pengembangan karir, kenaikan gaji, dan

performance rating.

d) Fairness (X1.4) yaitu, persepsi responden berkaitan dengan keterbukaan yang didalamnya terdapat aspek akurasi, transparansi, tepat waktu dan akuntabel.

2) Kepuasan Kerja (Y1)

Kepuasan kerja (Y1) adalah evaluasi individu tentang tugas dan konteks pekerjaannya yang diukur berdasarkan dimensi karakteristik pekerjaan, lingkungan kerja, dan pengalaman emosional di tempat kerja. Indikator-indikator untuk mengukur kepuasan kerja dalam penelitian ini menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Luthans (2006), yaitu :

a) Pekerjaan itu sendiri (Y1.1), yaitu persepsi responden terhadap variasi pekerjaan dan kontrol atas metoda serta langkah-langkah kerja.

(42)

b) Kepuasan terhadap kompensasi (Y1.2), yaitu persepsi responden terhadap imbalan finansial yang diterima oleh karyawan meliputi gaji dan tunjangan, (diukur melalui rasa keadilan, sebanding dengan tempat kerja lain yang sejenis, dan jumlah gaji yang di berikan sesuai dengan profesi). c) Kesempatan promosi karir (Y1.3), yaitu persepsi responden terhadap

kesempatan untuk maju dan mengembangkan diri dalam organisasi.

d) Kepuasan terhadap supervisi (Y1.4), yaitu persepsi responden terhadap kemampuan supervisor untuk memberikan bantuan teknis dan dukungan perilaku melalui proses komunikasi untuk tujuan tertentu, (diukur melalui pemberian arahan oleh atasan dengan obyektif, menegur ketika bersalah, dan umpan balik positif ketika bekerja dengan benar).

e) Kepuasan terhadap hubungan personal (Y1.5), yaitu persepsi responden terhadap interaksi dan keterlibatan dengan rekan kerja, atasan, bawahan dan lain-lain, dalam melakukan suatu pekerjaan, (diukur melalui komunikasi dengan atasan, bekerjasama dengan sesama karyawan dan sikap saling menghargai).

2) Stres Kerja (Y2)

Stres kerja (Y2) adalah evaluasi individu terkait kesesuaian kapasitas individu dengan tuntutan lingkungan kerja. Indikator-indikator untuk mengukur stres kerja dalam penelitian ini menggunakan pengukuran yang dikembangkan oleh Cary Cooper (2009), yaitu :

a) Kondisi pekerjaan (Y2.1), persepsi responden terhadap beban kerja berlebihan secara kuantitatif, yaitu banyaknya pekerjaan yang ditargetkan

(43)

melebihi kapasitas kerja karyawan, sehingga karyawan mudah lelah dan berada dalam tekanan tinggi. Secara kualitatif, yaitu bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit diselesaikan sehingga menyita kemampuan karyawan dan waktu kerja.

b) Stres karena peran (Y2.2), persepsi responden terhadap ketidakjelasan peran di dalam melaksanakan pekerjaannya dan tidak mengetahui apa yang diharapkan oleh manajemen.

c) Faktor interpersonal (Y2.3), persepsi responden terhadap hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk dan kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan.

d) Perkembangan karir (Y2.4), persepsi responden terhadap proses promosi ke jabatan yang lebih tinggi dan terkait dengan keamanan pekerjaan. e) Struktur organisasi (Y2.5), persepsi responden terhadap struktur yang

tidak jelas, pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang dan ketidakterlibatan dalam membuat keputusan.

f) Tampilan rumah-pekerjaan (Y2.6), persepsi responden terhadap mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi, kurangnya dukungan dari keluarga, konflik pernikahan dan stres karena memiliki dua pekerjaan.

4. 3 Pengumpulan Data 4.3.1 Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif, sebagai berikut :

(44)

1) Data kuantitatif dalam penelitian ini adalah data jumlah karyawan PT Aerofood ACS Denpasar dan data dari kuesioner penelitian.

2) Data kualitatif dalam penelitian ini adalah tingkat stres kerja karyawan dan tingkat kepuasan kerja karyawan Aerofood ACS Denpasar.

4.3.2. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari :

1) Data primer berasal dari karyawan yang menjadi responden penelitian ini dengan mengisi kuesioner untuk mengetahui tentang persepsi responden terkait sistem penilaian kinerja, kepuasan kerja dan stres kerja.

2) Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dari data yang telah tersedia dalam perusahaan seperti data jumlah karyawan, masa kerja, tingkat pendidikan dan umur karyawan.

4.3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian

Populasi mengacu pada keseluruhan kelompok orang, kejadian, atau hal minat yang ingin diteliti (Sekaran, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan tetap di seluruh departemen Aerofood ACS Denpasar dengan seluruh tingkat jabatan, sebanyak 635 orang.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2012). Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple random sampling, karena populasi dianggap mempunyai probability yang sama untuk menjadi sampel dalam penelitian ini. Untuk menentukan sampel dari suatu populasi dalam penelitian ini digunakan metode Slovin dalam Husein Umar (2000) dengan rumus :

(45)

Keterangan :

n = ukuran sampel N = ukuran populasi

e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan misalnya 10%. Dengan metode penentuan sampel dari Slovin maka jumlah sampel minimal dapat dihitung sebagai berikut:

n = 635 n = 86 1 + 635 (0.1)2

Populasi penelitian adalah 635, tingkat kesalahan yang ditolerir adalah 10% maka jumlah sampel minimum yang harus diambil adalah 86 orang karyawan dengan melihat secara proporsional antara jumlah populasi di masing-masing departemen sesuai dengan tabel di bawah ini :

Tabel 4.1 Populasi dan Sampel Penelitian

No Departemen Jumlah Populasi Jumlah Sampel

1. Executive Office 30 4

2. Customer Service 22 3

3. Lounge & Service 22 3

4. Quality Hygiene Safety Environment 44 6

5. Procurement 37 5

(46)

No Departemen Jumlah Populasi Jumlah Sampel 7. Information, Communication and

Technology 15 2 8. Engineering 37 5 9. Human Capital 37 5 10. Security 15 2 11. Store 30 4 12. Industrial Catering 15 2 13. Operation 118 16 14. Production 126 17 15. Housekeeping 30 4 Total 635 86

Sumber : Aerofood ACS Denpasar Departemen Human Capital 4.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cross sectional survey, yaitu metode pengumpulan data dimana informasi dikumpulkan hanya pada saat tertentu. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :

1) Observasi, digunakan untuk mengumpulkan data secara langsung serta mencatat fenomena di lokasi penelitian. Data yang diperoleh adalah pandangan, sikap dan perilaku karyawan.

2) Wawancara, digunakan untuk memperoleh informasi mengenai isu yang diteliti. Pada penelitian ini, wawancara dilakukan dengan bagian SDM di PT Aerofood ACS Denpasar untuk mengetahui data-data hasil employee

engagement survey yang sudah dilakukan dan untuk memperoleh informasi

tentang kebijakan pengelolaan SDM.

3) Kuesioner, digunakan untuk memperoleh data primer kuantitatif penelitian mengenai variabel-variabel yang diteliti. Data dikumpulkan dengan

(47)

mengirimkan kuesioner yang diberikan secara pribadi. Setelah kuesioner didistribusikan, responden diberi waktu selama 3 hari untuk menjawab, dan setelah selesai mengisi kuesioner tersebut akan dikumpulkan kembali. Menurut Sekaran (2006), keuntungan metode ini adalah :

a. Bisa membangun hubungan dan memotivasi responden b. Keraguan bisa diklarifikasi

c. Lebih murah jika diberikan kepada kelompok responden d. Respon dipastikan hampir mencapai 100%

e. Anonimitas dari responden tinggi 4.5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner dalam bentuk pertanyaan tertutup yang sudah disediakan. Para responden tinggal memilih, skala yang digunakan pada penelitian ini terdiri atas tujuh tingkatan yakni 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (sedikit tidak setuju), 4 (tidak tahu), 5 (sedikit setuju), 6 (setuju) dan 7 (sangat setuju).

Data yang dihasilkan pada penelitian ini akan dievaluasi melalui uji validitas dan reliabilitas untuk memastikan bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah valid dan reliabel.

a) Uji Validitas

Uji validitas bertujuan untuk memeriksa apakah isi kuesioner sudah tepat untuk mengukur apa yang ingin diukur dan cukup dipahami oleh semua responden yang diindikasikan oleh kecilnya persentase jawaban responden yang tidak terlalu menyimpang dari jawaban responden

Gambar

Tabel 1.1 Persepsi Responden terhadap Penerapan Sistem Penilaian Kinerja
Tabel 4.1 Populasi dan Sampel Penelitian
Gambar  4.1. Diagram Alur (Path Diagram) atau Outer Model
Tabel 5.1   Karakteristik Demografi Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu sebagian besar responden berada pada usia 61 – 65 tahun,jenis kelamin responden lebih besar perempuan dari pada laki - laki, pendidikan terahir

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang telah menerapkan tutorial sebagai salah satu metode problem-based learning fPBL) sejak tahun 2008. Terdapat beberapa

Pemodelan lambung kapal yang akan digunakan sebagai input pada program Ansys Aqwa dapat dilakukan dengan software pendukung dalam Ansys itu sendiri seperti Design

Merujuk pada definisi politik sendiri yaitu tentang seni untuk mencapai tujuan, maka dalam tahap ini siswa SMA akan mempelajari sesuatu yang praktis, seperti bernegosiasi, debat

Akan tetapi jika dilihat nilai rataan antara bagian ruas dan buku, keragaman kekuatan tarik sejajar serat antar jenis bambu dipengaruhi oleh kadar lignin (Gambar

)umbuh mbuh berk berkemb embangn angnya ya seko sekolah- lah-sek sekolah olah asin asing g di di Indo Indones nesia, ia, yan yang g dal dalam am berbagai hal lebih

Downloaded by [Universitas Maritim Raja Ali Haji], [UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU] at 21:01 11 January 2016... simulation experience also suggests

Dari kedua pengertian tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa media promosi cetak merupakan media yang digunakan oleh produsen, yang mana dalam media tersebut