• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penentuan Awal Bulan Qamariyah Jamaah Tabligh Naqsabandiyah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Metode Penentuan Awal Bulan Qamariyah Jamaah Tabligh Naqsabandiyah"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Metode Penentuan Awal Bulan

Qamariyah Jamaah Tabligh

Naqsabandiyah

Rahmadi & Abdul Razak

Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi

Abstrak:

Keragaman pandangan tentang sistem penentuan awal bulan Qamariyah di kalangan umat Islam saat ini, selalu menimbu lkan kebingu ngan di masyarakat, khusu snya perbedaan penentuan hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri dan Idul Adha karena sistem hisab dan rukyat belum begitu memasyarakat. Dan memu ncu lkan stigma di kalangan masyarakat, kalau antara Hisab dan Ru kyat merupakan dua hal yang bertolak belakang. Hal ini terutama dipicu oleh pihak-pihak yang mengeluarkan fatwa tentang waktu pelaksanaan penentuan awal ramaddhan dan hari raya. Maka tulisan ini akan membawa kita untuk mengetahui metode-metode penetapan awal-awal Ramadan dengan bulan Qamariyah yang digu nakan oleh Thariqat Naqsabandiyah Baru Pauh dan efektifitas atau kekurangan metode yang digu nakan dalam penentu an awal-awal Ramadan dengan bulan Qamariyah.

Kata Kunci: hisab, rukyat, Jamaah Tabligh Naqsaban-diyah, bulan Qamariyah.

Pendahuluan

Islam adalah agama Allah yang bersifat universal, untuk segala waktu dan tempat. Ia diturunkan sebagai rahmat dan petunjuk bagi umat manusia dalam kehidupan ini. Dalam perbuatan manusia yang bersifat

(2)

praktis, petunjuk ini berbentuk hukum-hukum agama yang secara ideal merupakan perwujudan dari dasar keimanan kepada Allah SWT. dan dasar-dasar etika dalam masyarakat. Hukum ini meliputi segala aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah dalam kehidupan individu, maupun dalam kehidupan antar individu yang semua terintegrasikan ke dalam proses spritual, sehingga betapapun praktis suatu perbuatan manusia, namun ia tetap mempunyai arti religius dan sebaliknya, betapapun sakral suatu perbuatan itu, namun ia juga mempunyai implikasi sosiologis.

Semua aturan hukum yang mengatur baik hubungan antara manusia dengan Tuhan-Nya maupun dengan sesama manusia, semuanya telah digariskan oleh Allah di dalam Alquran secara global maupun secara rinci. Dengan demikian dapat ditetapkan, bahwa Alquran itu sebagai petunjuk dalam kehidupan manusia dan sebagai sumber utama bagi hukum Islam.1

Sedangkan al-Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Alquran yang berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Alquran yang pada umumnya bersifat global. Allah SWT menetapkan hukum dalam Alquran adalah untuk diamalkan, karena dalam pengamalan itu terletak tujuan yang telah digariskan. Akan tetapi pengamalan hukum Alquran itu tidak akan terlaksana menurut apa adanya sebelum diberikan penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian, penjelasan Nabi bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT di dalam Alquran secara sempurna dapat dijalankan oleh umat manusia.2

Salah satu aturan hukum Islam yang sangat krusial bagi kehidupan manusia, umat Islam khususnya, terkait dengan hubungannya dengan Allah SWT adalah ketentuan-ketentuan ibadah yang mana ketentuan-ketentuan itu juga berimbas pada hubungan antar sesama manusia sebagai makhluk sosial. Di antara ketentuan ibadah yang telah ditetapkan baik dalam Alquran maupun dalam al-Hadits adalah ketentuan ibadah yang berkaitan dengan shalat, puasa dan haji. Ketiga ketentuan ibadah tersebut jelas akan berkaitan erat dengan masalah-masalah penetapan waktu, shalat lima waktu, waktu

(3)

dimulai berpuasa, waktu pelaksanaan shalat Idul Fitri dan waktu pelaksanaan shalat Idul Adha.

Namun dari beberapa ketentuan tersebut, yang sering menjadi polemik atau kontroversi di kalangan umat Islam dalam kurun beberapa dekade belakangan ini, khususnya di Indonesia adalah penentuan pelaksanaan Idul Fitri dan Idul Adha. Sehingga tidak jarang dari sisi sosial kemasyarakatan, kontroversi ini menimbulkan ketegangan atau keresahan di kalangan umat Islam sendiri, seperti antara kaum Nahdliyin dan Muhammadiyah atau antara Pemerintah dengan masyarakat, yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Bahkan yang cukup mencolok adalah beberapa organisasi thariqah, seperti thariqah Naqsabandiyah Baru Pauh Padang, thariqah Naqsabandiyah Khalidiyah Kapas Jombang, Jama’ah An-Nadzir Mawang Gowa Sulsel, di mana organisasi thariqat ini melakukan ritual puasa Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha selalu melakukannya pada waktu yang berbeda dengan waktu yang ditetapkan oleh pemerintah maupun umat Islam pada umum dengan perbedaan antara satu hingga tiga hari, sesudah maupun sebelum ketetapan pemerintah.

Ketika terjadi perbedaan, masyarakat luas pada umumya langsung menuduh bahwa perbedaan itu disebabkan karena adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Memang benar bahwa perbedaan itu dapat ditimbulkan karena perbedaan antara hisab dan rukyat. Namun dalam kasus-kasus yang terjadi, sebagaimana yang telah disebutkan, justru perbedaan itu disebabkan bukan semata-mata oleh adanya perbedaan antara hisab dan rukyat. Perbedaan itu terjadi karena perbedaan yang disebabkan oleh adanya perbedaan di kalangan ahli hisab sendiri, atau perbedaan di kalangan ahli rukyat sendiri, atau perbedaan lain di luar teknis hisab rukyat, misalnya karena adanya informasi dari Saudi Arabiah tentang jatuhnya hari wukuf, yang berbeda dengan keadaan di Indonesia walaupun kalangan ahli rukyat dan ahli hisab sepakat mengenai keadaan di Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada penetapan hari raya Idul Fitri tahun 1431 H (2010 M) yang lalu.

(4)

Indonesia, terdapat kelompok masyarakat yang berpedoman pada hisab dan kelompok masyarakat yang berpedoman pada rukyat. Kedua kelompok ini sangat sulit untuk disatukan karena mempunyai alasan fikih masing-masing, yang berbeda satu sama lain. Kasus perbedaan penetapan awal Ramadan 1407 H (1987 M) dan 1422 H (2001) adalah di antara sedikit kasus perbedaan yang murni karena perbedaan hisab dan rukyat. Pada kasus-kasus tersebut ahli hisab sepakat bahwa di seluruh wilayah Indonesia, hilal telah berada di atas ufuq, tapi tidak ada laporan yang menyatakan melihat hilal.3

Sedangkan perbedaan di kalangan ahli hisab pada dasarnya terjadi karena dua hal, yaitu karena bermacam-macam sistem dan referensi hisab dan karena berbeda-beda kriteria hasil hisab yang dijadikan pedoman. Saat ini terdapat lebih dari dua puluh sistem referensi hisab yang masih dipergunakan masyarakat Indonesia. Semua itu dapat dikelompokkan menjadi tiga, yang dikenal dengan istilah kelompok hisab taqriby, hisab tahqiqy, dan hisab

kontemporer. Ketiga kelompok referensi hisab ini mempunyai

keistimewaan masing-masing. Namun, untuk penghitungan posisi bulan dan matahari secara detail ketiga kelompok tersebut menghasilkan data yang berbeda, terutama antara kelompok hisab

taqriby dengan dua kelompok hisab lainnya.

Di samping itu, perbedaan juga terjadi di antara ahli rukyat sendiri. Tidak seluruh kalangan ahli rukyat di Indonesia, kini keadaannya sama seperti di masa Nabi SAW, di mana laporan rukyat dari seorang muslim diterima tanpa syarat. Kini, sebagian ahli rukyat mensyaratkan bahwa hasil rukyat harus sesuai atau didukung oleh hasil hisab. Jika hail rukyat bertentangan dengan hasil hisab maka hasil rukyat tidak dapat diterima begitu saja. Akibatnya, di kalangan sesama ahli rukyat itu sendiri, berbeda dalam memulai puasa dan berhari raya dapat terjadi.

Kedua pendekatan tersebut memang memiliki dasar penetapannya masing-masing. Cara yang pertama (hisab) diisyaratkan dalam surat Yunus (10) ayat 5: “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah

(5)

(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu).”4

Sedangkan cara yang kedua (rukyat) sesuai dengan beberapa firman Allah SWT seperti pada surat al-Baqarah (2) ayat 189, Yunus (10) ayat 5, an-Nahl (16) ayat 16, dan al-Isra (17) ayat 12. Dalam salah satu ayat tersebut di atas, surat al-Baqarah ayat 189 disebutkan: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji.5

Di samping itu, Rasulullah SAW juga bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Yahya bin Bukair, dari al-Laits, dari Uqail, dari Ibn Syihab, dari Salim yang mengkabarkan bahwa Ibn Umar ra. berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda yang artinya; “Berpuasalah jika kamu melihat bulan dan (begitu pula) berbukalah jika kamu melihatnya, jika keadaan mendung (artinya bulan itu tidak kelihatan), maka sempurnakanlah bilangan Sya’ban (menjadi 30 hari)”.6

Dengan adanya perbedaan dasar atau dalil yang digunakan oleh masing-masing kelompok, memang sudah sewajarnya bila memunculkan perbedaan hasil yang diperoleh dalam penetapan awal bulan Qamariyah. Meskipun sebagian orang perbedaan penetapan bulan Qamariyah ini dianggap persoalan kurang berarti, namun bagi sebagian besar umat Islam perbedaan hari raya merupakan masalah yang sangat penting dan mendasar. Perbedaan yang terjadi, bagi umat Islam bukan saja menyangkut persoalan kapan harus meramaikan, memeriahkan dan mensyukuri hari kemenangan seusai menjalankan ibadah puasa, namun lebih dari itu menjadi masalah yang berkaitan dengan afsah-tidaknya dan afdhal-tidaknya suatu peribadatan yang dijalankan seorang muslim. Oleh karena itu, persoalan perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah dari berbagai segi menjadi problematika, terutama bagi kalangan komunitas muslim awam.

(6)

Peran Hisab Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Qamariyah

Bagi umat Islam, penentuan awal bulan qamariyah merupakan suatu hal yang sangat penting dan sangat diperlukan ketepatannya, sebab pelaksanaan ibadah dalam ajaran Islam banyak dikaitkan dengan sistem penanggalan ini.

Sejak zaman Rasulullah sampai sekarang ini, praktek penentuan awal bulan qamariyah, khususnya awal Ramadan dan Syawal, sudah rutin dilakukan oleh umat Islam, dan sistem perhitungannya pun telah mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut terjadi karena ditimbulkann oleh bermacam-macam penafsiran terhadap ayat al-Quran dan Hadis Nabi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Di dalam masyarakat ada dua sistem yang dipakai untuk menentukan awal bulan qamariyah pada umumnya, yaitu sistem hisab dan sistem rukyat. Sistem hisab adalah penentuan awal bulan qamariyah yang didasarkan pada perhitungan lama waktu peredaran bulan mengelilingi bumi. Sedangkan rukyat adalah usaha untuk melihat bulan sabit (hilal) ke arah matahari terbenam pada waktu terbenam matahari pada akhir bulan qamariyah.7

Sering dinyatakan oleh para ahli bahwa dalam penentuan awal bulan qamariyah tidak ada d antara kedua metode tersebut yang dapat berdiri sendiri. Keduanya dinyatakan seiring dan saling melengkapi dalam operasionalnya.

Pada kenyataannya, terdapat perbedaan di kalangan masyarakat tentang metode penentuan awal bulan qamariyah dengan menggunakan sistem hisab dan rukyat.

Perbedaan dalam Menentukan Peran Hisab dan Rukyat.

Merujuk kepada dalil tentang rukyat, sebagaimana telah dikemukakan, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kedudukan serta peran hisab dan rukyat dalam penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadan dan Syawal. Sebagian fuqaha berpendapat

(7)

bahwa penentuan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadan dan Syawal, adalah berdasarkan rukyat hilal. Pendapat ini berdasarkan metode meng-qiyas-kan hukum bulan selain bulan Ramadan dan Syawal dengan kedua bulan tersebut yang berdasarkan hadis Nabi tentang rukyat, dan adat kebiasaan masyarakat Arab. Fuqaha lainnya berpendapat bahwa penentuan awal bulan selain Ramadan dan Syawal adalah berdasarkan hisab ‘urfi atau hisab haqiqi, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Quran. Pendapat-pendapat tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Kelompok pertama adalah mereka yang memberikan kedudukan serta peran utama bagi rukyat dengan “mata telanjang”, dan mengesampingkan sama sekali peran hisab. Termasuk kelompok ini adalah fuqaha’ Malikiyah, Hanafiyah, Hanabilah, dan pengikut Ibnu Hajar dari kalangan Syafi’iyah.8

Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima meskipun bertentangan dengan perhitungan hisab, sekalipun cuaca mendung. Hisab sama sekali tidak dapat dijadikan pedoman bagi orang awam, kecuali hanya bagi ahli hisab saja. Menurut mereka, puasa berdasarkan hisab adalah tidak sah. Kaum Hanabilah dan Hanafiyah berpendapat bahwa rukyat berlaku untuk seluruh dunia. Sedangkan menurut pengikut Ibnu Hajar, rukyat hanya berlaku untuk wilayah seluas satu mathla’ (80 km atau sejauh delapan derajat busur, atau delapan menit perbedaan waktu).9

b. Kelompok kedua memberikan kedudukan serta peran utama kepada rukyat dan peran hisab adalah sebagai pelengkap. Termasuk kelompok ini adalah pengikut Imam al-Ramli dari golongan Syafi iyah. Menurut kelompok ini, ketetapan ilmu hisab berlaku bagi ahli hisab dan orang-orang yang membenarkannya. Mereka berpendapat bahwa hisab hanya sebagai alat pembantu, sedangkan rukyat adalah sebagai penentu.10

c. Kelompok ketiga memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan peran rukyat adalah sebagai pelengkap. Menurut kelompok ini, rukyat dapat diterima bila tidak bertentangan dengan hisab. Apabila ahli hisab berkesimpulan

(8)

bahwa hilal mungkin dapat dilihat jika tidak terhalang mendung atau partikel lainnya, maka hari berikutnya merupakan awal Ramadan atau Syawal.11

d. Kelompok keempat adalah kelompok yang memberikan kedudukan serta peran utama kepada hisab, dan mengesampingkan sama sekali kedudukan serta peran rukyat dalam penentuan awal Ramadan dan Syawal. Sebagian kelompok ini berpendapat bahwa dasar penentuan awal Ramadan adalah wujudnya hilal, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan kedua bulan tersebut adalah imkanur rukyah dengan kriteria umur bulan 14 jam, lama hilal dapat dilihat 42 menit, tinggi hilal 05 derajat dengan sudut sinar 0,8 derajat, tinggi hilal 0,2 derajat dengan umur 0,8 jam.12

Di dalam praktek, hisab tidak dapat dikesampingkan sama sekali, sebab untuk rukyat tersebut dibutuhkan pedoman, dan penentuan umur bulan sebanyak 29 hari tidak dapat dilakukan kecuali dengan hisab.

Perbedaan pendapat tersebut, nampaknya, hanya sebatas teori saja sebab praktek masyarakat Islam dan pemerintah pada umumnya menentukan awal bulan berdasarkan hisab, sebab penentuan awal bulan berdasarkan rukyat saja adalah tidak praktis, dan perbedaan-perbedaan penentuan awal Ramadan dan Syawal di Indonesia disebabkan oleh perbedaan penggunaan sistem hisab tersebut.

Ahli fikih dari kalangan Syafi’iyah sepakat bahwa rukyat hanya berlaku bagi orang yang mengalaminya saja, tidak mengikat kepada orang lain. Atau, dengan kata lain, jika ada seseorang atau beberapa orang berhasil melakukan rukyat untuk menentukan awal Ramadan atau awal Syawal, maka hanya merekalah yang wajib berpuasa. Menurut golongan ini, rukyat baru mengikat kepada orang lain jika rukyat tersebut telah mendapat pengakuan dan ketetapan dari pemerintah atau qadhi.13

Sejalan dengan perkembangan intelektual masyarakat, pada awalnya dalam penetapan awal Ramadan dan Syawal kebanyakan masyarakat terikat oleh penetapan pemerintah yang berkuasa,

(9)

meskipun dasar penetapan tersebut bertentangan dengan pendapat ulama atau mazhab yang dianutnya. Orang yang telah yakin bahwa bulan Syawal telah mulai, yang berarti haram hukumnya berpuasa pada hari itu, mereka cenderung harus berbuka secara sembunyi-sembunyi agar tidak terang-terangan menentang keputusan pemerintah. Akan tetapi pada masa sekarang, perbedaan dalam praktek penentuan awal Ramadan ataupun Syawal dan pelaksanaan ibadah yang berkaitan dengan kedua bulan ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, meskipun ada penetapan pemerintah tentang hal itu.

Sebab-sebab Terjadi Perbedaan

Terjadi perbedaan dalam penentuan peran hisab dan rukyat untuk menentukan awal bulan qamariyah, khususnya Ramadan dan Syawal, disebabkan Al-Quran tidak memberikan petunjuk penentuan awal bulan Ramadan dan Syawal tersebut secara detail. Ditambah lagi dengan elestisitas teks Hadis tentang masalah tersebut sehingga dapat ditafsirkan lebih dari satu, bahkan lebih dari sepuluh arti. Disamping itu juga karena apakah perbedaan tentang penentuan awal kedua bulan tersebut termasuk bidang ta’abbudi ataukah ta’aqquli. Elastisitas Hadis tentang rukyat dapat dilihat, antara lain, melalui penjelasan al-Qalyubi, bahwa Hadis Rasulullah yang menyebutkan, “...berpuasalah kalian bila melihat bulan dan berbukalah bila melihatnya, jika dalam keadaan mendung, maka sempurnakanlah puasa tiga puluh hari...”

Sebagaimana telah dikemukakan, mengandung beberapa pengertian, antara lain:

a. Bila seseorang berhasil melihat hilal, maka hanya dia sendiri yang wajib berpuasa.

b. Rukyah berarti melihat dengan anggota badan, yaitu mata.

c. Rukyah boleh dilakukan oleh seseorang yang terpercaya (‘adil)

dan dikabarkan kepada orang lain secara mutawatir oleh orang yang terpercaya pula.

(10)

tertutup awan (dengan bantuan alat modern, maka ia dituntut untuk berpuasa.

e. Bila wujud bulan memungkinkan untuk di rukyah, wajib berpuasa. f. Apabila seseorang berhasil melihat hilal, kewajiban puasa tidak

dikhususkan untuk dirinya saja.14

Keterangan tersebut menjelaskan, bahwa teks Hadis yang dikemukakan potensial sekali menimbulkan berbagai pendapat mengenai awal Ramadan dan Syawal. Masalah lain yang menonjol dalam memahami Hadis tersebut adalah apakah penentuan awal Ramadan dan Syawal itu termasuk ta’abbudi ataukah ta’aqquli. Jika masalah rukyah dianggap ta’abbudi, maka penentuan awal Ramadan dan Syawal hanya dapat dilakukan berdasarkan rukyat dengan mata, tanpa menggunakan alat, sesuai dengan pengertian lahir Hadis dan praktek Nabi SAW. Hal ini sama artinya dengan menganggap ayat al-Quran dan Hadits yang menyebutkan dasar hukum rukyat tersebut sebagai sesuatu yang qath’iy dan tidak boleh diinterpretasikan dengan cara lain. Tetapi jika permasalahan tersebut dianggap ta’aqquli, maka kata-kata “rukyah” dalam ayat maupun Hadis yang telah disebutkan, berarti mengandung dugaan kuat (zhann) untuk kemungkinan hilal wujud, dan berarti sudah dapat dirukyat. Oleh karena itu, penentuan awal Ramadan dapat dilakukan berdasarkan informasi seseorang yang

‘adil bahwa ia telah melihat hilal dengan matanya sendiri, atau

berdasarkan perhitungan ahli astronomi, bahwa hilal sudah wujud dan mungkin dapat dilihat, dan pada waktu itu umat Islam sudah punya kewajiban melaksanakan ibadah puasa.

Dari tinjauan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa metode penentuan awal bulan qamariyah dengan menggunakan sistem hisab dan rukyat, pada kenyataannya, terdapat perbedaan di kalangan masyarakat. Lebih khusus lagi, perbedaan ini mengakibatkan berbeda pula dalam menetapkan tanggal satu Ramadan dan Syawal, yang berkaitan erat dengan waktu pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Islam.

Pendapat yang radikal meletakkan peranan mutlak bagi sistem rukyat untuk menentukan awal bulan tersebut tanpa memberi

(11)

peluang bagi sistem hisab, atau memberikan peran hanya kepada sistem hisab saja dengan mengabaikan rukyat. Pendapat yang lebih lunak meletakkan peran dalam porsi lebih besar kepada rukyat dan mempergunakan hisab sebagai pelengkap, atau sebaliknya.

Dalam praktek, masyarakat Islam dan pemerintah pada umumnya, tidak hanya di Indonesia, menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal adalah dengan menggunakan sistem hisab tanpa mengabaikan rukyat untuk penyempurnaan. Sedangkan untuk bulan-bulan selain Ramadan dan Syawal, peran rukyat hampir tidak ada, ia hanya merupakan teori sebagian ulama saja.

Di Indonesia, Nahdhatul Ulama menetapkan bahwa penentuan awal bulan qamariyah selain Ramadan dan Syawal adalah berdasarkan rukyat, berpedoman kepada kitab Bughyah al-Musytarsyidin. Akan tetapi, ketetapan itu hanya diatas kertas saja, karena sebagian besar ulama dan umat Islam berpedoman kepada kalender Hijriyah yang ditetapkan dan disusun berdasarkan ilmu hisab, baik hisab haqiqi maupun hisab ‘urfi.

Thariqat Naqsabandiyah Baru Pauh Kota Padang

Sejarah Lahirnya Thariqat Naqsabandiah Baru Pauh V Kota Padang berawal dari seorang tokoh dalam Thariqat ini, yaitu Syekh Maulana H. Muhammad Thaib bin Ismail (Qaddasallahu Sirrahu), yang kedudukan dan jenjang silsilah dalam thariqat ini, dari Nabi Muhammad SAW, menempati urtan 34 (tiga puluh empat), diperolehnya ketika menempuh sekolah, pendidikan ditanah Suci Makkah, tepatnya setelah memasuki dan mengikuti pengajaran Suluk di Jabal Kubis Makkah, persisnya di Mushalla-mushalla Lereng-lereng bukit (tempat di mana suluk itu dilaksanakan).15

Setelah Syekh Maulana H. Muhammad Thaib bin Ismail, Thariqat ini dilanjutkan oleh Syekh H. AD. Muhir (Qaddasallahu Sirrahu), yang menempati urutan 35 (tiga puluh lima) dalam jenjang Thariqat ini, dan sekarang ini dilanjutkan oleh Mursyid Syafari Malik Mudo (Qaddasallahu Sirrahu), yang saat ini menempati urutan 36

(12)

(tiga puluh enam) dalam jenjang Thariqat ini.16

Berkenaan dengan menggunakan metode yang digunakan dalam penentuan awal-awal Bulan Qomariyah telah berlangsung sejak 1971 M (1391 H), bahkan jauh sebelum itu yakni sejak dimana Thariqat ini dikembangkan di Pauh Baru Kota Padang.17

Jaringan dan Perkembangan Thariqat Naqsabandiyah Baru Pauh. Jika dilihat dari Jama’ah yang mengikuti Shalat Idul Adha dan Shalat Idul Fitri 1431 H yang tersebar di Kecamatan Pauh, Kota Padang, antara lain di Musholla Surau Baru, Musholla Baitul Makmur Kelurahan Binuang Kampung Dalam. (VV/Rep/65). Menurut Tokoh aliran Thariqat Naqsabandiyah, Zahar, Jama’ah yang mengikuti Shalat Idul Fitri yang hadir, tidak hanya berasal dari Kota Padang, tetapi menurutnya juga berasal dari seluruh kabupaten maupun Kota Sumatera Barat, yang menjadi titik penyebaran Thariqat Naqsabandiyah ini. (VV/Rep/65). Bahkan menurut Zahar, Jama’ah Thariqat Naqsabandiyah telah tersebar di sebagian wilayah Sumatera, hal ini terbukti ikut melaksanakan Shalat Idul Adha 1431 H pada tanggal 15 November 2010 M. yang meskipun menurut pemerintah dilaksanakan tanggal 17 November 2010 M. yaitu di Jambi dan Bengkulu, walaupun tidak menyebutkan letak posisi persisnya di mana. Red. Djibril Muhammad, Sumber: antara Shr 8). Dengan demikian dapat diketahui bahwa pusat Thariqat Naqsabandiyah di seputar Surau Baru Pauh Limo Padang, atau Pasar Baru, Kecamatan Pauh, Kota Padang.

Metode dan Mekanisme Penetapan Awal Bulan Qamariyah Thariqat Naqsabandiyah

Metode penetapan awal-awal bulan Qamariyah (1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah) yang digunakan oleh Thariqat Naqsabandiyah Baru Pauh kota Padang adalah dengan melalui mekanisme, memadukan metode hisab dan metode rukyat (perspektif Thariqat Naqsabadiyah Pauh Kota Padang).18 Metode hisab yang digunakan adalah metode

(13)

dalam thariqat ini, diperoleh dan dikembangkan, dipedomani serta diyakini sebagai cara penetapan aural dalam qomariyah untuk kepentingan ibadah, khusunya 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah, berawal dari seorang tokoh dalam thariqat ini, yaitu Syekh Maulana H. Muhammad Thahib (Tayeb) bin Ismail (Qadasallahu Sirrahu), yang kedudukan jenjang silsilah dalam thariqat ini, dari Nabi Muhammad SAW menempati urutan 34 (tiga puluh empat). Metode Munjid ini diperolehnya ketika menempuh sekolah, pendidikan di tanah suci Mekkah, tepatnya setelah memasuki dan mengikuti pengajian suluk di Jabal Qubis Mekkah persisnya di mushalla-mushalla lereng-lereng bukit (tempat dimana suluk itu dilaksanakan).19

Seiring dengan perjalanan waktu metode ini tetap digunakan dalam thariqat ini, setelah syekh Maulana H. Muhammad Tayeb bin Ismail yang menempati silsilah 34 (tiga puluh empat) dalam thariqat ini dilanjutkan oleh H. AD. Munir (Qadasallahu Sirrahu), yang menempati jenjang silsilah 35 (tiga puluh lima) dan sekarang dilanjutkan dan dikembangkan oleh Mursyid Syafri Malik Mudo (Qadasallahu Sirrahu) yang sekaligus menempati jenjang silsilah 36 (tiga puluh enam) dalam Thariqat Naqsabandiyah ini.20

Cara perhitungan metode Hisab Munjid adalah menghimpun huruf bulan (yang telah memiliki kode angka) yang dikehendaki dengan bilangan angka huruf tahun, dan huruf bulan, selanjutnya dimulai bilangan pada hari Kamis, hingga sampai bilangan jumlah huruf bulan, sehingga menemukan nama hari dengan penjelasan bilangan angka itu, dan susunan yang diperoleh melalui cara kerja perhitungan seperti ini akan berlalu sampai hari kiamat (perspektif Thariqat Naqsabadiyah).21

Sementara itu, perubahan penetapan kalender atau Al-Manak tahunan metode Hisab Munjid (menurut Thariqat Naqsabandi) ini yang disusun oleh Mursyid Syafri Mulin Mudo, dilakukan dalam lima tahun sekali. Maka dengan sendirinya dapat membantu para pengikut atau Jamaah Thariqat Naqsabandiyah dalam menetapkan 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah, dengan menerapkan hitungannya maju lima hari dari awal-awal bulan yang dimaksud dari tahun sebelumnya,

(14)

dan sekaligus menetapkan bilangan bulan Ramadan selalu genap 30 hari. Hal ini akan mempermudah penganut Thariqat ini dalam menentukan 1 Syawal (Idul Fitri).22

Sebagai contoh 1 Syawal 1431 H bagi Thariqat ini jatuh pada hari Rabu, 8 September 2010, pemerintah memutuskan 1 Syawal 1431 H jatuh pada hari Jumat 10 September 2010, 1 Zulhijjah jatuh pada hari Sabtu, tanggal 6 November 2010, sehingga 10 Zulhijjah 1410 jatuh pada hari Senin 15 November 2010. Pada hari Senin, sedangkan pemerintah menetapkan 1 Zulhijjah 1431 H, pada hari Senin, 8 November 2010, sehingga 10 Zulhijjah 1431 H (Lebaran Idul Adha) jatuh pada hari Rabu, 17 November 2010. Bagi pengikut Tharekat ini, penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah selalu lebih awal dari pemerintah Republik Indonesia, satu hari sampai tiga hari. keadaan seperti ini akan sangat memungkinkan bagi Tharekat ini setiap tahunnya lebih awal dari pada keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah. Karena bagi Tharekat ini yang mempedomani Hisab Munjid, sesuai dengan hasil perhitungannya yang ditanggalkan dalam Al-Manak Tahunan, dan baru akan dilaksanakan perubahan penetapan kalender dalam lima tahun sekali. Sejauh yang peneliti dapatkan belum pernah bergeser dari Al-Manak tahunan yang disebut metode Hisab Munjid ini dalam menetapkan 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah.

Menurut Mursyid Syafri Malin Mudo, penyusun Al-Manak tahunan metode Hisab Munjid (perspektif Thariqat Naqsabandi), yang dalam jenjang silsilah Tharekat ini menempati urutan 36 (tiga puluh enam) setelah yang pertama Nabi Muhammad SAW, ditegaskan oleh Mursyid Syafri Malin Mudo, untuk awal-awal bulan Qomariyah terutama 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah untuk tahun depan sudah dapat mengikuti langsung bagi jamaah tharekat ini apa yang terdapat dalam Al-Manak tahunan. Secara berurutan, yaitu 1 Ramadan 1432 H, hari Jumat, 27 Juli 2011 M. 1 Syawal 1432 H, hari Minggu, 28 Agustus 2011 M. 10 Zulhijjah 1432 H, Jumat, 4 November 2011 M. Sedangkan pada tahun berikutnya, 1 Ramadan 1433 H, hari Rabu, 18 Juli 2012, 1 Syawal 1433 H, Jumat, 17 Agustus 2012 M, 10

(15)

Zulhijjah 1433 H, Rabu, 24 Oktober 2012, dan begitulah seterusnya mengikuti Al-Manak Tahunan metode Hisab Munjid Thariqat Naqsyabandiyah Pauh Kota Padang.23

Metode Hisab Munjid, sebagaimana yang dikemukakan tersebut, merupakan pedoman hisab utama dalam thariqat ini. Penggunaan metode hisab ini ditopang dengan dalil Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW yang selanjutnya diformasikan dalam bentuk hisab hitungan yang mengacu kepada kesempurnaan ibadah dan semangat ubudiyah serta sepiritual yang tinggi untuk mencapai keridhaan Allah SWT. Dalil metode hisab yang digunakan adalah Surah Al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”24

Menurut Thariqah ini surah Al-Baqarah ayat 183 mengisyaratkan kepada orang beriman untuk menghisab atau menghitung awal bulan untuk kepentingan ibadah, khususnya awal Ramadan, 1 Syawal dan Zulhijjah, yang didukung oleh Hadits-hadits Rasulullah SAW: “Barang siapa yang melakukan puasa pada bulan Ramadan dengan iman dan penuh perhitungan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.

Menurut Tharikat ini Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Tharikat ini juga berpegang dengan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang artinya: “Apakah engkau puasakan akhir bulan ini (yakni Sya’ban)? Laki-laki itu menjawab tidak. Lalu Rasulullah SAW bersabda kepadanya, jika engkau telah selesai menunaikan puasa Ramadan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya.”25

Kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, menunjukkan bahwa antara Sya’ban dengan Ramadan tidak terpisah atau bercerai, sebagai konsekwensinya bulan Ramadan dalam perspektif Thariqat ini selalu tiga puluh hari, maka disamping berdasarkan hasil perhitungan, dan menjaga kesempurnaan bilangan Ramadan 30 hari.26

Juga didorong dan keinginan spiritual ubudiyah yang tinggi, sehingga yang dalam pandangan diluar Thariqat ini, dimulai selalu lebih awal penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah dari yang ditetapkan

(16)

oleh pemerintah Republik Indonesia.

Isyarat Alquran dan hadits-hadits yang dipegang oleh Tharekat ini yang aplikasi perhitungan awal-awal bulan Qomariyah dituangkan dalam Al-Manak tahunan yang lalu 1430 H, hari Kamis, diambil huruf tahun dan huruf bulan, kemudian huruf tahun dan huruf bulan itu dijumlah, ditemukan awal puasa Ramadan 1431 H, hari Senin.27

Sejalan dengan Hisab Munjid yang menjadi pedoman dalam perhitungan awal-awal bulan Qomariyah, thariqat ini selalu mendekati perhitungan dengan fadilah-fadilah ibadah dan di dorong semangat sepiritual ubudiyah yang tinggi. Hal ini terlihat bagaimana cara menghitung awal Ramadan, melalui menghitung dari bulan jumlah 360 hari. Hitungan hari dalam satu tahun yang berjumlah 360 hari dalam perspektif thariqat ini, bilamana didekatkan perhitungan hari yang dipegang oleh ummat Islam pada umumnya. Jumlah hari tahun Kabisat (panjang) 355 hari, dan pada tahun pendek 354 hari, maka jumlah hari yang dipegangi dalam thariqat ini lebih banyak antara 5 sampai 6 hari, karena berjumlah 360 hari dalam satu tahun. Namun bila diteliti lebih mendalam hitungan 360 hari yang dimaksudkan dalam thariqat ini tidak berbeda dengan jumlah hari dalam bulan Qomariyah pada umumnya (354/355) hari, atau tahun pendek/ panjang.

Kenyataan itu, berawal dari pernyataan kalimat spiritualnya yaitu “Kita wajib puasa 360 hari sama dengan satu tahun”. Kalimat ini kemudian diturunkan melalui penjelasan, puasakan Ramadan 30 hari, ditambah puasa di bulan Syawal 6 hari.

Pengikut Thariqat ini beralasan amal orang terdahulu atau ummat sebelum kita, tidak sama dengan kita atau ummat sekarang ini. Ummat terdahulu satu hari dibalas satu hari, sementara kita (ummat sekarang) ini satu hari beribadah dibalas 10 hari, sebagaimana shalat, amalan shalat 50 waktu dijadikan 5 waktu, padahal sama dengan 50 waktu.

Demikian juga halnya ketika seseorang melaksanakan puasa Ramadan 30 hari, dan ditambah 6 hari dibulan Syawal yang berjumlah 36 hari, maka balasan pahalanya sama dengan 360 hari.

(17)

Perhitungannya adalah 30 x 10 = 300 hari yang diperoleh di bulan Ramadan, ditambah 6 x 10 = 60 hari (pahala yang didapat pada bulan Syawal), meskipun dalam thariqat ini tidak selalu menyebutkan pahala, tetapi kalau dijumlah 300 hari ditambah 60 hari sama dengan 360 hari, itulah sebenarnya yang dimaksudkan 360 hari dalam satu tahun dalam thariqat ini dalam kontek puasa Ramadan dan puasa Syawal yang dilaksanakan secara penuh dan sempurna.28

Dasar perhitungan dan pemikiran sebagai mana yang dikemukakan tersebut, hadits Rasulullah SAW yang artinya “Barang siapa puasa Ramadan 30 hari ditambah Syawal 6 hari sama halnya dengan puasa sepanjang masa. Pernyataan 360 tidak terbatas pada puasa Ramadan dan Syawal semata, melainkan juga dalam Shalat Tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat Shalat Witir yang dilaksanakan dengan jumlah 12 salam x 30 malam selama sebulan penuh Ramadan sama dengan 360 salam. Menurut thariqat ini hitungan ini merupakan makna takbir yang diucapkan, dikumandangkan 12 x baik sebelum shalat dalam shalat dan dalam khutbah. Rakaat pertama 7, rakaat kedua 5 takbir sama dengan 12 takbir, dilanjutkan khutbah pertama 7 takbir dan khutbah kedua 5 takbir, sehingga masing-masing berjumlah 12 takbir. Hitungan jumlah takbir ini untuk merasakan puasa satu tahun, yang satu tahun terdiri dari 12 bulan.

Cara perhitungan Ramadan 30 hari yang didasarkan surah Al-Baqarah ayat 183 dan beberapa hadits yang mendukung dan menopang penentuan waktu awal pelaksanaan Ramadan 1 Syawal dan 10 Zulhijjah. Menurut Thariqat ini juga dikuatkan dan dijelaskan dalam Surat Al-Taubah ayat 36 dan Surah Al-Fajri ayat 1 dan 5.29

Firman Allah Surah Al-Taubah ayat 36, “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram.”30

Satu tahun ada 1 bulan yang dimaksudkan adalah Muharram, Shafar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadan, Syawal, Dzulqaidah, dan Zulhijjah. Umur bulan-bulan di atas ada yang 30 hari ada yang 29 hari, bulan ganjil selalu tiga puluh (30) hari, bulan genap selalu 29 hari, kecuali pada

(18)

bulan ke 12 (Zulhijjah) pada tahun Kabisat (panjang) berumur 30 hari. Surah Al-Taubah ayat 36 dikuatkan oleh suarat Al-Fajri ayat 1-5: “Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil, dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah bagi orang-orang yang berakal.”31

Menurut thariqat ini, surah Taubah ayat 36 dan Surah Al-Fajri ayat 1-5, sebagai landasan bilangan bulan Qomariyah yang teridiri dari 12 bulan dalam satu tahun, baik dalam genap maupun ganjil yang terdapat dalam kalender Islam, yang dalam sejarahnya, sebagai sistem penanggalan resminya, ditetapkan sejak masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab (tahun 17 H), dengan ketentuan bahwa sistem penanggalan tersebut diberlakukan sejak hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Madinah. Oleh karenanya sistem ini lebih dikenal dengan istilah penanggalan Hijriyah. Dan penanggalan Hijriyah ini diberlakukan mundur sebanyak 17 tahun.

Sementara itu, untuk bilangan bulan Hijriyah untuk bulan Ramadan dua ayat tersebut dikuatkan dengan sabda Rasulullah SAW.: “Aku tidak melihat Rasulullah SAW berpuasa sebulan penuh, kecuali Ramadan. Dan aku tidak melihat beliau lebih banyak berpuasa dibandingkan dengan bulan Sya’ban. (HR. Bukhari Muslim).32

Dalil-dalil Alquran dan Hadits-Hadits yang dipaparkan tersebut, demikian pula pemikiran yang di dorong oleh sepiritual ubudiyah yang tinggi yang dalam aplikasi penetapannya diformulasikan dalam Al-Manak tahunan yang diadakan perubahan atau koreksi dalam lima tahun sekali dengan menggunakan metode Hisab Munjid, yang menjadi pegangan metode Hisab dalam Thariqat ini.

Penetapan awal-awal bulan Qomariyah yang digunakan oleh Thariqat ini dengan menggunakan metode Hisab Munjid sebagaimana yang dikemukakan tesebut dengan dasar-dasar atau dalil-dalilnya. Thariqat ini juga menggunakan metode Rukyah. Metode Rukyah yang digunakan dalam Thariqat ini berdasarkan isyarat yang terdapat dalam surat yasin ayat 39 dan surah Al-Fajri ayat 1-5.

Surat Yasin ayat 39 bila dihubungkan dengan surat Al-Fajri ayat 1-5, yang berisikan demi malam yang telah berlalu. Berawal

(19)

mengetahui hitungan malam yang telah berlalu, kemudian memastikan malam yang genap, malam yang genap itu, adalah malam yang kedelapan di waktu Magrib, kalau ternyata waktu itu bula terlihat sepauh (sekeping) di posisi ubun-ubun orang yang merukyat, maka menandailah bulan sudah berumur 8 (delapan) hari. langkah selanjutnya adalah memastikan malam yang ganjil yaitu malam yang 15 (kelima belas) kalau ternyata hasil rukyatnya bulan di posisi tepat berada di ubun-ubun orang yang merukyat, maka malam itu disebut bulan purnama, pelaksanaan rukyat dilakukan pada bulan Rajab, karena bulan Rajab adalah bulan yang genap, yang berumur 30 hari, untuk menentukan nisfu sya’ban, yang dalam thariqat ini umur bulan Sya’ban selalu beumur 29 hari, maka dengan sendirinya, akan diperoleh dari hasil rukyat yang dilakukan di bulan Rajab itu, terhadap jatuhnya awal Ramadan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah.

Demikianlah metode dan mekanisme penetapan awal-awal bulan Qomariyah yang digunakan oleh Thariqat Naqsabandiyah Baru Pauh Kota Padang, yang memadukan metode Hisab Munjid dengan metode rukyat yang pelaksanaannya untuk kepentingan ibadah dilakukan pada bulan Rajab atau bulan-bulan yang genap (penuh 30 hari).

Penutup

Thariqah Naqsyabandiyah Baru Pauh Kota Padang, dalam penetapan awal-awal bulan Qomariyah (1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijjah), tidak menggunakan ijtima’ dan konjungsi (sejajarnya matahari dan bulan) yang menandakan barakhirnya bulan yang lama, dan akan memasuki bulan yang baru, dan kapan terjadinya. Demikian juga Hisab yang digunakan tidak menjangkau berapa tinggi hilal di atas ufuk, dan dimana posisinya dengan matahari ketika waktu Magrib merukyatulhilal. Ijtima’, tinggi hilal dan posisi hilal demikian koreksi-koreksi tidak ditemukan dalam Hisab yang digunakan dalam Thariqat ini, karena waktu rukyatnya berbeda-beda dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia, sehingga hasil hisab dan rukyatnya pun sebagai penetapan awal-awal bulan Qomariyah selalu

(20)

lebih awal dari apa yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

Dan penetapan awal bulan Qomariyah pada bulan Rajab mereka memadukan metode Hisab Munjid dan Metode Rukyah. Untuk hisabnya mendekati sistem Hisab Haqiqi Taqribi atau lebih tepatnya mendekati Hisab Urfi, yakni sistem perhitungan penanggalan yang didasarkan kepada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi, dan ditetapkan secara konvensional, lama hari dalam tiap bulannya, mempunyai aturan yang tetap dan beraturan, sementara metode Rukyahnya belum di tentukan dalam sistem dan aliran lain yang menggunakannya.

Catatan:

1 . Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Kairo: Dar Fikr al-‘Arabi, 1957), hlm. 93-96.

2 . Zahrah, Ushul al-Fiqh, hlm. 112-113.

3 . Wahyu Widiana, “Penentuan Awal Bu lan Qamariyah dan Permasalahannya di Indonesia”, dalam Choirul Fuad Yusuf dan Bashori A. Hakim (ed.), Hisab Rukyat dan Perbedaannya, (Jakarta: Puslitbang Depag RI., 2004), hlm. 5-6.

4 . QS. Yunus (10): 5. 5 . QS. Al-Baqarah (2): 189.

6 . Imam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 227.

7 . Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI, Almanak Hisab dan Rukyat, (Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981), hlm. 42.

8. Sayyid Bakri, I’anah al-Thalibin, juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hlm. 219.

9 . Bakri, I’anah al-Thalibin, hlm. 219.

1 0 . Syihabuddin al-Qalyubi dan Amirah, Qalyubi wa Amirah, juz II, (Mesir: Dar al-Haya’, 1953), hlm. 49.

1 1 . Bakri, I’anah al-Thalibin, hlm. 216. 12 . Bakri, I’anah al-Thalibin, hlm. 220. 13 . Bakri, I’anah al-Thalibin, hlm. 220.

14 . al-Qalyubi dan Amirah, Qalyubi wa Amirah, hlm. 49. 1 5 . Wawancara, 24 November 2010.

16 . Wawancara, 24 November 2010.

1 7 . Mursyid Syafri Malin Mudo, “Mempersiapkan Diri Menyambut Ramadan”, (2010), hlm. 5.

(21)

18 . Mudo, “Mempersiapkan Diri”. 19 . Wawancara, 24 November 2010. 20 . Mudo, “Mempersiapkan Diri”.

21 . Mursyid Syafri Malin Mudo, “Al Manak Tahunan Metode Hisab Munjid: Menurut Thariqat Naqsabadiyah”.

22. Mursyid Syafri Malin Mudo, “Naqsabandiyah Idul Fitri” (2010). 23 . Wawancara, 24 November 2010).

24 . Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Toha Putra, 1989), hlm. 44.

25 . Mudo, “Mempersiapkan Diri”. 26 . Mudo, “Mempersiapkan Diri”. 2 7 . Wawancara, 24 November 2010. 28. Mudo, “Mempersiapkan Diri”. 29 . Mudo, “Mempersiapkan Diri”.

3 0 . Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 283. 3 1 . Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm.

1 0 5 7 .

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Imam, 1981. Shahih Bukhari, juz II, Beirut: Dar al-Fikr.

Al-Falaky, Sriyatin Shaddiq, 2005. Modul Pehitungan Hisab Urfi

Awal Bulan, Jakarta.

Ali, Atabik dan Muhdlar, Ahmad Zuhdi, 1996. Kamus al-‘Ashri, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak.

Al-Qalyubi, dan Amirah, Syihabuddin, 1953. Qalyubi wa Amirah, juz II, Mesir: Dar al-Haya’.

Asadurrahman, 2000. Sistem Hisab dan imkanurrukyat yang

berkembang di Indonesia, dalam Jurnal Hisab Rukyat, Depag.

RI Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan BPAI, Jakarta.

Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI, 1981. Almanak

Hisab dan Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan

Agama Islam.

Bakri, Sayyid, tt. I anah al-Thalibin, juz II, Beirut: Dar al-Fikr. Departemen Agama RI, 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV.

Toha Putra, Jakarta.

Laporan Ketua Panitia Orientasi Hisab Rukyat, Jakarta, 2006. Mursyid Syafri Malin Mudo, “Al Manak Tahunan Metode Hisab

Munjid (menurut Thariqat Naqsabadiyah)”.

Mursyid Syafri Malin Mudo, “Mempersiapkan diri menyambut Ramadan”, (Padang, 2010).

Mursyid Syafri Malin Mudo, “Naqsabandiyah Idul Fitri” (2010). Widiana, Wahyu, 2004. Penentuan Awal Bulan Qamariyah dan

Permasalahannya di Indonesia, dalam Chorul Fuad Yusuf dan

Bashori A. Hakim, (ed.) Hisab Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Puslitbang Depag RI.

Yusuf dan Hakim, Chorul Fuad dan Bashori A., 2004. (ed)., Hisab

Rukyat dan Perbedaannya, Jakarta: Puslitbang Depag RI.

Yusuf dan Hakim, Chorul Fuad dan Bashori A., 2004. Hisab Rukyat

dan Perbedaannya, (ed.) tahun perbedaan-perbedaan penetapan awal-awal Qamariyah, Jakarta: Puslitbang Depag

RI.

Zahrah, Muhammad Abu, 1957. Ushul Fiqh, Kairo: Dar Fikr al-‘Arabi.

Referensi

Dokumen terkait

1. Struktur rangka kolom menerus dengan sambungan kaku. Struktur rangka kolom kaku dengan pin joint sebagai alat sambungan pada balok. Struktur rangka dengan pin joint

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan kejadian depresi pada siswa penyandang tuna rungu berdasarkan jenis kelamin dan status pubertas di SLB-B YRTRW Surakarta.. Metode

Buktinya, narkoba terus saja marak”, ungkap Ibu Emmy (Hasibuan,2015). Tahun 2015 permasalahan narkoba di Kampung Kubur semakin marak diberitakan. Penyuluhanpun kerap dilakukan

Pasien dengan ARDS, yang sering terlihat pada COVID-19 yang berat kadang- kadang berkembang menjadi kerusakan paru permanen atau fibrosis/scar. Pada CT scans, NORMAL = paru

Pengujian awal yang dilakukan pada sistem elektronik dan kendali ini meliputi uji fungsi pin input kendali pada driver motor, uji pembacaan sinyal umpan balik kecepatan dari

Penelitian utama dilakukan dengan pemurnian minyak ikan dengan adsorben yaitu sebanyak 50 gram minyak ikan hasil samping penepungan lemuru dimasukkan ke dalam erlenmeyer

Dalam kegiatan belajar mengajar di Universitas Terbuka, pengelola kelompok belajar mahasiswa merupakan salah satu unsur yang menunjang lancarnya pelaksanaan

Floyd-Warshall merupakan salah satu algoritma yang dapat digunakan sebagai metode pencarian path terpendek yang diterapkan pada aplikasi permainan Help Your Mom.. Algoritma