• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Konversi Lahan

Pengertian konversi lahan menurut beberapa ahli dan peneliti sebelumnya diantaranya Sanggono (1993) berpendapat bahwa Konversi lahan adalah perubahan penggunaan lahan tertentu menjadi penggunaan lahan lainnya. Karena luas lahan yang tidak berubah, maka penambahan guna lahan tertentu akan berakibat pada berkurangnya guna lahan yang lainnya. Pendapat lain menyebutkan alih guna, alih fungsi, atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumber daya alam dari satu penggunaan ke penggunaan lain (Kustiawan,1997).

Sanggono (1993) menambahkan konversi penggunaan lahan dapat mengacu pada 2 (dua) hal, antara lain penggunaan lahan sebelumnya dan rencana tata ruang. Penggunaan lahan yang mengacu pada penggunaan lahan sebelumnya adalah suatu penggunaan baru atas lahan yang berbeda dengan penggunaan lahan sebelumnya, sedangkan konversi yang mengacu pada tata ruang adalah penggunaan baru atas tanah (lahan) yang tidak sesuai dengan yang ditentukan.

(2)

2.1.1 Konversi lahan pertanian

Pengertian konversi atau alih fungsi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Ini tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan. Di negara-negara yang sedang berkembang konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangsang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan. Proses konversi lahan tersebut dalam kaitannya dengan transformasi struktur ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Proses konversi lahan pertanian Sumber: Kustiawan, 1997

Secara umum pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula

Transformasi ekonomi dari pertanian ke industri Migrasi penduduk ke pusat ekonomi atau bisnis (pusat Kota) Jumlah penduduk di Kota meningkat Terjadinya Konversi lahan

(3)

selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997).

Menurut Irawan (2005) konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu: (1) keterbatasan sumberdaya lahan; (2) pertumbuhan penduduk; dan (3) pertumbuhan ekonomi. Sama halnya yang diungkapkan Nasoetion (2003) bahwa secara empiris lahan pertanian merupakan lahan yang paling rentan terhadap alih fungsi, terutama sawah. Hal tersebut disebabkan oleh; pertama pembangunan kegiatan non pertanian lebih mudah dilakukan pada lahan sawah yang relatif datar dibanding lahan kering; kedua infrastruktur ekonomi lebih memadai; dan ketiga lahan persawahan lebih dekat ke daerah konsumen atau daerah kota yang lebih padat penduduknya.

Konversi lahan sawah adalah suatu proses yang disengaja oleh manusia, bukan suatu proses alami. Kita ketahui bahwa percetakan sawah dilakukan dengan biaya tinggi, namun ironisnya konversi lahan tersebut sulit dihindari dan terjadi setelah system produksi pada lahan sawah tersebut berjalan dengan baik. Konversi lahan merupakan konsekuensi logis dari peningkatan aktivitas dan jumlah penduduk serta proses pembangunan lainnya. Konversi lahan pada dasarnya merupakan hal yang

(4)

wajar terjadi, namun pada kenyataannya konversi lahan menjadi masalah karena terjadi di atas lahan pertanian yang masih produktif (Anwar, 1993).

Irawan (2005) mengemukakan bahwa konversi tanah lebih besar terjadi pada tanah sawah dibandingkan dengan tanah kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: (1) pembangunan kegiatan non pertanian seperti kompleks perumahan, pertokoan, perkantoran, dan kawasan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan tanah kering; (2) akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering; (3) daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yang sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan dan pegunungan.

Ditinjau menurut prosesnya, konversi lahan sawah dapat pula terjadi: (1) secara gradual; (2) seketika (instan). Alih fungsi secara gradual lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Alih fungsi secara instant pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri (Sumaryanto dkk, 1995).

Pola konversi lahan sawah dapat dipilah menjadi dua, yaitu sistematis dan sporadis. Konversi lahan sawah untuk pembangunan kawasan industri, perkotaan,

(5)

kawasan pemukiman (real estate), jalan raya, kompleks perkantoran, dan sebagainya mengakibatkan terbentuknya pola konversi yang sistematis. Lahan sawah yang dikonversi pada umumnya mencakup suatu hamparan yang cukup luas dan terkonsolidasi. Konversi lahan sawah yang dilakukan sendiri oleh pemilik lahan sawah umumnya bersifat sporadis. Luas lahan sawah yang terkonversi kecil-kecil dan terpencar. Proses konversi lahan sawah bersifat progresif, artinya, lahan sawah di sekitar lokasi yang telah terkonversi, dalam waktu yang relatif pendek cenderung berkonversi pula dengan luas yang cenderung meningkat. Secara empiris progresifitas konversi lahan dengan pola sistematis cenderung lebih tinggi daripada pola yang sporadis (Direktorat Pangan dan Pertanian 2006).

2.1.2 Faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian

Menurut Irawan (2005) Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan pertanian dengan non pertanian. Sedangkan persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu: (1) keterbatasan sumberdaya lahan; (2) pertumbuhan penduduk; dan (3) pertumbuhan ekonomi.

Kuantitas atau ketersediaan lahan disetiap daerah relatif tetap atau terbatas walaupun secara kualitas sumberdaya lahan dapat ditingkatkan. Pada kondisi keterbatasan tersebut maka peningkatan kebutuhan lahan untuk memproduksi komoditas tertentu akan mengurangi ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk memproduksi komoditas lainnya. Oleh karena pembangunan ekonomi cenderung

(6)

mendorong permintaan lahan di luar sektor pertanian dengan laju lebih besar dibanding permintaan lahan disektor pertanian, maka pertumbuhan ekonomi cenderung mengurangi kuantitas lahan yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian. Pengurangan kuantitas lahan yang dialokasikan untuk kegiatan pertanian tersebut berlangsung melalui konversi lahan pertanian, yaitu perubahan pemanfaatan lahan yang semula digunakan untuk kegiatan pertanian ke pemanfaatan lahan di luar pertanian seperti kompleks perumahan, kawasan perdagangan, kawasan industri, dan seterusnya (Irawan 2004).

Konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah menurut Pakpahan, et all. (1993) mencakup: (1) konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah yang meliputi konversi ke penggunaan tambak, perkebunan, lahan kering tanaman pangan; (2) konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian, yang meliputi konversi ke penggunaan prasarana, pemukiman, industri dan pariwisata.

Selanjutnya Pakpahan (1993) membagi faktor yang mempengaruhi konversi dalam kaitannya dengan petani yakni faktor tidak langsung dan faktor langsung. Faktor tidak langsung antara lain perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang. Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. Faktor langsung dipengaruhi oleh faktor tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan

(7)

pembangunan sarana transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan meningkatkan tekanan penduduk atas lahan di pinggiran kota. Alih fungsi lahan menjadi isu penting karena sebagian besar terjadi pada lahan pertanian produktif dan adanya indikasi pemusatan penguasaan lahan di satu pihak dan proses fragmentasi lahan dipihak lain.

Konversi lahan tersebut umumnya dirangsang oleh transformasi struktur ekonomi yang semula bertumpu pada sektor pertanian ke sektor ekonomi yang lebih bersifat industrial khususnya di negara-negara yang sedang berkembang. Proses transformasi ekonomi tersebut selanjutnya merangsang terjadinya migrasi penduduk ke daerah-daerah pusat kegiatan bisnis sehingga lahan pertanian yang lokasinya mendekati pusat kegiatan bisnis dikonversi untuk pembangunan kompleks perumahan. Secara umum pergeseran atau transformasi struktur ekonomi merupakan ciri dari suatu daerah atau negara yang sedang berkembang. Berdasarkan hal tersebut maka konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai suatu fenomena pembangunan yang pasti terjadi selama proses pembangunan masih berlangsung. Begitu pula selama jumlah penduduk terus mengalami peningkatan dan tekanan penduduk terhadap lahan terus meningkat maka konversi lahan pertanian sangat sulit dihindari (Kustiawan, 1997).

Dalam penelitiannya Kustiawan (1997) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian adalah perkembangan kawasan terbangun, laju pertumbuhan penduduk perkotaan dan laju perubahan PDRB. Hal ini sejalan dengan Arsyad (1999) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto/Pendapatan Nasional Bruto tanpa

(8)

memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dapat dikatakan sebagai ukuran produktifitas wilayah yang paling umum diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah. Oleh karenanya walaupun memiliki berbagai kelemahan PDRB dinilai sebagai tolak ukur pembangunan yang paling operasional dalam skala negara di dunia. Lebih lanjut Suhartanto (2008) dan Witjaksono (2006), menyatakan alasan ekonomi senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian antara lainn: (1) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian senantiasa lebih rendah dibanding nilai land rent untuk sektor non pertanian (perumahan, jasa, industri, infrastrukur jalan); (2) kesejahteraan petani yang masih tertinggal; (3) kepentingan pemerintah daerah diera otonomi daerah khususnya terkait penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian tidak memberikan keuntungan yang signifikan; dan (4) lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.

Menurut Lutfi (1997) dalam konteks pengembangan sumber daya alam, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian adalah suatu proses yang bersifat irrefersible atau tidak dapat balik. Proses alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian merupakan suatu proses yang melibatkan preferensi individu dan preferensi masyarakat dalam alokasi pemanfaatan tanah. Studi pada beberapa penelitian telah menghasilkan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lahan pertanian ke non pertanian. Faktor-faktor-faktor tersebut diidentifikasi berdasarkan latar belakang karakteristik perubahan lahan

(9)

pertanian yang terjadi dan permasalahan terjadinya perubahan lahan pertanian tersebut.

Saefulhakim (1996) menerangkan tentang peranan karakteristik wilayah dalam menentukan laju konversi lahan pertanian, dapat diuraikan sebagai berikut: (1) produktivitas lahan yang tinggi sangat menentukan perkembangan perumahan, sementara lahan-lahan yang kurang produktif kurang diminati dalam pengembangan perumahan; (2) areal perumahan berkembang pada daerah-daerah pertanian yang mempunyai jarak yang dekat dengan ibukota provinsi. Perkembangan perumahan ini berbanding lurus dengan panjang dan kualitas jalan yang ada di wilayah pertanianyang bersangkutan; (3) jumlah penduduk (bukan kepadatan penduduk) berkorelasi nyata positif dengan luas areal sawah yang berarti bahwa pertanian pada dasarnya merupakan culture-basic farming system dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan lokal; (4) laju konversi lahan berkaitan erat dengan fragmentasi kepemilikan lahan pertanian, semakin tinggi laju alih guna lahan pertanian ke non pertanian; dan (5) laju konversi lahan pertanian sangat ditentukan oleh tingkat pengkotaan (spatial urbanization) yang mencirikan bahwa konversi lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan proses urbanisasi dan/atau transformasi struktur perekonomian wilayah ke arah industrialisasi.

Saefulhakim dan Nasution (1995) memaparkan beberapa faktor yang berperan penting yang dapat menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non pertanian: )

(10)

1. Perkembangan standar tuntutan hidup. Hal ini berhubungan dengan nilai

land rent yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup

sang petani.

2. Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan palawija).

3. Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya lahan sawah yang semakin mahal akan cenderung memperkuat proses konversi lahan. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini adalah berkaitan dengan skala usaha.

4. Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada penggunaan lahan yang memiliki tingkat permintaan yang terus meningkat akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses ekstensifikasi dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi lahan.

5. Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi terhadap meningkatnya aksesibilitas lokal, akan lebih mendorong perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian. 6. Resiko dan ketidakpastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko

ketidakpastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat produksi, harga dan keuntungan. Hal ini menimbulkan nilai land rent menjadi lebih rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang

(11)

mempunyai resiko dan ketidakpastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversikan ke penggunaan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastian lebih rendah.

7. Lahan sebagai aset. Pandangan ini (walaupun tanpa pemanfaatan) lebih memperumit permasalahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan aksesibilitasnya sama sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi (milik pribadi penguasa lahan). Sistem kepemilikan atas dasar keperansertaan untuk saat ini “tidak ada”, maka fenomena spekulan lahan yang mengkonversikan lahan pertanian ke penggunaan lain yang tidak jelas peruntukannya.

2.2 Urban Sprawl dan Perluasan Kota

2.2.1 Pengertian urban sprawl

Pengaruh struktur ruang terhadap keberlanjutan perkotaan telah menjadi perhatian serius di kota-kota di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Studi-studi terhadap kota - kota di Amerika Utara yang banyak dikategorikan sebagai “tidak berlanjut” (unsustainable) telah mempersalahkan pola ruang semrawut (sprawling) yang dicirikan antara lain oleh pola penggunaan lahan melompat (leapfrog), tata guna lahan terpencar dan tingkat kepadatan rendah (Gilham,2002 dalam Hakim, 2010).

Proses perluasan/perembetan kawasan terbangun kota ke arah luar sebagai dampak meningkatnya jumlah penduduk dan kegiatan perkotaan didefenisikan

(12)

sebagai urban sprawl (Pontoh dan Kustiawan 2009), dimana akan membentuk pola ruang menyebar berserakan karena penggunaan lahan yang tak terencana. Urban

sprawl berpengaruh terhadap struktur tata ruang dapat dilihat dari 3 (tiga) struktur

yaitu struktur fisik, kependudukan dan ekonomi.

Pengaruh urban sprawl dari struktur fisik adalah terjadinya pola penyebaran permukiman yang semakin meluas/melebar ke samping kiri kanan jalur transportasi, denga kata lain terjadi pemusatan fasilitas umum perkotaan di nodes; bagian wilayah tertentu. Dari struktur kependudukan adalah terjadinya pola penyebaran penduduk diperlihaylan dengan penyebaran lahan terbangun (permukiman) yang semakin melebar ke samping kiri kanan jalan arteri. Sedangkan dari struktur ekonomi, pengaruh urban sprawl adalah terjadinya perubahan pola kegiatan ekonomi penduduk yang bekerja di sektor pertanian dan meningkatnya penduduk yang bekerja di sektor non pertanian (pedagang, buruh industri dan jasa).

2.2.2 Faktor penyebab urban sprawl

Urban Sprawl berkaitan dengan proses perluasan kota. Secara garis besar, ada

3 (tiga) macam proses perluasan kekotaan yaitu (Yunus, 2002):

1. Perembetan Konsentris (Concentric Development/Low Density Continous Development), yaitu perembetan areal kekotaan berjala perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar (Gambar 2.2).

(13)

Gambar 2.2 Perembetan Konsentris Sumber: Yunus, 2002

2. Perembetan Memanjang (ribbon development/linear development/axial development), yaitu perembetan areal kekotaan yang tidak merata di semua bagian sisi-sisi luar daripada daerah kota utama, perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari dari pusat kota (Gambar 2.3).

Gambar 2.3 Perembetan Memanjang Sumber: Yunus, 2002

3. Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkerboard development), yaitu perembetan lahan kekotaannya terjadi berpencar secara sporadis (Gambar 2.4).

(14)

Gambar 2.4 Perembetan yang Meloncat Sumber: Yunus, 2002

Selain proses perluasan di atas, Pontoh dan Kustiawan (2009) menambahkan faktor penyebab proses urban sprawl lainnya yaitu:

1. Kebijakan perencanaan dari pemerintah, terutama kebijakan pembangunan transportasi dan perumahan.

a. Pembangunan jalan besar antar kota sehingga mendorong munculnya lokasi pemukiman baru.

b. Pemberian subsidi bagi perumahan yang tidak memandang lokasi sehingga banyak real estate dibangun secara lompat katak.

2. Spekulasi tanah karena pengaruh pembangunan lompat katak tadi dimana mereka menunggu harga tanah naik terlebih dahulu baru mulai melakukan pembangunan.

3. Peraturan guna lahan yang ketat di kota sehingga mengundang para investor mencari tanah di luar kota.

(15)

2.2.3 Perkembangan kota

Menurut Bintarto (1977) dalam Muhyi (2004), ada tiga jenis perkembangan arah kota, sebagai berikut:

1. Tampak bahwa daya tarik dari luar kota adalah pada daerah dimana kegiatan ekonomi banyak menonjol yaitu sekitar pelabuhan impor ekspor dan sekitar hinterland yang subur. Harga tanah di sekitar jalur ini akan lebih tinggi dari pada harga tanah di sekitar pegunungan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Bentuk Arah Perkembangan Kota dengan Pelabuhan Impor Ekspor dan Sekitar Hinterland

Sumber: Bintarto, 1977

2. Kota yang mempunyai pusat-pusat industri dan kota dagang, mempunyai daya tarik di sektor-sektor tersebut di samping itu daerah-daerah di sekitar pusat rekreasi tidak kalah menarik. Daerah sekitar pegunungan dan laut merupakan daerah lemah. Namun tidak berarti bahwa daerah ini tidak mampu menarik penduduk untuk bermukim. Murahnya harga tanah, mampu menarik penduduk untuk bermukim (Gambar 2.6).

(16)

Gambar 2.6 Bentuk Arah Perkembangan Kota dengan Pusat-pusat Industri Dagang Sumber: Bintarto, 1977

3. Perkembangan kota ke segala arah, akan semakin mempercepat perkembangan kota, dengan didukung oleh potensi masing - masing wilayah. Hal ini akan menjadikannya sebagai kota besar atau kota metropoitan. Selanjutnya, kecenderungan yang ada akan semakin berkembangnya kota - kota satelit yang akan mendukung kota besar. (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Bentuk Arah Perkembangan Kota dengan Berbagai Pusat Aktivitas dan Kegiatan

(17)

Perkembangan kawasan perkotaan dapat didlihat melalui perkembangan kepadatan dan populasi penduduknya, serta semkin meluasnya kawasan perkotaan hingga melewati batas administrasi suatu kota. Selain perluasan secara fisik, yang paling mencolok adalah perbuhan bentuk pemanfaatan lahan/penggunaan lahan.

2.2.4 Penelitian terdahulu

Sutarti (1999) dalam penelitiannya mengenai analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kabupaten Serang dengan menggunakan analisis regresi diduga faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan sawah yaitu pertumbuhan penduduk, kontribusi PDRB non tanaman pangan, produktivitas lahan sawah, jarak lokasi ke pusat pertumbuhan ekonomi dan kawasan industri. Melalui uji-t diperoleh bahwa pertumbuhan penduduk, kontribusi PDRB non tanaman pangan, jarak lokasi dari pusat pertumbuhan ekonomi dan kawasan industri berpengaruh nyata terhadapa model, sedangkan produktivitas lahan sawah tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%.

Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Karawang pada tahun 2001-2010 dipengaruhi berbagai faktor. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi penurunan lahan sawah di Kabupaten Karawang adalah laju pertambahan jumlah penduduk, jumlah industri, produktivitas padi sawah, proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah, dan kebijakan tata ruang wilayah. Variabel-variabel independen yang berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan luas lahan sawah, yaitu jumlah industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas lahan total berpengaruh nyata

(18)

pada taraf α= 10 persen. Sedangkan variabel kebijakan pemerintah, laju pertumbuhan penduduk, dan produktivitas lahan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan luas lahan sawah (Puspasari, 2012).

Sumaryanto, dkk (2006) dalam penelitiannya mengenai dampak negatif konversi lahan pertanian di Jawa menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah yang terkonversi berubah fungsi menjadi lahan pemukiman, kawasan industri dan prasarana (jalan raya).

Pada umumnya, laju konversi lahan sawah yang tertinggi terjadi pada hamparan sawah di sekitar perkotaan. Oleh karena berbagai aturan dan perundang-undangan yang ditujukan untuk mengendalikan konversi lahan sawah tidak efektif, maka konversi lahan sawah terkesan tidak pandang bulu; menimpa lahan-lahan sawah produktif dengan fasilitas irigasi yang baik. Mengingat bahwa dimasa mendatang peluang untuk memperluas areal panen semakin terbatas, maka konversi lahan sawah untuk jangka panjang sangat berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung hal itu bersumber dari degradasi luas panen, secara tidak langsung disebabkan menurunnya produktivitas hamparan lahan sawah disekitarnya.

Konversi lahan sawah menyebabkan hilangnya mata pencaharian sebagian anggota masyarakat setempat, khususnya petani dan buruh tani. Oleh karena sebagian dari mereka tidak dapat menjangkau kesempatan kerja dan usaha yang baru maka konversi lahan sawah diduga juga mengakibatkan terjadinya peningkatan kemiskinan di wilayah tersebut.

(19)

2.3 Rangkuman Tinjauan Pustaka

Dari teori diatas dapat diambil beberapa kesimpulan untuk mengkaji rumusan-rumusan permasalahan yang menjadi inti dari penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian, dijelaskan dengan Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Rangkuman Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian ke Non Pertanian

No Penulis, tahun, judul buku/jurnal

Faktor2 yang mempengaruhi konversi lahan pertanian Variabel yang diambil 1 Pakpahan dkk, 1993, Analisis

Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan penduduk, arus urbanisasi dan konsistensi implementasi

rencana tata ruang.

Sedangkan faktor langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana pemukiman dan sebaran lahan sawah. 1. Laju pertumbuhan Penduduk. 2. Perubahan fungsi kegiatan.

2 Suhartanto (2008) dan Witjaksono (2006). Ketersediaan Lahan Pertanian Pangan Secara Berkelanjutan Untuk Menjaga Ketahanan Pangan.

Nilai landrent, kesejahteraan petani yang masih tertinggal, kepentingan pemerintah daerah di era otonomi, Produktivitas pertanian, lemahnya fungsi kontrol.

Visi dan misi pemerintah.

3 Kustiawan, 1997, Permasalahan Konversi Lahan Pertanian dan Implikasinya Terhadap Penataan Ruang Wilayah Studi Kasus: Wilayah Pantai Utara Jawa.

Perkembangan kawasan terbangun, laju pertumbuhan penduduk perkotaan, laju PDRB Laju pertumbuhan Penduduk

(20)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

No Penulis, tahun, judul buku/jurnal

Faktor - faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian Variabel yang diambil 4 Saefulhakim, 1996, Efektivitas

Kelembagaan Pengendalian Alih Guna Tanah. Laboratorium PPSL.

Produktivitas lahan, Aksesibilitas, jumlah penduduk, kepemilikan lahan pertanian, urbanisasi dan transformasi struktur ekonomi. 1. Laju pertumbuhan penduduk. 2. Visi dan misi

Pemerintah. 3. Aksesibilitas. 4. Penambahan

panjang jalan. Sumber: Hasil Kajian dari Berbagai Sumber, Penulis, 2010

Berdasarkan beberapa definisi dan uraian diatas dapat di tentukan faktor-faktor yang diidentifikasi mempengaruhi konversi lahan pertanian menjadi pemanfaatan lahan ke fungsi non pertanian antara lain:

1. Faktor fisik, yaitu:

a. Laju pertumbuhan Penduduk.

Jumlah penduduk mempengaruhi permintaan lahan. Semakin meningkat jumlah penduduk maka permintaan lahan terutama untuk pembangunan perumahan akan semakin tinggi sehingga mendorong penurunan luas lahan sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang semakin tinggi.

b. Penambahan panjang jalan aspal.

Jalan merupakan penghubung antara sentra-sentra produksi dengan daerah pemasaran dalam meningkatkan perekonomian suatu wilayah.

(21)

Seiring dengan pemekaran wilayah dibutuhkan pelebaran atau pembukaan jalan baru terutama dilakukan di wilayah dengan akses perkotaan. Dengan adanya pembangunan jalan maka akan mempengaruhi konversi lahan dari yang tadinya kosong menjadi lahan terbangun. Konversi lahan tersebut terjadi dalam jangka waktu tertentu dan perubahannya relatif bertahap sesuai dengan peningkatan dalam hal aksesibilitas yang tidak hanya bergantung pada transportasi (jumlah kendaraan) tetapi juga karena perbaikan jalan atau pelebaran jalan yang secara langsung akan berpengaruh pada konversi lahan secara keseluruhan.

2. Faktor non fisik, yaitu: a. Aksesibilitas.

Kemudahan aksesibilitas dan letak geografis yang strategis dengan wilayah pusat pertumbuhan juga merupakan penyebab terjadinya konversi lahan sawah irigasi teknis. Lahan sawah yang berada di lokasi dengan aksesibilitas tinggi dan infrastruktur yang lengkap, memicu tingginya harga lahan, harga lahan yang tinggi akhirnya akan mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan sawahnya.

b. Perubahan struktur mata pencaharian.

Akibat konversi lahan, peranan sektor pertanian akan menurun bagi kesempatan kerja dan dan pendapatan petani penggarap termasuk buruh tani, namun disi lain memberi kesempatan bagi tampilnya

(22)

sektor-sektor manufaktur dan jasa-jasa yang secara sengaja senantiasa diupayakan agar terus berkembang.

Gambar

Gambar 2.4 Perembetan  yang  Meloncat   Sumber: Yunus, 2002
Gambar 2.5 Bentuk Arah Perkembangan Kota dengan Pelabuhan Impor Ekspor dan  Sekitar Hinterland
Gambar 2.6 Bentuk  Arah Perkembangan Kota dengan Pusat-pusat Industri Dagang  Sumber: Bintarto, 1977

Referensi

Dokumen terkait

KTSP-SD-YPJ-KK 2008 Ilmu Pengetahuan Sosial Siswa mampu mengidentifikasi peninggalan sejarah masa Hindu, Budha, Islam dan masa penjajahan sampai kemerdekaan serta manfaatnya

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif 4 , yaitu penelitian hukum yang menekankan pada penelaahan dokumen-dokumen hukum dan bahan-bahan pustaka yang

Gereja menyediakan layanan internet dalam kegiatan kesekretariatan, memiliki alamat website, email, tidak sedikit yang juga memiliki akun media sosial – Facebook,

Gambar 6., menunjukkan pola indeks pengangkatan atau Surface Lifted Index ( SLI ) yang terjadi di wilayah Jawa Barat pada tanggal 22 Desember 1998 menunjukkan kesesuaian dengan

“ Wahai orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan kepada Ulil Amr (orang yang berkuasa) dari kalangan kamu “. (al-Nisa’ : 59).. Definisi

Naskah manuskrip yang ditulis harus mengandung komponen-komponen artikel ilmiah berikut (sub judul sesuai urutan), yaitu: (a) Judul Artikel, (b) Nama Penulis (tanpa gelar), (c) Alamat

Yang bertanda tangan di bawah ini, Panitia Pemilihan Penyedia Barang, Pekerjaan Konstruksi, Jasa Lainnya Sumber Dana APBD Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) konstruk kinerja sekolah yang dikembangkan berdasarkan penilaian peserta didik (customer), memiliki empat dimensi, yaitu: