• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH PEMANENAN KAYU (STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN POTENSI LIMBAH

PEMANENAN KAYU

(STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

RIKA MUSTIKA SARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Rika Mustika Sari. E24104074. Identifikasi dan Pengukuran Potensi Limbah Pemanenan Kayu (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Propinsi Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS.

Limbah pemanenan kayu sering timbul akibat kesalahan teknis dilapangan dan juga akibat kebijakan perencanaan pemanenan yang kurang tepat. Keberadaan limbah ini sering kali diabaikan, karena pemanfaatan dianggap menyulitkan dan mahal. Padahal pemanfaatan limbah pemanenan dapat memaksimalkan potensi tegakan dan dapat mengurangi luasan tegakan untuk menghasilkan volume produksi dalam jumlah yang sama. Limbah pemanenan kayu juga erat kaitannya dengan faktor eksploitasi. Makin besar limbah eksploitasi yang terjadi, berarti faktor eksploitasi semakin kecil. Oleh karena itu perlu diketahui klasifikasi dan potensi limbah yang terjadi serta kemungkinan pemanfaatannya.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan besarnya limbah pemanenan kayu yang terjadi di petak tebang, jalan sarad, tempat pengumpulan kayu (TPn), jalan angkutan dan TPK atau logpond, mengetahui pengaruh kemiringan lereng dan diameter pohon yang ditebang terhadap besarnya limbah akibat kegiatan penebangan kayu dan menentukan faktor eksploitasi kegiatan pemanenan kayu.

Limbah yang terjadi di petak tebang adalah limbah yang berasal dari pohon yang ditebang yaitu limbah yang ditinggalkan karena berbagai sebab seperti, adanya cacat pada kayu atau ukuran kayu yang tidak memenuhi syarat. Limbah diukur pada dua petak contoh yaitu CT 53 dan CU 52, data limbah yang diambil berdasarkan ukuran diameter pohon (60-70 cm, 70-80 cm, 80 cm up) dan kemiringan lereng tempat tebang (0-15%, 15-25% dan > 25%). Limbah akibat kegiatan penebangan yang diukur adalah limbah tunggak, batang bebas cabang, cabang batang utama, cabang dari cabang batang utama dan ranting. Limbah penyaradan adalah limbah yang terjadi sebagai akibat dari kegiatan penyaradan yang berupa batang bebas cabang, limbah potongan pendek dan limbah kayu lainnya (pohon yang berdiameter kecil) yang tertinggal atau terdapat di sepanjang jalan sarad, pengamatan limbah pada jalan sarad dilakukan pada 4 petak tebang yaitu CU 52, CU 53, CW 50 dan CX 50. Limbah TPn adalah limbah yang terjadi

(3)

di TPn dapat berbentuk sisa pemotongan bagian pangkal dan bagian ujung pohon kayu gelondongan atau berupa kayu yang mengandung cacat yaitu antara lain gerowong, busuk empulur, pecah, mata buaya, muntir (twist) dan lain-lain. Bentuk limbah di TPn lainnya adalah kayu gelondongan utuh dengan kondisi dan kualitas baik, tetapi merupakan sisa pengangkutan yang jumlahnya sangat sedikit, sehingga ditinggalkan begitu saja di TPn karena alasan ekonomis. Limbah jalan angkutan adalah limbah yang terjadi selama proses pengangkutan dari TPn menuju ke TPK akhir tempat perakitan kayu. Faktor eksploitasi diperoleh dengan perhitungan potensi pohon yang dimanfaatkan dibandingkan dengan potensi pohon yang diperkirakan dapat dimanfaatkan.

Limbah penebangan dihasilkan sebesar 6,64 m3/pohon yang didominasi oleh limbah cabang batang utama sebesar 32,38 % dan limbah yang paling kecil dihasilkan limbah ranting sebesar 9,19 %. Limbah yang terjadi dipetak tebang disebabkan kemungkinan keragaman jenis pohon yang ditebang, diameter pohon, bentuk dari masing-masing percabangan yang juga berbeda antara jenis-jenis pohon yang ditebang dan keterampilan operator.

Limbah akibat kegiatan penyaradan adalah sebesar 462,14 m3 dengan volume limbah rata-rata adalah 4,72 m3. Limbah yang paling besar terdapat dipetak CU 53 dihasilkan sebesar 35,48 % dengan volume rata-rata adalah 2,27 m3 dan yang paling kecil dengan volume rata-rata sebesar 0,63 m3 pada petak CX 50. Limbah yang terjadi ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain topografi jalan sarad, cuaca, kerapatan tegakan pada kedua petak ukur dan yang paling mempengaruhi adalah keterampilan operator penyarad.

Limbah di TPn dihasilkan sebesar 169,361 m3 dengan volume total rata-rata sebesar 21,170 m3/unit, yaitu limbah batang bebas cabang sebanyak 44 log dan limbah potongan pendek sebanyak 8 log dengan jumlah 8 unit TPn pengamatan. Limbah di TPn terjadi kemungkinan karena kayu didapati dalam kondisi cacat atau berupa potongan-potongan bagian ujung dan pangkal batang sehingga dianggap sebagai limbah, namun ada juga kayu yang ditemui dalam kondisi baik karena kayu yang terdapat di TPn tersebut kurang dari 1 rit pengangkutan sehingga kayu terpaksa ditinggalkan karena alasan ekonomis.

(4)

sebanyak 26 log. Dengan kategori limbah yang dapat dimanfaatkan antara lain baik dan gerowong. Pada TPK/Logpond, volume total limbah yang terjadi yaitu sebesar 101,72 m3 (volume dihitung dengan cacat), dengan volume limbahnya dihasilkan sebesar 69,93 m3.

Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perbedaan kelerengan dan diameter pohon yang ditebang tidak memberikan pengaruh nyata (tidak signifikan) terhadap besarnya limbah yang terjadi. Penyebab kemungkinan tersebut diantaranya disebabkan oleh faktor-faktor lainnya yaitu antara lain kemampuan (skill) tenaga kerja yang melakukan penebangan.

Salah satu bentuk alternatif pemanfaatan yang mungkin dilakukan adalah dengan mengolah kayu limbah menjadi produk yang mempunyai nilai jual yaitu terutama produk kayu gergajian yang disesuaikan dengan ukuran panjang dan diameter limbah. Beberapa bentuk industri pemanfaatan limbah yang dapat dijadikan alternatif tersebut adalah Portable Sawmill, Log Sawmill, Portable

Chipper, gabungan Sawmill dan Chipper dan Particle Board Plant.

Faktor Eksploitasi di PT. Austral Byna adalah sebesar 0,80 hal ini telah sesuai dengan yang ditetapkan oleh Departemen Kehutanan RI yang menggunakan faktor eksploitasi 0,8 dalam menentukan tingkat produksi tahunan, lima tahunan dan dua puluh tahunan.

(5)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi dan Pengukuran Potensi Limbah Pemanenan Kayu (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Propinsi Kalimantan Tengah) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2009

Rika Mustika sari NRP E24104074

(6)

(STUDI KASUS DI PT. AUSTRAL BYNA, PROPINSI KALIMANTAN TENGAH)

RIKA MUSTIKA SARI

E24104074

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 5 November 1986 di Kelurahan Mendawai, Kecamatan Sukamara, Kota Kabupaten Sukamara Kalimantan Tengah sebagai anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Gusti Ruplan dan Mutmainnah.

Penulis memulai pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Mendawai I Sukamara pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri I Mendawai Sukamara dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan ke SLTA Negeri I Mendawai Sukamara dan lulus pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur mahasiswa BUD (Beasiswa Utusan Daerah) pada Departemen Hasil Hutan, Mayor Teknologi Hasil Hutan dengan program studi Pemanenan Hasil Hutan.

Selama menuntut Ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen HRD Asean Forestry Student

Asosciation (AFSA) tahun 2005-2006, panitia KOMPAK THH tahun 2006,

panitia pelatihan Aeromodeling tahun 2006-2007. Selama pendidikan penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Non-Getas (Cagar Alam Leuweung Sancang – Cagar Alam Kamojang) Jawa Barat dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK PT. Sarmiento Parakantja Timber, Kalimantan Tengah.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Identifikasi dan Pengukuran

Potensi Limbah Pemanenan Kayu (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Propinsi Kalimantan Tengah) di IUPHHK PT. Austral Byna, Kabupaten Barito

Utara, kota Muara Teweh Propinsi Kalimantan Tengah dibawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS.

(8)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Identifikasi dan Pengukuran Potensi Limbah Pemanenan Kayu (Studi Kasus di PT. Austral Byna, Propinsi Kalimantan Tengah). Karya ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Perusahaan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam PT. Austral Byna, Propinsi Kalimantan Tengah pada Bulan Agustus 2008 sampai Bulan November 2008.

Limbah pemanenan sering timbul akibat kegiatan eksploitasi dan juga kebijakan perencanaan pemanenan yang kurang tepat. Keberadaan limbah ini sering kali diabaikan, karena pemanfaatannya dianggap menyulitkan dan mahal. Padahal di sisi lain, pemanfaatan limbah pemanenan dapat memaksimalkan potensi tegakan. Limbah pemanenan kayu juga erat kaitannya dengan faktor eksploitasi. Oleh karena itu besarnya faktor eksploitasi yang terjadi dalam pemanenan kayu secara mekanis mutlak diperlukan untuk memberikan informasi tentang besaran faktor eksploitasi yang tepat. Selain itu, juga dapat membantu perusahaan dalam merencanakan target produksi. Pada penelitian ini, penulis mencoba mengangkat tema mengenai limbah hasil pemanenan kayu yang masih bisa dimanfaatkan.

Penulis menyadari bahwa “Tiada Gading yang Tak Retak” segala sesuatu tidak ada yang sempurna begitupun pada penulisan karya ini. Namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan semua pihak yang berkepentingan.

Bogor, Februari 2009

(9)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hasil Hutan ... 3

2.2 Sistem Pemanenan Hutan ... 5

2.3 Limbah Pemanenan Hutan ... 6

2.4 Klasifikasi Limbah Pemanenan Kayu ... 8

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah ... 10

2.6 Potensi Limbah Pemanenan ... 12

2.7 Faktor Eksploitasi ... 13

2.8 Pemanfaatan Limbah Pemanenan ... 14

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 16

3.2 Objek dan Alat Penelitian ... 16

3.3 Metode Penelitian... 16

BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan ... 21

4.2 Letak dan Luas Areal ... 22

4.3 Topografi ... 23

4.4 Iklim ... 23

4.5 Keadaan Hutan ... 24

4.6 Pengusahaan Hutan ... 25

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pelaksanaan Operasional Pemanenan PT. Austral Byna ... 27

5.2 Identifikasi Bentuk Limbah Hasil Pemanenan ... 28

5.3 Klasifikasi Limbah ... 31

5.3.1 Limbah akibat kegiatan penebangan ... 31

5.3.2 Limbah akibat kegiatan penyaradan... 32

5.3.3 Limbah di TPn ... 34

5.3.4 Limbah di Jalan Angkutan dan TPK/Logpond ... 36

5.4 Pengaruh Kelerengan dan Diameter Pohon terhadap Besarnya Limbah akibat Kegiatan Penebangan ... 38

5.5 Potensi Limbah Hasil Pemanenan Berdasarkan Jenis dan Dimensinya ... 42

5.5.1 Potensi limbah hasil kegiatan penebangan ... 42

5.5.2 Potensi limbah pada jalan sarad ... 44

5.5.3 Potensi limbah di TPn ... 46

5.5.4 Potensi limbah di jalan angkutan ... 47

(10)

5.6 Faktor Eksploitasi ... 56

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 57

6.2 Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(11)

iii

DAFTAR TABEL

No Halaman 1. Hasil penelitian potensi limbah pada beberapa Pengusahaan Hutan

Alam dan Hutan Tanaman Industri di Indonesia ... 12

2. Bagan rancangan percobaan ... 18

3. Analisis of Variance (Anova) ... 19

4. Distribusi kelas lereng di Areal Kerja IUPHHK PT. Austral Byna ... 23

5. Karakteristik iklim di Areal IUPHHK PT. Austral Byna ... 24

6. Luasan setiap bentuk vegetasi di Areal IUPHHK PT. Austral Byna ... 25

7. Volume limbah penebangan berdasarkan jenis limbah yang dihasilkan... 31

8. Volume rata-rata limbah di petak tebang berdasarkan ukuran diameter dan kelerengan tempat tebang ... 32

9. Rekapitulasi volume limbah jalan sarad berdasarkan jenis limbah yang terjadi ... 33

10. Volume rata-rata limbah pada TPn yang terjadi di PT. Austral Byna ... 35

11. Volume total limbah kayu pada jalan angkutan PT. Austral Byna ... 36

12. Volume limbah yang terdapat di TPK Buntok Kecil/Logpond ... 38

13. Rata-rata volume limbah kayu hasil tebangan pada masing-masing diameter dan kelerengan (m3/pohon) ... 39

14. Analisis sidik ragam (univariate analysis of variance) pengaruh kelerengan dan diameter pohon, terhadap besarnya limbah akibat penebangan ... 40

15. Limbah batang bebas cabang akibat kegiatan penebangan berdasarkan jenis dan dimensinya ... 42

16. Limbah akibat kegiatan penebangan berdasarkan jenis dan dimensinya ... 43

17. Limbah akibat kegiatan penyaradan berdasarkan jenis dan dimensinya ... 45

18. Limbah yang terdapat di TPn berdasarkan jenis dan dimensinya ... 46

19. Limbah yang terdapat di jalan angkutan berdasarkan jenis dan dimensinya ... 47

20. Limbah yang terdapat di TPK/logpond berdasarkan jenis dan dimensinya ... 49

(12)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Limbah tunggak ... 29

2. Limbah batang bebas cabang ... 29

3. Limbah kayu pecah ... 29

4. Limbah kayu lapuk ... 29

5. Limbah potongan pendek ... 30

6. Limbah cabang dan ranting ... 30

7. Limbah kayu tak beraturan... 30

8. Potensi limbah batang bebas cabang di TPn 1 ... 35

9. Potensi limbah potongan pendek ... 36

10. Potensi limbah pada jalan angkutan kayu PT. Austral Byna ... 37

(13)

v

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1. Tabel total volume limbah hasil tebangan berdasarkan

sumber/asalnya ... 62

1.1 Tabel rata-rata volume limbah hasil tebangan (m3/pohon) ... 62

2. Rekapitulasi total volume total limbah jalan sarad PT. Austral Byna – DPH ... 63

3. Tabel volume total limbah jalan angkutan ... 69

4. Tabel volume total limbah kayu di TPK ... 70

5. Tabel volume rata-rata limbah kayu di TPn ... 71

6. Tabel perhitungan faktor eksploitasi ... 72

7. Rekapitulasi limbah hasil tebang tunggak berdasarkan dimensi kerusakan kayu ... 73

8. Rekapitulasi limbah hasil tebang batang bebas cabang berdasarkan dimensi kerusakan kayu ... 75

9. Rekapitulasi limbah hasil tebang cabang batang utama berdasarkan dimensi kerusakan kayu ... 77

10. Rekapitulasi limbah hasil tebang cabang dari cabang batang utama berdasarkan dimensi kerusakan kayu ... 78

11. Rekapitulasi limbah hasil tebang ranting berdasarkan dimensi kerusakan kayu ... 79

12. Data potensi limbah jalan sarad berdasarkan dimensi kerusakan Kayu ... 80

13. Data potensi limbah TPn berdasarkan dimensi kerusakan kayu ... 85

14. Data potensi limbah jalan angkut berdasarkan dimensi kerusakan Kayu ... 88

15. Data potensi limbah TPK/Logpond PT. Austral Byna berdasarkan dimensi kerusakan kayu ... 90

(14)

1.1 Latar Belakang

Pemanenan hasil hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan. Kegiatan yang dilakukan dalam pemanenan hutan antara lain penebangan, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan. Sebagai akibat adanya kegiatan pemanenan hasil hutan tersebut, timbul beberapa masalah diantaranya adalah tingginya limbah kayu dari kegiatan pemanenan ini. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh ButarButar (1991) diketahui bahwa limbah yang dihasilkan dari kegiatan penebangan disalah satu HPH adalah rata-rata 114,304 m3/ha. Limbah tersebut berbentuk tunggak, batang bebas cabang, cabang dan potongan pendek, yang dapat terjadi di petak tebangan, serta limbah akibat pembuatan jalan sarad dan ditempat pengumpulan serta penimbunan kayu.

Limbah pemanenan sering timbul akibat kesalahan teknis di lapangan dan juga akibat kebijakan perencanaan pemanenan yang kurang tepat. Keberadaan limbah ini sering kali diabaikan, karena pemanfaatan dianggap menyulitkan dan mahal. Padahal disisi lain, pemanfaatan limbah pemanenan dapat memaksimalkan potensi tegakan, serta dapat mengurangi luasan tegakan untuk menghasilkan volume produksi dalam jumlah yang sama.

Di Indonesia sampai saat ini, dalam hal penggunaan kayu dapat dikatakan masih kurang efisien. Karena volume produksi/jumlah kayu yang dimanfaatkan pada umumnya masih rendah dibandingkan dengan volume kayu yang ditebang. Tidak sedikit kayu yang ditebang ditinggalkan dalam hutan sebagai akibat pemanenan kayu dalam berbagai bentuk dan ukuran. Keadaan ini cukup memprihatinkan, karena disatu pihak kebutuhan akan kayu terus meningkat dan dilain pihak terjadi pemborosan kayu yang cukup besar. Kriteria yang berbeda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasikan limbah pemanenan kayu dengan kondisi lokasi penelitian yang berbeda akan menghasilkan volume limbah pemanenan kayu yang berbeda pula.

Suatu penelitian tentang identifikasi dan potensi limbah pemanenan kayu sangatlah diperlukan agar diketahui sampai seberapa jauh limbah hasil pemanenan yang terjadi dan prosfek pemanfaatan limbah kayu tersebut ditinjau dari segi

(15)

2

teknis dan ekonomis. Atas dasar informasi tersebut, maka limbah kayu yang terjadi akan ditekan serendah mungkin, sehingga pemanfaatan kayu dapat dilakukan dengan efisien dan efektif.

Selain itu, limbah pemanenan kayu juga erat kaitannya dengan faktor eksploitasi. Makin besar limbah eksploitasi yang terjadi, berarti faktor eksploitasi semakin kecil. Berdasarkan hal itu, besarnya faktor eksploitasi yang terjadi dalam pelaksanaan pemanenan kayu secara mekanis mutlak diperlukan untuk memberikan informasi tentang besaran faktor eksploitasi yang tepat dan membantu perusahaan pengusahaan hutan dalam perencanaan target produksi, dan juga memberikan kemudahan bagi Departemen Kehutanan dalam melakukan pengawasan.

Dari hal tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi dan pengukuran potensi limbah pemanenan kayu dengan kriteria yang lebih seragam didalam mendefinisikan dan mengklarifikasikan limbah pemanenan kayu, serta kemungkinan pemanfaatan limbah kayu tersebut, sehingga limbah kayu ini dapat dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi alternatif maupun sebagai bahan baku industri.

1.2 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengukur dan menghitung besarnya limbah pemanenan kayu yang terjadi di petak tebang, jalan sarad, tempat pengumpulan kayu (TPn), jalan angkutan dan TPK atau logpond.

2. Mengetahui pengaruh kelerengan dan diameter pohon yang ditebang terhadap besarnya limbah akibat kegiatan penebangan kayu.

(16)

2.1 Pemanenan Hasil Hutan

Conway (1982) mendefinisikan pemanenan kayu sebagai suatu rangkaian kegiatan pemindahan kayu dari hutan ke tempat pengolahan melalui tahapan kegiatan penebangan (timber cutting), penyaradan (skidding or yarding), pengangkutan (transportation) dan pengujian (grading). Juta (1954) menyebutkan pemanenan hutan dengan menggunakan istilah pemungutan hasil hutan, yaitu pemungutan hasil hutan berupa kayu merupakan semua tindakan yang

berhubungan dengan penebangan, penggarapan batang, penyaradan,

pengangkutan, penimbunan, dan penjualan hasil hutan dengan tujuan mencukupi kebutuhan konsumen akan kayu.

Pemanenan hutan dimaksudkan untuk memanfaatkan hutan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial. Adapun tujuan dari kegiatan pemanenan adalah memaksimalkan nilai kayu, mengoptimalkan pasokan bahan baku industri, meningkatkan kesempatan kerja dan mengembangkan ekonomi daerah.

Dengan pengertian pemanenan hutan (kayu) diatas, maka kegiatan pemanenan kayu meliputi kegiatan-kegiatan :

1. Penebangan

Penebangan merupakan proses mengubah pohon berdiri menjadi kayu bulat yang dapat diangkut keluar hutan untuk dimanfaatkan. Penebangan dilakukan dengan menggunakan empat prinsip yaitu meminimalkan kecelakaan, meminimalkan kerugian dan kerusakan pohon, memaksimalkan nilai produk kayu bulat dari tiap pohon dan tidak menyulitkan kegiatan selanjutnya.

Kegiatan penebangan kayu pada hutan alam dilakukan dengan menggunakan batas diameter dimana pohon-pohon yang boleh ditebang adalah pohon-pohon dengan diameter sama atau lebih besar dari 50 cm untuk hutan produksi tetap dan diatas 60 cm untuk hutan produksi terbatas. Sedangkan untuk hutan tanaman, penebangan dilakukan berdasarkan ketentuan perusahaan yang disesuaikan dengan peruntukkan kayunya.

Seringkali kegiatan penebangan diikuti dengan kegiatan pembagian batang. Pembagian batang sangat dipengaruhi oleh syarat yang diminta oleh pasar,

(17)

4

kemungkinan penyaradan dan pengangkutan yang digunakan, kebutuhan industri pengolahan kayu dan pesanan-pesanan dari konsumen (Sukanda 1995).

Sebelum dilakukan penebangan, perlu dilakukan penentuan arah rebah yang tepat untuk mengatasi kerusakan yang mungkin akan timbul menjadi seminimal mungkin. Arah rebah yang benar akan menghasilkan kayu yang sesuai dengan yang diinginkan dan kecelakaan kerja dapat dihindari serta dapat menekan terjadinya kerusakan lingkungan.

2. Penyaradan

Penyaradan merupakan suatu kegiatan untuk memindahkan kayu dari tempat penebangan (petak tebang) ke tempat pengumpulan kayu sementara (TPn) yang terletak di pinggir jalan angkutan. Penyaradan merupakan tahap awal dari kegiatan pengangkutan kayu dimana penyaradan disebut sebagai Minor

Transportation. Tujuan dari kegiatan penyaradan adalah memindahkan kayu

dengan cepat dan murah. 3. Muat Bongkar Kayu

Pemuatan kayu merupakan kegiatan memindahkan kayu dari tanah ke atas kendaraan angkut yang dilakukan di TPn maupun Tempat Penimbunan Kayu (TPK). Sedangkan pembongkaran adalah kegiatan menurunkan kayu dari atas alat angkut ke TPK atau di Industri. Dalam kegiatan pemuatan kayu diperlukan tiga prinsip yaitu cepat, ekonomis dan peralatan harus selalu siap.

4. Pengangkutan

Pengangkutan kayu merupakan kegiatan memindahkan log/kayu dari tempat tebangan sampai tujuan akhir yaitu TPK atau pabrik atau logpond atau

logyard ataupun langsung ke konsumen. Kegiatan pengangkutan ini disebut

dengan istilah Major Transportation. Menurut Elias (1988) bahwa makin besar kayu maka akan semakin pendek waktu penanganannya per satuan volume dan makin pendek waktu angkutan. Kayu akan turun kualitasnya jika dibiarkan terlalu lama di dalam hutan. Menurut Juta (1954) terdapat beberapa faktor yang perlu diketahui untuk merencanakan sistem pengangkutan yang baik dan meminimumkan biaya pengangkutan yaitu :

1. Bentuk dan keadaan lapangan (topografi) yang akan mempengaruhi dalam pemilihan cara dan alat pengangkutan yang digunakan.

(18)

2. Keadaan iklim, kegiatan pengangkutan akan berjalan lancar jika dilakukan pada iklim atau musim kemarau.

3. Susunan hutan di daerah yang bersangkutan, pemilihan sistem pengangkutan disesuaikan dengan jenis kayu yang akan dikeluarkan. 4. Jalan angkutan yang ada di dalam dan di luar hutan.

5. Letak industri perkayuan.

6. Ukuran dan beratnya kayu yang diminta, berhubungan dengan kapasitas alat angkut.

7. Ketersediaan tenaga kerja.

8. Cara pengangkutan yang paling baru, yang baru dan lama. 9. Keadaan tempat.

10. Ketersediaan dana.

2.2 Sistem Pemanenan Hutan

Sistem pemanenan hutan berdasarkan bentuk hasil adalah (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1972) :

a. Sistem pembagian batang di tempat tebangan, sehingga kayu yang disarad keluar adalah kayu yang sudah berbentuk sortimen-sortimen dalam berbagai ukuran (common logs).

b. Pemangkasan cabang dan ranting dilakukan di tempat tebangan, kemudian batang yang sudah bebas cabang disarad keluar, pembagian batang dilakukan di logyard (tree length).

c. Seluruh bagian pohon termasuk cabang dan ranting disarad keluar, baru di logyard dilakukan pemangkasan cabang dan ranting tersebut dan dilakukan pembagian batang (full tree).

d. Perpaduan dari ketiga sistem tersebut diatas.

Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1972), pemilihan sistem pemanenan kayu dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain :

1. Modal dan peralatan yang tersedia. 2. Keadaan fisik lapangan.

3. Potensi dari hutan yang bersangkutan. 4. Sistem silvikultur yang dipakai.

(19)

6

5. Keadaan sosial ekonomi dari masyarakat sekitar hutan. 6. Tingkat teknologi hasil hutan.

Elias (1988), menyatakan bahwa yang dimaksud pengangkutan kayu dibidang kehutanan adalah pengangkutan kayu mentah dari tempat penebangan sampai tempat tujuan akhir (pabrik pengolahan kayu, Tempat Penimbunan Kayu/TPK, Konsumen). Pengangkutan pada umumnya terdiri dari dua tahap, yaitu:

a. Penyaradan (minor transportation) yang dimulai pada saat kayu diikatkan pada rantai penyarad ditempat tebangan kemudian disarad ketempat tujuannya (Tempat Pengumpulan Kayu/TPn)/ landing, tepi sungai, tepi jalan rel atau tepi jalan mobil) dan berakhir setelah kayu dilepaskan dari rantai penyarad. Secara umum berdasarkan sortimen kayu yang disarad, dikenal 3 sistem penyaradan, yakni :

1. Short Wood System 2. Tree Length System 3. Full Tree System

b. Pengangkutan (major transportation) dilakukan setelah penyaradan dan dimulai pada saat kayu dimuat keatas alat pengangkut (truk, kereta api, lori, cikar dan lain-lain) di TPn atau dikumpulkan dengan rakit didalam sungai untuk diangkut ketempat penimbunan kayu (TPK) atau ketempat konsumen (pabrik-pabrik pengolahan kayu).

2.3 Limbah Pemanenan Hutan

Kegiatan pemanenan hutan baik secara sadar ataupun tidak sadar akan memberikan dampak negatif dari aspek ekologis, ekonomis maupun sosial. Secara ekonomis dan ekologis, pemanenan hutan terutama di hutan alam menyebabkan lima dampak terbesar yaitu berupa keterbukaan areal, kerusakan tegakan tinggal, pemadatan tanah, erosi dan limbah pemanenan.

Limbah pemanenan merupakan bagian pohon yang sebenarnya dapat dimanfaatkan tetapi karena berbagai sebab terpaksa ditinggalkan di hutan. Besarnya limbah dinyatakan sebagai persen antara volume bagian batang yang

(20)

ditinggalkan dengan volume seluruh batang yang diharapkan dapat dimanfaatkan (Sastrodimedjo dan Simarmata, 1981).

Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1973) waste atau wood waste diartikan sebagai sisa-sisa atau bagian kayu yang dianggap tidak bernilai ekonomis lagi dalam suatu proses tertentu, pada waktu dan tempat tertentu, namun mungkin masih bisa dimanfaatkan pada proses yang berbeda, pada waktu dan tempat yang berbeda pula.

Limbah pemanenan kayu adalah bagian dari pohon yang ditebang yang tidak dapat dimanfaatkan karena adanya cacat dan rusak berdiameter kecil serta panjang tidak memenuhi syarat untuk tujuan penggunaan tertentu, termasuk juga bagian pohon pada tegakan tinggal yang menjadi rusak karena kegiatan penebangan, penyaradan dan pembuatan jalan hutan.

Limbah pembalakan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.59 tahun 1998 (Sasmita 2003) adalah kayu yang tidak atau belum dimanfaatkan pada kegiatan yang berasal dari pohon yang boleh ditebang berupa sisa pembagian batang, tunggak, ranting, pucuk yang mempunyai ukuran diameter kurang dari 30 cm atau panjang kurang dari 1,30 m. Matangaran, et al (2000) menyatakan bahwa limbah pemanenan merupakan limbah mekanis yang terjadi akibat kegiatan pemanenan kayu, selain itu terdapat pula limbah alami (defect) yang terjadi secara alami tidak memenuhi persyaratan yang diinginkan.

Menurut Widarmana, et al (1973) yang menggunakan istilah logging

waste bagi limbah pemanenan kayu, Logging waste adalah limbah kayu yang

terjadi akibat kegiatan penebangan kayu (logging). Dengan demikian waste tersebut dapat terjadi di tempat tebangan, sepanjang jalan sarad, sepanjang jalan angkutan, di tempat pengumpulan kayu dan ditempat penimbunan kayu seperti di TPn atau TPK (di hutan jati), atau di logdeck dan logpond (di hutan rimba di luar Jawa).

Meulenhoff (1972), mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan limbah atau sisa kayu ialah :

1. Tunggak-tunggak yang berbanir maupun yang tidak berbanir.

2. Ujung pohon atau bagian pohon diatas batang bebas cabang, termasuk cabang dan ranting.

(21)

8

3. Sisa batang bebas cabang setelah dipotong-potong dengan panjang tertentu. 4. Kayu bulat yang tidak memenuhi syarat pengujian kayu karena cacat, bengkok

atau pecah.

5. Pohon-pohon yang belum dikenal atau yang belum ada pemasarannya (non komersil).

6. Pohon-pohon lain yang rusak akibat kegiatan penebangan.

Sisa kayu banyak terdapat di hutan dan di TPn disebabkan karena upaya memperoleh kayu bulat dengan kualitas ekspor, dimana untuk menghasilkan sortimen berkualitas tinggi tersebut sering dilakukan dengan memotong batang untuk mendapat ukuran tertentu dan membuang bagian-bagian yang rusak dan bercacat, sehingga menimbulkan sisa berupa limbah.

2.4 Klasifikasi Limbah Pemanenan Kayu

Berdasarkan pengerjaan kayunya (wood processing), limbah kayu dapat dibedakan menjadi logging waste yaitu limbah akibat kegiatan pemanenan dan

processing wood waste, yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri kayu

seperti pada pabrik penggergajian, mebel dan lain-lain (Direktorat Jenderal Kehutanan 1973).

Berdasarkan tempat terjadinya limbah dapat dibedakan menjadi (Sastrodimedjo dan Sampe 1978) :

a. Limbah yang terjadi di areal tebangan (Cutting Area), limbah tebangan ini dapat berupa kelebihan tunggak dari yang diijinkan, bagian batang dari pohon yang rusak, cacat, potongan-potongan akibat pembagian batang dan sisa cabang dan ranting.

b. Limbah yang terjadi di Tempat Pengumpulan Kayu (TPn), batang-batang yang tidak memenuhi syarat baik kualitas maupun ukurannya.

c. Limbah yang terjadi di Tempat Penimbunan Kayu (TPK), umumnya terjadi karena penolakan oleh pembeli karena log sudah terlalu lama disimpan sehingga busuk, pecah dan terserang jamur.

(22)

Hidayat (2000) menggolongkan limbah berdasarkan : 1. Bentuknya

a. Berupa pohon hidup yang bernilai komersial namun tidak dipanen meskipun dari segi teknis memungkinkan.

b. Berupa bagian batang bebas cabang yang terbuang akibat berbagai faktor, seperti teknis, fisik, biologi dan lain-lain.

c. Berupa sisa bagian pohon yaitu dahan, ranting, maupun tunggak. d. Berupa sisa produksi atau akibat proses produksi.

2. Pengerjaan (processing) kayunya.

a. Logging waste, yaitu limbah akibat kegiatan eksploitasi yang dapat berupa kayu-kayu tertinggal di hutan, ditempat pengumpulan atau penimbunan. b. Processing wood waste, yaitu limbah yang diakibatkan oleh kegiatan industri

kayu, seperti pada pabrik penggergajian, plywood dll. 3. Tempat terjadinya.

a. Limbah yang terjadi di tempat penebangan.

b. Limbah yang terjadi di tempat pengumpulan kayu. c. Limbah yang terjadi di logpond.

Sedangkan Budiaman (2000) menyebutkan bahwa limbah pemanenan dapat berupa semua kayu bulat yang berupa bagian dari batang komersial, potongan pendek, tunggak, cabang dan ranting. Batasan jenis sortimen kayu bulat yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Batang komersial adalah batang dari atas banir sampai cabang pertama atau batang yang selama ini dikeluarkan oleh perusahaan pada pengusahaan hutan alam.

2. Batang atas adalah bagian batang dari cabang pertama sampai tajuk yang merupakan perpanjangan dari batang utama (komersial).

3. Cabang dan ranting adalah komponen tajuk dari pohon yang ditebang yang berada diatas cabang pertama.

4. Tunggak adalah bagian bawah pohon yang berada dibawah takik rebah dan takik balas. Tinggi tunggak sangat bervariasi tergantung dari ketinggian takik balas.

(23)

10

5. Potongan kecil adalah bagian batang dari batang utama yang mengandung cacat dan perlu dipotong. Potongan kecil juga meliputi banir, batang dengan cacat nampak, pecah, busuk dan jenis cacat fisik lainnya yang mengurangi nilai fisik kayu.

Widarmana, et al (1973) menjelaskan bahwa macam atau bentuk serta volume limbah pemanenan kayu itu berbeda-beda, tergantung pada :

1. Tingkat efisiensi pemanenan (secara manual atau mekanis).

2. Tujuan pemanenannya, kayu untuk industri dalam negeri, mendapatkan kayu untuk keperluan lokal, atau kayu untuk ekspor.

3. Jenis serta nilai kayunya (jati, rimba alam atau rimba tanaman). 4. Tempat atau lokasi serta fasilitas prasarana, misalnya jalan angkutan.

Makin tinggi tingkat efisiensi pemanenan kayu, limbah yang dihasilkan akan semakin berkurang, begitu pula bila nilai ekonomis kayu dan aksesibilitas hutan tinggi.

Soewito (1980) mengemukakan bahwa limbah kayu akibat pemanenan di areal tebangan berasal dari dua sumber yaitu bagian dari pohon yang ditebang yang seharusnya dapat dimanfaatkan tetapi tidak diambil dan berasal dari tegakan tinggal yang rusak akibat dilakukannya kegiatan pemanenan kayu. Limbah dari pohon yang ditebang terjadi karena pengusaha hanya mengambil bagian kayu yang dianggap terbaik saja sesuai dengan persyaratan ukuran dan kualita.

2.5 Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Limbah

Direktorat Pengolahan Hasil Hutan (1989) menyebutkan bahwa terjadinya limbah eksploitasi hutan banyak terjadi karena kesalahan teknis. Limbah terjadi umumnya disebabkan karena pecah, rusak pada waktu rebah dan yang penting karena tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau tidak efisien apabila diangkut seperti batang yang memenuhi syarat.

Menurut Kartika (2004), kegiatan penebangan meninggalkan banyak limbah yang meliputi limbah tunggak, limbah cabang dan ranting, limbah batang atas, dan limbah potongan pendek. Jika ditinjau dari asal limbah, maka limbah hasil pemanenan merupakan yang paling besar, kemudian limbah dari cabang dan

(24)

ranting juga merupakan asal limbah yang paling besar, sedangkan asal limbah yang paling kecil adalah potongan pendek.

Selanjutnya menurut Panshin, et al (1962) faktor yang sangat menentukan besarnya limbah tebangan adalah jenis kayu, komposisi tegakan, sistem penebangan, dan sistem pengangkutan. Umumnya limbah yang terjadi pada proses penebangan adalah kayu yang mengalami kerusakan pada waktu penebangan dan pengangkutan, mempunyai bentuk jelek, busuk, cabang dan ranting pohon. Sebanyak 88 % dari limbah tebangan terdiri dari kayu yang berasal dari pohon yang ditebang, sedangkan 12 % lagi berasal dari tegakan sisa yang rusak akibat penebangan. kulit kayu biasanya tidak dimasukkan sebagai limbah, akan tetapi ada beberapa jenis kayu yang mempunyai potensi cukup besar dalam pemanfaatan limbah kayu.

Menurut Sastrodimedjo dan Sampe (1978), menyatakan bahwa limbah eksploitasi dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Topografi berkaitan dengan kemungkinan dapat atau tidaknya kayu untuk ditebang dan dimanfaatkan, kesulitan dalam mengeluarkan kayu sehingga ditinggal dan tidak dimanfaatkan.

2. Musim berpengaruh terhadap keretakan batang-batang yang baru ditebang, pada musim kemarau kayu akan lebih mudah pecah karena udara kering. 3. Peralatan, pemilihan macam dan kapasitas alat yang keliru dapat

mengakibatkan tidak seluruh kayu dapat dimanfaatkan dan terpaksa sebagian ditinggal.

4. Cara kerja, penguasaan teknik kerja yang baik akan mempengaruhi volume limbah yang terjadi.

5. Sistem upah, sistem upah yang menarik akan memberikan perangsang yang baik terhadap para pekerja sehingga yang bersangkutan mau melaksanakan sesuai yang diharapkan.

6. Organisasi kerja, kurangnya sinkronisasi antara kegiatan yang satu dengan kegiatan yang lain dapat menyebabkan tidak lancarnya kegiatan bahkan dapat ditinggal dan tidak sampainya kayu ke tempat yang dituju pada waktu yang telah ditentukan, menyebabkan menurunnya kualitas kayu.

(25)

12

2.6 Potensi Limbah Pemanenan

Berbagai upaya telah dilakukan agar proses pendayagunaan sumberdaya hutan dapat memberikan manfaat maksimum dengan sedikit mungkin menimbulkan pemborosan kayu dan kerusakan lingkungan. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kegiatan pemanenan cenderung bersifat ekstensif. Cara pendayagunaan sumberdaya hutan menimbulkan terjadinya limbah cukup besar sehingga tingkat pemanfaatan kayu menjadi jauh lebih rendah dari potensi yang sebenarnya (Idris dan Sona 1996).

Beberapa hasil penelitian mengenai limbah pemanenan pada pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman menyebutkan besarnya limbah pemanenan yang terjadi.

Tabel 1 Hasil penelitian potensi limbah pada beberapa pengusahaan hutan alam dan hutan tanaman industri di Indonesia

Pengusahaan Lokasi; Peneliti; Tahun Potensi Limbah Hutan Alam 23 HPH di 9 Propinsi; Simarmata &

Sastrodimedjo; 1980

23,6 % Pulau Laut, Kalsel; Sianturi; 1982 20,4 % 8 Areal HPH di Kalteng dan Kalsel;

Dulsalam; 1995

5,61 m3/pohon untuk teknik penebangan konvensional dan 4,51 m3/pohon untuk teknik penebangan serendah mungkin

PT Narkata Rimba, Kaltim; Sukanda; 1995

86,46 m3/ha PT Suka Jaya Makmur, Kalbar;

Muhdi; 2001

13,704 m3/ha untuk teknik penebangan konvensional dan 11,059 m3/ha untuk teknik penebangan dampak rendah

HPH PT Sumalindo Lestari Jaya II; Sasmita; 2003 3,80 % (26,28 m3/ha) Hutan Tanaman Industri Jambi; Budiaman; 2000 39,53 % Kalsel; Hidayat; 2000 17,6 % HPHTI Kayu Pertukangan BKPH

Cikeusik, KPH Banten; Gustian; 2004

16,8 % (60, 12 m3/ha)

HPHTI Kayu Pertukangan BKPH Gunung Kencana, KPH Banten; Safitri; 2004

21 %

PT INHUTANI II, Pulau Laut, Kalsel; Rawenda; 2004

10,583 % (27,456 m3/ha) PT INHUTANI II, Pulau Laut,

Kalsel; Kartika; 2004

23,268 % HPHTI Musi Hutan Persada,

Sumsel; Rishadi; 2004

29,32 m3/ha

(26)

2.7 Faktor Eksploitasi

Faktor Eksplotasi (FE) merupakan perbandingan antara banyaknya produksi kayu yang dihasilkan dari suatu areal hutan dengan potensi standing stock-nya yaitu sebesar 0,7 dan dimasukkan dalam penentuan target produksi (Matangaran,

et al 2000 ). Menurut Sianturi dan Simarmata (1983) serta Dulsalam (1988),

faktor eksploitasi adalah perbandingan antara bagian batang yang dimanfaatkan yaitu bagian batang yang sampai di logpond dan siap dipasarkan dengan bagian batang yang diperkirakan dapat dimanfaatkan. Adapun bagian yang diperkirakan dapat dimanfaatkan adalah dari batas tinggi tunggak yang diijinkan (1/3 dbh) untuk pohon yang tidak berbanir dan untuk pohon yang berbanir adalah setinggi banirnya sampai cabang pertama. Makin besar faktor eksploitasi makin besar target produksi tahunan.

Faktor eksploitasi dapat juga dipakai untuk memperkirakan realisasi dari produksi kayu dari suatu areal hutan. Dengan perkiraan ini dapat ditaksirkan besarnya royalti yang harus dibayar dari areal hutan tersebut. Dengan cara penetapan yang demikian, maka kayu yang dimanfaatkan akan meningkat, yaitu dalam memanfaatkan kayu limbah yang selama ini umumnya ditinggalkan di hutan untuk menghindari royalti dari kayu tersebut (Sianturi 1982).

Besarnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Idris dan Wesman (1995) menyatakan bahwa tinggi rendahnya faktor eksploitasi dipengaruhi oleh :

1. Faktor non teknis, terdiri dari keadaan lapang, sifat kayu, cacat kayu, penyebaran, kerapatan tegakan dan situasi pemasaran.

2. Faktor teknis yang dapat dibagi menjadi :

a. Pengorganisasian dan koordinasi antara penebang, penyarad dan juru ukur, perencana hutan, peralatan pengangkutan log, kemampuan memproses dan memanfaatkan kayu di industri, keterampilan penebang dan penyarad, pengawasan aparat dan petugas perusahaan, penetapan kualitas, kondisi jalan angkutan.

b. Kebijakan perusahaan dan tujuan pemasaran.

c. Kebijakan pemerintah dan aturan-aturan ke industri dan pemukiman masyarakat setempat.

(27)

14

Budiningsih (1997) menyatakan bahwa besarnya faktor eksploitasi berbeda untuk berbagai tingkat kerapatan tegakan dan topografi. Faktor ekploitasi pada hutan berkerapatan rendah dengan topografi ringan berkisar antara 0,82 – 1,00 dengan rata-rata 0,91. Untuk hutan berkerapatan rendah dengan topografi berat faktor eksploitasi berkisar antara 0,84 - 0,94 dengan rata-rata 0,90. Sedangkan faktor eksploitasi untuk hutan berkerapatan tinggi dengan topografi ringan berkisar antara 0,79 – 1,00 dengan rata-rata 0,90 dan untuk hutan berkerapatan tinggi dengan topografi berat faktor eksploitasi berkisar antara 0,79 – 1,00 dengan rata-rata 0,87.

Secara garis besar faktor eksploitasi dipengaruhi oleh kondisi medan dan tegakan, teknik eksploitasi, orientasi pemanfaatan kayu, dan jenis kayu. Pada hakekatnya faktor eksploitasi sangat erat kaitannya dengan limbah eksploitasi. Semakin besar limbah eksploitasi yang terjadi maka akan semakin kecil tingkat eksploitasi yang didapat dan semakin kecil limbah eksploitasi yang terjadi akan semakin besar faktor eksploitasi pemanenan hutan (Dulsalam 1995).

Berdasarkan penelitian Sianturi dan Simarmata (1983), besarnya faktor eksploitasi berkisar antara 0,56 – 0,97 dengan rata-rata 0,84. Sedangkan menurut penelitian Dulsalam (1988), besarnya faktor eksploitasi sampai batang bebas cabang adalah 0,75 dan sampai batas diameter 30 cm adalah 0,70.

Makin tinggi tingkat efisiensi pemanenan yang dilakukan, makin kurang pula limbah pemanenan yang akan terjadi, begitu pula apabila nilai ekonomis kayu dan aksesibilitas hutan semakin tinggi.

Departemen Kehutanan RI saat ini menggunakan faktor eksploitasi 0,8 dalam menentukan tingkat produksi tahunan, lima tahunan dan 20 tahunan. Angka tersebut diperoleh dari hasil kesepakatan antara pemegang kebijakan dan para pakar kehutanan. Berdasarkan hal itu, besarnya faktor eksploitasi yang terjadi dalam pelaksanaan pemanenan kayu (penebangan, penyaradan, pengangkutan sampai logpond atau industri pengolahan kayu) secara mekanis mutlak diperlukan untuk memberikan informasi tentang besarnya faktor eksploitasi yang tepat dan membantu perusahaan pengusahaan hutan dalam perencanaan target produksi dan memudahkan bagi Departemen Kehutanan dalam melaksanakan pengawasan (Lempang et al, 1995).

(28)

2.8 Pemanfaatan Limbah Pemanenan

Kelayakan pemanfaatan limbah pemanenan tergantung pada dua faktor utama, yaitu :

1. Kesesuaian fisik dari limbah pemanenan untuk menghasilkan produk-produk tertentu.

2. Nilai produk yang dihasilkan dari limbah pemanenan relatif terhadap biaya pengolahan dan penerimaan (Timson 1980, diacu dalam Budiaman 2001).

Dewasa ini terdapat beberapa bentuk kemungkinan industri pemanfaatan limbah kayu seperti : industri papan partikel, papan serat, papan blok, papan sambungan, papan laminasi, moulding, dowel, furniture, pulp dan kertas, serta industri arang kayu (Direktorat Pengolahan Hasil Hutan, 1989). Menurut Badrudin (1983), limbah pemanenan juga dimanfaatkan sebagai sumber energi (kayu bakar). Selain digunakan oleh rumah tangga, kayu bakar juga digunakan sektor industri seperti untuk pengasapan karet, pembuatan gula rakyat, pembakaran gamping, pembakaran batu bata, genteng dan sebagainya.

Secara garis besar langkah-langkah pemanfaatan kayu limbah adalah sebagai berikut:

1. Pengumpulan dari hutan keTempat Pengumpulan Kayu Limbah (TPKL).

Potongan-potongan kayu yang berserakan dari hutan dikumpulkan di suatu tempat pengumpulan kayu limbah (TPKL) yang memudahkan akses kendaraan pengangkut.

2. Pengangkutan dari TPKL ke sentra-sentra industri. 3. Penyortiran.

Kayu dikelompokkan berdasarkan jenis dan ukurannya. Hal ini akan memudahkan proses selanjutnya.

4. Pengolahan

Kayu limbah yang telah dikelompokkan kemudian diolah menjadi berbagai barang jadi sesuai dengan jenis kayu dan tujuan pemanfaatan. Misalnya untuk komponen furniture, perkakas rumah tangga, mainan (toys) dan lain lain. 5. Masalah kelembagaan

Perlu diadakan pengaturan pemanfaatan limbah dengan HPH terkait berikut perangkat peraturannya (D. Hendra, 1998).

(29)

BAB III

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus 2008 sampai dengan bulan November 2008 di PT. Austral Byna, Propinsi Kalimantan Tengah.

3.2 Objek dan Alat Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah limbah kayu yang terdapat di petak tebang, jalan sarad, limbah di TPn, sepanjang jalan angkutan kayu dan di TPK/logpond.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah meteran (20 meter dan 100 meter), pita ukur, clinometer, kompas Suunto, tally sheet, cat, alat tulis, komputer dan kamera.

3.3 Metode Penelitian

a. Jenis Data

1. Data Sekunder

a. Sejarah Pemanfaatan Hutan e. Keadaan hutan b. Letak dan luas areal f. Pengusahaan hutan

c. Topografi g. Kesesuaian lahan

d. Iklim 2. Data Primer

Yaitu data limbah kayu yang terdapat di petak tebang, jalan sarad, TPn, jalan angkutan dan TPK/Logpond.

b. Pengumpulan Data 1. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan melihat arsip/data yang tersedia di lokasi penelitian.

(30)

2. Data Primer

Data primer merupakan data pokok yang diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi :

a. Limbah pada Kegiatan Penebangan

Data diperoleh dari hasil pengukuran limbah kayu hasil penebangan pada petak tebang yang telah ditentukan. Limbah yang diukur antara lain : limbah tunggak, batang bebas cabang, cabang batang utama, cabang dari cabang batang utama dan ranting yang memenuhi syarat untuk diambil sebagai limbah. Dalam setiap kelerengan jumlah pohon contoh yang digunakan adalah 15 pohon contoh. Dimana untuk setiap ukuran diameter pohon 60-70 cm, 70-80 cm dan > 80 cm up digunakan 5 pohon contoh. Sehingga jumlah pohon contoh seluruhnya pada penelitian ini adalah 45 pohon contoh (15 pohon contoh x 3 kelerengan).

Satuan contoh : pohon yang ditebang pada berbagai diameter dan kelerengan lapangan sebagaimana yang telah ditentukan dalam rancangan percobaan pada petak tebang yang masuk dalam RKT berjalan.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data 1. Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Faktorial dengan Dua Faktor (3 x 3).

Faktor A adalah Kelerengan lapangan terdiri dari 3 taraf yaitu : A1 = Datar (Kelerengan 0 - 15%)

A2 = Sedang (Kelerengan 15 – 25 %) A3 = Curam (Kelerengan > 25 %)

Faktor B adalah Diameter Pohon yang ditebang terdiri dari 3 taraf yaitu :

B1 = Diameter pohon ukuran 60 – 70 cm B2 = Diameter pohon ukuran 70 – 80 cm B3 = Diameter pohon ukuran > 80 cm up

Dimana Model Umum Rancangan Percobaan adalah sebagai berikut : Yijk = µ + αi + βj + αβij + ξijk

(31)

18

j = 1, 2, 3 k = 1, 2, 3

Dimana : Yijk = Respon karena pengaruh kelerengan pada taraf ke-I pada blok ke-j yang terdapat pada ulangan ke-k.

µ = Nilai rataan umum

αi = Pengaruh kelerengan pada diameter ke-i βj = Pengaruh kelerengan pada blok ke-j

αβij = Pengaruh interaksi kelerengan pada taraf ke-I dan diameter pohon taraf ke-j

ξijk = Pengaruh acak yang menyebar normal Tabel 2 Bagan rancangan percobaan

Kelerengan Ulangan Diameter Pohon

Total (Yi..)

B1 B2 B3

1 Y111 Y121 Y131

2 Y112 Y122 Y132

A1 3 Y113 Y123 Y133

4 Y114 Y124 Y134

5 Y115 Y125 Y135

Total (Y1j.) Y11.. Y12.. Y13.. Y1..

1 Y211 Y221 Y231

2 Y212 Y222 Y232

A2 3 Y213 Y223 Y233

4 Y214 Y224 Y234

5 Y215 Y225 Y235

Total (Y2j.) Y21.. Y22.. Y23.. Y2..

1 Y311 Y321 Y331

2 Y312 Y322 Y332

A3 3 Y313 Y323 Y333

4 Y314 Y324 Y334

5 Y315 Y325 Y335

Total (Y3j.) Y31.. Y32.. Y33.. Y3..

Total (Yj.) Y.1. Y.2. Y.3. Y…

Pohon contoh yang digunakan dalam penelitian ini, harus dipilih sebelum dilakukan kegiatan penebangan. Pemilihan pohon contoh dilakukan sesuai dengan rancangan percobaan yang telah buat diatas, dengan diameter

(32)

yang telah ditetapkan, yaitu diameter 60-70 cm, 70-80 cm dan diameter > 80 cm up.

2. Analisis data

Data hasil yang telah diperoleh dibuat Analisis Of Variance (ANOVA)

Tabel 3 Analisis of Variance (ANOVA)

Sumber Keragaman Derajat Bebas (dB) Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F hitung Kelerengan ab-1 JK KT KT/KTG

A a-1 JKA KTA KTA/KTG

B b-1 JKB KTB KTB/KTG

AB (a-1) (b-1) JKAB KTAB KTAB/KTG

Derajat Kesalahan ab (n-1) JKG KTG

Total abn-1 JKT

F hitung dibanding F tabel

Apabila Hasil Perbandingan sebagai sebagai berikut : F hitung < F tabel, maka pengaruh tidak nyata

F hitung > F tabel, maka pengaruh nyata pada tingkat kepercayaan tertentu. Apabila kelerengan lapangan memberikan pengaruh yang nyata maka uji lanjut yang akan digunakan adalah uji Duncan’s Multiple Range Test.

b. Limbah pada Kegiatan Penyaradan

Data diperoleh dari hasil pengukuran limbah yang terdapat di sepanjang jalan sarad pada petak yang telah ditentukan sebelumnya. Limbah yang diukur di jalan sarad antara lain batang bebas cabang, potongan pendek, dan limbah lain yang dikategorikan sebagai limbah. Dimensi yang diukur adalah panjang jalan sarad, jenis limbah, panjang sortimen, diameter limbah, dan kondisi limbah tersebut.

c. Limbah di Tempat Penumpukan Sementara (TPn)

Data limbah dari TPn yang diukur adalah limbah kayu yang berupa sisa-sisa pemotongan bagian pangkal atau ujung dan batang bebas cabang yang tidak diangkut karena mengandung cacat seperti bengkok, mata buaya,

(33)

20

busuk hati, gerowong (berlubang) dan lain-lain. Juga kayu gelondongan utuh dengan kondisi sedang sampai baik yang mungkin terdapat di TPn karena jumlah kurang dari satu rit sehingga tidak diangkut. Data limbah diperoleh dari petak-petak tebang dimana dalam satu petak tebang biasanya terdapat minimal 3 TPn dan maksimal 6 TPn. Dimensi yang diukur adalah diameter pangkal dan ujung, panjang batang, jenis kayu dan luasan TPn serta petak TPn berada.

d. Limbah pada Jalan Angkutan dan Tempat Penumpukan Kayu (TPK)

Limbah pada jalan angkutan dan TPK diperoleh dengan menyusuri disepanjang jalan angkutan kayu (hauling) dari blok atau petak tebang dimana kayu dimuat sampai TPK/logpond. Dimensi yang diukur antara lain : jenis limbah, panjang kayu limbah, diameter limbah dan kondisi kayu limbah.

e. Faktor Eksploitasi

Untuk mengetahui faktor eksploitasi dari kegiatan pemanenan kayu ini adalah dengan membandingkan potensi kayu yang dimanfaatkan dengan potensi kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan dari pohon yang ditebang. Faktor Eksploitasi dihitung dengan rumus :

FE = Potensi kayu yang dimanfaatkan

Potensi kayu yang diperkirakan dapat dimanfaatkan

Analisis data

Data yang diperoleh dari limbah penyaradan, limbah di TPn dan limbah jalan angkutan dan TPK akan dianalisis secara deskriptif berupa kecenderungan (trend) data dalam bentuk tabel dan grafik. Akan tetapi sebelumnya dilakukan perhitungan volume limbah dari masing-masing limbah tersebut.

(34)

4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan

Pengelolaan IUPHHK PT. Autral Byna ditetapkan dari Keputusan Menteri Pertanian berupa Forestry Agreement (FA) No. FA/J/080/IX/73 tanggal 9 April 1969 dan SK HPH No. 635/Kpts/Um/X/74 tanggal 2 Oktober 1974 dengan luas 370.000 ha yang merupakan hasil penggabungan dari 2 HPH yaitu PT. Yuling Byna Corporation dan PT. Byna Harapan.

HPH PT. Yuling Byna Corporation ditetapkan berdasarkan Forestry Agreement (FA) No. FA/IV/007/IX/69 tanggal 9 April 1969 dan SK HPH No. 446/Kpts/Um/11/69 tanggal 13 November 1969 dengan luas 150.000 ha. Sedangkan PT. Byna Harapan ditetapkan berdasarkan Forestry Agreement (FA) No. FA/11/004/70/71 dan SK HPH No. 407/Kpts/Um/9/71 tanggal 23 September 1971 dengan luas 70.000 ha. Oleh karena itu dalam SK HPH No. 635/Kpts/Um/74 ditetapkan areal HPH PT. Austral Byna seluas 370.000 ha, yang berlaku selama jangka waktu pengusahaan hutan 20 tahun, yaitu dari 13 November 1969 s.d. 12 November 1989. Namun kemudian dari areal tersebut dilaporkan adanya tumpang tindih dengan areal HPH PT. Indexim Utama Corporation seluas 70.000 ha, hingga kemudian pada tahun 1975 sesuai dengan Surat Direktorat Jenderal Kehutanan No. 3162/DJ/I/75 tanggal 20 November 1975 disetujui pemisahan areal kepada HPH PT. Indexim Utama Corporation, sehingga luas HPH. PT. Austral Byna menjadi 300.000 ha.

Sejak tahun 1979 IUPHHK PT. Austral Byna telah berubah status PMA menjadi PMDN, sehingga status perusahaan berubah menjadi seluruhnya modal dalam negeri (sesuai dengan Undang No. 6 tahun 11968 Jo. Undang-Undang No. 12 tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri). Perusahaan PMDN ini telah disetujui oleh BKPM dengan surat No. 19/V/1979 tanggal 3 Desember 1979.

Setelah jangka pengusahaan hutan selama 20 tahun pertama (13 November 1969 s.d. 12 November 1989). PT. Austral Byna memperoleh izin perpanjangan HPH (sekarang IUPHHK pada Hutan Alam) berdasarkan SK Menteri Kehutanan

(35)

22

No. 142/Kpts – II/93 tanggal 27 Februari 1993 untuk jangka waktu pengusahaan hutan 20 tahun berikutnya, terhitung dari tanggal 13 November 1989 sampai dengan 12 November 2009 dengan areal seluas 294.600 Ha, yang termasuk kelompok hutan S. Teweh – S. Lahai dan S. Montalat – S. Sampirang di Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah. Terjadi pengurangan areal semula seluas 300.000 ha karena adanya pengurangan areal berupa hutan lindung seluas 500 ha dan 4.900 ha dialokasikan untuk HPHTI (sekarang IUPHHK pada Hutan Tanaman) Pola Transmigrasi PT. Purwa Permai yang dikeluarkan dari areal IUPHHK PT. Austral Byna.

4.2 Letak dan Luas Areal

Areal IUPHHK PT. Austral Byna secara geografis berada antara posisi 0° 30' - 1° 68' LS dan 114° 45' - 115° 45' B. Secara administrasi pemerintahan termasuk keadaan wilayah kecamatan Lahai, Teweh Timur dan Gunung Purui, Kabupaten Barito Utara dengan Ibukota Muara Teweh - Provinsi Kalimantan Tengah dengan Ibukota Palangkaraya. Areal IUPHHK tersebut termasuk kedalam kelompok hutan S. Teweh - S. Lahai dan S. Montallat - S. Sempirang, dan termasuk kedalam BKPH Muara Teweh, KPH Murung Utara - Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah. Adapun batas-batas luar areal IUPHHK PT. Austral Byna tersebut adalah :

1. Sebelah Utara : Berbatasan dengan Areal Kerja IUPHHK PT. Inhutani III (Eks PT. Antang Kalimantan), PT. Inhutani II (Eks PT. Nara Kalimantan), PT. Djajanti Djaja II dan HTI PT. Rimba Berlian Hijau.

2. Sebelah Timur : Berbatasan dengan IUPHHK PT. Barito Pacific Lumber dan PT. Timber Dana, PT. Dayak Besar Vincent dan Hutan Lindung.

3. Sebelah Selatan : Berbatasan dengan IUPHHK PT. Indexim Utama, PT. Sindo Lumber, dan PT. Djajanti Djaja.

4. Sebelah Barat : Berbatasan dengan IUPHHK PT. Antang Kalimantan, PT. Alam Indo Jaya, PT. Barito Pacific Lumber, HTI PT. Rimba Berlian Hijau dan HTI PT. Purwa Permai.

Luas areal IUPHHK PT. Austral Byna adalah 294.600 ha. Areal tersebut, pada Rotasi I (RKL VII) memiliki sisa virgin forest efektif seluas 11.700 ha,

(36)

sedangkan pada Rotasi II (RKL VIII s/d XIV) semua areal berhutan merupakan bekas tebangan (Logged Over Area/LOA) rotasi I seluas 159.893 hektar. Luas efektif LOA setelah dikurangi areal IUPHHK pada Hutan Tanaman PT. Purwa Permai, kawasan transmigrasi, pemukiman, kawasan lindung dan kawasan tidak untuk produksi, adalah seluas 140.220 ha.

4.3 Topografi

Kondisi Topografi areal IUPHHK PT. Austral Byna diperoleh dari peta bumi Skala 1: 50.000 (BAKOSURTANAL, 1985), yang kemudian dicek dengan survey topografi yang dilakukan dengan metoda jalur rintisan dengan interval 2 km. Dari kedua sumber data inilah selanjutnya dibuat Peta Kelas Lereng areal IUPHHK PT. Austral Byna. Luasan setiap kelas lereng di areal IUPHHK PT. Austral Byna disajikan pada peta tabel 4, sedangkan distribusinya dapat dilihat pada Peta Kelas Lereng.

Tabel 4 Distribusi kelas lereng di Areal Kerja IUPHHK PT. Austral Byna

Kode Kelas Lereng (%) Topografi Luas %

A 0-8 Datar 250.034 87,01

B 8-15 Landai 27.431 9,54

C 15-25 Agak Curam 7.052 2,45

D 25-40 Curam 1.798 0,63

E >40 Sangat Curam 1.063 0,37

Sumber: Peta Rupa Bumi Skala 1: 50.000 (BAKOSURTANAL, 1985) dan Hasil Survey Lapangan (1994)

4.4 Iklim

Berdasarkan kriteria Schmidt & Ferguson, areal IUPHHK PT. Austral Byna termasuk dalam Tipe Iklim nilai Q berkisar 0 – 13%. Berdasarkan data dari Stasiun Meteorologi Bandara Beringin Muara Teweh, curah hujan bulanan tertinggi dalam kurun waktu 1992 – 2002 sedangkan bulan dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November 2001. Curah hujan terendah adalah 7 mm yang terjadi pada bulan November 1991. Jumlah hari hujan tahunan rata-rata adalah 212 hari, pernah terjadi pada tahun 1992 dimana jumlah hari hujan hanya 120 hari yang terendah dalam kurun waktu 1992 – 2002 sedangkan yang tertinggi

(37)

24

terjadi pada tahun 1995 dengan 247 hari hujan. Nilai curah hujan rata-rata dan hari hujan tahunan rata-rata disajikan pada tabel 5.

Sesuai tipe iklimnya, areal IUPHHK ini mempunyai curah hujan yang tinggi dengan persebaran yang hampir merata sepanjang tahun, artinya tidak terjadi musim kemarau atau bulan kering yang panjang. Jumlah hari hujan rata-rata bulanan terjadi dalam bulan Desember dan terendah pada bulan Juni. Mengingat seluruh areal IUPHHK ini hanya terdiri dari satu tipe iklim yaitu A, maka tidak dilakukan pemetaan iklim terpisah melainkan disajikan satu Peta Hidrologi.

Suhu udara tertinggi dalam kurun waktu sepuluh tahun (1992 – 2002) rata-rata terjadi pada bulan Mei yakni 26,8°C (tabel 5). Secara umum daerah termasuk lembab, sehingga tidak rawan terhadap kebakaran hutan.

Tabel 5 Karakteristik iklim di Areal IUPHHK PT. Austral Byna

Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan (han) Suhu (°C) Kelembaban (%) Kec. Angin (knot) Januari 294 19 26,1 85 0.23 Februari 254 18 26,1 84 0,24 Maret 285 19 26,1 85 0,30 April 325 19 26,1 84 0.26 Mei 283 19 26,8 45 0,20 Juni 141 13 26,5 84 0,20 Juli 170 14 26,9 85 0,20 Agustus 105 11 26,2 83 0.23 September 159 12 26,3 83 0,26 Oktober 251 17 26,7 83 0,26 November 327 20 26,3 85 0,24 Desember 321 22 26,3 85 0,24 Jumlah 2.195 203 - - - Rata-rata 183 17 26,3 84,25 0,24

Sumber: Stasiun Bandara Beringin, Muara Teweh (1992-2002)

4.5 Keadaan Hutan

Hutan areal IUPHHK PT. AUSTRAL BYNA termasuk ke dalam hutan tropika basah daratan rendah. Bentuk vegetasinya merupakan areal berhutan

(38)

primer, bekas tebangan dan non hutan dengan luasan seperti disajikan pada tabel 6 sebagai berikut :

Tabel 6 Luasan setiap bentuk vegetasi di Areal IUPHHK PT. Austral Byna

No. Bentuk Vegetasi Luas

Ha % 1. 2. 3. 4. Hutan Primer

Hutan Bekas Tebangan Non Hutan Tertutup Awan - 156.293 132.240 6.067 - 53,10 44,90 2,10 Jumlah 294.600 100.00

Keterangan : Pengukuran Planimetris Peta Penafsiran Potret Udara Tahun 1995 dan Citra Landsat Tahun 2005. Hasil deliniasi citra landsat 2005 ( Juni & April ) dikompilasi data Juli 2005 menghasilkan areal Non Hutan menjadi 134.707 Ha dan eks tebangan 159.893 Ha.

Berdasarkan hasil inventarisasi/survey dan penafsiran Potret Udara (PU), Citra Landsat, hutan di areal IUPHHK didominasi oleh jenis-jenis Meranti Merah (Shorea parvifolia Dyer), Nyatoh (Palaqium xantochyum), Bayan (Hopea

bracteate Bunck) dan Kempas (Koompasia malaccensis Maing), sedangkan pada

areal bekas tebangan antara lain Keruing (Dipterocarpus grandiflorus Blanco), Benuang (Costumile sumatrana), Meranti (Shorea ovalis BL), Lanan (Shorea

reduso Heim), Pampaning (Quencis beneti Mig), Bangkirai (Hopea sp.)

4.6 Pengusahaan Hutan

Sistem pemanenan hutan yang diterapkan PT. Austral Byna adalah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), akan tetapi mulai tahun 2005 PT. Austral Byna juga melaksanakan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (SILIN). Oleh karena itu, sistem yang diterapkan di PT. Austral Byna ini ada 2 sistem yaitu Sistem TPTI dan TPTII.

Sistem pemanenan yang dilakukan di PT. Austral Byna adalah sistem pemanenan secara mekanis, artinya semua kegiatan dilaksanakan dengan menggunakan bantuan mesin. PT. Austral Byna pada RKT 2008, sistem yang digunakan yaitu TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia). Karena areal hutan yang menjadi target produksi masuk dalam kategori Hutan Produksi Terbatas.

Penebangan yang dilaksanakan di PT. Austral Byna dilaksanakan oleh regu tebang yang terdiri dari 2 orang yaitu satu orang chainsawman dan satu

(39)

26

orang pembantu. Regu tebang merupakan tenaga kerja yang berasal dari areal PT. Austral Byna dan ada juga yang dari luar. Jumlah regu tebang yang ada yaitu berjumlah 6 regu tebang, selain itu mereka juga menggunakan chainsaw milik sendiri. Setelah penebangan selesai dilakukan, sebelum dilakukan kegiatan penyaradan, petak tebang tersebut akan diperiksa oleh mandor blok produksi yaitu untuk mengetahui apakah kayu yang ditebang telah sesuai dengan yang direncanakan.

Pada PT. Austral Byna kegiatan penyaradan dilakukan dengan menggunakan traktor hal ini dikarenakan jalan sarad yang belum dibuat, sehingga pelaksanaan penyaradan dimulai dengan terlebih dahulu helper masuk kedalam petak tebang untuk mencari letak kayu yang sudah ditebang, baru kemudian operator traktor melakukan kegiatan penyaradan kayu. Kegiatan penyaradan ini juga sangat tergantung cuaca. Hal ini disebabkan kondisi lapangan yang cukup sulit, selain juga untuk menghindari pemadatan pada tanah dan kerusakan tegakan, juga efisiensi waktu kerja dan jumlah kayu yang berhasil disarad.

Pengangkutan dilakukan setelah penyaradan dan pemuatan. Alat angkut yang digunakan perusahaan untuk kegiatan ini adalah Logging Truck. Biasanya kegiatan pengangkutan dilakukan setelah semua kayu disarad ke TPn, pengangkutan juga sangat bergantung pada cuaca dan jalan angkutan.

Jenis-jenis yang ditebang adalah Meranti, Kapur, Keruing, Bangkirai, Mersawa, Balau merijang, Perupuk, Lambin, Nyatoh dan ada juga jenis lainnya. Di PT. Austral Byna, kayu hasil pemanenan dialokasikan untuk kebutuhan industri sendiri yaitu industri plywood dan sawmill.

(40)

5.1 Pelaksanaan Operasional Pemanenan PT. Austral Byna

Pemanenan hasil hutan merupakan rangkaian kegiatan untuk mempersiapkan dan memindahkan kayu dari hutan ketempat penggunaan atau pengolahan. Dalam kegiatan ini terdapat empat komponen utama yaitu penebangan (felling), penyaradan (skidding), muat bongkar (loading and

unloading) dan pengangkutan (hauling). Sistem pemanenan yang dilakukan di

PT. Austral Byna adalah sistem pemanenan secara mekanis, artinya semua kegiatan dilaksanakan dengan menggunakan bantuan mesin. PT. Austral Byna pada RKT tahun 2008 yang lalu, sistem silvikultur yang digunakan yaitu TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) karena areal hutan yang menjadi rencana target produksi masuk dalam kategori Hutan Produksi Terbatas.

Penebangan di PT. Austral Byna dilaksanakan oleh regu tebang yang terdiri dari 2 orang yaitu satu orang chainsawman dan satu orang pembantu. Regu tebang merupakan tenaga kerja yang berasal dari areal PT. Austral Byna dan ada juga yang berasal dari luar, selain itu mereka juga menggunakan chainsaw milik sendiri karena sistem kerja yang diterapkan bersifat borongan.

Untuk penentuan arah rebah saat penebangan pohon dilakukan oleh penebang pohon. Metode penebangan yang dilakukan adalah pohon perpohon. Dalam proses penebangan di PT. Austral Byna terkadang tidak dilakukan pembersihan tumbuhan bawah atau semak-semak di sekitar pohon tebang hal ini dilakukan karena para penebang ingin mengejar target produksi.

Setelah pohon rebah biasanya penebang hanya melakukan pembersihan cabang dan ranting. Untuk pembagian batang dilakukan setelah kayu disarad ke TPn yang biasanya diawasi oleh scaler-nya langsung. Setelah penebangan selesai dilakukan, sebelum dilakukan penyaradan petak tebang tersebut akan diperiksa oleh mandor blok produksi yaitu untuk mengetahui apakah kayu yang ditebang telah sesuai dengan yang direncanakan, namun jika masih ada kayu yang tertinggal maka penebang diminta untuk menebangnya lagi.

Gambar

Gambar 5 Limbah potongan pendek.
Tabel 10 Volume rata-rata limbah pada TPn yang terjadi di PT. Austral Byna  Petak  TPn  Luas (ha)  Jumlah TPn  (unit)  Volume Total (m3)  Volume rata-rata  (m 3 /TPn)  Jumlah  Limbah (log)  CU 52  100  3  78,967  26,322  26  CT 53  100  2  53,686  26,843
Gambar 9 Potensi limbah potongan pendek di Tpn 1.
Gambar 10 Potensi limbah pada jalan angkutan kayu PT. Austral Byna.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah menghitung kuantitas kayu sisa pemanenan berdiameter ≥ 5 cm di petak tebang setelah kegiatan pemanenan, menganalisis pengaruh jarak

kerusakan pohon berdiameter ≥ 20 cm yang disebabkan pemanenan kayu menggunakan metode RIL dan CL; (2) Menganalisis hubungan tingkat kerusakan pohon berdiameter ≥ 20 cm

Penelitian ini bertujuan untuk megindetifikasi jenis-jenis limbah pemanenan kayu, menghitung potensinya, menghitung faktor eksploitasi, dan melihat berpengaruh atau tidak diameter

Penelitian ini bertujuan untuk megindetifikasi jenis-jenis limbah pemanenan kayu, menghitung potensinya, menghitung faktor eksploitasi, dan melihat berpengaruh atau tidak diameter

Tujuan penelitian ini adalah menghitung kuantitas kayu sisa pemanenan berdiameter ≥ 5 cm di petak tebang setelah kegiatan pemanenan, menganalisis pengaruh jarak

Dari Tabel 1, dapat dilihat bahwa limbah kayu yang terjadi pada kegiatan pemanenan kayu di IUPHHK-HA PT Kemakmuran Berkah Timber berkisar antara 0,577-0,728 m /pohon dengn rata-

Potensi tegakan pada areal yang belum ditebang (virgin forest) untuk jenis komersial berdiameter 20 cm – 49 cm adalah 65,63 m3/ha sedangkan untuk pohon-pohon berdiameter 50 cm ke

Volume limbah yang digunakan untuk mengetahui hubungan kemiringan lereng, intensitas tebang, luas bidang dasar, dan keterampilan penebang terhadap besarnya limbah adalah jenis