• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

STATUS HUKUM OBJEK JAMINAN HAK TANGGUNGAN YANG DISITA OLEH PENGADILAN KARENA BERKAITAN DENGAN

KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI A. Prinsip-Prinsip Umum Hak Tanggungan

Pengertian Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah adalah :

“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”

Dari rumusan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang, Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu benda jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak Atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Agraria.53

Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah yang kuat danmampu memberikan kepastian hukum bagi para pihak, mempunyai denganciri-ciri sebagai berikut :

53Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Kencana Prenada Media Group,

(2)

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya (kreditur tertentu).

Dari definisi mengenai Hak Tanggungan sebagaimana dikemukakan di atas, diketahui bahwa Hak Tanggungan memberikan kedudukan yangdiutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lain. Yang dimaksud dengan “kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”, dapat dijumpai dalam Penjelasan Umum angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah, yaitu :“…. Bahwa jika debitur cidera janji, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual tanah yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain….”Ciri ini dalam ilmu hukum dikenal dengan istilah

droit de preference.

2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada. Ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada, sehingga Hak Tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih ke pihak lain oleh sebab apa pun juga. Asas yang disebut

droit de suite memberikan kepastian kepada kreditur mengenai haknya untuk

memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah penguasaan fisik atau Hak Atas Tanah penguasaan yuridis, yang menjadi objek Hak Tanggungan bila debitur

(3)

wanprestasi, sekalipun tanah atau hak atas tanahyang menjadi objek Hak Tanggungan itu dijual oleh pemiliknya atau pemberi Hak Tanggungan kepada pihak ketiga

3. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan.

Asas spesialitas diaplikasikan dengan cara pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Sedangkan asas publisitas diterapkan pada saat pendaftaran pemberian Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.54

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.

Keistimewaan lain dari Hak Tanggungan yaitu bahwa Hak Tanggungan merupakan hak jaminan atas tanah yang mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Apabila debitur wanprestasi tidak perlu ditempuh cara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya. Bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan disediakan cara-cara khusus, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Menurut Arie S. Hutagalung dengan ciri-ciri tersebut diatas, maka diharapkan sektor perbankan yang mempunyai pangsa kredit yang paling besar dapat terlindungi dalam menyalurkan dana kepada masyarakat dan secara tidak langsung dapat

54Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tangungan Azas-Azaz Ketentuan-Ketentuan Pokok dan

Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung 1999, hal.8.

(4)

menciptakan iklim yang kondusif dan lebih sehat dalam pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.55

Disamping memiliki empat ciri di atas Hak Tanggungan juga mempunyai beberapa sifat, seperti :

a. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi

Maksud dari Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, yaitu Hak Tanggungan membebani secara utuh objeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian objek dari beban Hak Tanggungan. Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap membebani seluruh objek untuk sisa utang yang belum dilunasi.

Akan tetapi seiring berkembangnya kebutuhan akan perumahan, ketentuan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yaitu dalam halsuatu proyek perumahan atau rumah susun ingin diadakan pemisahan. Apabila tanahnya dibebankan Hak Tanggungan, ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah akan menyulitkan penjualan rumah atau satuan rumah susun yang telah dibangun tersebut. Oleh karenanya untuk mengatasi permasalahan, maka ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah membuka kesempatan untuk menyimpangi sifat tersebut, jika Hak Tanggungan dibebankan

55 Arie. S. Hutagalung, Serba Aneka Masalah Tanah Dalam Kegiatan ekonomi, Suatu

Kumpulan Karangan, Cetakan Kedua, Badan Penerbit Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, Depok 2002, hal.255.

(5)

pada beberapa Hak Atas Tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan angsuran sebesar nilai masing-masing Hak Atas Tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian Hak Tanggungan hanya akan membebani sisa objekuntuk sisa hutang yang belum dilunasi. Agar hal ini dapat berlaku, makaharus diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.

b. Hak Tanggungan merupakan perjanjian accesoir.

Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin pelunasan hutang debitur kepada kreditur, oleh karena itu Hak Tanggungan merupakan perjanjian accesoir pada suatu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang sebagai perjanjian pokok. Kelahiran, eksistensi, peralihan, eksekusi, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya ditentukan oleh peralihan dan hapusnya piutang yang dijamin pelunasannya. Tanpa ada suatu piutang tertentu yang secara tegas dijamin pelunasannya, maka menurut hukum tidak akan ada Hak Tanggungan.56

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak TanggunganAtas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, menyebutkan bahwa yang menjadi Objek Hak Tanggungan adalah :

1. Hak milik; 2. Hak guna usaha; 3. Hak guna bangunan;

56 Rosa Agustina, Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Objek Hak Tanggungan, Citra Ilmu,

(6)

4. Hak pakai atas tanah negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani dengan Hak Tanggungan.

Walaupun tidak disebutkan secara tegas, tetapi mengingat Hak Tanggungan merupakan bagian dari pengaturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (vide Pasal 51 juncto Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), maka kiranya bisa kita simpulkan, bahwa hak-hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan, sebagaimana yang disebut di atas, adalah hak-hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Disampingitu, menurut Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah berbunyi:“Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada dan yang akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, dan yang merupakanmilik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam akta pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.”

Jadi selain tanah, bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanahnya dapat dijadikan objek Hak Tanggungan. Perhatikan baik-baik syarat “merupakan satu-kesatuan” dengan tanahnya. Namun, perlu diperhatikan dengan baik bahwa penyebutannya adalah: “juga dapat dibebankan “pada hak atas tanah....”, dari cara penyebutan mana kitatahu, bahwa bangunan, tanaman dan hasil

(7)

karya itu hanya bisa menjadi objek Hak Tanggungan kalau tanah di atas mana bangunan itu berdiri, tanaman itu tumbuh dan hasil karya itu berada juga dijaminkan dengan Hak Tanggungan. Benda-benda di luar tanah, yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat(4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tidak bisa dijaminkan dengan Hak Tanggungan terlepas dari tanahnya.

Penyebutan “yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah tersebut” mengingatkan kepada syarat “dipersatukan secara permanen atau nagelvast” dan “dengan akar tertancap dalam tanah atau wortelvast” pada hipotik. Jadi, walaupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menganut asas hukum adat dan karenanya menganut asas pemisahan horisontal, namun di sini disyaratkan harus merupakan satu-kesatuan dengan tanahnya.

Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah ternyata meliputi juga bangunan yang ada di permukaan tanah, seperti basement. Jadi, yang ada dibawah tanah hanya meliputi bangunan, atau bagian dari bangunan, yang ada dibawah tanah, dan ada hubungannya dengan tanah yang ada diatasnya. Karenanya, tambang dan mineral tidak termasuk didalamnya.

Subjek Hak Tanggungan adalah: 1. Pemberi Hak Tanggungan

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak

(8)

Tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.

Penyebutan “orang perseroangan” atau “badan hukum” adalah berlebihan, karena dalam pemberian Hak Tanggungan objek yang dijaminkan pada pokoknya adalah tanah, dan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,yang bisa mempunyai hak atas tanah adalah baik orang perserorangan maupun badan hukum -vide Pasal 21, Pasal 30, Pasal 36, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Untuk masing-masing hak atas tanah, sudah tentu pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik hak atas tanah harus memenuhi syarat pemilikan tanahnya, seperti ditentukan sendiri-sendiri dalam undang-undang.57

Selanjutnya syarat, bahwa pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan hukum atas objekyang dijaminkan adalah kurang lengkap, karena yang namanya tindakan hukum bisa meliputi, baik tindakan pengurusan atau beschikkingsdaden, padahal tindakan menjaminkan merupakan tindakan pemilikan bukan pengurusan, yang tercakup oleh tindakan pengurusan. Jadi, lebih baik disebutkan, bahwa syaratnya adalah pemberi Hak Tanggungan harus mempunyai kewenangan tindakan pemilikan atas benda jaminan.

Kewenangan tindakan pemilikan itu baru disyaratkan pada saat pendaftaran

57Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

(9)

Hak Tanggungan menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, bahwa orang menjanjikan Hak Tanggungan pada saat benda yang akan dijaminkan belum menjadi miliknya, asal nanti padasaat pendaftaran Hak Tanggungan, benda jaminan telah menjadi milik pemberi Hak Tanggungan. Ini merupakan upaya pembuat undang-undang untuk menampung kebutuhan praktik, dimana orang bisa menjaminkan persil, yang masih akan dibeli dengan uang kredit dari kreditur.58

Pada praktek pelaksanaanya, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah banyak Kantor Pertanahan yang ragu-ragu atau menolak pendaftaran hipotik jika kreditur merupakan orang perorangan. Hal ini rupanya diantisipasi oleh pembentuk Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, sehingga kini orang perorangan dimungkinkan secara tegas sebagai penerima Hak Tanggungan. Walaupun demikian sejauh mungkin harus dicegah adanya praktik rentenir, yang menyalahgunakan peraturan Hak Tanggungan ini.59

2. Pemegang Hak Tanggungan

Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Penerima Hak Tanggungan, yang sesudah pemasangan Hak Tanggungan akan menjadi pemegang Hak Tanggungan, yang adalah juga kreditur dalam perikatan pokok, juga bisa orang perseorangan maupun badan hukum. Di sini tidak ada kaitannya dengan syarat pemilikan tanah, karena pemegang Hak Tanggungan memegang jaminan pada asasnya tidak dengan maksud untuk nantinya, kalau debitur wanprestasi, memiliki persil jaminan.60

58

Elli Erawaty, Beberapa Pemikiran Tentang Hak Tanggungan, Eressco, Bandung, 2008, hal. 77

59 H. M. Ridhwan Indra, Mengenal Undang-Undang Hak Tanggungan, Cetakan Pertama,

Penerbit Cv Trisula, Jakarta, 1997, hal. 22.

60 Achmadi Purwanto, Hukum Jaminan Hak Tanggungan Dalam Kredit Perbankan, Citra

(10)

Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan DenganTanah disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai kreditur. Menentukan siapa yang bisa menjadipemegang Hak Tanggungan tidak sesulit menentukan siapa yang bisabertindak sebagai pemberi Hak Tanggungan. Karena seorang pemegang Hak Tanggungan tidak berkaitan dengan pemilikan tanah dan padaasasnya bukan orang yang bermaksud untuk memiliki objek Hak Tanggungan bahkan memperjanjikan. Bahwa objek Hak Tanggungan akanmenjadi milik pemegang Hak Tanggungan, kalau debitur wanprestasi adalah batal demi hukum sesuai Pasal 12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-BendaYang Berkaitan Dengan Tanah.

Dari penegasan bahwa yang bisa bertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan adalah “orang-perseorangan” atau “badan hukum”, kita bisa menyimpulkan bahwa yang bisa menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah orang alamiah ataupun badan hukum. Yang namanya badan hukum bisa Perseroan Terbatas, Koperasi, dan Perkumpulan yang telah memperoleh status sebagai badan hukum ataupun yayasan. Diatas tidak disebutkan Perseroan Komanditer atau commanditer

venootschap. Inimembawa persoalan lain, yaitu apakah Perseroan Komanditer

bisabertindak sebagai pemegang Hak Tanggungan, mengingat bahwa Perseroan Komanditer di Indonesia belum secara resmi diakui sebagai badan hukum, sekalipun harus diakui, dalam praktik sehari-hari kita melihat adanya pengakuan secara tidak

(11)

resmi dari anggota masyarakat, seakan-akan Perseroan Komanditer bisa mempunyai hak dan kewajiban sendiri?61

Pembebanan Hak Tanggungan merupakan suatu proses yang terdiri atasdua tahap, yaitu diawali dengan tahap pemberian Hak Tanggungan dan akan diakhiri dengan tahap pendaftaran. Dimana tata cara pembebanan Hak Tanggungan ini wajib memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Tahap pemberian Hak Tanggungan dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang, dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat spesialitas. Sedangkan tahap pendaftaran Hak Tanggungan dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat, dengan pembuatan buku tanah Hak Tanggungan dan Sertipikat Hak Tanggungan, untuk memenuhi syarat publisitas. Proses pembebanan Hak Tanggungan akan diuraikan sebagai berikut:62

1. Tahap pemberian Hak Tanggungan

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji akan memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu. Janji tersebut wajib dituangkan di dalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atauperjanjian lainnya menimbulkan utang.

Pemberian Hak Tanggungan ini dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian

61 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku Satu,

Cetakan Pertama, Penerbit PT Citra aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal. 268.

62

(12)

Hak Tanggungan yang bersifat autentik. Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat oleh dan/atau dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang. Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Formulir Akta Pemberian Hak Tanggungan berupa blanko yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasioanal.

Akta Pemberian Hak Tanggungan ini dibuat dua rangkap asli atau inoriginali yang masing-masing ditandatangani oleh pemberi Hak Tanggungan atau debitur atau penjamin, pemegang Hak Tanggungan atau kreditur, dua orang saksi dan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Lembar pertama disimpan di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah dan lembar kedua diserahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan untuk keperluan pendaftaran Hak Tanggungan. Sedangkan para pihak hanya diberikan salinan dari Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut.63

Surat-surat yang wajib diserahkan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk keperluan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, yaitu :64

a. Surat-surat mengenai tanah berupa sertipikat Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan; b. Surat-surat mengenai orang, berupa identitas pemberi dan pemegang Hak

Tanggungan;

63Kartini Muldjadi dan Gunawan Widjaja, Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta, 2006,

hal. 25

(13)

c. Surat-surat mengenai prosedur tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran Hak Tanggungan;

d. Surat mengenai perjanjian, berupa salinan akta atau surat pemberian kredit. Dalam rangka memenuhi syarat spesialitas pada Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan :65

1) Nama dan identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan;

2) Domisili pihak-pihak tersebut, jika salah satu pihak berdomisili diluar negeri, harus dicantumkan domisili pilihan di Indonesia, jika tidak kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap sebagai domisili pilihannya; 3) Penunjukan secara jelas utang-utang yang dijamin, yang meliputi juga

nama dan identitas debitur, kalau pemberi Hak Tanggungan bukan debitur;

4) Nilai Hak Tanggungan;

5) Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.

Ketentuan tersebut menetapkan isi yang bersifat wajib danmerupakan syarat sah pemberian Hak Tanggungan. Bila tidak dicantumkan secara lengkap, maka mengakibatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum.

Akta Pemberian Hak Tanggungan didalamnya dapat pula dicantumkan janji-janji yang bersifat fakultatif, dimana janji-janji-janji-janji tersebut tidak wajib, dapat diperjanjikan atau tidak, sesuai dengan kesepakatan diantara para pihak, janji-janji

(14)

yang dapat dicantumkanAkta Pemberian Hak Tanggungan, antara lain:

a) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.

b) Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk dan tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.

c) Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola objek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak objek Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji.

d) Janji untuk memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi dan untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.

e) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji.

f) Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan.

g) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.

h) Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. i) Janji bahwa pemegang Hak Tanggunganakan memperoleh seluruh atau

sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika objek Hak Tanggungan diasuransikan.

j) Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan.

k) Janji bahwa sertipikat Hak atas Tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan diserahkan kepada kreditur.66

66 Djoko Retnadi, Pemberian Hak Tanggungan Dalam Praktek Kredit Perbankan, Elex

(15)

Janji-janji sebagaimana tersebut diatas tidak hanya memperhatikan kepentingan pemegang Hak Tanggungan saja, tetapi juga kepentingan pemberi Hak Tanggungan. Janji-janji tersebut akan mengikat pihak ketiga setelah Hak Tanggungan tersebut lahir, yaitu pada saat pendaftaran Hak Tanggungan. Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan terdapat janji yang dilarang untuk diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan,yaitu janji yang memberi wewenang kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan secara serta merta, apabila debitur cidera janji. Larangan tersebut merupakan suatu pembatasan yang diadakan dalam rangka melindungi kepentingan pemberi Hak Tanggungan, jika tetap diperjanjikan maka akan batal demi hukum.67

Berdasarkan asasnya pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan sebagai pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum untuk membebankan Hak Tanggungan atas objek yang dijadikan jaminan utang. Namun apabila pemberi Hak Tanggungan benar-benar berhalangan hadir, dalam hal ini pemberi Hak Tanggungan wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Penunjukan tersebut harus dilakukan dengan akta autentik yang dibuat oleh notaris.68

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan isinya harus memenuhi syarat sebagai berikut:

67 Gunawan Salim, Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Pengikatan Jaminan Hak Tanggungan,

Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 30

68Kartono, Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Perbankan, Pradnya Paramitha, Jakarta,

(16)

(1)Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum selain dari membebankan Hak Tanggungan;

(2)Tidak memuat kuasa subtitusi;

(3)Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang, nama serta identitas kreditur dan debitur apabila debitur bukan pemberi Hak Tanggungan.69

Tidak terpenuhinya syarat tersebut diatas, mengakibatkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya.

Batas waktu penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yaitu untuk tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya satubulan sejak dibuatnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan bagi tanah yang belum terdaftar atau sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan wajib dibuat Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya tiga bulan sejak dibuatnya Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, jika tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan batal demi hukum.

Setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan selesai ditandatangani, selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja, Pejabat Pembuat Akta Tanah wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan ke Kantor Pertanahan setempat

(17)

beserta warkah-warkah lainnya yang diperlukan untuk pendaftaran.

Keterlambatan pengiriman tidak mengakibatkan batalnya Akta Pemberian Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan tetap wajib memproses pendaftaran Hak Tanggungannya, akan tetapi Pejabat Pembuat Akta Tanah bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan karena keterlambatan tersebut.

2. Tahap pendaftaran Hak Tanggungan

Dengan dilakukan pemberian Hak Tanggungan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, Hak Tanggungan ini baru memenuhi syarat spesialitas, sampai pada tahap tersebut Hak Tanggungan yang bersangkutan belum lahir dan kreditur pemegangnya belum memperoleh kedudukan yang diutamakan. Kelahiran dari Hak Tanggungan harus memenuhi syarat publisitas yang merupakan syarat mutlak dengan mendaftarkan padaKantor Pertanahan setempat.

Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten tempat objek Hak Tanggungan tesebut berada, dengan pembuatan buku tanah Hak Tanggungan atas dasar data yang terdapat pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dikirimkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan, setelah itu dicatat pada buku tanah dan disalin pada sertipikat objek Hak Tanggungan. Hak Tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan, yaitu hari kerja ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Selanjutnya Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sebagai surat tanda bukti dan adanya Hak Tanggungan,

(18)

dalam waktu tujuh hari setelah dibuatkan buku tanah Hak Tanggungan.70

Sertipikat Hak Tanggungan terdiri atas salinan buku tanah Hak Tanggungan dan salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat, dijilid menjadi satu dalam sampul sertipikat Hak Tanggungan, yang memuat irah-irah “ DEMI KEADILAN BERDASARKANKETUHANAN YANG MAHA ESA”, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan, sedangkan sertipikat objek Hak Tanggungan yangtelah dibubuhi catatan adanya beban Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemiliknya, kecuali apabila diperjanjikan lain.

3. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Hak Milik

Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah dengan status tanah Hak Milik dapat ditemukan dalam rumusan ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menyatakan secara tegas bahwa tanah dengan status Hak Milik dapat dijaminkan dengan membebani hak atas tanah tersebut dengan Hak Tanggungan. Selanjutnya ketentuan tersebut dipertegas dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dari rumusan Pasal 4 tersebut diketahui bahwa ternyataselain bidang tanahnya, bangunan, tanaman, dan

70 Yohannes Ibrahim, Tinjauan Yuridis Pendaftaran Hak Tanggungan, Refika Aditama,

(19)

hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan bidang tanah tersebut, baik yang merupakan milik pemegang hak atas tanah, dan sepanjang tindakan tersebut dilakukan oleh pemiliknya dan pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Berkenaan dengan pemberian Hak Tanggungan tersebut, dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Secara tegas ternyata bahwa saat pendaftaran pembebanan Hak Tanggungan adalah saat lahirnya Hak Tanggungan tersebut. Sebelum pendaftaran dilakukan, maka Hak Tanggungan tidak pernah ada. Hak Tanggungan lahir dengan dilaksanakannya pendaftaran pemberian Hak Tanggungan.71

Pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, pembebanan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan hak sewa untuk bangunan atas Hak Milik, dan pembebanan lain pada hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang ditentukan dengan peraturan perundang-undangan, dapat didaftar jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

71 Rahman Hasanuddin, Kekuatan Hukum Eksekutorial Hak Tanggungan, Remaja

(20)

B. Prosedur dan Tata Cara Eksekusi Hak Tanggungan

Eksekusi Hak Tanggungan merupakan suatu upaya bagi pemegang Hak Tanggungan untuk memperoleh kembali piutangnya, manakala debitur wanprestasi. Untuk itu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan.

Apabila debitur wanprestasi, kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berhak mengambil pelunasan piutangnya yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut, dengan hak mendahului dari pada kreditur-kreditur yang lain.

Kemudahan yang disediakan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan dalam rangka eksekusi atas objek Hak Tanggungan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:72

1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

2. Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertipikat Hak Tanggungan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Nomor

72Sudjana Rivai, Analisis Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996

Dalam Kaitannya Dengan Praktek Pemberian Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Perbankan, Tarsito, Bandung, 2008, hal. 52

(21)

4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

3. Penjualan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan.

Penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jikadiperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Demikian ditentukan oleh Pasal 20 Ayat (2) UUHT. Yang dimaksud dengan penjualan dibawah tangan adalah penjualan atas tanah yang dijadikan sebagai jaminan dan dibebani dengan Hak Tanggungan oleh kreditur sendiri secara langsung kepada orang atau pihak lain yang berminat, tetapi dibantu juga oleh pemilik tanah dan bangunan dimaksud.73 Oleh karena penjualan dibawah tangan dari obyek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, maka bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap obyek Hak Tanggungan atau agunan kredit apabila debitur tidak menyetujuinya.

Dalam praktek apabila terjadi kredit macet, debitur tidak kooperatif sehingga bank sulit untuk mendapatkan atau memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Syarat untuk dapat dilakukan penjualan dibawah tangan obyek Hak Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam keadaan-keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan dijual

73 Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-Kiat Cerdas,

(22)

dibawah tangan daripada dijual melalui pelelangan umum, apabila menurut pertimbangan bank hasil penjulan di bawah tangan lebih tinggi dibandingkan melalui pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang.74

Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak ada Pelaksanaan penjualan jaminan di bawah tangan ini harus didahului dengan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang terbit di daerah tempat lokasi tanah dan bangunan atau obyek Hak Tanggungan berada. Hal ini dilakukan minimal 1 (satu) bulan sebelum penjualan dilakukan serta tidak adasanggahan dari pihak manapun. Apabila tidak dilakukan, penjualan dapat dikatakan batal demi hukum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 20 UUHT.

Syarat untuk dapat dilakukan penjualan di bawah tangan obyek Hak Tanggungan adalah adanya kesepakatan atau persetujuan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan agar diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan dari nasabah debitur dapat

74Ridwuan Khairandy, Problematika Yuridis Eksekusi Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta,

(23)

terjadi karena:75

a. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak mempunyai iktikad baik sehingga sulit ditemui atau tidak kooperatif;

b. Nasabah debitur dan atau pemilik agunan tidak diketahui keberadaannya. Agar bank kelak dikemudian hari setelah kredit yang diberikan tidak mengalami kesulitan yang demikian, pada waktu kredit diberikan bank mensyaratkan agar di dalam perjanjian kredit diperjanjikan bahwa bank diberi kewenangan untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara dibawah tangan atau meminta kepada debitur untuk memberikan surat kuasa khusus yang memberikan kekuasaan kepada bank untuk dapat menjual sendiri agunan tersebut secara di bawah tangan.76 Bank melakukan tindakan seperti itu dengan alasan “jaga-jaga” yang tidak akan dipergunakan jika debitur membayar utangnya dengan lancar.77

Alasan lainnya yang biasa disampaikan oleh bank adalah sebagai tindakan “shock therapy” bagi debitur, agar tidak melakukan tindakan wanprestasi. Yang dimaksud dengan surat kuasa menjual yaitu: pemberian kuasa kepada pihak lain oleh atau penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yaitu menjual suatu obyek tertentu. Pada prinsipnya sebenarnya kuasa untuk menjual diberikan oleh karena pihak penjual ( pemilik tanah) tidak dapat hadir sendiri pada saat pembuatan akta jual beli karena alasan-alasan tertentu. Namun dalam praktek alasan pemberian kuasa

75Ibid, hal. 63

76 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok Dan

Masalah-Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Airlangga University Press, Surabaya, 1996, hal. 121

77Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan (Kumpulan Tulisan),

(24)

berkembang sesuai kebutuhan praktek.

Surat kuasa menjual, tunduk pada pengaturan surat kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata, berbunyi sebagai berikut : Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dari pasal tersebut kita dapat melihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah :

a. persetujuan;

b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan c. atas nama pemberi kuasa78

Pertama-tama, haruslah unsur-unsur dan syarat-syarat untuk sahnya suatu persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi, yaitu:

a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. kecakapan untuk membuat suatau perikatan; c. suatu hal tertentu; dan

d. suatu sebab yang halal.

Unsur kedua dari pemberian kuasa, yaitu mengenai memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas.

78 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang Kenotariatan, PT. Citra

(25)

Unsur ketiga di mana penerima kuasa melakukan tindakan hukum tersebut untuk dan atas nama pemberi kuasa. Penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya, tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Apakah penerima kuasa dalam melakukan sesuatu tindakan hukum tersebut selalu untuk kepentingan pemberi kuasa semata-mata, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa? Ada kemungkinan pemberian kuasa tersebut dilakukan atas nama pemberi kuasa, tetapi untuk kepentingan penerima kuasa sehingga dalam hal-hal tertentu justru kepentingan penerima kuasa tersebut merupakan tujuan dari pemberian kuasa tersebut, misalnya:

1. Suatu utang-piutang di mana kepada bank diberikan sebagai jaminan hak atas tagihan dari debitur, yang untuk keperluan mana debitur memberi kuasa kepada bank untuk menagih piutang tersebut dan hasilnya diperhitungkan dengan utang debitur;

2. Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa pemegang hipotik pertama diberi kuasa mutlak oleh pemberi hipotik untuk menjual persil yang dihipotikkan apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

Untuk lebih jelasnya, kami kutip Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata tersebut: Namun demikian, diperkenankanlah kepada si berpiutang hipotik pertama untuk, pada waktu diberikannya hipotik dengan tegas minta diperjanjikan bahwa jika uang tidak dilunasi semestinya atau jika bunga pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan.

(26)

Adapun dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah (UUHT), maka ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata tersebut tidak berlaku untuk jaminan berupa hak atas tanah dan bangunan.

Pasal 6 UUHT menyebutkan senada dengan ketentuan Pasal 1178 Ayat (2) KUHPerdata bahwa: Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.

Suatu perjanjian pendahuluan di mana para pihak berjanji dan mengikatkan diri akan melakukan suatu perjanjian lainnya (kemungkinan menunggu syarat tertentu telah dipenuhi). Umpamanya, dalam hal jual-beli sebidang tanah, di mana bakal penjual dan bakal pembeli bersetuju untuk melakukan jual-beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), tetapi syarat-syarat yang diperlukan untuk pelaksanaan jual-beli tersebut belum dipenuhi (sertipikat tanah hak atas nama penjual belum selesai, harga jual-beli belum lunas dan sebagainya). Dalam hal demikian, para pihak mengadakan perjanjianpendahuluan (perjanjian pengikatan jual-beli). Dalam perjanjian tersebut penjual memberikuasa kepada pembeli apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi (sertipikat tanah hak telah selesai tertulis atas nama penjual, harga jual beli telah dilunasi seluruhnya) mewakili penjual sebagai pemilik tanah hak

(27)

tersebut guna melaksanakan jual beli di hadapan PPAT.79

Dari contoh tersebut di atas dapat kita lihat bahwa penerima kuasa tidak saja mempunyai kekuasaan mewakili, (vertegenwoordigingsmacht), tetapi juga hak mewakili (vertegenwwoordigingsrecht). Di sini kepentingan penerima kuasa perlu diperhatikan mengingat berakhirnya suatu kuasa sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1813 KUHPerdata, di antaranya, karena ditariknya kembali kuasanya oleh pemberi kuasa. Hal tersebut diatur pula dalam Pasal 1814 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa si pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika terjadi demikian, akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa (kreditur atau bakal pembeli dalam contoh di atas) sangat dirugikan. Pemberian kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian, dimana pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian tersebut

(integrerend deel), karena tanpa adanya kuasa tersebut kepentingan penerima kuasa

akan sangat dirugikan, perlulah pemberian kuasa tersebut diberikan syarat bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali atau yang sekarang dikenal atau disalahartikan dengan “kuasa mutlak”.

Larangan kuasa mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan Hak Atas Tanah yang sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d peraturan Pemerintah Nomor

79Bambang Herwanto, Hukum Jaminan Hak Tanggungan Dalam Teori dan Praktek, Sinar

(28)

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kuasa mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu :

Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa; Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”

Pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali oleh pemberi kuasa adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai alas (titel) hukum yang sah. Menurut putusan HR 12 Januari 1984 6458, ketentuan Pasal 1814 KUHPerdata tidak bersifat memaksa juga bukan merupakan ketentuan yang untuk menyimpangi dari ketentuan tersebut, sepanjang penyimpangan tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan umum (van openbare orde) dan kesusilaan.

Seperti diketahui, ketentuan undang-undang mengenai perjanjian menganut system terbuka atau asas kebebasan berkontrak (Pasal 1338 KUHPerdata), berarti kita diperbolehkan membuat perjanjian mengenai apa saja dengan siapa saja, dan hal tersebut akan mengikat kita sebagaimana mengikatnya undang-undang. Undang-undang yang akan mengaturnya apabila para pihak sudah tidak mengaturnya dalam perjanjian yang telah dibuatnya karena ketentuan undang-undang mengenai perjanjian bersifat mengatur (aanvullend recht) dan tidak bersifat memaksa

(29)

(dwingend recht).

Apabila dipastikan debitur wanprestasi, berdasarkan ketentuan Pasal 20 Ayat (2) dan (3) UUHT :

1. Dibuat kesepakatan antara pemberi dan pemegang hak tanggungan untuk menjual di bawah tangan untuk memperoleh harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak;

2. Penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 bulan sejak dilakukan pemberitahuan oleh pemberi/ pemegang Hak Tanggungan kepada pihak yang berkepentingan;

3. Diumumkan paling sedikit dalam 2 surat kabar di daerah yang bersangkutan; 4. Tidak ada yang berkeberatan dengan penjualan tersebut.80

Bank dapat menjual obyek Hak Tanggungan tanpa melalui prosedur lelang dan juga tidak diperlukan kuasa untuk menjual. Dalam praktek perbankan penjualan di bawah tangan atas obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dengan beberapa cara dilihat dari itikad baik dari debitur atau pemberi Hak Tanggungan yaitu, debitur kooperatif, penjualan di bawah tangan dapat dilakukan melalui mekanisme :81

a. Jual-beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu pemberi Hak Tanggungan bertindak selaku penjual dengan calon pembeli dan langsung menanda tangani akta jual-beli atas tanah yang berkenaan dan disaksikan pihak bank selaku pemegang Hak Tanggungan. Dalam keadaan demikian biasanya debitur sendiri

80 Habib Adjie, Menjalin Pemikiran – Pendapat Tentang Kenotariatan (Kumpulan Tulisan),

PT. CitraAditya Bakti, 2013, Bandung, hal. 16

(30)

yang mencari pembeli untuk mendapatkan harga tertinggi.

b. Debitur atau pemberi Hak Tanggungan menandatangani surat pernyataan penyerahan agunan secara sukarela sekaligus surat kuasa menjual kepada orang yang ditunjuk oleh bank selaku pemegang Hak Tanggungan dan apabila sewaktu-waktu bank mendapatkan pembeli atas agunan tersebut, jual-beli dapat dilakukan berdasarkan alas hak surat kuasa menjual tersebut.

Permasalahan yang terjadi dalam praktek perbankan yaitu pemberian kuasa oleh debitur kepada kreditur untuk menjual agunan yang dituangkan dalam surat kuasa menjual yang dibuat pada saat atau bersamaan waktunya dengan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok dan Akta Pemberian Hak Tanggungan (disingkat APHT) sebagai pengikatan jaminan atau accesoir yang berisi janji-janji sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2) UUHT.

Surat Kuasa Menjual ini bertujuan untuk memberi kuasa kepada kreditur untuk menjual atau mengalihkan kepemilikan hak atas tanahnya apabila debitur wanprestasi, dan apabila kelak debitur wanprestasi maka pelaksanaan jual-beli berdasarkan surat kuasa menjual tersebut sebagai alas haknya dan sebagai pembelinya adalah bank itu sendiri dengan menunjuk karyawan, pemegang saham atau pihak lain sebagai atas nama untuk ” kepentingan” bank.

Menurut pertimbangan bank penjualan di bawah tangan berdasarkan surat kuasa menjual lebih efektif, artinya penjualan obyek hak tanggungan tersebut tidak memerlukanwaktu yang lama dan proses yang panjang dibandingkan melalui prosedur lelang dan efisien, artinya biaya lebih murah dibanding melalui lelang yang

(31)

membutuhkan biaya lebih besar terkait dengan prosedur lelang.82

C. Status Hukum Objek Jaminan Hak Tanggungan Yang Disita Oleh Pengadilan Karena Berkaitan Dengan Kasus Tindak Pidana Korupsi

Pengertian penyitaan dirumuskan dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi, “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan”.

Dari pengertian penyitaan di atas, secara hukum acara pidana dapat dikatakan bahwa penyitaan menurut KUHAP adalah upaya paksa yang dilakukan penyidik untuk :

1. Mengambil atau katakan saja “merampas” sesuatu barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang atau penyimpan. Tapi perampasan yang dilakukan dibenarkan hukum dan dilaksanakan menurut aturan undang-undang. Bukan perampasan liar dengan cara yang melawan hukum

(wederrechtelijk).

2. Setelah barangnya diambil atau dirampas oleh penyidik, ditaruh atau disimpan di bawah kekuasaannya.

Tujuan penyitaan agak berbeda dengan penggeledahan. Seperti yang sudah dijelaskan, tujuan penggeledahan dimaksudkan untuk kepentingan penyelidikan atau untuk kepentingan pemeriksaan penyidikan. Lain halnya dengan penyitaan. Tujuan

82 Purwoe Sudarnoto, Eksekusi Objek Jaminan Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan,

(32)

penyitaan, untuk kepentingan “pembuktian”, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang peradilan. Kemungkinan besar tanpa barang bukti, perkara tidak dapat diajukan ke sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkara tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan penyitaan untuk dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam penuntutan dan pemeriksaan persidangan pengadilan.83

Kadang-kadang barang yang disita, bukan milik tersangka. Adakalanya barang orang lain yang dikuasainya secara melawan hukum, seperti dalam perkara pidana pencurian. Atau memang barang tersangka, tapi yang diperolehnya dengan jalan melanggar ketentuan undang-undang atau diperoleh tanpa izin yang sah menurut perundang-undangan, seperti dalam tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi.

Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa, “Penyitaan dapat dilakukan dalam setiap tingkat proses pemeriksaan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan”. Penyitaan dalam proses perkara pidana menjangkau :

1. Penyitaan barang yang telah di Conservatoir Beslag (di sita) dalam sitaan perkara perdata.

2. Penyitaan barang yang berada dalam sita pailit (budel pailit)agar penyitaan dalam konteks proses perkara pidana yang menjangkau penyitaan barang dalam perkara perdata dapat benar-benar berjalan objektif, pengadilan harus

83 Marwadi Halim, Penyitaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan KUHAP, Bumi

(33)

benar-benar mempertimbangkan faktor relevansi dan urgensi yang digariskan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP secara utuh. Segi relevansi menunjuk kepada persyaratan barang yang boleh di sita menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu hanya terbatas pada :

a. Benda atau tagihan tersangka / terdakwa (seluruh atau sebagian), yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana b. Benda yang digunakan baik secara langsung melakukan tindak pidana

maupun mempersiapkan tindak pidana.

c. Benda yang digunakan menghalangi penyidikan

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana

yang dilakukan

Dari segi urgensi, telah ditegaskan dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yaitu, “Penyitaan dilakukan untuk melakukan pemeriksaan.”

Tindak pidana korupsi pada dasarnya telah diatur dalam KUH Pidana yang termuat pada Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 434 KUHPidana. Namun ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal KUHPidana sebagaimana tersebut di atas dirasakan kurang efektif dalam mengantisipasi atau bahkan mengatasi permasalahan tindak korupsi yang semakin meningkat di Indonesia. Oleh karena itu maka dipandang perlu untuk

(34)

membentuk suatu peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang tindak pidana korupsi dengan sanksi yang diperberat. Undang-undang khusus diluar KUHPidana yang pidana mengatur tentang tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan di Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1999. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang disahkan di Jakarta pada tanggal 21 November 2001.

Sebagaimana yang diketahui tindak pidana korupsi merupakan suatu extra

ordinary crime (kejahatan luar biasa) yang diatur dalam Undang-Undang No. 31

Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Selanjutnya Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan

(35)

keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)”. Pasal ini merupakan pasal yang menjelaskan tentang perbuatan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama

(deelneming), artinya bahwa perbuatan korupsi tersebut tidak dilakukan sendiri

namun juga melibatkan pihak lain secara bersama-sama menikmati korupsi tersebut karena penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan tersebut. Dalam kasus pemberian jaminan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN kepada bank PT. Bank Mega, Tbk dapat saja terjadi persengkokolan antara Account Officer (AO) PT. Bank Mega, Tbk dengan pihak pemberi Hak Tanggungan dengan tujuan untuk menyelamatkan aset dari pemberi Hak Tanggungan yang juga merupakan tersangka dalam kasus korupsi tersebut. Namun dalam pelaksanaan pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara pemberi Hak Tanggungan yaitu SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega, Tbk tidak didapati bukti yang cukup terhadap persengkokolan tersebut. Oleh karena itu pengikatan jaminan Hak Tanggungan antara SHANTI CHAERUDDIN dengan PT. Bank Mega, Tbk harus dipandang sebagai suatu itikad baik dari pihak PT. Bank Mega, Tbk sebagai jaminan hutang pemberi Hak Tanggungan atas pemberian fasilitas kredit yang telah diberikan oleh penerima Hak Tanggungan dalam hal ini adalah PT.Bank Mega, Tbk. Oleh karena itu maka hak-hak istimewa (droit de preference) dari PT. Bank Mega, Tbk yang dilindungi oleh UUHT wajib dihormati oleh institusi

(36)

pengadilan dengan tidak melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut.

Ketentuan Pasal 3Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak saja berlaku bagi pegawai negeri sipil atau pegawai negara yang menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri atau kelompoknya atau orang lain. Tindak pidana korupsi dapat pula dilakukan oleh orang/perusahaan swasta yang melaksanakan proyek pemerintah dimana anggarannya merupakan anggaran APBN atau APBD yang merupakan keuangan negara baik ditingkat pusat maupun di daerah. Pelaksanaan proyek pemerintah yang tidak berdasarkan rencana pengerjaan proyek yang telah ditetapkan dapat pula digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, karena telah menyalahgunakan keuangan negara yang seharusnya digunakan untuk pelaksanaan proyek tersebut.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu, sebagai pidana tambahan adalah :

a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan,begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut

(37)

b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi

c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun

d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

2. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

3. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

Dari rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut di atas dimungkinkan oleh undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut untuk melakukan penyitaan terhadap barang-barang tidak bergerak termasuk barang tidak bergerak yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan berdasarkan UUHT Nomor 4 Tahun 1996 sebagai jaminan hutang dari pemberi Hak Tanggungan

(38)

kepada penerima Hak Tanggungan. Apabila terjadi perampasan / penyitaan barang tidak bergerak yang telah menjadi objek Hak Tanggungan, maka akibatnya adalah menimbulkan kerugian bagi penerima Hak Tanggungan, karena objek jaminan Hak Tanggungan yang menjadi jaminan hutang dari debitur selaku pemberi Hak Tanggungan dirampas/disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde) yang mengakibatkan objek jaminan Hak Tanggungan itu tidak dapat lagi dieksekusi apabila debitur sebagai pemberi Hak Tanggungan melakukan wanprestasi atau tidak mampu melakukan pelunasan terhadap hutang-hutangnya.

Pasal 57 RBg (Rechtsreglement Butengewesten) menyebutkan bahwa, “pengadilan atau pejabat dan orang-orang teristimewa yang mewajibkan mengusut kejahatan dan pelanggaran selanjutnya harus mencari dan merampas barang-barang yang dipakai”. Dengan demikian, Benda Sitaan sebagai Pidana Tambahan (Pasal 10 KUHP) bisa terjadi peralihan kepemilikan dari personal ke negara. Penyitaan terhadap benda merupakan bagian dari pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana diantaranya adalah dengan perampasan barang-barang tertentu, hal ini sangat jelas sekali diatur dalam Pasal 10 KUHP.

UUHT telah memberikan dasar pengaturan hukum terhadap perlindungan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan, tetapi yang menjadi permasalahan apabila barang jaminan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut disita oleh negara dalam kasus tindak pidana korupsi. Pemberantasan tindak pidana korupsi bukan semata-mata untuk memberikan efek jera terhadap para pelaku namun

(39)

bertujuan dapat mengembalikan kerugian negara, sehingga diharapkan dapat dipergunakan untuk membangun perekonomian negara yang lebih baik. Disamping itu dengan mengoptimalkan hukuman terhadap pelaku korupsi dapat memberikan rasa takut pada yang lain untuk melakukan korupsi. Untuk mengembalikan kerugian keuangan dan perekonomian negara tersebut kemudian undang-undang memberikan sarana berupa pidana tambahan.84

Pada prinsipnya pemberian Hak Tanggungan dalam pemberian kredit pada lembaga keuangan baik bank maupun non bank bertujuan untuk melindungi kreditur dalam rangka pelunasan piutangnya, apabila debitur wanprestasi tetapi dalam kenyataannya kreditur sangat sulit mendapatkan pelunasan terhadap piutangnya apabila debitur yang bersangkutan tersangkut dalam suatu tindak pidana korupsi dan telah dijatuhi sanksi seperti yang disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Problematika hukum muncul ketika debitur dalam perkara pidana korupsi tersebut telah dijatuhkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan debitur tersebut berada dalam ketidakmampuan membayar atau debitur tersebut wanprestasi otomatis terjadi kredit macet. Apabila dalam putusan pengadilan tersebut dijatuhkan sanksi pidana dengan melakukan perampasan terhadap barang-barang yang terkait dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh debitur tidak terkecuali atas benda yang menjadi objek jaminan pada pihak ketiga, untuk selanjutnya barang rampasan tersebut dilakukan

84Benni Sudarmanto, Perlindungan Hukum Terhadap Kreditur Pemegang Hak Tanggungan,

(40)

eksekusi.

Dalam hal penyitaan objek Hak Tanggungan terkait dengan tindak pidana korupsi maka pihak pengadilan meskipun telah mengeluarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap tidak serta merta melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan yang dimiliki oleh terdakwa tersebut. Apabila barang-barang tersebut diduga terkait atau merupakan hasil dari tindak pidana korupsi maka penyitaan itu dapat saja dilakukan dengan memperhitungkan jumlah kerugian negara akibat dari perbuatan terdakwa. Pemberian jaminan barang-barang milik terdakwa yang terkait atau diperoleh dari hasil perbuatan tindak pidana korupsi dengan menggunakan lembaga jaminan Hak Tanggungan sering kali merupakan

modus operandi dari terdakwa untuk menyembunyikan dan mengamankan hasil

korupsinya dengan pertimbangan bahwa barang yang telah dijaminkan dengan menggunakan Hak Tanggungan tersebut tidak mungkin disita oleh negara karena sudah menjadi objek jaminan Hak Tanggungan kepada pihak bank.85

Eksekusi objek Hak Tanggungan oleh pihak bank juga tidak serta merta dilakukan karena pihak bank selaku kreditur masih memberi kesempatan berulang kali kepada debitur secara baik-baik untuk bisa membayar hutang-hutangnya. Eksekusi jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur baru dilakukan apabila upaya-upaya pendekatan dan somasi yang dilakukan pihak kreditur tidak ditanggapi dengan itikad baik oleh debitur. Dengan demikian dapat dikatakan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan oleh kreditur merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir yang dilakukan oleh kreditur dalam rangka melakukan pengambilan pelunasan piutangnya.

Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh pengadilan memberikan konsekuensi yuridis yang merugikan penerima Hak Tanggungan karena objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih status menjadi milik negara bukan lagi menjadi milik Hak Tanggungan. Oleh karena itu pemegang Hak Tanggungan (kreditur/bank) tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan karena objek

(41)

jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh negara melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan terjadinya penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan yang terkait dengan kasus tindak pidana korupsi maka pihak bank selaku kreditur yang hak-haknya dijamin oleh UUHT Nomor 4 Tahun 1996 selaku kreditur preference (kreditur yang diutamakan dalam pengambilan pelunasan piutangnya) menjadi terabaikan hak-haknya.

UUHT Nomor 4 Tahun 1996 tidak mengatur tentang perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan apabila objek jaminan Hak Tanggungan disita oleh negara. UUHT Nomor 4 Tahun 1996 hanya memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Tanggungan sebagai kreditur preference apabila diperhadapkan dengan kreditur-kreditur lainnya sebagai pihak swasta. Sifat istimewa dari kreditur pemegang Hak Tanggungan(droit de preference) menjadi terbaikan karena kreditur preference tersebut dihadapkan dengan kewajiban kepada negara. Kewajiban kepada negara tersebut diantaranya adalah hutang pajak yang harus didahulukan dan pembayaran biaya lelang kepada negara. Kedua kewajiban tersebut wajib didahulukan oleh setiap warga negara kepada negara.

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa, Pihak ketiga yang merasa dirugikan atas putusan pengadilan yang melakukan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut dapat mengajukan keberatan bila eksekusi belum dilaksanakan”. Apabila eksekusi telah dilaksanakan maka pihak ketiga yang telah dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan perlawanan secara

(42)

perdata tersebut ke pengadilan negeri yang telah mengeluarkan putusan penyitaan terhadap objek Hak Tanggungan tersebut. Apabila dalam gugatan perlawanan yang diajukan oleh pihak ketiga tersebut ditolak atau tidak dapat diterima oleh pengadilan negeri tempat keluarnya putusan penyitaan tersebut, maka pihak ketiga dapat mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi hingga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dalam melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan tersebut.86

Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap mengakibatkan terjadinya kerugian terhadap kreditr/bank selaku pemegang Hak Tanggungan karena status hukum objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih kepemilikannya untuk sementara kepada negara. Oleh karena itu, kreditur / bank selaku pemegang Hak Tanggungan untuk sementara waktu tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek Hak Tanggungan tersebut hingga perkara tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur (bank) adalah melakukan gugatan perdata (melalui jalur litigasi) terhadap putusan pengadilan yang telah melakukan penyitaan terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut.87

Upaya hukum lain adalah mengajukan gugatan perdata terhadap debitur pemberi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1131 KUHPerdata dimana pasal tersebut

86Mardianto Rustandi, Gugatan Pihak Ketiga Terhadap Penyitaan Objek Hak Tanggungan

Milik Debitur yang Terkait Kasus Korupsi, Media Ilmu, Surabaya, 2009, hal. 58

87 Muhammad Nurmadi, Kedudukan Objek Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit

(43)

menyebutkan bahwa, “Semua kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Pasal 1131 KUHPerdata tersebut di atas mengisyaratkan tentang jaminan umum bagi kreditur terhadap hutang dari debitur. Dengan tidak dapat dieksekusinya objek jaminan Hak Tanggungan yang telah diperjanjikan karena status hukum objek jaminan Hak Tanggungan tersebut telah disita oleh negara sehingga telah beralih kepemilikan dari pemberi Hak Tanggungan kepada negara karena objek jaminan Hak Tanggungan tersebut terkait dengan perbuatan tindak pidana korupsi dalam memperolehnya. Oleh karena itu, kreditur/bank sebagai penerima Hak Tanggungan yang berstatus sebagai kreditur preference tidak dapat lagi melakukan eksekusi terhadap objek jaminan Hak Tanggungan tersebut untuk sementara waktu dalam pengambilan pelunasan piutangnya. Oleh karena itu upaya hukum kepada debitur pemberi Hak Tanggungan yang dapat dilakukannya oleh kreditur/bank adalah dengan mengajukan gugatan perdata terhadap harta kekayaan lainnya milik debitur agar dapat dilakukan penyitaan oleh pengadilan untuk mengambil pelunasan dari piutang kreditur.88

Berdasarkan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP menyebutkan bahwa, Benda sitaan dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Rupbasan adalah satu-satunya tempat penyimpanan segala jenis

88Gatot Supramono, Kredit Perbankan, Masalah dan Pemecahannya Suatu Tinjauan Yuridis,

(44)

benda sitaan. Dalam hal sitaan terhadap benda-benda tidak bergerak (tanah dan bangunan) yang dapat diikat dengan jaminan Hak Tanggungan maka penyitaan dilakukan dengan melakukan pemblokiran terhadap sertipikat hak kepemilikan atas tanah dan bangunan dengan mengajukan permohonan pemblokiran terhadap instansi terkait dalam hal ini adalah kantor pertanahan tempat dimana tanah dan bangunan tersebut berada. Pada umumnya untuk penyitaan terhadap tanah dan bangunan maka di atas tanah dan bangunan tersebut akan didirikan papan pemberitahuan yang memberitahukan kepada publik bahwa tanah dan bangunan tersebut telah disita oleh negara untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan.

Benda sitaan yang dirampas untuk negara atau dimusnahkan tata cara pengeluarannya dari Rumah Penyimpanan Barang Sitaan (Rupbasan) diatur dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.06/1983 yang berbunyi, “Sehubungan dengan pengeluaran benda sitaan yang akan di rampas untuk negara atau untuk dimusnahkan atau dirusakkan sehingga tidak terpakai lagi, hanya dapat dilakukan Kepala Rupbasan berdasarkan putusan pengadilan.”

Penyitaan objek Hak Tanggungan oleh negara melalui suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap mengakibatkan objek Hak Tanggungan berupa tanah dan bangunan tersebut menjadi beralih kepemilikannya dari pemberi Hak Tanggungan (debitur) kepada negara karena adanya keterkaitan dengan kasus tindak pidana korupsi. Dengan beralihnya kepemilikan objek Hak Tanggungan tersebut maka negara juga berwenang mengambil ganti rugi terhadap

(45)

kerugian yang dideritanya atas perbuatan debitur yang telah merugikan keuangan negara dengan melakukan tindak pidana korupsi dan mengalihkannya dengan melakukan pembelian terhadap tanah dan bangunan yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut dengan menggunakan uang negara. Oleh karena itu, negara memiliki kewenangan dengan terjadinya kepemilikan objek Hak Tanggungan tersebut untuk melakukan lelang yang diatur di dalam Pasal 12 Pasal 11 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.05-UM.01.06/1983 yang berbunyi, “Apabila berdasar perintah atau penetapan instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan hendak menjual lelang benda tersebut maupun atas dasar putusan pengadilan, petugas Rupbasan melaksanakan pengeluaran benda sitaan tersebut.”

Penjualan lelang terhadap barang sitaan melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang yang berlaku, dan disaksikan oleh petugas Rupbasan. Uang hasil lelang dari objek jaminan Hak Tanggungan yang telah disita oleh negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tersebut dimasukkan ke kas Negara untuk dan atas nama jaksa dengan nomor perkara B/270/S.2/Fd/06/2009 sesuai dengan ketentuan Pasal 273 ayat (3) KUHAP yang berbunyi, “Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk Negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang Negara dan dalam waktu 3 (tiga) bulan untuk dijual lelang yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.”

(46)

yang dilakukan oleh Negara melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap karena debitur pemberi Hak Tanggungan telah melakukan perbuatan tindak pidana korupsi merupakan kerugian bagi pihak ketiga yaitu kreditur / bank yang telah menerima sertipikat Hak Tanggungan dalam perjanjian Hak Tanggungan terhadap tanah dan bangunan yang telah diikat melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena itu debitur pemberi Hak Tanggungan dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaads) terhadap kreditur/bank karena tidak mampu menjamin harta bendanya yang telah diikat dengan Hak Tanggungan tersebut benar-benar dapat dijadikan jaminan hutang-hutang debitur apabila dikemudian hari debitur tak mampu membayar atau melunasi hutang-hutangnya tersebut. Tanggung jawab debitur atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya terhadap perjanjian jaminan Hak Tanggungan yang tidak dapat dieksekusi oleh kreditur menimbulkan hak kepada kreditur / bank untuk mengajukan gugatan perdata menuntut ganti rugi ke pengadilan dalam hal gugatan conservatoir

beslag (sita jaminan) atas harta benda milik debitur lainnya diluar objek jaminan Hak

Tanggungan tersebut agar kreditur / bank dapat mengambil pelunasan terhadap piutangnya.89

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang termuat di dalam UUHT bahwa suatu benda yang telah menjadi objek jaminan dalam pengikatan Hak Tanggungan seharusnya tidak dapat dilakukan penyitaan oleh

89Wahyu Muliatno, Analisis Yuridis Penetapan Sita Terhadap Objek Hak Tanggungan, Suluh

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu terdapat pusat aktivitas pendidikan baru, Institut Teknologi Sumatera (ITERA), dan aktivitas pemerintahan baru yaitu Kota Baru. Sebagai daerah yang

Sinar matahari yang masuk ke dalam rumah sangat penting bagi kesehatan penghuni rumah karena sinar matahari karena mengandung ultraviolet sehingga dapat berfungsi

PENGARUH STRES KERJA, KELELAHAN, STRES FISIOLOGIS TERHADAP KINERJA MANAJER PROYEK, Natalia Puteri Rembulan Mayang Betari, NPM 09.02.13401, tahun 2014, Bidang Keahlian

(3) Formula yang diturunkan berdasarkan komposisi campuran bahan pembuat beton, tanpa Formula yang diturunkan berdasarkan komposisi campuran bahan pembuat beton,

Pengertian surat paksa yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang berbunyi bahwa surat paksa merupakan

Oleh itu, kajian ini dijalankan bertujuan untuk melihat elemen-elemen pengajaran guru berdasarkan Modul Pentaksiran Berasaskan Sekolah(MPBS) dalam sesi amali di

Apakah motivasi dan prestasi kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Sekretariat Daerah Kabupaten Nganjuk.. KAJIAN PUSTAKA

Dari sekian banyak bagian cantik di bangunan tersebut, fasadlah yang sejak awal