• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Balai Konservasi Peninggalan Borobudur"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

100 TAHUN

Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur

Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

PASCAPEMUGARAN CANDI BOROBUDUR

Trilogi I

ISBN 978 -979 - 19227 - 5 - 3

(2)

100 T

AHUN

P

ASCAPEMUGARAN CANDI BOROBUDUR

T

rilogi I

Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur

Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

Jalan Badrawati Borobudur Magelang 56553 Telp. (0293) 788225, 788175 Fax. (0293) 788367 e-mail : balai@konservasiborobudur.org website : www.konservasiborobudur.org

(3)

Jalan Badrawati Borobudur Magelang 56553 Telp. (0293) 788225, 788175

Fax. (0293) 788367

e-mail : balai@konservasiborobudur.org website : www.konservasiborobudur.org

(4)

100 TAHUN

PASCAPEMUGARAN CANDI BOROBUDUR

Trilogi I

Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur

(5)
(6)

Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

100 TAHUN

PASCAPEMUGARAN CANDI BOROBUDUR

Trilogi I

Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur

(7)

100 TAHUN PASCAPEMUGARAN CANDI BOROBUDUR

Trilogi I: Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur

Diterbitkan oleh :

Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

TIM PENYUSUN

Pengarah Dr. Tony Djubiantono

(Direktur Tinggalan Purbakala)

Penanggung Jawab Drs. Marsis Sutopo, M.Si

(Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur)

Editor Prof. Dr. Haryani Santiko

Tim Redaksi Iskandar M. Siregar, S.Si. Yudi Suhartono, S.S., M.A. Henny Kusumawati, S.S. Panggah Ardiyansyah, S.S.

Desain Grafis Dian Eka Puspitasari, S.T.

Penulis Prof. Dr. Daoed Joesoef Prof. Dr. Edi Sedyawati Prof. Dr. Mundardjito Prof. Dr. Timbul Haryono

Prof. Dr. Totok Roesmanto, M.Eng Prof. Dr. Agus Aris Munandar Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A Ir. Helmy Murwanto, M.Si. A.J. Th. van Erp LL.M Masanori Nagaoka Drs. Dukut Santoso Subagjo R.

Tukidjan, BA

Nahar Cahyandaru, S.Si

ISBN 978 -979 - 19227 - 5 - 3 (Jilid 1) Cetakan Pertama, 2011

Cetakan Kedua, 2012

Jalan Badrawati Borobudur Magelang 56553 Telp. (0293) 788225, 788175

Fax. (0293) 788367

e-mail : balai@konservasiborobudur.org website : www.konservasiborobudur.org

(8)
(9)
(10)

Daftar Isi

IX

Sambutan Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

X

Sambutan Direktur Tinggalan Purbakala

XI

Sambutan Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala

XII

Pengantar Editor

01

Life and Work of Theo van Erp

(A.J. Th (Guus) van Erp)

21

Borobudur : Masalah Puncak Stupa Induk

(Mundardjito)

35

Material Konservasi Pada Pemugaran van Erp

(Nahar Cahyandaru)

55

Ikonografi Barabudur

(Edi Sedyawati)

65

Adegan-adegan Relief Mahakarmmavibhangga Candi Borobudur

(Agus Aris Munandar)

81

Masyarakat Jawa Kuno dan Lingkungannya Pada Masa Borobudur

(Timbul Haryono)

99

Keletakan Candi Borobudur dan Candi Sekitarnya

(Totok Roesmanto)

123

Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini

(Daud Aris Tanudirjo)

141

Situs Danau di Sekitar Bukit Borobudur, Jawa Tengah

(Helmy Murwanto)

163

Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur

(Daoed Joesoef)

187

Borobudur Safeguarding Campaign in UNESCO Perspective and UNESCO World

Heritage Convention 1972

(Masanori Nagaoka)

207

Persiapan Pemugaran II Candi Borobudur

(Dukut Santoso)

221

Kondisi Batu Penyusun Candi Borobudur Sebelum Pemugaran II (1973-1983)

(Subagjo R.)

233

Kondisi Candi Borobudur Sebelum Pemugaran II

(11)
(12)

Sambutan

Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

P

uji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan buku ini dapat terlaksana. Seratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1907-1911, Candi Borobudur dipugar oleh pemerintah Hindia Belanda di bawah pimpinan Th. van Erp. Tentunya peristiwa ini merupakan peristiwa yang penting dalam sejarah panjang perjalanan Candi Borobudur dari awal mula dibangun sampai kondisinya sekarang. Untuk memperingati peristiwa yang bersejarah tesebut maka Balai Konservasi Peninggalan Borobudur menerbitkan buku “100

Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur”. Buku ini direncanakan akan diterbitkan dalam bentuk Trilogi. Trilogi I dengan

judul Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur diterbitkan pada tahun 2011. Trilogi II akan diterbitkan tahun 2012, dan Trilogi III akan diterbitkan pada tahun 2013 sekaligus untuk memperingati 100 Tahun Purbakala Indonesia.

Buku ini dapat terwujud tentunya berkat kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu maka penghargaan dan ucapan terima kasih kami berikan kepada para Penulis yang telah berkontribusi pada buku ini: khususnya kepada Prof. Dr. Daoed Joesoef yang telah menuliskan pengalaman batinnya dengan Candi Borobudur dan upaya-upaya awal kampanyenya untuk menyelamatkan kembali Candi Borobudur. Hal lain yang sangat berharga diberikan adalah lukisan-lukisan beliau yang selama ini belum dipublikasikan. Juga kepada A.J.Th. (Guus) van Erp yang merupakan cucu dari Th. van Erp, yang telah menulis tentang Th. van Erp.

Penghargaan dan ucapan terima kasih juga kami berikan kepada para Penulis: Prof. Dr. Mundardjito, Prof. Dr. Edi Sedyawati, Prof. Dr. Timbul Haryono, Prof. Dr. Totok Roesmanto, M.Eng, Prof. Dr. Agus Aris Munandar, Dr. Daud Aris Tanudirjo, M.A, Ir. Helmy Murwanto, M.Si, Mr. Masanori Nagaoka, Drs. Dukut Santoso, Tukidjan, BA, Subagjo R, dan Nahar Cahyandaru, S.Si. Penghargaan dan ucapan terima kasih juga kami berikan kepada Tim Redaksi yang telah dengan bekerja keras dengan tekun merancang isi, menghubungi para Penulis, mengkompilasi naskah, melacak foto-foto lama, dan meramunya sampai menjadi sebuah buku.

Pada akhirnya kami juga mengucapkan terima kasih kepada Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala dan Direktur Tinggalan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang telah memberikan dukungan dan arahan sehingga buku ini dapat diselesaikan.

Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya dalam rangka mendukung pembangunan kebudayaan Indonesia. Borobudur, Desember 2011

Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

Drs. Marsis Sutopo, M.Si

ix

Sambutan Kepala Balai Konservasi Peninggalan Borobudur

(13)

Sambutan

Direktur Tinggalan Purbakala

x

Sambutan

Direktur Tinggalan Purbakala

U

paya penyelamatan terhadap Candi Borobudur sudah dimulai pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun 1907-1911 di bawah pimpinan Th. van Erp dilakukan pemugaran terhadap Candi Borobudur. Pemugaran yang pertama tersebut sasarannya adalah tiga lantai melingkar yang terdiri dari lantai 8, 9, 10 serta 72 stupa dan stupa induk. Kondisi tiga lantai serta stupa-stupa yang ada pada waktu itu sudah mengalami kerusakan yang parah. Hasil pemugaran Th. van Erp seratus tahun yang lalu masih bertahan sampai sekarang. Oleh karena itu pemugaran Candi Borobudur yang dilakukan oleh Th. van Erp seratus tahun yang lalu merupakan peristiwa sejarah yang tidak dapat dilupakan dan diabaikan begitu saja. Pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1907-1911 selanjutnya menjadi dasar bagi pemerintah Republik Indonesia yang dibantu oleh UNESCO dan Negara-negara donor untuk melakukan kembali pemugaran terhadap Candi Borobudur pada tahun 1973-1983 secara lebih komprehensif.

Untuk mengingat kembali pemugaran Candi Borobudur yang sudah dilakukan pada tahun 1907 – 1911, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur menerbitkan buku “100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur” yang rencananya akan diterbitkan dalam bentuk Trilogi. Oleh karena itu saya sampaikan penghargaan dan apresiasi dengan terbitnya buku Trilogi I:

Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur yang akan diikuti dengan buku Trilogi II dan Trilogi III pada tahun yang akan datang.

Mudah-mudahan dengan terbitnya buku ini akan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap perlunya pelestarian Candi Borobudur dan menambah khasanah pustaka bagi dunia kepurbakalaan Indonesia.

Jakarta, Desember 2011 Direktur Tinggalan Purbakala

(14)

Sambutan

Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala

xi

Sambutan Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala

P

uji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam, baik yang bersifat intangible maupun tangible. Salah satu kekayaan budaya tersebut adalah Candi Borobudur yang menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Bahkan kebesaran Candi Borobudur diakui masyarakat dunia sebagai Warisan Dunia

(World Heritage) oleh UNESCO sejak tahun 1991.

Candi Borobudur yang dibangun pada sekitar abad VIII-IX Masehi menjadi bukti bahwa wilayah Jawa Tengah pernah mengalami masa-masa kejayaan sehingga mampu membangun Candi Borobudur yang sangat megah. Namun oleh sebab-sebab yang belum diketahui dengan pasti, Candi Borobudur kemudian ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Candi Borobudur baru muncul kembali setelah ditemukan pada tahun 1814 ketika Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris, mengadakan kegiatan di Semarang. Upaya penyelamatan baru dilakukan setelah hampir seratus tahun kemudian, yaitu pada tahun 1907-1911 dengan dilakukannya pemugaran oleh Th. van Erp. Pemugaran terhadap Candi Borobudur kembali dilakukan pada tahun 1973-1983 oleh pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan UNESCO.

Tentunya semangat untuk selalu melestarikan Candi Borobudur yang sudah dimulai pada masa pemerintahan Hindia Belanda sampai masa sekarang akan berlanjut untuk masa-masa yang akan datang. Dengan demikian maka keberadaan Candi Borobudur sebagai salah satu karya budaya nenek moyang bangsa Indonesia akan dapat diwariskan antar generasi.

Sebagai salah satu upaya melestarikan Candi Borobudur dan sekaligus untuk memperingati serta mengingat kembali pemugaran yang sudah dilakukan oleh Th. van Erp seratus tahun yang lalu, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur menerbitkan buku “100 Tahun Pascapemugaran Candi Borobudur”. Buku ini merupakan buku pertama dari tiga buku yang akan diterbitkan. Tentunya dengan terbitnya buku Trilogi I ini saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang sudah berkontribusi.

Dengan terbitnya buku ini mudah-mudahan apresiasi dan kesadaran masyarakat akan semakin meningkat sehingga dapat berperan lebih aktif untuk bersama-sama ikut serta melestarikan Candi Borobudur sebagai salah satu kebanggaan bangsa Indonesia.

Jakarta, Desember 2011

Plt. Direktur Jenderal Sejarah dan Purbakala

(15)

Pengantar Editor

xii

Pengantar Editor

C

andi Borobudur didirikan di atas sebuah bukit , di antara bukit Dagi dan sebuah bukit kecil, di selatan bukit Menoreh, di desa Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Keletakan sebuah candi/tempat suci di atas bukit atau tempat yang ditinggikan, serta dekat pertemuan dua buah sungai, merupakan pilihan yang tepat sesuai dengan ajaran yang disebut dalam kitab pegangan para śilpin (:seniman-agama) di India yaitu Vāstuśāstra, kitab yang berisi patokan-patokan membuat bangunan (vāstu) profan dan sakral beserta komponen-komponennya.

Candi Borobudur berbentuk teras-stupa (terrace-stūpa), kaki stupa yang disebut medhi berdenah persegi berundak, disusul

anda (telor, dunia) berdenah bulat dan disusul sebuah harmika dan kemudian yasthi (:tongkat) di atas stupa. Pada umumnya yasthi diberi hiasan “payung” atau chhatra berjumlah ganjil. Terrace-stupa ini di India sendiri baru muncul pada Kesenian

Gandhara di India Barat Laut pada sekitar abad I Masehi. Candi Borobudur berbentuk teras-stupa, tetapi telah terjadi berbagai pengembangan baik dalam struktur maupun ragam hiasnya. Kaki stupa (medhi) yang biasanya berteras 3, menjadi 6 (undak-teras persegi berjumlah 6), disusul tingkatan-tingkatan 7-9 yang berdenah hampir bulat, dan diakhiri oleh sebuah stupa besar.

Candi Borobudur yang tingginya sekitar 35,40 meter merupakan “bangunan terbuka” maksudnya tidak ada bilik candi (garbhagŗha) dan didirikan oleh seorang raja Śailendravamśa yaitu raja Samaratungga pada sekitar tahun 800, dugaan didasarkan pada bentuk huruf Jawa Kuna yang dipahat pada relief Karmawibhanga, relief di kaki candi.

Dengan perpindahan pusat kerajaan Mataram Kuna ke wilayah Jawa Timur, dengan sendirinya candi yang megah dan sangat indah itu ditinggalkan dan baru ditemukan kembali pada sekitar tahun 1814, ketika Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal di Jawa (1811-1816). Setelah mengalami berbagai kejadian yang akan dibicarakan pada karangan-karangan dalam buku ini, pada tahun 1907-1911 Theodoor (Theo) van Erp, seorang Insinyur Perwira genii Angkatan Darat, mendapat tugas untuk memugar candi yang sudah sangat rusak itu (Gouvernement Besluit, April 25, dimuat dalam NBG (Notulen Bataviaasche Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen jilid XLV, halaman 49).

Dalam rangka memperingati 100 tahun pemugaran Candi Borobudur ini, Balai Konservasi Peninggalan Borobudur menerbitkan buku “100 tahun Pascapemugaran Candi Borobudur”. Buku ini direncanakan akan diterbitkan dalam bentuk Trilogi. Trilogi I dengan judul Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur diterbitkan tahun 2011. Trilogi II akan diterbitkan

(16)

xiii

Pengantar Editor

tahun 2012, dan Trilogi III akan diterbitkan tahun 2013 sekaligus untuk memperingati 100 Tahun Purbakala Indonesia.

Ada 14 (empat belas) tulisan dalam buku Trilogi I ini, dengan topik yang berbeda-beda. Pertama-tama kita menyimak uraian cucu Th van Erp yaitu A.J.Th (Guus) van Erp yang menceritakan perjalanan hidup Theodoor (Theo) van Erp dalam tulisannya

“Life and Work of Theo van Erp”. Theo van Erp lahir di Ambon tahun 1864, setelah menyelesaikan pendidikan di Royal Military

Academy di Breda tahun 1892, ia dikirim sebagai Insinyur genii Angkatan Darat, ke Dutch Indies (Indonesia) tahun 1896. Ia sempat ikut membangun benteng di Aceh, masjid di Medan dan kemudian ikut memugar Candi Prambanan. Keinginannya berkecimpung di bidang kekunoan di Jawa terbuka ketika tahun 1899 Mr L. Serrurier membuat laporan kepada Koninklijk

Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenchappen (The Royal Batavian Society for Art and Science) tentang “nasib”

berbagai bangunan penting di Jawa Tengah. Sebagai akibat tahun 1900 dibentuk Borobudur Commissie (The Borobudur

Committee) dengan anggota Dr. J.L.A. Brandes, Theo van Erp dan Van de Kamer, dan Brandes ditunjuk sebagai ketua. Tetapi

pada tahun 1905, Brandes meninggal, dan pimpinan Borobudur Commissie dipegang van Erp yang dibantu oleh J.J. de Vink. Mulailah pemugaran Candi Borobudur pada bulan Agustus 1907 hingga tahun 1911. Pekerjaan yang sangat berat dimulai dengan mengumpulkan batu-batu dan sisa-sisa bagian-bagian candi, dilanjutkan dengan restorasi dengan menerapkan metode anastylosis, yaitu mengembalikan struktur candi dengan menggunakan bahan aslinya. Mulailah memugar pagar-pagar langkan, dinding lorong pertama, saluran-saluran air dengan penempatan kembali jaladwara-nya (gargoyle, pancuran air), tangga-tangga bagian bawah, gapura-gapura, relung-relung dengan stupika-stupikanya. Undakan 7, 8 dan 9 yang dikenal sebagai arupadhatu, berbentuk hampir bulat, dibongkar secara keseluruhan dan kemudian dipasang kembali, demikian pula pagar langkan yang paling atas. Stupa-stupa berlubang dipasang kembali disisakan sebuah agar pengunjung dapat melihat contoh arca Buddha di dalam stupa-stupa tersebut. Van Erp secara tidak sadar telah melaksanakan kaidah arkeologi, yaitu tidak akan gegabah mengganti batu-batu apa pun yang hilang dengan batu baru, dengan alasan “tidak akan membohongi pengunjung dengan sesuatu yang baru”, oleh karena itu ia tidak meneruskan merekonstruksi yasthi secara lengkap dengan

chattra-nya, tetapi Van Erp sempat membuat gambar yasthi tersebut.

Pada tahun 1911 Van Erp telah menyelesaikan pemugaran sebagian dari Candi Borobudur, (Guus) van Erp masih terus melanjutkan riwayat kakeknya hingga meninggalnya Van Erp tahun 1958.

Dr. A. J.Bernet Kempers tahun 1959 menerbitkan biografi Van Erp dengan judul In Memoriam Dr Th Van Erp, 26 Maart 1874-7

(17)

Masalah yasthi dan chattra yang tidak lengkap dipasang kembali oleh Van Erp telah dibahas oleh Mundardjito dalam tulisannya yang berjudul “Borobudur: Masalah Puncak Stupa Induk”. Van Erp merekonstruksi hanya bagian bawah yasthi , walaupun ia pernah merekonstruksi secara lengkap dan ditempatkan di atas stupa induk. Foto bentuk lengkap tersebut dimuat dalam buku Van Erp “Borobudur, Architectural Description” (1931). Namun karena banyaknya batu baru, menggantikan batu asli yang hilang, maka Van Erp membongkar kembali dan menyisakan bagian bawah yasthi yang dapat kita lihat sekarang. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa secara tidak sadar Van Erp telah menjalankan kaidah arkeologi, yaitu tidak akan secara gegabah menggantikan batu asli yang hilang dengan batu baru, suatu metode yang kemudian dikenal sebagai anastylosis. Oleh karenanya Van Erp menurunkan bagian atas yasthi dan meninggalkan bagian bawah di atas stupa induk.

Bahwa Candi Borobudur memiliki bentuk yasthi dengan 1-3 Chattra dalam variasi bentuk menakjubkan dapat kita lihat pada beberapa relief stupa di relief candi Borobudur, yang dipakai oleh Mundardjito sebagai contoh kemungkinan bentuk yasthi di puncak Borobudur.

Keadaan Candi Borobudur sebelum dipugar oleh Van Erp tahun 1907-1911 sangat memprihatinkan, dan secara umum Van Erp telah mampu mengembalikan struktural dan arsitektural candi. Kemegahan Borobudur telah mampu ditampakkan kembali dengan mengacu pada bentuk asli, telah dibahas oleh Nahar Cahyandaru dalam tulisannya yang berjudul “Material

Konservasi Pada Pemugaran Van Erp”. Pembicaraan ditekankan pada faktor yang mempengaruhi laju pelapukan batu-batu

candi. Penyebabnya terutama adalah air, kemudian akar/tanam-tanaman, dan bahan-bahan kimia yang dipakai manusia untuk membantu mereka membuat foto, membuat cetakan untuk mengcopi relief dan sebagainya. Untuk air, pada awalnya dialirkan ke bawah melalui jaladwara (gargoyle) , tetapi kurang berhasil karena batu andesit berpori dan air meresap pula melalui celah-celah antar batu yang disusun tanpa spesi isian. Untuk menanggulangi, Van Erp berusaha mengendalikan air dengan menutup sela-sela batu khususnya yang ada di teras dengan mortar tradisional. Demikian pula pada lantai teras

arūpadhātu dan lantai teras Kāmadhātu ditambah 1 lapis batu dengan ketebalan 5 cm di atas batu asli dilekatkan dengan

mortar dan sela-sela batunya ditutup pula dengan mortar. Van Erp telah mampu mengendalikan salah satu faktor utama penyebab pelapukan dan kerusakan candi, yaitu air.

Sementara itu masih terdapat beberapa misteri, salah satunya adalah adanya lapisan kuning yang melapisi beberapa relief. Siapa yang melapisinya, untuk apa? Beberapa pendapat lapisan kuning untuk membantu fotografi, pelapisan warna kuning

(18)

akan meningkatkan kualitas foto. Bahan apa yang dipakai untuk warna tersebut, sehingga merusak batu yaitu pengelupasan beberapa batu relief.

Pembahasan yang berbeda dilakukan oleh Edi Sedyawati dengan tulisannya yang berjudul “Ikonografi Candi Barabudur”. Dalam tulisan tersebut secara umum dibicarakan terlebih dahulu tentang pengertian ikonografi, konstruksi Tata Ruang candi, pengarcaan tiga dimensi, tata-arca dalam bentuk relief, kesemuanya itu menuju ke uaraian tentang posisi Borobudur dalam konteks Perkembangan Ikon Bauddha.

Selanjutnya tulisan Agus Aris Munandar yang berjudul “Adegan-adegan Relief Mahakarmavibhangga Candi Borobudur”, mengajukan satu dari beberapa pendapat tentang susunan, cara penggambaran dan arti penempatan panil relief Karmawibhanga yang dikaitkan dengan lambang-lambang 4 pintu gerbang (torana) stupa. Seperti halnya dengan torana stupa Sanchi, masing-masing gerbang melambangkan tahapan hidup Siddharta Gautama, Pintu gerbang timur adalah lambang kelahiran (Buddhajati) pintu selatan melambangkan pencapaian pencerahan (Sambhodi), pintu barat pengajaran yang pertama (Dharmacakrapravartana), dan pintu utara lambang masuk ke Nirwana (Parinirvana). Relief Karmawibhangga yang dipahat pada 160 panil, menurut pendapat penulis, dibagi dalam 4 sektor masing-masing sektor berjumlah 40 panil relief, dan masing-masing sektor terkait dengan lambang-lambang tersebut sesuai dengan keletakan panil-panilnya dan tataran (stage) yang berbeda-beda.

Karmawibhangga menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat masa itu, tetapi apa hubungannya dengan kehidupan keagamaan perlu dikemukakan, karena banyak relief yang menggambarkan tokoh-tokoh agama. Apakah tataran (stage) tersebut terkait dengan fungsi keagamaan yang digambarkan?

Selanjutnya Timbul Haryono mengupas tentang masyarakat masa Candi Borobudur yang berjudul “Masyarakat Jawa Kuna

dan Lingkungannya pada Masa Borobudur”. Berdasarkan data yang terdapat dalam prasasti (verbal) dan relief (piktorial)

didapat gambaran tentang kehidupan masyarakat pada masa Borobudur, yang ada pembedaan masyarakat bawah dan masyarakat penguasa. Kehidupan sehari-hari disini adalah aspek kehidupan non-ritual (bukan aktifitas religi), yang meliputi aspek-aspek kehidupan ekonomi, sistem mata pencaharian, sistem teknologi, kehidupan berkesenian, hubungan antar warga. Salah satu contoh menunjukkan bahwa masyarakat Jawa Kuna waktu itu adalah masyarakat yang perekonomiannya berbasis pertanian, baik sistem sawah basah maupun sawah kering (padi gaga). Pertanian menjadi faktor yang penting

xv

(19)

sebagaimana terlihat pada relief di Borobudur. Pada awal karangan disebut masyarakat penguasa, namun dalam uraian tidak disebut cara hidup mereka, kecuali dalam hal busana.

Tulisan selanjutnya membahas “Keletakan Candi Borobudur dan Candi Sekitarnya”, yang ditulis oleh Totok Roesmanto. Dari penginderaan melalui internet diketahui sumbu imajiner Candi Mendut-Pawon-Borobudur yang ditarik dari melalui pusat ketiganya bukan merupakan garis lurus seperti perkiraan semula. Garis imajiner yang dapat ditarik melalui Candi Borobudur-Candi Pawon-Candi Mendut merupakan garis patah, garis imajiner Candi Pawon-Candi Mendut mengarah ke gunung Merapi. Candi Mendut yang menghadap barat laut, dan di antara ketiga candi, menurut penulis Candi Mendut yang pertama kali dibangun.

Selanjutnya dibicarakan tentang denah Candi Borobudur yang menerapkan kombinasi konsep Vajradhātu dan Garbhadhātu

mandala dan penerapan Vāstupurusa mandala (termasuk Standhila mandala) dalam kaitan pola tata letak Candi

Mendut-Candi Pawon-Mendut-Candi Borobudur.

Diagram bangunan (suci) baik Vāstupurusamandala (termasuk Sthandila ), Sri Yantra dan lainnya, menurut Madhu Khanna (1979), maupun Acharya (6 jilid) dan lainnya, tidak dipakai untuk menentukan denah suatu bangunan/desa, kota. Khusus untuk bangunan suci, diagram dipakai untuk menentukan bagian-bagian bangunan khususnya tempat-tempat penting dewa-dewa atau simbol-simbolnya. Demikian pula Vajradhātu mandala dan Garbhadhātu mandala, adalah lambang 2 dunia menurut ajaran Shingon di Jepang, yaitu lambang dunia nyata (garbhadhātu mandala) dan dunia ideal (vajradhātu mandala). Kedua dunia ini dalam meditasi harus dipadukan dan diproyeksikan sebagai mandala. Menurut Woodward Jr (1981),

garbhadhātu mandala dilambangkan sebagai undakan Candi Borobudur (undakan 1-6) dan vajradhātu mandala

dilambangkan sebagai undakan bentuk hampir bundar (undakan 7-9). Apakah stupa induk termasuk bagian dari vajradhātu

mandala atau tidak, hal ini tidak disebut.

Masih tentang masalah mandala, Daud Aris Tanudirdjo menulis dengan judul “Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan

Masa Kini”. Candi Borobudur bagaikan sebuah teks yang tidak henti ditafsirkan, misalnya apakah Borobudur sebuah mandala

telah banyak dibicarakan mulai oleh W.F. Stutterheim . Pada intinya mandala adalah ”lingkaran”, namun dalam penerapannya, konsep itu diberi makna konseptual yang berbeda-beda, sebagai diagram simbolis terkait keagamaan dan sebagai tatanan hubungan kekuasaan dan kewilayahan. Untuk bidang keagamaan, mandala adalah diagram simbolis untuk membantu

(20)

konsentrasi yang ingin melakukan meditasi. Beberapa pendapat bahwa Candi Borobudur sebagai mandala yang dipakai untuk alat meditasi, terutama oleh para pendeta atau siapa pun yang ingin menjadi Buddha-Buddha masa datang. Pemikiran Borobudur sebagai mandala masa kini didasari oleh usaha para akademisi/arkeolog mencari makna Borobudur pada masa lampau, yang kemudian merambah ke arah pemikiran pengelolaan dan pelestarian candi. Gagasan Borobudur sebagai mandala ini terutama dipakai untuk menentukan kebijakan dan strategi pengelolaan candi Borobudur sebagai Warisan Budaya yang telah dimasukkan dalam World Heritage List sejak tahun 1991, serta dalam kaitannya dengan pengelolan pelestarian candi yang memberikan manfaat pada masyarakat.

Kompleks Candi Borobudur selalu inspirasional, tidak henti-hentinya memicu berbagai gagasan terkait dengan candi yang megah itu, salah satunya adalah masalah ada tidaknya danau yang dahulu mengelilingi bukit Borobudur. Masalah danau ini dibahas oleh Helmy Murwanto dalam tulisannya yang berjudul “Situs Danau di Sekitar Bukit Borobudur, Jawa Tengah”. Gagasan ini pertama kali diajukan oleh W.O.J Nieuwenkamp (1933), yang mengemukakan dengan adanya danau itu, Candi Borobudur bagaikan sebuah bunga teratai mekar (padma) lambang kesucian dalam agama Buddha. Pendapat tersebut banyak yang menentang termasuk van Erp. Namun di samping itu ada pendukungnya pula, yaitu para ahli geologi. Dari penelitian geologi tersebut ada 2 pendapat, pendapat Nassim dan Voute (1986) danau di sekitar Borobudur terjadi pada paruh kedua zaman Kwarter dan waktu Borobudur dibangun danau sudah tidak ada. Sebaliknya hasil penelitian Murwanto dkk (2001) menunjukkan bahwa lingkungan danau sudah terjadi kala Pleistocen Atas dan berakhir jauh setelah Candi Borobudur dibangun, yakni pada abad ke-13.

Alangkah baiknya kalau penelitian ini khususnya yang menyebut danau berakhir jauh setelah Borobudur didirikan yaitu abad ke-13, diperkuat dengan data lainnya yang didapat dari sumber tertulis.

Bagaimana Candi Borobudur menggugah emosi seseorang sehingga dengan usahanya yang gigih pemugaran kedua Candi Borobudur dapat dilaksanakan. Uraian yang sangat menarik ini terdapat dalam karangan Daoed Joesoef dalam tulisannya yang berjudul “Merintis Kampanye Penyelamatan Candi Borobudur”. Kekaguman Daoed Joesoef akan Candi Borobudur seakan terobati setelah berkunjung ke candi pada tahun 1953. Namun di samping kegembiraan terdapat kekecewaan yang mendalam melihat kondisi candi yang rusak dan kotor, sangat memprihatinkan. Dengan bekal bayangan candi yang menyedihkan tersebut, Daoed Joesoef yang ketika itu melanjutkan sekolah di Sorbonne, Perancis, dengan gigih mengusahakan bantuan finansial pada UNESCO untuk memugar candi yang dicintainya, dan usahanya berhasil, walaupun

xvii

(21)

Daoed Joesoef

antaranya “International Panel Meeting” yang diadakan bulan Januari 1971 dikemukakan oleh Daoed Joesoef, dan uraian tentang usaha awal pemugaran dilanjutkan dalam karangan Masanori Nagaoka “Borobudur Safeguarding Campaign in

UNESCO Perspective and UNESCO World Heritage Convention 1972”. Berbagai usaha mempelajari masalah candi, baik candi

secara fisik dan usaha mengumpulkan dana yang diperlukan untuk pemugaran, dibahas dalam karangan ini. Hal-hal apa yang perlu dilakukan dalam pemugaran candi dibicarakan antara lain dalam pertemuan Consultative Committee for Safeguarding

of Borobudur di Hotel Ambarukmo. Pemugaran akhirnya terlaksana antara tahun 1974-1983. Namun dengan selesainya

pemugaran tidak berarti tugas kita dan UNESCO berhenti, apalagi dengan masuknya candi Borobudur dalam daftar UNESCO

World Heritage sejak tahun 1991, usaha untuk mempertahankan kelestarian candi tetap dilakukan.

Pembicaraan lebih lanjut difokuskan pada usaha awal pemugaran II Candi Borobudur, dimulai dari tulisan Dukut Santoso yang berjudul “Persiapan Pemugaran II Candi Borobudur”. Van Erp memang tidak memugar candi secara menyeluruh, bagian kaki candi (kāmadhātu) diperbaiki karena telah ditemukan relief Karmawibhangga oleh J.W. IJzerman tahun 1885, dan tingkatan 7, 8, 9 dan stupa puncak, serta bagian-bagian candi lainnya. Setelah pemugaran van Erp, Candi Borobudur lebih banyak dimanfaatkan daripada dilestarikan dan dirawat, sehingga tahun 1926 sudah banyak kerusakan, termasuk relief-relief candi. Oleh karena itu tahun 1960 mulai direncanakan memperbaiki candi yang kemudian disebut Pemugaran II. Persiapan pemugaran dilakukan, di samping pemerintah yang mencari bantuan UNESCO dan dari berbagai pihak, maka tim teknis mulai mempersiapkan pemugaran, pembongkaran batu, membuat sarana dan prasarana kerja dan sebagainya. Merencanakan “Stone Registration System” (SRS) dan “Project Control System”(PCS) untuk pengontrolan jalannya proyek dengan sistem komputerisasi.

Bagaimana perlunya Pemugaran II ini dikemukakan oleh Subagjo R. dalam tulisannya yang berjudul “Kondisi Batu Penyusun

Candi Borobudur sebelum Pemugaran II”. Kerusakan yang serius mulai dirasakan kurang lebih setelah 60 tahun pemugaran

van Erp. Curah hujan mempercepat kerusakan, melesaknya lantai, kemiringan dinding-dinding sebagai akibat melemahnya daya dukung tanah dasar yang berdampak kerusakan susunan batu-batu. Berbagai “penyakit” batu mulai bermunculan, pertumbuhan jamur kerak, ganggang, lumut dan sebagainya mempercepat pelapukan batu.Munculnya “bisul batu” berupa benjolan pada permukaan batu, jika terkelupas akan meninggalkan cekungan pada batu. Masih banyak lagi yang harus ditangani sebelum terjadi kehancuran batu-batu candi. Uraian tentang kondisi batu candi yang memprihatinkan dikemukakan oleh Tukidjan dalam “Kondisi Candi Borobudur Sebelum Pemugaran II”. Dikemukakan pula bahwa faktor penyebab sendiri tidak ikut berkecimpung pada pemugaran Candi Borobudur. Berbagai pertemuan antar ahli di

(22)

kerusakan candi adalah struktur tanah bukit di bawah candi terdiri dari struktur tanah bukit dasar candi terdiri dari lapisan tanah lempung. Salah satu sifat tanah lempung adalah jika terkena air, daya dukung melemah sehingga dinding-dinding candi mengalami penurunan. Kemudian dikemukakan bagian-bagian candi mana saja yang mengalami kerusakan, lantai melesak, dinding dan pagar langkan miring dan sebagainya.

Buku Trilogi I ini yang diberi judul “Menyelamatkan Kembali Candi Borobudur”, berisi 14 tulisan tentang struktur dan lingkungan Candi Borobudur, serta pengelolaan pelestarian candi sebagai Warisan Budaya Bangsa.

Candi yang pernah diusulkan untuk dibongkar total pada tahun 1882 dan menyimpan relief-reliefnya di museum karena keadaan Candi Borobudur sudah terlalu mengkhawatirkan, akhirnya dapat dikembalikan “wujudnya”. Van Erp 100 tahun yang lalu berhasil mengembalikan struktural dan arsitektural candi, dan kemudian pemugaran dilanjutkan pada tahun 1973 - 1983 yang dikenal sebagai Pemugaran II. Namun tugas kita mengelola candi yang megah dan indah, karya tangan-tangan terampil para seniman agama (śilpin) yang mumpuni, belum selesai. Masih banyak misteri yang belum terungkap hingga saat ini. Seperti apa yang dikemukakan oleh Wakil Menteri Bidang Kebudayaan dalam pidatonya memperingati 100 tahun pascapemugaran Candi Borobudur, bahwa hal itu “merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia dalam menjunjung nilai luhur monumen kemanusiaan ini 100 tahun lagi”.

Jakarta, 25 Februari 2012 Prof. Dr. Haryani Santiko

xix

(23)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan AFTA adalah meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi pasar dunia, untuk menarik investasi dan meningkatkan

Selama pinjaman ini masih terhutang, Anak Perusahaan tidak diperbolehkan melakukan, antara lain, memberikan pinjaman kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa

Penelitian ini mengukur jumlah gas rumah kaca dari perkebunan kakao dan menguraikan stok (cadangan) karbon dari perkebunan, yaitu jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah,

Peserta DO adalah peserta yg tdk melanjutkan sesi berikutnya pada hal anak tersebut belum mencapai status gizi normal atau mengalami kenaikan BB sebesar 400 gram atau lebih

Pada praktikum perhitungan jumlah eritrosit ini bertujuan untuk mengetahui cara menghitung eritrosit dan mengetahui jumlah eritrosit dalam darah dengan menggunakan

Keunggulan bersaing yang dimiliki perusahaan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja pemasaran perusahaan yang diukur melalui pertumbuhan pelanggan Dengan demikian bahwa

Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan dan saran sebagai berikut : 1) Dalam penentuan harga perolehan

Green road construction atau konstruksi jalan hijau adalah sebuah gerakan berkelanjutan yang mencita-citakan terciptanya konstruksi jalan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan,