• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah

Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan muncul karena adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Sehingga kemampuan suatu daerah dalam proses pembangunan juga menjadi berbeda. Oleh karena itu, pada setiap daerah terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Ketimpangan juga memberikan implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah yang akan mempengaruhi formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah (Sjafrizal, 2008).

Beberapa faktor utama penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi menurut Sjafrizal (2008) adalah:

a. Perbedaan Kandungan Sumber Daya Alam

Adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah. Perbedaan kandungan sumberdaya alam mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumberdaya alam cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah

(2)

dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam lebih rendah. Sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat.

b. Perbedaan Kondisi Demografis

Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah.

c. Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Mobilitas barang dan jasa meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi. Apabila mobilitas tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Migrasi yang kurang lancar dapat menyebabkan kelebihan tenaga kerja pada suatu daerah. Akibatnya daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya.

d. Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah yang memiliki konsentrasi kegiatan ekonomi cukup besar. Kondisi ini

(3)

akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat.

e. Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah

Investasi merupakan salah satu yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. daerah yang mendapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat.

Upaya untuk menanggulangi ketimpangan ditentukan oleh faktor-faktor penyebab ketimpangan yang telah diuraikan sebelumnya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketimpangan yaitu (a) penyebaran pembangunan prasarana perhubungan; (b) mendorong transmigrasi dan migrasi spontan; (c) pengembangan pusat pertumbuhan; dan (d) pelaksanaan otonomi daerah.

Menurut Todaro (2003), pertumbuhan ekonomi uang dihasilkan oleh beberapa orang saja akan menyebabkan kemiskinan dan ketimpangan yang semakin parah. Kemiskinan dan ketimpangan akan menimbulkan pengaruh negatif yang dapat merugikan masyarakat. Ketimpangan pendapatan yang ekstrim menyebabkan inefisiensi ekonomi, masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak mempunyai cukup uang untuk membiayai pendidikan bagi anak mereka ataupun mengembangkan bisnis.

Disparitas (kesenjangan) pembangunan antar daerah dapat dilihat dari kesenjangan dalam: (a) pendapatan perkapita, (b) kualitas sumber daya manusia, (c) ketersediaan sarana dan prasarana seperti transportasi, energi dan telekomunikasi, (d) pelayanan sosial seperti kesehatan, pendidikan, dsb., dan (e)

(4)

akses ke perbankan. Kesenjangan pembangunan antar daerah yang terjadi selama ini terutama disebabkan oleh: (a) distorsi perdagangan antar daerah, (b) distorsi pengelolaan sumber daya alam dan (c) distorsi sistem perkotaan-perdesaan. Distorsi sistem perkotaan-perdesaan menggambarkan tidak berfungsinya hierarki sistem kota, sehingga menimbulkan over-concentration pertumbuhan pada kota-kota tertentu, terutama kota-kota-kota-kota besar dan metropolitan di Pulau Jawa. Di sisi lain, pertumbuhan kota-kota lain dan perdesaan relatif lebih tertinggal. Padahal idealnya, sebagai suatu sistem perkotaan-perdesaan, terdapat keterkaitan dan interaksi yang positif baik antar tipologi kota maupun antara perkotaan dengan perdesaan. Dalam perspektif tersebut, perkotaan perdesaan merupakan satu kontinum (Daryanto, 2003).

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang pertama kali dikemukakan adalah Indeks Williamson pada tahun 1966. Indeks ini digunakan oleh Jeffrey G. Williamson untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

2.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dalam nilai riil, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Hal itu juga sekaligus menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi) yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah

(5)

selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut, juga ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer payment yaitu bagian pendapatan yang mengalir keluar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah (Tarigan, 2004).

Boediono (1985) mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang, jadi persentase pertambahan output harus lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. Ada ahli ekonomi yang membuat definsi lebih ketat yaitu pertumbuhan harus bersumber dari proses interen perekonomian tersebut, ketentuan yang terakhir ini sangat penting di perhatikan dalam ekonomi wilayah karena bisa saja suatu wilayah mengalami pertumbuhan tetapi petumbuhan itu tercipta karena banyaknya bantuan/suntikan dana dari pemerintah pusat dan pertumbuhan itu terhenti apabila suntikan dana dihentikan. Dalam kondisi seperti ini sulit dikatakan ekonomi wilayah itu bertumbuh. Wajar apabila suatu wilayah terbelakang mendapat suntikan dana dalam proporsi yang lebih besar di bandingkan wilayah lain. Akan tetapi setelah suatu jangka waktu tertentu, wilayah tersebut harus tetap bisa tumbuh walaupun tidak memperoleh alokasi yang berlebihan.

Menurut Mankiw (2004), untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data produk domestik bruto (PDB), yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bagaimana tabungan, pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi mempengaruhi tingkat output perekonomian serta pertumbuhannya

(6)

sepanjang waktu. Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa dalam jangka panjang, tingkat tabungan perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal dan tingkat produksinya. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output.

k c Investasi = sf(k) Output = f(k) Depresiasi = δk y i Sumber: Mankiw, 2004

Gambar 2.1 Hubungan Output, Konsumsi, dan Investasi dalam Pertumbuhan Ekonomi

Terdapat dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal, yaitu investasi (i) dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, hal ini menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, sehingga menyebabkan persediaan modal berkurang. Setiap nilai k, jumlah output ditentukan oleh fungsi produksi f(k), dan alokasi output itu di antara konsumsi (c) dan tabungan ditentukan oleh tingkat tabungan s.

Dumairy (1996) menuliskan bahwa PDB secara umum disebut agregat ekonomi, yang berarti angka besaran total yang menunjukkan prestasi ekonomi suatu negara. Dari agregat ekonomi ini dapat diukur pertumbuhan ekonomi. Untuk menghitung pertumbuhan ekonomi riil, harus menghilangkan pengaruh

(7)

perubahan harga yang melekat pada angka-angka agregat ekonomi menurut harga berlaku, sehingga terbentuk angka agregat ekonomi menurut harga konstan.

Pola pertumbuhan ekonomi dapat dianalisis menggunakan Klassen Typology. Klassen Typology membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Terdapat empat karakteristik pola pertumbuhan ekonomi dalam tipologi ini, yaitu daerah maju dan pertumbuhan cepat, daerah maju tapi tertekan, daerah berkembang cepat, dan daerah relatif tertinggal.

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi

Kemampuan suatu daerah dalam memajukan wilayahnya pasti dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi perlu diteliti agar dapat menentukan kebijakan yang tepat dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah relatif tertinggal. Apabila pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal dapat dipacu, maka diharapkan hal ini dapat mengurangi bahkan menghilangkan kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

2.3.1 Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia merupakan salah satu modal yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Menurut penelitian Prahara (2010), sumber daya yang dicerminkan pada kualitas pendidikan, kualitas kesehatan, dan jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sumber daya manusia berhubungan dengan proses produksi. Tenaga kerja dianggap sebagai faktor

(8)

positif dalam merangsang pertumbuhan ekonomi. Tenaga kerja merupakan modal utama bagi suatu daerah untuk berproduksi.

Kualitas sumber daya manusia juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Apabila kualitas sumber daya manusia di suatu daerah baik, maka diharapkan perekonomiannya juga akan lebih baik. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari kualitas pendidikan, kesehatan, atau indikator-indikator lainnya. Tingkat pendidikan yang baik akan mempengaruhi perekonomian melalui peningkatan kapabilitas penduduk, sehingga akan meningkatkan produktivitas dan kreativitas, serta menentukan kemampuan dalam menyerap dan mengelola sumber-sumber pertumbuhan ekonomi.

Kualitas pendidikan yang tinggi tidak akan berarti jika tingkat kesehatan masyarakat relatif rendah. Tingkat kesehatan yang rendah akan memberikan dampak pada produktivitas yang tidak maksimal. Sehingga kualitas kesehatan harus dijaga dengan cara memberikan pelayanan kesehatan yang memadai bagi masyarakat. Sehingga produktivitas tenaga kerja semakin baik dan mampu meningkatkan produksi yang berarti akan meningkatkan perekonomian.

2.3.2 Infrastruktur

Infrastruktur merupakan penunjang utama terselenggaranya proses usaha, pembangunan, proyek, dan sebagainya. Infrastruktur menjadi elemen penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perkembangan suatu daerah karena infrastruktur memfasilitasi dan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan ekonomi. Contoh-contoh infrastruktur adalah jalan raya, fasilitas air bersih, telekomunikasi, pertanian teririgasi, dan lain-lain. Dalam penelitian ini, infrastruktur dianalisis melalui panjang jalan, produksi air yang disalurkan kepada masyarakat, dan luas sawah

(9)

yang teririgasi. Kondisi jalan yang baik dapat memperlancar mobilitas barang dan jasa. Fasilitas irigasi dapat memperbaiki kualitas lahan pertanian, sehingga produktivitasnya akan meningkat. Ketersediaan air bersih merupakan penunjang bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat. Selain itu air bersih juga menjadi penunjang proses produksi suatu komoditi (Todaro, 2003).

2.3.3 Anggaran Pembangunan

Anggaran pembangunan merupakan dana yang dialokasikan untuk pembangunan bagi suatu daerah. Pada penelitian yang dilakukan Prahara (2010), anggaran pembangunan menjadi salah satu variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Anggaran tersebut menjadi salah satu alat yang berperan penting dalam peningkatan pembangunan agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah. Masyarakat yang sejahtera merupakan salah satu indikator bahwa daerah tersebut telah berkembang dan mengalami kemajuan perekonomian. 2.3.4 Tabungan

Menurut model pertumbuhan Solow tingkat tabungan dalam jangka panjang pada perekonomian menunjukkan ukuran persediaan modal. Semakin tinggi tingkat tabungan, semakin tinggi pula persediaan modal dan semakin tinggi output (Mankiw, 2004). Dalam model Solow, kenaikan tingkat tabungan memunculkan periode pertumbuhan yang cepat, tetapi akhirnya pertumbuhan itu melambat ketika kondisi mapan yang baru dicapai. Sehingga tabungan diduga dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi pada suatu daerah.

(10)

2.4 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai ketimpangan regional untuk tingkat nasional pernah dilakukan oleh Prasasti (2006) dengan menggunakan formulasi Williamson. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah kesenjangan ekonomi antar provinsi di Indonesia selama periode 1993-2003 semakin merata, sebagaimana terlihat pada Indeks Williamson yang semakin menurun. Nilai ketimpangan distribusi PDRB per kapita pada tahun 1993 sebesar 1,5247. Nilai ketimpangan hingga pada tahun 1996 terus mengalami peningkatan menjadi 1,6794. Namun nilai ketimpangan pada tahun 1997 menjadi 1,6778 dan terus mengalami penurunan. Sehingga pada tahun 2003 nilai ketimpangan ini menjadi 0,8974. Hasil perhitungan konvergensi yang bernilai negatif menunjukkan bahwa PDRB per kapita di daerah miskin tumbuh lebih cepat daripada daerah kaya dan telah terjadi penurunan kesenjangan. Besarnya laju konvergensi adalah 4,5 persen per tahun selama periode 1993-2003.

Fitria (2006), melakukan penelitian yang menganalisis kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tahun 1993-2004 dengan menggunakan formulasi Williamson. Dari hasil analisis diperoleh bahwa tingkat kesenjangan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa sebelum krisis ekonomi periode 1993-1998 tinggi, sedangkan setelah krisis pada periode 1998-2004 tingkan kesenjangan mulai menurun. Pada tahun 1993 tingkat kesenjangan pendapatan sebesar 0,9908, sedangkan pada tahun 1996 menurun menjadi 0,9900. Pada periode setelah krisis tahun 1998, tingkat kesenjangan kembali meningkat menjadi 0,9924, namun pada tahun 2004 kesenjangan menurun menjadi 0,9910. Menurunnya tingkat kesenjangan ini disebabkan oleh faktor sosial ekonomi yang

(11)

lebih baik dan kualitas sumberdaya manusia yang meningkat juga. Perubahan sistem pemerintahan sentralistik menjadi desentralistis juga turut memberikan pengaruh terhadap adanya penurunan kesenjangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan pada masing-masing wilayah untuk dapat mengembangkan potensi sehingga daerahnya semakin maju dan pembagian pendapatn lebih merata. Hasil analisis konvergensi kabupaten/kota di Pulau Jawa selama periode 1993-2004 menunjukkan tidak ada konvergensi, dengan kata lain terjadi divergensi. Nilai koefisien regresi lebih besar dari nol, maka tingkat pendapatan antar kabupaten/kota di Pulau Jawa tidak merata. Hasil pengujian faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB adalah: untuk periode 1993-1994 faktor yang signifikan yaitu tingkat pendapatan per kapita dan jumlah penduduk. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan PDRB periode 1997-1998 adalah pendapatan per kapita, jumlah penduduk, dan pendidikan. Pada periode 2003-2004 yang signifikan berpengaruh adalah jumlah penduduk. Untuk periode tahun 1993-2004 yang signifikan mempengaruhi pertumbuhan PDRB antar kabupaten/kota di Pulau Jawa adalah tingkat pendapatan dan jumlah penduduk.

Penelitian yang dilakukan oleh Bhinadi (2003) mengenai disparitas pertumbuhan ekonomi Jawa dengan luar Jawa menggunakan metode fixed effect menunjukkan bahwa perbedaan angka pertumbuhan pendapatan per kapita riil antara Jawa dengan luar Jawa terutama disebabkan oleh perbedaan produktivitas faktor total. Pertumbuhan kapital secara positif juga signifikan di dalam mempengaruhi pertumbuhan pendapatan per kapita dan mempunyai peran paling besar dibandingkan pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas sumber daya manusia. Peran pertumbuhan tenaga kerja dan pertumbuhan kualitas SDM

(12)

sangat kecil dan tidak signifikan di dalam model pertumbuhan ekonomi regional. Pertumbuhan tenaga kerja mempunyai kontribusi negatif, dan kontribusi pertumbuhan kualitas SDM kontribusinya positif. Hasil pengujian secara statistik menggunakan uji t dan uji F untuk mengetahui ada tidaknya disparitas regional di Indonesia memberikan hasil bahwa tidak terdapat disparitas pertumbuhan pendapatan per kapita antara Jawa dengan luar Jawa.

Permasalahan ketimpangan di Provinsi Jawa Timur pernah diteliti oleh Kristiyanti (2007). Dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranannya dalam Mengurangi Ketimpangan Pendapatan antar Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur”, Kristiyanti mengatakan bahwa ketimpangan pendapatan di Propinsi Jawa Timur termasuk dalam kategori ketimpangan sangat tinggi karena nilai indeks ketimpangan lebih besar dari 1 (satu). Penelitian ini difokuskan pada sektor basis di Provinsi Jawa Timur. Alat analisa yang digunakan yaitu Location Quotient(LQ)untuk mengetahui sektor basis ekonomi di Provinsi Jawa Timur dan Indeks Williamson untuk menghitung tingkat ketimpangan pendapatan daerah.

Hasil perhitungan nilai LQ diseluruh sektor perekonomian berdasarkan indikator pendapatan daerah atau PDRB atas dasar harga konstan 2000 terdapat lima sektor yang menjadi basis perekonomian Provinsi Jawa Timur pada tahun 2001-2003 yaitu sektor pertanian, sektor industri dan pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Pada tahun 2004-2005 terdapat tiga sektor basis yaitu sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Hal ini ditunjukkan dari nilai LQ sektor tersebut lebih besar

(13)

dari 1 (satu) dan berarti bahwa sektor-sektor tersebut berperan dalam kegiatan ekspor daerah.

Sektor basis yang memiliki peranan besar dalam mengurangi tingkat pendapatan terbesar di Jawa Timur adalah sektor pertanian dengan rata-rata sebesar 19 persen. Sektor basis lainnya seperti sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor pengangkutan dan komunikasi hanya berperan kecil dalam mengurangi tingkat ketimpangan rata-rata di bawah 3 persen. Namun sektor industri dan pengolahan, dan sektor perdagangan justru memberikan dampak yang negatif terhadap ketimpangan dan menyebabkan kenaikan tingkat ketimpangan rata-rata selama perode pengamatan sebesar 45 persen.

Purnamasyari (2010) melakukan penelitian mengenai kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2001-2008 dengan menggunakan Indeks Ketimpangan Williamson, Klassen Typology dan model data panel. Indeks Ketimpangan Williamson digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan pendapatan serta menganalisa trend kesenjangan yang terjadi antar kabupaten/kota. Berdasarkan Indeks Ketimpangan Williamson pada periode pengamatan tahun 2001-2008 kesenjangan pendapatan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tergolong dalam kesenjangan taraf tinggi dengan nilai indeks ketimpangan antara 0,61 sampai 0,69 yang berarti berada di atas 0,50 sebagai batas kesenjangan taraf sedang. Ketimpangan selama periode analisis berfluktuasi dan cenderung menurun dengan penurunan sebesar 0,03 poin pada tahun 2008 dibandingkan dengan tahun 2001. Klassen Typology digunakan untuk mengetahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota. Berdasarkan Klassen Typology, selama periode analisis kondisi terbaik terjadi

(14)

pada tahun 2002 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah maju dan pertumbuhan cepat sebanyak 18,18 persen dari jumlah total kabupaten/kota. Sedangkan kondisi terburuk terjadi pada tahun 2007 dengan kabupaten/kota yang termasuk daerah kurang berkembang sebanyak 63,64 persen dari jumlah total kabupaten/kota di Jawa Barat. Sedangkan model data panel digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang dapat mendorong untuk membantu peningkatan PDRB terutama bagi daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. Hasil analisis menggunakan data panel menunjukkan bahwa jumlah penduduk berpengaruh positif secara signifikan terhadap PDRB, sedangkan pangsa sektor pertanian dan pangsa sektor industri berpengaruh negatif secara signifikan terhadap PDRB. Indeks pendidikan dan indeks kesehatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap PDRB.

2.5 Kerangka Pemikiran

Karakteristik alam, ekonomi, sosial, dan budaya yang beraneka ragam pada masing-masing daerah menimbulkan pola pembangunan ekonomi yang berbeda. Hal ini menyebabkan adanya beberapa wilayah mampu tumbuh dengan cepat sementara wilayah lain tumbuh dengan lambat. Perbedaan kemampuan untuk bertumbuh menimbulkan kesenjangan ekonomi seperti ketimpangan pendapatan antar wilayah, sektor, golongan, dan desa-kota. Desentralisasi sistem pemerintah merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mengurangi ketimpangan. Melalui kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki wewenang dalam mengatur pembangunan wilayahnya. Setiap daerah diharapkan dapat

(15)

mengembangkan potensi yang dimiliki oleh daerahnya agar dapat meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan pendapatan.

Tujuan pembangunan ekonomi dapat dicapai melalui suatu perencanaan yang baik dan terkendali. Perencanaan yang dibuat harus sesuai dengan karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap daerah. Potensi yang ada diharapkan dapat memberikan sumbangan atau kontribusi yang besar dalam penerimaan dan pengeluaran pemerintah sebagai upaya peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Berdasarkan pernyataan di atas, penelitian ini berupaya menjawab beberapa tujuan yaitu mengukur tingkat kesenjangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan Indeks Williamson. Besarnya nilai ketimpangan ekonomi setiap tahun selama periode penelitian dapat diketahui, kemudian diplot ke dalam sebuah grafik agar terlihat trend ketimpangan yang terjadi di Provinsi Jawa Timur.

Analisis pola pertumbuhan ekonomi dilakukan menggunakan Klassen Typology. Klassen Typology dianalisis menggunakan data PDRB per kapita dan laju pertumbuhan ekonomi dari masing-masing daerah di Provinsi Jawa Timur. Sehingga diperoleh hasil wilayah-wilayah yang mengalami kemajuan atau kemunduranpada tahun 2010.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju PDRB di setiap kabupaten/kota yang masuk ke dalam daerah tertinggal pada Klassen Typologydianalisis menggunakan metode data panel dengan beberapa indikator yaitu kualitas pendidikan, kesehatan, jumlah pekerja, panjang jalan, produksi air yang disalurkan, luas pertanian teririgasi, tabungan, dan anggaran pembangunan. Setelah diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap laju PDRB, diharapkan pemerintah dapat

(16)

menentukan kebijakan yang sesuai agar terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya mampu mengurangi ketimpangan ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Analisis Ketimpangan Ekon (Indeks Williamson)

omi

• Daerah maju dan pertumbuhan cepat • Daerah berkembang cepat

• Daerah maju tetapi tertekan • Daerah relatif tertinggal

Rekomendasi Kebijakan Pemerintah

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju PDRB Daerah Tertinggal Klasifikasi Pertumbuhan

Ekonomi Daerah (Klassen Typology) 

Ketimpangan Ekonomi Antar Kabupaten/Kota Ketidakseimbangan Pertumbuhan

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

1. Ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara yang dihitung dengan menggunakan Indeks Williamson selama periode 1984-2009 menunjukkan ketimpangan semakin

Sektor pertanian terbukti mampu menurunkan ketimpangan pendapatan di Provinsi Jawa Barat oleh karena itu dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian sebaiknya

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dengan analisis menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil bisa diketahui bahwa ketimpangan yang terjadi di

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dengan analisis menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil bisa diketahui bahwa ketimpangan yang terjadi di

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa dengan analisis menggunakan Indeks Williamson dan Indeks Entropi Theil bisa diketahui bahwa ketimpangan yang terjadi di

Hal tersebut dapat menyebabkan timbulnya ketimpangan pendapatan sehingga diperlukan suatu perencanaan kebijakan yang matang dari pemerintah dalam rangka mengarahkan alokasi

Dari hasil perhitungan Indeks Williamson menunjukan bahwa ketimpangan pembangunan di Provinsi Gorontalo sampai dengan tahun 2008 relatif besar dibandingkan saat

Hasil penelitian menerangkan bahwa tingkat ketimpangan ekonomi yang terjadi di kabupaten kota di Provinsi Jawa Timur sepanjang periode 2012 hingga 2017 melalui nilai indeks