• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek teratogenik ramuan segar jamu kunyit asam pada tikus - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Efek teratogenik ramuan segar jamu kunyit asam pada tikus - USD Repository"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

i

EFEK TERATOGENIK RAMUAN SEGAR JAMU KUNYIT ASAM PADA TIKUS

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Prima Mustikaningtyas NIM : 078114128

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv



Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan rasa

cemas akan segala hal..

Kata mempunyai kekuatan, dan Tuhan selalu

mendengarkan...

BERDOA...



Kupersembahkan karya kecilku ini untuk:

Allah SWT sebagai ungkapan syukur dan

pujianku

Ibuku di surga, Bapak, Adik, dan

Nenekku sebagai ungkapan sayang dan

baktiku

Untuk seseorang yang aku kasihi,

sahabat-sahabatku,

(5)
(6)

vi PRAKATA

Puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Efek Teratogenik Ramuan Segar Jamu Kunyit Asam Pada Tikus” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi (S.Farm).

Dalam penelitian dan menyusun skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak yang berupa bimbingan, dorongan, pengarahan, saran maupun sarana. Maka dari itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt.. selaku Dosen Penguji yang telah memberikan pendampingan, dukungan, saran, serta kritik yang membangun. 3. Bapak Prof. Dr. C. J. Sugihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan pendampingan, dukungan, saran, serta kritik yang membangun. 4. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing atas

bimbingan, saran, pengarahan, serta dukungannya dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Christine Patramurti, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing Akademik serta segenap dosen dan staf Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah mendampingi dan mendukung penulis selama menekuni studi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

(7)

vii

7. Yosephine Dian, Yeyen Kristiyana, Dionysia Giovani, Devi Nathania, Clarissa Resty Prabaniswari, serta seluruh teman-teman FKK B 2007 untuk dukungan dan perhatian yang diberikan kepada penulis.

8. Ratna Mustika Cahyaningrum, Agnes Dasmaria Purba, Rina Anisawati, Pelagia Udya Leutta, Anastasia Shinta Wirasasmita, serta seluruh sahabat atas perhatian, semangat, dan doa yang diberikan kepada penulis.

9. Ahmad Susanto, untuk dukungan, kasih sayang, semangat, dan motivasi yang selalu diberikan kepada penulis.

10.Teman-teman karyawan di K-24 Herman Yohanes untuk dukungan dan perhatian yang diberikan kepada penulis.

11.Mas Heru, Mas Parjiman, Mas Yohanes Ratijo dan Mas Kayatno, beserta segenap staf laboran atas kerjasama, masukan, dan bantuan yang diberikan selama penelitian.

12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini masih banyak ketidaksempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan masukan serta kritik yang membangun. Harapan penulis, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

(8)
(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

PRAKATA ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

INTISARI ... xviii

ABSTRACT ... xix

BAB I PENGANTAR ... 1

(10)

x

1. Permasalahan ... 4

2. Keaslian penelitian ... 4

3. Manfaat penelitian ... 5

B. Tujuan Penelitian ... 5

1. Tujuan umum ... 5

2. Tujuan khusus ... 6

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Uraian Kunyit dan Asam ... 7

1. Taksonomi dan tatanama ... 8

2. Morfologi tanaman ... 8

3. Kandungan kimia dan kegunaan ... 9

B. Sistem Reproduksi ... 12

1. Alat reproduksi tikus betina ... 12

2. Perkembangan sistem reproduksi tikus betina... 14

C. Teratogenitas ... 15

1. Patogenesis ... 16

(11)

xi

3. Mekanisme kerja teratogen ... 20

4. Klasifikasi teratogen ... 22

5. Evaluasi efek teratogen ... 24

6. Uji teratologi ... 28

D. Keterangan Empiris ... 29

BAB III METODE PENELITIAN... 30

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 30

B. Variabel Penelitian ... 30

1. Variabel utama ... 30

2. Variabel pengacau ... 30

3. Definisi variabel utama penelitian ... 31

C. Bahan atau Materi Penelitian ... 31

D. Alat atau Instrumen Penelitian ... 32

E. Tata Cara Penelitian ... 33

1. Penetapan dosis ramuan segar jamu kunyit asam ... 33

2. Pembuatan larutan ramuan segar jamu kunyit asam ... 34

(12)

xii

4. Pemberian perlakuan pada hewan uji ... 35

5. Pengamatan dan pengumpulan data ... 35

6. Pembuatan dan pemeriksaan preparat sistem skeletal ... 36

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Biometrika Janin ... 38

1. Resorpsi awal ... 38

2. Resorpsi akhir ... 40

3. Berat badan janin ... 41

4. Panjang badan janin ... 42

5. Bobot plasenta ... 44

6. Jumlah kematian janin ... 45

B. Gros Morfologi ... 46

C. Sistem Skeletal ... 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

A. Kesimpulan ... 54

(13)

xiii

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN ... 59

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Tabel perbandingan kehamilan pada beberapa spesies ... 20

Tabel II. Beberapa contoh zat yang diketahui sebagai teratogenik pada manusia atau hewan ... 22

Tabel III. Purata±SE data jumlah resorpsi awal pada induk tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis ... 39

Tabel IV. Purata±SE data jumlah resorpsi akhir pada induk tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis ... 40

Tabel V. Purata±SE data berat badan janin tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis ... 42

Tabel VI. Purata±SE data panjang badan janin tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis ... 43

Tabel VII.Purata±SE data bobot plasenta tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis ... 44

Tabel VIII.Purata±SE data jumlah kematian janin pada induk tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis... 45

(15)

xv

(16)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambar alat reproduksi tikus betina ... 13

Gambar 2. Tahap embriogenesis ... 17

Gambar 3. Insidens cacat yang dapat diramalkan pada berbagai organ dan sistem yang kerentanannya bervariasi sesuai dengan kehamilannya ... 19

Gambar 4. Gambar periode sensitif perkembangan sistem organ pada manusia... 20

Gambar 5. Tulang skeletal normal ... 26

Gambar 6. Kelainan pada tulang sternum ... 26

Gambar 7. Kelainan pada tulang vertebral bodies ... 27

Gambar 8. Kelainan pada tulang vertebral bodies dan arch ... 27

Gambar 9. Kelainan pada tulang vertebral dan costae ... 28

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Foto Rimpang Kunyit dan Asam Jawa ... 59

Lampiran 2 Foto jamu kunyit asam ramuan segar di Laboratorium Farmakologi-toksikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ... 59

Lampiran 3. Foto induk tikus setelah dilakukan pembedahan seisar ... 60

Lampiran 4. Foto janin dan plasenta yang sudah dipisahkan dari induknya... 60

Lampiran 5. Janin sesudah diberi pewarnaan dengan Alizarin red-S... 61

Lampiran 6. Janin dengan penulangan tidak normal... 61

Lampiran 7. Hasil analisis statistik purata data berat badan janin, panjang badan janin, bobot plasenta akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis... ... 62

Lampiran 8. Hasil analisis statistik purata data jumlah resorpsi awal dan resorpsi akhir pada induk tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis... 71

(18)

xviii INTISARI

Di Indonesia, pengobatan secara tradisional masih banyak digunakan oleh masyarakat, terutama masyarakat pedalaman. Pengembangan terhadap obat tradisional didukung oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang pengujian terhadap obat tradisional. Salah satu pengujian yang dipersyaratkan yaitu uji toksisitas, diantaranya uji teratogenik.

Penelitian ini mengikuti rancangan acak lengkap pola searah. Dua puluh ekor tikus betina galur wistar, berumur 2-3 bulan, siklus menstruasi teratur dan masih perawan, dibagi secara acak menjadi empat kelompok sama banyak. Kelompok I diberi aquadest sebagai kontrol, kelompok II-IV sebagai kelompok perlakuan. Dosis ramuan segar jamu kunyit asam berturut-turut adalah 945 mg/kg BB, 2835 mg/kg BB, dan 8505 mg/kg BB. Perlakuan diberikan secara oral, sehari sekali pada masa organogenesis.

Kriteria pengamatan efek teratogenik meliputi biometrika janin, gros morfologi, dan sistem skeletal. Data yang didapat diolah secara kuantitatif dengan analisis Kolmogorov-Smirnov, kemudian data dianalisis secara statistik menggunakan Anova satu arah yang dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk mengetahui letak perbedaan bermakna antar kelompok. Semua data diuji dengan taraf kepercayaan 95%.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dosis 945; 2835; 8505 mg/kg BB selama masa organogenesis tikus dicurigai dapat menimbulkan efek teratogenik.

(19)

xix

ABSTRACT

In Indonesia, traditional treatment has still be used widely, particularly in the inland area. The improvement of traditional medication has been supported by The Health Ministry Regulation No. 760 about the test on the traditional medication. The required tests involve toxicity test, and one of them is teratogenic test.

The research employed complete one-way random design. The research used twenty female galur rats, with the age of 2-3 months, with the regular period of menstruation and are still virgin, they are grouped with similar numbers. Group I was assigned with aquadest as control, group II- IV were given with fresh concoction sour tumeric tonic. The dosages of sour tumeric tonic of group II-IV were 945 mg/kg BW, 2835 mg/kg BW, and 8505 mg/kg BW. The treatment was given orally, once a day in the organogenesis period.

Criteria of teratogenic effect involved embryo biometrics, gross morphology, and skeletal system. The data was analyzed quantitively using Kolmogorov-Smirnov, then analyzed statistically using one-way Anova and continued with Scheffe test to examine the difference among the groups. All data was tested with confidence level of 95%.

The result of this research indicated that giving a fresh concoction sour tumeric tonic at doses of 945; 2835; 8505 mg/kg BW during the organogenesis time of rat have a potential of teratogenic effect.

(20)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Indonesia terkenal memiliki banyak dan beragam sumber daya alam, salah satu dari sumber daya alam yang ada adalah tanaman obat yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Tanaman obat biasanya digunakan dalam pengobatan tradisional secara mandiri oleh masyarakat. Penggunaan obat tradisional oleh masyarakat yang secara terpelihara dari generasi ke generasi, merupakan suatu kebiasaan empirik, khususnya di kalangan orang yang awam di bidang kesehatan.

Salah satu alasan masyarakat untuk tetap menggunakan obat tradisional yaitu adanya anggapan oleh masyarakat bahwa obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih kecil dibandingkan obat modern. Sebagai salah satu warisan budaya yang masih dipelihara oleh masyarakat, hendaknya potensi obat tradisional perlu untuk dikembangkan guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Menurut Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

(21)

Dari data-data yang dikumpulkan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, terlihat bahwa setiap tahun terjadi peningkatan produksi obat tradisional. Terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional oleh masyarakat menuntut adanya perhatian khusus dari pemerintah. Berkaitan dengan masalah ini, pemerintah mempunyai sasaran dan strategi dalam Sistem Kesehatan Nasional dan Kebijaksanaan Obat Nasional.

Upaya pengembangan obat tradisional mulai didorong dengan adanya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: 760/Menkes/Per/IX/1992 tentang fitofarmaka yang menyatakan bahwa obat tradisional perlu uji toksisitas, farmakologi eksperimental, dan uji klinik (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 1996). Maka sebelum obat tradisional diedarkan di masyarakat harus diketahui khasiat dan keamanan yang dapat memberikan manfaat khusus bagi penggunanya.

Salah satu uji yang dipersyaratkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah uji toksisitas khusus, yaitu teratogenik. Obat tradisional sangat mungkin digunakan oleh wanita saat usia subur, tetapi perlu dipertimbangkan kemungkinan efek teratogenik sebagai akibat aktivitas bahan kimia (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan RI, 2000).

(22)

digunakan oleh masyarakat adalah jamu kunyit asam. Jamu kunyit asam tersebut merupakan ramuan rimpang kunyit dan daging buah asam. Pada umumnya, masyarakat menggunakan jamu kunyit asam untuk mengurangi rasa nyeri saat haid, dalam hal ini khususnya bagi wanita terutama pada masa subur. Minuman kunyit asam adalah minuman yang diolah dengan bahan utama kunyit dan asam (Limananti dan Triratnawati, 2003). Secara alamiah memang kunyit dipercaya memiliki kandungan bahan aktif yang dapat berfungsi sebagai analgetika, antipiretika, dan antiinflamasi (Norton, 2008) begitu juga asam (asam jawa) yang memiliki bahan aktif sebagai antiinflamasi, antipiretika, dan penenang (Nair, et al.,2004). Sebelumnya juga pernah dilakukan penelitian oleh Rahmawati (2009), bahwa ramuan segar jamu kunyit asam memiliki daya analgesik pada dosis 1365 mg/kg BB sebesar 37%; 2730 mg/kg BB sebesar 46,43%; dan pada dosis 5460 mg/kg BB sebesar 49,57%. Selain itu, Fadeli (2009) juga meneliti tentang daya analgesik dari campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam jawa dengan komposisi 20% : 10% dengan optimasi komposisi menggunakan metode Simplex Latice Design. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa berdasarkan metode Simplex Latice Design, komposisi campuran 20,7% : 9,3% adalah campuran yang optimum karena dapat menghasilkan % penghambatan sebesar 65,92% jika diminum pada dosis 2730 mg/kg BB.

Meskipun demikian, bukti ilmiah tentang penggunaan jamu ramuan segar kunyit asam pada wanita hamil belum banyak dilakukan, maka uji teratogenik sangat besar manfaatnya. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi batas keamanan dan risiko penggunaan jamu ramuan segar kunyit asam oleh

(23)

wanita hamil yang erat kaitannya dengan cacat bawaan pada janin yang dikandungnya.

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang sudah dijelaskan diatas, maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

a. Apakah jamu ramuan segar kunyit asam mempunyai efek teratogenik pada tikus?

b. Seberapa besar potensi teratogenik pemakaian jamu ramuan segar kunyit asam pada masa organogenesis?

c. Apa saja wujud dari efek teratogenik akibat pemejanan jamu ramuan segar kunyit asam pada masa organogenesis?

2. Keaslian penelitian

Sebelumnya pernah dilakukan uji daya analgesik jamu kunyit asam ramuan segar pada mencit putih betina oleh Rahmawati (2009). Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa ramuan segar jamu kunyit asam memiliki daya analgesik pada dosis 1.365 mg/kg BB sebesar 37%; 2.730 mg/kg BB sebesar 46,43%; dan pada dosis 5.460 mg/kg BB sebesar 49,57%. Selain itu, Fadeli (2009) juga meneliti tentang daya analgesik dari campuran ekstrak rimpang kunyit dan ekstrak daging buah asam jawa dengan komposisi 20% : 10% dengan optimasi komposisi menggunakan metode Simplex Latice Design. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa berdasarkan metode Simplex Latice

(24)

karena dapat menghasilkan % penghambatan sebesar 65,92% jika diminum pada dosis 2730 mg/kg BB. Namun, teratogenisitas jamu ramuan segar kunyit asam pada tikus betina sejauh ini belum pernah dilaporkan.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi adanya efek teratogen dan wujud dari efek tersebut akibat pemberian jamu ramuan segar kunyit asam pada masa organogenesis.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini memberikan informasi dini tentang potensi teratogenik pemakaian jamu ramuan segar kunyit asam pada wanita hamil.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian teratogenik jamu ramuan segar kunyit asam meliputi : 1. Tujuan umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi teratogenik akibat penggunaan jamu ramuan segar kunyit asam pada masa organogenesis.

(25)

2. Tujuan khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mengetahui efek teratogen dari ramuan segar jamu kunyit asam jika digunakan selama masa organogenesis.

b. Mengetahui seberapa besar potensi teratogenik dari pemakaian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis.

(26)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Uraian Kunyit dan Asam

Kunyit merupakan tanaman obat berupa semak dan bersifat tahunan (perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar disekitar hutan/bekas kebun. Diperkirakan berasal dari Binar pada ketinggian 1300-1600 m dpl, ada juga yang mengatakan bahwa kunyit berasal dari India. Kata Curcuma berasal dari bahasa Arab Kurkum dan Yunani Karkom. Pada tahun 77-78 SM, Dioscorides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, dan sedikit pedas, tetapi tidak beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia (Jawa), dan Filipina (Anonim, 2009).

Asam jawa termasuk tumbuhan tropis. Asal-usulnya diperkirakan dari savana Afrika timur di mana jenis liarnya ditemukan, salah satunya di Sudan. Semenjak ribuan tahun, tanaman ini telah menjelajah ke Asia tropis, dan kemudian juga ke Karibia dan Amerika Latin. Di banyak tempat yang bersesuaian, termasuk di Indonesia, tanaman ini sebagian tumbuh liar seperti di hutan-hutan savana (El-Siddig, et al., 2006).

(27)

1. Taksonomi dan tatanama tanaman a. Kunyit

Divisi : Spermatophyta Ordo : Monocotyledonae Familia : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies :Curcuma domestica Val

(Chattopadhyay, Biswas, Bandyopadhyay, Banerjee, 2004). b. Asam jawa

Divisi : Magnoliophyta Kelas : Dicotyledonae Ordo : Rosales

Familia : Caesalpiniaceae Genus : Tamarindus

Spesies : Tamarindus indica L.

(El-siddig, et al., 2006). 2. Morfologi tanaman

a. Kunyit

(28)

8-12,5 cm, pertulangan menyirip, warna hijau pucat. Rimpangnya memiliki banyak cabang dengan kulit luarnya berwarna jingga kecoklatan. Buah daging rimpang kunyit berwarna merah jingga kekuning-kuningan (Said, 2009). b. Asam jawa

Asam jawa biasanya tumbuh di daerah dataran rendah. Tanaman ini berupa pohon, tinggi 15-25 m, batang tegak, berkayu, bulat, permukaan banyak lenti sel, percabangan simpodial, berwarna coklat muda. Daun majemuk, lonjong berhadapan, panjang 1-2,5 cm, tepi rata, ujung tumpul, tangkai membulat, pertulangan menyirip, halus, hijau, tangkai panjang ± 0,2 cm. Bunga majemuk, bentuk tandan, di ketiak daun, tangkai panjang ± 0,6 cm, kuning, kelopak bentuk tabung, hijau kecoklatan, benang sari jumlahnya banyak, putih, putik putih, mahkota kecil, kuning, buah polong, panjang ± 10 cm, hijau kecoklatan. Biji bentuk kotak, pipih (Rukmana, 1994).

3. Kandungan kimia dan kegunaan a. Kunyit

Kunyit mengandung protein (6,3%), lemak (5,1%), mineral (3,5%), karbohidrat (69,4%), dan moisture (13,1%). Terdapat minyak esensial (5,8%) yang diperoleh melalui distilasi uap dari rhizome/rimpang tanaman kunyit yang mendandung phellandrene (1%), sabinene (0.6%), cineol (1%), borneol

(0.5%), zingiberene (25%) dan sesquiterpenes (53%). Curcumin

(diferuloylmethane) (3–4%) membuat warna rhizoma kunyit menjadi kuning.

Derivat dari curcumine, berupa demethoxy, bisdemethoxy, dan curcumenol

juga diperoleh melalui distilasi uap rhizomanya (Chattopadhyay, et al., 2004).

(29)

Rimpang kunyit digunakan untuk mengobati sakit perut, demam, nyeri haid, nyeri setelah melahirkan, sebagai jamu bersih darah, meningkatkan nafsu makan, dan gangguan fungsi hati (Bone dan Mills, 2000).

Kemanjuran curcuminoid (curcumin) dalam kunyit dalam menghambat respon inflamasi mikrovaskular hepatik yang diperoleh oleh lipopolysacharide

ditunjukkan menggunakan tikus BALB/C. Penelitian tersebut menggunakan agen antiinflamasi alternatif alami (Lukita-Atmadja, Ito, Baker, McCuskey, 2002).

Analisis fitokimia dari rimpang Curcuma zedoria (sejenis kunyit yang tumbuh di Brazil) mengungkapkan bahwa komposisi kimianya sama dengan kunyit lain yang tumbuh di negara-negara lainnya dan curcumenol

menunjukkan aktivitas poten sebagai analgetika ketika dievaluasi pada tikus dengan model nyeri yang diinduksi dengan formalin dan capsaicin (Navarro,

et al., 2002).

Curcumin atau diferuloylmethane, merupakan suatu pigmen kuning

(30)

b. Asam jawa

Daging buahnya mengandung bermacam-macam asam (seperti: asam tatrat, asam malat, asam sitrat, asam suksinat, asam asetat) yang memudahkan buang air besar, melancarkan peredaran darah dan mendinginkan. Daunnya berkhasiat memperlancar buang air besar dan menghilangkan rasa sakit. Karena mengandung flavonoid, juga bersifat anti radang. la juga membantu pengeluaran keringat (Dalla Rosa, 1993).

Kandungan bahan aktif terpenting dari buah asam jawa adalah xylose

(18%), sedangkan bahan lain yang bisa diperoleh antara lain galaktosa (23%), glukosa (55%), dan arabinose (4%). Bahan lain yang bisa diperoleh dari buah ini melalui dilusi menggunakan asam dan pemanasan adalah xyloglycans,

tannins, saponins, sesquiterpenes, alkaloids, dan phlobatamins (Pauly, 1999).

Selain senyawa yang dapat ditemukan di atas, ternyata baru-baru ini juga ditemukan agen aktif yang sangat bermanfaat dalam bidang medis, yaitu

anthocyanin (Nair, et al., 2004).

Buah asam jawa memiliki banyak manfaat medis yang telah dipercaya. Terutama kandungan xylose, xyloglycans, dan anthocyanin yang terdapat dalam buah tersebut. Xylose dan xyloglycans sangat bermanfaat dalam hal kosmetika medis (Pauly, 1999), sedangkan yang paling bermanfaat dalam hal antiinflamasi dan antipiretika adalah anthocyanin karena agen tersebut mampu menghambat kerja enzim cyclooxygenase (COX) sehingga mampu menghambat dilepaskannya prostaglandin (Nair, et al., 2004), sedangkan bahan tannins, saponins, sesquiterpenes, alkaloids, dan phlobatamins akan

(31)

sangat bermanfaat untuk menenangkan pikiran dan mengurangi tekanan psikis (Pauly, 1999).

Ramuan segar jamu kunyit asam sudah banyak dikenal oleh masyarakat, terutama di daerah Jawa. Bahan baku dari ramuan jamu ini adalah kunyit dan asam yang segar. Saat ini jamu kunyit asam dapat diperoleh denga jalan membuat sendiri atau membeli produk jadi yang diproduksi pabrik (Olivia, Alam, Hadibroto, 2006). Ramuan segar jamu kunyit asam yang beredar di masyarakat biasanya terdiri dari setengah kilogram kunyit, setengah kilogram asam jawa, seperempat kilogram gula jawa, dan dua liter air (Dinda, 2007).

B. Sistem Reproduksi

Organ-organ sistem reproduksi wanita bertugas untuk menghasilkan ovum (telur), transportasi sel telur ke tempat fertilisasi, untuk memberikan tempat yang layak bagi perkembangan embrio, dan untuk melahirkan keturunan (janin) yang dikandung pada waktu yang tepat. Sistem reproduksi wanita juga bertugas memasok makanan bagi janin dalam kandungan dan memproduksi hormon seks perempuan (Grant, 2011).

1. Alat reproduksi tikus betina

(32)

terdapat bagian yang menonjol yang di dalamnya terdiri dari tulang kemaluan yangditutupi jaringan lemak yang tebal. Pada saat pubertas bagian kulitnya akan ditumbuhi rambut. Lubang kemaluan ditutupi oleh selaput tipis yang biasanya berlubang sebesar ujung jari yang disebut selaput dara (hymen). Dibelakang bibir vulva terdapat kelenjar-kelenjar yang mengeluarkan cairan. Di ujung atas bibir terdapat bagian yang disebut clitoris, merupakan bagian yang mengandung banyak urat-urat syaraf. Di bawah clitoris agak ke dalam terdapat lubang kecil yang merupakan lubang saluran air seni (urethra). Dapat dilihat lebih jelas pada gambar 1, agak ke bawah lagi terdapat vagina yang merupakan saluran dengan dinding elastis, tidak kaku seperti dinding pipa. Saluran ini menghubungkan vulva dengan mulut rahim.Mulut rahim terdapat pada bagian yang disebut leher rahim

(cervix), yaitu bagian ujung rahim yang menyempit. Lapisan dinding rahim yang

terdalam disebut endometrium, merupakan lapisan selaput lendir (Hill, 2004).

Gambar 1. Gambar alat reproduksi tikus betina (Grant, 2011).

(33)

2. Perkembangan sistem reproduksi tikus betina

Menstruasi atau haid yang terjadi secara siklus, 24-36 hari sekali, timbul karena pengaruh-pengaruh hormon yang berinteraksi terhadap selaput lendir rahim (endometrium). Lapisan tersebut berbeda ketebalannya dari hari kehari, paling tebal terjadi pada saat masasubur, yang mana endometrium dipersiapkan untuk kehamilan. Bila kehamilan tidak terjadi, lapisan ini mengelupas dan terbuang berupa darah haid. Biasanya haid berlangsung 2-8 hari.

Tugas reproduksi dilakukan oleh indung telur, saluran telur dan rahim. Sel telur yang setiap bulannya dikeluarkan dari kantung telur pada saat masa subur akan masuk ke dalam saluran telur untuk kemudian bertemu dan menyatu dengan sel benih pria (spermatozoa) membentuk organisme baru yang disebut zygote, pada saat inilah ditentukan jenis kelamin janin dan sifat-sifat genetiknya. Selanjutnya zygote akan terus berjalan sepanjang saluran telur dan masuk ke dalam rahim. Kemudian akan tumbuh dan berkembang janin yang sudah terbentuk, yang kemudian akan lahir pada umur kehamilan cukup bulan. Masa subur pada siklus haid 28 hari, terjadi sekitar hari ke empat belas dari hari pertama haid. Umur sel telur sejak dikeluarkan dari indung telur hanya berumur 24 jam, sedangkan sel benih pria berumur kurang lebih 3 hari (Verralls, 1998).

(34)

Siklus oestrus terdiri dari empat tahap: prooestrus, oestrus, metoestrus dan dioestrus. Karena siklus reproduksi tikus terus-menerus, maka setelah dioestrus dilanjutkan dengan prooestrus siklus berikutnya. Siklus oestrus hanya berhenti pada masa kehamilan dan menyusui, meskipun oestrus postpartum subur tidak terjadi dalam waktu 24 jam setelah lahir (Anonim, 2011).

Kematangan seksual pada tikus betina biasanya terjadi antara usia 30 dan 50 hari. Kennedy dan Mitra (1963) melaporkan rata-rata usia pubertas pada tikus betina berdasarkan terjadinya lubang pada vagina dan oestrus pertama. Siklus oestrus pertama dimulai dalam waktu kuang lebih satu minggu setelah pembukaan vagina dan berulang secara teratursetiap empat atau lima hari untuk variabel yang sesuai dari umur hewan, tergantung pada strain tikus (Anonim, 2011).

C. Teratogenitas

Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini sudah diketahui selama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama morbiditas seta mortalitas pada bayi baru lahir (Lu, 1995).

Teratogenesis merupakan proses yang mencakup gangguan perkembangan normal embrio atau janin pada uterin, yang mengakibatkan kelainan atau cacat bawaan bayi baik makroskopik maupun mikroskopik. Keadaan ini mencakup perubahan struktural maupun fungsional (Donatus, 2001).

Teratologi adalah studi tentang penyebab, mekanisme, dan manifestasi dari perkembangan yang menyimpang dari sifat struktural dan fungsional. Zat kimia yang secara nyata mempengaruhi perkembangan janin menimbulkan efek yang berubah-ubah mulai dari letalitas sampai kelainan bentuk (malformasi) dan

(35)

keterhambatan pertumbuhan. Secara kolektif, respon-respon ini disebut efek embriotoksik (Loomis, 1978).

1. Patogenesis

Seperti telah diketahui, keberadaan janin dalam kandungan telah dilindungi dari pengaruh luar oleh plasenta dan selaput ketuban. Meskipun demikian, sistem perlindungan tubuh tersebut, terkadang dapat ditembus oleh aneka ragam xenobiotika. Efek toksik yang ditimbulkannya mungkin berupa kematian (embriotoksik), kelainan bawaan atau cacat bawaan (teratogenik), perlambatan pertumbuhan, dan gangguan fungsional. Yang unik ialah berbagai akibat tersebut terjadi setelah pemejanan xenobiotika pada masa bunting atau kehamilan yang berbeda-beda.

(36)

2. Periode kritis perkembangan janin

Periode kritis adalah saat dimana suatu organ atau jaringan dalam keadaan rentan terhadap suatu teratogen. Yang dimaksud teratogen disini adalah suatu bahan atau faktor yang berasal dari gen (genetik), atau dari luar gen (epigenetik), yang dapat menyebabkan cacat bawaan.

Gambar 2. Tahap embriogenesis pada manusia (Timbrell, 1982 cit Lu,

1995).

Dari gambar 2 dapat dilihat, setelah pembuahan, sel telur mengalami proliferasi sel, diferensiasi sel, migrasi sel, dan organogenesis. Embrio kemudian melewati metamorfosis dan periode perkembangan janin sebelum dilahirkan (Lu, 1995).

Tahap pradiferensiasi, pada tahap ini embrio tidak rentan terhadap zat teratogen. Zat ini dapat menyebabkan kematian embrio akibat matinya sebagian besar sel embrio, atau tidak menimbulkan efek yang nyata. Bahkan, bila terjadi efek yang sedikit berbahaya, sel yang masih hidup akan menggantikan kerusakan tersebut dan membentuk embrio normal. Lamanya tahap resisten ini berkisar antara lima sampai sembilan hari, tergantung dari jenis spesiesnya. Tahap

(37)

selanjutnya adalah tahap embrio, dalam periode ini sel secara intensif menjalani diferensiasi, mobilisasi, dan organisasi. Selama periode inilah sebagian besar organogenesis terjadi. Akibatnya, embrio sangat rentan terhadap efek teratogen.periode ini biasanya berakhir setelah beberapa waktu, yaitu pada hari ke-10 sampai hari ke-14 pada hewan pengerat dan pada minggu ke-14 pada manusia. Tahap yang terakhir adalah tahap janin, tahap ini ditandai dengan perkembangan dan pematangan fungsi. Dengan demikian, selama tahapan ini, teratogen tidak mungkin menyebabkan cacat morfologik, tetapi dapat mengakibatkan kelainan fungsi. Cacat morfologik umumnya mudah terdeteksi pada saat kelahiran atau sesaat sesudah kelahiran, tetapi kelainan fungsi, seperti gangguan SSP, mungkin tidak dapat didiagnosis segera setelah kelahiran (Lu, 1995).

(38)

Gambar 3. Insidens cacat pada tikus yang dapat diramalkan pada berbagai organ dan sistem yang kerentanannya bervariasi sesuai dengan kehamilannya (Wilson, 1965 cit Lu, 1995).

Setiap spesies memiliki waktu perkembangan organ yang bervariasi (dapat dilihat pada tabel I). Namun pada semua spesies, organogenesis adalah periode antara lapisan diferensiasi dan penyelesaian pembentukan organ utama. Jenis respon teratogenik ditentukan oleh tahap perkembangan spesifik dari janin pada saat paparan, yaitu yang disebut dengan periode kritis untuk pengembangan sistem organ yang berbeda (Gambar 4). Dengan demikian, untuk suatu senyawa dapat menghasilkan efek teratogenik dalam sistem organ tertentu, makan janin harus terkena senyawa sedangkan organ yang lain sedang dalam proses pembentukan. Hal inilah yang disebut dengan perkembangan pada periode kritis. Karena peristiwa awal pembentukan organ yang paling sensitif, selama pengujian teratogenisitas yang diatur selama atau sesaat sebelum perkembangan organ (Hodgson, Levi, 2000).

(39)

Tabel I. Tabel perbandingan kehamilan pada beberapa spesies

Spesies

Jumlah hari setelah pembuahan

Implantasi Periode embrio* Periode janin

Manusia 6-7 20-56 56-280

Kelinci 6-8 8-16 17-34

Tikus 6-8 9-17 18-22

Mencit 5-7 7-16 17-20

*periode organogenesis dan resiko teratogenik terbesar

(Hodgson, Levi, 2000).

Gambar 4. Gambar periode sensitif perkembangan sistem organ pada manusia. Area buram adalah area paling sensitif (Hodgson, Levi, 2000).

3. Mekanisme kerja teratogen

(40)

a. Gangguan terhadap asam nukleat

Beberapa zat kimia mempengaruhi replikasi dan transkripsi asam nukleat, atau translasi RNA, misalnya zat pengalkil, antimetabolit, dan

intercalating agents (Lu, 1995).

b. Kekurangan pasokan energi dan osmolaritas

Teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang dipakai untuk metabolisme dengan cara langsung mengurangi persediaan substrat (misalnya defisiansi makanan) atau bertindak sebagai analog atau antagonis vitamin, asam amino esensial, dan lainnya. Selain itu, hipoksia dan zat penyebab hipoksia (CO, CO2) dapat bersifat teratogen dengan

mengurangi oksigen dan mungkin juga dengan menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas (Lu, 1995)

c. Penghambatan enzim

Penghambat enzim seperti 5-fluorourasil, dapat menyebabkan cacat karena mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan timidilat sintetase (Lu, 1995).

d. Lainnya

Hipervitaminosis A dapat menyebabkan kerusakan ultrastruktural pada membran sel embrio hewan pengerat, suatu mekanisme yang dapat menerangkan teratogenisitas vitamin A. Faktor fisika yang dapat menyebabkan cacat meliputi radiasi, hipotermia dan hipertermia, serta trauma mekanik (Lu, 1995).

(41)

Banyak teratogen yang cara kerjanya masih belum jelas. Selain itu, teratogen potensial dapat menimbulkan efek teratogen atau btidak tergantung dari beberapa faktor seperti mekanisme bioaktivasi, kestabilan metabolit reaktif, kemampuan zat itu menembus sawar plasenta, dan kemampuan jaringan embrio menwarkan racun (Lu, 1995).

4. Klasifikasi teratogen

Banyak zat kimia yang diketahui akan mampu menimbulkan perubahan teratogenik dalam hewan uji di laboratorium, tetapi hanya beberapa senyawa yang telah ditunjukkan sebagai yang dapat menimbulkan efek seperti itu pada manusia. Tabel II berisi daftar beberapa contoh yang diketahui sebagai teratogenik pada berbagai macam spesies hewan uji laboratorium.

Tabel II. Beberapa contoh zat yang diketahui sebagai teratogenik pada

(42)

Berdasarkan sifat teratogeniknya, obat dapat digolongkan dalam tiga golongan besar.

a. Obat-obat yang dipastikan teratogenik (known teratogens). Aminopterin dan methotreksat jika digunakan pada awal kehamilan, setidak-tidaknya 20 % daripada fetus mengalami malformasi hebat. Hormon estrogen dan progesteron dalam dosis kecil seperti dalam pil kontrasepsi dapat mengakibatkan efek teratogenik. Suatu penelitian retrospektif menunjukkan bahwa dari 108 anak dengan anggota badan cacat (ukuran lebih pendek), 14 % ibunya menunjukkan pernah memakan obat tersebut sewaktu hamil, sedang dari 108 kontrol hanya 4 % menderita kelainan bawaan. Ini menujukkan bahwa resiko relatif menderita cacat bawaan akibat pemakaian obat tadi menjadi 3,5 kali (Pramono, 1983, cit Japri, 2001).

b. Obat-obat dengan kecurigaan kuat bersifat teratogenik (probable teratogens).

Termasuk kelompok ini adalah obat-obat yang penggunaannya dalam sebuah atau dua buah laporan yang disahkan telah dihubungkan dengan terjadinya anomali kongenital (Pramono, 1983 cit Japri, 2001). Terdapat dua laporan yang telah ditulis mengenai kenaikan kelainan kongenital yang sedikit tetapi signifikan pada ibu yang minum aspirin pada awal kehamilan. Wanita hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mempunyai resiko melahirkan bayi cacat sebesar 2-3 kali dibandingkan wanita normal. Kelainan ini berupa celah bibir, celah langit, penyakit jantung, retardasi mental, dan cacat rangka. Jenis antikonvulsan yang dicurigai bersifat tertogenik adalah fenitoin dan trimetadion (Siswosudarmo, 1995 cit Japri, 2001).

(43)

c. Obat-obat dengan dugaan bersifat teratogenik (possible teratogen).

Pembuktian teratogenik obat ini tidak begitu kuat, dan beberapa diantaranya rupa-rupanya keliru. Sering kali hanya sebuah laporan yang mengingatkan hubungan ini kadang-kadang atas dasar kasus-kasus yang terasing (isolated

cases) (Pramono, 1983 cit Japri, 2001).

5. Evaluasi efek teratogen

Adapun beberapa kategori dari evaluasi efek teratogen, yaitu sebagai berikut:

a. Aberasi

Cacat morfologik meliputi struktur luar dan/atau dalam. Selain itu, mungkin terdapat kelainan fungsional. Tidak semua jenis aberasi sama maknanya. Contohnya, adanya tulang rusuk tambahan dan kelainan pada penulangan sternum mungkin sedikit efeknya atau tidak tampak pada morfologi luar, aktivitas fungsional, atau kelangsungan hidup janin. Cacat bentuk yang maknanya tak jelas mencakup ekor keriting, kaki lurus, malrotasi anggota badan atau cakar, wrist drop, lidah menonjol, atrium dan/atau ventrikel yang besar, kelainan perkembangan pelvis ginjal, dan kulit yang transparan. Biasanya kelainan ini digolongkan sebagai anomali minor.

(44)

b. Resorpsi

Resorpsi adalah manifestasi kematian hasil konsepsi. Meskipun tempat resorpsi dapat dikenali dengan pemeriksaan teliti pada rahim, penentuan jumlah resorpsi akan lebih baik dengan menghitung jumlah keseluruhan implantasi yang ditunjukkan oleh jumlah korpora lutea, dikurangi dengan jumlah bayi yang hampir aterm (Lu, 1995).

c. Toksisitas janin

Hal ini tampak dari berkurangnya berat badan janin yang tidak bertahan hidup. Jenis data ini sering digunakan sebagai bukti penyokong dalam menilai teratogenisitas toksikan tersebut (Lu, 1995).

Keadaan malformasi dapat dideteksi dengan menggunakan parameter yaitu : gros morfologi caranya dengan melihat cacat bagian luar janin secara langsung meliputi kelengkapan tangan, kaki, ekor, mata, telinga, bibir (sumbing), celah langit, dan kongestif; kelainan jaringan lunak dideteksi pembedahan dan pembuatan preparat histopatologi; kelainan tulang dapat dilihat pada janin yang telah dihilangkan organ dalam dan daging serta tulang rusuknya diwarnai dengan alizarin red-S (Kurnijasanti, 2002).

Wujud efek teratogenik pada sistem penulangan dapat berupa kekurangan atau kelebihan jumlah penulangan, serta kelainan bentuk penulangan. Kelainan bentuk penulangan dapat berupa asymmetrically shaped, rudimentary, dumbbell

shaped, cleaved, not ossified, dan partially ossified (Taylor, 1986 cit Japri, 2001).

Penulangan skeletal normal terlihat pada gambar 5.

(45)

Gambar 5. Tulang skeletal normal (diadaptasi dari Taylor, 1986 cit Japri,

2001).

Gambar 6. Kelainan pada tulang sternum (diadaptasi dari Taylor, 1986 cit

(46)

Gambar 7. Kelainan pada tulang vertebral bodies (diadaptasi dari Taylor,

1986 cit Japri, 2001).

Gambar 8. Kelainan pada tulang vertebral bodies dan arch (diadaptasi dari

Taylor, 1986 cit Japri, 2001).

(47)

Gambar 9. Kelainan pada tulang vertebral dan costae (diadaptasi dari Taylor, 1986 cit Japri, 2001).

6. Uji teratologi

Tahap yang dilakukan dalam uji teratologi sebagai berikut :

a. Pemilihan hewan uji yang rentan, umur, berat badan tepat dan siap dikawinkan

b. Penyesuaian suasana laboratorium

c. Pemeriksaan daur esterus dan pemilihan hewan uji yang daur esterusnya teratur

d. Pengawinan tikus

(48)

h. Penimbangan bobot janin dan plasenta

i. Pembuatan preparat skeletal dan pembuatan preparat histopatologi j. Pengumpulan data dan analisis data dengan uji statistik

(Kurnijasanti, 2002).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini bersifat eksploratif untuk mendapatkan bukti adanya efek teratogenik dari ramuan segar jamu kunyit asam pada tikus.

(49)

30 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian efek teratogenik ramuan segar jamu kunyit asam pada tikus termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian acak lengkap pola searah.

B. Variabel Penelitian 1. Variabel utama

a. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis dari ramuan segar jamu kunyit asam. Dosis kunyit asam adalah sejumlah miligram rimpang kunyit dan buah asam per kilogram berat badan.

b. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah parameter teratogenik ramuan segar jamu kunyit asam yang meliputi biometrika janin, gros morfologi, dan sistem skeletal.

2. Variabel pengacau

b. Variabel pengacau terkendali

(50)

c. Variabel pengacau tak terkendali

Kondisi patologi hewan uji, umur, dan waktu panen rimpang kunyit.

3. Definisi variabel utama penelitian

a. Dosis ramuan segar jamu kunyit asam yang diberikan pada kelompok perlakuan yaitu sebesar 945 mg/kg BB, 2835 mg/kg BB, dan 8505 mg/kg BB. Ketiga dosis ramuan segar jamu kunyit asam tersebut diberikan secara oral.

b. Ramuan segar jamu kunyit asam adalah jamu kunyit asam yang dibuat dengan cara merebus rimpang kunyit yang telah diparut dan buah asam segar selama kurang lebih 10 menit, kemudian didinginkan, lalu diperas untuk memisahkan sari jamu kunyit asam dari ampasnya.

c. Kriteria teratogenis meliputi biometrika janin (jumlah janin mati, angka resorbsi awal dan akhir, berat plasenta, berat janin, panjang janin), gros morfologi (kelengkapan dan kelainan pada tangan, kaki, ekor, telinga, mata, bibir, celah langit, adanya kongesti), dan sistem skeletal (penulangan).

C. Bahan atau Materi Penelitian Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah

1. Hewan uji; tikus putih (Ratus norvegius) betina galur Wistar, umur 2-3 bulan, berat badan 150-200 gram, sebanyak 40 ekor. Beberapa ekor tikus putih pejantan galur Wistar digunakan untuk mengawini tikus betina.

(51)

2. Bahan yang digunakan dalam membuat ramuan segar jamu kunyit asam: rimpang kunyit yang diperoleh dari kebun obat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan buah asam yang dapat dibeli di Pasar tradisional Stan, Maguwoharjo. Rimpang kunyit kualitas baik adalah rimpang yang dipanen pada waktu sebelum musim kemarau.

3. Bahan pelarut yang digunakan adalah aquadest.

4. Pengamatan daur estrus digunakan larutan fisiologis NaCl 0,9%, metilen blue 1%, digunakan untuk mengamati preparat dan mikroskop.

5. Pembedahan tikus menggunakan larutan dietil eter untuk pembiusan dan seperangkat alat bedah.

6. Preparat skeletal janin dibuat dengan bahan kalium hidroksida pro analisis, alizarin red-S 0,1% pro analisis, etanol 95% pro analisis dan gliserin teknis.

D. Alat atau Instrumen Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Neraca analitik (Mettler Toledo, tipe AB 204, Switzerland) 2. Pipet tetes

3. Objek gelas dan mikroskop 4. Spuit per oral 5 cc

5. Alat bedah dan pot-pot untuk organ

(52)

E. Tata Cara Penelitian 1. Penetapan dosis ramuan segar jamu kunyit asam

Dari penelitian yang sudah dilakukan oleh Rahmawati (2009), penetapan dosis ramuan segar jamu kunyit asam berdasarkan komposisi ekstrak kunyit : asam = 20% : 10%.

Kunyit : 20% x 25 g = 5 g

Asam : 10% x 25 g = 2,5 g

Sehingga dosis untuk manusia dewasa (50 kg) adalah 7,5 g/50 kg BB. Supaya dosis tersebut dapat dikonversikan ke tikus, maka dihitung dosis untuk manusia 70 kg sebagai berikut :

Dosis untuk manusia 70 kg : 70 kg/50 kg x 7,5 g = 10,5 g

Jika dosis tersebut dikonversikan ke tikus 200 g dengan angka konversi 0,018 maka diperoleh sebagai berikut :

Dosis tikus 200 g : 10,5 g/70 kg BB x 0,018

: 0,189 g/200 g BB

: 189 mg/200 g BB

: 945 mg/kg BB

Dosis 945 mg/kg BB merupakan dosis terapi. Dalam penelitian ini ditetapkan 3 peringkat dosis, dengan cara menentukan kelipatannya. Angka kelipatan yang digunakan sebesar tiga kalinya, sehingga diperoleh tiga

(53)

peringkat dosis yaitu 945 mg/kg BB (1 x 945 mg/kg BB); 2835 mg/kg BB (3 x 945 mg/kg BB) dan 8505 mg/kg BB (3 x 2835 mg/kg BB).

2. Pembuatan larutan ramuan segar jamu kunyit asam

Konsentrasi larutan ramuan segar jamu kunyit asam adalah: V x C = D x BB sehingga konsentrasi yang diperoleh adalah 68,04 g/100 ml. Komposisi kunyit : asam yang digunakan yaitu = 20% : 10% .

Kunyit : 20/30 x 68,04 g = 45,36 g

Asam : 10/30 x 68,04 g = 22,68 g

Rimpang kunyit ditimbang sebanyak 45,36 g dan buah asam ditimbang sebanyak 22,68 g; kemudian direbus dengan 100 ml air, setelah mendidih, didiamkan sampai dingin kemudian disaring.

3. Pemilihan, pemeriksaan, pengelompokan, pengawinan hewan uji dan penentuan masa bunting

(54)

berikutnya tikus betina diperiksa, tikus yang sudah dipastikan kawin dikelompokkan secara acak menjadi empat kelompok. Kelompok I sebagai kontrol negatif, sedangkan kelompok II, III, dan IV diberikan perlakuan ramuan segar jamu kunyit asam dengan dosis berturut-turut adalah 945; 2835; 8505 mg/kg BB.

4. Pemberian perlakuan pada hewan uji

Bahan yang akan diujikan diberikan secara oral sehari sekali selama masa organogenesis yaitu hari ke-7 sampai hari ke-14 masa kehamilan. Volume pemberian disesuaikan dengan berat badan tikus.

5. Pengamatan dan pengumpulan data

Pengamatan dimulai saat akhir masa bunting tikus, yaitu pada hari ke-19. Sebelum dibedah tikus ditimbang berat badannya, dianestesi dengan eter. Tikus yang sudah teranestesi dibedah dan diamati organnya. Pengamatan meliputi biometrika janin (angka kematian janin, angka resorpsi, angka cacat dan berat janin) dihitung berdasarkan jumlah korpora lutea pada kedua ovaria, jumlah janin tiap satu induk, jumlah janin hidup, jumlah janin mati dan jumlah tempat implantasi. Pengamatan yang lain meliputi gros morfologi (adanya cacat bentuk luar tubuh janin secara makroskopis). Empat ekor janin diambil secara acak (bagian tepi dan tengah uterus) diproses untuk diperiksa sistem skeletalnya dengan pewarnaan alizarin red-S.

(55)

Gambar 10. Gambar janin dan plasenta setelah dikeluarkan dari rahim induknya secara bedah seisar

6. Pembuatan dan pemeriksaan preparat sistem skeletal Langkah-langkah :

a. Janin difiksasi selama dua hari;

b. Isi rongga perut dan dada dikeluarkan hingga bersih dari organ-organ dalam;

c. Janin dimaserasi dengan KOH 1% selama dua hari sampai daging badannya terlepas tampak transparan, KOH diganti dua kali sehari;

d. Janin transparan dimasukkan dalam alizarin red-S 0,1% dalam KOH 1% selama 5-10 menit dibilas dengan KOH sampai warna ungu pada selaput transparan hilang;

e. Janin diwarnai dimasukkan dalam campuran KOH-Gliserin 3:1; 2:2; 1:3, tiap campuran satu hari, lalu dimasukkan dalam gliserin murni dan disimpan.

(56)

pada karpal (falanks distal, falanks proksimal, metakarpal) dan tarsal (falanks distal, falanks proksimal, metatarsal), serta prosentase kelainan rangka sumbu janin pada sternebra.

F. Tata Cara Analisis Hasil

Untuk menganalisis data secara kuantitatif berupa biometrika janin yaitu: jumlah resorpsi awal (jumlah korpora lutea kanan dan kiri-jumlah janin) dan akhir (jumlah tempat implantasi-jumlah janin), berat badan janin, panjang badan janin, bobot plasenta, jumlah janin cacat, jumlah janin hidup serta data kuantitatif lain berupa data sistem skeletal diuji dengan analisis Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui normalitas distribusi data. Jika data yang diperoleh berdistribusi normal maka data dianalisis secara statistik menggunakan Anova satu arah yang dilanjutkan dengan uji Scheffe untuk mengetahui letak perbedaan bermakna antar kelompok. Semua data diuji dengan taraf kepercayaan 95%. Apabila dari hasil analisis diperoleh nilai p < 0,05 maka terdapat perbedaan bermakna dari data tersebut, namun jika diperoleh p > 0,05 maka perbedaan tersebut tidak bermakna.

(57)

38 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian teratogenisitas ramuan segar jamu kunyit asam (20%:10%) dengan tiga peringkat dosis yaitu 945; 2835 dan 8505 mg/kg BB pada tikus betina galur Wistar, dilakukan pemeriksaan terhadap biometrika janin, gros morfologi (cacat makroskopis), dan sistem skeletal.

A. Biometrika Janin

Pemeriksaan terhadap biometrika janin meliputi resorpsi awal, resorpsi akhir, berat badan janin, panjang badan janin, berat plasenta, dan jumlah kematian janin.

1. Resorpsi awal

Data resorpsi awal dari masing-masing kelompok diperoleh dari selisih jumlah korpora lutea dengan jumlah tempat implantasi. Dari data tersebut dapat diartikan bahwa terjadinya resorpsi awal dapat mencegah sel telur yang telah dibuahi oleh sel sperma untuk menempel pada dinding tempat implantasi.

(58)

Tabel III. Purata ± SE data jumlah resorpsi awal pada induk tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis

Kelompok ∑ induk Perlakuan (mg/kg BB)

tb = perbedaan tidak bermakna (p>0,05) terhadap kelompok I b = perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kelompok I

+% = prosentase penambahan jumlah resorpsi awal terhadap kelompok I

Dari tabel dapat terlihat bahwa terjadi peningkatan purata jumlah resorpsi awal pada kelompok I (kontrol) serta pada kelompok II, III, dan IV yang diberi perlakuan ramuan segar jamu kunyit asam dengan dosis 945 mg/kg BB; 2835 mg/kg BB dan 8505 mg/kg BB. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji Anova, diperoleh perbedaan yang signifikan (p<0,05). Selanjutnya, untuk mengetahui perbedaan antar kelompok bermakna atau tidak bermakna dilakukan uji Scheffe. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok I, II, dan III berbeda bermakna dengan kelompok IV.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dengan dosis 8505 mg/kg BB mulai hari ke-7 dari masa kehamilan, dapat mencegah terjadinya implantasi pada sel telur yang sudah dibuahi.

(59)

2. Resorpsi akhir

Data resorpsi akhir tiap kelompok ditentukan dengan menghitung selisih antara jumlah tempat implantasi dengan jumlah janin. Resorpsi akhir diartikan bahwa sel telur yang telah dibuahi mengalami implantasi pada uterus namun tidak berkembang menjadi janin normal dan mengalami resorpsi, sehingga tidak dilahirkan.

Data resorpsi akhir dari masing-masing peringkat dosis dapat dilihat pada tabel IV.

Tabel IV. Purata ± SE data jumlah resorpsi akhir pada induk tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis

Kelompok ∑ induk Perlakuan (mg/kg BB)

tb = perbedaan tidak bermakna (p>0,05) terhadap kelompok I b = perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kelompok I

(60)

kelompok bermakna atau tidak bermakna dilakukan uji Scheffe. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok II berbeda bermakna dengan kelompok III dan IV. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis dengan dosis 2835 mg/kg BB dan 8505 mg/kg BB memberikan efek resorpsi akhir yang bermakna, yang berarti bahwa dengan dosis tersebut janin yang sudah terbentuk dapat juga ada yang gugur. Hal ini semakin dikuatkan dengan hasil dari perlakuan terhadap kelompok IV, dimana tiga dari lima induk yang diberi perlakuan dosis tersebut, tidak ditemukan janin setelah dibedah pada hari ke-19 namun ditemukan sisa tempat implantasi. Jadi pada kelompok ini janin hanya diperoleh dari dua induk saja.

3. Berat badan janin

Berat badan janin dapat mengindikasikan perkembangan janin dan pasokan makanan pada induk selama kehamilan. Pada umumnya, bila suatu obat atau senyawa memiliki efek teratogenik, bobot janin yang induknya diberi perlakuan, maka bobot janin tersebut tidak akan setingkat dengan bobot janin kontrol.

Data berat badan janin dapat dilihat pada tabel V berikut ini.

(61)

Tabel V. Purata ± SE berat badan janin tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis

Kelompok ∑

tb = perbedaan tidak bermakna (p>0,05) terhadap kelompok I b = perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kelompok I

-% = prosentase pengurangan berat badan janin terhadap kelompok I

Berdasarkan data berat badan janin untuk masing-masing kelompok yang diuji menggunakan Anova satu arah dan dilanjutkan dengan uji Scheffe, taraf kepercayaan 95%, didapatkan perbedaan yang bermakna (p <0,05) antara kelompok I, II, III dengan kelompok IV. Dimana pada kelompok IV terjadi

4. Panjang badan janin

(62)

Tabel VI. Purata ± SE panjang badan janin tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis

Kelompok ∑

tb = perbedaan tidak bermakna (p>0,05) terhadap kelompok I b = perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kelompok I

-% = prosentase pengurangan panjang badan janin terhadap kelompok I Dari tabel di atas dapat dilihat, terjadi penurunan purata panjang badan janin pada kelompok I (kontrol) serta pada kelompok II, III, dan IV yang diberi perlakuan ramuan segar jamu kunyit asam. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan Anova satu arah dan dilanjutkan dengan uji Scheffe, taraf kepercayaan 95%, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kelompok I, II, dan III berbeda bermakna dengan kelompok IV. Menurut hasil perhitungan statistik, pada kelompok II dan III tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan kelompok kontrol. Terjadinya penurunan panjang janin pada kelompok IV mungkin disebabkan karena berkurangnya pasokan unsur-unsur penting yang dibutuhkan oleh janin agar dapat tumbuh dan berkembang secara normal.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dosis 8505 mg/kg BB dapat menimbulkan efek teratogenik berupa penurunan panjang badan janin.

(63)

5. Bobot plasenta

Plasenta memiliki peranan penting dalam menyuplai kebutuhan makanan untuk janin dari induknya. Sehingga data bobot plasenta juga dibutuhkan dalam uji teratogenik, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pemberian ramuan segar jamu kunyit asam terhadap pertumbuhan janin.

Tabel VII. Purata ± SE berat bobot plasenta tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis

Kelompok ∑

tb = perbedaan tidak bermakna (p>0,05) terhadap kelompok I b = perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kelompok I

-% = prosentase pengurangan bobot plasenta terhadap kelompok I

(64)

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian ramuan segar jamu bobot plasenta yaitu 0,2880 g.

Dengan demikian dapat disimpukan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dengan dosis 8505 mg/kg BB dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan janin.

6. Jumlah kematian janin

Data dari jumlah kematian janin dapat dilihat pada tabel berikut

Tabel VIII. Purata ± SE data jumlah kematian janin pada induk tikus akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis

Kelompok ∑ induk ∑ janin Perlakuan

(mg/kg BB)

0 = tidak terjadi kematian

(65)

Dari data menunjukkan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis tidak menyebabkan kematian janin. Angka kematian janin yang dimaksud disini adalah janin yang sudah ditemukan mati pada saat induk dibedah secara seisar.

B. Gros Morfologi

Gros morfologi merupakan pengamatan untuk melihat ada atau tidaknya cacat luar tubuh janin. Pengamatan gros morfologi meliputi kelengkapan tangan, kaki, telinga, mata, hidung, bibir, ekor, dan adanya kongesti. Pengamatan dilakukan secara makroskopis, yaitu dengan bantuan kaca pembesar.

Dari hasil pemeriksaan secara makroskopis, tidak ditemukan adanya cacat luar tubuh janin pada kelompok I, II, III dan IV. Janin-janin yang dilahirkan memiliki tubuh yang lengkap. Tidak terjadi cacat pada bagian luar tubuh janin.

C. Sistem Skeletal

(66)

Tabel IX. Prosentase kejadian kelainan tulang sternum janin akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam selama masa organogenesis

kelom

AS = Asymmetrically shaped

R = Rudimentary

DS = Dumbell shaped

PO = Partially ossified

C = Cleaved

NO = Not ossified

Dari tabel prosentase kejadian kelainan tulang sternum janin akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dapat dilihat kelainan terjadi pada janin kelompok perlakuan (kelompok II, III, dan IV). Dimana pada ketiga dosis tersebut mengalami kecenderungan peningkatan prosentase kejadian kelainan sternum janin. Prosentase kejadian kelainan dimulai dari kelompok II, yaitu kelainan rudimentary (60%) dan partially ossified (70%). Prosentase kelainan

partially ossified tertinggi (95%) pada janin kelompok III, yaitu janin yang berasal

dari induk dengan dosis perlakuan 2835 mg/kg BB. Sedangkan pada kelompok IV, terjadi peningkatan prosentase kelainan secara merata dengan jumlah yang sama. Kelainan tersebut, yaitu rudimentary (83,33%), dumbell shaped (83,33%),

partially ossified (83,33%), dan not ossified (16,67%). Dapat disimpulkan bahwa

(67)

pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dengan dosis 945 mg/kg BB, 2835 mg/kg BB, dan 8505 mg/kg BB dapat menyebabkan kelainan tulang sternum janin.

Pada tabel X menunjukkan purata jumlah penulangan vertebra, sternebra, karpal, dan tarsal yang dianalisis menggunakan Anova satu arah dan dilanjutkan dengan uji Scheffe, taraf kepercayaan 95%, hasil yang diperoleh menunjukkan pada penulangan vertebra tidak mengalami adanya gangguan penulangan pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan. Sedangkan pada penulangan karpal (distal, proksimal, metakarpal) dan tarsal (distal, proksimal, metatarsal) menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p < 0,05) antara kelompok perlakuan (kelompok II, II, dan IV) dengan kelompok kontrol (kelompok I). Untuk data penulangan sternum, setelah dianalisis dengan Anova satu arah dan dilanjutkan dengan uji Scheffe, taraf kepercayaan 95%, juga menunjukkan perbedaan yang bermakna (p < 0,05) antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol). Dari hasil analisis statistika dapat disimpulkan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dosis 945 mg/kg BB, 2835 mg/kg BB, dan 8505 mg/kg BB selama masa organogenesis dapat menimbulkan gangguan pada penulangan karpal dan tarsal, serta menyebabkan penurunan jumlah penulangan sternum.

(68)

Faktor yang berpengaruh terhadap potensi efek teratogenik suatu obat adalah tingkat dan waktu pemejanan. Pada gambar 4 terlihat, minggu I adalah tahap implantasi, dimana pada tahap ini terjadi proses nidasi sel telur yang sudah dibuahi sperma untuk menempel pada dinding implantasi, sehingga jika pemejanan dilakukan pada hari ke-7, maka akan mempengaruhi tahap implantasi ini dan embrio dapat mati. Jadi, suatu obat dikatakan bersifat embriotoksik apabila pengaruhnya sudah muncul pada tahap ini.

Potensi embriotoksik dari ramuan segar jamu kunyit asam dapat dilihat dari peningkatan purata jumlah resorpsi awal pada kelompok I (kontrol) serta pada kelompok II, III, dan IV yang diberi perlakuan ramuan segar jamu kunyit asam dengan dosis 945 mg/kg BB; 2835 mg/kg BB dan 8505 mg/kg BB. Berdasarkan hasil perhitungan dengan uji Anova, diperoleh perbedaan yang signifikan (p<0,05). Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan antar kelompok bermakna atau tidak bermakna dilakukan uji Scheffe. Hasilnya menunjukkan bahwa kelompok I, II, dan III berbeda bermakna dengan kelompok IV.

Dapat disimpulkan bahwa pemberian ramuan segar jamu kunyit asam dengan dosis 8505 mg/kg BB mulai hari ke-7 dari masa kehamilan, dapat mencegah terjadinya implantasi pada sel telur yang sudah dibuahi.

(69)

50

Tabel X. Purata ± SE jumlah penulangan sternebra, vertebra, tarsal, dan karpal akibat pemberian ramuan segar jamu kunyit asam

Keterangan:

tb = perbedaan tidak bermakna (p>0,05) terhadap kelompok I b = perbedaan bermakna (p<0,05) terhadap kelompok I Ke

Cervical Thoracic Lumbar Sacral Distal Proksimal Metakarp

al

Distal Proksimal Metatarsal

(70)

Pada penelitian terdahulu, Chen, dkk. (2010) meneliti efek merugikan kurkumin terhadap perkembangan embrionic tikus. Pada percobaan ini, perlakuan in vitro dengan kurkumin menyebabkan penurunan laju implantasi dan peningkatan resorpsi embrio post-implantasi pada uterus tikus, juga penurunan berat badan embrio. Blastocyt tikus yang diberi perlakuan denganm kurkumin menunjukkan peningkatan apoptosis yang signifikan serta penurunan jumlah sel total.

Pada hasil penelitian ini, pemberian ramuan segar jamu kunyit asam pada hari ke-7 samapai hari ke-14 masa kehamilan mengakibatkan efek teratogenik terhadap janin tikus. Sesuai dengan beberapa referensi yang ada, pemberian zat/senyawa pada periode kritis/masa organogenesis (gambar 2) maka akan terjadi gangguan pada janin. Setiap gangguan dalam diferensiasi sel pada periode ini bila tidak mengalami kematian selalu menghasilkan malformasi pada sistem organ tertentu (gambar 3).

Wujud efek teratogenik yang ditimbulkan oleh dosis 945 mg/kg BB, 2835 mg/kg BB, dan 8505 mg/kg BB adalah adanya peningkatan jumlah resorpsi awal dan akhir, penurunan bobot janin, panjang badan janin, serta bobot plasenta, dan terjadi kelainan bentuk penulangan sternum. Namun secara statistik untuk dosis 945 mg/kg BB dan 2835 mg/kg BB berbeda tidak bermakna dengan kelompok kontrol. Sedangkan untuk dosis 8505 mg/kg BB memiliki perbedaan yang bermakna dengan kelompok kontrol (p<0,05).

Kelainan pembentukan tulang pada penelitian ini hampir terjadi hampir di semua kelompok yang diberi perlakuan ramuan segar jamu kunyit asam. Hal

(71)

tersebut dikarenakan adanya kurkumin dalam ramuan segar jamu tersebut yang dapat mempengaruhi pembentukan tulang. Penelitian terdahulu mengenai pengaruh pemberian kurkumin terhadap pembentukan dan pertumbuhan tulang sangat terbatas. Kim, Kang, Jin (2009) berhasil melakukan penelitian mengenai kemampuan kurkumin dalam menghambat chondrogenesis dengan menstimulasi kematian sel secara apoptosis dan menurunkan reorganisasi actin sitoskeleton melalui modulasi pensinyalan AKT.

AKT merupakan suatu protein yang berfungsi sebagai regulator inti dalam pembentukan tulang (Jeong, Jin, Kim, Yun, Choi, Yeo, Lee, 2011). AKT merupakan suatu faktor pertumbuhan yang berperan sebagai regulator mayor untuk terjadinya proliferasi, diferensiasi, migrasi, pertahanan dan metabolism seluler pada tipe sel multiple (Ulici, 2009).

Dari penelitian yang dilakukan oleh Kim, dkk. (2009) menyatakan bahwa kurkumin menghambat fosforilasi dari AKT, sedangkan tugas AKT adalah sebagai regulator MSCs dalam berdiferensiasi. MSCs adalah sel induk yang terdapat pada sumsum tulang, bersifat multipoten dan memiliki kapasitas proliferasi yang besar, sel ini dapat berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel seperti osteocyt, chondrocyte, fibroblast, adiphocyte, astrocyte, dan mycocyte. Jika AKT dihambat maka MSCs tidak dapat terdiferensiasi menjadi sel-sel dengan fungsi tertentu yang seharusnya terjadi pada tahap perkembangan janin.

(72)

oleh induknya. Suatu zat dapat menembus plasenta dengan beberapa mekanisme seperti difusi sederhana, transpor aktif, pinositos, maupun kebocoran.

Dari penelitian ini ditemukan adanya penurunan bobot plasenta pada perlakuan ramuan segar jamu kunyit asam. Adanya penurunan bobot plasenta ini, menunjukkan bahwa zat-zat yang terkandung pada ramuan segar jamu kunyit asam dapat masuk ke dalam sirkulasi maternal dan mengganggu proses diferensiasi sel pada tahap organogenesis sehingga dapat menyebabkan kematian atau malformasi pada sistem organ tertentu.

Pada penelitian ini tidak dilakukan uji histopatologi karena adanya keterbatasan waktu dan biaya.

Gambar

Tabel II. Beberapa contoh zat yang diketahui sebagai teratogenik pada manusia
Tabel X. Purata ± SE jumlah penulangan sternebra, vertebra, tarsal, dan karpal
gambar 1, agak ke bawah lagi terdapat vagina yang merupakan saluran dengan
Gambar 2. Tahap embriogenesis pada manusia (Timbrell, 1982 cit Lu,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dan pada akhirnya pemerintah memutuskan untuk mencabut kembali kebijakan kantong plastik berbayar tersebut, karena menurut Roy N Mandey selaku Ketua umum Aprindo awalnya

Simpulannya adalah ciri-ciri yang paling menonjol bahwa data berstatus sebagai frasa yaitu bersifat renggang/longgar/terbuka, memiliki makna sebenarnya di kedua unsurnya, di

Ramai yang menyatakan seksyen A ini adalah satu seksyen yang sengaja diadakan untuk memerangkap calon dan ianya sama-sekali tidak masuk akal kerana skop yang dirangkumi oleh

asal, sebagai penggantinya dapat digunakan Surat Pernyataan dari dosen yang bersangkutan yang menyatakan sudah tidak lagi sebagai dosen tetap di P.T.. asal Æ Kopertis akan

Sarung tangan yang kuat, tahan bahan kimia yang sesuai dengan standar yang disahkan, harus dipakai setiap saat bila menangani produk kimia, jika penilaian risiko menunjukkan,

Dengan demikian, untuk hipotesis nul (H 0 ) yang menyatakan tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah IPA antara kelompok peserta didik yang belajar dengan

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dialami pihak RSISA tersebut, maka setidaknya dibutuhkan sebuah sistem aplikasi yang membantu pengunjung serta karyawan

Secara umum manfaat media pembelajaran adalah memperlancar interaksi antara guru dengan siswa sehingga kegiatan pembelajaran lebih afektif dan efisien.