LEGENDA DANAU TELUK GELAM KABUPATEN OGAN
KOMERING ILIR SUMATRA SELATAN: SEBUAH KAJIAN
STRUKTURAL DAN PANDANGAN DUNIA TRAGIK
Tugas Akhir
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Anggi Yulistianingsih NIM 084114010
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
LEGENDA DANAU TELUK GELAM KABUPATEN OGAN
KOMERING ILIR SUMATRA SELATAN: SEBUAH KAJIAN
STRUKTURAL DAN PANDANGAN DUNIA TRAGIK
Tugas Akhir
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Srudi Sastra Indonesia
Oleh
Anggi Yulistianingsih NIM 084114010
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini dengan baik. Penulis pun menyadari bahwa tugas akhir ini tidak
akan terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
terselesainya Tugas Akhir ini.
Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I dan Drs. B.
Rahmanto, M.Hum. sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran
telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini. Drs. Hery Antono, M.Hum,
Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum, SE. Peni Adji, S.S, M.Hum, dan Dra. Fr.
Tjandrasih Adji, M.Hum selaku Bapak/Ibu dosen pengampu mata kuliah di
Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma, serta Staf
Sekretariat dan Petugas Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah
memberikan pelayanan dengan baik.
Bapak Suparji dan Ibu Katemi, orang tua dan ketiga saudaraku, Anton Hadi
Handoko, Agung Ardian, dan Andri Sovian yang telah memberikan doa dan
semangat kepada penulisserta teman-temanku yang selalu memberi dukungan.
Terima kasih kepada para narasumber yang telah meluangkan waktu di
tengah-tengah kesibukan untuk menjawab berbagai pertanyaan penulis, yaitu bapak
Jazman, S.Pd., petugas Perpustakaan Daerah di Palembang, Yuslizal,S.Pd., Kasi
viii MOTTO
Orang yang membiarkan rasa takut menguasainya akan menjadi
budak ketakutan.
(Minh-Quan)
Hidup itu seperti judi. Sering kali kejam dan menyakitkan, dan
bukan ditujukan untuk orang yang penakut. Hadiah jatuh kepada
sang pemenang, bukan orang yang tidak ikut berperang.
ix
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Orangtuaku dan secara khusus untuk adik
x ABSTRAK
Yulistianingsih, Anggi, 2012. “Legenda Danau Teluk Gelam Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatra Selatan: Sebuah Kajian Struktural dan Pandangan Dunia Tragik” Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Skripsi ini membahas struktur dan pandangan dunia tragik yang digunakan dalam legenda Danau Teluk Gelam yang terdiri atas dua varian yakni Putri Gelam
dan Asal-muasal Terjadinya Danau Teluk Gelam. Tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah sebagai berikut. Pertama, mendeskripsikan aktansial dan struktur fungsional legenda Danau Teluk Gelam. Kedua, mendekripsikan pandangan dunia tragik.
Pendekatan yang digunakan adalah aktansial dan struktur fungsional serta pandangan dunia tragik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penentuan narasumber, pengumpulan data sosial budaya, pengarsipan. Teknik yang digunakan adalah wawancara, observasi dan pencatatan.
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, legenda Danau Teluk Gelam digunakan untuk menyampaikan ajaran tentang keluhuran nilai sastra lisan yang mulai hilang dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir. Dari kedua naskah yang telah dianalisis, Putri Gelam dinyatakan sebagai teks asli. Hal ini didasarkan pada keutuhan cerita, murni karena tidak ada pembabtisan dari agama atau pun ajaran yang dipaksakan dan bersifat propaganda. Sedangkan,
xi ABSTRACT
Yulistianingsih, Anggi, 2012. "Legend of Bay Lake Gelam Histories Ogan Ilir regency in South Sumatra: An Assessment of Structural and tragic world view" thesis on Indonesian Literature Studies, Faculty of Letters, Sanata Dharma University. Yogyakarta.
This thesis discusses the structure and the tragic world view that is used in the Bay Lake Gelam legend consisting of two variants namely Princess Gelam and socio-cultural data collection, archiving. Techniques used were interviews, observation and recording.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... iv
KATA PENGANTAR ... v
MOTTO ... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix
ABSTRAK . ... x
ABSTRACT. ... xi
DAFTAR ISI. ... xii
DAFTAR TABEL DAN BAGAN ... xvii
BAB I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian.. ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Tinjauan Pustaka... 10
F. Landasan Teori ... 10
1. Kajian Struktural A.J. Greimas ... 11
xiii
b. Struktur Fungsional ... 13
2. Pandangan Dunia Tragik ... 14
G. Metode dan Teknik Penelitian ... 17
1. Penentuan Narasumber ... 17
2. Pengumpulan Data-data Sosial Budaya ... 18
3. Teknik Pengumpulan Data ... 29
4. Pengarsipan... 20
H. Sistematika Penyajian ... 21
BAB II. GEOGRAFI DAN BUDAYA DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR, SUMATRA SELATAN ... ... 22
A. Kondisi Kabupaten Ogan Komering Ilir ... 23
B. Keadaan Alam di Kabupaten Ogan Komering Ilir ... 24
C. Penduduk... ... 25
D. Agama... ... 26
E. Sistem Kekerabatan... ... 26
F. Bahasa Ogan... ... 27
G. Peranan dan Kedudukan bahasa Ogan ... ... 28
H. Tradisi Sastra Lisan dan Tulisan ... 29
I. Tradisi Permainan... ... 29
J. Kesenian ... ... 30
K. Sejarah ... ... 30
xiv
M. Cerita Legenda Danau Teluk Gelam sebagai Sastra
dan Kebudayaan ... 33
BAB III. LEGENDA DANAU TELUK GELAM DALAM PERSPEKTIF KAJIAN A.J. GREIMAS. ... 42
A. Legenda Danau Teluk Gelam dalam Dua Varian ... 42
a. Varian A: Putri Gelam... ... 43
b. Varian B: Asal-muasal Terjadinya Danau Teluk Gelam... ... 51
c. Kritik Atas Kedua Teks... ... 57
B. Analisis Aktansial dan Struktur Fungsional A.J. Greimas ... 59
1. Struktur Aktansial ... ... 59
a. Pengirim... ... 61
b. Subjek... ... 67
c. Objek... 70
d. Penolong ... 73
e. Penentang ... 76
f. Penerima ... 79
g. Pola Aktansial ... 81
2. Struktur Fungsional ... 82
a. Situasi Awal ... 83
b. Transformasi... ... 85
1) Tahap Kecakapan... 85
xv
3) Tahap Kegemilangan... ... 87
c. Situasi Akhir... ... 88
d. Tabel Struktur Fungsional ... 89
C. Rangkuman Struktural A.J Greimas ... 89
BAB IV. LEGENDA DANAU TELUK GELAM DALAM PERSPEKTIF GOLDMANN ... 92
A. Analisis melalui Pendekatan Pandangan Dunia Tragik ... 92
1. Pandangan Mengenai Tuhan ... 93
a. Tuhan Tidak Ada ... 95
b. Tuhan Ada ... 101
2. Pandangan Mengenai Dunia ... 107
a. Dunia Tidak Ada ... 109
b. Dunia Ada ... 114
3. Pandangan Mengenai Manusia... 122
a. Tuntutan Tak Mutlak ... 124
b. Tuntutan Mutlak ... 126
B. Rangkuman Pandangan Dunia Tragik ... 130
C. Rangkuman dan Tinjauan Kritis ... ... 132
BAB V PENUTUP ... 134
A. Kesimpulan ... 134
B. Saran ... 137
xvi
xvii
DAFTAR BAGAN DAN TABEL
Bagan 1. Pola Aktansial ... 11
Tabel 1. Struktur Fungsional ... 14
Bagan 2. Pandangan Dunia Tragik ... 16
Gambar 1. Peta Kabupaten Ogan Komering ilir ... 23
Bagan 3. Alur Cerita Legenda Danau Teluk Gelam ... 58
Tabel 2. Perbandingan Cerita Legenda Danau Teluk Gelam ... 58
Bagan 4. Pola Aktansial ... 82
Tabel 3. Struktur Fungsional ... 89
Tabel 4. Pandangan Mengenai Tuhan ... 94
Tabel 5. Pandangan Mengenai Dunia ... 108
Tabel 6. Pandangan Mengenai Manusia ... 123
Bagan 5. Pandangan Dunia Tragik ... 131
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cerita rakyat adalah sastra cerita dari zaman dahulu yang hidup di
kalangan rakyat dan diwariskan secara lisan (KBBI, 2008: 263). Wellek &
Warren (1995: 47-48) mengatakan bahwa memang banyak genre sastra dan
tema-tema sastra tulisan berasal dari kesusastraan rakyat (folkterature), dan
kesusastraan rakyat terbukti mengalami peningkatan status sosial. Oleh karena itu,
semakin banyak cerita lisan yang kemudian ditulis agar lebih mudah dikenal dan
dipahami masyarakat luas.
Salah satu jenis cerita rakyat yang masih hidup dalam masyarakat adalah
legenda. Legenda adalah cerita rakyat pada zaman dahulu yang ada hubungannya
dengan peristiwa sejarah (KBBI, 2008: 803). Menurut Dananjaya (2002: 66),
legenda adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh empunya cerita sebagai
sesuatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Oleh karena itu, legenda
seringkali dijadikan dasar pengajaran akan norma dan nilai suatu daerah tertentu
dengan memperbandingkan kebaikan dan kejahatan hingga konsekuensi dari yang
dilakukannya.
Dunia Tragik”. Gagasan penelitian ini pertama kali muncul ketika penulis datang ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ilir di
Kayuagung untuk mencaritahu tentang adat pernikahan suku Ogan. Yuslizal S.Pd.
sebagai Kasi Pengembangan Seni dan Budaya di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ilir saat itu sibuk dan meminta penulis
untuk memfotokopi sendiri hasil penelitian yang telah dilakakukannya. Penelitian
itu berkaitan dengan adat-istiadat suku Ogan baik yang masih dilestarikan maupun
yang mulai ditinggalkan oleh masyarakatnya. Ada beberapa cerita rakyat termuat
dalam penelitian tersebut, salah satunya adalah cerita rakyat yang berjudul
Asal-muasal Terjadinya Danau Teluk Gelam (ATDTG). Penulis sempat mengunjungi
perpustakaan daerah dan perpustakaan lokal di Kayuagung untuk mencari
buku-buku atau catatan-catatan yang berkaitan dengan adat-istiadat suku Ogan, akan
tetapi informasi yang didapat tidak terlalu banyak. Penulis memutuskan untuk
mencari informasi lain ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatra Selatan dan
Perpustakaan Daerah Pusat di Palembang. Sebuah buku berjudul Cerita Rakyat
Ogan Komering Ilir yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Ogan Komering Ilir memuat sebuah cerita berjudul Putri Gelam (PG)
yang akhirya menjadi pilihan penulis sebagai pembanding cerita Asal-muasal
Terjadinya Danau Teluk Gelam.
Kedua cerita tersebut menarik perhatian penulis karena sama-sama
mengisahkan tentang terjadinya Danau Teluk Gelam yang saat ini menjadi salah
satu objek wisata paling terkenal di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
penulis untuk memilih kedua legenda tersebut sebagai bahan skripsi. Sebenarnya,
penulis membutuhkan satu lagi cerita pembanding dari penutur asli tetapi
akhirnya tidak bisa mendapatkannya, karena generasi saat ini sangat jarang atau
hampir dapat dikatakan tidak ada yang mengetahui tentang legenda tersebut.
Dengan kedua naskah cerita tersebut penulis mulai melakukan perbandingan dan
menyusun proposal penelitian skripsi ini.
Setelah melakukan pembacaan dan mencari informasi lebih lanjut
ditemukan beberapa sumber, yaitu tetua adat dan orang-orang yang mengerti
tentang adat yang berkaitan dengan asal cerita tersebut. Penulis memperoleh
sumber awal bahwa di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir terdapat sebuah
legenda yang sangat terkenal yaitu Danau Teluk Gelam yang mengisahkan
tentang asal-muasal terjadinya danau tersebut. Namun, generasi saat ini kurang
berminat untuk mengetahui tentang cerita rakyat dan cenderung memandangnya
sebagai suatu tradisi kuna, dan menganggap ritual itu sulit dimengerti sekaligus
merepotkan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu refensi yang
berkaitan dengant tradisi, adat, dan karya sastra di daerah Ogan Komering Ilir.
Selain itu, dapat menjadi pendorong bagi Dinas kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Ogan Komering Ilir untuk lebih meningkatkan penelitian dan
penerbitan tentang adat-istiadat serta karya-karya sastra untuk pembaca.
Alasan lain pemilihan kedua naskah tersebut sebagai objek kajian adalah
pertama, kedua naskah tersebut belum pernah diteliti orang lain. Kedua, kajian
fungsional dan pandangan dunia yang dilakukan ini dapat mengungkap ideologi di
sebagai penuntun pengungkapan struktur dan fungsi legenda. Pola aktansial ini
memudahkan pengklasifikasian yang berhubungan dengan norma dan aturan yang
berlaku. Sedangkan, struktur fungsional lebih berhubungan dengan alur yang
mengetengahkan nilai-nilai tradisi yang dapat digali dari cerita tersebut. Berkaitan
dengan alur dan akhir cerita yang tragis dalam legenda Danau Teluk Gelam,
pandangan dunia tragik Goldmann dianggap relevan untuk mengungkap ideologi
yang dalam cerita tersebut, yang erat kaitannya dengan adat-istiadat masyarakat
Kabupaten Ogan Komering Ilir. Anggapan tersebut didasarkan pada pandangan
dunia tragik Goldmann yang mengungkap kehidupan tragis masyarakat yang sarat
akan kontradiksi. Begitu pula dengan kisah Pangeran Tapah dan Putri Gelam
dalam legenda Putri Gelam dan Asal-muasal Terjadinya Danau Teluk Gelam.
Analisis naratif, menurut A.J.Greimas, meliputi dua unsur, yaitu (1)
struktur lahir, yakni tataran bagaimana cerita dikemukakan (penceritaan), dan (2)
struktur batin, yaitu tataran imanen, yang meliputi (a) tataran naratif analisis
sintaksis naratif (skema aktan dan skema fungsional), dan (b) tataran diskursif
(Taum, 2011: 141). Seperti prosa pada umumnya, legenda memiliki unsur
intrinsik berupa tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang dan tema.
Karena A.J. Greimas mengkhususkan penelitian struktur pada alur atau naratif
(penceritaan), maka analisis tentang legenda Danau Teluk Gelam lebih terfokus
pada aktansial dan struktur fungsionalnya.
Kurangnya penelitian yang membahas karya sastra lama seperti cerita
rakyat atau legenda membuat karya-karya itu cenderung dilupakan. Banyak orang
lebih segar dan modern. Padahal, banyak hal yang dapat diperoleh dari penelitian
karya sastra lama, seperti ajaran moral, semangat untuk terus maju, atau
pandangan masyarakat dalam menyikapi perkembangan budaya serta melestarikan
kebudayan yang ada.
Karya sastra terlahir berdasarkan fungsinya sebagai seni kemasyarakatan.
Sastra diciptakan untuk dibacakan, untuk dinikmati, dihayati, dialami
bersama-sama. Dalam masyarakat tradisional sastra adalah alat yang penting untuk
mempertahankan model dunia sesuai dengan adat-istiadat dan pandangan dunia
konvensional dan untuk menanamkan pada angkatan muda kode nilai, tingkah
laku, kode etik (Teeuw, 1983: 7-8). Oleh karena itu, Ratna (2010: 364)
menyampaikan bahwa melalui karya sastra dapat disalurkan berbagai aspirasi,
visi, dan misi, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung.
Goldmann (lihat Faruk, 2012) menyebut permasalahan itu sebagai
pandangan dunia tragik. Dunia tragik sendiri dipahami sebagai dunia yang
dianggap aneh, tidak cocok, kontradiksi antara harapan dan kenyataan yang
terjadi. Harapan yang mengarah pada khayalan atau suatu hal yang tidak pasti
untuk mewujudkan kesempurnaan. Kesempurnaan dalam imajinasi yang
dipaksakan, agar bisa dimanfaatkan untuk menyurutkan sifat-sifat manusia yang
berujung pada pengrusakan dan penghancuran dirinya. Dan pada dasarnya
pengekangan terhadap sifat-sifat itu mengarah pada kebodohan karena tidak
sesuai dengan sifat alamiah. Sifat alamiah yang secara naluriah merupakan respon
mengharapkan kesempurnaan tersebut, sebenarnya telah menghancurkan dirinya
sendiri karena hal-hal yang bersifat imajinasi tidak bisa diterapkan secara nyata.
Pemilihan pandangan dunia tragik sebagai pendekatan untuk menganalisis
legenda Danau Teluk Gelam didasari oleh banyaknya kontradiksi yang telihat
dalam karya Hidden God, terutama kontradiksi yang berkaitan dengan keberadaan
Tuhan dan respon manusia terhadap-Nya. Taum dalam tulisannya berjudul The
Hidden God karya Lucien Goldmann dan Aplikasiny Dalam Studi Sastra
Indonesia melihat bahwa, pandangan dunia tragik yang diungkap Goldmann
dalam The Hidden God merupakan respon terhadap kehidupan sosial sekelompok
bangsawan Prancis yang memilih jalan Tuhan, kelompok berjubah yang
menamakan dirinya biarawan, dan meninggalkan kehidupan duniawi pada abad
ke -17. Mereka meninggalkan kehidupan alami manusia, yakni kehidupan sebagai
makhluk sosial berpasangan, berprasangka dan memelihara kehidupan lain
sebagai pengganti atau generasi penerus. Respon tersebut berupa kontradiksi akan
kepercayaan kelompok tersebut dengan kehidupan nyata yang seharusnya mereka
jalani sebagai manusia normal, bukan untuk penyerahkan dirinya untuk melayani
Tuhan dan meninggalkan segala kenikmatan yang diberikan Tuhan, demi sesuatu
yang hanya bersifat imajinatif, tidak nyata, dan hanya sebuah harapan kosong
untuk bersama Tuhan .
Kontradiksi semacam inilah yang memunculkan ide bagi penulis untuk
menganalisis legenda Danau Teluk Gelam dengan pandangan dunia tragik
Goldmann. Banyaknya kontradiksi yang yang terjadi dalam kehidupan tokoh yang
tragis. Awal perjalanan tokoh utama yang buruk dan akhir yang tragis yang
melibatkan harapan dan kenyataan menjadikan legenda ini layak untuk dianalisis
menggunakan pendekatan pandangan dunia tragik Goldmann. Kontradiksi inilah
yang dihubungkan dan dianggap relevan untuk menganalisis legenda Danau Teluk
Gelam.
Danau Teluk Gelam sebagai legenda tidak terlepas dari ciri-ciri yang
mendasari cerita tersebut sebagai karya sastra. Ciri utama karya sastra adalah
imajinasi, representasi emosi dalam strukturasi unsur-unsur secara fiksional,
sedangkan ciri utama masyarakat adalah kenyataan, kompetensi fakta-fakta sosial
dalam formasi trans-individual secara faktual. Fiksi dan kenyataan, fiksi dan
fakta, jelas bertentangan secara diametral, tetapi implikasinya dalam
mengantisipasi kecenderungan struktur mental masyarakat sangat besar. Dengan
melihat ciri karya sastra tersebut, dapat dikatakan bahwa legenda juga mempunyai
peran yang cukup besar dalam menggambarkan realitas yang dihadapi masyarakat
asal legenda itu diciptakan (Ratna, 2010: 365). Legenda Danau Teluk Gelam
sebagai fiksi direspon masyarakat karena kaitannya dengan keberadaan Danau
Teluk Gelam sendiri, sehingga semakin mudah bagi masyarakat menerima
keberadaan legenda tersebut sebagai sebuah pengingat adanya ajaran yang
terkandung didalamnya.
Legenda Danau Teluk Gelam menceritakan kehidupan tokoh yang tragis
yaitu Pangeran Tapah dan Putri Gelam. Tokoh utama, Pangeran Tapah yang
merupakan satu-satunya penerus tahta Kerajaan Awang diusir karena difitnah
begitu juga tokoh yang kemudian menjadi pasangannya, Putri Gelam. Setelah
mereka menikah dan mendapatkan kebahagiaan dengan memiliki dua oarng putra
dan putri, terjadi perampokan yang kemudian menyebabkan kedua anak tersebut
meninggal. Kesedihan dan air mata pangeran membanjiri tempat tersebut menjadi
danau, dan dia sendiri menjadi ikan penghuni danau tersebut. Sedangkan istrinya
yang memanjat pohon untuk menyelamatkan diri, berubah menjadi burung yang
menjaga dan tinggal di sekitar danau.
Sebuah tragedi memperlihatkan kesengsaraan yang demikian hebat,
sehingga tidak terjangkau oleh cakrawala pengalaman kita. Penonton yang secara
intensif turut menghayati penderitaan sang pahlawan lalu merasa bahwa
penderitaannya sendiri sebetulnya belum apa-apa, sehingga terasa lebih ringan
(Luxemburg dkk., 1984: 78). Penonton yang dimaksud adalah pembaca cerita
legenda. Pembaca tersebut yang akan melakukan pemaknaan terhadap karya
sastra yang dibacanya. Pemaknaan itulah yang akan menentukan fungsi dan
peranan karya sastra dalam masyarakat, serta mencoba mengetahui pengaruh
cerita ini apabila beredar luas di masyarakat, hal inilah terjadi pada penulis ketika
membaca legenda Danau Teluk Gelam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan diteliti dapat
1. Bagaimana pola aktansial dan struktur fungsional pada legenda Danau
Teluk Gelam di Kab. OKI?
2. Bagaimana pandangan dunia tragik pada legenda Danau Teluk Gelam
di Kab. OKI?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah berikut:
1. Mendeskripsikan skema aktansial dan struktur fungsional dengan
pendekatan A.J Greimas pada legenda Danau Teluk Gelam di Kab.
OKI. Hal itu akan dikemukakan dalam bab III.
2. Mendeskripsikan pandangan dunia tragik menurut Goldmann pada
legenda Danau Teluk Gelamdi Kab. OKI. Hal itu akan diulas dalam
bab IV.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian terbagi atas teoritis dan praktis, yaitu:
1. Secara teoritis, menambah khasanah penelitian sastra lisan
berdasarkan teori struktur A.J. Greimas dan pandangan dunia tragik
Goldmann.
2. Praktis, memberikan gambaran pola dan fungsi sastra lisan di Kab.
OKI dan dapat dijadikan pertimbangan untuk menerbitkan sastra lisan
legenda Danau Teluk Gelam yang berjudul Putri Gelam dan
E. Tinjauan Pustaka
Sejauh ini belum pernah ada penelitian yang secara khusus mengungkap
kedua cerita tersebut. Akan tetapi, objek moral kajian legenda ini dapat digunakan
sebagai permulaan dalam memahami tata cara kehidupan yang baik dan sesuai
nilai menurut masyarakat OKI. Penulis merunjuk dua pustaka yang secara khusus
membahas tentang kedua teori yang digunakan sebagai pendekatan dalam studi
ini.
Taum (2011: 142-155) memberikan gambaran teori skema dan model
fungsional A.J. Greimas dan menerapkannya dalam analisis sastra lisan Jaka
Budug dan Putri Kemuning. Analisis ini menguatkan pemahaman terhadap teori
struktural A.J. Greimas yang menggunakan analisis naratif atau penceritaan
sebagai kajian. Analisis naratif ini terbagi atas pola aktansial dan struktur
fungsional.
F. Landasan Teori
Ada dua teori yang akan digunakan dalam analisis legenda Danau Teluk
Gelam yaitu kajian struktural A.J. Greimas dan pandangan dunia tragik
1. Kajian Struktural A.J. Greimas
Pendekatan yang digunakan dalam kajian ini, pertama aktansial yang
terdiri dari enam aktan, yaitu pengirim, subjek, objek, pembantu, penentang, dan
penerima. Kedua, struktur fungsional yang terbagi menjadi tiga bagian yaitu
situasi awal, transformasi yang dibedakan dalam tahap awal, tahap utama, dan
tahap kegemilangan, dan situasi akhir.
a. Aktansial
Taum (2011: 144) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan aktan adalah
satuan naratif terkecil, berupa unsur sintaksis yang mempunyai fungsi tertentu.
Aktan tidak identik dengan aktor. Aktan merupakan peran-peran abstrak yang
dimainkan oleh seorang atau sejumlah pelaku, sedangkan aktor merupakan
manifestasi konkret dari aktan.
Fungsi dan kedudukan aktan adalah sebagai berikut:
1) Pengirim (sender) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang menjadi
sumber ide dan fungsi sebagai penggerak cerita. Pengirim
memberikan karsa atau keinginan kepada subjek untuk mencapai atau
mendapatkan objek.
2) Objek (object) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang dituju,
dicari, diburu atau diinginkan oleh subjek atas ide dari pengirim.
3) Subjek (subject) adalah aktan pahlawan (sesuatu atau seseorang) yang
4) Penolong (helper) adalah aktan (sesuatu atau seseorang) yang
membantu atau mempermudah usaha subjek atau pahlawan untuk
mendapatkan objek.
5) Penentang (opponent) adalah aktan (seseorang atau sesuatu) yang
menghalangi usaha subjek atau pahlawan dalam mencapai objek.
6) Penerima (receiver) adalah akatan (seuatu atau seseorang) yang
menerima objek yang diusahakan atau yang dicari oleh subjek
(Zaimar, 1992 :19; Suwondo, 2003: 52-54 dalam Taum 2011,
145-146).
Dari masing-masing aktan yang telah disebutkan baik fungsi maupun
kedudukannya, Taum (2011: 144) menggambarkannya sebagai berikut:
Bagan 1. pola Aktansial
Penjelasan skema tersebut adalah sebagai berikut: pengirim meliliki
hubungan langsung dengan subjek dan memberitahukan atau menunjukkan
PENGIRIM
(sender)
OBJEK
(object)
PENERIMA
(receiver)
SUBJEK
(subject)
PEMBANTU
(helper)
PENENTANG
subjek akan keberadaan objek. Subjek melakukan sesuatu untuk mendapatkan
objek berdasarkan informasi dari pengirim. Subjek memiliki pembantu sekaligus
penetang dalam upayanya mendapatkan objek. Setelah objek didapatkan, barulah
objek akan diserahkan kepada penerima. Dalam hal ini, subjek tidak sama dengan
penerima, subjek adalah yang mengusahakan objek sedangkan penerima adalah
yang menerima objek meskipun antara subjek dan penerima bisa berupa tokoh
yang sama.
b. Struktur Fungsional
Taum (2011: 146) mengatakan bahwa model fungsional berfungsi untuk
menguraikan peran subjek dalam melaksanakan tugas dari pengirim yang terdapat
dalam fungsi aktan. Model fungsional dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Situasi awal adalah situasi awal cerita yang menggambarkan keadaan
sebelum ada suatu peristiwa yang mengganggu keseimbangan
(harmoni).
2) Transformasi meliputi tiga tiga tahap cobaan. Ketiga tahapan cobaan
ini menunjukan usaha subjek untuk mendapatkan objek.
3) Situasi akhir berarti keseimbangan, situasi telah kembali ke keadaan
semula. Konflik telah berakhir. Di sinilah cerita berakhir dengan
subjek yang berhasil atau gagal mencapai objek (Taum, 2011: 147).
Tabel 1. Struktur Fungsional
I II III
Situasi Awal
Transformasi Situasi
Akhir
Tahap uji kecakapan
Tahap Utama
Tahap kegemilangan
2. Pandangan Dunia Tragik
Menurut Goldmann, yang dimaksud dengan pandangan dunia itu sendiri,
tidak lain daripada kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-asirasi,
dan perasaan-perasaan, yang menghubungkan secara bersama-sama
anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan
kelompok-kelompok sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif,
pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik
tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang dimilikinya (Faruk, 2010:
65-67). Pandangan dunia itu adalah sebuah pandangan dengan koherensi yang
menyeluruh, merupakan perspektif yang koheren dan terpadu mengenai manusia,
hubungan antar-manusia dan alam semesta secara keseluruhan. Karya sastra
merupakan ekspresi pandangan dunia sacara imajiner. Pengarang menciptakan
semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner (Faruk, 2012:
Goldmann melalui Faruk (2010: 81-90), kelompok sosial yang patut
dianggap sebagai subjek kolektif dari pandangan dunia itu hanyalah kelompok
sosial yang gagasan-gagasan dan aktivitas-aktivitasnya cenderung ke arah suatu
penciptaan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan
sosial manusia.
Pandangan dunia tragik mengandung tiga eleman, yaitu pandangan
mengenai Tuhan, pandangan mengenai dunia, dan pandangan mengenai manusia.
Pandangan dunia tragik menganggap Tuhan tidak mempunyai peran dalam
kehidupan manusia, Tuhan dapat dikatakan tidak ada. Pandangan dunia tragik
memandang dunia sebagai segalanya dan sekaligus bukan apa-apa. Pandangan
dunia tragik mangenai manusia memiliki dua ciri. Yaitu pertama, manusia itu
penuntut secara mutlak dan ekslusif nilai-nilai yang tidak mungkin. Kedua,
tuntutannya sekaligus untuk “segala dan bukan apa-apa” dan ia secara total tidak peduli terhadap konsep yang mengandung gagasan mengenai relativitas (Faruk
2012: 81-84).
Pertama, pandangan mengenai Tuhan yaitu manusia menyadari kehadiran
Tuhan dan tidak melepaskan tuntutan-Nya atas perilaku kehidupan. Yang benar
bukan kekuatan dan kekuasaan akal manusia, melainkan kekuatan dan kekuasaan
Tuhan. Karena sorotan dari Tuhan tersebut, tetapi karena tidak berperanan-Nya di
dalam dunia, Tuhan dalam pandangan tragik sekaligus ada dan tiada (Faruk, 2012:
Kedua, pandangan mengenai dunia yaitu segala sesuatu yang mungkin
menurut hukum duniawi menjadi tidak ada dan tidak berarti di hadapan Tuhan.
Manusia mengetahui keterbatasan dunia dan, karena itu, menolaknya. Akan tetapi,
pemahamannya akan nilai ketuhanan, hanya bisa diperoleh dalam dunia itu sendiri
(Faruk, 2012:83).
Ketiga, Pandangan mengenai manusia yaitu kesadaran akan dua
ketidakcocokan yang saling mengisi, yang secara timbal-balik mengondosikan
dan memperkuat diri. Dengan sikap paradoksal, manusia sekaligus raja dan
budak, iblis dan malaikat (Faruk, 2012:83).
Penulis menggambarkan hubungan dari ketiga elemen dalam pandangan
dunia tragik yang terdiri atas pandangan mengenau Tuhan, pandangan mengenai
dunia, dan pendangan mengenai manusia sebagai berikut:
Bagan 2 . Pandangan Dunia Tragik
Pandangan Dunia Tragik
Melalui bagan di atas dapat dilihat hubungan dari masing-masing elemen
yang ada dalam pandangan dunia tragik. Pandangan mengenai Tuhan direspon
sekaligus dikaitan dengan keberperanan Tuhan di dunia, bagaimana dunia melihat
Tuhan karena Tuhan diakui dan ditiadakan oleh dunia melalui pandangan Pandangan mengenai manusia Pandangan
mengenai dunia Pandangan
mengenai dunia. Dari respon Tuhan di dunia, manusia melihat hubungan antara
Tuhan dan dunia yang meresponnya serta manusia yang menjadi perespon
tersebut untuk dapat diterapkan dalam hubungan sosial manusia melaui
pandangan mengenai manusia. Dari pandangan mengenai manusia kemudian
dikembalihan lagi melalui pada pandangan mengenai Tuhan dalam pandangan
dunia tragik.
G. Metode dan Teknik Penelitian
Objek penelitian yaitu objek atau hal yang menjadi fokus penelitian.
Dalam KBBI (2008) disebutkan bahwa, objek formal adalah aspek atau sudut
pandang suatu ilmu dalam melihat objek ilmu tersebut, sedangkan objek material
adalah benda atau hal yang menjadi objek atau bidang ilmu.
Ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk meneliti sastra lisan.
Berikut langkah-langkahnya:
1. Penentuan Narasumber
Menurut Taum (2011: 237-238), pandangan dan sikap terhadap sumber
data sangat berpengaruh kepada hasil penelitian yang akan dilakukan. Spradley
(1997 dalam Taum 2011) mengingatkan bahwa dalam studi lapangan seringkali
terdapat kekaburan dalam penggunaan istilah informan, subjek penelitian,
dijadikan penulis sebagai prasyarat, yaitu: pertama narasumber mengetahui cerita
tentang Danau Teluk Gelam, kedua, narasumber mengetahui tentang adat-istiadat
suku Ogan, dan ketiga narasumber merupakan masyarakat yang berada di
kawasan Kabupaten Ogan Komering Ilir dan juga bersinggungan dengan
masyarakat suku Ogan baik secara adat maupun hubungan masyarakat.
2. Pengumpulan Data-data Sosial Budaya
Dalam penentuan data di lapangan, selain data utama berupa teks-teks
sastra baik puisi maupun prosa, seorang peneliti sastra lisan perlu juga
menghimpun berbagai informasi mengenai latar belakang sosial budaya
masyarakat yang bersangkutan. Gambaran ini dipandang perlu, mengingat tradisi
sastra lisan merupakan sesuatu yang lebih dari sekadar cermin masa lampau.
Data-data sosial budaya itu dapat mencakup latar belakang sejarah, gambaran
geografis, dan demografis, agama dan kepercayaan, korpus kebudayaan yang
lebih luas, dan kehidupan sastra pada umumnya (Taum, 2011: 238-239).
Data-data sosial berkaitan dengan hubungan masyarakat dan hal-hal yang terjadi dalam
hubungan tersebut seperti respon masyarakat pendatang terhadap adat dan
sebaliknya. Pengukuhan adat sebagai milik bersama karena sebagian orang
mengakui adat tersebut berdasarkan wilayah bukan suku tertentu. Data-data
budaya berkaitan dengan adat istiadat yang berlaku dan dilestarikan maupun yang
Dalam penelitian ini data-data sosial budaya diperoleh melalui observasi
lapangan dan studi pustaka. Observasi lapangan dilakukan dengan wawancara
yang dilakukan secara langsung oleh peneliti berkaitan dengan bagaiamana
masyarakat saat ini merespon legenda Danau Teluk Gelam dan adat-istiadat yang
masih berlaku, juga pengetahuan masyarakat tentang adat yang sudah mulai
ditinggalkan. Respon masyarakat inilah yang menunjukkan minat masyarakat
terhadap cerita rakyat khususnya legenda Danau Teluk Gelam semakin menipis.
Bahkan sebagian besar masyarakat tidak mengetahu keberadaan legenda tersebut.
Observasi juga dilakukan dengan menggali pustaka-pustaka yang berhubungan
dengan adat masyarakat Ogan untuk memudahkan penulis mengetahui hal-hal
yang sebelumnya tidak dihiraukan dan bagaimana tradisi itu berlangsung. Selain
itu geografis wilayah menguatkan keberadaan Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Data-data yang berkaitan dengan budaya dan tradisi tersebut disajikan dalam Bab
II.
3. Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam pengumpulan
data yaitu sebagai berikut:
a. Wawancara. Dalam wawancara ada dua tahap penting. Tahap pertama
„wawancara bebas‟ (free interview/non-direted interview) yang memberi kebebasan seluas-luasnya kepada informan unutk berbicara. Tahap kedua,
pertanyaan yang sudah disusun sebelumnya untuk mendapatkan gambaran
yang utuh dan mendalam (indepth-interview) (Taum 2011: 239).
b. Pengamatan (observasi). Pengamatan adalah melihat dan mengamati suatu
kejadian (tari, permainan, tingkah laku, dll) dari gejala luarnya sampai ke
dalamnya dan menggambarkan atau mendeskripsikan secara tepat hasil
pengamatan (Taum 2011: 239).
c. Perekaman dan pencatatan. Teknik ini perlu digunakan unutk
mendapatkan data utama penelitian, misalnya puisi atau prosa lisan.
Perekaman menggunakan tape recorder perlu disesuaikan dengan suasana.
Teknik pencatatan bisa dipergunakan unutk mentranskripsikan hasil
rekaman menjadi bahan tertulis dan mencatat berbagai aspek yang
berkaitan dengan suasan pernceritaan dan informasi-informasi lain yang
diperpanjang perlu selama melakukan wawancara dan pengamatan (Taum
2011: 240).
4. Pengarsipan
Taum (2011: 240-241) menyebutkan beberapa teknik atau model
pengarsipan, akan tetapi ada beberapa keterangan yang perlu dimasukkan
hal-hal tersebut meliputi:
1) Bahan folklor: klasifikasi (mitos/legenda/ permainan/dll).
2) Teks yang telah ditranskripsikan: teks asli dan terjemahannya.
3) Kolofon: keterangan tentang waktu, tempat, dan pelaku pencatatan.
umur, tempat tanggal lahir, pendidikan, pendidikan pekerjaan, kedudukan
dalam adat/masyarakat).
4) Keterangan sekitar bahan/ aparat kritik: berbagai catatan etnografis,
keterangan tentang teks yang kurang jelas, penilaian dan interpretasi
peneliti sendiri.
Dalam penelitian ini, pengarsipan formaliterasi, dan penerjemahannya sudah
dilakukan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Penulis melengkapi kedua naskah yang diperoleh itu dengan kolofon dan
keterangan bahan dengan catatan etnografis. Data yang diperoleh, dikaji dengan
dua teknik utama, yakni: kajian struktural A.J. Greimas dan pandangan dunia
tragik Goldman.
H. Sistematika Penyajian
Hasil studi ini akan disajikan dalam lima bab, Bab I merupakan
pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan teknik
penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II, konteks sastra dan kebudayaan
Kabupaten Ogan Komering Ilir, Bab III berisi analisis struktural A.J. Greimas
yang terdiri atas aktansial dan struktur fungsional terhadap legenda Danau Teluk
Gelam. Bab IV berisi pandangan dunia tragik Goldmann terhadap legenda Danau
Teluk Gelam Kabupaten Ogan Komering Ilir. Bab V merupakan penutup yang
BAB II
GEOGRAFI DAN BUDAYA DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR, SUMATRA SELATAN
Geografi suatu wilayah menjadi penting untuk diketahui apabila akan
membahas karya sastra dari daerah itu, misalnya untuk menganalisis legenda
Danau Teluk Gelam terlebih dahulu peneliti harus terlebih dahulu mengetahui
geografi Kabupaten Ogan Komering Ilir sebagai tempat asal legenda tersebut.
Karya sastra atau legenda pada umumnya mengungkap tentang alam dan budaya
yang terjadi di suatu tempat, begitu pula legenda Danau Teluk Gelam yang
mengungkap tentang asal mula terjadinya Danau Teluk Gelam. Di bawah ini akan
dipaparkan geografi dan demografi Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang terdiri
atas keadaan alam, mata pencaharian, penduduk, agama dan kepercayaan, sistem
kekerabatan, bahasa tradisi sastra lisan maupun tulisan, permainan, kesenian, dan
sejarah.
Kedudukan cerita Legenda Danau Teluk Gelam dalam masyarakat dan
kebudayaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir diketahui melalui hubungan
legenda dengan karya sastra lain, keberadaan Danau Teluk Gelam, dan respon
A. Kondisi Kabupaten Ogan Komering Ilir
Sebenarnya “Ogan” adalah nama salah satu sungai di antara empat sungai besar yang terdapat di Sumatra Selatan. Daerah Ogan adalah daerah yang terletak
di sepanjang aliran sungai Ogan, berhulu di Ringgit, sampai ke perbatasan sungai
Ogan dan sungai Musi di tengah-tengah kota Palembang (Nawawi dan Alak
Masykur dalam Tarigan, 1972: 6-7).
Gambar 4. Peta Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatra Selatan
Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki luas wilayah sebesar 19.023,47
Km2 dengan kepadatan penduduk sekitar 35 jiwa per km2. Wilayah ini terletak
antara 104o,20‟ sampai 106o,00‟ derajat Bujur Timur (BT) dan 2o,30‟ sampai
4o15‟ derajat Lintang Selatan (LS), dengan ketinggian rata-rata 10 mdpl. Secara administratif wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir memiliki batas sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin dan Kota Palembang, sebelah selatan
berbatasan dengan Propinsi Lampung, sebelah barat berbatasan dengan
Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, dan sebelah
timur berbatasan dengan Selat Bangka dan Laut Jawa. Kabupaten Ogan
Komering Ilir ini terdiri atas 18 Kecamatan yang meliputi antara lain adalah:Air
Sugihan, Cengal, Jejawi, Kota Kayuagung, Lempuing Jaya, Mesuji, Mesuji
Makmur, Mesuji Raya, Pampangan, Pedamaran, Pedamaran Timur, Pematang
Panggang, Sirah Pulau Padang, Teluk Lubuk, Tulung Selapan, Teluk Gelam,
Lempuing Jaya, dan Pangkalan Lampam
(http://riansyahefran-punyakoe.blogspot.com/2012/02/profil-singkat-kabupaten-ogan-komering.html).
B. Keadaan Alam
Hampir seluruh tanah Ogan terdiri dari dataran rendah dan rawa-rawa.
Ada dua jenis sawah di daerah Ogan yang disebut “ume lebak” dan “ume pematang”. “Ume lebak” yaitu sawah yang banyak tergenang air dan memakan waktu yang lama untuk mengeringkannya, sedangakan “ume pematang” yaitu
sawah yang sedikit tergenang air (Tarigan dan Anisi Sjakoni, 1972: 13-14).
Pertanian di daerah ini menghasilkan beras, jeruk, nenas, pisang, embam/ mangga
kuweni, mangga, pepaya, sayur-mayur, dan sebagainya. Ada pula perkebunan
karet dan sawit .
Daerah Ogan adalah daerah yang paling banyak menghasilkan ikan, jika
dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera Selatan. Perikanan yang
dilaksanakan di daerah ini adalah perikanan darat artinya penangkapan ikan tidak
dilakukan di laut-laut atau di pantai-pantai lepas, melainkan di sungai-sungai dan
mengalami musim ikan sekali atau dua kali setahun, musim ini disebut “ikan molah”. Jenis ikan yang dihasilkan ikan gabus, lele, sepat, kojam, baung, seluang,
betok, dan lain-lain (Tarigan dan Sjakoni, 1972: 14).
C. Penduduk
Tarigan dan Anisi Sjakoni (1972: 9-12), penduduk yang mendiami daerah
ogan terbagi atas dua golongan besar yaitu penduduk asli dan penduduk
pendatang. Penduduk asli daerah Ogan terdiri dari empat puak/ kelompok; 1)
Uhang Ugan (Uhang: jeme: orang), mereka yang mendiami daerah Ogan Ulu dan
sebagian Ogan Ilir dan Komering Ilir, 2) Wang Pegagan (wang: orang), mereka
mendiami sebagian besar Ogan Ilir, 3) Urang Penesak (Urang: orang), mendiami
sebagian Ogan Ilir, 4) Hang Belido (hang: orang), mendiami Ogan tengah.
Meskipun terdiri dari puak-puak, ditinjau dari segi sosio-kultural, sifat-sifat
penduduk, agama, tidaklah menunjukkan kelainan-kelainan yang berarti.
Penduduk pendatang adalah penduduk yang berasal dari daerah lain, seperti: dari
Jawa, Sunda dan orang China.
Jumlah penduduk tahun 2011 mencapai 680.000 jiwa dengan kepadatan
D. Agama
Penduduk asli Ogan hampir seluruhnya beragama Islam. Ada juga yang
memeluk agama Kristen yaitu penduduk yang mendiami daerah Batu Putih di
dekat Batu Raja (Tarigan dan Gaffar, 1972: 7). Masyarakat Sumatera Selatan
sebelum masuknya agama islam dan agama lain, percaya pada kekuatan-kekuatan
gaib, makhluk-makhluk halus, kekuatan-kekuatan sakti dan sebagainya. Dengan
perkataan lain mereka masih menganut kepercayaan animisme, dinamisme, dan
toteisme (Depdikbud 1984: 18).
E. Sistem Kekerabatan
Agama Islam mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kabupaten Ogan
Komering Ilir. Pengaruh tersebut terlihat dari susunan masyarakat yang secara
nyata mengikuti prinsip keturunan menurut Islam. Anak-anak yang dilahirkan
dalam hubungan perkawinan adalah anak ibu dan bapak, dan mereka menarik
garis keturunan dari ibu maupun bapak. Di lain pihak, masih ada yang tetap
bertahan dengan prinsip keturunan patrilinial yaitu garis keturunan dari bapak
maupun matrilinial yaitu garis keturunan dari ibu. Masyarakat yang susunan
kekeluargaannya patrilinial dikenal adanya perkawinan “tambil anak” yaitu kedudukan anak akan berubah. Anak adalah milik ibu, dalam arti bahwa anak
menarik garis keturunan memulai garis penghubung dari ibunya, dan seterusnya
ke atas (Depdikbud 1984: 16). Sedangkan masyarakat yang yang menggunakan
Terdapat dua stratifikasi sosial masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir
seperti umumnya di masyarakat Sumatera Selatan, yaitu pertama strata tertutup
yang mirip dengan susunan kasta. Susunan kasta ini terdiri dari empat golongan;
golongan keturunan raja-raja yang memerintah pada zaman dahulu kala bergelar
Raden dan Raden Ayu merupakan anak dari permaisuri, keturunan raja bergelar
Masagus dan Masayu merupakan anak kesayangan dari selir, keturunan raja
bergelar Kemas dan Nyimas merupakan anak dari selir tapi bukan anak
kesayangan, golongan terakhir bergelar Kiagus dan Nyayu merupakan golongan
alim ulama yang taat pada agamanya (Depdikbud, 1984: 17).
F. Bahasa Ogan
Dialek bawahan Melayu Ogan seperti juga dialek Melayu Palembang
berasal dari satu rumpun bahasa yaitu bahasa Melayu. Bahasa dialek Ogan
terbagi menjadi empat macam yaitu dialek Ogan, dialek Pegagan, dialek Penesak,
dan dialek Belida (Tarigan dan Gaffar, 1972: 9-10). Orang Ogan mempunyai
huruf (aksara) yang tersendiri yang disebut “huruf ulu” atau “huruf rencong”. Huruf ini masih dipakai sampai akhir pemerintahan Belanda di Indonesia terutama
bagi orang-orang yang tidak bisa tulisan latin (Tarigan dan Gaffar, 1972 : 10).
Sekarang sudah jarang ditemui orang-orang yang mengerti atau mengenal huruf
G. Peranan dan Kedudukan Bahasa Ogan
Bahasa Ogan banyak dipakai oleh penuturnya dalam percakapan
sehari-hari dalam lingkungan keluarga dan masyarakat pada suasana yang tidak resmi.
Selain dalam kesempatan itu, Bahasa Ogan juga banyak dipakai di pasar,
kalangan/pedagang (pasar mingguan), kantor, dan sekolah pada jam-jam istirahat.
Pada situasi resmi umumnya memakai bahasa Indonesia. Dengan orang yang
baru dikenal, penutur Bahasa Ogan akan mungkin sekali memulai pembiacaraan
dengan Bahasa Ogan, yang akan dilanjutkan dengan bahasa Melayu Palembang
atau bahasa Indonesia segera setelah diketahui orang ini tidak dapat menggunakan
Bahasa Ogan. Pada umumnya, Bahasa Ogan mempunyai fungsi sebagai bahasa
pergaulan saja bukan sebagai bahasa resmi atau bahasa pengantar di dunia
pendidikan (Ihsan dkk., 1981: 6).
Menurut Tarigan dan Anisi Sjakoni (1972: 17), fonem /a/ pada akhir kata
dalam Bahasa Indonesia diganti dengan fonem /o/ untuk Bahasa Palembang
sebagai bahasa umum masyarakat Sematera Selatan. Selain itu, bunyi [r] (Apico
palatal) dalam Bahasa Indonesia diucapkan menjadi [R] (uvulo radical). Bahasa
Ogan tidak mengenal tingkat bahasa (speech level) seperti halnya dengan
beberapa bahasa daerah lain dan juga membedakan bentuk bahasa yang dipakai
oleh orang tua dengan orang muda (domain and role relationship), kecuali
H. Tradisi Sastra Lisan dan Tulisan
Dalam bahasa Ogan terdapat beberapa sastra lisan, yakni pantun sahut,
lagu nasib, seramba panjang, dan sastra lisan. Selain itu masih terdapat beberapa
lagu rakyat, bentuk ini kebanyakan berasal dari lagu buaian (lullaby songs), Sastra
tulis boleh dikatakan tidak ada dalam bahasa Ogan. Yang tercatat hanyalah satu
bentuk yang dinamakan “surat ulu” yaitu berupa tulisan silabik dengan
penggunaan tanda-tanda tertentu sebagai penanda vokalnya Menurut Tarigan dan
Anisi Sjakoni (1972: 17).
I. Tradisi Permainan
Penelitian yang dilakukan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(1983) terhadap permainan rakyat di beberapa daerah di Sumatera Selatan
ternyata juga diketahui oleh masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir .
Permainan rakyat yang juga dimainkan oleh masyarakat di Kabupaten Ogan
Komering Ilir antara lain; cak ingking gerpak atau engkek-engkek artinya para
pemain meloncat dengan kaki satu kemudian melompat dengan kaki dua pada
petak-petak yang telah ditentukan secara bergantian dan berulang-ulang, gasing,
pencang atau panjat pinang, bas-basan atau kejaran, tawanan sejenis
kejar-kejaran tapi disertai suara (syssss) selama mengejar lawan, gamang atau galah
atau berburu seperti gobak sodor, setembak atau dakon atau congklak, becipak
J. Kesenian
Kesenian banyak diadakan pada saat perkenalan muda-mudi, seperti
malam mulah (kerja/ mempersipakan) yaitu malam persiapan untuk acara
upacara-upacara perkawinan keesokan harinya. Dalam pesta kesenian yang
diadakan oleh muda-mudi ada yang disebut “ayam-ayaman” dan biasanya dilanjutkan dengan rebana. Ayam-ayaman yaitu menebak mangkuk mana yang
ada isinya dan biasanya menggunakan tiga mangkuk. Rebana biasanya dipakai
saat mengantarkan pengantin laki-laki ke tempat pengantin wanita atau
sebaliknya. Selain itu, ada silat sebagai alat bela diri dan tala simbol untuk
mengusir roh-roh jahat (Depdikbud, 1984: 20).
K. Sejarah
Berdasarkan hasil penelitian yang diadakan Departeman Pendidikan dan
Kebudayaan (1984), kerajaan Tulang Bawang yang berpusat di kota Kayu Agung
sekarang. Kerajaan Tulang Bawang ini adalah kerajaan maritim, yang letaknya
tersembunyi dan bersifar rahasia. Oleh karena proses alamiah, dan ibu kota tidak
strategis lagi, maka mulailah panglima-panglima kedatuan Tulang Bawang
mengadakan ekspansi untuk meletakkan pusat pemerintahan lain yang amat kuat.
Di antara panglima-panglima itu adalah Dapunta Hyang yang telah membaca
tentara menghilir sungai Komering dan sampai di tempat yang serupa dengan
Menurut piagam Kedukan Bukit 683 Masehi, Dapunta Hyang Panglima
memperoleh daerah baru yang disebut Sriwijaya (Sri = Raja, Wijaya=
Kemenangan/ sukses). Pusat penguasa baru ini dengan cepat berkembang menjadi
bandar yang memegang peranan penting dalam lapangan politik, ekonomi, dan
kebudayaan. Pada akhir abad ke-7 Masehi, pusat kedatuan yang terletak di Bukit
Siguntang (Kedatuan Bukit) menjadi penguasa tunggal di sebelah barat Indonesia.
Terbukti beberapa tempat telah dikalahkan oleh kedatuan ini, seperti Jambi
(671-692 M), Bangka (684 M), dan daerah Lingor (775 M).
Di Bukit Siguntang tepatnya di Kedatuan Tulang Bawang terdapat sekolah
tinggi seperti halnya di Nalanda (India Utara). Dengan dasar ajaran agama Budha,
di sekolah tinggi tersebut diajarkan teologia dan bahasa Sanskerta oleh guru-guru
besar seperti; Dharmapala (600 M), Syakyakirti (670 M). Nama-nama guru besar
itu diabadikan dalam lagu daerah Sumatera Selatan berjudul Gending Sriwijaya.
Pada tahun 1275 serangan dari raja Kertanegara melemahkan kedudukan
Kedatuan di Bukit Siguntang. Selain itu, suatu proses besar pun terjadi di daerah
ini yaitu masuk dan berkembangnya Islam. Tahun 1572 Ki Gede Ing Suro yang
menyingkir dari Demak menjadi penguasa di Palembang, Sumatera Selatan.
Setelah Ki Mas Hindi (Pangeran Ratu) yang bergelar Sultan Jamaluddin atau
sering juga disebut Ratu Abdul Rachman dan Jamaluddin Sultan Candi Malang
(1662-1702 M) menjadi penguasa di Palembang, dan mulailah sejarah kesultanan
di daerah ini dan agama islam dijadikan agama resmi. Kemudian digantikan oleh
Badaruddin yang terkenal dalam sejarah melawan penjajahan (Belanda) dan
mendirikan Masjid Agung Paban pada tahun 1740 M.
L. Cerita Legenda Danau Teluk Gelam dan Keberadaan Danau Teluk Gelam
Cerita legenda Danau Teluk Gelam kurang begitu dikenal masyarakat
Kabupaten Ogan Komering Iilir. Tidak hanya legenda Danau Teluk Gelam,
banyak cerita-cerita lain yang hanya diterbitkan oleh instansi pemerintah dengan
jumlah terbatas sehingga hanya dimiliki oleh instansi tertentu dan tidak
diperjualbelikan secara umum. Danau Teluk Gelam di Kabupaten Ogan Komering
Ilir dikenal masyarakat luas sebagai salah satu tujuan wisata walaupun tidak
banyak yang mengetahui legenda Danau Teluk Gelam,
Brunvand menggolongkan legenda dalam empat kelompok, yakni (1)
legenda keagamaan (relilgious legend) yaitu legenda tentang orang-orang suci, (2)
legenda alam gaib (supernatural legend) yaitu biasanya berbentuk kisah yang
dianggap benar-benar terjadi dana pernah dialami seseorang, fungsi legenda ini
adalah untuk meneguhkan kebenaran “takhyul” atau kepercayaan rakyat, (3)
legenda perseorangan (personal legend) yaitu cerita mengenai tokoh-tokoh
tertentu, yang dianggap oleh yang empunya benar-benar terjadi, dan (4) legenda
setempat (local legend) yaitu cerita legenda yang berhubungan dengan suatu
tempat, nama tempat dan bentuk topografi (Dananjaya, 2002: 67-75).
Berdasarkan definisinya, cerita legenda Danau Teluk Gelam masuk dalam
Cerita legenda Danau Teluk Gelam diungkap setelah Danau Teluk Gelam
ditetapkan sebagai kawasan wisata. Promosi wisata Danau Teluk Gelam didukung
oleh beberapa program yang diselenggarakan di tempat ini seperti lomba dayung
PON XVI di Sumatera Selatan, ulang tahun Pramuka, dll. Kepopuleran Danau
Teluk Gelam sebagai tempat wisata tidak sebanding dengan cerita Danau Teluk
Gelam yang hanya diketahui beberapa orang.
Cerita legenda teluk gelam sengaja diungkap untuk mendukung
keberadaan Danau teluk Gelam sebagai suatu tempat yang memiliki adat dan
kebudayaan tertentu. Kebudayaan inilah yang nantinya menjadi salah satu
pendukung berkembanganya pariwisata Danau Teluk Gelam. Dengan adanya
cerita legenda tersebut, akan lebih mudah mengenalkan Danau Teluk Gelam dan
masyarakatnya kepada masyarakat umum. Selain itu, suatu tempat wisata akan
lebih menarik minat pendatang apabila diketahui adanya cerita rakyat yang
mendukung keberadaannya.
M. Cerita Legenda Danau Teluk Gelam sebagai Sastra dan Kebudayaan
Legenda Danau Teluk Gelam sebagai sastra karena unsur-unsur yang yang
melingkupinya, baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik
terdiri atas tokoh dan penokohan, alur, latar pada masa lampau yang menjadi ciri
khas sebuah legenda, dan tema kepahlawanan menjadi sebuah pengingat akan
adanya suatu kisah yang mengajarkan kebaikan melawan kejahatan. Dari unsur
yang dipahami sebagai ajaran hidup akan kebaikan dan keburukan. Unsur
ekstrinsik berupa adat-istiadat dan masyarakat yang menjadi asal dan penentu
suatu karya sastra diterima atau diabaikan. Karya sastra khususnya legenda
diterima dalam bentuk ajaran yang diajarkan pada masayarakat, dijadikan
pengingat akan suatu kejadian dan dijadikan milik masyarakat tersebut. sebagai
bentuk kebudayaan, legenda Danau Teluk Gelam menjadi gambaran kehidupan
dan adat yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Sastra lisan merupakan khazanah kebudayaan yang paling luas sekaligus
paling kaya. Meskipun, suatu tradisi lisan telah ditranskripsikan ke dalam tulisan,
tradisi tersebut tetap hidup dengan mekanismenya masing-masing. Oleh karena
itu, masyarakat pendukungnyalah yang memiliki pengaruh terbesar terhadap
perkembangan tradisi lisan. Tradisi lisan adalah tradisi komunikasi langsung, di
mana dimungkinkan terjadinya interaksi antara pengirim dengan penerima (Ratna,
2010: 270).
Kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan hasil cipta, rasa, dan karya
masyarakat yang dipimpin dan diarahkan oleh karsa. Kalau cipta diartikan sebagai
proses yang menggunakan daya berfikir dan bernalar, rasa adalah kemampuan
untuk menggunakan panca indera dan hati, sedang karya adalah keterampilan
tangan, kaki, bahkan seluruh tubuh manusia. Karsa ibarat komandan atau
pemimpin yang menentukan kapan, bagaimana, dan untuk apa ketiga unsur
Dengan melihat definisi kebudayaan di atas, diketahui bahwa kebudayaan
mengandung unsur keindahan. Unsur keindahan inilah yang membantu
terbentuknya sebuah seni. Seni adalah kemampuan seseorang atau sekelompok
orang untuk menciptakan berbagai impuls yang melalui salah satu unsur panca
indera, atau mungkin juga melalui kombinasi dari beberapa unsur panca indera,
menyentuh, rasa halus manusia lain di sekitarnya. Sehingga lahir penghargaan
terhadap nilai-nilai keindahan impuls-impuls tadi. Reaksi seseorang yang setelah
tersentuh rasa halusnya di dalam hati dan jiwanya kemudian tergerak untuk
memberikan ekspresi atau wujud dari perasaan tersebut, misalnya dengan tarian,
usik, lukisan, gamelan, nyanyian dan puisi (Soemardjan 1984:2-3).
Seseorang akan memahami kehidupan suatu masyarakat tertentu hanya
dengan membaca karya sastranya. Hal itu lebih diperkuat dengan adanya
anggapan bahwa pengarang adalah bagian dari masyarakat yang mengungkap
kehidupan dan pandangan dunia masyarakatnya ke dalam sebuah karya. Dengan
kata lain, karya adalah gambaran kehidupan yang dipahami oleh pengarangnya,
yang kemudian disampaikan dengan berbagai simbol dan gaya bahasa kepada
masyarakat pembaca. Meskipun bahasa yang digunakan bukan lagi bahasa atau
tuturan asli masyarakat yang digambarkan, tapi unsur-unsur yang terkandung
dalam karya itu sudah cukup mewakili tempat atau situasi yang dituju. Situasi
tersebut tentunya apa yang ingin disampaikan pengarang, baik itu ajaran, pesan,
kritik, dan sebagainya.
Menurut Mulder (1984: 161), semua hasil karya pantas dibaca apabila
yang bergeser. Cerita legenda Danau Teluk Gelam dapat dijadikan tolok ukur
kehidupan masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir yang dahulu menjaga nilai
dan moral kehidupan. Tolok ukur ini dapat dilihat dalam legenda tersebut yaitu
anggapan perbuatan zina (hubungan intim sebelum menikah) adalah dosa dan
mendapat hukuman yang berat. Nilai ini mulai bergeser seiring perkembangan
zaman, terbukti bahwa sebagian orang menganggap perbuatan zina itu sebagai hal
yang biasa.
Pengarang membangkitkan kesadaran, tidak dengan melukiskan atau
melancarkan protes terhadap struktur masyarakat yang nampak, melainkan dengan
memaparkan suatu pandangan mendalam dalam struktur terpendam yang
mempengaruhi persepsi dan motivasi seseorang. Pengarang menghasilkan
gambaran-gambaran tajam mengenai kehidupan sosial yang berlangsung pada
kurun waktu yang menjadi kancah perhatian, sambil mengungkapkan
struktur-struktur mental yang menjiwai bentuk-bentuk masyarakat (Mulder, 1984:
162-163).
Masyarakat tidak dapat dilepaskan dari adat-istiadat atau tradisi yang
menaunginya. Tradisi inilah yang menjadikan masyarakat kreatif untuk
menciptakan suatu kekhasan bagi daerahnya, berupa kesenian, mitos, dan tata cara
adat. Kesenian lebih menonjol di masyarakat, karena dengan kesenian masyarakat
lebih mudah membaur di antara sesamanya hingga tercipta suatu kesamaan rasa
memiliki. Misalnya dengan suatu permainan seperti pantun bersambut yang
diadakan muda-mudi menjadi salah satu hiburan yang menyajikan ide-ide kreatif
festival kesenian yang sering diadakan di daerah Kayuagung pada hari kedua
perayaan Idul Fitri memperlihatkan penghargaan yang besar atas adat Ogan. Pada
perayaan ini semua masyarakat diharuskan mengenakan pakaian adat dan
perhiasaan yang dimilikinya serta memamerkan aneka permainan dan makanan
adat.
Saat ini salah satu cara melestarikan adat-istiadat yang ada adalah dengan
banyaknya dilakukan pendokumentasian terhadap upacara adat, kesenian, dan
permainan. Legenda Danau Teluk Gelam sebagai karya sastra merupakan bentuk
pendokumentasian adat-istiadat di daerah Ogan Komering Ilir. Perkembangan
kesenian pada umumnya mengikuti proses perubahan yang terjadi dalam
kebudayaan sesuatu masyarakat. Sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan
maka kesenian akan mengalami hidup statik yang diliputi oleh sikap
tradisionallistik apabila kebudayaannya juga statik dan tradisionalistik
(Seomardjan, 1984: 6). Dengan kata lain, suatu kesenian tertentu dapat berubah
seiring perubahan yang terjadi dalam masyarakat pendukungnya.
Legenda digolongkan sebagai karya sastra lama, namun keberadaannya
tetap menjadi kebutuhan masyarakat hingga saaat ini. Pada dasarnya orang lebih
mudah menerima apa yang disampaikan secara lisan daripada harus membaca
atau mencari tahu melaui artefak. Legenda atau sastra lisan meskipun memiliki
pola yang sama antara satu dengan yang lain, namun kekhasan tertentu mampu
membedakan. Kekhasan menjadi tonggak untuk menghapuskan bahwa legenda
Sebuah kebudayaan antara satu daerah dengan daerah lain mungkin
hampir sama, tetapi tidak akan pernah sama. Masyarakat Kabupaten Ogan
Komering Ilir memiliki banyak kemiripan dalam hal kebudayaan dengan daerah
lain yang juga memiliki persamaan georgrafis. Dalam hal kehidupan sungai,
masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir mempunyai kesamaan dengan
kehidupan masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Ogan Ilir, Mesuji,
dan daerah lain di sekitarnya.
Fungsi utama karya sastra adalah untuk melukiskan, mencerminkan
kehidupan manusia, sedangkan kehidupan manusia itu sendiri selalu mengalami
perkembangan (Ratna, 2011: 75). Karya sastra tidak dapat mengikuti
perkembangan manusianya, karya itu tetaplah pada posisi semula sebagai
gambaran. Kehidupan manusia yang tergambar dalam karya itu meskipun sudah
jauh berbeda dengan penggambarannya, tapi dengan karya sastra bisa ditarik
kesimpulan bagaimana awal kehidupan manusia dalam karya itu sehingga
menjadi seperti yang sekarang.
Penulisan legenda dalam bahasa asli masyarakat tidak selalu berjalan
mulus, banyak kendala yang mungkin terjadi, salah satunya adalah bahasa
nasional sebagai pengantar dalam pendidikan. Oleh karena itu, legenda ditulis
dalam Bahasa Indonesia agar dapat dipakai dalam pendidikan dan diketahui oleh
masyarakat luas. Meskipun bahasa adalah alat komunikasi sekaligus menjadi
penentu berkembangnya cerita, namun legenda sebagai karya sastra pada
gilirannya memiliki kemampuan untuk melukiskan pemakaian bahasa secara
Bahasa menjadi penentu sebuah karya sastra sekaligus tidak memiliki peran
terhadap karya itu sendiri dalam segi isi.
Sebagai bagian dari kebudayaan perkembangan karya sastra sangat
berpengaruh. Terbukti dengan semakin banyaknya karya yang dihasilkan
masyarakat pendukung kebudayaan, semakin banyak pula kabudayaan yang
diungkap sehingga potensi yang dimiliki suatu kolektif dikenal luas. Karya yang
dihasilkan tidak hanya dijadikan monumen, akan tetapi perkembangan karya
sastra telah memicu kreatifitas setiap individu dalam masyarakat tersebut untuk
lebih kreatif guna menunjukkan keahliannya sebagai bagian masyarakat dan
kebudayaannya.
Kaplan (2002: 107-108) manyatakan bahwa pengamatan mengenai cara
suatu budaya mengkategorisasi dan mengonseptualisasikan lingkungannya akan
membuat kita mangetahui sesuatu tentang klasifikasi taksonomi budaya tersebut
mengenai alam. Bahkan dari sana dapat kita ketahui pula sesuatu mengenai tujuan
yang hendak dicapai oleh warga budaya yang bersangkutan dalam kaitannya
dengan lingkungan mereka. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan
operasional yaitu lingkungan budaya karena: pertama, lingkungan ini semakin
merupakan produk campur-tangan dan pembenahan kultural; kedua, karena suatu
faset penting dalam adaptasi segala masyarakat manusia ialah adaptasinya
terhadap sistem-sistem budaya lain yang dengan suatu cara mempengaruhi