• Tidak ada hasil yang ditemukan

EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EMISI CO 2 DAN CH 4 PADA LAHAN GAMBUT YANG MEMILIKI KERAGAMAN DALAM KETEBALAN GAMBUT DAN UMUR TANAMAN. Rasional"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

DAN UMUR TANAMAN Rasional

Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut mempunyai potensi nyata dalam emisi gas CO2 dan CH4. Konversi hutan gambut ini mengakibatkan perubahan terhadap karakteristik inhern gambut. Tindakan pengelolaan kebun kelapa sawit seperti drainase, pembuatan jalan, pemupukan dan pengapuran yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan dan produksi kelapa sawit akan berpengaruh terhadap karakteristik lahan gambut seperti perubahan pada bobot isi, morfologi profil gambut, kandungan kelembaban tanah, dan kedalaman muka air. Selain itu budidaya monokultur ini akan menurunkan keanekaragaman hayati dan perubahan unsur mikro yang sangat terkait dengan emisi CO2dan CH4.

Besarnya emisi CO2 di suatu wilayah dapat diukur dengan menggunakan beberapa metode pengukuran, diantaranya metode titrasi dan menggunakan alat kromatografi gas. Pengukuran menggunakan metode tertentu pasti disertai dengan serangkaian peralatan pendukung yang berbeda dengan menggunakan metode lainnya. Dengan demikian metode pengukuran sampel gas CO2 sangat menentukan jumlah konsentrasi CO2yang terukur, sehingga mempunyai pengaruh terhadap besarnya hasil pengukuran emisi CO2.

Dalam pengukuran emisi CO2 terjadi variasi temporal yang tinggi terkait dengan faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban udara, curah hujan dan distribusi curah hujan pada suatu daerah. Secara garis besarnya, musim di Indonesia dibedakan menjadi musim kemarau dan musim penghujan. Karena kondisi pada musim kemarau jelas berbeda daripada musim penghujan, maka emisi CO2sangat dipengaruhi oleh kedua musim tersebut.

Besarnya emisi CO2 dan CH4sangat dipengaruhi oleh karakteristik lahan gambut seperti kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase berpengaruh terhadap fluks CO2 dan CH4 (Nyman dan DeLaune, 1991; Moore dan Dalva, 1993; Klemedtsson et al,. 1997). Kedalaman muka air tanah

(2)

akibat drainase ini menentukan suasana oksidasi dan reduksi yang sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO2. Gambut juga dapat menghasilkan CO2 dalam kondisi anaerob jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron (Morril et al., 1982), namun pada kondisi anaerob, bakteri metanogen akan memproduksi CH4(Rinnan et al., 2003).

Ketebalan gambut sangat berkaitan dengan besarnya cadangan C gambut dan tingkat kesuburan gambut. Menurut Sylvia et al. (1998), ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas. Ketebalan gambut merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam pengelolaan gambut untuk tanaman kelapa sawit, karena semakin tebal gambut akan semakin besar juga kendala biofisik yang ditemui dalam pengelolaan gambut. Makin tebal gambut cenderung semakin rendah produktivitas lahannya.

Daerah perakaran (rhizosfer) khususnya pada tempat terkonsentrasinya rambut-rambut akar merupakan bagian penting yang memberikan pengaruh dalam emisi CO2dan CH4di lahan gambut. Komunitas mikrob dan proses dekomposisi di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada tanah yang tidak dipengaruhi oleh keberadaan akar tanaman (bulk soil). Hal ini disebabkan oleh (1) meningkatnya ketersediaan substrat seperti akar-akar yang mati di rhizosfer, sehingga kualitas komunitas dekomposer meningkat, (2) meningkatnya ketersediaan eksudat akar dan derivatnya akan meningkatkan dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C-organik terlarut (Ekberg et al., 2007). Proses dekomposisi yang lebih cepat ini menyebabkan emisi CO2 di daerah rhizosfer lebih tinggi, karena gas CO2 merupakan produk akhir dari proses dekomposisi.

Jumlah dan luas daerah perakaran sangat bergantung pada umur tanaman kelapa sawit, tanaman yang baru tumbuh memiliki luas daerah perakaran tanaman yang lebih sempit dibandingkan dengan tanaman yang sudah dewasa. Emisi CO2 akan meningkat dengan meningkatnya biomas akar dan umur tanaman. Pola hubungan peningkatan biomass tanaman kelapa sawit dengan umur tanaman mengikuti kurva sigmoid, sehingga biomass akan meningkat sejalan dengan

(3)

bertambahnya umur tanaman hingga pada suatu saat bersifat konstan. Tanaman dapat berperan sebagai media transportasi CO2 dari dalam tanah ke atmosfer, terutama pada tanaman yang mempunyai jaringan aerenchima. Akar tanaman yang memiliki aerenkim akan menembus horizon yang lebih dalam, sehingga akan menyumbang eksudat akar dan memberikan substrat dalam proses produksi gas CO2. Produksi gas-gas pada daerah perakaran ini dilepaskan ke atmosfer melalui beberapa cara yaitu difusi, ebulisi, dan transport tanaman.

Perubahan ekosistem jenis tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan pengendalian dan interaksi antara fluks CO2 dengan mekanisme dua arah antara dalam tanah dan atmosfer (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom et al., 2005), tidak terkecuali pada konversi hutan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan analisis data hasil pengukuran emisi CO2dan CH4yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit, semak belukar dan hutan di lahan gambut dengan tujuan untuk:

(1) mengevaluasi metode titrasi dan metode menggunakan alat kromatografi gas dalam menganalisis sampel gas CO2.

(2) mengevaluasi hasil pengukuran emisi CO2 pada musim hujan dan musim kemarau.

(3) Mempelajari pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit. (4) Mempelajari pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO2.

(5) Mengevaluasi emisi CO2 pada kebun kelapa sawit dengan umur tanaman yang berbeda.

(6) Mengevaluasi emisi CO2 pada 3 tipe penggunaan lahan..

Bahan dan Metode

Tahapan kegiatan analisis fluks CO2 di lapang diawali dengan penentuan lokasi kebun kelapa sawit, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan transek dan penentuan titik pengamatan. Transek dibuat berdasarkan pada jarak tanaman dengan saluran drainase utama. Titik pengamatan pertama pada pohon kedua yang jaraknya terdekat dari saluran drainase, kemudian titik kedua pada pohon

(4)

kelima dari saluran drainase, demikian untuk titik pengamatan selanjutnya pada setiap tiga pohon berikutnya yang semakin menjauhi saluran drainase utama. Pada setiap titik pengamatan dipasang dua buah sungkup untuk pengambilan sampel gas rhizosfer dan non rhizosfer. Transek yang dibuat pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pada lahan gambut Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu terdapat dua transek yaitu: a) transek ke-1; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun dan b) transek ke-2; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun.

2. Pada lahan gambut Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan terdapat lima transek yaitu: a) transek ke-3; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 10 tahun b) transek ke-4; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun c) transek ke-5; lima pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun d) transek ke-6; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun dan e) transek ke-7; tiga pasang titik pengamatan (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) mewakili tanaman kelapa sawit umur 5 tahun.

3. Pada lahan gambut Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek terdapat dua transek yaitu a) transek ke-8; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) pertama yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun baru ditanam dan b) transek ke-9; tiga titik pengamatan (Non Rhizosfer) kedua yang mewakili tanaman kelapa sawit umur 1 tahun. Pada pengamatan bulan Mei-Juni 2008 pada lokasi ini terdapat tiga transek. Masing-masing transek terdiri dari empat pasang (Rhizosfer dan Non Rhizosfer) titik pengamatan, namun pada pengamatan bulan Oktober-November sungkup tersebut hilang.

4. Pada lahan gambut Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI terdapat dua transek yaitu a) transek ke-10; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada

(5)

lahan gambut yang didominasi semak belukar, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan b) transek ke-11; tiga titik pengamatan non rhizosfer pada hutan sekunder gambut, masing-masing titik pengamatan adalah jarak 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama.

Setelah pembuatan transek, dilakukan pemasangan sungkup permanen rhizosfer dan non rhizosfer pada masing-masing titik pengamatan. Sungkup rhizosfer berupa paralon silinder berdiameter 30 cm dan tinggi 30 cm. Pada paralon tersebut dibuat lubang dengan diameter 5 cm pada titik 20 cm dari atas permukaan paralon. Lubang ini dimaksudkan untuk memasukkan tiga buah akar sedemikian rupa sehingga akar tetap dapat tumbuh dan berkembang dalam sungkup (Gambar 25b). Sungkup ini dipasang pada jarak 2,5 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 10 tahun (Gambar 23a), 1 m dari pokok batang tanaman kelapa sawit umur 5 tahun, dan < 1 m untuk kelapa sawit umur 1 tahun (Gambar 25a), hal ini disesuaikan dengan keberadaan bulu-bulu akar. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas non rhizosfer dilakukan dengan memasang paralon silinder dengan ukuran yang sama tetapi tanpa dibuat lubang. Paralon ini dipasang pada 1 m dari paralon rhizosfer dengan perlakuan yang sama (Gambar 26a).

Saat pengambilan sampel gas, pada sungkup permanen dipasang tutup sungkup yang telah dilengkapi sebuah septum untuk tempat jarum syringe, sebuah kipas angin kecil yang digerakkan dengan baterei 9 volt untuk mengaduk udara dalam sungkup dan sebuah termometer untuk mengukur suhu dalam sungkup. Untuk metode analisis dengan menggunakan alat kromatografi gas, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 5 dan 10 ml, dengan frekuensi pengambilan sampel gas 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib. Sampel gas dianalisis dengan menggunakan alat kromatografi gas tipe CP-400 yang dilengkapi dengan program Galaxie CDS. Alat ini selain mengukur konsentrasi gas CO2 juga mampu mendeteksi CH4sekaligus.

Dari data perubahan konsentrasi CO2 dan atau CH4 antar waktu pengambilan sampel gas akan diperoleh gradien perubahan konsentrasi per satuan waktu (dc/dt). Dengan diketahuinya gradien ini dan dengan diukurnya data suhu,

(6)

dan ketinggian efektif sungkup akan dapat dihitung nilai fluks CO2 dan CH4. Perhitungan fluks gas CO2 dan CH4 didasarkan pada metode Hue et al. (2000), dengan rumus:

F = m/A/t

F = ρ x H x dc/dt (mg CO2-C m-2jam-1 atau mg CH4- C m-2 jam-1) F = (44/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CO2-C m-2jam-1) F = (16/22,4) x H x dc/dt x {273/ (273+t)} (mg CH4- C m-2 jam-1) Dengan lambang notasi:

F = fluks CO2atau CH4(mg CH4-C m-2jam-1 atau mg CH4-C m-2jam-1)

ρ = kerapatan CO2-C atau CH4-C pada suhu absolut (g dm-3), H = tinggi efektif sungkup (m)

dc/dt = perubahan konsentrasi CO2atau CH4-C antar waktu (ppm jam-1) t = rata-rata suhu dalam sungkup (oC)

Sedangkan untuk analisis gas dengan metode titrasi, sampel gas diambil dengan menggunakan syringe berukuran 50 ml dari sungkup yang dipasang di atas paralon silinder permanen yang telah dipasang di lahan gambut. Pengambilan gas dilakukan pada pukul 07.00-10.00 wib dengan frekuensi pengambilan 0, 5, 10, 15, 25 dan 35 menit setelah tutup sungkup dipasang. Sampel gas dalamsyringe dimasukkan ke dalam botol vial berukuran 35 ml yang telah diisi dengan KOH 0,2N sebanyak 5 ml. Untuk mengetahui konsentrasi gas CO2 dilakukan titrasi pada larutan KOH 0,2N yang telah menyerap sampel gas CO2dengan larutan HCl 0,1N dengan menggunakan indikator penolptalin (pp) dan metil oranye (mo), dengan berpedoman pada perubahan warna sebagai berikut:

1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp) K2CO3 + HCl KCl + KHCO3

2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo) KHCO3 + HCl KCl + H2O + CO2

Perhitungan jumlah CO2 dengan metode titrasi diperoleh dengan menggunakan persamaan:

Dengan lambang notasi: a = ml HCl sampel gas b = ml HCl blanko

t = normalitas HCl (tentukan normalitas yang tepat dari larutan HCl) r = (a-b) x t

(7)

Evaluasi metode analisis dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2dari kedua metode tersebut, sedangkan evaluasi pengaruh musim dilakukan dengan membandingkan hasil pengukuran emisi CO2 dengan menggunakan alat kromatografi gas yang dilakukan pada bulan Mei-Juni 2008 mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November mewakili musim hujan.

Disamping pengukuran konsentrasi gas CO2 dan CH4 pada sungkup rhizosfer dan non rhizosfer, dilakukan juga pengukuran kedalaman muka air tanah dan ketebalan gambut. Untuk mengetahui kedalaman muka air tanah dilakukan kegiatan sebagai berikut: (1) membuat lubang dengan bor tanah pada titik tengah antara sungkup rhizosfer dan non rhizosfer setiap titik pengamatan, (2) lubang dibiarkan selama 2 jam supaya posisi air tanah stabil, (3) memasukkan kayu ke dalam lubang hingga menyentuh air tanah dan mengukur kedalaman muka air tanah dari permukaan gambut dengan alat meteran, dinyatakan dengan satuan centimeter (cm). Untuk mengetahui ketebalan gambut diukur dengan melakukan pengeboran gambut dari permukaan hingga ditemukan lapisan tanah mineral yang dinyatakan dengan satuan centimeter (cm).

Data emisi CO2 dan CH4 pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer, pengukuran kedalaman muka air tanah dan pengukuran ketebalan gambut yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Statistical Analysis System (SAS) versi 9,1 untuk mengetahui: (1) regresi dan korelasi antara kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2 dan CH4, (2) regresi dan korelasi antara ketebalan gambut terhadap emisi CO2. Semua pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%.

Untuk mempelajari pengaruh pengelolaan kebun kelapa sawit sesuai dengan umur tanaman terhadap fluks CO2 dilakukan analisis korelasi dan regresi pada data emisi CO2 non rhizosfer berdasarkan umur tanaman dengan menggunakan SAS versi 9,1. Pengujian dilakukan pada taraf nyata 5%. Sedangkan data fluks CO2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak, hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang) dievaluasi untuk mengetahui pengaruh tipe penggunaan lahan terhadap fluks CO2.

(8)

Hasil dan Pembahasan

Penelitian dilaksanakan di empat lokasi gambut yang terdapat di Meulaboh, Aceh Barat, yaitu (1) kebun kelapa sawit di Desa Suak puntong, Kecamatan Meurebu (2) kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, (3) kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek, dan (4) hutan dan semak belukar di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI (Gambar 18). Deskripsi masing-masing lokasi adalah sebagai berikut:

1. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu.

Kebun kelapa sawit di Desa Suak Puntong, Kecamatan Meurebu merupakan perkebunan milik perorangan dengan luas kebun sekitar 15 ha. Tanaman kelapa sawit ditanam dengan jarak 9 m x 9 m dan telah berumur 10 tahun (Gambar 19a). Kebun ini tidak terpelihara secara intensif, terbukti dengan tingginya semak belukar diantara pohon kelapa sawit mencapai 1 - 1,5 m (Gambar 20b), tidak dilakukannya pemangkasan dahan yang kering dan pemupukan tidak diberikan secara rutin.

(a) (b)

Gambar 19. (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong

Pada blok kebun yang berukuran panjang 1150 m dan lebar 300 m dibuat 2 buah transek, jarak antar transek 1 dan 2 sekitar 150 m ke arah hutan.

(9)

Peat

domes on

Tsunami

affected

coastal

zone

Peat

domes on

Tsunami

affected

coastal

zone

3

Lokasi

Penelitian:

1. Suak Puntong

2. Suak Raya

3. Cot Gajah Mati

4. Simpang

4

1

2

(10)

Pembuatan transek ini berdasarkan perkiraan perbedaan ketebalan gambut. Setiap transek terdiri dari lima pasang titik pengamatan berupa sungkup permanen untuk pengambilan sampel gas CO2dan CH4pada daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer (Gambar 20a). Pada saat pembuatan transek masih dilakukan perbaikan saluran drainase. Kedalaman saluran drainase utama dibuat 2 m dan lebar 1,5 m (Gambar 19b).

(a) (b)

Gambar 20. (a) Pengambilan sampel gas di titik pengamatan terdekat dengan drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong

(b) Kondisi semak di antara pohon kelapa sawit pada titik pengamatan terjauh dari drainase

2. Kebun Kelapa Sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan.

Kebun kelapa sawit di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan merupakan kebun milik perorangan, luas kebun sekitar 12 Ha. Umur tanaman kelapa sawit pada kebun ini terdiri dari umur 5 tahun dan 10 tahun (Gambar 21a dan Gambar 22a). Setelah tsunami, kebun sudah dikelola dengan baik seperti telah dilakukan pemangkasan tanaman di sela-sela pohon kelapa sawit, pengapuran dan pemupukan. Pengapuran dilakukan dengan menambahkan fosfat alam setahun sekali, sedangkan pemupukan nitrogen dilakukan dua kali setahun, pemupukan P dan K hanya satu kali setahun dengan dosis yang tidak konstan setiap aplikasi. Drainase utama lebih sempit dan dangkal yaitu berukuran lebar 0,5 m dan dalam 1 m (Gambar 21b dan 22b). Transek yang dibuat pada kebun ini berjumlah lima. Dasar penentuan titik pengamatan yang dipasang sungkup

(11)

paralon adalah umur tanaman dan dugaan ketebalan gambut yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Tidak semua transek terdiri dari lima titik pengamatan karena panjang lahan yang tegak lurus dengan saluran drainase utama tidak sama. Pada transek 6 dan 7 hanya terdapat tiga pasang sungkup, karena luas lahan sempit.

(a) (b)

Gambar 21. (a) Kondisi tanaman kelapa sawit kebun desa Suak Raya. (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Raya

(a) (b)

Gambar 22. (a) Sungkup saat pengambilan sampel gas.

(b) Kondisi saluran drainase di kebun kelapa sawit Suak Raya 3. Kebun Kelapa Sawit di Desa Cot Gajah Mati, Kecamatan Arongan Lambalek.

Kebun kelapa sawit di Desa Cot Gajah Mati merupakan hutan gambut yang baru dibuka pada tahun 2007 untuk perkebunan kelapa sawit (Gambar 23b).

(12)

Pembukaan hutan yang berukuran 2225 m x 3000 m dilakukan oleh CV Rima kemudian ditanam kelapa sawit yang dibagikan kepada warga masyarakat korban tsunami di Meulaboh. Jumlah transek ada 3 buah, masing-masing transek terdapat 4 pasang sungkup paralon untuk pengambilan sampel gas. Namun pada saat pengambilan sampel gas kedua pada bulan Oktober 2008, sungkup paralon yang di tanam di kebun kelapa sawit hilang, sehingga tidak dapat dilakukan pengambilan sampel untuk daerah rhizosfer. Kemudian dipasang paralon lagi untuk pengambilan sampel gas yang mewakili daerah non rhizosfer sebanyak 2 transek di kebun kelapa sawit dan satu transek di hutan sekunder yang terdapat tidak jauh dari kebun kelapa sawit tersebut.

(a) (b)

Gambar 23. (a) Kondisi drainase kebun kelapa sawit desa Cot Gajah Mati (b) Kondisi kebun kelapa sawit di desa Cot Gajah Mati

(a) (b) Gambar 24. (a) Pemasangan Sungkup rhizosfer

(13)

(a) (b)

Gambar 25. (a) Pemasangan Sungkup non rhizosfer berjarak 1 m dari sungkup rhizosfer.

(b) Sungkup rhizosfer dan non rhizosfer saat pengambilan sampel gas.

4. Semak Belukar dan Hutan Gambut di Desa Simpang, Kecamatan Kaway XVI. Pengambilan sampel gas di desa Simpang dilakukan di hutan sekunder (Gambar 26) pada titik 100 m, 200 m, dan 250 m dari saluran drainase utama dan semak belukar (Gambar 27) pada titik 10 m, 100 m, dan 250 m dari saluran drainase utama. Jarak titik pengamatan tidak sama karena pada jarak 10 m dari saluran drainase utama banyak pohon terbakar. Disamping pengambilan sampel gas, pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan juga pengambilan sampel tanah yang digunakan untuk analisis laboratorium (Gambar 28).

(a) (b)

Gambar 26. (a) Kondisi drainase di hutan desa Simpang (b) Kondisi hutan gambut di desa Simpang

(14)

(a) (b)

Gambar 27. (a) Kondisi semak di lahan gambut desa Simpang (b) Pengambilan sampel gas di titik 250 m dari drainase pada vegetasi semak.

(a) (b)

Gambar 28. (a) Pengambilan sampel tanah dengan bor gambut (b) Salah satu profil sampel tanah

1. Evaluasi Metode Analisis Sampel Gas CO2.

Metode titrasi dapat digunakan untuk mengetahui besarnya konsentrasi CO2 yang dikeluarkan dari bahan gambut, namun jika dibandingkan dengan pengukuran dengan alat gas kromatografi menunjukkan hasil yang sangat berbeda. Fluks CO2 tidak dapat dihitung dengan menggunakan metode titrasi, karena konsentrasi CO2 dari setiap selang waktu pengambilan sampel menunjukkan nilai yang relatif sama, tidak terdapat kecenderungan meningkat walaupun waktu pengamatan mencapai 35 menit (Lampiran 32 dan 33).

(15)

Nilai konsentrasi CO2 yang diperoleh dengan metode titrasi masih terlalu kasar dan tidak dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan seperti kedalaman muka air tanah, musim, ketebalan gambut yang sangat mempengaruhi besarnya konsentrasi gas CO2 dari lahan gambut yang dikeluarkan ke atmosfer.

2. Evaluasi Emisi CO2pada Musim Kemarau dan Hujan

Menurut Hirano et al. (2007), hasil pengukuran emisi CO2 dari gambut tropik sangat tinggi variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai di konversi (tingkat humifikasi), variasi tempat (perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara), status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim), sehingga musim berpengaruh terhadap hasil pengukuran emisi gas CO2di suatu tempat.

Untuk mengetahui kecenderungan pengaruh musim terhadap emisi CO2 dilakukan evaluasi data hasil pengukuran pada bulan Mei-Juni 2008 yang mewakili musim kemarau dan bulan Oktober-November 2008 yang mewakili musim hujan. Hasil perhitungan emisi CO2pada lahan gambut tersebut disajikan pada Tabel 9 dan 10.

Jika dibandingkan hasil pengukuran kedua musim tersebut, ternyata emisi CO2 hasil pengukuran pada bulan Mei - Juni 2008 (musim kemarau) tidak sama dengan emisi CO2 hasil pengukuran pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan). Emisi CO2 pada musim hujan lebih tinggi daripada emisi CO2 musim kemarau baik pada kebun kelapa sawit Desa Suak Raya maupun Desa Cot Gajah Mati. Hasil penelitian serupa dilaporkan oleh Liu et al.(2008), bahwa perubahan emisi CO2 mengikuti pola perubahan musim, rata-rata fluks CO2 pada musim hujan (194,4 mg CO2m-2 h-1) lebih tinggi daripada musim kering (112,81 mg CO2 m-2 h-1). Namun emisi CO2 di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong pada musim kemarau lebih tinggi daripada musim hujan. Hal ini terjadi karena di kebun tersebut pada musim kemarau sedang dilakukan pelebaran dan pendalaman saluran drainase utama, sehingga tercipta kondisi aerobik (ketersediaan O2 meningkat), akibatnya respirasi mikrob bertambah karena populasi dan aktivitas mikrob aerobik meningkat. Disamping itu, keberadaan O2akan memacu proses

(16)

Tabel 9. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Mei-Juni 2008 (musim kemarau).

Tipe Penggunaan Lahan/ Emisi CO2(t ha-1 th-1) pada titik

pengamatan ke Lokasi Umur tanaman/ Transek 1 2 3

Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (NR) 28,1180 28,4265 1,2651 Suak Puntong Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (R) 64,9027 31,9461 12,5352 Suak Puntong Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (NR) 41,7925 8,2373 44,0476 Suak Puntong Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (R) 58,3791 65,9584 12,8747 Suak Puntong Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (NR) 22,9611 13,0799 30,0662 Suak Raya Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (R) 25,2209 23,5620 36,7686 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (NR) 21,9223 6,7594 8,9695 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (R) 21,9859 10,9477 9,3080 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (NR) 16,0119 16,0556 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (R) 39,9862 30,8581 16,7815 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (NR) 5,9603 3,8659 9,8633 Suak Raya Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (R) 17,0568 6,6059 24,6667 Suak Raya Kelapa Sawit / 1 th/ 7 (NR) 25,8798 23,1412 31,4947 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 7 (R) 32,8758 36,0158 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (NR) 12,9014 14,1492 23,3773 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (R) 56,4520 61,0822 48,2409 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (NR) 42,9689 20,3222 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (R) 5,2911 53,5136 33,6998 Cot Gajah Mati

Tabel 10. Emisi CO2 di tiga kebun kelapa sawit pada bulan Oktober - November 2008 (musim hujan).

Tipe Penggunaan Lahan/

Emisi CO2(t ha-1 th-1) pada titik pengamatan ke Lokasi

Umur tanaman/ Transek 1 2 3 4 5

Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (NR) 16,7795 24,7497 23,6947 13,6297 9,8983 Suak Puntong

Kelapa Sawit / 10 th/ 1 (R) 24,6405 28,7673 25,7814 18,8753 16,893 Suak Puntong

Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (NR) 12,7269 16,2042 5,7633 4,8714 4,8695 Suak Puntong

Kelapa Sawit / 10 th/ 2 (R) 15,4158 16,3532 6,4692 28,3759 30,346 Suak Puntong

Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (NR) 70,0847 20,0737 13,6905 0,1450 16,523 Suak Raya

Kelapa Sawit / 10 th/ 3 (R) 87,1325 37,0706 42,6842 27,8723 38,073 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (NR) 15,8871 18,2393 28,9473 13,5333 23,647 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 4 (R) 17,8153 27,1922 38,8148 21,9176 30,342 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (NR) 32,4569 13,0954 55,8499 16,8393 24,535 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 5 (R) 42,7116 15,9136 78,1906 17,9727 36,166 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (NR) 16,7801 16,2536 29,8807 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 6 (R) 19,0932 17,6524 31,0071 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 7 (NR) 17,4539 1,5868 11,0816 Suak Raya

Kelapa Sawit / 5 th/ 7 (R) 17,6758 24,4385 64,6678 Suak Raya Kelapa Sawit / 1 th/ 8 (NR) 67,5187 52,1452 32,4026 Cot Gajah Mati Kelapa Sawit / 1 th/ 9 (NR) 33,5007 100,5915 8,4641 Cot Gajah Mati

Semak 10 (NR) 36,3618 33,8336 102,507 Simpang

(17)

oksidasi bahan organik/mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga produksi dan emisi CO2 lebih tinggi.

Tingginya emisi CO2 pada musim hujan dibandingkan dengan musim kemarau sangat terkait dengan pengaruh kadar air terhadap proses dekomposisi bahan organik pada lahan gambut. Beberapa penelitian melaporkan bahwa dekomposisi sangat dipengaruhi oleh kedalaman muka air (Hilbert et al., 2000) dan fluktuasi muka air (Belyea and Clymo, 2001), sehingga kandungan air mempengaruhi emisi CO2 dari tanah (Smith et al., 2003; Liu et al., 2008). Kandungan air pada musim kemarau diprediksi lebih sedikit daripada musim hujan, sehingga menyebabkan laju proses dekomposisi bahan organik pada musim kemarau lebih lambat daripada musim hujan, sehingga produksi gas CO2 lebih sedikit. Menurut Jia et al. (2006), rendahnya konsentrasi air dalam tanah akan menurunkan aktivitas mikrob karena tekanan osmotik. Emisi CO2dari tanah yang diinkubasi dengan kapasitas memegang air 50% lebih besar daripada tanah dengan kapasitas memegang air 20% dan 40%. Dengan demikian dalam kondisi kadar air sedikit akan memperlambat laju proses dekomposisi atau bahkan tidak memungkinkan untuk terjadinya proses dekomposisi jika gambut sudah berubah menjadi pseudosand.

Ketersediaan air pada musim hujan lebih terjamin, sehingga laju proses dekomposisi yang menghasilkan gas CO2cenderung meningkat. Hasil penelitian Jia et al.(2006) menunjukkan bahwa kandungan air tanah yang terlalu tinggi akan menghambat difusi CO2dan aktivitas mikrob, seperti halnya hasil penelitian Silva et al.(2008) yang menunjukkan bahwa emisi CO21.2 kali lebih besar pada tanah yang diinkubasi dengan kapasitas memegang air 40%, 60% dan 80% dibandingkan dengan tanah dengan kapasitas memegang air 100%. Menurut Kirk (2004), reaksi termodinamika yang terjadi pada kondisi reduksi adalah:

O2+ CH2O CO2 + H2O 4NO3-+ 5 CH2O + 4H+ 2N2+ 5CO2 + 7H2O 2MnO2+ 2 CH2O + 4H+ 2Mn2++ CO2 + 3H2O 4Fe(OH)3+ CH2O + 8H+ 4 Fe2++ CO2 + 11H2O SO42-+ 2CH2O + 4H+ H2S + 2CO2 + 2H2O 2CH2O CH4+ CO2

(18)

3. Pengaruh Kedalaman Muka Air Tanah terhadap Emisi CO2dan CH4 di Daerah Rhizosfer dan Non Rhizosfer Tanaman Kelapa Sawit.

Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh kedalaman muka air tanah akibat pembuatan drainase pada areal kebun kelapa sawit di lahan gambut sangat menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah mempunyai pengaruh yang beragam terhadap emisi CO2. Hal ini berkaitan erat dengan beragamnya karakteristik inhern tanah gambut dari masing-masing titik pengamatan seperti ketebalan gambut dan pengelolaan kebun yang sangat berbeda. Hasil pengukuran emisi CO2 masing-masing transek pada lokasi penelitian yang dilakukan pada bulan Oktober-November 2008 disajikan pada Tabel 11.

Apabila seluruh titik pengamatan dianalisis dengan program SAS versi 9,1 tanpa dikelompokan berdasarkan transek diperoleh diagram pencar seperti Gambar 29 dan Gambar 30. Dari diagram pencar antara emisi CO2(baik rhizosfer maupun non rhizosfer) dengan kedalaman muka air tanah tidak membentuk pola garis lurus, sehingga dikatakan hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air tanah tidak linier. Rata-rata emisi CO2 sebesar 30,53 ± 17,94 t ha-1th-1 untuk rhizosfer dan 19,02 ± 14,22 t ha-1th-1untuk non rhizosfer.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 20 40 60 80 100

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Gambar 29. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2di rhizosfer

(19)

Tabel 11. Emisi CO2di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Tipe penggunaan Lokasi Titik Kedalaman Emisi CO2(t ha-1th-1)

lahan/umur / transek pengamatan ke muka air tanah (cm) rhizosferNon Rhizosfer

Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 1 81 16,7795 24,6405 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 2 62 24,7497 28,7673 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 3 60 23,6947 25,7814 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 4 56 13,6297 18,8753 Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 5 51 9,8983 16,8935 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 1 86 12,7269 15,4158 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 2 84 16,2042 16,3532 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 3 74 5,7633 6,4692 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 4 67 4,8714 28,3759 Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 5 64 4,8695 30,3461 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 1 52 70,0847 87,1325 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 2 52 20,0737 37,0706 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 3 49 13,6905 42,6842 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 4 46 0,1450 27,8723 Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 5 43 16,5227 38,0734 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 1 55 15,8871 17,8153 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 2 57 18,2393 27,1922 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 3 53 28,9473 38,8148 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 4 52 13,5333 21,9176 Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 5 51 23,6470 30,3422 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 1 61 32,4569 42,7116 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 2 60 13,0954 15,9136 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 3 58 55,8499 78,1906 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 4 56 16,8393 17,9727 Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 5 54 24,5346 36,1663 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya 1 52 16,7801 19,0932 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya 2 48 16,2536 17,6524 Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya 3 40 29,8807 31,0071 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya 1 46 17,4539 17,6758 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya 2 43 1,5868 24,4385 Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya 3 39 11,0816 64,6678

(20)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 20 40 60 80 100

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 (t h a -1 th -1 )

Gambar 30. Diagram pencar hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2di non rhizosfer

Tidak liniernya hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air tanah ini didukung oleh nilai korelasi yang lebih mendekati ke nol yaitu r = -0,305 dengan nilai P= 0,09 untuk rhizosfer dan r = -0,073 dengan nilai P=0,68 untuk non rhizosfer. Dengan demikian pola hubungan antara emisi CO2 rhizosfer dan kedalaman muka air tanah tidak membentuk persamaan linier Y= 56,59-0,46x (dimana Y= emisi CO2rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah) karena nilai P = 0,09 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan R2 hanya 9% yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO2rhizosfer (Y). Pola hubungan antara emisi CO2 non rhizosfer dan kedalaman muka air tanah juga tidak membentuk persamaan linier Y= 23,97-0,08x (dimana Y= emisi CO2 non rhizosfer dan x= kedalaman muka air tanah) karena nilai P = 0,69 artinya tidak berbeda nyata pada taraf 5% dan R2hanya 0,3% yang berarti model tidak mampu menerangkan perilaku peubah emisi CO2non rhizosfer (Lampiran 73 dan 74).

Karena hasil analisis secara keseluruhan tidak dapat menerangkan pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap emisi CO2, maka analisis pola hubungan antara kedalaman muka air tanah dengan emisi CO2 dilakukan pada masing-masing transek seperti yang diilustrasikan pada Gambar 31-37. Evaluasi emisi CO2 ini dibedakan pada daerah perakaran (rhizosfer) dan non rhizosfer. Emisi CO2 rhizosfer dipergunakan untuk memprediksi adanya pengaruh akar terhadap CO2 hasil respirasi mikrob dan gas CO2 hasil dekomposisi bahan gambut.

(21)

y = 0,2251x + 9,0325 R2 = 0,27 y = 0,1547x + 8,1579 R2 = 0,0762 0 5 10 15 20 25 30 35 45 50 55 60 65 70 75 80 85

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non rhizosfer)

Gambar 31. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 1 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

y = -0,6457x + 67,819 R2 = 0,4119 y = 0,4833x - 27,363 R2 = 0,8217 0 5 10 15 20 25 30 35 60 65 70 75 80 85 90

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non rhizosfer)

Gambar 32. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Puntong Transek 2 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

y = 3,2721x - 111,8 R2 = 0,3016 y = 3,9741x - 168,24 R2 = 0,3367 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 42 44 46 48 50 52 54

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 (t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 33. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

(22)

y = -0,8557x + 73,082 R2 = 0,0651 y = -0,7004x + 57,59 R2 = 0,0733 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 51 52 53 54 55 56 57 58

Kedalaman muka air tanah

E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non rhizosfer rhizosfer Linear (rhizosfer) Linear (Non rhizosfer)

Gambar 34. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

y = 0,5348x + 7,2786 R2 = 0,0037 y = 0,6189x - 7,2168 R2 = 0,0109 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 ( t ha -1 th -1 )

Non Rhizos fer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 35. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

y = -1,0895x + 73,426 R2 = 0,8248 y = -1,1791x + 75,996 R2 = 0,8709 0 5 10 15 20 25 30 35 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizos fer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 36. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

(23)

y = 1,9341x - 42,849 R2 = 0,0237 y = -5,9859x + 313,39 R2 = 0,3155 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47

Kedalaman muka air tanah (cm)

E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Non Rhizosfer) Linear (Rhizosfer)

Gambar 37. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Hasil pengukuran kedalaman muka air tanah di lapang menunjukkan bahwa dalam transek yang sama, titik pengamatan yang dekat dengan saluran drainase memiliki muka air tanah lebih dalam, dan semakin jauh dengan saluran drainase utama, maka kedalaman muka air tanah semakin berkurang (muka air tanah lebih dangkal). Pada semua transek kecuali transek SR-4 dan SR-6 menunjukkan korelasi yang sama yaitu semakin jauh dari saluran drainase, muka air tanah semakin dangkal dan emisi CO2 semakin menurun. Hal ini terjadi karena titik yang lebih dekat dengan saluran drainase terjadi penurunan muka air tanah menyebabkan terjadinya proses dekomposisi yang lebih lanjut pada lapisan di atas muka air tanah. Kondisi aerasi akan lebih memacu meningkatkan ketersediaan O2 di dalam bahan gambut dan dapat mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan CO2, sehingga emisi CO2 di titik yang lebih dekat dengan drainase lebih tinggi.

Dari Gambar 31 – 37 terdapat fenomena emisi CO2 meningkat dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 1, 2, 3, 5 dan 7, sedangkan pada transek 4 dan 6 emisi CO2 menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah. Dengan mempertimbangkan perbandingan antara nilai peningkatan dengan nilai penurunan emisi CO2 ternyata angka peningkatan lebih besar daripada angka penurunan emisi CO2, sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh dari saluran drainase, emisi CO2 semakin menurun.

(24)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedalaman muka air tanah merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2. Dari transek 1, 2, 3, 5 dan 7 terlihat bahwa titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan titik pengamatan yang lebih jauh dari saluran drainase. Hal ini terjadi karena titik pengamatan terdekat dengan saluran drainase utama memiliki muka air tanah lebih dalam. Muka air tanah yang dalam pada titik pengamatan yang terdekat dengan saluran drainase utama menyebabkan terciptanya suasana aerob yang memacu laju proses dekomposisi yang melepaskan CO2 dari dalam tanah ke atmosfer. Kirk (2004) menyatakan bahwa dekomposisi bahan organik pada kondisi aerob lebih cepat daripada kondisi anaerob karena perubahan energi bebas untuk terjadinya reaksi lebih besar yaitu ∆G= -199 kJ mol-1 pada pH 7 pada kondisi aerob, sedangkan pada kondisi anaerob ∆G= -17,7 kJ mol-1 pada pH 7. Dengan demikian, mikrob sebagai media dekomposisi mendapat lebih banyak energi, sehingga produksi sel per unit lebih tinggi pada kondisi aerob. Menurut Climo (1983), dekomposisi aerobik 50 kali lebih cepat daripada anaerobik. Keberadaan oksigen pada kondisi aerob akan meningkatkan proses mineralisasi unsur hara (terutama unsur C, N, dan S), sehingga memacu hilangnya unsur hara.

Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan subsiden pada bahan gambut. Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10 tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah meningkat 1,5 kali. Proses subsiden merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Menurut Yagi et al. (1994), drainase terkait dengan perubahan suhu, ketersediaan O2, pH, dan Eh pada bahan gambut. Morril et al., (1982) menyatakan bahwa bahan gambut dalam kondisi anaerob (bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4, sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat menghasilkan CO2. Dalam kondisi anaerob Gambut akan menghasilkan CO2, jika tersedia asam asetat, propionat, dan butirat sebagai donor elektron. Besarnya emisi gas CO2 dan CH4 sangat bervariasi tergantung pada faktor bahan gambut

(25)

seperti: ketebalan, tingkat kematangan, dan kondisi hidrologi (Nyman dan DeLaune, 1991).

Penyebab menurunnya emisi CO2 dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah pada transek 6 diduga karena ketebalan gambut pada transek ini paling tipis dibandingkan dengan lokasi penelitian lainnya yaitu sekitar 142-170 cm. Hasil penelitian Yulianti (2009) melaporkan bahwa cadangan C gambut mempunyai korelasi nyata positif terhadap ketebalan gambut (r= 0,93) dan bobot isi (r= 0,65). Kandungan cadangan gambut terendah terdapat pada gambut yang tipis dan semakin besar bobot isi, maka semakin besar juga cadangan C. Jumlah cadangan C dan bobot isi seperti ini menyebabkan menurunnya emisi CO2 pada transek 6.

Hasil evaluasi data emisi CO2 di rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit (Tabel 11) menunjukkan bahwa emisi CO2di daerah rhizosfer lebih tinggi daripada di non rhizosfer seperti yang diilustrasikan pada Gambar 38. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pengaruh kualitas media akar yang mampu merubah sifat fisik, kimia dan biologi tanah di sekitar akar (Darrah, 1993; Gregory dan Hinsinger, 1999). Rhizosfer mempunyai lingkungan yang memungkinkan untuk berkembangnya banyak organisme (Bowen dan Rovina, 1991; Peterson, 2003), sehingga banyak proses yang terjadi pada daerah sekitar akar yang secara langsung maupun tidak langsung dapat meningkatkan kapasitas fungsi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dan buffer lingkungan, seperti: 1) akar tanaman menstabilkan tanah dari gangguan fisik, pergantian siklus pembasahan dan pengeringan, (2) eksudat akar jenis mucilage asam Poligalakturonat membantu terbentuknya formasi agregat tanah, (3) asam organik seperti asam oksalat, asam tatrat, dan asam sitrat melarutkan unsur hara dan detoksifikasi unsur logam (Thiele et al., 2005).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah yang dipengaruhi oleh aktivitas akar merupakan tempat yang disukai oleh banyak mikrob dibandingkan dengan bulk soil (Peterson, 2003). Disamping meningkatnya populasi mikrob, aktivitas mikrob di sekitar daerah perakaran juga meningkat. Peningkatan aktivitas mikrob ini sebagai akibat tingginya konsentrasi nutrisi, C-labil, dan pengaruh eksudat akar (Kuzyakov et al., 2000; Subke et al., 2004; Hamer dan

(26)

Marschner, 2005). Dengan meningkatnya jumlah populasi dan aktivitas mikrob di daerah rhizosfer menyebabkan respirasi mikrob meningkat dan produksi CO2 dari daerah rhizosfer lebih besar daripada daerah non rhizosfer. Namun mekanisme dua arah proses emisi gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer sangatlah komplek dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang saling berinteraksi.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 39 43 46 48 51 52 52 53 55 56 58 60 62 67 84 K ed al am an m uk a ai r ta na h (c m ) ) Emisi CO2 (t ha-1 th-1)

Non Rhizosfer Rhizosfer

Gambar 38. Emisi CO2di daerah rhizosfer dan non rhizosfer tanaman kelapa sawit pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Pelepasan CO2 dari topsoil yang banyak dipengaruhi oleh kehadiran akar tanaman lebih besar daripada subsoil. Beberapa penelitian menyatakan produksi CO2menurun dengan meningkatnya kedalaman tanah pada tanah yang diinkubasi baik pada kondisi aerobik maupun anaerobik (Bridgham dan Richardson, 1992; McKenzie et al., 1998 dan Waddington et al., 2001). Hal ini disebabkan karena (1) perbedaan dalam populasi mikrob, (2) rendahnya jumlah C-organik tersedia

(27)

(Nadelhoffer et al., 1991), dan akumulasi senyawa humik (Hogg et al., 1992). Kluge et al. (2008) melaporkan bahwa tingginya jumlah C-organik di topsoil merupakan indikasi C organik lebih mudah tersedia dan munculnya lumpur di subsoil yang merupakan kondisi yang tidak menguntungkan untuk kehidupan mikrob merupakan penyebab tingginya pelepasan CO2 di top soil.

Moren and Lindroth (2000) menyatakan bahwa efemisi CO2 dari dalam tanah merupakan hasil dari dua proses yaitu produksi CO2 dan transport CO2. Berkaitan dengan proses transport CO2, maka besarnya produksi CO2 di daerah rhizosfer akan diikuti oleh besarnya emisi CO2 di daerah ini akibat dari lebih memungkinkannya proses difusi gas CO2 dari dalam tanah ke atmosfer. Disamping itu, bobot isi semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah (Walczak, Bieganowski, and Rovdan, 2002). Adanya perbedaan bobot isi tanah di sekitar akar dengan bulk soil memungkinkan produksi CO2 didaerah Rhizosfer lebih tinggi daripada non Rhizosfer.

Hinsinger et al. (2005) menyatakan bahwa beberapa cm dari daerah sekitar akar terdapat peningkatan asam atau basa yang tergantung pada spesies tanaman. Untuk tanaman kacang-kacangan pH tanah akan meningkat asam, sedangkan untuk tanaman spruce akan menjadi basa. Pada penelitian pH tanah berada dalam kisaran 2,9 sampai dengan 3,9. Perubahan derajat kemasaman tanah ini tentu akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap jumlah populasi dan aktivitas mikrob yang mempunyai dampak terhadap besarnya emisi CO2dari dalam tanah ke atmosfer.

Bentuk emisi C ke atmosfer selain gas CO2, CH4 merupakan salah satu komponen gas rumah kaca yang diemisikan oleh tanah akibat metabolisme bakteri metanogen. Kira-kira 80% diproduksi secara biologis oleh grup bakteri anaerobik pada lingkungan yang sangat reduktif (Ehhalt and Schmidt, 1978), dengan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada temperatur 30-40oC (Kirk, 2004). Produksi CH4tidak akan dimulai sebelum oksigen, nitrat, besi (III), mangan (IV) dan sulfat tereduksi semua (Smith et al., 2003). Proses ini sangat dipengaruhi oleh suhu, kandungan bahan organik, pH, kelembaban dan potensial redoks dalam tanah (Kimura et al., 1993; Moore dan Dalva, 1993; Yang dan

(28)

Chang, 1997). Sylvia et al., (1998) menjelaskan bahwa metanogen dalam tanah memproduksi CH4 melalui dua jalan utama, yaitu:

CO2+ H2 CH4(reduksi CO2)

CH3COOH CH4+ CO2(fermentasi asetat)

Dari pengukuran emisi CH4 di perkebunan kelapa sawit (di Desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), semak (Desa Simpang), hutan (di Desa Cot Gajah Mati dan Desa Simpang), ternyata CH4hanya terdeteksi pada hutan Cot Gajah Mati. Hal ini disebabkan karena muka air tanah di Hutan Cot Gajah Mati dangkal dan saluran drainase hanya berupa saluran kecil yang tidak terpelihara Sedangkan hutan di Desa Simpang memiliki saluran drainase utama dengan ukuran lebar 2,5 m dan dalam 3 m dengan kedalaman muka air tanah sekitar 36, 41, dan 53 cm dari permukaan gambut, sehingga CH4tidak terdeteksi walaupun tipe penggunaan lahannya sama sebagai hutan. Hal ini menunjukkan bahwa pembuatan drainase akan menurunkan emisi CH4 seperti hasil penelitian yang dilaporkan oleh Martikainen et al. (1992) dan Flessa et al. (1998). Disamping itu, dalamnya muka air tanah dari permukaan gambut di hutan Desa Simpang menyebabkan tebalnya kondisi aerob di horizon atas, sehingga produksi CH4 menurun dan meningkatkan konsumsi CH4 untuk dioksidasi menjadi gas CO2. Yang dan Chang (1998) menyatakan bahwa produksi CH4tidak terjadi jika kadar air dalam tanah kurang dari 23%. Terdapat korelasi linier positif antara total produksi CH4dengan kadar air tanah dari 16,7% sampai dengan 66,7%, sehingga produksi CH4 meningkat dengan meningkatnya kadar air dalam tanah dan maksimum pada kadar air 66,7%.

Tabel 12. Emisi CH4 di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Kode Lokasi Lokasi

Emisi CH4 (t ha-1 th-1)

Kedalaman muka air tanah (cm)

EIII69 Hutan Cot Mati 1,4098 17

EIII70 Hutan Cot Mati 4,5255 18

EIII71 Hutan Cot Mati 0,4426 15

EIII74 Hutan Cot Mati 0,2120 34

EIII79 Hutan Cot Mati 0,0776 5

EIII85 Hutan Cot Mati 0,5374 4

(29)

0 1 2 3 4 5 4 5 7 15 17 18 34 K ed al am an m uk a a ir ta na h ( cm )) Emisi CH4 (t ha-1 th-1)

Gambar 39. Emisi CH4di hutan gambut Desa Cot Gajah Mati pada berbagai kedalaman muka air tanah.

Pengaruh kedalaman muka air tanah terhadap terbentuknya gas CH4 sangat jelas terlihat pada penelitian ini. Data yang sangat menarik dari penelitian ini adalah emisi CH4 pada hutan Cot Gajah Mati menurun dengan kedalaman muka air tanah, dan CH4tidak terdeteksi dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut (Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya laju proses oksidasi CH4 diubah menjadi CO2 sebelum mencapai permukaan tanah semakin meningkat, sehingga emisi CH4menjadi menurun.

Kelembaban udara dan muka air tanah merupakan faktor penting yang mempengaruhi emisi CH4. Saluran drainase di hutan Desa Cot Gajah Mati tidak dikelola dengan baik, hal ini dapat merubah kondisi mikroagroklimat seperti meningkatnya kelembaban tanah dan dangkalnya muka air tanah dari permukaan gambut yang berpengaruh terhadap meningkatnya produksi CH4, sehingga emisi CH4terdeteksi di hutan Cot Gajah Mati. Liu et al. (2008) menyatakan bahwa pola emisi CH4 menunjukkan korelasi nyata dengan kelembaban tanah. Beberapa penelitian juga melaporkan bahwa faktor lingkungan yang dominan mengendalikan emisi CH4 di lahan gambut adalah kedalaman air tanah (Crill et al., 1988; Moore dan Dalva, 1993; Bartlett dan Harriss, 1993). Air tanah yang dekat dengan permukaan gambut menciptakan kondisi anaerobik yang merupakan kondisi sangat baik untuk produksi CH4. Menurut Yang dan Chang (1998), produksi CH4 dalam kondisi anaerob 10 kali lebih besar daripada kondisi aerob,

(30)

dari 1 gram tanah umumnya memproduksi CH4344,4 μg dalam kondisi anaerobik

dan 33,8 μg dalam kondisi aerobik.

Selain sistem drainase, sistem pengelolaan tanah dan tanaman seperti pengapuran dan pemupukan serta pengaturan tanaman pokok dan tanaman sela pada kebun kelapa sawit merupakan salah satu penyebab tidak terdeteksinya CH4 pada semua kebun kelapa sawit. Menurut Yang dan Chang (1998), sterilisasi tanah, kondisi aerobik, penambahan monosakarida, disakarida dan urea dapat mengakibatkan penurunan produksi metana, sedangkan meningkatnya suhu (Crill et al., 1988; Nyakanen et al., 1995), penambahan bahan organik dan penggenangan air dapat meningkat produksi metana. Penggenangan tanah dapat meningkatkan emisi CH4beberapa kali lipat hingga mencapai 42,84 hingga 57,12 mg m-2h-1 (Przywara dan Stêpniewska, 2002), hal ini karena populasi dan aktivitas bakteri pengoksidasi metan meningkat selama penggenangan, tetapi menurun setelah pengeringan (Inubushi et al., 2003).

Sifat bahan gambut seperti pH juga mempengaruhi aktivitas mikrob metanogen (Mosier et al.,1991). Metanogen tumbuh baik pada pH 6,5-7,5 (Mah dan Smith, 1981) dan produksi CH4 menurun jika pH tanah terlalu tinggi atau terlalu rendah (Wang et al., 1993). Derajat kemasaman gambut pada penelitian ini menunjukkan bahwa pH aktual (pH H2O) gambut berada pada kisaran 2,9 sampai dengan 3,9, sedangkan pH potensial (pH KCl)berkisar antara 2,3 sampai

dengan 3,07, sehingga bukan merupakan pH optimum untuk perkembangan kehidupan metanogen.

Dari hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa emisi CH4 banyak ditemukan pada tanah yang tergenang, hal ini menunjukkan pentingnya ebulusi dalam mekanisme emisi CH4. Memang secara umum gas seperti halnya CH4 dapat mencapai atmosfer dengan 3 proses yaitu difusi molekul dengan terlarutnya CH4, transport tanaman, dan ebulisi. Namun karena 60% akumulasi CH4 dalam bentuk gelembung-gelembung udara (bubbles) bukan dalam bentuk terlarut, maka emisi CH4 lebih dominan melalui ebulusi (Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003).

(31)

4. Pengaruh Ketebalan Gambut terhadap Emisi CO2.

Ketersediaan bahan gambut baik kuantitas maupun kualitas karbon merupakan kunci pengendali dinamika gas (Sylvia et al., 1998), sehingga ketebalan gambut berpengaruh terhadap emisi CO2. Hasil pengukuran emisi CO2 pada masing-masing titik pengamatan berdasarkan ketebalan gambut disajikan pada Tabel 12. Evaluasi pengaruh ketebalan gambut dengan emisi CO2dilakukan pada daerah rhizosfer dan non rhizosfer dengan melihat hubungan keeratan antara kedua faktor tersebut. Analisis korelasi data antara hasil pengukuran emisi CO2 dengan ketebalan gambut dilakukan dengan SAS versi 9,1. Jika analisis dilakukan pada seluruh titik pengamatan tanpa membedakan transek, maka diperoleh diagram pencar yang tidak membentuk pola garis lurus antara emisi CO2dengan ketebalan gambut baik untuk rhizosfer dan non rhizosfer (Gambar 40 dan 41). 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 ) Ga mbar 40. Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan

emisi CO2di rhizosfer 0 10 20 30 40 50 60 70 80 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O2 ( t h a -1 th -1 )

Gambar 41. Diagram pencar hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO2di non rhizosfer

(32)

Hubungan antara kedua peubah tersebut tidak linier, karena nilai r lebih mendekati nol yaitu sebesar r=0,066 untuk rhizosfer dan r= -0,089 untuk non rhizosfer (Lampiran 75 dan 76).

Tabel 13. Emisi CO2di tiga kebun kelapa sawit pada berbagai ketebalan gambut.

Tipe penggunaan Lokasi Titik Ketebalan Emisi CO2 (t ha-1th-1)

lahan/umur / transek pengamatan

ke gambut (cm) rhizosferNon Rhizosfer

Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 1 150 16,7795 24,6405

Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 2 120 24,7497 28,7673

Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 3 150 23,6947 25,7814

Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 4 165 13,6297 18,8753

Kelapa Sawit /10 th/ 1 Suak Puntong 5 200 9,8983 16,8935

Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 1 238 12,7269 15,4158

Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 2 320 16,2042 16,3532

Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 3 140 5,7633 6,4692

Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 4 140 4,8714 28,3759

Kelapa Sawit /10 th/ 2 Suak Puntong 5 335 4,8695 30,3461

Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 1 188 70,0847 87,1325

Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 2 174 20,0737 37,0706

Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 3 195 13,6905 42,6842

Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 4 387 0,1450 27,8723

Kelapa Sawit /10 th/ 3 Suak Raya 5 450 16,5227 38,0734

Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 1 225 15,8871 17,8153

Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 2 188 18,2393 27,1922

Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 3 247 28,9473 38,8148

Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 4 385 13,5333 21,9176

Kelapa Sawit /5 th/ 4 Suak Raya 5 424 23,6470 30,3422

Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 1 188 32,4569 42,7116

Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 2 174 13,0954 15,9136

Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 3 195 55,8499 78,1906

Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 4 387 16,8393 17,9727

Kelapa Sawit /5 th/ 5 Suak Raya 5 450 24,5346 36,1663

Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya 1 142 16,7801 19,0932

Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya 2 163 16,2536 17,6524

Kelapa Sawit /5 th/ 6 Suak Raya 3 170 29,8807 31,0071

Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya 1 190 17,4539 17,6758

Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya 2 215 1,5868 24,4385

Kelapa Sawit /5 th/ 7 Suak Raya 3 238 11,0816 64,6678

Karena hasil analisis secara keseluruhan tidak dapat menerangkan pengaruh ketebalan gambut terhadap emisi CO2, maka evaluasi pengaruh ketebalan gambut didekati dengan melihat hubungan antara ketebalan gambut dengan emisi CO2pada masing-masing transek seperti pada Gambar 42 - 48.

(33)

y = -0,1597x + 48,071 R2 = 0,8801 y = -0,1966x + 48,611 R2 = 0,7968 0 5 10 15 20 25 30 35 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 42. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 1 pada berbagai ketebalan gambut

y = 0,034x + 11,417 R2 = 0,1038 y = 0,0258x + 2,8366 R2 = 0,2128 0 5 10 15 20 25 30 35 120 145 170 195 220 245 270 295 320 345 370 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 43. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 2 pada berbagai ketebalan gambut.

y = -0,1006x + 52,164 R2 = 0,2374 y = -0,0868x + 70,77 R2 = 0,2334 0 20 40 60 80 100 150 200 250 300 350 400 450 500 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 )

Non rhizosfer Rhizosfer Linear (Non rhizosfer) Linear (Rhizosfer)

Gambar 44. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 3 pada berbagai ketebalan gambut.

(34)

y = 0,009x + 26,525 R2 = 0,0111 y = -0,0132x + 18,191 R2 = 0,0246 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 175 200 225 250 275 300 325 350 375 400 425 450 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 45. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 4 pada berbagai ketebalan gambut

y = -0,0589x + 54,612 R2 = 0,0923 y = -0,0443x + 40,896 R2 = 0,1143 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 150 200 250 300 350 400 450 500 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 46. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 5 pada berbagai ketebalan gambut

y = 0,3115x - 26,732 R2 = 0,3834 y = 0,3541x - 35,098 R2 = 0,4468 0 5 10 15 20 25 30 35 140 145 150 155 160 165 170 175 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 47. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 6 pada berbagai ketebalan gambut

(35)

y = 0,9688x - 172,04 R2 = 0,8381 y = -0,14x + 40,051 R2 = 0,1772 0 10 20 30 40 50 60 70 180 190 200 210 220 230 240 250 Ketebalan gambut (cm) E m is i C O2 ( t h a -1 th -1 )

Non Rhizosfer Rhizosfer Linear (Rhizosfer) Linear (Non Rhizosfer)

Gambar 48. Emisi CO2di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya Transek 7 pada berbagai ketebalan gambut

Dari persamaan regresi pada transek 1, 3, 4, 5, dan 7 dapat diketahui bahwa terdapat kecenderungan emisi CO2 semakin menurun dengan semakin meningkatnya ketebalan gambut. Hal ini disebabkan karena gambut dalam memiliki tingkat kesuburan yang lebih rendah daripada gambut dangkal, sehingga pada gambut dangkal dekomposisi akan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan dekomposisi pada gambut dalam.

Pada transek 2 dan 6 emisi CO2 cenderung semakin meningkat dengan semakin meningkatnya ketebalan gambut. Hal ini diduga karena pola ketebalan gambut pada transek 2 memiliki variasi yang cukup drastis yakni pada titik pengamatan ke 3 dan 4 dari transek 2 mempunyai ketebalan gambut 140 cm sedangkan pada ketiga titik pengamatan lainnya dalam transek yang sama memiliki gambut yang lebih dalam (238 – 335). Sedangkan gambut pada transek 6 tergolong gambut yang sangat dangkal (142 - 170 cm), sehingga memungkinkan dekomposisi masih terus meningkat hingga ketebalan gambut 170 cm. Tingginya laju proses dekomposisi akan membawa akibat besarnya emisi CO2.

5. Evaluasi Emisi CO2 Berdasarkan Umur Tanaman Kelapa Sawit

Umur tanaman kelapa sawit pada penelitian ini mencerminkan lamanya pengelolaan kebun kelapa sawit. Untuk mengetahui pengaruhnya terhadap emisi CO2 dilakukan evaluasi data emisi CO2 non rhizosfer yang dikelompokkan berdasarkan umur tanaman dan dikelompokkan lagi berdasarkan jarak dari

(36)

drainase. Umur tanaman di lahan gambut pada penelitian terdiri dari 3 yaitu: tanaman kelapa sawit berumur 1 tahun di desa Cot Gajah Mati, kelapa sawit berumur 5 tahun di desa Suak Raya, dan kelapa sawit berumur 10 tahun di desa Suak Puntong dan Suak Raya. Evaluasi pengaruh umur terhadap emisi CO2 disajikan pada Gambar 50.

KS 10 th KS 5 th KS 1 th 0 10 20 30 40 50 60 1 2 3 4 5 Titik pengamatan E m is i C O 2 ( t h a -1 th -1 ) KS 10 th KS 5 th KS 1 th

Gambar 49. Emisi CO2pada kebun kelapa sawit berdasarkan umur Tanaman.

Tingginya emisi CO2 pada kebun kelapa sawit umur 1 tahun diduga disebabkan karena lahan gambut tersebut terletak di desa Cot Gajah Mati yang merupakan hutan baru dibuka untuk budidaya tanaman kelapa sawit. Pembukaan hutan dilakukan dengan teknik pembakaran hutan, sehingga emisi CO2 lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran kadar air ternyata gambut desa Cot Gajah Mati lebih tinggi dibandingkan dengan gambut desa Suak Puntong dan Suak Raya. Gambut demikian tergolong pada gambut yang tingkat stabilitas gambut rendah, sehingga mudah terjadi kehilangan C gambut. Riwandi (2002) melaporkan bahwa kehilangan C-organik pada gambut yang didominasi oleh bahan Fibrik > hemik > saprik, sehingga stabilitas gambut fibrik paling rendah.

Kebun kelapa sawit umur 5 tahun mempunyai emisi CO2 lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit umur 10 tahun. Hal ini diduga karena pengelolaan kebun yang berbeda pada kedua lahan tersebut. Pengelolaan kebun kelapa sawit di desa Suak Raya yang merupakan tanaman kelapa sawit umur 5 tahun sudah lebih baik dibandingkan dengan kebun kelapa sawit di desa Suak Puntong yang merupakan kelapa sawit umur 10 tahun. Setelah tsunami, kebun

(37)

kelapa sawit umur 5 tahun sudah diberi kapur setahun sekali dengan menambahkan fosfat alam, pemupukan sudah dilakukan secara rutin (aplikasi pupuk nitrogen dua kali setahun sedangkan pupuk P dan K hanya satu kali setahun) walaupun dosis yang diberikan tidak konstan, dan sudah dilakukan pemangkasan tandan tua dan tanaman sela secara rutin. Penambahan bahan kapur akan meningkatkan pH tanah, sehingga total dan aktivitas mikrob lebih meningkat. Demikian juga dengan penambahan pupuk N, P, K akan meningkatkan ketersediaan unsur hara baik untuk tanaman maupun untuk kehidupan mikrob dalam tanah. Hal ini menyebabkan tingginya emisi CO2 di kebun kelapa sawit umur 5 tahun.

6. Evaluasi Emisi CO2pada tiga Tipe Penggunaan Lahan

Evaluasi ini dilakukan terhadap data emisi CO2 dari kebun kelapa sawit (desa Suak Puntong, Suak Raya, dan Cot Gajah Mati), dibandingkan dengan emisi CO2 semak dan hutan (desa Cot Gajah Mati dan Simpang). Hasil evaluasi menunjukkan bahwa emisi CO2pada musim hujan (Oktober – November 2008) di vegetasi semak lebih tinggi daripada emisi CO2di hutan maupun di kebun kelapa sawit, namun emisi CO2di kebun kelapa sawit dapat lebih tinggi atau lebih rendah daripada emisi CO2 di hutan, tergantung pada kedalaman muka air tanah atau posisi titik pengamatan dari saluran drainase utama dan ketebalan gambut (Tabel 10) seperti yang diilustrasikan pada Gambar 50 dan Gambar 51. Hal ini menunjukkan bahwa praktek penggunaan lahan gambut untuk pertanian memiliki dampak yang besar terhadap emisi CO2dari permukaan tanah, seperti yang telah dilaporkan oleh beberapa peneliti terdahulu (Smith et al., 2000; Houghton, 2002; Melling et al., 2005b; Liu et al., 2008).

Rendahnya emisi CO2dari kebun kelapa sawit Desa Suak Raya transek 6 dan 7 dibandingkan dengan emisi CO2 dari hutan disebabkan karena rendahnya muka air tanah (39 - 52 cm dari permukaan gambut) dan sangat dangkalnya gambut pada transek tersebut yaitu kurang dari 2 m. Sedangkan pada gambut dengan ketebalan antara 2 - 4 m dan muka air tanah lebih dalam (43 - 60 cm dari permukaan gambut) seperti di kebun kelapa sawit Desa Suak Raya transek 3, 4, dan 5 merupakan kondisi yang memicu besarnya produksi CO2 di dalam tanah, sehingga emisi CO2lebih tinggi dibandingkan dengan emisi CO2dari hutan yang

(38)

memiliki ketebalan gambut lebih dari 9 m dan muka air tanah 36 - 53 cm dari permukaan gambut. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 20 40 60 80 100 120 Emisi CO2 (t ha-1 th-1) K ed al am an m uk a ai r ta na h (c m ))

Kebun kelapa Sawit Hutan Simpang Semak Simpang

Gambar 50. Emisi CO2di tiga tipe penggunaan lahan gambut pada berbagai kedalaman muka air tanah.

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 20 40 60 80 100 120 Emisi CO2 (t ha-1 th-1) K et eb al an g am bu t ( cm ))

Kebun kelapa Sawit Semak Simpang Hutan Simpang

Gambar 51. Emisi CO2di tiga tipe penggunaan lahan pada berbagai ketebalan gambut.

Drainase pada lahan gambut yang digunakan untuk perkebunan kelapa sawit berakibat pada percepatan subsiden terutama pada lapisan atas gambut, sehingga kondisi fisik bahan gambut berubah. Selain itu terjadi juga percepatan dekomposisi. Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi kebun kelapa sawit dengan berbagai pengelolaan yang diterapkan untuk mengoptimalkan produksi kelapa sawit mempunyai kontribusi terhadap meningkatnya konsentrasi CO2di atmosfer. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drainase di ekosistem gambut untuk tujuan agribisnis akan berdampak pada keseimbangan global C.

(39)

Meningkatnya oksidasi bahan organik pada kondisi aerob akibat drainase akan merubah peranan gambut sebagai C sink menjadi C source. Hasil pengukuran emisi CO2 dari gambut tropik sangat tinggi variasinya tergantung pada waktu dan tempat, kapan lahan mulai di konversi yang berkaitan erat dengan tingkat humifikasi, variasi tempat atau perbedaan mikroklimat seperti suhu tanah dan suhu udara, status hara dan variasi saat pengukuran (perubahan musim). Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pendapat. Melling et al. (2004) melaporkan bahwa alih guna lahan gambut untuk kelapa sawit dan sagu dapat menurunkan emisi CO2. Potensial pemanasan global dari hutan gambut lebih besar (7850 g CO2m-2 th-1) daripada ekosistem kelapa sawit (5706 g CO2m -2 th-1) dan ekosistem sagu (4233 g CO

2m-2 th-1). Tingginya potensial pemanasan global di ekosistem hutan disebabkan oleh tingginya respirasi tanah (7817 g CO2 m-2 th-1), respirasi di ekosistem sagu dan kelapa sawit masing-masing 4074 g CO

2 m-2 th-1 dan 5652 g CO2m-2 th-1. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Wagai et al. (1998) dan Davidson et al. (2000), tetapi berbeda dengan hasil penelitian Inubushi et al. (2003). Hirano et al. (2007) menyatakan bahwa emisi CO2 hutan gambut lebih besar daripada perkebunan kelapa sawit karena (1) tingkat humifikasi dari lapisan gambut dan (2) tingginya respirasi akar akibat banyaknya biomas di belowground pada hutan daripada di perkebunan

Kesimpulan

Dari serangkaian evaluasi yang dilakukan terhadap hasil pengukuran emisi CO2 dan CH4dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Emisi CO2 pada musim hujan cenderung lebih tinggi daripada emisi CO2musim kemarau di kebun kelapa sawit Suak Raya dan Cot Gajah Mati.

2. Alat kromatografi gas lebih layak digunakan untuk mengetahui emisi CO2daripada metode titrasi.

3. Pola hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman muka air pada masing-masing transek adalah semakin meningkat kedalaman muka air tanah, maka emisi CO2 semakin bertambah kecuali transek 4 dan 6.

(40)

4. Pola hubungan antara emisi CO2 dengan ketebalan gambut pada masing-masing transek adalah semakin dalam gambut, emisi CO2 semakin menurun.

5. Emisi CH4pada hutan Cot Gajah Mati menurun dengan meningkatnya kedalaman muka air tanah hingga tidak terdeteksi pada kedalaman muka air tanah lebih dari 34 cm dari permukaan gambut.

6. Emisi CO2 di daerah rhizosfer tanaman kelapa sawit lebih besar daripada emisi CO2di non rhizosfer.

7. Terdapat kecenderungan emisi CO2 pada kebun kelapa sawit yang

berumur 1 th > umur 5 th > umur 10 th.

8. Emisi CO2 berbeda tergantung pada tipe penggunaan lahan gambut, emisi CO2pada semak > Hutan.

Gambar

Gambar 19.  (a) Kondisi kebun kelapa sawit desa Suak Puntong dekat drainase.           (b) Profil Gambut di kebun kelapa sawit desa Suak Puntong
Gambar 18.  Peta lokasi penelitian
Gambar 20.  (a) Pengambilan sampel gas di titik pengamatan terdekat dengan    drainase kebun kelapa sawit desa Suak Puntong
Gambar 22.  (a) Sungkup saat pengambilan sampel gas.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini yang dilakukan secara eksplorasi menunjukkan bahwa ada pengaruh pemberian ekstrak kayu beta-beta pada kemampuan untuk mengurangi radang dengan

Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa dengan menggunakan metode deteksi perubahan pada tegangan dapat mendeteksi pada jarak kurang lebih 30cm baik untuk

[r]

diatas, maka Mohd: Ridjal poen diserahkan pada seorang politie boeat dibawak kedalam kota (Sigli), c!an M. politie teroes pergi kedalam terrein Voetbal boeat

yang digunakan pilihan mandatory 2 Propinsi Bank Pilih lokasi bank pilihan Mandatory 3 Bank Pilih bank pilihan Mandatory 4 Nomor rekening Input no rekening ketik Mandatory 5

Pada stasiun 3 genus yang memiliki nilai Kelimpahan (K) tertinggi terdapat pada genus Surirella sebesar 65,33 ind/l, dengan kelimpahan relatif 31,71%, dan frekuensi

Bentuk relasi ini menggambarkan adanya hubungan timbal balik yang baik antara petugas atau staf bagian Ekonomi dalam proses perijinan dengan pengusaha, di mana

Steker atau Staker berfungsi untuk menghubungkan alat listrik dengan aliran listrik yang ditancapkan pada kanal stop kontak sehingga alat listrik tersebut dapat digunakan. Alat