• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah dari kata konflik berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu, Com yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejarah dari kata konflik berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu, Com yang"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KONFLIK PERAN GANDA 2.1.1. Defenisi Konflik Peran Ganda

Sejarah dari kata konflik berasal dari akar kata bahasa Latin yaitu, Com yang berarti sama atau figen yang berarti penyerangan. Kata konflik didalam kamus mengacu kepada kata-kata seperti: perkelahian, perselisihan, perjuangan, pertentangan dan benturan (Kartono & Gulo, 2000). Irwanto (1991) mengemukakan bahwa yang maksud dari konflik adalah beberapa kebutuhan yang muncul secara bersamaan.

Sedangkan pengertian peran menurut Linton (dalam Biddle & Thomas, 1966) yaitu perilaku – perilaku yang diasosiasikan dengan suatu posisi tertentu dan individu pada posisi tersebut diharapkan berperilaku sesuai. Sedangkan menurut Baron & Byrne (2009) peran adalah suatu set perilaku yang diharapkan dilakukan oleh individu yang memiliki posisi spesifik dalam suatu kelompok.

Selanjutnya pengertian peran ganda menurut Kartini (1994) adalah peranan perempuan dalam dua bentuk, yaitu perempuan yang berperan di bidang domestik dan perempuan karier, yang dimaksud dengan tugas domestik adalah perempuan yang hanya bekerja di rumah saja sebagai istri yang setia. Sedangkan yang dimaksud dengan perempuan karier adalah apabila ia bekerja di luar, maupun bekerja secara profesional karena ilmu yang didapat atau karena keterampilannya. Selain itu Santrock (2002) menjelaskan bahwa peran ganda menggambarkan pernikahan antara suami dan istri dan keduanya memiliki pekerjaan tempat mereka dapat berkarier.

Adapun peran dalam bidang domestik yang dijalankan oleh perawat wanita adalah sebagai ibu rumah tangga. Menurut Frieze (dalam Rachminiwati, 1988) tugas seorang ibu rumah tangga adalah memperhatikan kondisi fisik, emosi, dan

(2)

menampung segala keluh kesah suami, sebagai ibu yang bukan hanya mengandung dan melahirkan anak, namun juga memberikan perhatian fisik dan emosional pada anak. Selanjutnya, peran sebagai perempuan karier adalah seorang perawat. Menurut Nursalam (2009) tugas umum seorang perawat adalah (1) Memberikan pelayanan keperawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan dengan sentuhan kasih sayang. (2) Melaksanakan program medis dengan penuh tanggung jawab. (3) Memerhatikan keseimbangan kebutuhan fisik, mental, moral, dan spiritual dari klien. (4) Mempersiapkan klien secara fisik dan mental untuk menghadapi tindakan medis keperawatan dan pengobatan sesuai diagnosis. (5) Melatih klien untuk menolong dirinya sendiri sesuai dengan kemampuannya. (6) Memberikan pertolongan segera pada klien gawat atau sakaratul maut. (7) Membantu kepala ruangan dalam pemeriksaan ruangan secara administrative. (8) Mengatur dan menyiapkan alat – alat yang ada di ruangan menurut fungsinya supaya siap pakai. (9) Menciptakan dan memelihara kebersihan, keamanan, kenyamanan dan keindahan ruangan. (10) Melaksanakan tugas dinas pagi, sore, malam, atau hari libur secara bergantian sesuai dengan jadwal tugas. (11) Memberi penyuluhan kesehatan sehubungan dengan penyakitnya (PKMRS). (12) Melaporkan segala sesuatu mengenai keadaan klien baik secara lisan maupun tertulis. (13) Membuat laporan harian klien. Apabila kedua peran tersebut tidak dapat dipenuhi dalam waktu yang bersamaan saat itulah akan timbul konflik, baik yang berasal dari keluarga maupun yang berasal dari pekerjaan.

Definisi konflik peran ganda menurut Kahn dkk (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) konflik peran ganda adalah bentuk dari konflik antar peran yang mana tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga bertentangan. Selain itu Khan (dalam Behr, 1995) menyatakan bahwa konflik peran ganda merupakan adanya ketidakcocokan antara harapan - harapan yang berkaitan dengan suatu peran dimana dalam kondisi yang cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan atau tekanan akan sangat bertolak

(3)

belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan. Penelitian yang dilakukan oleh Duxburry dan Higgins (2003) sejalan dengan pernyataan sebelumnya, namun ia menambahkan dampak yang ditimbulkan dari konflik peran ganda yaitu partisipasi seseorang pada satu peran menyulitkan partisipasi pada peran yang lainnya.

Paden dan Buchler (dalam Simon, 2002) mendefinisikan konflik peran ganda merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki seseorang. Dalam pekerjaan, seorang wanita yang profesional diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat menjalankan komitmennya dalam pekerjaan. Sedangkan di rumah, wanita sering kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi, dan menjaga suami dan anaknya.

Menurut Netemeyer dkk (dalam Hennesy, 2005) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai konflik yang muncul akibat tanggungjawab yang berhubungan dengan pekerjaan mengganggu permintaan, waktu, dan ketegangan dalam keluarga. Hennesy (2005) juga memberikan defenisi dari konflik peran ganda yaitu, konflik yang terjadi ketika konflik sebagai hasil dari kewajiban pekerjaan yang mengganggu kehidupan rumah tangga.

Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan konflik peran ganda sebagai sebuah bentuk dari konflik antar peran dimana tekanan dari peran dalam pekerjaan dan keluarga saling bertentangan, yaitu menjalankan peran dalam pekerjaan menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran dalam keluarga menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran dalam pekerjaan.

Sedangkan Frone, Russell & Cooper (1992) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan

(4)

sehingga kurang mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya, keluarga mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga mengganggu pekerjaan. Konflik pekerjaan-keluarga ini terjadi ketika kehidupan rumah seseorang berbenturan dengan tanggungjawabnya di tempat kerja, seperti masuk kerja tepat waktu, menyelesaikan tugas harian, atau kerja lembur. Demikian juga tuntutan kehidupan rumah yang menghalangi seseorang untuk meluangkan waktu untuk pekerjaannya atau kegiatan yang berkenaan dengan kariernya.

Gutek dan Larwood, (1987) mengatakan bahwa banyak wanita telah mencoba untuk mengkombinasikan antara karir profesional dan kehidupan keluarga. Di dalam prosesnya, mereka harus dapat mengatasi konflik dalam perjuangannya untuk menyeimbangkan antara keluarga, perkawinan, anak - anak, dan kerja. Situasi tersebut membangkitkan adanya pertentangan emosional yang menjadi sifat terjadinya konflik antara keluarga dan kerja.

Konflik peran ganda yang dialami wanita mempunyai kesulitan – kesulitan dalam pemenuhan tuntutan peran dari salah satu perannya yaitu sebagai ibu rumah tangga, individu, istri, wanita bekerja, dan warga masyarakat. Kegagalan pemenuhan tuntutan dari salah satu peran baik sebagai ibu rumah tangga, individu, istri, maupun sebagai wanita bekerja dan warga masyarakat tersebut akan menimbulkan konflik.

Maka dapat disimpulkan bahwa konflik peran ganda adalah konflik yang terjadi pada seseorang yang menjalankan kedua perannya secara bersamaan, yaitu peran dalam bekerja dan peran dalam keluarga, sehingga tidak dapat terpenuhinya salah satu peran akibat pemenuhan peran yang lainnya.

2.1.2. Dimensi Konflik Peran Ganda

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) konflik peran ganda memiliki sifat yang bidirectional dan multidimensi. Adapun bidirectional yang dimaksud terdiri dari:

a. Work-family conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab pekerjaan yang mengganggu tanggungjawab terhadap keluarga.

(5)

b. Family-work conflict yaitu konflik yang muncul karena tanggungjawab terhadap keluarga mengganggu tanggung jawab terhadap pekerjaan.

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) multidimensi dari konflik peran ganda dapat muncul dari masing-masing direction dimana antara keduanya baik itu work family conflict maupun family work conflict memiliki masing-masing 3 dimensi yaitu:

a. Time Based Conflict

Yang dimaksud dengan time based conflict adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua atau lebih peran sekaligus. Tuntutan waktu ini dapat terjadi tergantung dari alokasi waktu kerja dan kegiatan keluarga yang dipilih berdasarkan preferensi dan nilai yang dimiliki individu.

Peran ganda mungkin dapat menyulitkan dan seolah berlomba mendapatkan waktu seseorang. Waktu yang dihabiskan dalam satu peran secara umum tak bisa di curahkan kepada aktivitas dalam peran lainnya. Time based conflict memiliki 2 bentuk; (a) tuntutan waktu dari peran yang satu membuat individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspektasi dari peran yang lain; (b) adanya tuntutan waktu, dapat menyebabkan individu terokupasi dengan peran yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba memenuhi tuntutan peran yang lain (Bartolome & Evans, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua: - Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Konflik pekerjaan – keluarga berhubungan positif dengan jumlah jam kerja dalam setiap minggunya (Burke dkk, Keith & Schaf, Plect dkk,

(6)

dalam Greenhaus & Beutell, 1985) dan jumlah jam perjalanan pulang – pergi rumah ke tempat kerja dalam setiap minggunya (Bohen & Viveros-Long, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Konflik pekerjaan – keluarga juga memiliki hubungan yang positif dengan jumlah dan frekuensi lembur serta adanya ketidak teraturan dalam pengaturan jam kerja (Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Jadwal kerja yang tidak fleksibel juga akan menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga (Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Khususnya pada ibu bekerja yang memiliki tanggung jawab mengurus anak.

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Karakteristik peran keluarga yang mengharuskan seseorang menghabiskan sebagian besar dari waktunya dalam aktivitas keluarga dapat menghasilkan konflik pekerjaan – keluarga. Sependapat dengan itu, Herman & Gyllstrom (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) menemukan bahwa orang – orang yang menikah lebih banyak mengalami konflik pekerjaan – keluarga dibandingkan dengan mereka yang tidak menikah. Selanjutnya, dapat diperkirakan bahwa mereka yang memiliki anak akan mengalami konflik pekerjaan – keluarga yag lebih besar ketimbang mereka yang belum memiliki anak. Tanggung jawab yang besar dalam perkembangan anak mungkin akan menjadi konstributor yang besar bagi konflik pekerjaan – keluarga (Bohen & Viveros-Long, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Sejumlah studi menunjukan bahwa orang tua dari anak yang masih kecil (usia prasekolah) merasakan konflik yang lebih besar daripada orang tua yang memiliki anak relatif sudah lebih besar (Greenhaus & Beutell, Greenhaus & Kopelman, Pleck dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Keluarga yang besar yang diasumsikan memiliki lebih banyak tuntutan daripada keluarga kecil, memiliki hubungan yang positif dengan tingginya

(7)

tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Cartwright, Keith & Schefer, dalam Greenhaus & Beutell, 1985).

Kesimpulannya, jadwal kerja, orientasi kerja, pernikahan, anak – anak, dan pola pekerjaan pasangan seluruhnya mungkin menghasilkan tekanan untuk berpartisipasi secara luas dalam peran pekerjaan atau peran keluarga. Konflik dialami ketika tekanan – tekanan waktu ini tidak kompetibel dengan tuntutan domain peran lain.

b. Strain Based Conflict

Yang dimaksud dengan strain based conflict yaitu ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain. Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.

Strain based conflict muncul saat ketegangan yang diakibatkan dari menjalankan peran yang satu, mempengaruhi performa individu di perannya yang lain. Peran – peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan akibat peran yang satu membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan perannya yang lain.

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua: - Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Peran dalam pekerjaan yang tidak jelas (ambigu) dan atau konflik dalam peran di pekerjaan memiliki hubungan yang positif dengan konlik pekerjaan – keluarga (Jones & Butler, Kopelman dkk, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Kurangnya dukungan dari atasan juga menyebabkan tingginya konflik peran pekerjaan (Jones & Butler, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Stresor yang berasal dari pekerjaan seperti budaya kerja yang berubah – ubah, stres dalam komunikasi dan konsentrasi yang

(8)

dibutuhkan dalam menajalankan pekerjaan, menurut Bruke dkk (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) memiliki hubungan yang positif dengan konflik pekerjaan – keluarga. Selain itu, penggunaan sebagian besar waktu untuk melakukan salah satu peran juga dapat mengakibatkan ketegangan. Seperti, jam kerja yang panjang dan tidak fleksibel, serta adanya kerja lembur dapat menyebabkan time based conflict begitu juga strain based conflict. Walaupun keduanya merupakan konsep yang berbeda, namun ada beberapa sumber konflik yang dapat digolongkan kepada kedua dimensi konflik tersebut.

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Bagi mereka yang mempunyai pasangan yang mendukung dapat mengurangi tingkat konflik pekerjaan – keluarga (Holahan & Gilbert, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Beutell & Greenhaus (dalam Greenhaus & Beutell, 1985) perempuan yang memiliki orientasi karier yang berbeda dengan suaminya, merasakan tingkatan konflik antar peran yang lebih tinggi. Besar kemungkinan perbedaan pasangan dalam keyakinan – keyakinan fundamental dapat melemahkan sistem dukungan mutual dan dapat menghasilkan stres.

Kesimpulannya, ketegangan, konflik, atau kurangnya dukungan dari keluarga dapat menyebabkan konflik pekerjaan – keluarga. Sedangkan pada domain pekerjaan, karakteristik peran keluarga yang menghasilkan komitmen waktu ekstensi juga dapat secara langsung atau tidak langsung memberikan ketegangan.

c. Behaviour Based Conflict

Yang dimaksud dengan behaviour based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk peran yang lain. Ketidak efektifan tingkah laku ini dapat

(9)

disebabkan oleh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada orang lain.

Atau perilaku – perilaku yang diharapkan muncul pada saat menjalankan peran yang satu kadang bertentangan dengan ekspektasi dari peran yang lain. Misalnya seorang ibu yang diharapkan menekankan perilaku yang tegas, stabil secara emosional dan objektif (Schein, dalam Greenhaus & Beutell, 1985), diharapkan oleh anggota keluarganya untuk berperilaku hangat, penuh kasih sayang, emosional dan peka saat berinteraksi dengan mereka.

Dalam dimensi ini sumber konflik terbagi menjadi dua: - Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan.

Sumber konflik yang berasal dari pekerjaan adalah work ambiguity dan work involvement. Yang dimaksud dengan work involvement adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang respon psikologis individu tentang perannya dalam pekerjaan serta tingkatan dimana individu secara psikologis mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaannya, dan pentingnya pekerjaan tersebut terhadap gambaran dan konsep dirinya (Lodahl & Kehner, 1965, Yogev & Brett, 1985, dalam Duxburry & Higgins, 1991)

- Sumber konflik yang berasal dari keluarga.

Sumber konflik dari keluarga misalnya adalah peran yang membingungkan di dalam keluarga (ambigu), konflik intra keluarga, dukungan sosial dan family role involvement (Carlson, Kecmar, & Williams, 2000, dalam Greenhaus & Beutell, 1985). Family role involvement adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang tingkatan dimana individu secara psikologis mengidentfikasikan dirinya dengan peran – peran dalam keluarga, pentingnya keluarga terhadap konsep diri

(10)

dan gambaran dirinya serta komitmen individu terhadap peran – peran dalam keluarga (Yogev & Brett, 1985 dalam Duxburry & Higgins, 1991).

Dimensi – dimensi yang diungkapkan oleh Greenhaus & Beutell (1985) merupakan elemen – elemen yang dapat menimbulkan konflik pekerjaan – keluarga. Setiap dimensi memiliki sumber konflik yang sesuai dengan defenisi dimensi.

2.1.3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Konflik Peran Ganda

Menurut Stonner dkk (1990), faktor – faktor yang mempengaruhi konflik peran ganda adalah:

a. Time Pressure, jika waktu yang digunakan untuk bekerja lebih banyak, maka waktu yang digunakan untuk keluarga akan semakin sedikit.

b. Family size dan support, jika anggota keluarga semakin banyak jumlahnya maka akan semakin banyak konflik yang akan timbul. Apabila dengan banyaknya jumlah anggota keluarga yang memberikan dukungan maka akan sedikit terjadi konflik.

c. Job Satisfaction, konflik akan dirasakan lebih sedikit apabila kepuasan kerja seorang karyawan tersebut tinggi.

d. Marital and life satisfaction, apabila seorang wanita bekerja, maka semakin banyak konsekuensi negatif dalam pernikahannya.

e. Size of firm, konflik peran ganda mungkin juga dipengaruhi oleh banyak karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut.

2.1.4. Dampak dari Konflik Peran Ganda

Konflik peran ganda yang dialami oleh para wanita yang bekerja berdampak tidak hanya terhadap dirinya sendiri, namun juga terhadap keluarga dan perusahaan atau instansi tempat ia bekerja. Dalam perusahaan atau instansi tempat ia bekerja

(11)

akan dapat menurunkan kepuasan kerja, meningkatnya tingkat stres kerja, meningkatnya beban kerja dan jumlah jam kerja, dan juga akan dapat meningkatkan tingkat absensi pada para karyawan yang terkait (Duxburry & Higgins, 2003).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Schwartzberg & Dytell (dalam Hennesy, 2005) mengatakan bahwa ada pengaruh pekerjaan dan stres keluarga terhadap kesejahteraan psikologis. Selanjutnya penelitian mengarah kepada perbedaan gender dan penelitian terbaru menemukan bahwa wanita menunjukan level distres yang lebih tinggi yang berhubungan dengan konflik peran ganda (Clearly dalam Hannessy, 2005).

2.2. STRES KERJA

2.2.1. Defenisi Stres Kerja

Stres adalah suatu kondisi yang selalu dihindari oleh individu. Namun seringkali pekerjaan seseorang justru menimbulkan stres bagi dirinya. Stres pun pasti dialami oleh setiap orang apalagi jika dihubungkan dengan pekerjaan yang dijalaninya sehari-hari. Menurut Lazarus dan Launier (1978) stres adalah situasi yang terjadi akibat tuntutan lingkungan melebihi kemampuan yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan dan dampaknya dapat mempengaruhi lingkungan sekitarnya. Terkadang stres yang dialami seseorang itu adalah kecil dan hampir tidak berarti, namun bagi yang lainnya dianggap sangat mengganggu dan berlanjut dalam waktu yang relatif lama (Efendi, 2001).

Pekerjaan merupakan peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia, maka pekerjaan dapat menimbulkan stres (Darwis, dkk, 1990). Lingkungan kerja sama dengan lingkungan lainnya yang menuntut seseorang untuk dapat menyesuaikan diri agar dapat menempatinya. Oleh karena itu, individu akan memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu keadaan stres dalam lingkungan kerja (Rice, 1992).

(12)

Stres sering diartikan sebagai perasaan khawatir dan takut (Dawis, dkk, 1990). Stres atau ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidak seimbangan antara persepsi orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut (Rice,1992).

Stres yang kemunculannya mengacu pada pekerjaan seseorang disebut stres kerja (Austin, 2004). Stres kerja menurut Behr & Newman (dalam Rice, 1999) kondisi dimana pekerjaan naik turun sehingga para pekerja melakukan aktifitas yang sama. Interaksi dan kondisi kerja tersebut akan mempengaruhi perubahan fungsi fisik dan psikologis dari seorang pekerja. Cooper (dalam Rice, 1999) mengemukakan bahwa stres kerja adalah ketidakmampuan untuk memahami atau menghadapi tekanan, dimana tingkat stres setiap individu berbeda-beda dan bereaksi sesuai perubahan lingkungan atau keadaan.

Menurut Handoko (2000) Stres kerja merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi seseorang. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungan. Selye (dalam Behr, 1995) menyatakan bahwa stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.

Menurut Rice (1992), seseorang dapat mengalami stres kerja jika :

a. Urusan stres yang dialami seseorang melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke dalam pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke dalam urusan rumah tangga dapat juga menjadi penyebab stres kerja.

b. Mengakibatkan dampak negatif bagi individu dan juga perusahaan. Oleh karena itu diperlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan persoalan stres tersebut.

(13)

kondisi kerja dengan sifat-sifat karyawan yang bekerja yang merubah fungsi normal secara fisik, psikologis maupun perilaku yang berasal dari tuntutan pekerjaan yang melebihi kemampuan karyawan atau kondisi lingkungan yang menimbulkan stres yang dapat menyebabkan pengaruh negatif bagi karyawan maupun organisasi tempat dia bekerja yang membutuhkan solusi, baik itu dari personal maupun perusahaan.

2.2.2 Gejala-gejala stres kerja

Beehr dan Newman (dalam Rice, 1999) telah memeriksa sejumlah penelitian tentang stres kerja dan dirangkumkan ke dalam 3 tipe dari hal negatif individu terhadap stres kerja yaitu gejala fisik, gejala psikologis, dan gejala perilaku.

a. Gejala fisik dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala fisik yaitu : 1) Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah 2) Meningkatnya sekresi adrenalin dan non-adrenalin 3) Timbulnya gangguan perut

4) Kelelahan fisik 5) Kematian

6) Timbulnya penyakit kardiovaskuler 7) Ketegangan otot 8) Keringat berlebihan 9) Gangguan kulit 10) Sakit kepala 11) Kanker 12) Gangguan tidur

Salah satu masalah yang membuat hubungan antara pekerjaan, stres, kesehatan adalah beberapa wanita yang bekerja membawa masalah kesehatan

(14)

fisiknya ke dalam pekerjaan. Hal ini bisa berhubungan dengan perilaku yang berisiko tinggi pada lingkungan sosial. Kondisi tempat kerja bisa memperberat masalah kesehatan, walaupun hal ini membuat lebih nyata tetapi pekerjaanlah yang berindikasi besar pada masalah kesehatan.

b. Gejala psikologis dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala psikologis yaitu :

1) Ketegangan, kecemasan, kebingungan, dan mudah tersinggung 2) Perasaan frustasi, marah, dan kesal

3) Emosi yang menjadi sensitif dan hiperaktif 4) Perasaan tertekan

5) Kemampuan berkomunikasi efektif menjadi kurang 6) Menarik diri dan depresi

7) Perasaan terisolir dan terasing

8) Kebosanan dan ketidakpuasan dalam bekerja 9) Kelelahan mental dan menurunnya fungsi intelektual 10) Menurunnya harga diri

Kemungkinan besar prediksi efek stres kerja adalah ketidakpuasan pekerjaan. Ketika hal ini muncul, seseorang merasa kurang termotivasi untuk bekerja, tidak bekerja dengan baik, atau tidak melanjutkan pekerjaan. Gejala- gejala ini muncul pada tahapan yang berbeda di dalam perjalanan dari pekerjaan tersebut, dan bervariasi antara satu orang dengan yang lainnya.

c. Gejala perilaku dari stres kerja

Yang termasuk dalam gejala-gejala perilaku yaitu : 1) Bermalas-malasan dan menghindari pekerjaan 2) Kinerja dan produktivitas menurun

(15)

4) Melakukan sabotase pada pekerjaan

5) Makan berlebihan sebagai pelarian yang bisa mengakibatkan obesitas

6) Mengurangi makan sebagai perilaku menarik diri dan berkombinasi dengan depresi.

7) Kehilangan selera makan dan menurunnya berat badan secara tiba-tiba 8) Meningkatnya perilaku yang berisiko tinggi

9) Agresif, brutal, dan mencuri

10) Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga dan teman 11) Kecenderungan melakukan bunuh diri.

Uraian di atas menunjukkan bahwa gejala stres kerja merupakan gejala yang kompleks, yang meliputi kondisi fisik, psikologis, maupun perilaku. Namun demikian gejala tersebut tidak muncul bersamaan waktunya pada seseorang, kemunculannya bersifat kumulatif, yang sebenarnya telah terjadi dalam waktu yang cukup lama, hanya saja tidak terdeteksi jika tidak menunjukkan perilaku tertentu.

2.2.3. Sumber-sumber Stres Kerja

Kebanyakan orang menghabiskan waktu untuk bekerja daripada mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya. Wajarlah jika kemudian pekerjaan menjadi sumber utama dari stres. Fakta menunjukkan bahwa stres pekerjaan berdampak pada kesehatan fisik dan mental dari karyawan. Menurut Cooper (dalam Rice, 1999) mengidentifikasikan sumber-sumber stres kerja sebagai berikut :

a. Kondisi pekerjaan Kondisi pekerjaan meliputi :

1) Lingkungan kerja. Kondisi kerja yang buruk berpotensi menjadi penyebab karyawan mudah jatuh sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi, dan menurunnya produktivitas kerja.

2) Overload, dapat dibedakan secara kuantitatif dan kualititatif. Dikatakan overload secara kuantitatif jika banyaknya pekerjaan yang ditargetkan melebihi

(16)

kapasitas karyawan tersebut. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam “tegangan tinggi”. Overload secara kualitatif bila pekerjaan tersebut sangat kompleks dan sulit, sehingga menyita kemampuan teknis dan kognitif karyawan.

3) Deprivational stress, yaitu kondisi pekerjaan yang tidak lagi menantang, atau tidak lagi menarik bagi karyawan. Biasanya keluhan yang muncul adalah kebosanan, ketidakpuasan, atau pekerjaan tersebut kurang mengandung unsur sosial (kurangnya komunikasi sosial).

4) Pekerjaan beresiko tinggi. Jenis pekerjaan yang beresiko tinggi, atau berbahaya bagi keselamatan, misalnya pekerjaan di pertambangan minyak lepas pantai, tentara, dan pemadam kebakaran, berpotensi menimbulkan stres kerja karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan. b. Stres karena peran

Sebagian besar karyawan yang bekerja di perusahaan yang sangat besar, khususnya para wanita yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Masalahnya, wanita bekerja ini menghadapi konflik peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga. Terutama dalam alam kebudayaan Indonesia, wanita sangat dituntut perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik dan benar sehingga banyak wanita karir yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga, sangat berpotensi menyebabkan wanita bekerja mengalami stres.

c. Faktor interpersonal

Hubungan interpersonal di tempat kerja merupakan hal yang sangat penting di tempat kerja. Dukungan dari sesam pekerja, manajemen, keluarga, dan teman-teman diyakini dapat menghambat timbulnya stres. Dengan demikian perlu ada kepedulian pihak manajemen pada karyawannya agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.

(17)

d. Pengembangan karir

Karyawan biasanya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karir kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kebutuhan karyawan untuk berkarir, misalnya sistem promosi yang tidak jelas, kesempatan untuk meningkatkan penghasilan tidak ada, karyawan akan merasa kehilangan harapan, tumbuh perasaan ketidakpastian yang dapat menimbulkan perilaku stres. e. Struktur Organisasi

Struktur organisasi berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan secara kaku, pihak manajemen kurang mempedulikan inisiatif karyawan, tidak melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan, dan tidak adanya dukungan bagi kreativitas karyawan.

f. Tampilan rumah-pekerjaan

Ketika pekerjaan berjalan dengan lancar, tekanan yang ada di rumah cenderung bisa dihilangkan. Bagi kebanyakan orang, rumah sebagai tempat untuk bersantai, mengumpulkan dan membangun kembali kekuatan yang hilang. Tetapi, ketika keheningan terganggu, bisa karena pekerjaan atau konflik di rumah, efek dari stres cenderung meningkat.

2.2.4 Hubungan antara Konflik Peran Ganda dengan Stres Kerja

1. Penelitian yang dilakukan Steve Poelmans (2001) dengan judul “Work Family Conflict as A Mediator Work Stres - Mental Health Relationship”. Hasil dari penelitian itu sendiri adalah menerangkan bahwa konflik peran ganda memiliki pengaruh yang positif dengan stres kerja maupun dalam hubungan dalam dunia kerja maupun masyarakat.

2. Penelitian yang dilakukan Sariati Ahmad dan Martin Skitmore (2003) dengan judul “Work – Family Conflict : A Survey of Singaporean Workers” yang meneliti tentang bagaimana Work – Family Conflict terjadi pada pekerja di Singapura. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa pekerja wanita lebih sering mengalami Work

(18)

– Family Conflict dibandingkan pria. Dalam penelitian ini juga dibahas tentang hubungan antara Work – Family Conflict, Stres, dan kinerja dimana tingkat Work – Family Conflict akan memperngaruhi stres dan kinerja karyawan secara garis lurus.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Afina Murtiningrum, SS (2009) dengan judul “Analisis pengaruh Konflik Pekerjaan – Keluarga Terhadap Stres Kerja dengan Dukungan Sosial Sebagai Variabel Moderasi”. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel konflik pekerjaan – keluarga dengan variabel stres kerja.

4. Penelitian yang dilakukan oleh Nyoman Triaryati (2003) dengan judul “Pengaruh Adaptasi Kebijakan Mengenai Work – Family Conflict terhadap Absen dan Turn Over”, ditemukan bahwa karyawan wanita telah terbukti menderita depresi dan mengalami stres lebih cepat dibandingkan pria, merupakan korban terbesar dalam work-family conflict. Ketika karyawan wanita tersebut menghadapi situasi kerja yang kurang menyenangkan karena tidak adanya adaptasi yang dibutuhkan oleh mereka, maka dengan mudah akan timbul stres yang kemudian berpengaruh pada kepuasan mereka. Dengan dasar penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa work-family conflict akan menimbulkan stres kerja, dan akan terbawa ke tempat kerja. Dan karyawan yang rentan mengalami work-family conflict adalah wanita, karena wanita akan dihadapkan pada pola tradisional yang berbeda dengan laki-laki, meskipun memiliki jenjang karir yang sama, yakni mengurus anak dan keluarga. Sehingga wanita menjadi lebih rentan mengalami stres di tempat kerja, dan akan mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan.

2.3. Perawat

2.3.1. Defenisi Perawat

Sesuai dengan Kepmenkes RI No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan praktik perawat, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik didalam maupun di luar negri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –

(19)

undangan yang berlaku. Dalam menjalankan praktik keperawatan harus senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat juga dituntut melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2003). Menurut Taylor C Lilis C Lemone (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012) perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses penuaan. Sejalan dengan itu ICN (International Council of Nursing), perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan pencegahan penyakit dan pelayanan penderita sakit (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012).

2.3.2. Peran, Fungsi dan Tanggung jawab Perawat

Peran merupakan seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang lain terhadap seseorang, sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran perawat dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar profesi keperawatan dan bersifat konstan.

Menurut Konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 (dalam Sukma Nolo Widyawati, 2012) terdapat beberapa elemen peran perawat profesional, meliputi:

1. Sebagai pemberi asuhan keperawatan

Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Pemberian asuhan keperwatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks.

(20)

2. Sebagai Advokat klien

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga berperan dalam mempertahankan dan melingungi hak – hak pasien.

3. Sebagai Edukator (Pendidik)

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

4. Sebagai Koordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencakan serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan kesehatan dapat terserah serta sesuai dengan kebutuhan klien. 5. Sebagai Kolaborator

Peran ini dilakukan karena perawat bekerja melalui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapi, ahli gizi, dan lain – lain dengan berupaya mengidektifikasi pelayanan keperawatan yang diperlukan.

6. Sebagai Konsultan

Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

7. Sebagai Pemabaharu

Perawat mengadakan perencanaan, kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan.

Menurut Henderson (dalam Chris Brooker, 2005), peran perawat adalah membantu individu, sakit atau sehat, dalam melakukan tindakan – tindakan yang

(21)

berperan untuk kesehatan dan kesembuhan (atau kematian yang damai), tindakan – tindakan itu akan dilakukan sendiri oleh individu tersebut seandainya ia memiliki kekuatan, kemauan, atau pengetahuan. Perawat melakukan hal ini sedemikian rupa sehingga individu tersebut memperoleh kemandirian secepat mungkin.

Fungsi adalah suatu pekerjaan yang harus dilaksanakan sesuai dengan perannya, fungsi dapat berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Ruang lingkup dan fungsi keperawatan semakin berkembang dengan fokus manusia tetap sebagai sentral pelayanan keperawatan. Bentuk asuhan yang menyeluruh dan utuh, dilandasi keyakinan tentang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual yang unik dan utuh (Kusnanto, 2003).

Adapun fungsi perawat terdiri dari: 1. Fungsi Independen

Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi KDM.

2. Fungsi Dependen

Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana.

3. Fungsi Interdependen

Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara satu tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainnya.

(22)

asuhan/pelayanan keperawatan, meningkatkan ilmu pengetahuan dan meningkatkan diri sebagai profesi. Tanggung jawab dalam memberi asuhan keperawatan kepada klien mencakup aspek bio – psiko – sosial – kultural dan spiritual, dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasarnya dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi:

1. Membantu klien memperoleh kembali kesehatannya;

2. Membantu klien yang sehat untuk memelihara kesehatannya;

3. Membantu klien yang tidak dapat disembuhkan untuk menerima kondisinya; 4. Membantu klien yang menghadapi ajal untuk di perlakukan secara manusiawi

sesuai martabatnya sampai meninggal dengan tenang.

2.4. Wanita Dewasa Muda 2.4.1. Definisi Dewasa Muda

Yang dimaksud dengan dewasa muda adalah kelompok dengan rentang usia antara 20 – 40 tahun (Papalia, Feldman, dan Gross, 2004). Masa dewasa muda merupakan masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa.

2.4.2. Perkembangan Psikososial Dewasa Muda

Perkembangan psikososial dewasa muda dijelaskan oleh Erikson berada pada tahap keenam, yaitu intimacy vs isolation. Pada tahan ini, dewasa muda diharapkan mampu membangun komitmen pribadi yang menuntut adanya pengorbanan dan kompromi. Resolusi pada tahap ini adalah cinta, yang merupakan devosi mutual dua orang yang memutuskan untuk hidup bersama, memiliki dan membesarkan anak. Menurut Erikson (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross, 2004) keputusan tidak memenuhi dorongan prokreasi alamiah akan berpengaruh serius terhadap perkembangan seseorang dewasa muda.

Vaillant (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross, 2004) melalui Grant Studynya menemukan pola tipikal dewasa muda. Pada usia 20 tahun, kebanyakan orang masih didominasi orang tua, di usia 20 – 30 tahun, orang mulai mencapai

(23)

otonomi, berkeluarga, memiliki anak dan menjalin persahabatan. Pada usia 30 – 40 tahun, orang memasuki masa konsolidasi karir, yaitu masa orang bekerja keras sekaligus mengabdikan diri sepenuhnya pada keluarga.

Levinson (dalam Papalia, Olds, Feldman, dan Gross, 2004) sejalan dengan Vaillant, berpendapat bahwa saat seseorang memasuki usia dewasa muda (usia 17 – 33 tahun), orang membangun struktur kehidupan dengan meninggalkan orang tua dan mulai mandiri baik secara finansial maupun emosional, memilih pekerjaan dan pasangan hidup. Pada masa transisi di usia 30 tahun, seseorang mengevaluasi ulang dan memperbaiki hidupnya hingga dimasa kulminasi mulai menetapkan tujuan beserta waktu pencapaiannya. Dalam studinya, Levinson juga menemukan bahwa perempuan melalui masa, fase, dan transisi yang sama, namun pembagian peran tradisional antara perempuan dan laki – laki menyebabkan perempuan dapat menghadapi keterbatasan psikologis dan lingkungan dalam membentuk struktur hidup dan masa transisinya cenderung lebih lama.

Papalia, Olds, Feldman, dan Gross (2004) juga menyebut dewasa muda sebagai masa perubahan drastis dalam hubungan personal. Di masa tersebut, orang membangun, menegosiasi ulang dan memantapkan ikatan relasi berdasarkan cinta dan seksualitas. Erikson memandang perkembangan hubungan intim sebagai tugas penting dewasa muda. Persahabatan selama dewasa muda dan dewasa madya cenderung berpusat pada pekerjaan dan pengasuhan anak, yaitu berbagai rahasia dan saran – saran.

2.4.3. Tugas Perkembangan Dewasa Muda

Papalia, Olds, Feldman, dan Gross (2004) menerangkan pada masa dewasa muda, orang membuat piihan karir sekaligus membentuk hubungan intim untuk seumur hidup. Di masa itu, kebanyakan orang menikah dan menjadi orang tua. Di sisi lain, pekerjaan yang mereka jalani juga menjadi hal penting yang menjadi pusat hidup mereka.

(24)

memperoleh perannya sebagai pekerja. Secara khusus, saat kemudian perempuan dewasa muda memutuskan untuk menikah, ia memperoleh peran sebagai istri. Ketika kemudian anaknya lahir, perempuan memperoleh peran baru sebagai ibu. Semua peran yang dijalani perempuan dewasa muda membawa serta tuntutan dan tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Konflik peran ganda secara teotiris memeiliki resiko tinggi untuk individu dan keluarga karena keberhasilan integrasi pekerjaan dan keluarga merupakan tugas utama selama dewasa muda dan dewasa madya (Gryzwacs dan Bass, 2003).

2.5 Kerangka Berpikir

Berdasarkan uraian dari latar belakang dan teori yang telah dijabarkan, penelitian ini dibuat dan dijalankan karena stroke merupakan penyakit paling berbahaya yang mengancam nyawa seseorang. Dengan demikian seharusnya banyak terdapat rumah sakit yang khusus dalam menangani pasien yang terserang penyakit berbahaya tersebut.

Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di pulau Sumatra yang sangat terkenal akan makanan yang mengandung kolesterol tinggi yang sangat cepat memicu timbulnya penyakit stroke. Maka didirikanlah Rumah Sakit yang khusus melayani pasien stroke di Sumatera Barat, tepatnya di kota Bukittinggi. Rumah sakit tersebut juga dijadikan sebagai pusat rujukan bagi pasien yang terindikasi stroke.

Dalam pengembangan rumah sakit tersebut pastinya dibutuhkan tenaga yang ahli dalam melayani pasiennya. Perawat merupakan tenaga medis yang paling sering berinteraksi dengan para pasien. Di Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi sendiri para perawat telah diberikan pelatihan mengenai bagaimana melayani dan memberikan penyuluhan kepada para pasien yang terserang stroke. Dengan harapan agar mereka dapat menangani pasien stroke dengan baik dan semestinya.

Namun data dilapangan menunjukkan bahwa pasien seringkali mengeluhkan sikap dari perawat di rumah sakit tersebut. Hal ini mencerminkan buruknya kinerja

(25)

dari perawat tersebut. Kinerja menurut peneltian yang dilakukan Yerkes dan Dodson (1908) menunjukkan hubungan yang terbalik dengan stres kerja yaitu, semakin rendah kinerja maka tingkat stres kerja semakin tinggi. Dengan berdasarkan pernyataan di atas peneliti menduga bahwa kinerja perawat yang buruk disebabkan oleh stres kerja yang dialaminya. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pun tergambar beberapa gejala stres kerja yang dialami oleh perawat tersebut. Dari wawancara tersebut juga tergambar apa yang menyebabkan stres kerja tersebut bisa terjadi. Faktor dominan yang terlihat adalah karena sulitnya perawat dalam pembagian perannya.

Perawat cenderung mengeluhkan kesulitannya memenuhi peran gandanya yaitu perannya sebagai ibu di rumah dan perannya sebagai perawat yang bekerja di rumah sakit. Dengan diadakannya penelitian ini akan membuktikan apakah benar terdapat hubungan antara konflik peran ganda yang dialami oleh perawat dengan stres kerja. Penelitian ini penting agar indikasi bisa diatasi dengan baik oleh individu maupun instansi tempat bekerja, mengingat tugas dari perawat berkaitan langsung dengan nyawa pasien yang ditanganinya.

Gambar 2.1 Gambar kerangka Berpikir

Sumber: Diolah Oleh Penulis Banyaknya keluhan yang dilayangkan oleh para pasien mengenai

perawat Kinerja perawat yang buruk Stres kerja menyebabkan buruknya kinerja Konflik peran ganda

diindikasikan sebagai penyebab stres kerja

perawat

(26)

Gambar

Gambar 2.1 Gambar kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini penulis lebih banyak menjelaskan latar belakang mengenai kepuasan pelanggan pada NC Tours and Travel , rumusan permasalahan mengenai pengaruh

Masih banyak terlihat mahasiswa yang sering melakukan penundaan menyelesaikan tugas dari dosen, menunda–nunda membuat laporan hasil penelitian, Sistem Kebut Semalam (SKS),

Berkaitan dengan regulasi yang mengatur tentang biaya pernikahan, terdapat perubahan yang mendasar. Sebelumnya, biaya pencatatan nikah dan rujuk diatur dalam PP. 48 Tahun 2004

Langkah pertama bertujuan untuk memahami peran dari infrastruktur yang ada untuk nantinya dilakukan analisa infrastruktur pada pengembangan KMS yang akan diterapkan. Berikut

Simpulan dari penelitian pengembangan ini yakni: (1) Tahap-tahap dalam pengembangan media pembelajaran berbasis e-learning menggunakan program Moodle pada tema Hujan

Untuk mengetahui karakteristik dari material beton kedap suara dengan pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit, semen PC, dan pasir sebagai bahan baku utamanya... 1.3

Hasil evaluasi atas sub komponen “Pemenuhan Evaluasi” menunjukkan nilai sebesar 1,88 dari nilai maksimal 2,00, dengan uraian sebagai berikut:. a) Dinas Pekerjaan Umum

Puji syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan YME, karena dengan karunia- Nya saya dapat menyelesaiakan tugas akhir saya yang berjudul “Tanggapan Mahasiswa Terhap