• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Isu mutakhir dalam pembelajaran matematika saat ini adalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Isu mutakhir dalam pembelajaran matematika saat ini adalah"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Isu mutakhir dalam pembelajaran matematika saat ini adalah mengembangkan High-Order Thinking Skills (HOTS) dan menjadikannya sebagai tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Pernyataan ini antara lain didukung oleh The National Education Association Research Division (Ghokhale, 1997: 1): “Student Acquisition of high-order thinking skills is now a nation goal”. Sejalan dengan hal itu, salah satu harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah dimilikinya kemampuan berpikir matematis, khususnya berpikir matematis tingkat tinggi. Kemampuan ini sangat diperlukan siswa, terkait dengan kebutuhan siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, kemampuan berpikir matematis terutama yang menyangkut doing math (aktivitas matematika) perlu mendapatkan perhatian khusus dalam proses pembelajaran matematika.

High-order thinking bersifat non algoritmik, kompleks, melibatkan

kemandirian dalam proses berpikir, sering melibatkan suatu ketidakpastian sehingga membutuhkan pertimbangan dan interpretasi, melibatkan kriteria yang beragam yang kadang menimbulkan konflik dan menghasilkan solusi yang bisa beragam, serta membutuhkan suatu usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukannya (Resnick, 1987; Arends, 2004). Menurut Schoenfeld (Henningsen

(2)

2

dan Stein, 1997), kegiatan berpikir matematis tingkat tinggi itu meliputi: mencari dan mengeksplorasi pola, memahami struktur dan hubungan matematis, menggunakan data, merumuskan dan menyelesaikan masalah, bernalar analogis, mengestimasi, menyusun alasan rasional, menggeneralisasi, mengkomunikasikan ide-ide matematis, dan memeriksa kebenaran jawaban.

Saat ini, pembelajaran matematika pada umumnya menekankan pendekatan yang berorientasi pada perubahan dan mengenalkan pentingnya melibatkan siswa dalam memanfaatkan matematika melalui suatu proses. Sebagaimana didukung oleh penganut perubahan dalam pergerakan pendidikan matematika di seluruh dunia, pembelajaran matematika seharusnya tidak lagi berfokus pada pencapaian keahlian rutin tetapi lebih membantu pada pengembangan keahlian yang bersifat adaptip (Kilpatrick et al., 2001; Verschaffel et al., 2007). Keahlian rutin adalah kemampuan untuk mengerjakan tugas-tugas

matematika sekolah dengan cepat dan teliti menggunakan strategi standar yang diajarkan di sekolah tanpa pengertian. Sedangkan keahlian adaptip mengacu pada kemampuan untuk memecahkan tugas-tugas matematis secara efisien, kreatif, dan fleksibel dengan strategi pemecahan yang berbeda dan bermakna ( Baroody & Dowker, 2003).

Sebagai contoh, dalam standar National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) dikatakan bahwa pembelajaran matematika memuat proses

termasuk di dalamnya adalah siswa memecahkan masalah dunia nyata dalam konteks yang bermakna, mengkomunikasikan ide-idenya dengan bahasa dan simbol matematis, membuat konjektur dan menetapkan kebenaran solusi yang

(3)

3

diperolehnya. Selain itu siswa diharapkan dapat mengkoneksikan apa yang dilakukan di dalam kelas dengan kehidupan mereka sehari-hari, dan merepresentasikan konsep-konsep matematis sehingga mereka dapat memandang matematika sebagai suatu yang terintegrasi, bukan sebagai rangkaian ide-ide yang kelihatannya tidak berkaitan .

Menurut Anderson dan Bobis (2005), dalam silabus matematika untuk siswa sekolah dasar New South Wales yang terdapat dalam the Board of Studies in New South Wales (BOS, NSW) tahun 2002. Dikatakan bahwa pembelajaran

matematika merupakan proses Working Mathematically yang menyertakan lima proses yang saling berhubungan yaitu questioning, applying strategies, communicating, reasoning and reflecting.

Demikian pula dalam Peraturan Mendiknas No 23 tahun 2006 tentang standar kelulusan siswa, disebutkan bahwa untuk pelajaran matematika di SMP standar yang diharapkan adalah siswa menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai potensi yang dimilikinya, dan menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Standar kelulusan siswa di atas, digunakan dalam mengukur kemampuan yang diperoleh siswa setelah belajar matematika. Menurut Sumarmo (2006), pembelajaran matematika diarahkan untuk mengembangkan (1) kemampuan berfikir matematis yang meliputi: pemahaman, pemecahan masalah, penalaran, komunikasi, dan koneksi matematis; (2) kemampuan berfikir kritis, serta sikap

(4)

4

yang terbuka dan obyektif, serta (3) disposisi matematis atau kebiasaan, dan sikap belajar berkualitas yang tinggi.

Dalam belajar matematika siswa seringkali menemukan soal yang tidak dengan segera dapat dicari solusinya, sementara siswa diharapkan dapat menyelesaikan soal tersebut. Untuk itu dia perlu berpikir atau bernalar, menduga atau memprediksi, mencari rumusan yang sederhana, baru kemudian membuktikan kebenarannya. Karena itu siswa perlu memiliki ketrampilan berpikir, sehingga dapat menemukan cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Proses berpikir yang dijalani siswa untuk menyelesaikan masalah matematika berkaitan dengan kemampuan mengingat, mengenali hubungan antar konsep, menyadari adanya hubungan sebab akibat, analogi atau perbedaan. Hal ini yang kemudian memungkinkan siswa memunculkan gagasan-gagasan yang bersifat original, lancar dan luwes dalam mengambil kesimpulan serta memikirkan kemungkinan penyelesaian lainnya.

Proses berpikir di atas termuat dalam kegiatan berpikir, khususnya berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Berpikir kritis merupakan suatu proses yang bermuara pada pembuatan kesimpulan atau keputusan yang logis tentang apa yang harus diyakini dan tindakan apa yang harus dilakukan. Berpikir kritis bukan untuk mencari jawaban semata, tetapi yang lebih utama adalah menanyakan kebenaran jawaban, fakta, atau informasi yang ada. Dengan demikian bisa ditemukan alternatif atau solusi terbaiknya. Berpikir kreatif merupakan suatu proses memikirkan berbagai gagasan dalam menghadapi suatu persoalan atau masalah,

(5)

5

bermain dengan gagasan-gagasan atau unsur-unsur dalam pikiran dan dapat dipandang sebagai produk dari hasil pemikiran atau perilaku manusia. Berpikir reflektif merupakan suatu proses yang membutuhkan ketrampilan-ketrampilan yang secara mental memberi pengalaman dalam memecahkan masalah, mengidentifikasi apa yang sudah diketahui, memodifikasi pemahaman dalam rangka memecahkan masalah, dan menerapkan hasil yang diperoleh pada situasi-situasi yang lain.

Kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan reflektif sangat dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan masalah. Karena untuk menyelesaikan masalah siswa harus mampu mengeksplorasi masalah dengan beberapa interpretasi, menangkap masalah sebagai tanggapan terhadap suatu situasi, dan mengemukakan pendapat dirinya sendiri. Selanjutnya siswa perlu merencanakan strategi penyelesaian masalah dari berbagai sumber, mencetuskan banyak gagasan, membandingkan strategi solusi dengan pengalaman atau teori terdahulu. Ketika strategi sudah dipilih oleh siswa, maka siswa perlu mengkonstruksi gagasan dan membuat kesimpulan. Dalam mengembangkan suatu gagasan siswa dapat menambah atau memerinci secara detil suatu obyek, gagasan, atau situasi. Setelah solusi diperoleh, siswa juga perlu memeriksa kembali solusi yang telah dikerjakan, termasuk mengembangkan strategi alternatif. Hal ini membutuhkan kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang bervariasi, melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, termasuk mengubah cara pendekatan.

Sebagai contoh, setelah siswa kelas VIII mendapat pembelajaran tentang beberapa metode penyelesaian sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV),

(6)

6

para siswa diberi tugas untuk menentukan metode SPLDV yang paling tepat digunakan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan dan mengapa mereka memilih metode itu. Para siswa harus merefleksi pemahaman mereka terdahulu dengan pengetahuan mereka yang baru sehingga dapat digunakan untuk situasi itu dan pada akhirnya mereka mengembangkan suatu strategi untuk memperoleh solusi pada isu tersebut. Dengan demikian, kemampuan berpikir K2R matematis amat penting untuk dikembangkan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) hingga ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka memecahkan masalah matematis,

Kemampuan pemecahan masalah matematis amat penting karena pemecahan masalah merupakan tujuan umum pengajaran matematika bahkan menurut Branca (dalam Sumarmo, 1993), pemecahan masalah merupakan jantungnya matematika. Kemampuan matematis siswa secara umum dapat digambarkan oleh kemampuannya dalam memecahkan masalah matematis.

Kemampuan pemecahan masalah matematis dalam kerangka kurikulum matematika Singapura digambarkan sebagai sebuah segilima beraturan dengan masing-masing sisi menggambarkan komponen yang mendukungnya, yakni: (1) Konsep, (2) Pemrosesan (termasuk di dalammya adalah keterampilan berpikir dan heuristik), (3) Metakognisi (termasuk di dalamnya adalah kemandirian belajar), (4) Sikap, dan (5) Keterampilan. Apabila kelima komponen ini dikuasai dengan baik maka kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dicapai.

Namun kenyataan menunjukkan bahwa kemampuan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dalam memecahkan masalah matematis masih belum memuaskan. Hal ini antara lain dapat dilihat pada hasil studi Trends in

(7)

7

International Mathematics and Science Study (TIMSS) serta dalam Program for

International Students Assessment (PISA). Secara internasional dua studi ini

merupakan indikator hasil belajar matematika.

Pada kompetisi TIMSS, peserta dari Indonesia masih lemah dalam menyelesaikan soal-soal tidak rutin yang berkaitan dengan menetapkan kebenaran atau pembuktian, pemecahan masalah yang memerlukan penalaran matematis, menemukan generalisasi atau konjektur, dan menemukan hubungan antara data-data atau fakta yang diberikan. Namun relatif lebih baik dalam menyelesaikan soal-soal tentang fakta dan prosedur. Akibatnya, pada studi TIMSS 2007 posisi prestasi belajar anak-anak Indonesia berada pada urutan 36 dari 48 Negara peserta (Martin et al, 2008). Bila hal ini dikaitkan dengan komponen pemecahan masalah yang terdiri atas lima komponen di atas, maka siswa Indonesia menunjukkan kelemahan pada komponen pemrosesan tetapi cukup baik dalam komponen konsep dan keterampilan.

Pada studi PISA 2006 untuk siswa kelas VIII, Indonesia berada pada peringkat 52 dari 57 negara (PISA, 2006). Soal-soal yang diajukan kepada siswa pada studi ini memang tidak terkait langsung dengan topik-topik pada kurikulum sekolah, tetapi lebih difokuskan pada mathematics literacy yang ditunjukkan oleh kemampuan siswa dalam menggunakan matematika yang mereka pelajari untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari yang membutuhkan kemampuan penalaran dan komunikasi. Hal ini pun menunjukkan siswa Indonesia lemah dalam komponen pemrosesan.

(8)

8

Untuk komponen sikap, berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap siswa SMP di Indonesia secara umum adalah positif. Di Propinsi Jawa Barat, hasil studi menunjukkan bahwa sikap, minat dan motivasi dalam pelajaran matematika adalah positif (Bagus, 2006; Ibrahim, 2006; Ulya, 2007). Demikian pula halnya dengan hasil penelitian terhadap siswa SMP di luar pulau Jawa juga menunjukkan bahwa sikap siswa dalam pembelajaran matematika sangat positif (Putri, 2006; Noer, 2007).

Dengan demikian lemahnya kemampuan pemecahan masalah matematis siswa SMP di Indonesia diduga terletak pada komponen pemrosesan yang termasuk di dalammya adalah keterampilan berpikir dan heuristik dan pada komponen metakognisi yang termasuk di dalamnya adalah kemandirian belajar. Oleh karena itu dalam penelitian ini kemampuan berpikir K2R matematis siswa dan kemandirian belajar siswa perlu ditingkatkan.

Lemahnya kemampuan K2R matematis siswa SMP khususnya di kota Bandar Lampung diperoleh dari studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti, yang menunjukkan bahwa umumnya kemampuan berpikir K2R matematis siswa masih rendah. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: (1) kemampuan berpikir kritis rata-rata sebesar 42 dengan nilai minimum 16 dan nilai maksimum 63, (2) kemampuan berpikir kreatif rata-rata sebesar 33,13 dengan nilai minimum 11 dan nilai maksimum 63, (3) kemampuan berpikir reflektif rata-rata sebesar 31,43 dengan nilai minimum 16 dan nilai maksimum 52. Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan K2R matematis siswa umumnya masih dibawah 70 persen dari skor ideal.

(9)

9

Melihat kondisi seperti ini, perlu dilakukan upaya-upaya untuk terus memperbaiki dan meningkatkan mutu pembelajaran matematika. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh tenaga pendidik adalah melakukan inovasi dalam pembelajaran. Ausubel (dalam Ruseffendi, 1992) juga menyarankan sebaiknya dalam pembelajaran digunakan pendekatan yang mengunakan metode pemecahan masalah, inquiri, dan metode belajar yang dapat menumbuhkan berpikir kreatif dan kritis. Dengan adanya inovasi, terutama dalam perbaikan metode dan cara menyajikan materi pelajaran, diharapkan kemampuan berpikir K2R matematis siswa dapat ditingkatkan.

Perbaikan dalam metode dan cara menyajikan pelajaran perlu dilakukan karena masih banyak ditemukan dalam pembelajaran matematika guru matematika yang menganut paradigma transfer of knowledge. Dalam hal ini interaksi dalam pembelajaran hanya terjadi satu arah yaitu dari guru sebagai sumber informasi dan siswa sebagai penerima informasi. Siswa tidak diberikan banyak kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan belajar-mengajar (KBM) di kelas, dengan kata lain pembelajaran lebih berpusat pada guru, bukan pada siswa. Pembelajaran matematika yang dilaksanakan dewasa ini orientasinya lebih kepada hasil dan bukan kepada proses.

Menurut Noer (2009), hasil wawancara yang dilakukan terhadap guru matematika SMP di Bandar Lampung menunjukkan bahwa pada umumnya model pembelajaran yang digunakan oleh guru masih bersifat konvensional. Hal ini dilakukan dengan alasan cara mengajar seperti itu yang paling tepat digunakan untuk mengejar target kurikulum dan mengingat pada ujian akhir siswa akan

(10)

10

dievaluasi dengan soal berbentuk pilihan berganda. Sehingga metode yang tepat adalah dengan melatih siswa mengerjakan soal-soal rutin. Selain itu hasil wawancara kepada siswa menunjukkan bahwa sebagian besar guru mengajar dengan urutan langkah menjelaskan materi, memberi contoh, dan memberi latihan soal.

Hasil penelitian Sumarmo, dkk (dalam Hulukati, 2005) menunjukkan gambaran bahwa pembelajaran matematika dewasa ini antara lain memiliki karakteristik sebagai berikut: Pembelajaran berpusat pada guru, pendekatan yang digunakan lebih bersifat ekspositori, guru lebih mendominasi proses aktivitas kelas, latihan-latihan yang diberikan lebih banyak yang bersifat rutin. Sementara itu, kurikulum yang disepakati untuk digunakan sebagai pedoman pembelajaran menuntut sebuah proses pembelajaran yang berpusat pada siswa, mengembangkan kreativitas siswa, menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, mengembangkan beragam kemampuan yang bermuatan nilai, menyediakan pengalaman belajar yang beragam dan belajar melalui berbuat. Karena itu harus ada upaya keras dari semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan untuk bersama-sama berusaha memperbaiki proses KBM yang terjadi pada saat ini.

Dalam pembelajaran matematika Self-Regulated Learning (SRL) atau sering disebut dengan istilah kemandirian belajar merupakan bagian penting dalam pembelajaran matematika. Karena saat ini konsep tentang belajar matematika telah berubah dari pemberian suatu konsep dan prosedur secara pasif dan tidak kontekstual menjadi pembentukan makna secara aktif sebagai hasil mengaitkan ide-ide baru pada pemahaman terdahulu. Fokus dalam pendidikan

(11)

11

matematika telah berubah dari muatan matematika menjadi bagaimana siswa belajar matematika secara efektif. Hal ini menyiratkan bahwa siswa harus menjadi siswa yang mandiri dan mendorong program matematika sekolah dalam menciptakan siswa yang memiliki kemandirian dalam belajar. Siswa membangun pemahaman yang mendalam dalam belajar matematika ketika mereka dapat mengontrol belajarnya, dengan cara menentukan tujuan belajar, memonitor kemajuannya, menilai dan merefleksi proses berpikirnya, percaya diri terhadap kemampuannya, dan berkeinginan dan tekun dalam menghadapi kesulitan.

Menyikapi masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan matematika, dan harapan yang ingin dicapai dalam pembelajaran matematika, maka diperlukan upaya yang inovatif untuk menanggulanginya. Siswa perlu dibiasakan untuk mampu mengkonstruksi pengetahuannya dan mampu mentranformasikan pengetahuannya dalam situasi lain yang lebih kompleks sehingga pengetahuan tersebut akan menjadi milik siswa itu sendiri. Proses mengkonstruksi pengetahuan dapat dilakukan sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, dan juga dapat berupa hasil penemuan yang melibatkan lingkungan sebagai faktor dalam proses perolehan pengetahuannya.

Strategi pembelajaran menurut faham konstruktivisme pada umumnya memiliki ciri antara lain penggunaan waktu yang lebih banyak untuk mengembangkan pemahaman yang akan meningkatkan kemampuan siswa untuk mentransfer pengetahuan, melibatkan siswa dalam proses belajar sehingga konsep menjadi lebih konkrit, penerapan kelompok kecil, pemberian masalah non rutin

(12)

12

dapat mendorong siswa untuk memberdayakan pengetahuan yang dimilikinya dan memicu rasa ingintahunya.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang didasari oleh faham konstruktivisme adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Pembelajaran ini memberikan suatu lingkungan pembelajaran dengan masalah yang menjadi basisnya, artinya pembelajaran dimulai dengan masalah kontekstual yang harus dipecahkan. Masalah dimunculkan sedemikian hingga siswa perlu menginterpretasi masalah, mengumpulkan informasi yang diperlukan, mengevaluasi alternatif solusi, dan mempresentasikan solusinya. Ketika siswa mengembangkan suatu metode untuk menyusun suatu prosedur, mereka mengintegrasikan pengetahuan konsep dengan keterampilan yang dimilikinya. Dengan demikian secara keseluruhan siswa yang membangun pengetahuan mereka, dengan bantuan pengajar selaku fasilitator.

Lingkungan belajar dengan PBM memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan matematis mereka, untuk menggali, mencoba, mengadaptasi, dan merubah prosedur penyelesaian, termasuk memverifikasi solusi, yang sesuai dengan situasi yang baru diperoleh. Sementara dalam kelas konvensional siswa selalu dihadapkan dengan teori, contoh, dan latihan yang terbatas implementasinya dalam situasi yang tidak dikenal.

Untuk menunjang penerapan pembelajaran berbasis masalah, perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat meningkatkan kemampuan matematika siswa. Diantaranya adalah peringkat sekolah, pengetahuan awal matematika siswa, perbedaan gender siswa. Faktor-faktor ini diprediksi akan memberi

(13)

13

pengaruh terhadap hasil penerapan pembelajaran berbasis masalah dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir K2R matematis siswa.

Secara normal, tiap individu memiliki potensi dasar mental yang berkembang dan dapat dikembangkan. Potensi dasar itu berupa minat, dorongan ingin tahu, dorongan ingin membuktikan kenyataan, dorongan ingin menyelidiki, dan dorongan ingin menemukan sendiri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap orang memiliki kemampuan kreatif dengan tingkat yang berbeda-beda. Dengan demikian setiap anak akan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam memahami matematika.

Dalam suatu kelompok siswa yang dipilih secara khusus akan dijumpai siswa yang berkemampuan baik, cukup dan kurang. Kemampuan siswa yang heterogen itu bukanlah bawaan sejak lahir tetapi dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Oleh karena itu lingkungan pembelajaran perlu dikondisikan sehingga setiap siswa memperoleh kesempatan untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Bagaimanapun penerapan pembelajaran berbasis masalah pada sekolah dengan peringkat yang berbeda, diprediksi bahwa pencapaian siswa akan berbeda. Pada umumnya siswa dengan kemampuan yang lebih tinggi akan masuk pada sekolah dengan kualifikasi tinggi sedangkan siswa yang memiliki kemampuan lebih rendah akan masuk pada sekolah yang memiliki kualifikasi lebih rendah.

Bagi siswa pandai, model pembelajaran yang diterapkan bukan menjadi faktor utama dalam mengembangkan kemampuannya, sehingga diprediksi bahwa peningkatan kemampuan berpikir K2R matematis siswa relatif kurang signifikan.

(14)

14

Sedangkan untuk siswa yang memiliki kemampuan lebih rendah (sedang) diprediksi bahwa dengan penerapan pembelajaran berbasis masalah kemampuan berpikir K2R matematisnya akan lebih berkembang. Namun demikian, penerapan pembelajaran berbasis masalah berpeluang lebih besar untuk berhasil pada siswa pandai bila dibandingkan pada siswa yang berkemampuan sedang dan kurang. Demikian pula halnya pada siswa yang memiliki kualifikasi tinggi berpeluang lebih berhasil bila dibandingkan pada siswa berkualifikasi sedang. Oleh karena itu untuk penelitian ini tidak melibatkan sekolah peringkat rendah.

Perbedaan gender masih merupakan kajian yang pantas untuk diteliti. Mengingat saat ini banyak yang mengatakan bahwa siswa perempuan secara kelompok lebih baik daripada laki-laki khususnya dalam pembelajaran matematika. Akan tetapi pada tahun-tahun terakhir, bukti dari perbedaan gender dalam kinerja menjadi lebih samar-samar, dengan perempuan sering dilaporkan sama dengan kinerja laki-laki. Pada beberapa riset terakhir menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan prestasi yang signifikan antara siswa laki-laki dan perempuan.

Bila dilihat dari segi usia anak SMP sebagian besar siswa memang masih berada pada tahap berpikir operasi konkrit, akan tetapi siswa kelas III SMP sudah mulai beranjak pada tahap operasi formal. Sebab itu tahap berfikir formal “aman” bila dikenakan pada murid SLTP kelas III ke atas. Anak-anak pada tahap operasi formal antara lain telah dapat mempertimbangkan banyak pandangan sekaligus, misalnya ia dapat memandang perbuatannya secara objektif dan merefleksikan proses berpikirnya, dalam diskusi ia dapat membedakan argumentasi dan fakta.

(15)

15

Masa ini merupakan transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, dan pada masa ini mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang tidak tergantung pada orang tuanya (Agustiani, 2006: 29). Ini berarti siswa pada masa ini merupakan awal penentuan arah kemana mereka nantinya, sebab sudah mulai berusaha mengembangkan sifat kemandiriannya.

Memperhatikan ciri-ciri tersebut, maka sangat memungkinkan bagi kita untuk menerapkan PBM yang menuntut kemandirian dalam belajar pada siswa kelas III SMP. Kemandirian belajar siswa merupakan hal yang turut menentukan keberhasilan penerapan pembelajaran berbasis masalah dan turut menentukan pencapaian hasil belajar siswa. Hal ini cukup beralasan karena pembelajaran yang melibatkan proses pemecahan masalah sangat memerlukan kemandirian siswa dalam belajar. Siswa dari sekolah peringkat tinggi pada umumnya memiliki kemandirian belajar yang tinggi bila dibandingkan siswa dari sekolah yang berasal dari sekolah peringkat sedang apalagi yang berasal dari sekolah peringkat rendah. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa pada umumnya siswa dari sekolah peringkat tinggi lebih mampu mengelola belajarnya baik dari segi waktu, strategi, dan dalam proses berpikir.

Dari uraian di atas, dipilihlah suatu penelitian dengan judul: Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis, Kreatif dan Reflektif (K2R) Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Pembelajaran Berbasis Masalah yang diambil diperkirakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir K2R matematis siswa. Demikian pula, analisis keterkaitan

(16)

16

kemandirian belajar siswa serta latar belakang mereka (dalam hal ini tingkat pengetahuan awal, perbedaan gender dan peringkat sekolah) dengan kemampuan berpikir K2R matematis siswa.

1.2 Rumusan Masalah

Mengacu pada latar belakang di atas, maka masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan berpikir K2R matematis dan kemandirian belajar siswa yang mengkuti PBM dan siswa yang belajar secara konvensional ditinjau dari peringkat sekolah (tinggi, sedang), pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah), dan perbedaan gender (laki-laki, perempuan) ?”

Dari rumusan masalah di atas, dapat dijabarkan pertanyaan penelitian secara rinci sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (tinggi, sedang), (c) pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah), dan (d) perbedaan gender (laki-laki, perempuan)?

2. Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (tinggi, sedang), (c) pengetahuan

(17)

17

awal matematika (tinggi, sedang, rendah), dan (d) perbedaan gender (laki-laki, perempuan)?

3. Bagaimanakah kualitas peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (tinggi, sedang), (c) pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah), dan (d) perbedaan gender (laki-laki, perempuan)?

4. Bagaimanakah kualitas kemandirian belajar siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (tinggi, sedang), (c) pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah), dan (d) perbedaan gender (laki-laki, perempuan)?

5. Apakah terdapat interaksi antara peringkat sekolah dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir K2R matematis dan kemandirian belajar siswa?

6. Apakah terdapat interaksi antara PAM dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir K2R matematis dan kemandirian belajar siswa?

7. Apakah terdapat interaksi antara perbedaan gender dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir K2R matematis dan kemandirian belajar siswa?

(18)

18

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara komprehensif tentang kualitas peningkatan kemampuan berpikir K2R matematis serta kemandirian belajar siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah bila dibandingkan dengan siswa yang mendapat pembelajaran konvensional pada: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (tinggi, sedang), (c) pengetahuan awal matematika (tinggi, sedang, rendah), dan (d) perbedaan gender (laki-laki, perempuan).

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dalam penelitian ini diharapkan akan dihasilkan suatu model pembelajaran matematika yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir K2R matematis siswa SMP. Dengan demikian hal ini merupakan sumbangan berharga bagi upaya peningkatan kualitas pendidikan matematika khususnya, dan kualitas SDM umumnya dalam menjawab tuntutan masa depan.

1.5 Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan penafsiran terhadap apa yang akan diteliti, maka berikut ini dituliskan definisi operasional dalam penelitian ini.

(1) Pembelajaran matematika berbasis masalah adalah pembelajaran yang diawali dengan menyajikan masalah matematika untuk memperoleh pemahaman

(19)

19

konsep, relasi antar konsep, menerapkan konsep, mengkomunikasikan konsep, dan memecahkan masalah.

(2) Berpikir kritis matematis adalah kemampuan berpikir matematis tingkat tinggi yang meliputi mengeksplorasi, mengidentifikasi dan menetapkan kebenaran konsep, menggeneralisasi, mengklarifikasi dan resolusi.

a. Mengeksplorasi adalah kemampuan menelaah suatu masalah dari berbagai sudut pandang, membangun makna, dan menyelidiki ide matematis.

b. Mengidentifikasi dan menetapkan kebenaran konsep adalah kemampuan membandingkan dan mengaitkan suatu konsep dengan konsep lain serta memberi alasan terhadap penggunaan konsep.

c. Menggeneralisasi adalah kemampuan untuk melengkapi data atau informasi yang mendukung, dan menentukan aturan umum berdasarkan data yang diamati.

d. Mengklarifikasi dan resolusi adalah kemampuan mengevaluasi dan memeriksa suatu algoritma dan mengklarifikasi dasar konsep yang digunakan serta mengembangkan strategi alternatif dalam pemecahan masalah.

(3) Berpikir kreatif matematis adalah kemampuan berpikir yang meliputi kelancaran (fluency), keluwesan (flexibility), keterperician (elaboration), kepekaaan (sensitivity) dan keaslian (Originality). Uraian mengenai aspek kemampuan berpikir kreatif ini adalah sebagai berikut:

a. Kelancaran (fluency) adalah kemampuan mencetuskan banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan.

(20)

20

b. Keluwesan (flexibility) adalah kemampuan menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda, mencari banyak alternatif yang berbeda, dan mampu mengubah cara pendekatan.

c. Keterperincian (elaboration) adalah kemampuan mengembangkan suatu gagasan, menambah atau memerinci secara detil suatu obyek, gagasan, atau situasi.

d. Kepekaan (sensitivity) adalah kemampuan menangkap dan menghasilkan masalah-masalah sebagai tanggapan terhadap suatu situasi.

e. Keaslian (Originality) adalah kemampuan mengemukakan pendapat sendiri sebagai tanggapan terhadap suatu situasi yang dihadapi.

(4) Kemampuan berpikir reflektif matematis adalah kemampuan mengidentifikasi apa yang sudah diketahui, menerapkan pengetahuan yang dimiliki dalam situasi-situasi yang lain, memodifikasi pemahaman berdasarkan informasi dan pengalaman-pengalaman baru yang meliputi 3 fase yaitu:1) Reacting, 2) Comparing, dan 3) Contemplating. Adapun uraian mengenai fase ini adalah

sebagai berikut:

a. Reacting (Berpikir reflektif untuk aksi): bereaksi dengan perhatian pribadi terhadap peristiwa/situasi/masalah matematis, dengan berfokus pada sifat alami situasi.

b. Comparing (Berpikir reflektif untuk evaluasi): Berpusat pada analisis dan klarifikasi pengalaman individual, makna, dan asumsi-asumsi untuk mengevaluasi tindakan-tindakan dan apa yang diyakini dengan cara

(21)

21

membandingkan reaksi dengan pengalaman yang lain, seperti mengacu pada suatu prinsip umum, suatu teori.

c. Contemplating (Berpikir Reflektif untuk inkuiri kritis): mengutamakan pengertian pribadi yang mendalam yang bersifat membangun terhadap permasalahan matematis atau berbagai kesulitan. Dalam hal ini memfokuskan pada suatu tingkatan pribadi dalam proses-proses seperti seperti menguraikan, menginformasikan, mempertentangkan, dan merekonstruksi situasi-situasi.

(5) Kemandirian belajar adalah perilaku dalam belajar yang memiliki ciri: 1) menganalisis kebutuhan belajar matematika dan merancang program belajar, 2) memilih dan menerapkan strategi belajar, 3) memantau dan mengevaluasi apakah strategi telah dilaksanakan dengan benar, memeriksa hasil, dan merefleksi untuk memperoleh umpan balik.

1.6 Hipotesis Penelitian

Sejalan dengan masalah penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis penelitian ini adalah:

1. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (1. tinggi, 2. sedang), (c) pengetahuan awal matematika (1. tinggi, 2. sedang, 3. rendah), dan (d) perbedaan gender (1. laki-laki, 2. perempuan).

(22)

22

2. Terdapat interaksi antara peringkat sekolah dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

3. Terdapat interaksi antara pengetahuan awal matematika dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir kritis matematis.

4. Terdapat interaksi antara perbedaan gender dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir kritis matematis siswa.

5. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (1. tinggi, 2. sedang), (c) pengetahuan awal matematika (1. tinggi, 2. sedang, 3. rendah), dan (d) perbedaan gender (1. laki-laki, 2. perempuan).

6. Terdapat interaksi antara peringkat sekolah dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

7. Terdapat interaksi antara pengetahuan awal matematika dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

8. Terdapat interaksi antara perbedaan gender dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.

9. Kualitas peningkatan kemampuan berpikir reflektif matematis siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (1. tinggi, 2. sedang), (c) pengetahuan awal

(23)

23

matematika (1. tinggi, 2. sedang, 3. rendah), dan (d) perbedaan gender (1. laki-laki, 2. perempuan).

10. Terdapat interaksi antara peringkat sekolah dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir reflektif matematis siswa.

11. Terdapat interaksi antara pengetahuan awal matematika dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir reflektif matematis siswa.

12. Terdapat interaksi antara perbedaan gender dan pendekatan pembelajaran pada kemampuan berpikir reflektif matematis siswa.

13. Kualitas kemandirian belajar siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional ditinjau dari: (a) keseluruhan siswa; (b) peringkat sekolah (1. tinggi, 2. sedang), (c) pengetahuan awal matematika (1. tinggi, 2. sedang, 3. rendah), dan (d) perbedaan gender (1. laki-laki, 2. perempuan).

14. Terdapat interaksi antara peringkat sekolah dan pendekatan pembelajaran pada kemandirian belajar siswa.

15. Terdapat interaksi antara pengetahuan awal matematika dan pendekatan pembelajaran pada kemandirian belajar siswa.

16. Terdapat interaksi antara perbedaan gender dan pendekatan pembelajaran pada kemandirian belajar siswa.

Referensi

Dokumen terkait

Penulis mempunyai pemecahan masalah yang dapat dipertimbangkan dalam sistem peminjaman dan pengembalian buku pada perpustakaan SMK Pelita Ciampea Bogor yakni:.

Dimana sebagian besar pendidik di lapangan mengabaikan latar pengetahuan dan kepentingan pembaca (D. K-W-L dikembangakan dan diujiterapkan untuk mengetahui kerangka

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa praktik pengelolaan keuangan desa yang dimulai dari prosedur perencaanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses belajar,

Untuk menguji variabel mediator yang memediasi hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas digunakan analisis uji sobel dengan hasil perhitungan diperoleh

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: pertama, keabsahan akta notaris meliputi bentuk isi, kewenangan pejabat yang membuat, serta pembuatannya harus memenuhi

Atribut-atribut tersebut antara lain adalah bahwa ekologi industri: merupakan suatu pendekatan sistem yang meng- interaksikan antara sistem ekologis dengan in- dustri,