• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Revisi STRATEGI MENYUSUN KULTUR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI RUMAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Makalah Revisi STRATEGI MENYUSUN KULTUR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI RUMAH"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI MENYUSUN KULTUR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI RUMAH

REVISI MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Strategi Pendidikan dan Pembelajaran PAI Dosen Pengampu : Drs. Moh. Muslih, M.Pd., Ph.D.

Disusun oleh:

UBAIDILLAH 2052113021 TRI ASTUTI 2052113022 KUDUNG ISNAINI 2052113023

PROGRAM PASCASARJANA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI STAIN PEKALONGAN

(2)

A. PENDAHULUAN

Islam telah melembagakan sistem keluarga di atas dasar-dasar yang benar yang sesuai dengan berbagai kebutuhan hidup serta keperluan dan perilaku individu-individu. Islam memandang bakat-bakat keluarga yang didapat karena Allah sebagai ada dengan sendirinya atau alamiah. Islam juga mengatur agar keluarga-keluarga kaum Muslim menjadi panutan yang baik serta memiliki unsur-unsur kepemimpinan agamis.1

Anak dalam perspektif Islam merupakan amanah dari Allah swt. Semua orang tua berkewajiban untuk mendidik anaknya agar dapat menjadi insan yang shaleh, berilmu dan bertakwa. Hal ini merupakan suatu wujud pertanggungjawaban dari setiap orang tua anak kepada khaliknya.2

Problema anak lahir dari ketidakpahaman kita sebagai orangtua. Sering orangtua melihat anaknya diam, dan sekadar meneteskan air mata, di saat lingkungannya kurang ramah, kurang hangat, atau tidak nyaman. Sekiranya kita berempati dan dapat menghayati dinamika kehidupan psikisnya, kita akan menyesal karena telah memperlakukan anak secara tidak benar.3

Kebermaknaan hidup seseorang mewujud dalam sikap dan perilaku yang padan dengan nilai kemakhlukannya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi ini. Relevan dengan nilai kediriannya, diyakini benar bahwa manusia adalah makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual.

Perkembangan sikap dan perilaku yang berkaitan erat dengan dimensi-dimensi tersebut perlu dipahami secara dini agar dapat dipersiapkan berbagai upaya yang memfasilitasinya atau iklim lingkungan belajar yang sehat dan kondusif. Perkembangan dimensi-dimensi insani diatas, seiring dengan rentang kehidupannya dari mulai masa konsepsi, bayi, kanak-kanak, anak, remaja, dan dewasa. Rentang kehidupan dari fase yang satu ke fase berikutnya

1 Baqir Sharif al Qarashi, Seni Mendidik Islami; Kiat-kiat Menciptakan Generasi Unggul,

judul asli; The Educational System in Islam, penerjemah; Mustofa Budi Santoso, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), hlm. 51

2 Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik Anak Secara Islami; Judul Asli; Manhajul Islami

fit Tarbiyatil Athfal, (Jakarta: Gema Insani, 2005), cet. XII.

3 Syamsu Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosdakarya,

(3)

memiliki kaitan yang erat dan kualitas perkembangan fase sebelumnya berpengaruh kepada perkembangan fase selanjutnya.4

Sebagaimana yang dikutip oleh Syamsu Yusuf, Imam Ghazali berpendapat bahwa anak dilahirkan dengan membawa fitrah yang seimbang dan sehat. Kedua orang tuanyalah yang pertama kali memberikan pendidikan kepada mereka khususnya pendidikan agama sebagai pendidikan dasar bagi mereka. Demikian pula anak dapat terpengaruh oleh sifat-sifat yang buruk. Ia mempelajari sifat-sifat yang buruk dari lingkungan dimana ia tinggal, dari corak-corak hidup yang memberikan peranan kepadanya dan dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya.5

Dari sini penulis akan mencoba menelusuri peran serta keluarga dalam membentuk pribadi anak di dalam keluarga. Seberapa besar peran keluarga terutama bagi orang tua anak dalam membangun kultur, budaya atau kebiasaan-kebiasaan sesuai ajaran agama Islam di dalam rumah, sehingga dapat membentuk pribadi anak yang memiliki akhlak yang mulia serta benar-benar menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

B. PEMBAHASAN

Orang tua memiliki peran besar dalam membangkitkan semangat belajar anak, karena anak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah daripada di sekolah. Pembentukan watak, kepribadian, moral dan keilmuan dibentuk dari rumah. Untuk itu, orang tua harus dapat menjadi mitra belajar anak di rumah.6 Pendidikan keluarga mengandung dua pemahaman, yaitu

sebagai pendidikan yang berlangsung dalam keluarga sebagai pendidikan bagaimana seharusnya berkeluarga dalam konteks nuclear family dan

extended family. Pendidikan keluarga memiliki tujuan untuk menghadirkan kesejahteraan hidup manusia, apakah sebagai individu maupun dalam kelompok manusia seperti keluarga, lembaga masyarakat, negara maupun

4Ibid., hlm. ix 5Ibid., hlm. 10

6 Jamal Ma’mur Asmani, 7 Tips Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif,

dan Menyenangkan); Menciptakan Metode Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas,

(4)

dunia. Pendidikan keluarga meliputi pemahaman tentang: 1) Keluarga dan kehidupan keluarga. Membahas pengertian keluarga dan fungsi keluarga seperti fungsi biologis, ekonomi, kasih sayang, pendidikan, perlindungan, sosial, rekreasi dan agama. 2) Kehidupan keluarga sebagai lingkungan hidup untuk tumbuh suburnya kehidupan perkawinan dan berkeluarga yang sejahtera. 3) kehidupan keluarga sebagai lingkungan pendidikan keluarga yang membahas arti pendidikan keluarga, tujuan pendidikan keluarga, proses pendidikan keluarga, proses pendidikan dalam keluarga dan lingkup pendidikan dalam lingkungan keluarga.7

Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak yang hidup didunia ini.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

هنارصني وا هنادوهي هاوبأف ةرطفلا ىلع دلوي ا دولوم نمام

هناسجمي وا

(ملسم هاور(

Artinya:

“Tiadalah seorang yang dilahirkan melainkan menurut fitrahnya, maka kedua orang tuanyalah yang me-Yahudikannya atau me-Nasranikannya atau me-Majusikannya.” (HR. Muslim).8

Dari dasar diatas, dalam upaya mendidik atau membimbing anak, orang tua sebagai pendidik awal harus bisa mengarahkan anaknya kepada pendidikan yang lebih baik, sehingga nanti diharapkan dengan pendidikan yang baik itu anak akan menuju kepada tujuan yang dikehendaki sesuai dengan ajaran Islam, yaitu memiliki akhlak yang baik atau akhlakul karimah (akhlak mulia) dan diharapkan mencapai taraf menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

Pada dasarnya tujuan pendidikan dalam keluarga adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang anak sedari kecil. Menurut Zakiyah

7 Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan; Bagian 4

Pendidikan Lintas Bidang, (Jakarta: PT. IMTIMA, 2007), hlm. 81

8 Sayud Ahmad Al Hasyimi, Terjemah Mukhtarul Hadits, Perty : Mahmud Zaini,

(5)

Daradjat, tujuan pendidikan Islam adalah membimbing dan membentuk manusi menjadi hamba Allah yang saleh, teguh imannya, taat beribadah, dan berakhlak terpuji.9 Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Muhammad

Athiyah Al-Abrasyi bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun wanita, jiwa yang bersih, kemauan keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan buruk dengan baik, memilih suatu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela karena ia tercela, dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.10

Dalam mencapai sebuah tujuan untuk menjadi manusia yang memiliki akhlakul karimah (akhlak mulia) serta mencapai taraf insan kamil ternyata tidak gampang, ada beberapa tahapan-tahapan yang perlu kita kaji bersama, dalam hal ini penulis mencoba menyuguhkan berbagai susunan tahapan atau fase dalam membantu membentuk insan yang memiliki budi pekerti yang luhur atau berakhlak mulia. Diantara fase-fase itu adalah:

1. Fase Awal (pertama); Masa Pemilihan Bibit

Mengenai proses awal pendidikan atau bimbingan kepada anak, sebagaimana telah dianjurkan oleh Rasulullah saw dalam sebuah hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim dari Utsman bin Ali ‘I-‘Ash Ats-Tsaqafi, beliau berkata:

Saya telah berwasiat kepada anak-anak saya untuk memilih sumber air mani dan menjauhi sumber yang buruk. Saya berkata kepada mereka: “Wahai anak-anakku yang ingin menikah dan menanam, hendaklah memerhatikan dimana ia menanam tanamannya. Sebab, akar yang buruk itu sedikit sekali dapat melahirkan. Maka pilihlah, walaupun lama waktunya”. Maka Nabi saw. bersabda : “Sesungguhnya wanita dinikahi

9 Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam;Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,

Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009), cet. I, hlm. 31

10 Mohd. Athiyah Al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa oleh

(6)

karena agamanya dan kecantikannya, maka pilihlah wanita yang mempunyai agama (termasuk akhlak dan kepribadian) yang baik, niscaya kamu akan beruntung.”11

Islam mendorong kaum laki-laki agar melihat dengan seksama aspek-aspek dari wanita sebelum menikahinya. Berdasarkan aturan Islam, perhatian besar harus diberikan pada keluarga-keluarga dan garis keturunan wanita itu, demikian agar keadaan cacat fisik dan mental dapat dihindari. Sebagaimana Ibrahim al Karkhi yang meminta nasihat kepada Imam Ja’far Shadiq perihal pernikahannya. Imam berkata, “Engkau harus memeriksa secara pasti tempat yang hendak kamu pilih untuk dirimu sendiri serta seseorang yang hendak engkau jadikan partner dalam aset-asetmu, dan tunjukkanlah agamamu serta bukalah rahasi-rahasiamu di depannya. Jika engkau memaksa, maka engkau harus memilih seorang wanita yang sudah tidak perawan lagi yang dikenal berperangai baik dan bermoral”.12

Pemilihan yang dilakukan Rasulullah saw. ini di pandang sebagai kebenaran ilmiah dan pandangan paedagogis pada abad modern ini. Ilmu yang membahas tentang hereditas telah menetapkan bahwa anak akan mewarisi sifat-sifat dari kedua orang tuanya, baik moral, fisikal maupun intelektual, sejak masa natal. Oleh karena itu, jika pemilihan suami atau istri itu berdasarkan atas keturunan, kemuliaan atau kebaikan, maka tidak diragukan lagi bahwa anak-anak akan tumbuh berkembang dengan kesucian dan istiqomah. Dan apabila pada anak terdapat faktor-faktor hereditas yang baik, maka anak akan mencapai puncaknya dalam ad-din

dan akhlak serta teladan didalam ketaqwaan, keutamaan, pergaulan secara baik dan akhlak-akhlak yang mulia.13

2. Fase Kedua; Masa Prenatal

11 Said Agil Husin Munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2001), hlm. 139

12 Baqir Sharif al Qarashi, Seni Mendidik Islami..., hlm. 42-43

13 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: CV.

(7)

Pada fase ini dimulai dari masa prenatal, masa prenatal yaitu periode perkembangan pertama dalam jangka kehidupan manusia dan secara biologis, hidup dimulai pada waktu ini. Periode ini dimulai pada waktu konsepsi, yaitu pembuahan dari ovum oleh sperma, dan berakhir pada waktu kelahiran.14 Dari sinilah kehidupan manusia mulai terlihat,

berawal dari dalam kandungan atau rahim seorang ibu inilah yang kemudian janin itu berkembang dan terus berkembang sehingga lahir menjadi manusia yang sempurna. Karena awal ditiupkannya ruh kedalam janin adalah sejak manusia itu berada di dalam kandungan ibunya sejak umur 4 bulan yang mengakibatkannya menjadi hidup.

Perkembangan manusia di atas, sebagaimana telah di terangkan oleh Rasulullah saw:

ًةَقَلَع ُنوُكَي ّمُث اًمْوَي َنيِعَبْرَأ ِهّمُأ ِنْطَب يِف ُعَمْجُي ْمُكَدَح

َأ ّنِإ

ِهْْْيَلِإ ُهّللا ُثَعْبَي ّمُث َكِْْلَذ َلْْْثِم ًةَغ ْْْضُم ُنوُْْكَي ّمُث َكِلَذ َلْثِم

ْو

َأ ّيِق َْْشَو ُهُْْقْزِرَو ُهُْْلَجَأَو ُهُلَمَع ُبَتْكُيَف ٍتاَمِلَك ِعَبْرَأِب اًكَلَم

ِلْْْه

َأ ِلَْْمَعِب ُلَْْمْعَيَل َلُْْجّرلا ّنِإَف ُحوّرلا ِهيِف ُخَفْنُي ّمُث ٌديِعَس

ِهْْْيَلَع ُْقِب ْْْسَيَف ٌعاَرِذ ّ ِإ اَْْهَنْيَبَو ُهَْْنْيَب ُنوُْْكَي اَْْم ىّتَح ِراّنلا

َلُْْجّرلا ّنِإَو َةّنَجْلا ُلُخْدَيَف ِةّنَجْلا ِلْهَأ ِلَمَعِب ُلَمْعَيَف ُباَتِكْلا

ٌْعاَرِذ ّ ِإ اَْْهَنْيَبَو ُهَنْيَب ُنوُكَي اَم ىّتَح ِةّنَجْلا ِلْهَأ ِلَمَعِب ُلَمْعَيَل

َراّنلا ُلُخْدَيَف ِراّنلا ِلْه

َأ ِلَمَعِب ُلَمْعَيَف ُباَتِكْلا ِهْيَلَع ُقِبْسَيَف

Artinya:

"Setiap orang dari kalian telah dikumpulkan dalam penciptaannya ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh hari kemudian menjadi 'alaqah (zigot) selama itu pula kemudian menjadi mudlghah (segumpal daging) selama itu pula kemudian Allah mengirim malaikat yang diperintahkan dengan empat ketetapan (dan dikatakan kepadanya), tulislah amalnya, rezekinya,

14 Elfi Yuliana Rochmah, Psikologi Perkembangan, (Ponorogo : STAIN Ponorogo Press,

(8)

ajalnya dan sengsara dan bahagianya lalu ditiupkan ruh kepadanya. Dan sungguh seseorang akan ada yang beramal dengan amal-amal penghuni neraka hingga tak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sejengkal saja lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia beramal dengan amalan penghuni surga kemudian masuk surga, dan ada juga seseorang yang beramal dengan amal-amal penghuni surga hingga tak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sejengkal saja, lalu dia didahului oleh catatan (ketetapan taqdirnya) hingga dia beramal dengan amalan penghuni neraka lalu dia masuk neraka". (HR. Bukhari).15

Dalam momen ini, oleh masyarakat Islam Indonesia seringkali diperingati dengan sebutan 4 bulanan sebagai bentuk rasa syukur hamba kepada Tuhannya, karena telah diberikan anugerah dengan memberikan amanah berupa seorang buah hati dan juga sebagai pendidikan prenatal (pendidikan sebelum lahir) bagi janin yang mulai hidup atau mulai diberi ruh, dengan tujuan kelak sang buah hati menjadi anak yang saleh/salehah, faham agama, serta menjadi anak yang mencintai dan mengamalkan al-Qur’an. Pemanjatan do’a yang dilakukan dengan membaca ayat al-Qur’an, diantara surat yang dibaca adalah Luqman yang berkisah tentang pendidikan, dengan tujuan mengambil ibrah dari isi ayat tersebut. Selain itu juga memanjatkan do’a yang baik untuk masa depan anak yang masih dalam perut ibunya.16

Hal di atas juga di dukung oleh pendapat aliran “homunculus”

dalam abad pertengahan yang mengatakan bahwa perkembangan psikologis sudah dimulai pada waktu konsepsi, dimana pada waktu konsepsi semua telah ada dalam bentuk yang teramat kecil hingga

seakan-15 Bukhari, “Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang para Nabi”, Bab : Penciptaan

Adam dan keturunannya, No. Hadist : 3085, dalam www.lidwapusaka.com

16 Risyad Samawa, “Memahami Syukuran Kehamilan 4 Bulan”, dalam

(9)

akan hanya dapat dilihat melalui suatu mikroskop.17 Suatu percobaan

dengan sebuah bel yang dipasang pada sebilah kayu dan ditempelkan pada perut ibu, menunjukkan bahwa anak yang belum dilahirkan tadi semua mereaksi dengan detik nadi yang bertambah cepat, tetapi sesudah rangsang (bel) tadi diberikan berulang-ulang, maka bayi tidak mengadakan reaksi apa-apa lagi.18

3. Fase Ketiga; Masa Orok

Masa ini berlangsung sejak lahir sampai usia dua minggu. 19

Dimana kegiatan orok pada masa ini mencakup pada kegiatan-kegiatan refleks yang merupakan respons (reaksi) yang tidak disadari terhadap perangsan-perangsang tertentu. Perkembangan vokal (suara) anak dimulai dengan menangis yang biasanya dimulai pada waktu lahir. Dimasa ini kepercayaan akan kasih sayang orang tua, terutama ibu yang dapat mempertahankan ibunya. Dimana orok kehidupannya sangat bergantung kepada orang lain (ibu) dengan kasih sayangnya.20 Masa ini kebiasaan

orang tua terhadap anak juga sangat berpengaruh, karena dari sini anak sudah mulai mengenal keluarga.

4. Fase Keempat; Masa Bayi

Masa ini dimulai setelah anak berusia dua minggu, atau setelah habisnya masa orok sampai akhir tahun kedua dari kehidupan. Pada masa ini perkembangan fisik, inteligensi, emosi, bahasa, bermain, pengertian, kepribadian, moral, dan kesadaran beragama mulai terbentuk.21 Perasaan

ketuhanan pada usia ini merupakan fundamen bagi pengembangan perasaan ketuhanan periode berikutnya. Orang tua sebagai lingkungan pertama sebaiknya turut membantu dalam mengarahkan perkembangan kesadaran keagamaan anak, baik dengan mengenalkan konsep-konsep atau nilai-nilai agama kepada anak melalui bahasa, perilaku kasih sayang

17 F.J. Monks, A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan;

Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), cet. 14, hlm. 45

18Ibid., hlm. 46

19 Syamsu Yusuf, hlm. 49 20Ibid., hlm. 150

(10)

terhadap anak, memberikan teladan kepada anak dalam mengamalkan ajaran agama secara baik, serta hal lain yang membantu pada kesadaran keagamaan anak.22

5. Fase Kelima; Prasekolah (usia Taman Kanak-kanak)

Pada fase ini pendidikan budi pekerti sangatlah penting untuk diajarkan. Para filosof Islam merasakan betapa pentingnya periode anak-anak dalam pendidikan budi pekerti dan membiasakan anak-anak-anak-anak kepada tingkah laku yang baik sejak kecilnya. Mereka berpendapat bahwa pendidikan anak-anak sedari kecil harus sudah diperhatikan secara penuh. Pepatah lama mengatakan, “Pelajaran di waktu kecil ibarat lukisan di atas batu, pendidikan di waktu besar ibarat lukisan di atas air”. Dari sini dapat dipahami bahwa pembentukan yang utama ialah di waktu kecil dan itu dimulai dari rumah, dalam keluarga, sejak waktu kecil, dan jangan sampai anak-anak dibiarkan tanpa pendidikan, bimbingan dan petunjuk-petunjuk sehingga terbiasa kepada adat dan kebiasaan yang tidak baik.23

Anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air, dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya). Pada usia ini anak sangat membutuhkan gizi yang cukup, baik protein, vitamin dan mineral (untuk pertumbuhan struktur tubuh).24

Masa ini lazim disebut masa Trotzalter, periode perlawanan atau masa krisis pertama. Dimana anak mulai sadar akan Aku-nya, dia suka menyebut nama dirinya apabila berbicara dengan orang lain. Dengan kesadaran ini, anak menemukan bahwa tidak setiap keinginannanya dipenuhi orang lain, anak mulai sadar telah berhadapan dengan dua pihak, yaitu (Aku-nya) dan orang lain. Oleh karena itu, orang tua perlu menghadapinya secara bijaksana, penuh kasih sayang, dan tidak bersikap

22Ibid., hlm. 163

(11)

keras, agar anak tidak bersikap membandel.25 Karena kesadaran beragama

pada usia ini bersifat reseptif (menerima) meskipun banyak bertanya. Meskipun penghayatannya belum begitu mendalam, akan tetapi anak telah berpartisipasi dalam berbagai kegiatan ritual.26 Lagi-lagi peranan orang tua

atau keluarga menjadi tolak ukur awal dalam pembentukan karakter anak. 6. Fase Keenam; Masa Anak Sekolah

Pada usia (6-12 tahun) anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, daya pikir anak sudah mulai berkembang ke arah berpikir konkret dan rasional (dapat diterima akal). Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya berbagai kecakapan yang dapat mengembangkan pola pikir atau daya nalarnya. Kepada anak sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis dan berhitung serta diberikan juga pengetahuan-pengetahuan.27

Perkembangan keagamaan pada usia ini bersifat reseptif disertai dengan pengertian, pandangan ketuhanannya diperoleh secara rasional berdasarkan kaidah-kaidah logika yang berpedoman pada indikator alam semesta sebagai manifestasi dari keagungan-Nya. Serta penghayatan rohaniah semakin mendalam, pelaksanaan kegiatan ritual diterimanya sebagai keharusan moral.28 Dalam memberikan materi keagamaan, orang

tua, selain dengan memberikan latihan juga harus dengan pembiasaan, misalnya dalam hal beribadah, membaca al-Qur’an, bertingkah laku, bertutur kata dan sebagainya.

Pada usia ini, anak juga sudah mulai mengurangi perbuatan-perbuatan yang dilaksanakan atas dasar perintah. Pada anak usia ini, nasihat saja tidak akan membuahkan hasil, tanpa diikuti dengan keteladanan. Hal ini terjadi karena pada dasarnya keteladanan merupakan terjemahan langsung dari konsep yang bersifat abstrak. Pada saat ini

(12)

merupakan tantangan bagi orang tua dalam mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak saleh.29

7. Fase Ketujuh; Masa Remaja

Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat penting, diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga mampu bereproduksi. Salzman mengemukakan, bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Menurut Konopka masa remaja ini meliputi [a] remaja awal: 12-15 tahun, [b] remaja madya: 15-18 tahun, dan [c] remaja akhir: 19-22 tahun.30

Pada masa remaja ini, menurut Piaget perkembangan kognitif (intelektual) sudah mencapai tahap operasi formal (operasi= kegiatan-kegiatan mental tentang berbagai gagasan). Secara mental telah dapat berpikir logis tentang berbagai gagasan yang abstrak. Dengan kata lain, berpikir operasi formal lebih bersifat hipotetis dan abstrak, serta sistematis dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir kongret.31 Usia

ini merupakan puncak dari emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi.32 Dalam menghadapi ketidaknyamanan emosional tersebut, tidak

sedikit remaja yang mereaksinya secara depensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya. Seperti, bersikap agresif; melawan, keras kepala, berkelahi dan sebagainya, bahkan ada yang melarikan diri dari kenyataan, seperti melamun, pendiam, senang menyendiri, dan minum-minuman keras.33

Dari beberapa fase diatas, menurut penulis, dapat dipahami bahwa peran orang tua terhadap anak sangatlah besar. Orang tua merupakan pembimbing sekaligus sebagai pendidik awal dalam lingkungan keluarga yang dapat

29 Adnan Hasan Shalih Baharits, Mendidik Anak Laki-laki, judul asli; Mas’uuliyyatul

Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi fi Marhalati Aththufuulah, penerjemah Syihabuddin, Cet. 1 (edisi revisi), (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 38

(13)

mengarahkan anak kepada pribadi yang mulia. Secara sadar atau tidak, pembiasaan atau budaya rumah menjadi tolak ukur utama bagi anak, baik dalam bentuk perilaku, ucapan atau tutur sapa, atau bahkan perbuatannya. Kebudayaan rumah merupakan miniatur dari bentuk kehidupan luar, sebagaimana manusia hidup dari lingkungan keluarga. Demikian juga manusia tidak bisa hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain, yang hal ini membuktikan bahwa manusia itu adalah makhluk sosial.

Sebagaimana yang telah di sabdakan oleh Rasulullah saw, bahwa anak itu akan menjadi Yahudi, Nasroni atau Majusi itu tergantung dari orang tua yang mendidiknya, orang tua disini bisa berarti orang yang telah mendidiknya meskipun bukan orang tua kandung. Islam telah mengajarkan, bahwa tujuan dari pendidikan itu adalah untuk mencapai kepada akhlakul karimah (akhlak mulia), sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah swt kepada rasul-Nya, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk menyempurnakan akhlak. Sehingga dengan akhlak yang mulia diharapkan ilmunya bisa bermanfaat untuk menjadi manusia yang rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya untuk dirinya sendiri atau keluarganya, akan tetapi untuk seluruh ummat.

C. PENUTUP

Mengajarkan pendidikan agama Islam sehingga menjadi budaya rumah yang selalu dipegang teguh ternyata bukanlah persoalan yang mudah untuk diterapkan, akan tetapi penerapan budaya yang baik di dalam rumah memerlukan beberapa tahapan atau proses yang tidak sebentar. Peran orang tua tidak bisa diabaikan begitu saja, karena peran terbesar disini adalah orang tua. Lebih-lebih di jaman sekarang yang serba canggih, serba bebas, jaman dimana semua orang mengakui persamaan derajat, persamaan martabat, dan gencarnya dengan persaingan global.

(14)

semakin banyak pula cara yang harus ditempuh dalam menyelesaikan persoalan itu.

Uswatun hasanah,34 merupakan salah satu solusi yang bisa kita ambil,

dengan harapan, uswatun hasanah yang kita jadikan sebagai pembiasaan keseharian dalam membimbing dan mendidik anak, baik waktu dirumah maupun di luar rumah, menjadi alternatif tersendiri yang mendorong anak untuk berperilaku yang positif dan selalu berkembang sehingga menjadi pribadi yang benar-benar memiliki akhlak mulia (akhlakul karimah)dan benar-benar mencapai taraf yang paling mulia yaitu menjadi manusia yang sempurna (insan kamil).

34 Uswatun hasanah disini bukanlah satu-satunya solusi yang bisa digunakan dalam

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Al Hasyimi, Sayud Ahmad, Terjemah Mukhtarul Hadits, Perty : Mahmud Zaini, (Jakarta: Bulan Bintang)

Al-Abrasyi, Mohd. Athiyah, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa oleh Bustami A. Gani dan Djohar Bahry L.I.S., judul asli, Attarbiyah al Islamiyah, cet. vii, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)

Al-Qarashi, Baqir Sharif, Seni Mendidik Islami; Kiat-kiat Menciptakan Generasi Unggul, judul asli; The Educational System in Islam, penerjemah; Mustofa Budi Santoso, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003)

Asmani, Jamal Ma’mur, 7 Tips Aplikasi PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan); Menciptakan Metode Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, (Jogjakarta: DIVA Press, 2011)

Awwad, Jaudah Muhammad, Mendidik Anak Secara Islami; Judul Asli; Manhajul Islami fit Tarbiyatil Athfal, (Jakarta: Gema Insani, 2005)

Baharits, Adnan Hasan Shalih, Mendidik Anak Laki-laki, judul asli;

Mas’uuliyyatul Abilmuslimi fi Tarbiyatil Waladi fi Marhalati Aththufuulah, penerjemah Syihabuddin, Cet. 1 (edisi revisi), (Jakarta: Gema Insani, 2007)

Bukhari, “Hadits-hadits yang meriwayatkan tentang para Nabi”, Bab : Penciptaan Adam dan keturunannya, No. Hadist : 3085, dalam www.lidwapusaka.com

Monks, F.J., A.M.P. Knoers, dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan; Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya, cet. 14, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002)

Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001)

Rochmah, Elfi Yuliana, Psikologi Perkembangan, (Ponorogo : STAIN Ponorogo Press, 2005)

Roqib, Moh., Ilmu Pendidikan Islam;Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, cet. I, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2009)

Samawa, Risyad, “Memahami Syukuran Kehamilan 4 Bulan”, dalam

(16)

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan; Bagian 4 Pendidikan Lintas Bidang, (Jakarta: PT. IMTIMA, 2007)

Ulwan, Abdullah Nashih, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Cet. III, (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1981)

Referensi

Dokumen terkait

(n) By solving a quadratic equation, calculate the internal rate of return of a project requiring an initial investment of $1,440 and generating cash flows of $700 at the end of

Sistem saraf pusat merupakan pusat dari seluruh kendali dan regulasi pada tubuh, baik gerakan sadar atau gerakan otonom. Dua organ utama yang menjadi penggerak

Titi Purwandari dan Yuyun Hidayat – Universitas Padjadjaran …ST 57-62 PENDEKATAN TRUNCATED REGRESSION PADA TINGKAT. PENGANGGURAN TERBUKA PEREMPUAN Defi Yusti Faidah, Resa

Mendeklarasi grain dapat berarti menspesifikasikan secara tepat apa yang akan direpresentasikan oleh suatu baris tabel fakta individual.. menyampaikan tingkat

Hasil uji dan analisis pada penelitian ini adalah sebuah prototype SCM, prototype ini diharapkan dapat membantu dalam menentukan alur proses bisnis serta dapat

Dalam penelitian ini, pembahasan masalah akan dibatasi pada permasalahan peran ketersediaan pangan (berdasar produksi tanaman pokok) terhadap stabilitas ekonomi,

Konsumen pada cluster ini menjadikan faktor psikologi ( psychological ) sebagai bahan pertimbangan utama dalam mengajukan pembiayaan di BMT. Berdasarkan analisis cross