• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Ali sastra Ali sastraAli sastra Ali sastra Ali sastra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sastra Ali sastra Ali sastraAli sastra Ali sastra Ali sastra"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

ADAT BUDAYA SAPRAHAN Adisti Primi Wulan IKIP PGRI Pontianak

Abstrak

Budaya memiliki kekhasan di masing-masing daerah, sehingga keunikan tersebut menjadi daya tarik. Sebagian budaya diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi, sehingga sangat disayangkan banyak penurunan esensi isi dari kandungan budaya tersebut. Tujuan penelitian ini selain bentuk dokuimentasi budaya yang ada di Kalimantan Barat, juga mendeskripsikan banyak hal seperti rincian kegiatan adat budaya Saprahan yang digunakan oleh masyarakat di Kalimantan Barat. Saprahan merupakan salah satu adat budaya Melayu di Kabupaten Sambas yang masih berkembang dan dilestarikan sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Adat tradisi dalam kegiatan makan bersama-sama berkelompok baik di dalam rumah sehari-hari ataupun dalam acara mengundang tamu ataupun acara-acara pesta yang di adakan dirumah ataupun di desa. Saprahan membujur dengan alas saprah adalah saprahan dengan beralaskan kain saprah 1x1 meter.

Kata Kunci : Saprahan, Sambas, Budaya A. Pendahuluan

Sebagai sebuah provinsi, Kalimantan Barat dibentuk dengan tingkat ragam budaya yang tinggi, baik dari segi keragaman suku, agama, dan adat istiadat. Keragaman tersebut semestinya menjadi modal dan kekuatan sosial bagi daerah dalam pelaksanaan hubungan kemasyarakatan. Kemasyarakatan biasa dikaitkan dengan pelaksanaan upacara atau tata cara pada peristiwa yang paling penting dalam daur kehidupan.

Daerah Kalimantan Barat terdapat dua etnis yang dominan yaitu etnis Dayak dan etnis Melayu. Di dalam melangsungkan kehidupan sosial budaya, tentu saja terdapat perbedaan antara suku yang satu dengan yang lainnya, meskipun dalam rumpun yang sama, misalnya dalam satu rumpun suku Melayu. Namun, perbedaannya tidak nampak mencolok karena suku Melayu pada dasarnya mempunyai keyakinan yang sama yaitu Islam.

Masyarakat tidak akan dapat mempertahankan hidup tanpa kebudayaan, dan sebaliknya kebudayaan tidak akan berkembang dengan sendirinya tanpa masyarakat. Perkembangan kebudayaan di Indonesia diarahkan oleh cita-cita bangsa persatuan antar etnik, yang diimplementasikan oleh pembentukan negara kesatuan dan berbagai program pembinaan. Teori kebudayaan yang lebih mewarnai program pembinaan kebudayaan masyarakat Indonesia adalah teori yang bersifat idealistik. Hal ini terlihat dari diutamakannya Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa yang selanjutnya diharapkan menjadi pengaruh dari seluruh tindakan orang Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.

B. Tradisi Saprahan Melayu Sambas

Saprahan merupakan salah satu adat budaya Melayu di Kabupaten Sambas yang masih berkembang dan dilestarikan sejak zaman dahulu hingga sekarang ini. Adat tradisi dalam kegiatan makan bersama-sama berkelompok baik di dalam rumah sehari-hari ataupun dalam acara mengundang tamu ataupun acara-acara pesta yang di adakan dirumah ataupun di desa. Hidangan lauk pauk disajikan pada tempat dinamakan baki ataupun dihamparan kain untuk disantap bersama-sama berkelompok sejumlah 6 orang setiap saprah dengan duduk bersila di atas hamparan tikar ataupun permadani untuk undangan laki-laki dan duduk pipih untuk undangan wanita.

(4)

sama rendah. Makna besaprah disantap oleh 6 orang setiap saprahnya dengan pengertian rukun iman, dan untuk lauk pauk yang dihidangkan biasanya 5 piring atau lima jenis yang mengandung rukun islam. Makna besaprah harus bersama sama serempak mulai menyusun dari atas hingga ke bawah atau dari yang tertua hingga yang muda. Tidak ada perbedaan menu masakan untuk sajian saprahan antara rakyat biasa, pimpinan, dan pemuka-pemuka masyarakat duduk menghadap sajian saprahan, makan dengan teratur, sopan, dan beradat.

C. Bentuk Saprahan Melayu Sambas

Bentuk saprahan ada dua macam yaitu saprahan memanjang dan saprahan pendek. Saprahan memanjang yaitu sajian makanan disajikan di atas kain yang memanjang sepanjang ruangan yang disiapkan tempat acara jamuan. Tamu duduk berhadapan diruangan yang disiapkan. Saprahan bentuk memanjang ini sudah tidak di adakan dan tidak ada lagi di Kabupaten Sambas. Inilah perbedaan saprahan yang ada di Kabupaten Sambas dengan kabupaten lainnya. Saprahan pendek yaitu membentangkan kain saprahan ( alas ) ukuran pendek 1 x 1 meter saja dan di atasnya hamparan tersebut diletakkan sajian makanan yang akan disantap oleh para tamu undangan. Tiap saprahan pendek ini dihadapi oleh 6 orang setiap saprahan dengan cara duduk melingkari saprahan. Saprahan bentuk pendek inilah yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Sambas hingga sekarang ini.

D. Jenis-jenis Saprahan Melayu Sambas

Dari bentuk saprahan pendek, pengaturan penyajian saprahan sampai sekarang ada tiga jenis yaitu saprahan bulat, saprahan membujur dengan alas saprah, dan saprahan membujur dengan alas baki. Saprahan bulat adalah saprahan diatas hamparan kain saprah 1x1 meter. Ditengah kain saprahan itu diletakkan pinggan saprah tempat nasi dan dikelilingi oleh lauk pauk dan diteruskan dengan pinggan nasi. Di ujung sebelah depan diletakkan batil dan gelas tempat mencuci tangan sebelum makan. Dan disebelah belakang diletakkan air minum.

Saprahan membujur dengan alas saprah adalah saprahan dengan beralaskan kain saprah 1x1 meter. Ditengah alas kain ini diletakkan lauk pauk dalam piring lauk. Di ujung saprahan atau pada ujung saprahan diletakkan pinggan saprah dan bergandengan dengan air cuci tangan didalam batel atau tempat air. Disamping piring lauk diletakkan pinggan-pinggan tempat nasi yang akan diisi nasi dan lauk-lauk sesuai dengan selera dan keinginan dari para tamu yang sedang menyantap masakan yang disajikan dihadapannya. Pada ujung sekali diletakkan dan disusun cawan atau gelas air minum sebanyak 6 buah.

Saprahan membujur dengan alas baki dilaksanakan dengan pinggan saprah tempat nasi diletakkan di atas sekali bergandengan dengan batel air cuci tangan diikuti dengan baki besar yang berisi lauk pauk sajian yang diletakkan pinggan tempat mengambil nasi dan lauk-pauk di tengah-tengah. Dikiri kanan baki lauk diletakkan,lauk lauk-pauk sebanyak 6 macam, dan diujung diletakkan baki cawan atau gelas air minum.

E. Macam-macam Saprahan dan Menunya dalam Masyarakat Melayu Sambas

Macam-macam hidangan saprahan ada tiga yaitu saprahan sehari-hari, saprahan hari kaccik (hari turun naik), dan saprahan hari besar. Saprahan sehari-hari berupa masakan biasa-biasa saja yang ada sehari-hari. Saprahan hari kaccik (hari turun naik) berupa sayur kampung, umbut kelapa, ikan asin, pedak caluk, sambal, dan tulang-belulang. Saprahan hari besar berupa masak putih ayam atau daging sapi, semur daging ayam atau daging sapi, sambal goreng hati dan kentang, goreng ayam, pacri nenas atau terung, telur asin, dan acar.

F. Peralatan Saprahan Melayu Sambas

(5)

berkumpulnya ibu-ibu dalam membantu menggiling rempah atau membuat bumbu masakan untuk acara pesta. Kawah yaitu kuali besar untuk memasak nasi atau lauk pauk yang banyak. Tungkuk yaitu tempat meletakkan kuali atau kawah waktu memasak. Baki yaitu baki besar untuk membawa piring lauk, dan baki kecil untuk membawa cawan atau gelas air minum. Mogul yaitu tempat memasak air minum.

G. Simpulan

Saprahan adalah salah satu adat budaya Melayu Sambas dalam acara pesta. Makna dari saprahan melambangkan rasa kebersamaan dan rasa kegotong royongan dengan falsafat berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.hidangan sajian yang terhidang dihadapan disantap bersama-sama berkelompo, membentuk lingkaran. Kelengkapan dalam saprahan terdiri dari kain saprah berukuran 1x1 meter, batil, dan gelas air minum, sebuah pinggan saprah atau tempat nasi, piring tempat lauk atau menu, cawan bertudung, sendok nasi, sendok lauk,baki besar untuk mengangkat lauk, baki kecil untuk mengangkat cawan air minum, sarbet 1 buah untuk lap tangan ketika selesai menyantap sajian.

Adapun jenis saprahan ada 3 yaitu saprahan bulat, saprahan membujur dengan alas saprah, saprahan membujur dengan alas baki. Dalam saprahan ada juga terdapat macam-macam saprahan yaitu saprahan sehari-hari, saprahan hari kaccik, sajian hidangan hari besar. Dalam sebuah pesta banyak hal yang perlu dipersiapkan yaitu bepinjam, beramu, begilling, merancap, bekaut menyiapkan sajian, bebasuk, mulangkan barang. Hal ini tidak lepas dari terbentuknya kepanitiaan.

Selain itu ada juga terdapat tingkat kelompok saprahan yang terdiri dari saprahan sangat sederhana,saprahan sederhana, saprahan acara pesta.

H. Saran

Kebudayaan dan adat istiadat setiap daerah berbeda-beda dan mempunyai ciri khas yang bermacam-macam. Dalam adat kebudayaan Melayu Sambas ini sangat membawa pengaruh besar bagi masyarakat apabila tidak dilestarikan dan dijaga dengan baik. Kebudayaan daerah sangat mengandung nilai-nilai luhur yang sangat wajib dipertahankan, dikembangkan, dan dilestarikan dengan mengenalkannya pada generasi penerus dan pada masyarakat untuk mengetahui sistem budaya daerah yang sangat banyak dan beraneka ragam.

I. Daftar Pustaka

(6)

WACANA KARAKTERISTIK PEMUDA BANGSA DALAM PUISI “UCAPKAN KATA-KATAMU” KARYA WIJI THUKUL

Alfian Setya Nugraha

Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Hasyim Asyari Jombang alfian.setyanugraha@yahoo.com

Abstract

The character is a way of thinking and behaving that characterizes each individual to live and work, both in the scope of the family, community, nation and state. Individuals of good character is an individual who can make decisions and be ready to account for any consequences of decisions he made (According to DG Mandikdasmen-Ministry of National Education). Character is needed to build and establish a state. The character also is the basis for a nation’s life, to shape the lives of young souls need the requirement of morals and good behavior so that life in a state will be realized. Strengthening moral education (moral education) or character education (character education) is very relevant in the present context to address the moral crisis that has engulfed our country. Such crisis in the form of increased promiscuity, rampant violence numbers of children and adolescents, crimes against friend, teen theft, cheating habits, drug abuse, pornography, and the destruction of property of others has become a social problem that until now has not been able to completely resolved, therefore, the importance of character education. In the poem “Ucapkan Kata-katamu” works Wiji Thukul is one of the means to realize the character of the youth for the betterment of the nation and state of Indonesia in particular, and other countries in general.

A. Pendahuluan

Karakter adalah jawaban mutlak untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik di dalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,budaya,dan adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana, prasarana, dan, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Negara Indonesia yang besar dan dengan sumber daya alamnya yang melimpah pada dasarnya Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi salah satu Bangsa yang maju, bermartabat dan lebih baik dari saat ini, dan itu semua dapat terwujud tentunya dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, kreatif dan memiliki visi yang jelas dan terarah untuk kemajuan Bangsa. Untuk memenuhi tujuan terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas tentunya pendidikan adalah faktor terpenting yang tidak dapat dipisahkan.

(7)

Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000) mengungkapkan bahwa kemampuan teknis (Hard Skill) hanya memberikan kontribusi sekitar 20% terhadap kesuksesan seseorang, selebihnya sekitar 80% kesuksesan seseorang ditentukan oleh soft skill dan itu artinya karakteristik seseorang memiliki porsi yang lebih besar sebagai penentu sukses tidaknya seseorang dimana karakteristik seseorang sangat dipengaruhi oleh kualitas pendidikan karakter yang ia serap.

B. Landasan Teori

1. Teori Wacana Micheal Foucault

Wacana mengacu pada aspek-aspek evaluatif, persuasif, atau retoris dari suatu teks, yang dipertentangkan dengan aspek-aspek seperti menamakan, melokasikan, atau mengisahkan karena terkait dengan produksi sosial (Kris Budiman 1999: 121). Dalam hal ini, Eriyanto juga mengatakan hal yang serupa. Dalam pandangan Eriyanto (2008:65), wacana dapat dideteksi secara sistematis karena ada ide, opini, konsep, dan pandangan hidup yang ditransformasikan untuk mengarahkan cara berpikir dan bertindak. Wacana ini mendistribusikan suatu konsep untuk memasukkan arahan dengan tujuan terjadi pola-pola tertentu yang terpengaruh. Wacana mengkonstruksi seseorang ke dalam suatu keadaan untuk menjalin relasi sehingga pemikirannya sesuai dengan konsep yang ada di dalam wacana itu sendiri. Pada akhirnya, wacana membentuk “kuasa” karena adanya kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh seseorang secara individu maupun dalam lingkup komunal.

Kata wacana ini memiliki perspektif yang sangat beragam, terkait dengan disiplin tertentu. Dalam pandangan ini, diarahkan mengenai adanya wacana yang membentuk kekuasaan. Penggunaan wacana di sini, lebih untuk menitikberatkan perhatian pada pandangan kritis. Wacana adalah pengetahuan yang memberikan definisi-definisi melalui normalisasi sehingga ketika ditransformasikan akan diyakini sebagai kebenaran oleh masyarakat. Menurut Chris Barker (2008:83), bahwa Micheal Foucault telah menyatukan wacana bahasa dan praktik yang mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa yang memberikan makna kepada objek matrial dan praktik sosial. Wacana melibatkan adanya konteks untuk diteliti, bukan persoalan bahasa semata. Konteks dalam hal ini sebagai struktur dan sistem yang bergerak dalam praktik sosial. Wacana mengarah pada kekuasaan yang mengontrol pergerakan sosial yang ada. Hal tersebut disebabkan adanya kebenaran di dalam wacana yang diyakini sehingga individu-individu tersebut bergerak berdasarkan arahan wacana.

2. Teori Psikoanalisa Sigmund Freud

Psikoanalisa menurut sejarahnya memiliki tiga makna yang berbeda. Pertama, merupakan suatu sistem psikologi Sigmund Freud yang secara khusus menekankan peran alam bawah sadar serta kekuatan-kekuatan dinamis dalam pengaturan fungsipsikis.Kedua, merupakan bentuk terapi terutama sekali yang menggunakan asosiasi bebas serta berpijak pada analisa transferensi dan resistensi, sering kali di pergunakan untuk membedakan antara pendekatan Freudian dari pendekatan Neo-Freudian dalam bidang psikoanalisa yang sesuai (Corsini, 2003:1).

Psikoloanalisa dibedakan menjadi tiga arti yang terdapat pada artikel Freud. Pertama, istilah psikoanalisa dipakai untuk menunjukkan suatu metode penelitian terhadap proses-proses psikis (seperti misalnya mimpi) yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah ini menunjukkan juga suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami pasien-pasien neurotis. Teknik pengobatan ini bertumpu pada metode penelitian tadi. Ketiga, istilah yang sama dipakai pula dalam arti lebih luas lagi untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut. Dalam arti terakhir ini kata “psikoanalisa” mengacu pada suatu ilmu pengetahuan yang di mata Freud betul-betul baru (Freud, 1984:13).

(8)

bahwa segala sesuatu yang dilakukan, dipikirkan, atau dirasakan individu mempunyai arti dan maksud, dan itu semuanya secara alami sudah ditentukan. Adapun asumsi motivasi tidak sadar (unconscious motivation) meyakini bahwa sebagian besar tingkah laku individu (seperti perbuatan, berpikir, dan merasa) ditentukan oleh motif tak sadar. Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga, dan tiga struktur itu menjadi konsep utama yang ada pada teori psikoanalisa. Perlaku seseorang merupakan hasil interaksi antara ketiga komponen tersebut (Syamsu Yusuf, 2008:35). Konsep-konsep utama yang terdapat di psikoanalisa itu adalah struktur kepribadian yang terdiri dari id, ego, dan superego (Corey, 1997: 15).

C. Pembahasan

Ucapkan Kata-Katamu

jika kau tak sanggup lagi bertanya

kau akan ditenggelamkan keputusan-keputusan jika kau tahan kata-katamu

mulutmu tak bisa mengucapkan apa maumu terampas

kau akan diperlakukan seperti batu dibuang dipungut

atau dicabut seperti rumput atau menganga

diisi apa saja menerima tak bisa ambil bagian

jika kau tak berani lagi bertanya

kita akan jadi korban keputusan-keputusan jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan kita memperpanjang barisan perbudakan

kemasan-kentingan-sorogenen

(wiji thukul, 2004:8)

Setiap manusia belajar untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru, inilah yang disebut dengan Karakter. Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan dan perhatian fokus, itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran, kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya. Dan itu adalah pilihan dari masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan perlu di bina, sejak usia dini (idealnya).

Puisi “Ucapkan Kata-katamu’ karya Wiji Thukul memberikan wacana kepada para generasi muda untuk membentuk atau memiliki karakter yang akan menjadikan mereka dipandang di masyarakat ataupun di dunia. Puisi ini memberikan sebuah inspirasi para pemuda untuk menyuarakan segala pemikiran dan ide-ide untuk kepentingan bersama. Suara yang keluar dari mulut kita secara tidak langsung akan memberikan gambaran tentang diri kita. Kata-kata yang kita ucapkan menandakanbahwa pemuda Indonesia mempunyai karakter yang berani, tegas, dalam konteks kebenaran.

(9)

terhadap peraturan yang dianggap tidak tepat sasaran. “jika kau tak berani lagi bertanya kita akan jadi korban keputusan-keputusan jangan kau penjarakan ucapanmu” (Thukul, 2004: 8). Keputusan- keputusan yang diambil pemerintah terkadang tidak sesuai dengan kondisi yang berada di lapangan. Sebagai contoh kasus di DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu, tentang kartu sehat. Pemerintah memberikan subsidi berupa kartu sehat, akan tetapi kondisi di lapangan banyak warga yang masih dipungut biaya untuk berobat.

Pembentukan karakter juga terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga generasi bangsa mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama. “Dari mana asalmu tidak penting, ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan sikap-sikap: kejujuran, integritas, komitmen, kedisipilinan, visioner, dan kemandirian. Sejarah memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang kemerdekaan. Wiji Thukul berkata dalam baris puisinya “kau akan diperlakukan seperti batudibuang dipungutatau dicabut seperti rumputatau mengangadiisi apa saja menerimatak bisa ambil bagian” (Thukul, 2004:8). Kalimat puisi ini mengingatkan kepada sistem kurikulum yang berada di Indonesia. Dalam hal ini kurikulum tahun 2013. Banyak terjadi pro dan kontra terhadap kurikulum tersebut. Banyak yang menilai bahwa kurikulum itu merupakan proses pembodohan dalam bidang pendidikan. Pembodohan tersebut diakibatkan kurikulum yang diterapkan saat ini menyamaratakan proses pendidikan dengan standar nilai. Apabila kita melihat semboyan negara kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika” seharusnya kita sebagai bangsa yang mempunyai berbagai macam keahlian dapat disatukan untuk membentuk negara yang sejahtera. Akan tetapi falsafah itu telah dilupakan oleh para pemimpin kita, dengan sistem yang berlaku sekarang akan mempermudah pengendalian sistem dari pusat, akan tetapi kemudahan tersebut telah mengabaikan hakekat keilmuan itu sendiri.

Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati, betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi mereka. Perbedaan tersebut sebagai modal dasar sehingga akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

(10)

“Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka.

D. Simpulan

Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari.Banyak kita perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter buruk cenderung mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali kita, namun karakter anda tidaklah demikian. Karakter anda selalu merupakan hasil pilihan diri sendiri.Ketahuilah bahwa anda mempunyai potensi untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter, upayakanlah itu. Karakter, lebih dari apapun dan akan menjadikan anda seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Karakter akan melindungi segala sesuatu yang anda hargai dalam kehidupan ini. Setiap orang bertanggung jawab atas karakternya. Anda memiliki kontrol penuh atas karakter anda, artinya anda tidak dapat menyalahkan orang lain atas karakter anda yang buruk karena anda yang bertanggung jawab penuh. Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab pribadi anda.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.“jika kau menghamba kepada ketakutankita memperpanjang barisan perbudakan”(Thukul, 2004:8) menurut Wiji Thukul pendidikan karakter yang ditanamkan terhadap para generasi muda tersebut apabila telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Namun,apabila pendidikan karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat besar bagi bangsa ini, negara kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain.

E. Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies Teori dan Praktek. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS

Corsini,Raymond. 2003.Psikoterapi Dewasa Ini. Surabaya: Ikon Teralitera.

Corey, Gerald. 1997. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama.

Eriyanto. 2008. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.

Freud,Sigmund. 1984.Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah.Jakarta: PT. Gramedia.

Mulyadi, Seto dkk. 2008. Character Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter. cetakan I. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Syamsu Yusuf, dkk. 2008. Teori Kepribadian. Jakarta: Upi dan Remaja Rosdakarya.

(11)

MEMAHAMI PSIKOLOGI MANUSIA INDONESIA DALAM SASTRA MELALUI PSIKOANALISIS ERICH FROMM

Anas Ahmadi

Jurusan Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya anas_ahmadieni@yahoo.com

Abstrak

Dalam penelitian ini dipaparkan psikologi manusia Indonesia dalam sastra yang dikaji melalui Psikoanalisis Erich Fromm. Data yang digunakan adalah Cerpen Pilihan Kompas 2013. Berdasarkan analisis diperoleh penemuan bahwa (1) manusia Indonesia memunculkan orientasi nekrofilia ke dalam yang tampak dalam cerpen “Alesia” dan (2) manusia Indonesia memunculkan orientasi nekrofilia ke luar yang tampak dalam cerpen “Aku, membunuh Munir.”

Kata kunci: psikologi manusia, psikoanalisis, Erich Fromm A. Pendahuluan

Sastra sebagai creatio dari sang homo scriptor di dalamnya --baik dalam konteks ketidaksadaran (unconsciousness) maupun kesadaran (counsciousness)-- terkandung dunia filosofispsikologis, sosiologis dan antropologis. Dunia-dunia tersebut merupakan dunia mikroskopis yang sebenarnya wujud dari dunia makroskopis. Pemunculan dunia tersebut terepresentasikan bentuk laten maupun manifest.

Salah satu kajian yang dibahas dalam tulisan ini adalah sastra dalam kaitan nya dengan dunia psikologi. Sastra yang didalamnya terkandung unsur psikologis membuat sastra tersebut tidak kaku dan menjadikannya lebih estetis asal tidak melampaui wilayah kesastraannya (Ahmadi, 2011;2012). Sastra sebagai karya kreatif tidak lepas dari unsur psikologi. Karena itu, jika merujuk konseptualisasi Freud (2001); Jung (1955); Wellek & Warren (1990) Darma (2004;2007);Minderop (2010); Endraswara (2008) sastra dan psikologi memiliki hubungan timbal-balik. Keduanya, saling mengisi dan mencocokkan sehingga muncullah dunia keseimbangan antarkeduanya. Psikologi memberikan kontribusi pada sastra, misalnya kajian psikologi yang masuk dalam ranah sastra (psikologi kepribadian [psikoanalisis, eksistensialis, behavioris, dan humanis], psikologi agama, psikologi antropologi, psikologi perempuan, psikologi seksual, dan psikologi deviasi). Sebaliknya, sastra memberikan kontribusi pada psikologi, misal legenda Oedipus Rex yang dijadikan oleh Sigmund Freud [Sigi] sebagai teori Oedipus Kompleks, Legenda Electra yang dijadikan oleh Carl Gustav Jung sebagai teori Elektra Kompleks, Legenda Narcissus yang dijadikan psike seseorang yang mengganggap dirinya paling tampan (cantik).

Cerpen Indonesia sebagai salah satu genre sastra di dalamnya juga memunculkan dunia psikologi, baik konteks pengarang, karya, dan pembaca. Dalam hal ini, cerpen yang dijadikan kajian adalah cerpen Indonesia yang terkumpul dalam Cerpen Pilihan Kompas 2013) terbitan Kompas-Gramedia. Mengapa Cerpen Pilihan Kompas? Ada dua alasan dasar mengapa dipilih Cerpen Pilihan Kompas. Pertama, Cerpen Pilihan Kompas merupakan barometer sastra Indonesia (meski tidak menafikkan Horison [yang konon lebih kanonis], Jawa Pos, Republika) dan Cerpen Pilihan Kompas merupakan cerpen yang dipilih oleh tim juri (Kompas) dalam setiap tahunnya. Dalam satu Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas terdapat 20-an cerpen. Jadi, di antara 48 cerpen yang terkumpul setahun diperas menjadi 20-an. Kedua, cerpen yang termuat dalam Kumpulan Cerpen Kompas memuat sastrawan-sastrawan Indonesia yang begawan, misal Budi Darma, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti, dan Senogumira Ajidarma.

(12)

bahwa manusia Indonesia secara tipologis ada tujuh, yakni (1) hipokrit, (2) tidak bertanggung jawab, (3) feodalisme, (4) percaya takhyul, (5) artistik/berbakat seni, (6) lemah watak, dan (7) boros. Kajian Mochtar Lubis tersebut berpijak pada fakta empiris tentang manusia Indonesia pada umumnya. Adapun dalam penelitian ini, ingin mengungkap psikologi manusia Indonesia melalui sastra (Indonesia) berdasarkan pada perspektif psikoanalisis Erich Fromm.

Sumber data yang digunakan, yakni (1) Kumpulan Cerpen Kompas 2010; (2) Kumpulan Cerpen Kompas 2012; dan (3) Kumpulan Cerpen Kompas 2013. Untuk lebih spesifik, cerpen yang digunakan adalah cerpen yang dijadikan judul buku Kumpulan Cerpen Kompas, yakni “Dodolitdodolibret (2010)”, Dari Selawat Dedaunan sampai Kunang-kunang di Langit Jakarta (2012)”, dan “Klub Solidaritas Suami Hilang (2013)”. Psikologi yang digunakan dalam penelitian ini, yakni Psikoanalisis Erich Fromm. Pumpunannya ditukikkan pada teori [konsep] nekrofilia. Dipilihnya psikoanalisis Erich Fromm sebab Fromm lebih filosofis dalam memandang psikologis atau dikenal dengan julukan filsuf-psikoanalisis, (Fromm, 1996). Dengan demikian, analisis psikologisnya lebih soft sebab dihubungkaitkan dengan filsafat. Berbeda halnya dengan teman semarganya, Carl G. Jung yang lebih pada psikoanalisis-mistis, Freud yang lebih pada pan-seksis, Erikson yang mengarah pada psikososial, Karen Horney yang lebih mengarah pada neurotika, dan Adler yang mengarah pada individualism.

Nekrofilia berasal dari bahasa Yunani, nekros yang artinya jasad, mayat, ataupun penghuni kubur. Dalam konteks mikroskopis, nekrofilia adalah pecinta mayat (real ataupun imajiner). Dalam konteks makro, nekrofilia bercirikan ketertarikan tertentu pada bau-bau yang tidak sedap, kebusukan, kegelapan, kemuraman, kekumuhan, kekurangmenyenangkan, kedengkian, kejorokan, dan kedestruktifan (Fromm, 1955; 1996; 2000; 2002; Hall & Linzey, 1990Maramis, 2008;Caplin, 2009;Reber & Reber, 2010). Pemikiran Fromm tentang nekrofilia ini tidak jauh beda dengan insting kematiannya Sigmund Freud. Bedanya, Fromm mengaji dalam konteks yang lebih berorientasi holistis, sedangkan Freud lebih berorientasi pada ranah yang individual.

B. Pembahasan

Pada cerpen “Alesia” karya Sungging Raga dikisahkan seorang anak yang memunculkan riak nekrofilia. Ia sudah sedih dengan segala tetek-bengek kehidupannya. Karena itu, ketika sang malaikat akan mengambil nyawa sang ibu, ia ingin nyawanya terlebih dahulu diambil oleh malaikat.

Lantas ia menusukkannya, ke arah perutnya sendiri.

Sang malaikat menoleh ke arah gadis itu. “Apa yang kamu lakukan?”

(Raga, 2013).

Kegelisahan, ketakutan, dan kesedihan yang dipikirkan oleh si Alesia, membuat dirinya melirik dunia kematian. Hasrat (desire) muncul dalam dirinya secara perlahan, tapi pasti dan menuntun dirinya menunju sang malaikat kematian. Kecintaannya pada kematian benar-benar dibuktikan oleh Alesia ketika ia menusuk perutnya dan ia mengatakan pada si Malaikat bahwa dia memang ingin mati.

Dalam pandangan Fromm, seseorang yang merindukan kematian memiliki orientasi destruktif daripada konstruktif sebab dia lebih memilih hasrat kematian. Jika seseorang memiliki orientasi pada konstruktif, ia akan mengarah pada tipe biofilia, manusia yang mencintai kehidupan. Hawa biofilia adalah hawa positif, sedangkan hawa nekrofilia adalah hawa yang negatif. Dalam hal ini, Alesia sebagai sosok yang berorientasi pada nekrofilia mengarahkan kenekrofiliaannya itu ke dalam, bukan ke luar. Karena itu, dia mendestruksi dirinya sendiri, bukan orang lain.

(13)

tatkala berada di pesawat. Dalam konteks cerpen ini, sang pembunuh Munir mengakui bahwa ia telah membunuh Munir.

Tentu, tentu aku tidak membunuhnya dengan tanganku sendiri. Untuk apa? Aku bisa membunuhnya melalui tangan orang lain, sama seperti yang biasa kulakukan kepada orang-orang lain bilamana perlu

(Ajidarma, 2013).

Sang pencerita dalam cerpen ini adalah sang pembunuh Munir. Ia mengakui bahwa ia membunuhnya. Dengan demikian, tampak eksplisit bahwa ia adalah orang yang berorientasi pada nekrofilia. Terlepas dari dia menyukai pembunuhan itu, terpaksa melakukan pembunuhan itu, ataupun tidak menyukai pembunuhan itu. Yang jelas, ia telah membunuh Munir, meski tidak melalui tangannya sendiri. kedestruktifismeannya dimunculkan tatkala hasrat untuk membunuh itu muncul. Dalam konteks ini, pikiran-pikiran yang berkelijatan dalam diri seseorang terkait dengan pembunuhan secara implisit mengarah pada nekrofilia.

Ya, sejak tahun 1998 itulah kamu telah menantangku. Kamu bongkar kenyataan adanya orang hilang, kamu dorong mereka yang telah dilepaskan untuk bicara, setelah susah dan payah dilakukan intimidasi terhadap para aktivis ingusan itu. Huh! Tapi, ya tidak usah dibongkar-bongkar dong! Eh, nyap-nyap! Asal tahu saja Munir, bukan aku, tapi kamulah yang memutuskan agar sisanya hilang selamanya

(Ajidarma, 2013).

Bahasa-bahasa yang sarkastis yang dimunculkan oleh sang pembunuh Munir semakin menunjukkan bahwa dia adalah sosok nekrofil. Tidak hanya pikiran tentang kenekrofiliaan, tetapi ia juga memunculkan tindakan (action) sebagai pembunuh meski bukan tangan pertama, dan bahasa memunculkan bahasa yang bergaya nekrofil. Orientasi nekrofilia yang muncul dalam cerpen ini adalah nekrofilia ke luar sebab ia (sang pembunuh) membunuh sosok Munir Melalui sebuah sastra kita bisa melihat masyarakat, baik filosofi, psikologi, sosiologi, ataupun antropologinya. Hal ini memang tidak lepas dari ungkapan bahwa sastra adalah dunia ‘kecil’ masyarakat dunia nyata. Karena itu, kita juga bisa melihat psikologi manusia Indonesia melalui sastra (cerpen) Indonesia.

Jika merujuk pada dua cerpen yang sangat kuat memunculkan dominasi nekrofilia tampak bahwa sebenarnya manusia Indonesia tidak jauh berbeda dengan gambaran tersebut. Percaya atau tidak, diakui atau tidak, kisah Alesia dalam cerpen “Alesia” sebenarnya menggambarkan kehidupan sosok anak kecil Indonesia yang hidup tanpa asuhan sang ayah (sebab ayahnya kerja di luar negeri), sedangkan ibunya sakit-sakitan. Untuk biaya pengobatan sang ibu, uang keluarga tidak mencukupi. Yang bisa dilakukan oleh keluarga ini adalah menunggu kematian sang ibu (meski menunggu kematian bukan sebuah keinginan sebab semua pasti mati). Akhirnya, yang terjadi adalah kehidupan yang muram, petang, gelap, dan dalam ke-absurd-an yang berderetan dengan ke-absurd-an yang lain. Karena itu, sosok Alesia ingin bunuh diri. Bunuh diri yang dilakukan oleh perempuan kecenderungan tidak lepas opresi sebab perempuan lebih mengarah pada orientasi opresi (oppressive) daripada agresi (aggresion) (Ahmadi, 2013). Keinginannya itu, tampaknya tak sebatas esensi, tapi juga eksistensi. Ia pun bunuh diri fisik. Itulah nekrofilia ke dalam yang dilakukan oleh manusia Indonesia.

(14)

dengan nekrofilia. Ya, nekrofilia yang mengarah ke luar. Apakah manusia Indonesia memang lebih cenderung pada nekrofilia yang mengarah ke luar sebab konon banyak orang hilang setelah sebelumnya memperjuangkan HAM atau lidahnya agak tajam mengritik? Inilah sisi lain manusia Indonesia, nekrofilia.

C. Simpulan

Bertolak dari paparan di muka dapat disimpulkan bahwa Cerpen Pilihan Kompas 2013 yang dominan memunculkan orientasi nekrofilia, yakni cerpen “Alesia” dan “Aku, Pembunuh Munir”. Pemunculan nekrofilia dalam cerpen-cerpen tersebut, dalam konteks psikologis, bisa secara sadar ataupun nirsadar. Namun, sadar ataupun nirsadar sang pengarang tetap memunculkan bahwa manusia Indonesia memiliki jiwa-jiwa nekrofilia. Jiwa-jiwa kenekrofiliaan tersebut jika tidak diberangus, kata Erich Fromm akan menghancurkan sebuah bangsa.

D. Daftar Pustaka

Ahmadi, Anas. 2011. Sastra dan Filsafat. Surabaya: Unesapress.

__________. 2012. Sastra Lisan dan Psikologi. Surabaya: Unesapress.

__________. 2013. “Perempuan Agresif dan Opresif dalam Antologi Cerpen Kompas 2013: Tinjauan Psikologi-Jender”. Dalam Jurnal Lentera 10/1, hlm. 67—74.

Caplin, J. 2009. Kamus Psikologi. Terj. Jakarta: Grafiti.

Darma, B. 2004. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

_________. 2007. Sastra, Moral, dan Kreativitas. Surabaya: Unesapress.

Davison,G.C. dkk. 2010. Psikologi Abnormal. Jakarta: Grafiti.

Endraswara, E. 2008. Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo.

Fromm, Erich. 1955. The Sane Society. New York: Printing History.

__________. 1996. Revolusi dan Harapan. Terj. oleh Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

__________. Akar Kekerasan: Analisisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia. Terj. oleh Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

__________. Cinta, Seksualitas, Matriarkhi, dan Gender. Ter. Yogyakarta: Jalasutra.

Hall, CS & Linzey, G. 1990. Teori-teori Psikodinamik Klinis. Terj. Yogyakarta: Kanisius. Jung C. Gustav. 1955. The Archetypes and the Collective Unconscious. London: Routledge.

Maramis, J. 2008. Ilmu Kedokteran Jiwa.Jakarta: Erlangga.

Minderop, A. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: YOI.

Reber, A.S. & Reber, E. 2010. Kamus Psikologi. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lubis, M. 2008. Manusia Indonesia. Jakarta: YOI.

(15)

AKU BERHUMOR MAKA AKU ADA

: IDENTIFIKASI DIRI TOKOH LUPUS

DALAM CERITA SERIAL LUPUS KECIL

Ari Ambarwati

Universitas Islam Malang

a.arianya@gmail.com

Abstrak

Artikel ini memaparkan humor sebagai alat identifikasi diri. Humor membangkitkan kesenangan pada partisipannya. Tidak ada yang lucu secara natural. Humor memicu senyum dan tawa melalui proses penerimaan dan negosiasi antarpartisipan. Negosiasi juga muncul dalam cerita anak yang bermuatan humor. Wacana humor dalam Cerita Lupus Kecil digunakan sebagai arena mengonstruksi identitas diri sang tokoh. Tokoh Lupus memanipulasi dan menggunakan beberapa modus humor untuk mengukuhkan identitas dirinya sebagai anak yang cerdas dan disukai banyak orang.

Kata Kunci: identifikasi diri, wacana humor A. Pendahuluan

Humor adalah salah satu bentuk permainan (Wijana, 1994:2). Sebagai homo ludens (manusia bermain), manusia adalah mahluk yang suka bermain-main. Bermain adalah kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak, juga orang dewasa. Bahkan, bermain adalah sebagian dari proses belajar. Melalui permainan, kreativitas anak dibangkitkan, dirangsang dan dikembangkan. Melalui permainan juga seorang anak dipersiapkan menjadi bagian dari anggota masyarakat. Humor disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi rakyat, nyanyian rakyat, tembang dolanan, julukan, karikatur, kartun, nama tempat dan bahkan nama makanan yang mengundang tawa.

Anandjaja (1989:498) menyatakan bahwa humor dalam masyarakat, baik yang bersifat erotis, maupun protes sosial, berfungsi sebagai pelipur lara. Hal ini disebabkan karena humor dapat melepaskan ketegangan batin yang menyangkut ketimpangan norma masyarakat yang dapat dikendurkan melalui canda dan tawa. Lebih jauh, Danandjaja menyatakan bahwa dalam situasi masyarakat yang sedang terpuruk, humor berperan besar melepaskan ketegangan yang dialami oleh suatu masyarakat (1989:16). Humor dapat membebaskan manusia dari kecemasan, kebingungan, kekejaman, dan kesengsaraan., sehingga manusia dapat mengambil tindakan atau keputusan yang lebih bijaksana.

Sebagai wacana kritik sosial, humor dapat ditemui di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dalam bentuk kartun, artikel ringan, atau juga cerita-cerita humor. Humor tidak saja dikonsumsi oleh orang dewasa tetapi juga anak-anak. Salah satu karya cerita anak-anak bermuatan humor dapat dijumpai dalam serial cerita anak-anak yang ditulis oleh Hilman Hariwijaya dan Boim, berlabel Lupus Kecil. Serial Lupus merupakan novel remaja yang diangkat dari cerpen-cerpen Lupus di majalah Hai pada tahun 1986 (Kejarlah Daku, Kau Kujitak) yang kemudian menjadi best sellers. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada 1989, terbit serial Lupus kecil pertama, yang berjudul Lupus Kecil. Serial Lupus kecil terdiri dari 13 judul, yang terbit dalam rentang waktu yang cukup panjang, yakni antara 1989-2003. Pada Juni 2013 penerbit Gramedia kembali menerbitkan serial Cerita Lupus Kecil.

(16)

B. Topik Bahasan

Topik bahasan dalam makalah ini adalah identifikasi diri tokoh Lupus melalui humor. Tokoh Lupus dalam serial Lupus Kecil adalah seorang anak berusia tujuh tahun, duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Ia digambarkan cerdas dan humoris. Lupus seorang anak periang, mempunyai seorang adik perempuan bernama Lulu. Karakternya yang periang dan suka bercanda membuat Lupus banyak mendapatkan pengalaman menyenangkan maupun sebaliknya. Humor, baik verbal maupun nonverbal, pada dasarnya merupakan rangsangan spontan untuk memancing tawa penikmatnya. Menurut Apte (1985:15), tertawa dan tersenyum adalah merupakan indikator yang paling jelas bagi pengalaman atau penikmatan humor (humor experience). Ada tiga teori yang berusaha menyingkap esensi humor, di antaranya adalah teori pembebasan (relief theory), teori pertentangan (theory of conflict), dan teori ketidaksejajaran (incongruity theory).

Teori pembebasan memandang humor sebagai alat pembebasan dari sesuatu yang menyakitkan atau menakutkan (Wijana: 1994:22). Ekspresi terbebas dari sesuatu yang menyakitkan tersebut bisa berupa tawa. Ekspresi tawa muncul bila sesuatu yang diharap-harapkan secara tiba-tiba tidak menjadi kenyataan. Adapun yang muncul adalah hal-hal sepele yang tidak diduga-duga (unexpectedly trivial).

Teori humor kedua adalah teori pertentangan. Teori ini berpandangan bahwa humor merupakan pertentangan antara dua kekuatan, yakni kekuatan untuk maju dan kekuatan untuk mundur (Wijana: 1994:24). Pertentangan dalam humor sebagai sesuatu yang mengandung ambivalensi yang mengacu pada dua konflik yang berbeda. Teori ketiga yang berusaha menyingkap esensi humor adalah teori ketidaksejajaran. Teori ketidaksejajaran mengacu pada pengaruh humor terhadap persepsi pikiran pembaca atau pendengarnya (Wijana, 1994:27). Dikatakan bahwa humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam satu objek yang kompleks. Secara verbal, dua hal atau konsep yang tidak kongruen itu dihubungkan dengan bentuk lingual yang sama.

Tiga teori tersebut akan digunakan untuk mengetahui aspek humor yang muncul dalam cerita serial Lupus Kecil. Selanjutnya, temuan tersebut akan ditelaah melalui satu piranti teoritis SWK (Studi Wacana Kritis) Gee yaitu Wacana. Penelitian ini mengaji wacana humor yang terdapat dalam cerita-cerita Lupus Kecil. Berdasarkan fokus yang dipilih, jenis penelitian ini merupakan penelitian analisis teks. Penelitian ini akan menganalisis teks yang terkandung dalam sebuah karya sastra dalam hal kumpulan cerita pendek dan novelet serial Lupus Kecil dengan menggunakan sumber-sumber pustaka yang berkaitan dengan fokus yang akan dianalisis.

Wacana tampak dalam cara berbicara, cara membaca/menulis, bersikap, berinteraksi, memberi penilaian, berpikir, merasakan sesuatu, berpakaian, dalam relasinya dengan orang lain, melalui beragam objek, piranti, maupun teknologi sehingga menghasilkan sikap khusus yang dapat diidentifikasi sebagai identitas sosial. Misalnya seperti identitas “siswa yang baik”, “dokter yang berkompeten”, “polisi yang tangguh”. Dalam kajian ini, humor yang dilontarkan oleh tokoh Lupus dikaji untuk mengetahui konstruksi serta identifikasi dirinya. Bagaimana ia menempatkan dirinya sebagai anak dari ibu dan ayahnya, kakak dari adiknya (Lulu), serta anggota dari komunitas publik yang lebih besar (sahabat, murid SD, anggota masyarakat). Kajian tersebut dibangun melalui tujuh pertanyaan tentang beberapa potongan bahasa dalam penggunaan (language in use)—baca: cuplikan narasi, dialog atau monolog dalam teks serial Lupus Kecil. Tujuh pertanyaan tersebut menurut Gee dalam Rogers adalah seven building tasks, yaitu: signifikansi, aktivitas (praktik), identitas, keterhubungan, politik, koneksi, dan sistem tanda dan pengetahuan (2011:30).

(17)

yang terlibat dalam percakapan. Keterhubungan tentu terikat dengan konteks dan hal-hal lain yang melalui suatu percakapan. Konstruksi bahasa seseorang bisa jadi akan melahirkan situasi tertentu di mana distribusi perangkat-perangkat sosial mempunyai andil (politik). Ada dominasi, status sosial dan kekuasan yang tengah dimainkan. Hal-hal di dunia dapat dilihat terkoneksi dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Jika kita berbicara tentang dunia ketiga, misalnya, yang terbayang adalah kondisi sosial dan ekonomi yang tertinggal serta sumber daya manusia yang rendah, khususnya secara intelektual. Penggunaan bahasa tertentu dapat membangun atau memorak-porandakan sistem tanda (sistem komunikasi) serta cara untuk mengetahui dunia. Ada banyak bahasa yang berbeda di dunia, demikian pula dialek dan ragam bahasa yang dimiliki masing-masing komunitas ataupun profesi tertentu. Kerangka kajian ini dibatasi dalam teks Cerita Lupus Kecil. Dari kajian ini diharapkan dapat ditemukan pola identifikasi diri tokoh Lupus.

C. PEMBAHASAN

Bahasa yang digunakan dalam cerita serial Lupus Kecil adalah bahasa informal. Teks dalam cerita ini lebih banyak ditulis dengan gaya tutur lisan dan cenderung mencerminkan gaya tutur keseharian anak-anak yang tidak mengindahkan pola kalimat baku. Seperti contoh berikut ini.

(i)Lupus?

Iya, Lupus. Anak yang punya rambut tebal, bermata bulat, punya hidung lucu itu bernama Lupus.Kata dia, gampang kok ngenalnya. Kalau kamu jalan-jalan terus ketemu anak kecil dan kamu tanya namanya, dia menjawab “Lupus”, nah berarti dia itu Lupus. (Lupus Kecil, 1989:13) (ii)Bosan bermain-main di depan, Lupus pun masuk kembali ke dalam rumah. Tapi ternyata ibunyabelum selesai membuat kue.Uh, kok lama sekali, ya?Biasanya nggak gini-gini amat? Lupus memang tak tahu kalo ibunya di dapur tengah dalam kesulitan menerjemahkan resep kue yang berbahasa Prancis. Ibu Lupus sedang menduga-duga, apa kalo bikin kue Prancis garamnya harus garam Prancis, bukan garam Inggris?(Lupus Kecil, 1989:14).

Kutipan di atas menunjukkan kesan yang ingin dibangun dalam cerita Lupus adalah santai dan akrab. ‘Pemindahan’ kata kalau yang baku menjadi kalo, tidak menjadi nggak, begini menjadi gini-gini dalam narasi Lupus mengindikasikan suasana informal yang kuat. Pilihan menggunakan kata-kata nonbaku dalam cerita ini menguatkan pesan bahwa cerita ini ditujukan untuk membangun kedekatan dengan anak-anak usia sekolah dasar yang baru belajar bagaimana seharusnya mengembangkan sikap dalam berinteraksi dengan orang lain. Pernyataan di atas bisa dikategorikan sebagai kajian terhadap fonologi karena berkaitan dengan bunyi dan pola-pola bunyi yang diujarkan. Santosa menyatakan bahwa bunyi dan pola-pola bunyi berkorelasi dengan stratifikasi dan kelas sosial dalam masyarakat (2012:161). Dalam konteks ini, pilihan bahasa informal dalam cerita Lupus memberi penegasan lebih mementingkan jalinan keakraban dalam berinteraksi dengan menyederhanakan kata-kata baku menjadi lebih mudah diucapkan dan easy listening (mudah didengar/dipahami).

Secara signifikan, pilihan bahasa nonbaku yang digunakan mengindikasikan sosok Lupus yang masuk dalam kelompok sosial common children (anak-anak kebanyakan/anak-anak pada umumnya). Anak-kebanyakan/anak-anak yang baru menginjak bangku sekolah dasar dengan warisan sikap dan gaya bicara saat masih di taman kanak-kanak, yaitu cenderung memakai gaya bahasa santai, informal dan berorientasi pada dirinya sendiri (ego centries). Bahasa nonformal, santai dan cenderung memancing tawa orang lain yang dipakai Lupus menunjukkan identitas dirinya sebagai anak periang, cerdas dan kritis menghadapi situasi yang tidak menguntungkan dirinya. Mari kita cermati monolog dan dialog berikut ini (Lupus sedang berakting menjadi penyiar radio untuk menghibur adiknya, Lulu.

(18)

(iii) “Di stadion utama Senayan, sejak kemarin sore hingga pagi hari tidak ada yang bermain sepak bola, hingga saya tidak tahu berapa golnya dan siapa wasitnya……Nah sekarang acara siaran berita sudah habis saudara-saudara, kini kita masuki acara Taman Indria bersama Bu Kasur. Adduuuh tapi sayang sekali, acara ini tak dapat disiarkan, lantaran kasurnya masih dijemur…

Tepat saat Lupus mengakhiri siaran beritanya, terdengar suara bel tamu berdentang.

“Ibu pulaaaang,,,” teriak Lulu….Tapi Lupus tetap di tempatnya, sampai kedua orang tuanya muncul dari pintu depan.

“Aduh, Lupus! Apa-apaan ini? Kenapa radio Bapak jadi berantakan begini,” seru bapaknya ketika

melihat radionya tergeletak tak berbunyi di lantai. “Pasti kamu yang merusaknya ya?Ayo kemari!!!”

“Saudara-saudara,” Lanjut Lupus tenang,”Ini baru berita penting…” (Lupus Kecil, 1989:35-36). Lupus memosisikan dirinya sebagai anak yang periang yang suka menghibur orang lain. Ia juga cerdas dan kritis karena bisa berperan seolah-olah penyiar radio yang sedang membawakan acara. Ia langsung membawakan ‘acara’nya begitu saja, tanpa naskah yang ditulis sebelumnya. Ia membangun identitas dirinya sebagai anak yang pandai menghibur orang lain melalui kata-kata yang dirangkainya. Kata-kata tersebut menerbitkan tawa bagi Lulu, adiknya. Ia menegaskan dirinya sebagai anak periang yang mampu membalikkan keadaan yang memojokkan dirinya dengan menjadikan kemarahan ayahnya sebagai hal yang bernilai‘berita’. Dengan melakukan hal tersebut, Lupus membangun relasi anak-ayah dengan cara yang lebih akrab. Ia tahu ayahnya marah, maka ia berusaha membangun kedekatan melalui humor yang dilontarkannya.

Menggunakan bahasa berarti membangun atau sebaliknya merusak sistem tanda atau sistem komunikasi (Rogers, 2011:33). Lupus sadar kemarahan ayahnya akan menuntunnya pada posisi yang tidak menguntungkannya. Maka ia membalikkan kemarahan ayahnya sebagai sebuah hal yang mempunyai nilai “berita”. Ia berharap ayahnya mengapresiasi lontaran humornya dengan tidak melanjutkan kemarahannya.

Lupus sadar bagaimana memanfaatkan kelebihan yang dimilikinya yaitu sense of humor untuk membangun identitas dirinya. Ia adalah kakak yang pandai menghibur Lulu, adiknya. Ia tahu benar bagaimana membuat adiknya lupa sejenak akan kekesalan yang dialaminya karena menunggu kepulangan Ibunya, meski radio kesayangan ayahnya kemudian rusak dan menimbulkan kemarahan sang ayah. Sebagai anak, Lupus juga berusaha menjadi sosok yang bertanggung jawab. Seperti ketika Ibunya kesal karena Lulu susah makan. Lupus berusaha membantu dengan caranya sendiri, seperti pada cuplikan berikut ini.

(iv) Lupus yang sedang santai baca buku cerita, jadi memandang adiknya dengan heran. Makan kok nggak mau, apa sih susahnya, pikir Lupus. Apa perlu dibantu? Yah, kata Ibu Guru , orang hidup mesti tolong menolong untuk menyelesaikan satu pekerjaan. Makan kan juga termasuk pekerjaan juga. Maka harus dibantu.Otak Lupus berpikir cepat.Lalu dia pun mulai membantu Lulu.Mula-mula Lupus membantu menghabiskan perkedelnya.Lulu melihat itu malah senang. Tapi Lupus tetap asyik.Ia menyuapi mulutnya sendiri, hingga piring Lulu bersih tak bersisa (Lupus Kecil, 1989:70-71).

(19)

setia kawan dan bisa menyenangkan sahabat dan teman-temannya, berikut cuplikannya. Lupus sedang menghadiri pesta ultah Pepno, salah satu sahabatnya. Lupus yang berharap

kue tar segera dipotong agak malas saat ia diajak melakukan permainan mengoper gelas yang berisi air secara berantai. Seharusnya ia mengoper gelas berisi minuman itu ke teman sebelahnya, tetapi ia malah meminumnya. Alhasil ia pun dihukum. Pilihan hukumannya, baca puisi.Tanpa ragu, Lupus membacakan puisi karyanya sendiri. “Di laut sudah pasti ada air/Di air belum tentu ada laut/di rumah sudah pasti ada pintu/di pintu belum tentu ada rumah/di meja sudah pasti ada sepotong kue/dan kuenya belum tentu dipotong…

Anak-anak bertepuk riuh. Akhirnya saat yang mendebarkan bagi Lupus tiba, Pepno memotong kue tar jadi beberapa bagian…(Lupus Kecil, 1989:54-55).

Lupus menggunakan puisi yang mengandung humor untuk menghibur temannya sekaligus memenuhi keinginannya. Ia ingin segera makan kue tar ulang tahun Pepno, maka ia dengan sadar membawakan puisi yang menyindir agar kue ulang tahun segera dipotong. Ia mendapat dukungan dari teman-temannya yang bertepuk tangan tanda setuju. Ia menggunakan humor untuk mendapatkan keinginannya. Kepandaian membawakan humor menempatkan Lupus sebagai sosok yang mudah mendapatkan teman, dan tentu saja ia juga mudah disukai orang lain karena sosoknya yang suka bercanda. Lupus menempatkan humor sebagai alat untuk mencapai tujuannya dan meneguhkan identitas dirinya di tengah lingkungannya. Eksistensinya diakui sebagai anak yang lucu, pandai bergaul dan pintar.

D. Simpulan

Humor adalah salah satu permainan bahasa yang disampaikan melalui beragam media. Humor digunakan untuk menghibur diri, orang lain, maupun melepaskan ketegangan yang menghimpit seseorang. Humor juga dapat dipakai sebagai sarana untuk membentuk serta membangun identitas diri seorang anak. Humor dalam serial cerita Lupus Kecil adalah contoh bagaimana seorang anak memosisikan dirinya sebagai sosok yang berbeda dengan anak-anak lain. Lupus mengidentifikasikan dirinya sebagai anak yang periang, pandai bergaul dan suka bercanda.

Cerita anak-anak yang bermuatan humor dapat dijadikan referensi bagi anak-anak untuk mampu mengatasi persoalan sehari-hari yang mereka hadapi. Persoalan keseharian yang diangkat dalam serial Lupus Kecil menjadi relevan bagi pentingnya wacana humor dalam kehidupan anak-anak saat ini. Kondisi kehidupan dalam berbagai segi menuntut anak-anak menjadi aktor sosial yang selalu kompetitif. Kompetitif dan adaptif dalam segala hal. Keadaan ini rentan memicu stress dan kondisi psikologis yang tidak menguntungkan anak-anak. Kehadiran cerita anak-anak bermuatan humor adalah salah satu alat yang bisa digunakan untuk membantu meminimalkan tekanan yang dihadapi anak-anak. Untuk alasan itulah kajian serius tentang wacana humor dalam cerita anak-anak mendesak untuk dilakukan.

E. Daftar Pustaka

Apte, Mahadev L. 1985. Humor and Laughter. Ithaca. Cornell University Press.

Danandjaya, James. 1989. Humor, Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid VI, Jakarta. PT Cipta Adi Pustaka.

Hariwijaya, Hilman&Boim. 1989. Lupus Kecil. Jakarta. Gramedia. ___________. 1993.Jalan-jalan Seram. Jakarta. Gramedia.

Rogers, Rebecca. 2011. Critical Discorse Analysis in Education. New York. Taylor&Francis e-Library. Diunduh 2 September 2012.

(20)

Santosa, Anang. 2012. Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa.Bandung. Mandar Maju.

(21)

PENDIDIKAN KARAKTER PADA DRAMA AYAHKU PULANG KARYA CHUCI KEERU/KIKUCHI KWAN (SADURAN USMAR ISMAIL)

Budi Waluyo

FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta mas_bewe@yahoo.co.id

Abstract

Learning literature, especially drama, plays a very important in the formation of student character. At the playwright found a lot of the values that the intellectual character of readers both in terms of theme, mandate, characterizations, and other intrinsic elements. Only problem is the lack of application of analyzing texts in manuscript among learners. Very important fact to introduce drama texts for students to shape their character for the better, noble character and high morals.

Keywords: values , character, character education

A. Pendahuluan

1. Pendidikan Karakter

Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia dengan melalui banyak cara, di antaranya melalui penikmatan dan pemahaman terhadap sebuah karya sastra. Sastra sangat berperan penting sebagai media dalam pentransformasian sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan. Dengan kreativitas dan kepekaan rasa, seorang penulis tidak hanya mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga mampu memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, nilai sosial, filsafat, serta beraneka ragam pengalaman tentang masalah hidup dan kehidupan.

Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara jelas terdapat pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional. Pada pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Jika diperhatikan dengan saksama, menurut Sarwiji Suwandi (2011) potensi peserta didik yang harus dikembangkan tersebut berkaitan erat dengan karakter. Ironisnya praktik pendidikan di sekolah-sekolah lebih banyak menekankan pada aspek kecerdasan intelektual. Pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik kurang mendapat porsi yang memadai. Pendidikan karakter di sekolah setakat ini lebih banyak pada aspek pengetahuan dan memahami norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran sastra khususnya drama di sekolah, sebenarnya memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan karakter anak didik. Pada naskah drama banyak sekali dijumpai nilai-nilai yang mencerdaskan karakter pembaca baik dari segi tema, amanat, penokohan, dan unsur intrinsik lainnya. Hanya yang menjadi permasalahan adalah kurangnya aplikasi penganalisisan naskah naskah di kalangan peserta didik. Sangat penting sebenarnya untuk memperkenalkan naskah-naskah drama kepada siswa untuk membentuk karakter mereka menjadi lebih baik dan bermoral tinggi.

(22)

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

2. Drama

Menurut Harymawan, dalam buku Dramaturgi kata drama berasal dari bahasa Yunani droamai yang berarti berbuat, bertindak, beraksi dan sebagainya (1998: 1). Lebih lanjut Harymawan merumuskan pengertian drama sebagai berikut.

Arti pertama, drama adalah kualitas komunikasi, aktion, segala apa yang terlihat dalam pentas yang menimbulkan perhatian, kehebatan (exciting) dan ketegangan pada pendengar atau penonton. Arti kedua, menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life presented in action). Arti ketiga, drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan dan aktion di hadapan penonton.

Menurut Sudiro Satoto, dalam buku Kajian Drama, teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam arti yang lebih luas, yakni meliputi proses pemilihan naskah, penafsiran, penggarapan atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik (1991: 5).

Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan dengan premis dari drama tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah drama dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya. Sudut pandangan ini sering dihubungkan dengan aliran yang dianut oleh pengarang tersebut.

Jika tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari karya sastra itu, maka amanat berhubungan dengan makna (sifnificance) dari karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan.

Secara sederhana, untuk memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dapat dilakukan dengan mencermati tema dan amanat secara detil.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini tidak terikat tempat penelitian karena objek yang dikaji berupa naskah (teks) sastra, yaitu naskah drama Ayahku Pulang karya Chuci Keeru/Kikuchi Kwan (Saduran Usmar Ismail). Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan sehingga memerlukan bahan pustaka sebagai referensi yang banyak didapatkan baik lewat buku, media massa maupun internet. Penelitian ini bukan penelitian lapangan yang statis melainkan sebuah analisis yang dinamis.

Bentuk penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Hal ini disesuaikan dengan rumusan masalah penelitian yang sudah ditetapkan. Dalam penelitian ini informasi yang bersifat kualitatif dideskripsikan secara teliti dan analitis.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktural. Pendekatan ini digunakan dalam rangka menafsirkan makna yang mendalam pada karya sastra yang diteliti dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat. Hal ini diambil berdasar asumsi bahwa pada dasarnya karya sastra adalah pengejawantahan kehidupan masyarakat. Dengan demikian penafsiran makna yang ada dalam karya sastra ini merupakan perwujudan dari makna atau nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

(23)

Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Ayahku Pulang karya Chuci Keeru/Kikuchi Kwan (Saduran Usmar Ismail), dan tulisan atau buku-buku lain yang terkait.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa teknik antara lain; analisis langsung, pencatatan dan analisis dokumen.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of analysis) yang digunakan Miles dan Huberman. Model analisis interaktif meliputi tiga komponen-komponen penting yang selalu bergerak, yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan (conclusing drawing). Prosedur penelitian merupakan suatu proses yang menggambarkan tentang kegiatan dari awal persiapan sampai pada penyusunan laporan penelitian. Adapun prosedur penelitian yang dilakukan meliputi tahap-tahap sebagai berikut: 1) tahap persiapan; 2) tahap pengumpulan data; 3) tahap analisis data; 4) tahap akhir

C. Pembahasan

Naskah drama berjudul Ayahku Pulang ini, berkisah tentang sebuah keluarga. Diawali dengan kisah seorang ayah yang bernama Pak Saleh yang pergi meninggalkan istri dan anak-anaknya yang masih kecil untuk mencari pekerjaan yang lebih layak. Saat Pak Saleh pergi, keadaan rumah pun masih miskin. Anak pertamanya bernama Gunarto, saat itu masih berumur 8 tahun, anak keduanya bernama Maimun yang saat itu juga masih balita, sedangkan anak ketiganya, Mintarsih saat itu masih dalam kandungan sang ibu. Sang ayah pergi merantau untuk bekerja di Singapura. Setelah sukses di sana, kemudian ia menikah dengan seorang janda yang kaya.

Suatu saat api membakar habis tokonya, ia menanggung kerugian besar. Investasi yang ia lakukan pun gagal, akhirnya ia pun terlunta-lunta. Kini usianya telah tua dan ia memilih untuk kembali ke keluarganya yang lama. Dua puluh tahun sudah berlalu, Gunarto kini sudah dewasa dan menjadi tulang punggung keluarganya. Gunarto bekerja di pabrik tenun, wataknya keras karena beratnya perjuangan hidup yang harus ia lalui tanpa kasih sayang dan didikan seorang ayah. Maimun juga sudah memiliki pekerjaan, sedangkan Mintarsih bekerja dengan menerima jahitan.

Saat itu keluarganya sangat bahagia tanpa seorang ayah yang menemani kehidupan mereka. Pada malam hari Raya Idul Fitri, saat Gunarto pulang kerja. Gunarto menemukan ibunya yang sedang melamun, teringat kejadian dua puluh tahun yang lalu, di malam yang sama sang ayah telah meninggalkan mereka. Kenangan itu membuat luka lama di hati Gunarto kembali terbuka. Ia memilih tidak membicarakan hal itu dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Maimun kemudian pulang dan membawa kabar bahwa tetangga mereka melihat seorang laki-laki tua yang mirip dengan ayah mereka. Tak lama kemudian, Mintarsih pun pulang dan juga berkata bahwa ia melihat ada seorang lelaki tua di seberang jalan yang sedang melihat ke arah rumah mereka.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki tua menghampiri rumah mereka. Ibu langsung mengenali orang tua itu sebagai suaminya yang telah lama pergi meninggalkan mereka. Maimun dan Mintarsih yang tidak mengerti permasalahan yang dulu pernah terjadi, langsung saja menerima orang itu sebagai ayah mereka. Lain halnya dengan Gunarto yang masih memiliki rasa dendam yang mendalam pada ayahnya, ia tidak sudi menerimanya kembali di rumah mereka.

Ibu menyuruh laki-laki tua itu untuk masuk ke dalam rumah dan menyuruh Maimun mengambilkan minuman. Ayah pun melihat Gunarto yang kini sudah dewasa. Lalu ayahnya meceritakan kehidupannya sewaktu di Singapura, dia mempunyai istri, tetapi kemudian tokonya terbakar habis dan sekarang kehidupannya menjadi terlunta-lunta. Gunarto pun marah, sifat angkuhnya yang menurun dari sang ayah pun muncul dan ia mencaci-maki ayahnya. Mengingatkan ayah, ibu dan adik-adiknya tentang kesalahan yang telah diperbuat ayahnya di masa lalu, serta mengingatkan perjuangannya sebagai tulang punggung keluarga. Sang ayah menyesal dan akhirnya memilih untuk pergi karena tidak ingin mengganggu

(24)

ditinggalkan suaminya di saat malam hari raya Idul Fitri. Maimun dan Mintarsih menyesalkan perilaku Gunarto yang tidak mau menerima kembali ayah mereka, karena bagaimanapun juga mereka tetap darah dagingnya. Maimun akhirnya bertekad untuk menentang kakaknya dan pergi untuk memanggil ayahnya kembali pulang. Tetapi Maimun hanya menemukan baju dan peci ayahnya saja di pinggir jembatan. Ternyata sang ayah tertabrak mobil dan terlempar dari atas jembatan ke dalam sungai yang banjir.

Akhirnya Maimun membawa topi dan baju sang ayah ke rumah. Saat itulah Gunarto terkejut dan sangat menyesali perlakuannya terhadap sang ayah. Gunarto pun pergi ke luar rumah dan berlari untuk mengejar ayahnya ke jembatan, Gunarto mencari ayahnya dan memanggil-manggil nama ayahnya. Usaha Gunarto pun tidak membuahkan hasil, kini yang tersisa hanyalah penyesalan yang mendalam di hati Gunarto.

Dalam naskah drama Ayahku Pulang terdapat dua nilai pendidikan yang sangat menonjol yang dapat membantu membangun karakter pembaca atau penontonnya.

1. Kepedulian sosial

Sudah menjadi takdirnya bahwa manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan manusia lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa dimaknai bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa manusia yang lain. Interaksi antarmanusia ini bisa dengan berbagai macam bentuk. Bisa interaksi secara langsung, semisal memberi pertolongan kepada manusia lain yang membutuhkan pertolongan, bisa juga tidak secara langsung, semisal perasaan simpati atau empati terhadap manusia lain.

Pada drama Ayahku Pulang ini, ada dua tokoh yang semuanya laki-laki yang merupakan anak dan bapak, yang memegang peran penting dalam mempertanyakan kepedulian sesama manusia. Perbuatan Pak Saleh, sang ayah yang meninggalkan keluarganya pada bulan Ramadan hingga sampai dua puluh tahun lamanya jelas bukanlah perbuatan yang baik. Apalagi pada waktu sepuluh tahun setelah kepergiannya, diceritakan bahwa Pak Saleh sempat menjadi pengusaha kaya raya di Singapura. Pak Saleh sudah lupa dengan keluarga yang ditinggalkannya. Seorang istri dengan tiga anak yang masih kecil-kecil ditinggalkan tanpa kabar dan berita yang jelas. Peristiwa tidak bertanggung jawabnya seorang kepala keluarga terhadap nasib seluruh anggota keluarganya jelas bukan perbuatan yang baik. Dari peristiwa ini dapat ditarik sebuah simpulan bahwa kepedulian terhadap sesama manusia, apalagi terhadap keluarganya adalah sesuatu yang sangat penting.

Peristiwa yang kedua adalah, ketika Pak Saleh (sang ayah) menyadari kesalahannya, dan ia pulang ke rumah. Ia sudah meminta maaf dan mengakui kekhilafannya di masa lalu. Istri dan kedua anak putrinya bisa memaafkan dan menerima ayahnya kembali. Namun anak laki-lakinya yang bernama Gunarto tidak mau menerima kepulangan ayahnya. Gunarto menuduh ayahnya adalah ayah yang tidak bertanggung jawab. Membiarkan keluarganya hidup dalam kekurangan dan penderitaan hampir selama dua puluh tahun. Kemudian setelah ayahnya tua dan tidak punya apa-apa, dia ingin pulang kembali kepada keluarganya. Gunarto menganggap hal tersebut adalah hal yang sangat memalukan sebagai seorang ayah. Tidak bertanggung jawab dan mau enaknya sendiri. Simpulan dari peristiwa di atas bahwa tidak mau memaafkan kesalahan orang lain, apalagi kesalahan bapaknya sendiri jelas bukan perbuatan yang terpuji.

Pada peristiwa itu, jelas sekali pengarang betul-betul mempertanyakan rasa kemanusiaan sesama manusia, apalagi terhadap keluarganya. Bagaimana mungkin seorang ayah meninggalkan keluarganya tanpa alasan dan kabar yang jelas. Ini menjadi cermin pada diri kita sendiri, sejauh mana simpati dan perhatian kita kepada sesama manusia. Di samping itu, saling memaafkan kesalahan merupakan hal yang sangat penting. Karena hal tersebut sangat menentukan masa depan orang-orang yang bersangkutan. Pada zaman sekarang, sikap tidak bertanggung jawab, maunya menang sendiri, merasa paling benar dan egois sering kita jumpai pada peristiwa sehari-hari. Sindiran dengan sikap dan sifat manusia yang seperti Ibu hanya bisa menangis menahan kepedihan dan penderitaan yang dialaminya lagi,

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku tokoh utama dan tokoh pembantu dalam novel “Ayat-Ayat Cinta” karya Habiburrahman EL Shirazy dengan pendidikan

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya yang menjadi tujuan dalam pendidikan Islam adalah mengarahkan peserta didik agar taat menjalankan semua

Dalam novel ini yang dimetaforakan dengan metafora abstrak ke konkret yaitu kehidupan, perasaan dan cinta hal tersebut merupakan suatu hal yang abstrak sehingga

Atas kehendak-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER NOVEL AYAT-AYAT CINTA 2 KARYA

Hasil dari angket ada 3 aspek yaitu aspek pertama yang berjudul Aspek Karakter Novel Dilan 54.6%, hal ini menandakan bahwa para pembaca aspek karakter novel

Simpulan penelitian ini adalah: (1) unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy: alur, tema, karakter, setting,

Nilai pendidikan karakter yang ditemukan dalam novel tersebut adalah: (1) nilai religius pada perilaku tokoh Dahlan dan Bapak Dahlan, sejumlah empat kutipan, (2) nilai

Ruang lingkup dalam pembahasan tesis ini adalah kajian tentang latar sosiohistoris penulis novel Sangkakala Cinta karya dalam hal ini Khaeron Sirin, kajian mendalam