• Tidak ada hasil yang ditemukan

potensi pengembangan produk cabai merah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "potensi pengembangan produk cabai merah"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI PENGEMBANGAN PRODUK CABAI

MERAH (Capsicum anum L.) BEKU

TOPIK KHUSUS

Oleh

Laely Fitri Handayani

J1A 012 065

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN DAN AGROINDUSTRI

UNIVERSITAS MATARAM

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Topik Khusus : Potensi Pengembangan Produk Cabai Merah (Capsicum Anum L.) Beku

Nama Mahasiswa : Laely Fitri Handayani

Nomer Mahasiswa : J1A012065

Minat Kajian : Teknologi Pangan

Program Studi : Ilmu dan Teknologi Pangan

Telah diujikan pada 09 Juli 2015

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Ir.Zainuri,.PGDip., M.App.Sc.,Ph.D.) NIP. 19641231 1999020 2 0 15

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan

(Ir. Mohammad Abbas Zaini, M.P.) NIP. 195510221 198203 1 002

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-NYA sehingga topik khusus yang berjudul Potensi Pengembangan Produk Cabai Merah (Capsicum Anum L.) Beku ini dapat diselesaikan. Dalam penulisan topik khusus ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Ir. H. Eko Basuki, M.App.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram.

2. Ir. Moh. Abbas Zaini, MP., selaku Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pangan dan Agroindustri Universitas Mataram. 3. Ir.Zainuri,.PGDip., M.App.Sc.,Ph.D., selaku Dosen Pembimbing.

4. Kedua orang tua beserta keluarga yang selalu mendoakan yang terbaik untuk penulis.

5. Seluruh teman-teman ITP 2012.

Penulis menyadari dalam penulisan topik khusus ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Semoga topik khusus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak lain yang membutuhkan.

Mataram, Juni 2015

(4)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...i

HALAMAN PENGESAHAN...i

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...iv

DAFTAR TABEL...vi

DAFTAR GAMBAR...vii

RINGKASAN...1

BAB I. PENDAHULUAN...2

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penulisan...4

1.2.1. Tujuan Penulisan...4

1.2.2. Kegunaan Penulisan...4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...5

2.1. Cabai Merah...5

2.1.1. Morfologi Cabai Merah...5

2.1.2. Kandungan Nutrisi dalam Cabai Merah...6

2.1.3. Manfaat Cabai Merah...7

2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen Cabai Merah...8

2.2. Pengawetan Cabai Merah Segar...9

2.2.1. Pengawetan dengan bahan kimia...10

2.2.2. Pengawetan dengan Metode Pengeringan...12

2.3. Pembekuan Cabai Merah...19

2.3.1. Tahapan Proses Pembekuan Pada Cabai Merah...20

(5)

a. Perubahan Fisiki pada Makanan Beku...21

b. Peruban Kimia pada Pembekuan Makanan...23

c. Pengaruh Pembekuan terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme pada Bahan...24

2.4. Pengembangan Pengolahan Cabai Merah Beku...25

BAB III. PENUTUP...29

(6)

DAFTAR TABEL

(7)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Cara Pengeringan Tradisional (Cara Petani)...12

Gambar 2. Alat Pengering Buatan Model Balitro...15

Gambar 3. Alat Pengering Buatan Model LIPI...15

(8)

RINGKASAN

Cabai merah besar (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Tanaman cabai merah adalah tanaman perdu dengan rasa buah pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin. Karena rasa pedas inilah cabai merah digunakan sebagai bumbu dalam masakan oleh masyarakat karena mampu memeberikan cita rasa yang khas dan juga memberikan warna merah bagi masakan. Seperti halnya sayuran dan buah yang lain, cabai merah setelah dipetik dalam keadaan matang memiliki kandungan air yang cukup tinggi yaitu 90%. Kandungan air yang tinggi ini dapat menyebabkan cabai merah sangat mudah rusak. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan cabae merah adalah dengan melakukan pengawetan pasca panen. Pengawetan yang telah dilakukan pada cabai merah ialah pengawetan dengan bahan kimia, pengeringan, penggunaan suhu termal, dan penyimpanan pada suhu rendah. Penyimpanan pada suhu rendah dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendinginan dan pembekuan.

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Cabai merah atau lombok (bahasa Jawa) adalah tumbuhan dan buah anggota genus Capsicum. Cabai merah (Capsicum annuum L.) termasuk salah satu komoditi sayuran yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, karena peranannya yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai komoditi ekspor dan industri pangan maupun industri obat-obatan. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Buah yang masih muda berwarna hijau banyak digunakan sebagai sayur dan setelah tua berubah menjadi merah digunakan sebagai bumbu masakan, acar, sambal, macam-macam saus, buah kering dan tepung (Hartuti, 1997).

Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. Cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker. Selain itu kandungan vitamin C yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus di konsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung (Utami, 2012). Kandungan vitamin C (asam askorbat) dan beta karoten cabai merah yang tinggi mengungguli buah-buahan yang sering dikonsumsi masyarakat seperti pepaya, mangga, nanas dan semangka. Vitamin C pada cabai merah berfungsi sebagai pemeliharaan membran sel, meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, mempercepat penyembuhan (Almatsier, 2010).

(10)

secara alami tidak dihentikan, mudah mengalami perubahan metabolisme karena kandungan airnya yang tinggi, sehingga tidak dapat lama disimpan dalam bentuk segar (Hartuti, 1997).

Penanganan pascapanen cabai merah di Indonesia umumnya masih sederhana sehingga tingkat kerusakannya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena fasilitas dan pengetahuan petani tentang penanganan pascapanen masih terbatas. Teknologi pascapanen atau pengolahan cabai menjadi andalan dalam mempertahankan dan meningkatkan nilai jual produk yang dituntut prima oleh konsumen. Oleh karena itu, petani cabai perlu memiliki pengetahuan tentang penanganan komoditas yang mudah rusak agar kesegarannya dapat dipertahankan lebih lama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan cabai tergolong sayuran yang mudah rusak dan sulit dipertahankan dalam bentuk segar (Taufik, 2011).

Penyebab utama dari kerusakan cabai merah adalah karena kadar airnya yang tinggi, sehingga akan memperbesar terjadinya kerusakan–kerusakan fisiologis, mekanis, maupun aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme yang banyak menyebabkan kerusakan atau pembusukan pada cabai merah adalah jamur. Untuk mencegah pembusukannya, cabai merah diawetkan dengan menggunakan bahan pengawet (Oktaviana, 2012). Selain penggunaan bahan pengawet, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan umur simpan cabai diantaranya yaitu dengan pembekuan. Pengawetan dengan suhu rendah (pembekuan) dapat menghambat aktivitas mikroba mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak kandungan gizi bahan pangan. Walaupun pembekuan dapat mereduksi jumlah mikroba yang sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikroba (Frazier, 1977 dalam Rohanah 2002).

(11)

yang memiliki lubang udara dalam ruang pendingin bersuhu 7,8-8,9°C dapat mempertahankan kesegaran cabai selama 40 hari. Selain itu, menurut Anonim (2012), bila cabai disimpan pada suhu 0°F atau -18°C atau suhu dibawah itu, maka cabai tersebut dapat memiliki masa simpan 8-12 bulan. Cabai merah yang telah mengalami pembekuaan selama beberapa hari, dapat digunakan menjadi olahan selanjutnya seperti sambal, bumbu, saos, pasta cabai, manisan cabai, cabai kering atau dijadikan sebagai cabai bubuk. Sebelum mengalami pengolahan selanjutnya cabai beku tersebut harus mengalami proses thawing untuk menghilangkang kristal es pada cabai. Oleh karena itu, pengembangan produk cabai beku dapat dijadikan salah satu alternatif penyimpanan saat harga cabai melonjak tinggi.

1.2. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1.2.1. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui cara pembekuan pada cabai merah sebagai salah satu cara memperpanjang umur simpan cabai merah dan mengetahui potensi dalam pengembangan produk cabai merah beku serta produk olahan dari cabai merah beku dalam industri pangan.

1.2.2. Kegunaan Penulisan

(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cabai Merah

Cabai merah besar (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahun sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri yang membutuhkan bahan baku cabai. Tanaman cabai merah adalah tanaman perdu dengan rasa buah pedas yang disebabkan oleh kandungan capsaicin. Secara umum cabai memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin, diantaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, vitamin A, B1 dan vitamin C (Prayudi, 2010).

2.1.1. Morfologi Cabai Merah

Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran yang tergolong tanaman tahunan berbentuk perdu. Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tanaman cabai merah adalah sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae dalam suku Solonaceae. Secara umum cabai merah dapat ditanam di lahan basah (sawah) dan lahan kering (tegalan). Cabai merah dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian sampai 900 m dari permukaan laut, tanah kaya akan bahan organik dengan pH 6-7 dan tekstur tanah remah (Sudiono, 2006).

(13)

tajuk tanaman dapat mencapai 1,2 m. Daun cabai pada umumnya berwarna hijau cerah pada saat masih muda dan akan berubah menjadi hijau gelap bila daun sudah tua. Daun cabai ditopang oleh tangkai daun yang mempunyai tulang menyirip. Bentuk daun umumnya bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung runcing. Bunga cabai berbentuk terompet atau campanulate, sama dengan bentuk bunga keluarga Solonaceae lainnya. Bunga cabai merupakan bunga sempurna dan berwarna putih bersih, bentuk buahnya berbeda- beda menurut jenis dan varietasnya (Tindall, 1983).

Buah cabai bulat sampai bulat panjang, mempunyai 2-3 ruang yang berbiji banyak. Buah yang telah tua (matang) umumnya berwarna kuning sampai merah dengan aroma yang berbeda sesuai dengan varietasnya. Bijinya kecil, bulat pipih seperti ginjal dan berwarna kuning kecoklatan (Sumaryono,2003).

2.1.2. Kandungan Nutrisi dalam Cabai Merah

(14)

Tabel 1 Kandungan nutrisi pada cabai per100 gram bahan dapat dilihat

Sumber :Anrianto dan Indarto (2004)

Cabai merah mengandung oleoresin yang menimbulkan rasa pedas, warna merah dan cita rasa yang khas. Oleoresin adalah suatu produk yang mengandung resin, minyak-minyak esensial yang bersifat volatil dan bahan aktif lainnya yang diekstrak dengan pelarut non-aqueous seperti hidrokarbon (Ripangi, 2012).

Komponen-komponen oleoresin yang terdapat dalam cabai merah ialah limonen, linalil, metil salisilat, 4-metil-1-pentenil-2-metil butirat, isoheksilisokaproat dan heksasil-3-enol. Rasa pedas cabai dihasilkan oleh senyawa capcaisin dan vanililamida. Capcaisin bersifat tidak berwarna, tidak berbau, berbentuk cair pada suhu 65oC dan menguap pada suhu yang lebih tinggi.

Vanililamida dan capcaisin adalah senyawa antimikroba yang terdapat dalam cabai merah (Ripangi, 2012).

2.1.3. Manfaat Cabai Merah

(15)

digunakan sebagai bumbu masakan, acar, sambal, macam-macam saus, buah kering dan tepung (Hartuti, 1997).

Zat yang membuat cabai terasa pedas adalah capcaisin yang tersimpan dalam urat putih cabai, tempat melekatnya biji. Karena itu, untuk mengurangi rasa pedasnya, biasanya cabai merah dibuang bijinya berikut uratnya. Capcaisin cabai bersifat stomakik, yakni dapat meningkatkan nafsu makan. Selai itu, cabai memeliki kemampuan untuk merangsang produksi hormon endorphin yang mampu membangkitkan sensasi kenikmatan. Itulah sebabnya orang makan cabai ketika kepala pusing. Rasa pedas yang ditimbulkan capcaisin menghalangi aktivitas otak untuk menerima sinyal rasa sakit yang kita derita. Senyawa capcaisin ternyata tak hanya merangsang nafsu makan, tetapi juga menjadi obat. Capcaisin mengencerkan lendir sehingga melonggarkan penyumbatan pada tenggorokan dan hidung, termasuk sinusitis. Capcaisin juga bersifat antikoagulan dengan cara menjaga darah supaya tetap encer dan mencegah terbentuknya kerak lemak pada pembuluh darah. sehingga, orang yang sering makan cabai kemungkinan menderita penyumbatan pembuluh darah (aterosklerosis), serangan stroke, jantung koroner, dan impotensi sangat kecil (Ripangi, 2012).

2.1.4. Teknologi Penanganan Pasca Panen Cabai Merah

(16)

buah yang dipetik harus buah yang benar-benar masak agar diperoleh hasil yang seragam (Hasbullah, 2012).

Untuk mengantisipasi semakin memburuknya kinerja penanganan pasca panen pada produk cabai dapat diberikan usulan perencanaan kualitas sebagai berikut :

Proses pemanenan sebaiknya cabai sebaiknya dilakukan dengan cara hati-hati dan dengan menggunakan peralatan yang memadai serta telah dilengkapi dengan komponen pelindung. Waktu pemanenan sebaiknya dilakukan pada pagi hari karena dapat mencegah kelayuan pada cabai yang telah dipanen (Wijaya dan Supata, 2013). Setelah cabai dipanen sebaiknya dilakukan sortasi dan grading. Proses ini bertujuan untuk memilih dan mengkelaskan buah cabai berdasarkan penambpilan produk yang seragam, baik ukuran panjang, diameter, bentuk, permukaan dan warna, maupun kekerasan buah. Untuk mememudahkan pengangkutan, cabai yang telah disortasi dan grading dapat dikemas (Ripangi, 2012). Bahan yang digunakan sebagai pengemas cabai dapat menggunakan kantong plastik yang diberi lubang. Pada proses pengankutan harus dilakukan dengan teliti dan hati-hati. Jumlah tumpukan tidak boleh terlalu banyak karena dapat menyebabkan terjadinya penyok pada buah cabai yang berada ditumpukan paling bawah karena bebannya terlalu berat. Sebaiknya jumlah tumpukan dus cabai yang ideal adalah empat dus. Selain itu, transportasi yang baik adalah menggunakan truk atau container yang bersistem udara terkendali serta tertutup dan pengangkutan sebaiknya dilakukan malam hari. Proses penyimpanan cabai sebaiknya ditempatkan di ruangan yang teduh, memiliki kelembaban yang cukup dan terdapat sirkulasi udara. Penyimpanan dalam temperatur udara rendah juga akan dapat mempertahankan mutu cabai lebih lama serta menekan penuaan maupun kegiatan mikroba perusak. Proses kontrol temperatur udara pada gudang di tempat penyimpanan dapat dijadikan salah satu solusi (Wijaya dan Supata, 2013).

2.2. Pengawetan Cabai Merah Segar

(17)

kandungan cabai merah itu sendiri. Kandungan air yang sangat tinggi ini dapat menjadi penyebab kerusakan cabai pada saat musim panen raya. Oleh karena itu, untuk memperpanjang umur simpan cabai merah dilakukan beberapa upaya pengawetan dengan cara-cara sebagai berikut:

2.2.1. Pengawetan dengan bahan kimia

Penggunaan bahan pengawet kimia pada cabai merah sudah banyak dilakukan. Bahan pengawet yang digunakan merupakan bahan kimia yang sesuai dengan Standar yang telah ditentukan sehingga aman jika dikonsumsi oleh konsumen. Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk pengawetan cabai merah ialah sebagai berikut :

a. Natrium Benzoat

Pengawet yang banyak dijual dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan barbagai bahan makanan adalah benzoat, yang biasanya terdapat dalam bentuk natrium benzoat atau kalium benzoat karena lebih mudah larut. Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap dan lain-lain (Cahyadi, 2008).

Benzoat merupakan unsur alami yang terdapat dalam beberapa tumbuhan. Dan sering digunakan sebagai anti bakteri atau anti jamur untuk mengawetkan makanan. Batas atas benzoat yang diizinkan dalam makanan 0,1% di Amerika Serikat, sedangkan untuk negara-negara lain berkisar antara 0,15-0,25%. Untuk negara-negara Eropa batas benzoat berkisar antara 0,015-0,5% (Ibekwe et al., 2007). Asam banzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas

penggunaannya dan sering digunakan pada bahan makanan yang asam, bahan ini digunakan untuk mencegah pertumbuhan khamir dan bakteri. Benzoat efektif pada pH 2,5-4,0. Karena kelarutan garamnya lebih besar, maka biasa digunakan dalam bentuk garam Na-benzoat (C6H5COONa). Sedangkan dalam bahan, garam

benzoat terurai menjadi bentuk efektif, yaitu bentuk asam benzoat yang tak terdisosiasi ( Winarno, 1997 ).

(18)

mempengaruhi rasa.Bahan makanan dan minuman yang diberi benzoat dapat memberikan rasa aroma fenol, yaitu seperti aroma obat cair. Asam bonzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, minuman anggur, saus sari buah, sirup, dan ikan asin. Bahan ini bisa menyebabkan dampak negatif pada penderita asma dan bagi orang yang peka terhadap aspirin. Kalsium benzoat bisa memicu terjadinya serangan asma ( Subani, 2008).

b. Kalsium Propionat

Kalsium Propionat/Natrium Propionat (CH3CH2COOH) Keduanya yang

termasuk dalam golongan asam propionat sering digunakan untuk mencegah tumbuhnya jamur atau kapang. Bahan pengawet ini biasanya digunakan untuk produk roti dan tepung. Untuk bahan tepung terigu, dosis maksimum yang kapang, sedikit efektif atau tidak efektif sama sekali terhadap khamir dan bakteri. Efektivitas menurun dengan meningkatnya pH, dengan pH optimal 5 – 6 yang tergantung pada jenis makanan. Kadar yang dapat dikonsumsi untuk setiap harinya tidak terbatas, dengan LD 50 secara oral untuk tikus 4 sebesar 2,6 g/kg bobot badan. Batas maksimum penggunaan pada selai dan jeli buah-buahan dengan pemanis buatan sampai 0,1 % sediaan keju olahan 3 g/kg, dapat dipakai secara tunggal maupun campuran dengan asam sorbat dan garamnya, roti 2 g/kg (Saptarini, 2007).

c. Asam Asetat

(19)

Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam

bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H.Asam asetat murni (disebut asam

asetat glasial) adalah cairanhigroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana, setelah asam format.Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah, artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH

3COO-. Asam

asetat merupakan pereaksi kimia dan bahan bakuindustri yang penting. Asam asetat digunakan dalam produksipolimer seperti polietilena tereftalat, selulosa asetat, dan polivinil asetat, maupun berbagai macam serat dan kain. Dalam industri makanan, asam asetat digunakan sebagai pengatur keasaman. Di rumah tangga, asam asetat encer juga sering digunakan sebagai pelunak air. Dalam setahun, kebutuhan dunia akan asam asetat mencapai 6,5 juta ton per tahun. 1.5 juta ton per tahun diperoleh dari hasil daur ulang, sisanya diperoleh dari industri

petrokimia maupun dari sumber hayati (Saruchan, 2010).

Asam organik secara alami dihasilkan oleh tumbuhan. Beberapa jenis asam organik yang dapat digunakan untuk mengawetkan makanan adalah asam asetat, asam laktat, asam propionat, asam fumarat, asam tartarat, dan asam sitrat. Namun, yang paling efektif sebagai pengawet adalah asam asetat, karena tidak ada batas maksimal penggunaannya untuk makanan beberapa peneliti menyatakan, penggunaan asam asetat untuk makanan dalam jangka waktu lama tidak membahayakan kesehatan karena dapat dimetabolisir oleh tubuh kemudian dikeluarkan dari tubuh.Dari hasil penelitian, larutan yang mengandung asam asetat 4% dapat mengurangi jumlah bakteri penyebab pembusukan serta bakteri patogen seperti Escherichiacoli, Staphylococcus aureus, dan Salmonella sp ( Andriani, 2006).

2.2.2. Pengawetan dengan Metode Pengeringan

(20)

Pengeringan merupakan salah satu cara dalam teknologi pangan, agar bahan menjadi awet dan aman disimpan. Keuntungan menggunakan pengeringan yaitu volume bahan menjadi lebih kecil dan beratnya berkurang, sehingga akan menghemat ruang pengepakan dan memudahkan pengangkutan (Hartuti dan Sinaga, 1997).

Metode pengawetan dengan pengeringan berdasarkan prinsip bahwa mikroba dan reaksi-reaksi kimia hanya terjadi jika air tersedia dalam jumlah cukup. Jumlah kandungan air dalam bahan hasil pertanian akan mempengaruhi daya tahan suatu bahan tersebut terhadap serangan mikroba. Untuk memperpanjang daya tahan suatu bahan maka sebagian air pada bahan dihilangkan atau diuapkan sehingga mencapai kadar air tertentu (Hartuti dan Sinaga, 1997).

Beberapa cara pengeringan adalah sebagai berikut : 1. Pengeringan Cara Petani (Tradisional)

(21)

Gambar 1. Cara pengeringan tradisional (cara petani) sumber Hastuti dan Sinaga 1999

2. Pengeringan buatan

Menurut Hartuti dan Sinaga (1999), terdapat bebrapa metode pengeringan buatan yang dapat digunakan untuk mengeringkan cabai merah diantaranya sebagai berikut :

a. Pengeringan Buatan Energi Matahari

Pengeringan buatan energi matahari merupakan cara pengeringan yang menggunakan alat dengan sumber panas seperti pengeringan tradisional yaitu menggunakan sinar matahari. Pada prinsipnya sinar matahri ini sebagai pengganti sumber panas dari bahan bakar pada saat pengeringan. Pengaring sinar matahari dibuat dengan bentuk seperti lemari dengan dinding terbuat dari plastik dan rangka terbuat dari kayu. Jumlah rak terdiri dari 3-5 buah atau lebih disesuaikan dengan besarnya ukuran dari alat pengering. Rancangan alat pengering terdiri dari 3 bagian yaitu cerobong, ruang pengering dan kolektor. Rangka utama dan rangka konstruksi terbuat dari kayu. Semua sambungan dipaku, dindingnya dibuat dari plastik mika 0,2-0,3 mm dan tembus pandang (transparan) (Hartuti dan Sinaga, 1997).

(22)

aliran udara ke dalam ruang pengering, sedangkan ujung di atas untuk disambungkan dengan plastik dari ruang pengering (Hartuti dan Sinaga, 1997).

Rangka cerobong terbuat dari kayu sebanyak 6 buah, 3 buah untuk membuat rangka segitiga bagian atas dan 3 buah untuk kerangka bagian bawah. Cerobong dilapisi dengan plastik dan dijepit dengan triplek, dipasang di atas ruang pengering dan dipaku pada kerangka atap atau diberi dudukan khusus yang berfungsi untuk memberi kesempatan sirkulasi udara di dalam ruang pengering. Rak pengering terbuat dari ram kawat yang diberi lapisan kayu pada bagian pinggirnya agar rak tetap kaku/tegar dan dapat diangkat keluar. Untuk pembuatan alat pengering ini ukuran alat dapat disesuaikan dengan jumlah bahan yang akan dikeringkan (Hartuti dan Sinaga, 1997).

Perbedaan alat pengering tipe LIPI dan Balitro yaitu bahwa pada kamar pengering tipe LIPI panjang cerobong 180 cm dan tempat dudukan cerobongnya terletak di tengah dekat daun pintu, sedangkan tipe Balitro panjang cerobong 90 cm dan tempat dudukan cerobongnya di tengah- tengah atap. Model pengering LIPI dan Balitro ini, berukuran panjang 305 cm, lebar 95 cm dan tinggi 285 cm. Kapasitas pada alat pengering masing-masing bisa mencapai 100-200 kg (Hartuti dan Sinaga, 1997).

Keuntungan pengering buatan adalah : (1) tidak perlu dijaga dari gangguan hujan dan gangguan hewan pemeliharaan, (2 tidak perlu diangkat (dibongkar) sebelum kering dan lama pengeringan 5-7 hari pada musim kemarau. Tabel 2 Mutu cabai setelah dikeringkan

Vitamin C (mg/100 g) 180,86 197,44 220,33 Zat padat terlarut (%) 55,82 55,81 55,14

(23)

Kelembaban (%) 49 45 45 Sumber : Hartuti dan Sinaga (1995)

Gambar 2. Alat pengering buatan model Balitro

Gambar 3. Alat pengering model LIPI b . Pengeringan dengan oven

Selain pengeringan tradisional (penjemuran) dan pengeringan buatan menggunakan sinar matahari, dapat juga dilakukan pengeringan dengan alat oven. Oven merupakan alat yang sangat mudah dalam penggunaannya. Alat ini menggunakan sumber panas dari tenaga listrik. Siswoputranto (1973) melaporkan bahwa cabai merah yang dibelah pengeringannya lebih cepat dibandingkan dengan cabai yang dikeringkan dalam bentuk utuh. Untuk menghasilkan kadar air 5-8% cabai merah utuh yang dikeringkan pada suhu 60°C membutuhkan waktu 20-25 jam, sedangkan cabai yang dibelah membutuhkan waktu 10-15 jam. Keuntungan dengan pengeringan oven antara lain suhu dan kelembaban dapat diatur, ukuran oven dapat disesuaikan dan dapat bekerja siang malam (Hartuti dan Sinaga, 1997).

2.2.3. Pengawetan dengan Proses Termal

(24)

dengan panas dapat menyebabkan zat gizi menurun bila dibandingkan dengan bahan segarnya. Penggunaan panas dalam proses pengawetan dapat membunuh atau menginaktifkan organisme yang potensial berbahaya termasuk bakteri dan virus. Efeknya tergantung suhu pemanasan dan teknik yang digunakan. Suhu berkisar antara 5oC sampai 57oC (41oF sampai 135oF) adalah “wilayah makanan

dalam bahaya” karena diantara suhu tersebut bakteri dapat tumbuh dengan cepat. Dibawah kondisi tersebut bakteri dapat menggandakan angka pertumbuhan setiap 20 menit. Makanan mungkin tidak menampakkan perbedaan atau kerusakan tetapi dapat berbahaya bagi orang yang mengkonsumsinya (Arnold, 1976).

Pemanasan selama pemasakan menghasilkan perubahan pada penampilan dan bahan-bahan fisik. Perubahan tersebut tergantung pada waktu pemasakan dan kondisi suhu. Pemanasan diatas 60°C dapat menyebabkan molekul protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat menjadi tidak stabil (Kinsman et al., 1994).

Pemanasan (perebusan dan penggorengan) yang dilakukan secara berlebihan atau waktu yang lama tanpa penambahan karbohidrat, dapat mengakibatkan nilai gizi protein akan berkurang karena terbentuknya ikatan silang dalam protein. Protein merupakan senyawa yang reaktif terhadap panas, dimana sisi aktif beberapa asam amino dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya (Winarno, 2002).

(25)

2.2.4. Pengawetan dengan Suhu Rendah

Cara Pengawetan pangan dengan suhu rendah ada 2 macam yaitu pendinginan (cooling) dan pernbekuan (freezing). Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2° sampai +10°C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lernari es pada umumnya

mencapai suhu 5-8°C. Meskipun air murni membeku pada suhu 0°C, tetapi

beberapa makanan ada yang tidak membeku sampai suhu –2°C atau di bawah, hal ini terutama disebabkan oleh pengaruh kandungan zat-zat di dalam makanan tersebut (Koswara, 2009).

Pendinginan biasanya akan mengawetkan berapa hari atau minggu tergantung dari macarn bahan pangannya. sedangkan pernbekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang-kadang beberapa tahun. Mutu bahan pangan yang dibekukan akan menurun dengan kecepatan yang tergantung dari suhu penyimpanan dan jenis bahan pangan. Pada umumnya sebagian besar bahan pangan akan mempunyai mutu penyimpanan yang baik sekurang-kurangnya 12 bulan bila disimpan pada suhu -18°C, kecuali bahan

pangan dengan kandungan lemak tinggi. Bila suhu penyimpanan naik 3°C maka kecepatan kerusakan akan berlipat ganda (Koswara, 2009).

Makanan beku yang mempunyai Mutu penyimpanan yang baik selama

12 bulan pada suhu -18°C, akan tahan simpan masing-masing hanya 6 bulan

atau 3 bulan pada suhu -15°C atau -12°C. Perbedaan yang lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap aktivitas mikroba dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan bahan tidak dapat menyebabkan kematian mikroba sehingga bila bahan pangan dikeluarkan dari tempat penyimpanan dan dibiarkan mencair kembali (thawing) pertumbuhan mikroba pembusuk dapat berjalan dengan cepat. Penggunaan suhu rendah terutama untuk beberapa hasil pertanian tertentu perlu mendapat perhatian kerena kerusakan fisiologis dapat lebih cepat terjadi terutama justru pada suhu rendah, misalnya kerusakan akibat proses pendinginan (Chilling injuries) dan kerusakan proses pembekuan (freezing injuries) (Koswara, 2009).

2.3. Pembekuan Cabai Merah

(26)

membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian kandungan air bahan atau dengan terbentuknya es (ketersediaan air menurun), maka kegiatan enzim dan jasad renik dapat dihambat atau dihentikan sehingga dapat mempertahankan mutu bahan pangan. Mutu hasil pembekuan masih mendekati buah segar walaupun tidak dapat dibandingkan dengan mutu hasil pendinginan (Rohanah, 2002).

Pembekuan dapat mempertahankan rasa dan nilai gizi bahan pangan yang lebih baik daripada metoda lain, karena pengawetan dengan suhu rendah (pembekuan) dapat menghambat aktivitas mikroba mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan aktivitas enzim yang dapat merusak kandungan gizi bahan pangan. Walaupun pembekuan dapat mereduksi jumlah mikroba yang sangat nyata tetapi tidak dapat mensterilkan makanan dari mikroba (Frazier, 1977)

Menurut Tambunan (1999), pembekuan berarti pemindahan panas dari bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat, dan merupakan salah satu proses pengawetan yang umum dilakukan untuk penanganan bahan pangan. Pada proses pembekuan, penurunan suhu akan menurunkan aktifitas mikroorganisma dan sistem enzim, sehingga mencegah kerusakan bahan pangan. Selain itu, kristalisasi air akibat pembekuan akan mengurangi kadar air bahan dalam fase cair di dalam bahan pangan tersebut sehingga menghambat pertumbuhan mikroba atau aktivitas sekunder enzim.

(27)

mengemas produk yang dibekukan jika produk dibekukan dalam keadaan terkemas. Pengawetan pangan melalui proses pembekuan dapat dicapai dengan kombinasi dua faktor, yaitu faktor suhu dan aktivitas air, dan dalam beberapa kasus ditambah dengan perlakuan blansir sebelum proses pembekuan. Secara keseluruhan, faktor-faktor tersebut akan menurunkan laju reaksi kimia, biokimia, dan aktivitas mikrobiologi (PATPI, 2007).

Faktor-faktor dasar yang dapat mempengaruhi mutu akhir dari makanan beku adalah mutu makanan beku yang digunakan termasuk Varietas, kematangan, kecocokan untuk dibekukan dan disimpan dalam keadaan beku, perlakuan sebelum pembekuan seperti blansing, penggunaan SO2 atau asam askorbat,

metode dan kecepatan pembekuan yang digunakan, suhu penyimpanan dan fluktasi suhu, waktu penyimpanan, kelembaban lingkungan tempat penyimpanan, terutama jika makanan tidak dikemas dan sifat-sifat dari setiap bahan pengemas yang digukanakan pada proses pembekuan (Afrianti, 2013).

2.3.1. Tahapan Proses Pembekuan Pada Cabai Merah

(28)

Diagram alir pembekuan cabai merah .

2.3.2.Perubahan-Perubahan pada Makanan Selama Pembekuan

Makanan yang mengalami pembekuan tentunya akan mengalami perubahan baik fisik, kimia, biologi maupun mikrobiologi. Pada dasarnya makanan yang disimpan pada waktu yang cukup lama tentu akan mengalami penurunan mutu meskipun telah dilakukan beberapa upaya pengawetan dan pengolahan. Akan tetapi, dengan perlakuan pengolahan atau pengawetan diharapkan penurunan mutu pada makanan dapat diminimalkan. Begitu pula pada makanan yang dibekukan, terdapat berapa pengaruh akibat pembekuan pada makanan tersebut.

a. Perubahan Fisiki pada Makanan Beku

Cabai merah segar

Pembersihan

Pengemasan menggunakan plastik tipis yang berpori Dicuci hingga bersih

Pengkelaskan berdasarkan kualitas Sortasi

Blanching atau perlakuan pendahuluan

(29)

Perubahan fisik pada makanan yang dibekukan dapat terlihat dengan terjadinya perubahan pada makanan yang dapat diamati langsung. Dehidrasi permukaan pangan, disebabkan oleh pengemasan yang kurang baik dan terjadi fluktasi suhu. Pada ayam dehidrasi tampak sebagai Freezer burn yaitu adanya bagian-bagian dari kulit yang berubah menjadi bening. Pada kemasan dehidrasi tampak sebagai cavity yaitu pengisian rongga dalam kemasan oleh kristal-kristal es. Selama proses pembekuan juga dapat mengakibatkan berkurangnya flavor akibat penguapan, pecahnya gel dan emulsi setelah makanan dicairkan dan drip yaitu pembebasan cairan jaringan setelah bahan makanan dicairkan, misalnya pada daging dan ikan (Afrianti, 2013).

Kegiatan metaabolisme pada produk biasanya ditentukan oleh aktivitas enzimatis. Suhu dimana enzim menjadi aktif atau tidak aktif amat bervariasi. Pada suhu terlalu rendah sekitar 0-2°C, kegiatan metabolisme terherhenti. Air dalam ruang antar sel akan membeku, sehingga sel akan rusak. Setelah thawing (pencairan es) tekstur dari makanan yang dibekukan akan kembali normal. Sehingga komoditi akan membusuk, karena jaringan sel rusak dan mikroba akan mudah tumbuh (Widjanarko, 2012). Kerusakan enzim dan jaringan selama pembekuan akan mempengaruhi makanan mulai dari tekstur dan warna. Hal ini karena setelah thawing makanan memang kembali normal akan tetapi tidak seperti bentuk segarnya. Kurva suhu dan waktu pembekuan umumnya

(30)

mempertahankan jaringan dengan kerusakan minimum pada membran sel (Rohanah, 2002).

b. Peruban Kimia pada Pembekuan Makanan

Selama proses pembekuan, beberapa sifat kimia dari bahan dapat mengalami perubahan diantaranya penguraian Vitamin C akibat reaksi oksidasi, ketengikan akibat oksidasi lipida, pemucatan warna akibat reaksi pada klorofil dan karoten (Afrianti, 2013). Selain perubahan tersebut, pembekuan juga dapat mempengaruhi kandungan lain pada makanan seperti kadar protein, kadar lemak, dan kandungan vitamin pada makanan. Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan nilai gizi protein, maka dimungkinkan untuk mendenaturasi protein dengan perlakukan demikian. Hal ini dapat dilihat dalam proses pendadihan bahan-bahan yang berprotein terutama selama pembekuan dan pencairan yang berulang-ulang. Walaupun nilai biologis protein yang mengalami denaturasi, sebagai bahan pangan manusia, tidak banyak berbeda dengan protein asli, kenampakan dan kualitas bahan pangan tersebut mungkin akan berubah sama sekali karena perlakuan-perlakuan yang demikian. Selama penyimpanan beku jika seandainya enzim tidak diinaktifkan, proteolisis mungkin terjadi di dalam jaringan hewan (Rohanah, 2002).

Deteriorasi oksidatif lemak dan minyak bukanlah hal yang asing lagi pada bahan pangan. Lemak dalam jaringan ikan cenderung lebih cepat menjadi tengik daripada lemak dalam jaringan hewan. Pada suhu –10°C ketengikan yang berkembang dalam jaringan berlemak yang beku sangat berkurang. Lemak yang tengik cenderung mempunyai nilai gizi yang lebih rendah daripada lemak yang segar. Untuk mencegah proses tersebut maka proses pembekuan merupakan pencegahan yang sangat baik hampir pada semua makanan berlemak (Rohanah, 2002).

(31)

keadaan beku kehilangan vitamin C akan berlangsung terus. Makin tinggi suhu suhu penyimpanan makin besar terjadinya kerusakan zat gizi. Dalam bahan pangan beku kehilangan yang lebih besar dijumpai terutama pada vitamin C daripada vitamin yang lain. Blansing untuk menginaktifkan enzim adalah penting untuk melindungi tidak hanya vitamin-vitamin akan tetapi juga kualitas bahan pangan beku pada umumnya. Secara komersial sudah lama dilakukan penambahan asam askorbat pada buah-buahan sebelum pembekuan guna melindungi kualitas. Vitamin B1 peka terhadap panas dan rusak sebagian selama blansing untuk menginaktifkan enzim. Kehilangan lebih lanjut tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit selama penyimpanan beku pada suhu dibawah nol pada buah-buahan, sayuran, daging, dan unggas. Selama preparasi untuk pembekuan kandungan vitamin B2 dalam bahan pangan menjadi berkurang, akan tetapi selama penyimpanan beku kerusakan zat gizi hanya sedikit atau tidak rusak sama sekali. Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan karoten sebagai prekusor vitamin A selama pembekuan bahan pangan mengalamin sedikit perubahan walaupun terjadi kehilangan selama penyimpanan. Blansing pada jaringan tanaman dapat memperbaiki stabilitas penyimpanan karoten. Penyimpanan bahan pangan dalam keadaan beku tanpa dikemas dapat menjurus ke arah terjadinya oksidasi dan perusakan sebagian besar zat gizi, termasuk vitamin (Rohanah, 2002).

c. Pengaruh Pembekuan terhadap Pertumbuhan Mikroorganisme pada Bahan

(32)

steril dan acapkali cepat membusuk seperti produk yang tidak dibekukan jika suhu cukup tinggi dan lama penyimpanan pada suhu tersebut cukup lama. Pembekuan dan penyimpanan makanan beku juga mempunyai pengaruh yan nyata pada kerusakan sel mikroba. Jika sel yang rusak atau luka tersebut mendapat kesempatan menyembuhkan dirinya, maka pertumbuhan yang cepat akan terjadi jika lingkungan sekitarnya memungkinkan (Buckle, 2010).

2.4. Pengembangan Pengolahan Cabai Merah Beku

Cabai merah yang telah dibekukan masih dapat diolah lagi menjadi produk lain. Sebelum digunakan cabai beku harus mengalami proses thawing. Thawing merupakan proses kelanjutan dari proses freezing. Thawing akan mengembalikan bahan baku ataupun produk dari yang semula berbentuk fase padat menjadi fase cair. Dalam daging beku akan mengembalikan keempukan dari daging. Suhu thawing berkisar antara 10°-15° C. (Jeremiah, 1996) Ada 2 macam thawing yaitu slowly thawing dan rapid thawing. Slowly thawing menggunakan aliran udara hangat yang akan menyebabkan suhu bahan baku dan produk menjadi meningkat. Sedangkan cara lambat adalah dengan membungkus bahan baku dengan plstik kemudian dialiri oleh air.Setelah proses thawing, cabai dapat digunakan sebagai bumbu dalam masakan atau menjadi produk olahan seperti saus, sambal, puree cabai, pasta cabai, bubuk cabai, manisan cabai, dan cabai kering.

a. Saus atau Sambal Cabai

Saus cabai adalah saus yang diperoleh dari pengolahan cabai yang matang dan berkualitas baik dengan tambahan bahan-bahan lain yang digunakan sebagai bahan pembantu. Bahan-bahan tambahan yang digunakan sangat bervariasi, tetapi yang umum ditambahkan ialah garam, gula, bawang putih dan bahan pengental (pati jagung atau maizena dapat juga tapioka). Pati digunakan sebagai bahan pengikat dan memberikan penampakan yang mengkilap. Rasa dan mutu saus cabai sangat tergantung mutu dan varietas cebe yang digunakan sebagai bahan baku utamanya (Koswara, 2009).

(33)

suhu 80-100 oC. Mutu saus cabai ditentukan oleh kadar air (maksimal sekitar 83 persen), jumlah padatan 20–40 persen, kekentalan sekitar 24,143 centi poise, serta penilaian terhadap warna, bau dan rasa. Bau dan rasa harus khas cabai. Di samping itu, dapat dilihat juga kandungan vitamin C-nya. Dapat juga ditambahkan bahan pengawet yang diizinkan untuk makanan. Misalnya suatu standar mutu cabai (Chili Sauce, Colombian Standard) mensyaratkan kadar natrium benzoat maksimal 1000 ppm (0,1 persen), kalium sorbat maksimal 0,125 persen dan gabungan benzoat-sorbat maksimum 0,125 persen. Di Indonesia saus cabai disyaratkan dapat menggunakan bahan pengawet yang diizinkan untuk makanan (Koswara, 2009).

Bahan yang digunakan dalam pembuatan saus cabai antara lain cabai merah segar yang merupakan bahan terbanyak yang digunakan, bawang putih, garam, tomat, gula, asam cuka, tepung maizena, air dan natrium benzoat sebagai bahan pengawet. Misalnya untuk 1,5 kg cabai merah yang digunakan, diperlukan sekitar 0,5 kg bawang putih, 70 gram garam, 0,5 kg tomat, 60 gram gula, sekitar 40 ml asam cuka, 50 gram tepung maizena, 200 ml air dan 2 gram natrium benzoate (Koswara, 2009)..

Menurut Koswara (2009), proses pembuatan saus cabai pada prinsipnya adalah sebagai berikut :

1. Mula-mula cabai merah dipotong tangkainya dan dibuang bijinya.

2. Bersama dengan bawang putih yang juga sudah dikupas, kedua bahan tersebut

dikukus pada suhu sekitar 100 oC selama 1 menit dan digiling sampai halus. Alat yang digunakan untuk menggiling bervariasi tergantung dari kapasitas pabrik yang memproduksinya.

3. Bahan-bahan lain yang juga telah dihaluskan ditambahkan ke dalam bubur cabai dan bawang putih ini. Kemudian diaduk sambil dipanaskan dengan api yang tidak terlalu besar sampai mendidih dan mencapai kekentalan yang dikehendaki.

(34)

b. Manisan Cabai

Manisan cabai adalah buah cabai yang diawetkan dengan gula. Tujuan pemberian gula dengan kadar yang tinggi pada manisan cabai, selain untuk memberikan rasa manis, juga mencegah tumbuhnya mikroorganisme (jamur, kapang). Cabai yang paling baik untuk dibuat manisan adalah cabai merah yang ukurannya besar dan berdaging tebal. Menurut Anonim (2011), proses pembuatan manisan cabai adalah sebagai berikut :

a. Tahap persiapan alat dan bahan

menyiapkan peralatan yang akan digunakan dalam pembuatan manisan cabai merah yaitu : timbangan, wadah, saringan, panci, sendok kayu, psau dan tampah, dikondisikan dalam keadaan bersih dan kering. Bahan yang perlu dipesiapkan adalah cabai merah besar, gula pasir, kapur sirih, garam dan asam sitrat. Sebelum tahap pengolahan, cabai merah terlebih dahulu dikeluarkan isinya, kemudian dicuci, ditiriskan dan ditimbang sesuai kebutuhan.

b. Tahap pelaksaanaan

Tahap pelaksanaan merupakan tahap dala proses pembuatan manisan melalui perendaman dalam larutan kapur sirih dan larutan gula.

Perendaman dalam larutan kapur (12 jam)

Perendaman dalam larutan gula (tahap II 24 jam) ↓

Cabai ditiriskan ↓

(35)

(ditambahkan gula, garam dan asam sitrat) ↓

Perendaman dalam larutan gula ( tahap III 24 jam) ↓

Ditiriskan c. Tahap penyelesaian

Pengeringan (dijemur di bawah sinar matahari ± 1 minggu)

c. Pasta cabai

Pasta cabai adalah bentuk olahan cabai yang berbentuk bubur yang diawetkan. Pasta cabai umumnya digunakan sebagai bahan dasar untuk campuran bumbu masakan, biasanya cabai yang digunakan adalah cabai besar. Pasta cabai sering digunakan sebagai bumbu intiuntuk segala jenis masakan seperti rending, gulai, sambal goring, bumbu bali, rica-rica dan aneka masakan lainnya. Dengan pengolahan dan pengemasan yang baik, pasca cabai dapat disimpan selama kurang lebih 6 bulan. Cara pembuatan pasta cabai ialah sebagai berikut :

1. Sortasi : Pilih cabai yang merah dari jenis cabai besar, tidak cacat dan buang tangkainya.

2. Pencucian : Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran yang melekat 3. Pemblansiran : Blansir dimaksudkan untuk menghilangkan mikroba dari bahan

baku sehingga bisa memperbaiki tampilan dan memperpanjang daya simpannya. Selain dengan cara pengukusan, blansing dapat dilakukan dengan cara mencelupkan bahan baku ke dalam air mendidih selama kurang lebih 5 menit.

4. Penggilingan : Cabai digiling atau dihancurkan sehingga terbentuk pasta. 5. Pemasakan : Pasta cabai dimasak dengan api kecil sambil diaduk-aduk. 6. Pembotolan : Pasta cabai dikemas dalam botol kaca.

(36)
(37)

BAB III PENUTUP

Cabai merah atau lombok (bahasa Jawa) adalah tumbuhan dan buah anggota genus Capsicum. Buahnya dapat digolongkan sebagai sayuran maupun bumbu, tergantung bagaimana digunakan. Sebagai bumbu, buah cabai yang pedas sangat populer di Asia Tenggara sebagai penguat rasa makanan. Buah yang masih muda berwarna hijau banyak digunakan sebagai sayur dan setelah tua berubah menjadi merah digunakan sebagai bumbu masakan, acar, sambal, macam-macam saus, buah kering dan tepung. Cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, L.H., 2013. Teknologi Pengawetan Pangan Edisi Revisi. Alfabeta. Bandung.

Almatsier, S., 2010. Prinsip Dasar Ilmu Gizi Cetakan kesembila. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anonim, 2011. Manisan Cabai.

http://mitrapustaka.blogspot.com/2011/01/manisan-cabai-merah.html .

(diakses pada 25 Juli 2015).

Anonim, 2012. Frozen shelf life of foods.

www.hooraysales.org/PDF/Freezermatesfrozen-shelf-life-of-foods.pdf .

(diakses pada 10 Juni 2015).

Basuki, E., A. Prarudiyanto dan Zainuri, 2012. Fisiologi Dan Teknologi Pasca

Panen. Primaprint. Yogyakarta.

Buckle, K.A., dkk., 2010. Ilmu Pangan. UI Press. Jakarta.

Cahyadi, 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan Edisi 2

Cetakan 1. Bumi Aksara. Jakarta.

Hartuti dan Sinaga, 1999. Pengeringan Cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayur. Bandung.

Anrianto, T.T., dan Indarto, N., 2004. Budi Daya dan Analisis Usaha Tani, Cabe Rawit, Cabe merah dan Cabe Jawa. Absolut. Yogyakarta. Hal: 17-18, 62.

Koswara, S., 2009. Pengolahan Pangan dengan Suhu Rendah. Ebookpangan.com.

Koswara,S., 2009. Pengolahan Aneka Saus. Ebookpangan.com.

Muchtadi, T.R., dan Sugiono, 2013. Prinsip Proses dan Teknologi Pangan.

Alfabeta. Bandung.

PAPTI, 2007. Teknologi Pembekuan Pangan. Seminar Nasional Perhimpunan

Ahli Teknologi Pangan Indonesia. 17-18 juli 2007, Bandung, Indonesia.

Hal. 30-35.

Oktaviana,Y.S. Aminah dan J. Sakung, 2012. Pengaruh Lama Penyimpanan dan Konsentrasi Natrium Benzoat Terhadap Kadar Vitamin C Cabai Merah

(39)

Prayudi, B., 2010. Budidaya dan Pasca Panen Cabai Merah (Capsicum annum L.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah.

Ripangi, A., 2012. Budidaya Cabai. PT. Buku Kita. Jakarta.

Rohanah, A., 2002. Pembekuan. Universitas Sumatra Utara. Medan.

Taufik, M., 2011. Analisis Pendapatan Usaha Tani dan Penanganan Pasaca Panen Cabai Merah. Jurnal Litbang Pertanian (30)2.

Utami, D.A., 2012. Studi Pengolahan dan Lama Penyimpanan Sambal Ulek Berbahan Dasar Cabe Merah, Cabe Keriting dan Cabe rawit yang Difermentasi. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Widjanakro,S.B., 2012. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen. UB-Press. Malang.

Wijaya, W.D., dan I.N. Supata, 2013. Upaya Pengurangan Tingkat Kecacatan Cabai Pasca Panen pada Jalur Rantai Pasok. Jurnal Tirta. Vol.1. No.2.

Gambar

Tabel 1 Kandungan nutrisi pada cabai per100 gram bahan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 2 Mutu cabai setelah dikeringkan
Gambar 2. Alat pengering buatan model Balitro

Referensi

Dokumen terkait

Merujuk pada nilai H hasil percobaan, minyak pelumas dan minyak sawit merupakan absorben yang paling cocok untuk benzen dan toluen sebagai representasi tar dalam gas

Erään isän kokemuksen mukaan on tärkeää, että perhetilan- teet kartoitettaisiin yhdessä oman sosiaalityöntekijän kanssa, koska hakemukset eivät kerro

apabila dl kerrudian hari ternyata !erdapat kekeliruan dalaln keputusan

Hal revolusioner lainnya adalah bahwa Redhat linux menciptakan format paket program RPM yang menjadi standar baku file binner pada Linux, yang kemudian digunakan oleh

Hasil penelitian menunjukka n bahwa kaplet asam mefenamat yang dibuat dengan metode granulasi basah menggunakan amilum solani sebagai disintegran memenuhi persyaratan

Sesuai dengan permasalahan di atas yang telah diuraikan, tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu : Untuk mengetahui hubungan panjang tungkai terhadap lari jarak pendek 100

et vivent dans des régions où la tuberculose est fortement endémique. Le suivi à long terme de ces enfants après vaccination est souhaitable. Les nourrissons VIH positifs

1) Hitung opportunity cost unluk setiap baris dan kolom. Opportunity cost untuk setiap baris I dihitung dengan mengurangkan nilai cij terkecil pada baris itu dari nilai cij satu