• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi 2.1.1. Pengertian Komunikasi - Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan Di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunikasi 2.1.1. Pengertian Komunikasi - Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru Rawat Jalan Di RSUD Sidikalang Kabupaten Dairi"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Komunikasi

2.1.1. Pengertian Komunikasi

Robbin dan Jones (1982) yang dikutip Suryani (2006), mendefinisikan bahwa komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan membangun hubungan antar sesama manusia melalui pertukaran informasi untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain serta mengubah sikap dan tingkah laku tersebut.

Disamping itu seperti yang dikutip oleh Suryani (2006), Duldt-Battey (2004) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses penyesuaian dan adaptasi yang dinamis antara dua orang atau lebih dalam sebuah interaksi tatap muka yang pada saat tersebut terjadi pertukaran ide, makna, perasaan dan perhatian.

(2)

pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung arti dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.

Sementara Mangunjaya (2001) mengatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses interaksi dari satu individu dengan individu lainnya. Melalui proses tersebut individu yang satu dapat memengaruhi individu lainnya, serta dapat diperoleh suatu pemahaman bersama. Sebagai suatu proses interaksi, maka komunikasi sebaiknya dilakukan dua arah, serta timbal balik.

Jadi kalau disimpulkan, komunikasi adalah suatu proses penyampaian dan pertukaran ide, perasaan dan pikiran antara dua orang atau lebih sehingga terjadi perubahan sikap dan tingkah laku bagi semua yang saling berkomunikasi.

Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi individu dalam melakukan interaksi. Kadangkala individu merasakan komunikasi menjadi tidak efektif karena kesalahan dalam menafsirkan pesan yang diterimanya. Hal ini disebabkan karena setiap manusia mempunyai keterbatasan dalam menelaah komunikasi yang disampaikan. Kesalahan dalam menafsirkan pesan bisa disebabkan karena persepsi yang berbeda-beda (Graef, 1996).

(3)

2.1.2. Komponen Komunikasi

Komponen komunikasi adalah hal-hal yang harus ada agar komunikasi bisa berlangsung dengan baik. Menurut Lasweel yang dikutip oleh Dalami (2009) ada beberapa komponen yang terlibat dalam proses komunikasi yaitu:

1. Komunikator: individu yang bertugas mengirimkan pesan. Dalam prosesnya pengiriman berita menggunakan gagasan yang diwujudkan dalam lambang yang berbentuk kata-kata yang kemudian disampaikan dengan menggunakan media yang berbentuk ucapan, gerak tangan, atau telepon.

2. Komunikan: pihak lain yang diajak berkomunikasi yang merupakan sasaran dalam kegiatan komunikasi atau orang yang menerima berita/lambang.

3. Pesan: informasi yang diterima, bisa berupa kata, ide atau perasaan. Pesan akan efektif bila jelas dan terorganisasi yang diekspresikan oleh si pengirim pesan.

4. Media/saluran komunikasi: saluran penyampaian pesan. Media komunikasi dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu: 1) media umum, ialah media yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, contohnya adalah radio, OHP, dan sebagainya; 2) media massa, ialah media yang digunakan untuk komunikasi massal, misalnya pers, radio, film, dan televisi.

(4)

Jenis umpan balik berdasarkan sikap komunikan terdiri dari:

a. Zero umpan balik. Tidak ada kejelasan umpan balik dari komunikan, komunikan bersifat pasif atau dingin, yang disebabkan pesan kurang jelas, lambang bahasa tidak dipahami, waktu/tempat tidak tepat sehingga komunikasi yang terjadi tidak bermakna.

b. Umpan balik positif. Umpan balik dapat dimengerti oleh komunikan. c. Umpan balik netral. Tanggapan yang diperoleh dari komunikan tidak

mempunyai relevansi dengan pesan yang disampaikan.

d. Umpan balik negatif. Tidak mendukung komunikator. Komunikasi mungkin saja tidak memiliki tujuan dan bersifat kritik.

2.1.3. Bentuk Komunikasi

Bentuk komunikasi menurut Effendi (2002) yang dikutip Suryani (2006) dibagi empat yakni komunikasi personal, komunikasi kelompok, komunikasi massa dan komunikasi medio.

1) Komunikasi personal

(5)

Proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah, lingkaran interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Kedua pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan. Dalam proses ini si penerima menafsirkan pesan pengirim sebelumnya dan memberi tanggapan dengan pesan yang baru. Dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah tatap muka penyampaian informasi dan saling pengertian antara dua orang atau lebih. Pesan-pesan yang disampaikan dapat secara verbal maupun non verbal.

2) Komunikasi kelompok

Komunikasi kelompok bisa berupa komunikasi kelompok kecil, bisa juga kelompok besar. Contoh kelompok kecil adalah komunikasi dosen dan mahasiswa dalam ruang kuliah, ceramah, diskusi kelompok, simposium, dan sebagainya. Komunikasi kelompok besar, misalnya dalam suatu kampanye kesehatan dengan pendengar yang banyak seperti halnya di tanah lapang atau gedung besar.

3) Komunikasi massa

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan media, seperti koran, radio, televisi, dan lain-lain.

4) Komunikasi medio

(6)

2.1.4. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Komunikasi

Dalam melakukan proses komunikasi terdapat faktor yang memengaruhi isi pesan dan sikap penyampaian pesan. Menurut Potter & Perry (1993) dalam Murwani (2009), faktor yang memengaruhi komunikasi yaitu:

1) Perkembangan

Dalam berkomunikasi isi dan sikap menyampaikan pesan harus disesuaikan dengan yang diajak bicara seperti anak-anak, remaja, dewasa atau usia lanjut. 2) Persepsi

Persepsi adalah pandangan personal terhadap suatu kejadian. Persepsi dibentuk oleh harapan dan pengalaman. Kadangkala persepsi merupakan suatu hambatan kita dalam berkomunikasi, karena yang kita persepsikan belum tentu sama dengan yang dipersepsikan oleh orang lain.

3) Nilai

Nilai adalah standar yang memengaruhi perilaku sehingga sangat penting bagi pemberi pelayanan kesehatan untuk menyadari nilai seseorang.

4) Latar belakang budaya

Gaya berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya inilah yang akan membatasi cara bertindak dan berkomunikasi.

5) Emosi

(7)

berkomunikasi, karena emosi ini dapat menyebabkan salah tafsir atau pesan tidak sampai.

6) Pengetahuan

Komunikasi akan sulit dilakukan jika orang yang kita ajak berkomunikasi memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Untuk itu kita harus bisa menempatkan diri sesuai dengan tingkat pengetahuan yang kita ajak bicara. 7) Peran

Gaya komunikasi harus disesuaikan dengan peran yang sedang kita lakukan. Misalnya ketika kita berperan membantu pasien akan berbeda ketika kita berperan atau berkomunikasi dengan tenaga kesehatan yang lain.

8) Lingkungan

Komunikasi akan lebih efektif jika dilakukan dalam lingkungan yang menunjang, kalau tempatnya bising, ruangan sempit, tidak leluasa untuk berkomunikasi dapat mengakibatkan ketegangan dan tidak nyaman.

2.2. Komunikasi Terapeutik

2.2.1. Pengertian Komunikasi Terapeutik

Komunikasi merupakan alat bagi perawat untuk mempengaruhi tingkah laku klien dan untuk mendapatkan keberhasilan dalam intervensi keperawatan (Stuart & Sundeen, 1995). Sedangkan terapeutik adalah segala sesuatu yang memfasilitasi proses penyembuhan (Murwani, 2009).

(8)

Mustikasari, 2006 dalam Murwani (2009), menyatakan bahwa komunikasi menjadi penting karena dapat menjadi sarana membina yang baik antara pasien dengan tenaga kesehatan, dapat melihat perubahan perilaku pasien, sebagai kunci keberhasilan tindakan, sebagai tolak ukur kepuasan pasien dan keluhan tindakan serta rehabilitasi.

Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan dan kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi profesional yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan pasien (Murwani, 2009).

2.2.2. Fungsi Komunikasi Terapeutik

Komunikasi tidak hanya sekedar alat untuk berbicara dengan pasien, petugas kesehatan dan pasien adalah suatu hubungan terapeutik dimana hubungan yang mempunyai tujuan yaitu kesembuhan pasien. Maka dari itu komunikasi terapeutik mempunyai fungsi yaitu:

1. Mendorong kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien. 2. Menganjurkan kerja sama antara petugas kesehatan dengan pasien. 3. Mengatasi persoalan.

4. Mencegah adanya tindakan negatif terhadap pertahanan diri pasien. 2.2.3. Tujuan Komunikasi Terapeutik

(9)

Didalam upaya perawatan dan penyembuhan, hubungan erat antara perawat dan klien diperlukan agar tindakan yang dilakukan terhadap klien didasarkan atas kesepakatan bersama. Oleh karena itu, hubungan batin antara perawat dan klien perlu dikembangkan dengan baik. Pada hakekatnya komunikasi terapeutik mengutamakan hubungan batin.

Upaya yang dilakukan oleh perawat sebaiknya tidak hanya diakhiri oleh penyembuhan saja, akan tetapi diikuti rasa kepercayaan diantara kedua belah pihak atas tindakan pelayanan yang dilakukan. Oleh karena itu emosi perlu terkendali dan pemahaman atas masalah yang dihadapi dan upaya pemecahannya perlu dijaga.

(10)

2.2.4. Hal-hal yang Harus diperhatikan Perawat dalam Komunikasi Terapeutik.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik, antara lain sikap perawat dalam komunikasi, pesan (isi informasi) dan teknik komunikasi (Murwani, 2009).

1) Sikap perawat dalam komunikasi

Sikap menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi yang terapeutik yaitu:

a. Berhadapan, arti posisi ini adalah “saya siap untuk Anda”.

b. Mempertahankan kontak mata, kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.

c. Membungkuk kearah klien, posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau mendengarkan sesuatu.

d. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan berkomunikasi.

e. Tetap relaks, tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam memberikan respons pada klien.

(11)

2) Pesan (isi informasi)

Didalam komunikasi terapeutik pesan yang disampaikan dapat berupa: nasehat, bimbingan, dorongan, informasi perawatan, petunjuk dan sebagainya. Pesan dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau nonverbal (bahasa tubuh) yang mengikuti bentuk tulisan. Komunikasi tatap muka lebih efektif didalam komunikasi terapeutik bila dibandingkan dengan menggunakan media.

Pesan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Jelas dan ringkas

Komunikasi berlangsung efektif, sederhana, pendek dan langsung. Makin sedikit kata-kata yang digunakan, makin kecil kemungkinan terjadi kerancuan. Kejelasan dapat dicapai dengan bicara secara lambat dan mengucapkannya dengan jelas. Penggunaan contoh bisa membuat penjelasan lebih mudah dipahami. Ulangi bagian yang penting dari pesan yang disampaikan.

b. Perbendaharaan kata

(12)

c. Arti denotatif dan konotatif

Dalam berkomunikasi dengan klien dan keluarganya, perawat harus mampu memilih kata-kata yang tidak banyak disalah tafsirkan, terutama sangat penting ketika menjelaskan tujuan terapi, terapi dan kondisi klien. Arti denotatif memberikan pengertian yang sama terhadap kata yang digunakan, sedangkan arti konotatif merupakan pikiran, perasaan atau ide yang terdapat dalam suatu kata.

d. Intonasi

Suara perawat mampu mempengaruhi arti pesan. Nada suara pembicaraan mempunyai dampak yang besar terhadap arti pesan yang dikirimkan karena emosi seseorang dapat secara langsung mempengaruhi nada suaranya. Perawat harus menyadari emosinya ketika sedang berinteraksi dengan klien karena maksud untuk menyampaikan rasa tertarik yang tulus terhadap klien dapat terhalang oleh intonasi nada suara perawat.

e. Kecepatan berbicara

(13)

tertentu, memberi waktu kepada pendengar untuk mendengarkan dan memahami arti kata. Selaan yang tepat dapat dilakukan dengan memikirkan apa yang akan dikatakan sebelum mengucapkannya, menyimak isyarat nonverbal dari pendengar yang mungkin menunjukkan ketidakmengertian. Perawat juga bisa menanyakan kepada klien apakah ia berbicara terlalu lambat atau cepat dan perlu untuk diulang.

3) Teknik komunikasi terapeutik

Komunikasi terapeutik dapat berjalan apabila seorang perawat mampu melakukan komunikasi dengan baik dan benar. Beberapa teknik yang dapat dilakukan oleh perawat supaya komunikasi berjalan dengan lancar, yaitu: a. Mendengarkan

Perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan klien. Sikap yang harus dilakukan: pandang klien saat bicara, tidak menyilangkan kaki/tangan, hindari gerakan yang tidak perlu, anggukkan kepala, condongkan tubuh.

b. Menunjukkan penerimaan

(14)

c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan

Menanyakan sesuatu kepada klien yang berhubungan dengan topik yang dibicarakan antara perawat dan klien. Tujuan adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik. Gunakan kata-kata yang sesuai dengan konteks budaya klien.

d. Mengulang ucapan klien dengan kata-kata sendiri

Memberikan umpan balik untuk mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dapat dilanjutkkan.

e. Klarifikasi

Perawat berusaha menjelaskan dalam kata-kata atau ide yang tidak jelas dikatakan klien.

f. Memfokuskan

Tujuan adalah membatasi bahan pembicaraan agar percakapan lebih spesifik dan dimengerti. Usahakan tidak memutus pembicaraan ketika klien menyampaikan masalah penting.

g. Menyatakan hasil observasi

Perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non verbal klien. Membuat klien berkomunikasi lebih jelas.

h. Menawarkan informasi

(15)

i. Diam

Memberi kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisasi pikirannya. Hal ini memerlukan keterampilan dan ketepatan waktu. Klien dapat berkomunikasi dengan dirinya sendiri, mengorganisasi pikiran dan memproses informasi. Bermanfaat saat klien harus mengambil keputusan.

j. Meringkas

Pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Tujuannya adalah membantu mengingat topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pembicaraan berikutnya.

k. Memberikan penghargaan

Penghargaan jangan sampai menjadi beban untuk klien sehingga ingin dipuji. Contoh: ”Terima kasih sudah mau bekerjasama dengan perawat”.

l. Memberi kesempatan klien untuk memulai pembicaraan

Memberi kesempatan klien untuk memilih topik pembicaraan. Perawat dapat menstimuli untuk membuka pembicaraan.

m. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan

(16)

2.2.5. Prinsip-Prinsip Komunikasi Terapeutik

Menurut Carl Rogers dalam Murwani (2009), terdapat beberapa prinsip yang harus diketahui oleh perawat dalam komunikasi terapeutik, yaitu:

1. Perawat harus mengenal dirinya sendiri.

Perawat harus mampu mengenal dirinya sendiri sebelum perawat tersebut mengenal kliennya.ini harus diciptakan sendiri oleh perawat sehingga klien akan percaya ketika perawat memberikan tindakan keperawatan.

2. Komunikasi harus ditandai dengan sikap saling menerima, percaya, dan menghargai.

Perawat dan klien harus saling menghargai, perawat tidak boleh menganggap klien rendah, bodoh dan sebagainya. Bagaimanapun klien harus dihargai dan dimanusiakan sebagai klien yang terhormat.

3. Perawat harus memahami, menghayati nilai yang dianut oleh pasien.

Perawat harus bisa memahami bahwa klien mempunyai adat, nilai budaya yang berbeda-beda, sehingga perawat bisa memberikan tindakan keperawatan sesuai dengan adat dan nilai luhur yang dianut oleh pasien.

4. Perawat harus menyadari pentingnya kebutuhan pasien baik fisik maupun mental.

(17)

5. Perawat harus menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi pasien. Klien yang dirawat di rumah sakit merasakan suasana asing, terlebih lagi bagi klien yang baru pertama kali merasakan dirawat di rumah sakit. Perawat diharapkan mampu menciptakan suasana yang nyaman dan aman bagi klien. 6. Kejujuran dan terbuka.

Siapapun individu menginginkan kejujuran, terlebih bagi klien yang dirawat di rumah sakit. Perawat sebelum melakukan tindakan keperawatan diharapkan selalu jujur untuk menyampaikan semua apa yang diberikan kepada klien.

7. Mampu sebagai role model

Perawat sebagai individu yang merawat klien diharapkan mampu sebagai contoh baik bagi klien individu, keluarga dan masyarakat.

8. Altruisme

Altruisme diartikan sebagai tanpa mengharapkan imbalan atau jasa dan pamrih. Perawat diharapkan dalam memberikan suatu tindakan apapun tidak mengharapkan apapun dari klien.

9. Bertanggung jawab

Setiap tindakan yang dilakukan oleh perawat harus bisa dipertanggungjawabkan baik lisan maupun tulisan (dokumentasi).

2.2.6. Tahapan Hubungan Terapeutik Perawat dan Klien

(18)

Proses hubungan perawat dan klien dapat dibagi dalam 4 fase yaitu fase pra interaksi; fase orientasi; fase kerja; dan fase terminasi (Stuart & Sundeen, 1995). 1. Fase pra interaksi

Pra interaksi mulai sebelum kontak pertama dengan klien. Perawat mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini yakni sebelum perawat melakukan pemeriksaan, maka harus ada tahap: a) tahap mengumpulkan data; b) melihat ekspresi, perasaan dan fantasi klien/pasien; dan c) melakukan perencanaan. 2. Fase orientasi

Memulai atau membuka hubungan dengan klien merupakan hal yang sangat penting dan amat menentukan kelangsungan dan keberhasilan pembicaraan selanjutnya. Tugas perawat pada fase ini adalah: a) memberikan salam dan tersenyum pada klien/pasien; b) melakukan validasi; c) menanyakan nama pasien; d) menanyakan nama panggilan kesukaan klien/pasien; e) memiliki tanggung jawab perawat terhadap klien/pasien; f) memiliki peran perawat dengan klien/pasien; g) memilih kegiatan yang akan dilakukan; h) memilih tujuan; i) merencanakan waktu yang dibutuhkan; dan j) menjaga kerahasiaan. 3. Fase kerja

(19)

dasar empati. Dalam fase kerja ada beberapa kegiatan, yaitu: a) memberikan kesempatan pada klien untuk bertanya; b) menanyakan keluhan utama; c) memulai kegiatan dengan baik; dan d) memulai kegiatan sesuai rencana. 4. Fase terminasi

Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan intim yang terapeutik sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Dalam fase ini terdapat 3 kegiatan yaitu: a) menyimpulkan hasil wawancara; b) melakukan reinforcement; dan c) mengakhiri wawancara dengan baik

2.3. Kepatuhan

2.3.1. Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

(20)

tingkat perilaku penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain.

Dalam hal pengobatan TB paru, Depkes RI (2002) mengemukakan bahwa penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Penderita dikatakan lalai jika tidak datang lebih dari 3 hari - 2 bulan dari tanggal perjanjian dan dikatakan drop out

jika lebih dari 2 bulan berturut-turut tidak datang berobat setelah dikunjungi petugas kesehatan.

2.3.2. Proses Perubahan Sikap dan Perilaku

Menurut Skinner (1938) dalam teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R) bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kualitas rangsangan yang berkomunikasi dengan organisme. Proses yang terjadi pada organisme berupa perhatian, pengertian dan penerimaan (Notoatmodjo, 2005).

(21)

tindakan, atau praktik yang dapat diamati orang dari luar. Contoh: seorang penderita TB paru minum obat anti TB secara teratur (Notoatmodjo, 2005).

Sementara menurut Kelman (1955) bahwa perubahan sikap dan perilaku individu dimulai dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kepatuhan (compliance). Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan (Sarwono, 2007).

Menurut Kelman, pengawasan itu tidaklah perlu berupa kehadiran fisik petugas atau tokoh otoriter, melainkan cukup rasa takut terhadap ancaman sanksi yang berlaku, jika individu tidak melakukan tindakan tersebut. Dalam tahap ini pengaruh tekanan kelompok sangatlah besar, individu terpaksa mengalah dan mengikuti perilaku mayoritas kelompok meskipun sebenarnya dia tidak menyetujuinya. Namun segera setelah dia keluar dari kelompok tersebut, mungkin sekali perilakunya akan berubah, menjadi perilaku yang diingininya sendiri.

(22)

Biasanya kepatuhan ini timbul karena individu merasa tertarik atau mengagumi petugas atau tokoh tersebut, sehingga ingin mematuhi apa yang dianjurkan atau diinstruksikan tanpa memahami sepenuhnya arti dan mamfaat dari tindakan tersebut, tahap ini disebut proses identifikasi. Meskipun motivasi untuk mengubah perilaku individu dalam tahap ini lebih baik dari pada dalam compliance, namun motivasi ini belum dapat menjamin kelestarian perilaku itu karena individu belum dapat menghubungkan perilaku tersebut dengan nilai-nilai lain dalam hidupnya, sehingga jika dia ditinggalkan petugas atau tokoh idolanya itu maka dia merasa tidak perlu melanjutkan perilaku tersebut.

(23)

2.3.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan Berobat

Menurut Sarafino (Bart, 1994) ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan. Faktor yang memengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas, faktor obat, dan faktor penderita. Karakteristik petugas yang memengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas, tingkat pengetahuan, lamanya bekerja, frekuensi penyuluhan yang dilakukan. Faktor obat yang memengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan ke arah penyembuhan, waktu yang lama, adanya efek samping obat. Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur, jenis kelamin, pekerjaan, anggota keluarga, saudara atau teman khusus.

Dalam hal kepatuhan Carpenito (Niven, 2002) berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi mempertahankan kepatuhannya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya: 1. Pemahaman tentang instruksi

(24)

kesalahan dalam memberikan informasi lengkap, penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus di ingat oleh pasien. 2. Faktor umur

Gunarsa (2005) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, dengan demikian dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur-umur tertentu dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah. 3. Kesakitan dan pengobatan

Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas.

4. Keyakinan, sikap dan kepribadian

(25)

5. Dukungan Keluarga

Dukungan Keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan program pengobatan yang akan mereka terima.

6. Tingkat ekonomi

Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya penderita TB sudah pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik tidak terjadi ketidakpatuhan.

7. Dukungan sosial

Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam kepatuhan. Keluarga dan teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidakpatuhan dan mereka dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai kepatuhan. 8. Dukungan profesi kesehatan

(26)

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, dimana jika faktor ini lebih besar daripada hambatannya maka kepatuhan harus mengikuti. Kelima faktor tersebut adalah:

1. Pendidikan

Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif.

2. Akomodasi

Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang lebih mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara akut dalam program pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi sesuatu, harus diturunkan dulu tingkat ansietasnya dengan cara menyakinkan dia atau dengan teknik-teknik lain sehingga ia termotivasi untuk mengikuti anjuran pengobatan.

3. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial

Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan terhadap program-program pengobatan seperti pengurangan berat badan, berhenti merokok, dan menurunkan konsumsi alkohol.

4. Perubahan model terapi

(27)

komponen-komponen sederhana dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi komponen-komponen yang lebih kompleks.

5. Interaksi petugas kesehatan dengan pasien

Adalah suatu hal penting untuk memberi umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu. Untuk melakukan konsultasi dan selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.

Sementara menurut Asti (2006) bahwa banyak faktor berhubungan dengan kepatuhan terhadap terapi tuberkulosis, antara lain:

1. Faktor struktural dan ekonomi

Tidak adanya dukungan sosial dan kehidupan yang tidak mapan menciptakan lingkungan yang tidak mendukung program tercapainya kepatuhan pasien. 2. Faktor pasien

Umur, jenis kelamin dan suku/ras berhubungan dengan kepatuhan pasien dibeberapa tempat. Pengetahuan mengenai penyakit tuberkulosis dan keyakinan terhadap efikasi obatnya akan mempengaruhi keputusan pasien untuk menyelesaikan terapinya atau tidak.

3. Kompleksitas regimen

(28)

4. Dukungan dari petugas pelayanan kesehatan

Empati dari petugas pelayanan kesehatan memberikan kepuasan yang signifikan pada pasien. Untuk itu, petugas harus memberikan waktu yang cukup untuk memberikan pelayanan kepada setiap pasien.

5. Cara pemberian pelayanan kesehatan

Sistim yang terpadu dari pelayanan kesehatan harus dapat memberikan sistem pelayanan yang mendukung kemauan pasien untuk mematuhi terapinya. Dalam sistem tersebut, harus tersedia petugas kesehatan yang berkompeten melibatkan berbagai multidisiplin, dengan waktu pelayanan yang fleksibel.

2.4. Tuberkulosis Paru

2.4.1. Pengertian dan Penyebab TB Paru

Tuberkulosis yang dulu disingkat menjadi TBC karena berasal dari kata

tuberculosis saat ini lebih lazim disingkat dengan TB saja. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lainnya. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari seseorang ke orang lain (Sulianti, 2007).

(29)

2.4.2. Gejala Penyakit TB Paru

Gejala penyakit TB paru (Depkes RI, 2007), antara lain: 1. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. 2. Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perlunakan.

3. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak.

4. Nyeri dada

Nyeri dada pada tuberkulosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri dikeluhkan di daerah aksila, di ujung skapula atau di tempat-tempat lain).

5. Mengi

(30)

6. Dispneu

Dispneu merupakan late symptom dari proses lanjut tuberkulosis paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed/thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmonal.

2.4.3. Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien TB Paru

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal, yaitu:

1. Klasifikasi Berdasarkan Organ Tubuh yang Terkena a. Tuberkulosis paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

b. Tuberkulosis ekstra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

2. Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak Mikroskopis a. Tuberkulosis paru BTA positif

(31)

2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

b. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru dan BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif. 2) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. 3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan.

3. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Keparahan Penyakit

(32)

b. TB ekstra paru, dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

1) TB ekstra-paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

2) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

4. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). c. Kasus setelah putus berobat (Default)

(33)

d. Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan ke-5 atau lebih selama pengobatan. e. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB untuk melanjutkan pengobatannya.

f. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 2.4.4. Cara Penularan TB Paru

Sumber penularan adalah pasien tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.

(34)

2.4.5. Pengobatan TB Paru 1. Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2007).

2. Paduan OAT di Indonesia

- Kategori 1: 2HRZE/4H3R3

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan (4H3R3). Obat ini diberikan untuk: (1) penderita baru TBC paru BTA positif, (2) penderita TBC paru BTA positif rontgen positif yang “sakit berat”, (3) penderita TBC ekstra paru berat.

Tabel 2.1. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 1

MACAM PADUAN &

DOSIS OBAT

(35)

Untuk seorang penderita baru BTA Positif (114 dosis), disediakan OAT untuk fase awal 60 kombipak II dan untuk fase lanjutan 54 kombipak III masing-masing dikemas dalam 1 dos kecil dan disatukan dalam 1 dos besar. - Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) dan suntikan streptomisin setiap hari di UPK. Dilanjutkan 1 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E) setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu diperhatikan bahwa suntikan streptomycin diberikan setelah penderita selesai menelan obat.

Obat ini diberikan untuk: (1) Penderita kambuh (relaps), (2) Penderita gagal (failure), (3)Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

Tabel 2.2. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 2

MACAM PADUAN & DOSIS OBAT

(36)

Untuk seorang penderita kambuh atau gagal pengobatan BTA positif (156 dosis), disediakan OAT untuk fase awal 90 kombipak II, dan fase lanjutan 66 kombipak IV dikemas dalam satu dos besar disertai 1 dos Streptomicyn dan 1 dos pelengkap pengobatan (spuit dan aquabidest).

- Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3).

Tabel 2.3. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Kategori – 3

MACAM PADUAN &

DOSIS OBAT

FASE AWAL/INTENSIF SETIAP HARI FASE LANJUTAN/INTERMITTEN SEMINGGU 3 KALI

(37)

- OAT sisipan (HRZE)

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Tabel 2.4. Dosis dan Jumlah Butir Pemakaian OAT Sisipan (S)

MACAM PADUAN &

DOSIS OBAT

FASE AWAL/INTENSIF SETIAP HARI

Dosis Butir Butir per hari

Lama pengobatan Kali/hr Minum Obat

HRZE

3. Prinsip Pengobatan

Depkes RI (2007), pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

(38)

c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif):

1) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.

2) Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

3) Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap lanjutan:

1) Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lama.

2) Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.4.6. Strategi DOTS

(39)

angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB paru BTA positif yang ditemukan (Aditama, 2002).

Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Permatasari, 2005).

Strategi DOTS mempunyai lima komponen:

1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

3. Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).

4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB.

2.4.7. Pencegahan Penularan TB Paru

Cara pencegahan penularan TB menurut Depkes RI (2007) sebagai berikut: 1. Minum obat TB secara lengkap dan teratur sampai sembuh.

(40)

3. Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan wadah tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir. Kemudian timbunlah dengan tanah. 4. Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain:

a. Menjemur peralatan tidur.

b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar matahari masuk.

c. Ventilasi yang baik dalam ruangan dapat mengurangi jumlah kuman di udara. Sinar matahari langsung dapat mematikan kuman.

d. Makan makanan bergizi.

e. Tidak merokok dan minum minuman keras. f. Lakukan aktifitas fisik/olah raga secara teratur.

g. Mencuci peralatan makan dan minum dengan air bersih mengalir memakai sabun.

h. Mencuci tangan dengan air bersih mengalir dan memakai sabun. 2.4.8. Penyuluhan TB Paru

Menurut Depkes RI (2002), penyuluhan TB paru perlu dilakukan karena masalah TB paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB paru.

(41)

Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB paru dari ”suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan”, menjadi ”suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”.

Informasi yang perlu disampaikan adalah sebagai berikut:

1. Pesan pokok: apa itu penyakit TB, bagaimana cara penularan dan pengobatannya serta bagaimana cara pencegahannya.

2. Pesan penunjang: pencegahan TB, perilaku hidup bersih dan sehat.

3. Manfaat mematuhi pengobatan secara teratur sesuai dengan anjuran dokter. 4. Akibat bila tidak memeriksakan diri, tidak minum obat secara teratur.

Agar pesan yang disampaikan didengarkan, dimengerti dan dipahami, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan yaitu:

1. Pesan yang disampaikan disesuaikan dengan permasalahan yang dihadapi pada saat itu: misalnya masalah keteraturan minum obat, maka pesan yang diberikan adalah bagaimana cara mencegah agar tidak lupa minum obat dan apa bahaya kalau tidak minum obat secara teratur.

2. Pesan yang disampaikan harus jelas dan mudah dimengerti oleh pasien.

3. Melakukan tanya jawab setelah selesai memberikan pesan untuk mengetahui apakah sasaran memahami pesan penyuluhan yang disampaikan.

(42)

2.5. Landasan Teori

Kepatuhan menurut Trostle dalam Niven (2002), adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan pengobatan, misalnya dalam menentukan kebiasaan hidup sehat dan ketetapan berobat. Dalam pengobatan, seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat, sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan.

Sarafino (Bart, 1994) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat perilaku penderita melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau yang lain. Ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang, atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita.

Menurut Depkes RI (2002), penderita TB paru yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatannya secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 8 bulan, sedangkan penderita yang tidak patuh datang berobat dan minum obat bila frekuensi minum obat tidak dilaksanakan sesuai rencana yang telah ditetapkan.

Menurut teori Feuerstein dalam Niven (2002), ada lima faktor yang mendukung kepatuhan pasien, yaitu: (1) Pendidikan, (2) akomodasi, (3) modifikasi faktor lingkungan dan sosial, (4) perubahan model terapi, dan (5) interaksi petugas kesehatan dengan pasien.

(43)

tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang lengkap guna meningkatkan pengetahuan pasien dalam setiap instruksi yang diberikan kepadanya, sehingga diharapkan lebih dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi (Niven, 2002). Dalam dunia keperawatan, komunikasi perawat yang diarahkan pada pencapaian tujuan untuk menyembuhkan pasien dikenal dengan komunikasi terapeutik (Purwanto, 1994).

Dalam melakukan komunikasi terapeutik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat, antara lain sikap perawat, isi informasi dan teknik komunikasi (Murwani, 2009).

Komunikasi terapeutik bertujuan untuk menciptakan hubungan yang baik antara perawat dengan klien guna mendorong klien agar mampu meredakan segala ketegangan emosinya dan memahami dirinya serta mendukung tindakan konstruktif terhadap kesehatannya dalam rangka mencapai kesembuhannya (Dalami, 2009).

Menurut Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R), bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku tergantung kepada kualitas rangsangan (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme (Notoatmodjo, 2003).

(44)

Gambar 2.1. Kerangka Teori Proses Perubahan Perilaku yang Diadopsi dari Teori Stimulus-Organisme-Respon (S-O-R) oleh Skinner

2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan landasan teori tersebut di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Komunikasi Terapeutik :

1. Sikap perawat 2. Isi informasi 3. Teknik komunikasi

Kepatuhan Penderita TB Paru

STIMULUS

(Komunikasi terapeutik) - Sikap perawat - Isi informasi

- Teknik

komunikasi

ORGANISME

(Penderita TB Paru) - Perhatian - Pengertian - Penerimaan

RESPON

Gambar

Gambar 2.1.  Kerangka Teori Proses Perubahan Perilaku yang Diadopsi dari

Referensi

Dokumen terkait

5ada bayi dan anak usia dibaah  atau 6 tahun, jenis pernapasan adalah pernapasan diagragma atau pernapasan abdomen.3olume oksigen yang di ekspirasi oleh bayi dan anak 4

Alur penelitian yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 4. Secara garis besar penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan segmentasi, tahapan pengukuran fitur dan

Sementara untuk tujuan makalah ini adalah merancang Sinkronisasi dan CS pada audio watermarking, menganalisis kualitas audio yang sudah disisipkan watermark dibandingkan

Sedangkan dalam penelitian ini, membaca yang dimaksud adalah kemampuan anak dalam mengucapkan bunyi huruf, membedakan huruf, menyebutkan benda yang mempunyai suara

Bakteri harus dapat tumbuh dalam medium padat dan membentuk koloni yang kompak dan jelas (tidak menyebar) dan memerlukan persiapan waktu inkubasi relatif lama sehingga

rawat inap kelas II terhadap pelayanan keperawatan di RSUD Sanjiwani Gianyar dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut dari 86 responden secara umum sebagian besar

setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian tentang “Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi