BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman Rumput Laut Merah
Rumput laut dikenal pertama kali oleh bangsa Cina kira-kira tahun 2700 SM. Dimasa itu, rumput laut digunakan untuk sayuran dan obat-obatan (Aslan, 1999). Rumput laut tergolong tanaman tingkat rendah, tidak mempunyai akar, batang maupun daun sejati, tetapi hanya menyerupai batang yang disebut thallus, tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur, pasir, batu dan benda keras lainnya. Secara taksonomi dikelompokkan ke dalam divisio Thallophyta (Anggadiredja, dkk., 2010).
2.1.1 Pengelompokkan rumput laut
Berdasarkan kandungan pigmennya, rumput laut dikelompokan ke dalam empat kelas (Anggadiredja dkk, 2010) yaitu:
1) Rhodophyceae (ganggang merah) 2) Phaeophyceae (ganggang coklat) 3) Chlorophyceae (ganggang hijau) 4) Cyanophyceae (ganggang biru)
Jenis rumput laut yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia adalah dari kelas Rhodophyceae yang mengandung agar-agar dan karaginan. Alga yang termasuk ke dalam kelas Rhodophyceae yang mengandung karaginan adalah Eucheuma dengan nama lokal agar-agar. Sebagian besar rumput laut yang diperjualbelikan yaitu jenis Eucheuma spinosum, hal ini disebabkan karena spesies Eucheuma spinosum banyak terdapat di Indonesia dan dibutuhkan oleh
banyak industri farmasi: kosmetik, makanan dan minuman seperti saus, keju, biskuit, es krim dan sirup (Winarno, 1990).
2.1.2 Klasifikasi rumput laut Eucheuma spinosum
Berdasarkan hasil identifikasi LIPI, taksonomi rumput laut Eucheuma spinosum diklasifikasikan sebagai berikut :
Filum : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Bangsa : Gigartinales Suku : Areschougiaceace Marga : Eucheuma
Jenis : Eucheuma spinosum 2.1.3 Morfologi tanaman
Ciri-ciri rumput laut Eucheuma spinosum ini yaitu thallus berbentuk silindris, percabangan thallus berujung runcing atau tumpul dan ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), berupa duri lunak yang mengelilingi cabang. Habitat Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada rataan terumbu karang, batuan, benda keras dan cangkang kerang. Eucheuma spinosum memerlukan sinar matahari untuk proses fotosintesis sehingga hanya hidup pada lapisan fotik. Rumput laut jenis ini di daerah Sulawesi Selatan dikenal dengan nama agar-agar (Anggadiredja, dkk., 2010).
2.1.4 Kandungan rumput laut
Kandungan yang terdapat pada Eucheuma spinosum adalah karbohidrat (gula atau vegetable-gum), protein, sedikit lemak, dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan kalium, vitamin-vitamin seperti A, B1, B2, B6, B12, dan C, betakaroten, serta mineral, seperti kalium, fosfor, natrium, zat besi,
dan yodium, steroid bebas, ester steroid, dan steroid glikosida, senyawa terpenoid berhalogen dan senyawa asetogenin (senyawa yang dihasilkan dari polimerisasi asetat) dengan unsur halogen utamanya yaitu bromin. Kandungan utamanya berupa senyawa hidrokoloid yaitu karagenan (Libes, 1992)
2.1.5 Budidaya rumput laut
Penanaman rumput laut dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode dasar, lepas dasar dan apung (Winarno, 1990).
1. Metode Dasar
Thallus disebar di dasar perairan yang tenang atau dapat juga dikaitkan pada potongan batu karang mati sebelum ditebarkan. Cara ini dinamakan spreading bottom method, potongan batu karang tersebut disusun berderet-deret. Teknik penanaman ini jarang dilakukan orang karena peluang berhasilnya sangat rendah. Hal ini disebabkan batu karang yang digunakan sebagai substrat sering dihanyutkan arus dan tidak stabil, khususnya ketika udara sedang tidak bagus, sehingga ombak dan angin dapat menghanyutkan karang-karang substrat tersebut.
2. Metode Lepas Dasar
Penanaman rumput laut dilakukan pada dasar perairan. Caranya, yaitu dua buah patok dipancangkan pada dasar perairan dengan jarak 2,5-5 meter. Kedua patok dihubungkan dengan tali pancing atau tali lain yang kuat (ris). Tinggi kedudukan tali penghubung dari dasar antara 10 cm sampai 50 cm. Sebaiknya juga jarak itu disesuaikan dengan kedalaman pada saat air surut terendah. Ikatan bibit masing-masing seberat 75 gram sampai dengan 150 gram yang diikat dengan tali rafia
dan tiap iktan terdiri dari 2 sampai 3 thallus, kemudian diikatkan pada tali pancing tersebut dengan jarak 20 cm sampai 25 cm. Metode lepas dasar ini disebut off-bottom-method.
3. Metode apung
Metode apung atau floating method, ialah suatu teknik penanaman yaitu tanaman diikatkan pada rakit yang selalu terapung. Cara ini biasanya diterapkan pada perairan yang lebih dalam disebabkan kadua cara sebelumnya sulit diterapkan. Alat pengapungnya dibuat dari rakit bambu atau bahan yang ringan lainnya. Metode ini relatif lebih mahal dari teknik atau metode lainnya. Rakit apung dibuat dari bambu dengan ukuran 2,5 x 5 m. Agar rakit tidak hanyut terbawa arus, maka digunakan tali penahan dari tambang plastik dengan ukuran 9 mm. Sebagai jangkar atau penahan di dasar, digunakan pokok kayu atau bambu. Pemasangan patok harus kuat melawan ombak, arus dan pasang surut.
Pemanenan dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu, yakni sekitar empat kali berat awal (dalam waktu pemeliharaan 1,5 - 4 bulan). Untuk jenis Eucheuma dapat mencapai sekitar 400-600 gram, maka jenis ini biasanya sudah bisa dipanen (Aslan, 1999).
2.1.6 Penanganan pascapanen
Rumput laut (Eucheuma spinosum) dicuci dengan air laut sebelum diangkat ke darat, rumput laut yang telah bersih dikeringkan di atas para-para bambu atau di atas plastik atau terpal sehingga tidak terkontaminasi oleh tanaman atau pasir. Pada kondisi panas matahari, rumput laut akan kering dalam waktu 2-3 hari. Kadar air rumput laut Eucheuma spinosum yang dicapai dalam pengeringan
berkisar 31-35%. Pada saat pengeringan akan terjadi penguapan air laut dari rumput laut kemudian membentuk butiran garam yang melekat di permukaan thalusnya. Butiran garam tersebut perlu dibuang dengan cara mengayak rumput laut kering sehingga butiran garam turun. Apabila masih banyak butiran garam yang melekat, maka garam tersebut akan kembali menghisap uap air di udara sehingga rumput laut menjadi lembab kembali, akibatnya dapat menurunkan kualitas rumput laut itu sendiri. Rumput laut dikatakan berkualitas baik apabila total garam dan kotoran yang melekat tidak lebih dari 3-5% (Anggadiredja, dkk., 2010).
2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal dengan menggunakan pelarut. Tujuan utama ekstraksi adalah mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat-zat yang tidak dibutuhkan, agar lebih mudah digunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa dan pemakaian) dan disimpan dibandingkan simplisia asal dan tujuan pengobatannya terjamin. Hasil ekstraksi disebut dengan ekstrak yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Ditjen POM RI, 1995). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
a. Cara dingin 1. Maserasi
Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokkan atau
pengadukkan pada temperatur kamar sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM RI, 2000).
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar (Ditjen POM RI, 2000).
b. Cara panas 1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM RI, 2000).
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel dalam tabung soklet, kemudian setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi setelah melewati pipa sifon, demikian berulang-ulang (Ditjen POM RI, 2000). 3. Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC (Ditjen POM RI, 2000).
4. Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisa nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Ditjen POM RI, 2000).
5. Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dengan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM RI, 2000).
2.3 Uraian Kulit
Kulit merupakan organ yang paling luas permukaannya dan membungkus seluruh bagian luar tubuh. Kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari yang mengandung sinar ultraviolet, dan melindungi kulit terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan antara tubuh dan lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi seseorang untuk memperoleh kesan umum. Dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit, misalnya menjadi pucat, kekuning-kuningan, kemerah-merahan atau suhu kulit meningkat, memperlihatkan adanya kelainan yang terjadi pada tubuh atau gangguan kulit karena penyakit tertentu (Syaifuddin, 2001).
Kulit adalah suatu shell yang fleksibel, protektif, mengatur diri sendiri yang melindungi sistem hidup kita. Shell mengandung sistem sirkulasi dan sistem evaporasi untuk menstabilkan temperatur dan tekanan tubuh, sistem melemas sendiri dan merupakan alat untuk mendeteksi stimuli dari luar (Anief, 1997). Kulit terdiri dari 3 lapis:
a.Epidermis
Epidermis, sebagai sawar dasar dari kulit terhadap kehilangan air, elektrolit dan nutrisi dari badan dan sawar dasar terhadap penetrasi air dan substansi asing dari luar badan. Epidermis juga mencegah atau menghambat
kehilangan air dari badan, hingga semua jaringan yang lain menjaga keseimbangan dinamis dengan lingkungan dalam (Syaifuddin, 2001).
Epidermis dapat dibagi menjadi 5 lapisan (Syaifuddin, 2001): 1. Stratum corneum (lapisan tanduk)
2. Stratum lucidum (daerah sawar)
3. Stratum granulosum (lapisan seperti butir) 4. Stratum spinosum (lapisan sel duri)
5. Stratum germinativum (lapisan sel basal) b. Dermis
Dermis adalah suatu lapisan yang terdiri dari jaringan ikat yang terletak di bawah epidermis dan berfungsi sebagai penopang struktur dan nutrisi (makanan). Lapisan ini lebih tebal daripada lapisan epidermis. Yang menyusun lapisan ini adalah pembuluh darah, ujung syaraf, kelenjar keringat, akar rambut, dan otot penegak rambut. Bagian atas yang menjorok ke atas (seperti jari-jari) disebut dermal papillae. Dari bagian ini nutrisi disalurkan ke atas melalui pembuluh darah secara difusi. Dalam dermis ini terdapat substansia dasar (mukopolisakarida), serabut-serabut otot, serabut-serabut kolagen (paling banyak), serabut elastin (terdapat di antara serabut-serabut kolagen). Kesemuanya ini berfungsi dalam kelenturan kulit dan menentukan penampakan kulit, apakah licin, halus mulus atau berkerut (Putro, 1997).
c. Hipodermis
Lapisan ini terdiri atas jaringan konektif, pembuluh darah, dan sel-sel penyimpan lemak yang memisahkan dermis dengan otot, tulang, dan struktur lain. Lapisan hipodermis berfungsi sebagai cadangan makanan dan bantalan untuk
melindungi tubuh dari benturan-benturan fisik serta berperan pula dalam pengaturan suhu tubuh (Putro, 1997)
Menurut Mail, jalan masuk utama dari penetrasi obat lebih banyak melalui epidermis daripada melalui kelenjar lemak atau kelenjar keringat, secara mudah dapat dijelaskan karena luas permukaan epidermis 100 atau 1000 kali lebih besar daripada kedua yang lain (Syaifuddin, 2001).
2.4 Penuaan Dini
Penuaan adalah suatu proses alami yang mengarah pada kehilangan integritas struktual dan fungsi fisiologis dari kulit. Penuaan biologis secara definisi tidak dapat dihindari oleh pengaruh waktu biologis pada kulit, yang tidak dipengaruhi oleh paparan sinar matahari berulang (Barel, et al., 2009).
Seiring bertambahnya usia, maka tanda-tanda penuaan pada wajah mulai bermunculan. Seperti munculnya kerutan atau garis-garis halus yang muncul di area sudut mata, kening, dan sekitar bibir. Bila garis-garis halus disana mulai muncul, maka menjadi petunjuk bahwa wajah membutuhkan perawatan yang lebih (Muliyawan dan Suriana, 2013).
Proses penuaan kulit pada dasarnya ada dua macam (Muliyawan dan Suriana 2013), yaitu:
1. Penuaan kronologi (chonological aging )
Penuaan kronologi terjadi seiring dengan bertambahnya usia. Proses ini terjadi karena adanya perubahan struktur, fungsi, dan metabolik kulit khususnya lapisan dermis dan epidermis seiring dengan bertambahnya usia. Perubahan ini ditandai oleh berkurangnya kelenjar minyak, kulit tampak kering, munculnya kerutan dan bintik-bintik hitam tanda penuaan.
2. Paparan cahaya (photoaging)
Photoaging terjadi karena berkurangnya kolagen dan serat elastis kulit akibat paparan sinar ultraviolet. Kolagen adalah komposisi utama lapisan kulit dermis (lapisan bawah dermis). Lapisan dermis merupakan lapisan kulit yang berperan untuk bertanggung jawab pada sifat elastisitas dan halusnya kulit. Kedua sifat ini merupakan kunci suatu kulit disebut indah dan awet muda. Apabila produksi kolagen menurun pada lapisan dermis kulit, maka kulit akan terlihat kering dan tidak elastis lagi.
Beberapa kasus penuaan terjadi begitu cepat, dimana tanda – tanda penuaan mulai tampak pada usia yang relatif muda sekitar 20 tahun. Proses penuaan yang berlangsung lebih cepat dari yang seharusnya ini dikenal dengan penuaan dini. Penuaan dini ini disebabkan oleh 2 faktor ( Muliyawan dan Suriana 2013) yaitu:
1. Faktor internal, diantaranya yaitu genetik, asupan nutrisi yang kurang, dan sakit berkepanjangan.
2. Faktor eksternal, diantaranya yaitu polusi, asap rokok, sinar matahari, dan efek dari gaya hidup tidak sehat.
Tanda-tanda penuaan dini
Ciri – ciri fisik penuaan dini menurut Noormindhawati 2013 adalah: 1. Keriput dan mengendur
Seiring bertambahnya usia jumlah kolagen dan elastin kulit semakin berkurang, akibatnya kulit kehilangan elastisitasnya sehingga tampak keriput dan mengendur.
2. Muncul age spot (noda hitam)
Muncul di area yang sering terpapar sinar matahari seperti wajah, lengan, dan tangan.
3. Kulit kasar
Rusaknya kolagen dan elastin akibat sinar matahari membuat kulit menjadi kering dan kasar.
4. Pori – pori membesar
Akibat penumpukan sel kulit mati, pori- pori menjadi membesar.
2.5 Anti Penuaan atau Anti-Aging
Anti berarti menahan atau melawan, sementara aging berarti umur/penuaan, maka apabila diartikan secara harfiahnya anti-aging adalah menahan atau melawan penuaan. Anti-aging merupakan suatu proses yang berguna untuk mencegah atau memperlambat efek penuaan sehingga terlihat segar, lebih cantik, dan awet muda. Terapi anti-aging akan lebih baik apabila dilakukan sedini mungkin, yakni di saat seluruh fungsi sel-sel tubuh masih sehat dan berfungsi dengan baik (Fauzi dan Nurmalina, 2012).
Menurut Muliyaman dan Suriana (2013), produk anti-aging memiliki tujuan untuk membantu tubuh agar tetap sehat dan awet muda bahkan bisa terlihat jauh lebih muda dari usia sesungguhnya. Produk ini digunakan untuk menghambat proses penuaan pada kulit (degeneratif), sehingga mampu menghambat timbulnya tanda-tanda penuaan kulit.
- Antioksidan
Antioksidan adalah zat yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah terjadinya proses oksidasi. Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan
berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Manfaat antioksidan bagi kesehatan dan kecantikan, misalnya untuk mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh darah, penuaan dini, dan lain-lain (Tamat, dkk., 2007).
Antioksidan dapat menghentikan, menghambat, atau memperbaiki serangan radikal bebas yang mempercepat penuaan maka sangat masuk akal kalau tubuh kita perlu banyak mengkomsumsi antioksidan. Semakin banyak antioksidan yang berguna untuk melindungi membran-membran lemak sel-sel, protein-protein, dan DNA genetik dalam batas-batas yang tidak berbahaya maka semakin berkurang kemampuan radikal-radikal bebas itu untuk menyerang dan menimbulkan kerusakan. Bila semakin kecil kerusakannya maka semakin kecil kemungkinan adanya tanda-tanda proses penuaan dan kehancuran akhir tubuh itu (Putro, 1997).
Ada tiga macam mekanisme kerja antioksidan pada radikal bebas, yaitu - Antioksidan primer
Mampu mengurangi pembentukan radikal bebas baru dengan cara memutus reaksi berantai dan mengubahnya menjadi lebih stabil.
- Antioksidan sekunder
Berperan mengikat radikal bebas dan mencegah amplifikasi senyawa radikal. Beberapa contohnya vitamin A (betakaroten), vitamin C, vitamin E, dan senyawa fitokimia.
- Antioksidan Tersier
Berperan dalam mekanisme biomolekuler seperti memperbaiki kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan radikal bebas.
2.6 Kosmetika
Kosmetik yang dalam bahasa Inggris disebut “cosmetics” berasal dari bahasa Yunani “kosmetikos” yang berarti kecakapan dalam menghias, juga dari kata “kosmein” yang berarti menata atau menghias. Kosmetik merupakan sediaan/paduan bahan yang siap digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ kelamin luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampilan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit (Tranggono dan Latifah, 2007).
Kosmetika sudah dikenal orang sejak zaman dahulu kala. Di Mesir, 3500 tahun sebelum Masehi telah digunakan berbagai bahan alami baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan maupun bahan alam lain misalnya tanah liat, lumpur, arang, air, embun, pasir atau sinar matahari (Wasitaatmadja, 1997).
2.7 Krim
Krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaian luar. Ada dua tipe krim, krim tipe minyak-air dan krim tipe air-minyak (Ditjen POM RI, 1979).
Secara garis besar krim terdiri dari 3 komponen yaitu bahan aktif, bahan dasar dan bahan pembantu. Bahan dasar terdiri dari fase minyak dalam fase air yang dicampur dengan penambahan bahan pengemulsi (emulgator) kemudian akan membentuk basis krim. Menurut kegunaannya krim anti-aging digolongkan dalam kosmetik perawatan (Muliyawan dan Suriana, 2013).
- Bahan-bahan Dalam Krim Anti-Aging a. Asam stearat
Asam stearat digunakan dalam formulasi topikal digunakan sebagai zat pengemulsi. Konsentrasi asam stearat yang biasa digunakan dalam formulasi krim berkisar antara 1 – 20%. Asam stearat dapat larut dalam propilen glikol (Rowe, et al., 2009).
b. Setil alkohol
Lilin tidak berwarna, tidak larut dalam air, bersinar mengkilap, bersisik dengan bentuk mikrokristalin. Lumer pada suhu 48o-50oC. Larut dalam kloroform, eter, alkohol panas, tidak larut dalam air (Tano, 2005).
c. Sorbitol
Sorbitol adalah D-glukosa yang merupakan alkohol hexahydric untuk manosa dan isomernya dengan manitol. Sifatnya tidak berbau, putih, kristal, dan bubuk higroskopik. Sorbitol memiliki rasa yang menyenangkan, dingin, rasa manis dan memiliki sekitar 50-60% dari manisnya sukrosa (Rowe et al., 2009).
d. Propilen glikol
Propilen glikol adalah cairan jernih, tidak berwarna, kental, tidak berbau, dengan rasa manis, agak sangit menyerupai gliserin. Bahan ini dapat berfungsi sebagai pengawet antimikroba, disinfektan, humektan, plasticizer, pelarut, stabilizer, dan pelarut pembantu yang dapat bercampur dengan air (Rowe, et al., 2009).
e. Trietanolamin
Trietanolamin (TEA) adalah cairan kental jernih, tidak berwarna hingga berwarna kuning pucat yang mempunyai bau agak menyerupai amoniak.
TEA digunakan secara luas dalam formulasi bidang farmasi, terutama dalam pembentukan emulsi. TEA jika dicampur dengan asam lemak seperti asam stearat atau asam oleat akan membentuk sabun anionik yang dapat berfungsi sebagai pengemulsi untuk menghasilkan emulsi minyak dalam air yang stabil (Rowe, et al., 2009).
f. Nipagin
Nipagin digunakan secara luas sebagai pengawet antimikroba dalam formulasi kosmetika, produk makanan, dan bidang farmasi. Khasiat pengawet dari nipagin juga ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol sebanyak 2 – 5%. Konsentrasi nipagin yang biasa digunakan dalam sediaan topikal berkisar antara 0,02 – 0,3% (Rowe, et al., 2009).
2.8 Skin Analyzer
Skin analyzer merupakan sebuah perangkat yang dirancang untuk mendiagnosis keadaan pada kulit. Skin analyzer mempunyai sistem terintegrasi untuk mendukung diagnosis dokter yang tidak hanya meliputi lapisan kulit teratas, melainkan juga mampu memperlihatkan sisi lebih dalam dari lapisan kulit. Tambahan rangkaian sensor kamera yang terpasang pada skin analyzer menampilkan hasil dengan cepat dan akurat (Aramo, 2012).
Pengukuran kulit dengan menggunakan skin analyzer secara otomatis akan menampilkan hasil dalam bentuk angka dan angka yang didapatkan akan secara langsung disesuaikan dengan parameter dari masing-masing pengukuran yang telah diatur sedemikian rupa pada alat tersebut. Ketika hasil pengukuran muncul dalam bentuk angka, maka secara bersamaan kriteria hasil pengukuran akan keluar dan dapat dimengerti dengan mudah oleh pengguna yang memeriksa
ataupun pasien. Parameter hasil pengukuran skin analyzer dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Parameter hasil pengukuran dengan skin analyzer
Pengukuran Parameter (%)
Moisture (kelembaban)
Dehidrasi Normal Hidrasi
0-29 30-45 46-100
Evenness (kehalusan)
Halus Normal Kasar
0-31 32-51 52-100
Pore (pori) Kecil Sedang Besar
0-19 20-39 40-100
Spot (noda) Sedikit Sedang Banyak
0-19 20-39 40-100
Wrinkle (keriput) Tidak berkeriput Berkeriput Berkeriput parah
0-19 20-52 53-100