1 SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Nurul Futuchah G.0007122
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alergi adalah suatu keadaan hipersensitivitas yang diinduksi oleh pajanan antigen tertentu yang menimbulkan reaksi imunologi yang berbahaya pada pajanan berikutnya (Dorland, 2002). Salah satu manifestasi alergi adalah asma alergi. Solomon (2006) menuliskan asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh terjadinya penyempitan bronkus yang berulang, tetapi reversibel, dan diantara episode penyempitan bronkus tersebut terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal.
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur, status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan (Sundaru dan Sukamto, 2007). Deivess dan Roitt (2001) dalam Mangatas dkk. (2006) menuliskan prevalensi global asma diperkirakan sekitar 4-8%. Sedangkan di Indonesia, prevalensi asma berkisar antara 5-7% (Sundaru dan Sukamto, 2007).
Proses alergi dimulai dengan pajanan alergen-alergen yang ditangkap oleh Antigen Presenting Cell (APC). Sel dendritik di saluran napas berperan sebagai APC pada asma (Iris, 2004). Hasil olahan alergen oleh APC selanjutnya akan dipresentasikan ke sel Cluster of Differentiation (CD) 4+ T-helper (Th)2 melalui ekspresi Major Histocompability Complex (MHC) II
IL-13 yang memacu sel B (sel-sel plasma) untuk menghasilkan imunoglobulin (Ig) E (Abbas and Litchman, 2003). IL-5 juga dihasilkan oleh sel CD4+ Th2 yang akan menarik eosinofil ke tempat inflamasi (Sell, 2001). IgE yang terbentuk akan berikatan dengan sel mast dan menyebabkan degranulasi sel mast. Sel mast yang terdegranulasi akan melepaskan mediator-mediator inflamasi yang dapat menyebabkan spasme bronkus, edema, peningkatan sekresi mukus, dan konstriksi otot polos bronkus seperti histamin, leukotrien, dan prostaglandin. Faktor kemotakis seperti IL-5 dan Tumour Necrosis Factor (TNF)α juga dilepaskan oleh sel mast (David et al.,
2006). Faktor kemotaktis ini akan memacu infiltrasi sel-sel radang seperti eosinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, dan basofil ke dalam jaringan bronkus (Abbas and Litchman, 2003). Infiltrasi sel-sel radang menunjukan terjadinya inflamasi pada bronkus (Sundaru dan Sukamto, 2007).
Salah satu tanaman yang dapat digunakan sebagai tanaman obat adalah daun sendok (Plantago mayor L.). Daun sendok berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, pereda demam (antipiretik), peluruh kencing (diuretik), peluruh dahak (ekspektoran), obat batuk (antitusif), penghenti perdarahan (hemostasis), astringen, menerangkan penglihatan dengan menormalkan aktivitas organ hati yang berlebihan, dan menghilangkan haus (Dalimartha, 1999).
Kandungan kimia daun sendok yang memiliki peran sebagai antiasma antara lain adalah adanya aktivitas antiinflamasi pada allantoin, apigenin, aucubin, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, cinnamic acid, ferulic acid, gentisic acid, linoleic acid, luteolin, neochlorogenic acid,
oleanolic acid, oleic acid, salicylic acid, ursolic acid, vanilic acid; sebagai antialergi pada apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, ferulic acid, oleanolic acid; sebagai inhibitor sintesis derivat asam arakidonat pada caffeic
acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin, oleic acid, P-coumaric acid; sebagai antihistamin pada apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin; sebagai inhibitor
siklooksigenase pada apigenin, baicalein, caffeic acid, oleanolic acid, salicylic acid, tannin, ursolic acid (Duke, 2009).
meneliti pengaruh pemberian ekstrak daun sendok terhadap asma alergi, yang diantaranya dapat dilihat melalui derajat inflamasi bronkus.
B. Perumusan Masalah
Adakah pengaruh pemberian ekstrak daun sendok terhadap derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun sendok terhadap derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai pengaruh pemberian ekstrak daun sendok terhadap derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
2. Manfaat Praktis
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Daun Sendok (Plantago mayor L.) a. Nama
1) Nama daerah
a) Sumatra : daun urat, daun urat-urat, daun sendok, ekor angin, kuping menjangan (Melayu)
b) Jawa : ki urat, ceuli, ceuli uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan, sangkubah, sangkabuah, sangkuah, sembung otot, suri pandak (Jawa)
c) Sulawesi : torongoat (Minahasa) 2) Nama asing
a) Cina : che qian cao b) Vietnam : ma de, xa tien c) Belanda : Weegbree
d) Inggris : plantain, greater plantain, broadleaf plantain, rat’s tail plantain, waybread, white man’s foot
(Dalimartha, 1999) b. Klasifikasi
Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Plantagilanes Suku : Plantaginaceae Marga : Coleus
Jenis : Plantago major L. (Soedarto, 2003)
c. Deskripsi
Gambar 2.1 Daun Sendok (Persi, 2002)
cm, lebar 4 - 9 cm, berwarna hijau. Perbungaan majemuk tersusun dalam bulir yang panjangnya sekitar 30 cm, kecil, warna putih. Buah lonjong atau bulat telur, berisi 2 - 4 biji berwarna hitam dan keriput (Persi, 2002).
d. Kandungan Kimia Daun Sendok
Kandungan kimia daun sendok antara lain adalah 3,4 dihydroaucubin, 6-0-β-glucosylaucubin, 9-hydroxy-cis-11-octadecanoic acid, adenine, alkaloids, allantoin, apigenin, apigenin-7-glucoside, ascorbic acid, aucubin, baicalein, baicalin, benzoic acid, caffeic acid,
catalpol, chologenic acid, choline, cinnamic acid, citric acid, D-glucose, D-xylose, DI-O-methylgalactose, emulsin, eo, fat, ferulic acid,
fiber, fumaric acid, geniposidic acid, gentisic acid, glucoraphenine, hispidulin, hydroxycinnamic acid, indicaine, invertin, L-fructose, lignoceric acid, linoleic acid, loliolid, luteolin, luteolin-7-β -D-glucoside, luteolin-7-β-D-glucoronide, mucilage, nepetin, oleanolic acid, oleic acid, P-coumaric acid, P-hydroxy-benzoic acid,
phenolcarbonic acids, plantagic acid, plantagonine, plantagoside, plantease, planteolic acid, potassium salts, protein, resin, rhamnose, saccharose, salicylic acid, scutellarin, sitosterol, sorbitol, succinic acid,
e. Efek Farmakologi Daun Sendok
Daun sendok bersifat manis dan dingin. Berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, pereda demam (antipiretik), peluruh kencing (diuretik), peluruh dahak (ekspektoran), obat batuk (antitusif), penghenti perdarahan (hemostasis), astringen, menerangkan penglihatan dengan menormalkan aktivitas organ hati yang berlebihan, dan menghilangkan haus (Dalimartha, 1999).
f. Daun Sendok sebagai Antiasma
Daun sendok dapat digunakan sebagai antiasma dengan aktifitas beberapa zat yang dikandungnya, yaitu:
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Daun Sendok yang Berperan sebagai Antiasma (Duke, 2009)
Zat Sumber Aktivitas
Allantoin Tanaman Antiinflamasi
Apigenin Daun Antialergi, antihistamin,
antiinflamasi, inhibitor COX-1, inhibitor COX-2, inhibitor ICAM-1, inhibitor NF-kB, inhibitor NO-synthetase, inhibitor TNF-α, inhibitor PKC
Ascorbic acid Tanaman Antialergi, antiasma, antihistamin, antiinflamasi, asthma preventive, antagonis Ca, imunomodulator
Aucubin Daun,
tanaman, biji
Antiinflamasi
Baicalein Daun Antialergi, antiasma, antihistamin, antiinflamasi, inhibitor siklooksigenase
Baicalin Tanaman Antialergi, antiasma, antihistamin, antiinflamasi
Chlorogenic acid
Tanaman Antihistamin, antiinflamasi, antileukotrien
Cinnamic acid Tanaman Antiinflamasi
Ferulic acid Tanaman Antialergi, antiinflamasi, antiserotonin, inhibitor sintesis prostaglandin
Gentisic acid Tanaman Antiinflamasi
Linoleic acid Biji Antihistamin, antiinflamasi, antileukotrien D4, imunomodulator
Luteolin Daun Antialergi, antihistamin,
antiinflamasi, antagonis Ca, inhibitor ICAM-1, inhibitor NF-kB, inhibitor NO, inhibitor sintesis prostaglandin, inhibitor TNF-α
Neo-chlorogenic acid
Daun Antiinflamasi
Oleanolic acid Daun Antialergi, antiinflamasi, inhibitor COX-2, imunomodulator, inhibitor NF-kB
Oleic acid Daun Antiinflamasi, antialeukotrien D4 P-coumaric
acid
Tanaman inhibitor sintesis prostaglandin Salicylic acid Tanaman Antiinflamasi, inhibitor COX-2 Syringin Tanaman Imunomodulator
Tannin Tanaman Inhibitor siklooksigenase
Ursolic acid Tanaman Antiinflamasi, Inhibitor siklooksigenase, imunomodulator Vanillic acid Tanaman Antiinflamasi
2. Asma Alergi
Asma alergi termasuk reaksi hipersensitivitas tipe 1, yaitu hipersensitivitas cepat. Karakteristik reaksi hipersensitivitas tipe I ini adalah diproduksinya antibodi IgE melawan protein asing yang umumnya ada di lingkungan (seperti serbuk sari, toxin binatang, tungau, atau debu rumah) (David et al., 2006).
Alergen yang masuk ke dalam tubuh individu yang rentan asma akan diambil oleh APC, seperti sel dendritik di saluran napas. Di dalam APC, alergen dikenali dalam bentuk peptida yang berinteraksi dengan MHC kelas II. Kompleks peptida-MHC II pada permukaan APC kemudian berinteraksi dengan reseptor sel T sehingga sel T teraktivasi. Sel T naïve CD4+ dapat berasosiasi secara eksklusif dengan antigen yang dipresentasikan bersama MHC II (David et al., 2006). Limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik, teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi sel Th1 dan Th2. Pada penderita rentan asma, akan terjadi polarisasi ke arah sel Th2 (Mangatas dkk., 2006). Limfosit Th2 akan memproduksi IL4, IL5, IL10, dan IL13 (David et al., 2006).
dengan reseptornya, baik itu reseptor dengan afinitas ikatan yang kuat,
yaitu FcεRI pada permukaan sel mast dan basofil (Bosquet et al., 2000
dalam Mangatas dkk., 2006; David et al., 2006), atau reseptor dengan
afinitas rendah, yaitu FcεRII seperti pada limfosit, trombosit, dan
makrofag (Bosquet et al., 2000 dalam Mangatas dkk., 2006).
Proses inflamasi pada asma alergi meliputi inflamasi akut dan inflamasi kronik.
a. Inflamasi akut
1) Reaksi fase awal (early phase reaction)
2000, Nadel and Busse, 1998, Davies et al., 1997 dalam Mangatas dkk., 2006).
2) Reaksi fase lambat (late phase reaction)
Fase ini timbul setelah 6-9 jam paparan alergen dan meliputi pengerahan dan aktivasi dari sel-sel eosinofil, sel T, basofil, neutrofil dan makrofag. Sel-sel tersebut diaktivasi oleh sitokin-sitokin yang diproduksi pada proses inflamasi sebelumnya. Interleukin 3, IL-5, dan Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor (GM–CSF) akan memacu produksi dan aktivasi
eosinofil; sedangkan TNF α akan meningkatkan ekspresi molekul adesi endotel terhadap leukosit seperti E-Selection dan Intercelllular Adhesion Molecule (ICAM) 1 (Bosquet et al., 2000 dan Davies et al., 1997 dalam Mangatas dkk., 2006; Janeway et al., 2005).
Reaksi fase lambat ditandai oleh retensi selektif sel T pada saluran nafas, ekspresi molekul adhesi, serta pelepasan newly generated mediators yaitu derivat asam arakhidonat. Fosfolipid sel
factors (PAF) (Bosquet et al., 2000 dan Davies et al., 1997 dalam Mangatas dkk., 2006).
LTC4, LTD4, dan TXA2 bersifat sebagai
bronkokonstriktor poten, sedangkan PGA2α, PGD2 dan PAF
menyebabkan bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas vaskular dan sekresi mukus. Dalam konsentrasi tinggi, PAF juga menyebabkan agregasi trombosit dan pembentukan mikrotrombus. Hal ini terus menerus terjadi sehingga reaksi fase lambat semakin lama semakin kuat (Bosquet et al., 2000 dan Davis et al., 1997 dalam Mangatas dkk., 2006).
b. Inflamasi kronik
Survival sel inflamasi pada saluran nafas lebih tinggi lagi oleh adanya peningkatan molekul adhesi seperti ICAM dan VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule) yang melekatkan sel-sel radang pada saluran nafas (Busse and Lemanske, 2001 dalam Mangatas dkk., 2006). Karakteristik inflamasi kronik asma alergi adalah sebagai berikut:
hasil degranulasi sel mast, protein proteolitik eosinofil, serta metaloprotease dari epitel maupun dari sel mast. Penyebab lainnya adalah gangguan adhesi antar sel (Bosquet et al., 2000 dan Holgate, 1998 dalam Mangatas dkk., 2006).
Akibat pengelupasan epitel, terjadi hiperresponsivitas bronkus, peningkatan permeabilitas mukosa saluran nafas, dan penurunan jumlah enzim endoprotease netral, seperti substansi P, yang berfungsi mendegradasi sitokin proinflamasi (Bosquet et al., 2000 dan Holgate, 1998 dalam Mangatas dkk., 2006).
2) Aktivasi sel epitel
Sel epitel saluran napas turut berperan dalam reaksi inflamasi asma alergi. Reaksi inflamasi ini bertujuan memperbaiki kerusakan jaringan epitel akibat asma. Sel epitel yang teraktivasi melepaskan berbagai mediator, antara lain 15-hydroxyeicotetraenoic acid (15-HETE), PGE2, fibronektin, eotaksin. Selain itu, terjadi peningkatan ekspresi berbagai petanda inflamasi seperti molekul adhesi, nitric oxide synthetase (NOS) dan endotelin (Bosquet et al., 2000 dalam Mangatas dkk., 2006).
3. Bronkus
a. Lamina mukosa
Lapisan ini terdiri atas epitel bertingkat semu silindris bersilia. b. Lamina propria
Merupakan lapisan tipis di bawah lamina mukosa. Terdiri atas jaringan ikat halus dengan banyak serat elastin.
c. Lamina muskularis
Lapisan ini berupa selapis tipis otot polos yang melapisi lamina propria.
d. Lamina submukosa
Pada lapisan ini terdapat banyak kelenjar serosa, mukosa, dan mukoserosa.
e. Lamina adventitia
Lapisan terluar dari bronkus ini dipisahkan dengan lamina submukosa oleh lempeng-lempeng tulang rawan. Pada celah antar tulang rawan tersebut, jaringan ikat submukosa menyatu dengan adventitia (Eroschenko, 2002).
Gambar 2.2 Histologi Bronkus (Gregory, 2009) 1
3 2
4. Inflamasi Bronkus
Inflamasi atau peradangan bronkus merupakan faktor patofisiologi yang penting pada asma alergi. Myou et al. (2003) menuliskan derajat inflamasi pada saluran napas adalah sebagai berikut:
0 = Tidak ada infiltrasi sel radang 1 = Infiltrasi sel radang sedikit
2 = Infiltrasi sel radang ke-1 lapisan dinding bronkus 3 = Infiltrasi sel radang hingga 2-4 lapisan dinding bronkus 4 = Infiltrasi sel radang hingga > 4 lapisan dinding bronkus Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat belum pasti. Rahmawati dkk. (2003) menyebutkan sel inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma meliputi sel mast, makrofag, neutrofil, eosinofil, limfosit T, basofil, dan platelet. a. Neutrofil
Gambar 2.3. Neutrofil Segmen (Nivaldo, 2009)
b. Eosinofil
Eosinofil diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan GMCSF (Rahmawati dkk., 2003). Sel ini biasanya mudah dikenali pada apusan darah karena sitoplasmanya dipenuhi granula eosinofilik (merah muda terang) besar (Jancquira and Carneiro, 2005). Granul intraselular ini merupakan sumber protein proinflamasi seperti major basic protein (MBP), eosinophil derived neurotoxin, peroksidase dan protein kationik (Mangatas dkk., 2006). Inti eosinofil khas bipolar namun kadang-kadang ada lobus ketiga yang kecil (Jancquira and Carneiro, 2005).
c. Limfosit
Limfosit merupakan leukosit granuler. Limfosit tidak atau hampir tidak memiliki granula sitoplasma, dengan inti bulat sampai berbentuk tapal kuda. Besarnya barvariasi, pada limfosit kecil intinya yang terpulas gelap mengisi hampir seluruh sitoplasma dan sitoplasma itu tampak sebagai daerah basofilik sempit di sekitar inti. Sitoplasma agranuler, tetapi dapat mengandung sedikit granula azurofilik. Pada limfosit besar, sitoplasma basofiliknya lebih banyak di sekitar inti, dan intinya lebih besar dan lebih pucat serta mengandung satu atau dua nukleoli (Baldy, 2006).
Gambar 2.5. Limfosit (Nivaldo, 2009)
d. Basofil
dan terpulas basofilik pucat, umumnya basofil terhalangi oleh kepadatan granula. (Eroschenko, 2002; Jancquira and Carneiro, 2005).
Gambar 2.6. Basofil (Nivaldo, 2009)
e. Makrofag
Gambar 2.7. Makrofag (Caceci, 2009)
5. Mencit Model Asma Alergi
Terdapat beberapa spesies binatang yang digunakan sebagai binatang model asma, diantaranya adalah mencit, tikus, marmut, musang, anjing, kambing, monyet, dan kuda. Dari spesies-spesies tersebut, yang paling banyak digunakan adalah mencit karena memiliki keuntungan yang paling besar dibanding spesies lain, diantaranya adalah karena IgE merupakan antibodi terhadap alergi yang utama pada mencit (Shin et al., 2009).
Untuk menginduksi asma pada mencit, reaksi artifisial yang mirip dengan asma diinduksikan pada jalan napas. Terdapat mencit model asma alergi akut dan mencit model asma alergi kronik.
a. Mencit Model Asma Alergi Akut
Sifat dari model inflamasi akut dipengaruhi oleh pilihan strain, alergen, dan protokol sensitisasi dan paparan. Alergen yang umumnya dipakai adalah ovalbumin (OVA), yang merupakan derivat dari telur ayam. OVA relatif tidak mahal, tidak berbahaya, dapat dimurnikan, dan memiliki epitop yang mendominasi respon imun. Namun, OVA justru dapat menyebabkan toleransi dan downregulation inflamasi dan AHR pada beberapa model. Trimble et al. (2009) menuliskan bahwa mekanisme toleransi tersebut dapat diatasi dengan pemberian bersama adjuvant. Selain OVA, alergen lain yang digunakan adalah ekstrak dari derivat protein alergen yang berpotensi menginduksi reaksi alergi pada manusia seperti tungau debu rumah, kecoa, rumput-rumputan, dan jamur (Shin et al., 2009).
alergen dalam jumlah yang lebih banyak. Setelah sensitisasi (14-21 hari), jalan napas mencit dipapar dengan alergen, biasanya selama beberapa hari. Alergen dapat diinhalasi menggunakan formulasi nebulizer (aerosol), atau dengan intratrakeal (i.t) atau intranasal (i.n) (Nials and Uddin, 2008). Paparan pada model inflamasi akut ini disebut dengan paparan alergen primer (Shin et al., 2009).
Paparan primer pada model inflamasi akut memperlihatkan perubahan seperti asma di klinik seperti peningkatan kadar IgE, inflamasi jalan napas, hiperplasia sel goblet, hipertrofi epitel, AHR yang spesifik stimulus, dan -pada beberapa model- bronkokonstriksi fase cepat dan fase lambat. Namun, karena paparan ini bersifat paparan singkat, maka tidak dijumpai beberapa lesi yang ada pada asma kronik pada manusia, seperti inflamasi kronik pada dinding jalan napas dan remodelling jalan napas. Terlebih lagi, beberapa proses berjalan singkat, dan pada beberapa model, inflamasi jalan napas dan AHR berkurang setelah beberapa minggu dari paparan alergen terakhir. Oleh karena itu, model paparan akut lebih cocok digunakan untuk meneliti proses yang mendasari inflamasi jalan napas akut dan AHR (Nials and Uddin, 2008).
b. Mencit Model Asma Alergi Kronik
Tujuan pembuatan model inflamasi kronik adalah untuk memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik, seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan napas, dan juga memungkinkan evaluasi obat baru sebagai rancangan terapi daripada sebagai rancangan profilaksis (Nials and Uddin, 2008). Selain itu, keuntungan dari protokol ini adalah kemampuannya untuk memonitor perubahan parameter inflamasi (Shin et al., 2009).
minggu. Alergen yang berbeda-beda digunakan dan pemberian bersama dengan adjuvant biasanya tidak dibutuhkan (Nials and Uddin, 2008). Sedangkan Shin et al. (2009) menuliskan paparan untuk model asma kronik (paparan sekunder) diberikan 2-6 minggu setelah paparan primer ketika eosinofilia jalan napas dan AHR menurun sampai baseline level.
B. Kerangka Berpikir
2. Kerangka berpikir teoritis
Alergen yang masuk ke dalam tubuh mencit akan ditangkap oleh APC yaitu sel dendrit yang nantinya akan dikenali oleh sel Th0. Sel Th0 akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Pada individu yang rentan asma, akan terjadi polarisasi ke arah Th2. Sel Th2 akan menghasilkan IL-4 yang semakin memacu diferensiasi dan proliferasi Th0 menjadi Th2. Produksi Th2 akan menghambat produksi Th1 dengan produksi IL-10, dan sebaliknya, jika produksi Th1 yang
dominan, maka akan menghambat Th2 dengan IFNγ. Selain itu, IL-4
dan IL-13 yang diproduksi oleh Th2 akan menstimulasi sel B dalam memproduksi antibodi IgE. Sitokin lain seperti IL-5 dan GM-CSF mampu menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil.
IgE yang terbentuk nantinya akan berikatan dengan
reseptornya, baik itu pada FcεRI pada sel mast dan eosinofil maupun
FcεRII seperti pada limfosit, trombosit, dan makrofag. Alergen yang
yang merupakan derivat asam arakhidonat yang diantara sumbernya adalah fosfolipid sel mast, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskular yang diaktivasi oleh enzim fosfolipase.
Inflamasi saluran napas kronik akan menyebabkan pengelupasan epitel dan aktivasi sel epitel untu memperbaiki kerusakan. Sel epitel akan meningkatkan ekspresi ICAM-1, VCAM, endotelin, NOS, 15-HETE, PGE2, fibronektin, eotaksin yang justru akan menyebabkan peningkatan survisal sel radang di saluran napas.
Daun sendok memiliki komponen bioaktif yang mempunyai peran sebagai antiasma, diantaranya adalah adanya aktivitas inhibisi sintesis derivat asam arakidonat pada caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin, oleic acid, P-coumaric acid; antihistamin pada
apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin; inhibisi mediator inflamasi kronik pada
apigenin, luteolin. Dengan demikian pemberian ekstrak daun sendok dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati asma alergi. Hal tersebut dapat dilihat, salah satunya, melalui penurunan derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
C. Hipotesis
Ekstrak daun sendok menurunkan derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorik, dengan post test only control group design.
B. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian berupa 40 ekor mencit BALB/c jantan, dengan berat badan ±20–30 gram, dan berumur 6-8 minggu. Bahan makanan mencit digunakan pakan mencit pelet.
D. Teknik Sampling dan Besar Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode random sederhana. Dalam penelitian ini subjek dibagi ke dalam lima kelompok. Jumlah subjek pada masing-masing kelompok didapat dengan rumus besar sampel independen (tidak berpasangan) untuk menaksir perbedaan rata-rata dua populasi (Arief, 2004):
n = jumlah sampel tiap kelompok
Zα = nilai pada distribusi normal standar untuk uji dua sisi pada
tingkat kemaknaan α. Pada penelitian ini Z = 1,96 untuk α = 0,05
s = simpang baku populasi standar
d = presisi absolut yang dikehendaki pada kedua sisi proporsi populasi
Jika s tidak diketahui nilainya, maka dianggap sama dengan d, sehingga rumus di atas menjadi:
n = 2 x 3,8416 n = 7,6832 ≈ 8
Jadi, dalam penelitian ini digunakan 8 mencit BALB/c untuk tiap kelompok.
E. Identifikasi Variabel Penelitian
1. Variabel bebas : Ekstrak daun sendok 2. Variabel terikat : Derajat inflamasi bronkus 3. Variabel luar :
a. Dapat dikendalikan : makanan, genetik, umur, berat badan mencit.
b. Tidak dapat dikendalikan : variasi kepekaan mencit BALB/c terhadap suatu zat.
1. Ekstrak daun sendok : skala nominal 2. Derajat inflamasi bronkus : skala ordinal G. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Ekstrak Daun Sendok
Daun sendok didapat dari Merapi Farma, Yogyakarta yang diekstrak di Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT) Yogyakarta. Pemberian daun sendok dilakukan peroral dengan dosis 50 dan 100 mg/kgBB/hari atau 0,05 dan 0,1 mg/gBB/hari. Dengan mengambil rata-rata berat badan mencit 20 gram, maka dosis ekstrak daun sendok menjadi 1 dan 2 mg/20 gBB/hari.
Ekstrak dibuat dalam konsentrasi 30gr dalam 600mL aquabides (50mg/mL). Agar pemberian lebih mudah, ekstrak diencerkan 4 kali sehingga konsentrasinya menjadi 10mg/mL. Maka ekstrak daun sendok yang diberikan pada sekali pemberian untuk kelompok 4 adalah 0,1 mL dan untuk kelompok 5 adalah 0,2 mL. 2. Derajat inflamasi bronkus
melihat derajat inflamasinya. Preparat bronkus diamati dengan mikroskop cahaya perbesaran 100 kali dalam satu lapang pandang. Identifikasi derajat inflamasi bronkus dari preparat kemudian diklasifikasikan menjadi grade 0-4 berdasar Myou et al. (2003), yaitu: 0 = Tidak ada infiltrasi sel radang
1 = Infiltrasi sel radang sedikit
2 = Infiltrasi sel radang ke-1 lapisan dinding bronkus 3 = Infiltrasi sel radang hingga 2-4 lapisan dinding bronkus 4 = Infiltrasi sel radang hingga > 4 lapisan dinding bronkus H. Mencit Model Asma Alergi
Untuk membuat mencit model asma alergi dilakukan injeksi intraperitonial pada hari ke-0 dan 10 dengan 0,15 cc ovalbumin (OVA) dalam alumunium hidroksida [Al(OH)3] dari 2,5 mg OVA yang dilarutkan pada 7,75 ml Al(OH)3. Selanjutnya, pada hari ke-15, 17, 19, 21, dan 23 mencit dipapar menggunakan OVA aerosol yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan OVA : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit. Pada hari ke 16, 18, 20, 22, dan 24 mencit dipapar sigaret yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan sigaret : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit. Sigaret yang digunakan dalam penelitian ini adalah sigaret kretek merk Lodjie®. Mencit diterminasi pada hari ke-25.
Antihistamin yang digunakan dalam penelitian ini adalah Telfast® (antihistamin generasi III) 120 mg yang mengandung Fexofenadine. Faktor konversi manusia (dengan berat badan ±70 kg) ke mencit (dengan berat badan ±20 gr) adalah 0,0026 (Harmita dan Maksum, 2005). Dengan demikian, dosis antihistamin yang diberikan pada mencit adalah:
120 mg x 0,0026 = 0,3 mg
Telfast® diberikan pada mencit dengan dosis 0,3 mg/mencit/hari/oral yang sudah dilarutkan dalam 0,1 ml aquades. Jadi, volume aquades yang digunakan sebagai pelarut antihistamin adalah:
120 mg/0,3 mg = V (ml)/0,1 ml
V = 40 ml
J. Rancangan Penelitian
Gambar 3.1. Skema rancangan penelitian
Keterangan :
n = Jumlah Mencit K1 = Kelompok kontrol K2 = Kelompok asma
K5 = Kelompok asma + ekstrak daun sendok 2 mg/mencit/hari/oral I1 = Derajat inflamasi bronkus K1
I2 = Derajat inflamasi bronkus K2 I3 = Derajat inflamasi bronkus K3 I4 = Derajat inflamasi bronkus K4 I5 = Derajat inflamasi bronkus K5 K. Alat dan Bahan
1. Alat penelitian
a. Kandang hewan ukuran 35 x 20 x 15 b. Timbangan hewan merk camry c. Spuit injeksi 0,1 ml
d. Sonde 0,1 ml e. Pipet ukur 1 ml f. Labu ukur 5 ml g. Beaker glass 5 ml h. Deck glass
i. Nebulizer
j. Mikroskop cahaya 2. Bahan penelitian
a. Ekstrak daun sendok b. Bronkus hewan coba c. Aquades
d. Pakan mencit pelet e. OVA
h. Al(OH)3 i. Sigaret j. Blok parafin k. Pewarna HE L. Cara Kerja
1. Kandang mencit disiapkan, satu kandang berisi 1 kelompok mencit. Mencit diadaptasi dengan lingkungan selama 7 hari.
2. Mencit sebanyak 40 ekor dikelompokan secara acak menjadi 5 kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 8 ekor mencit dengan rincian:
a. Kelompok 1 : Kelompok kontrol b. Kelompok 2 : Kelompok asma
c. Kelompok 3 : Kelompok asma + antihistamin 0,3 mg/mencit/hari/oral
d. Kelompok 4 : Kelompok asma + ekstrak daun sendok 1 mg/mencit/hari
e. Kelompok 5 : Kelompok asma + ekstrak daun sendok 2 mg/mencit/hari
3. Antihistamin untuk kelompok 3 dan ekstrak daun sendok untuk kelompok 4 dan 5 diberikan mulai hari ke-10.
5. Pada hari ke-15, 17, 19, 21, dan 23, mencit dipapar menggunakan OVA aerosol 50 mg yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan OVA : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit.
6. Pada hari ke-16, 18, 20, 22, dan 24, mencir dipapar menggunakan sigaret 50 mg yang dilarutkan dalam aquades dengan perbandingan sigaret : aquades adalah 10 : 1 selama 20 menit menggunakan alat nebulizer kecepatan 6 L/menit.
M. Alur Penelitian
Terminasi dengan metode dislokasi servikalis Hari ke-16, 18, 20, 22, dan 24: Paparan sigaret aerosol dalam aquades dengan
perbandingan sigaret:aquades = 10:1 Paparan OVA aerosol dalam aquades dengan
perbandingan OVA:aquades = 10:1 Mencit BALB/c 40 ekor
Kelompok 5 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
N. Teknik Analisis Data
Data hasil penelitian berupa grade histologis saluran napas, dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Kruskall-Wallis dan dilanjutkan dengan Post Hoc Tests yaitu Mann-Whitney menggunakan program Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.0 for Windows Release.
Kruskall-Wallis adalah uji nonparametrik untuk membandingkan
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Hasil Penelitian
Preparat bronkus dari masing-masing mencit dibuat menggunakan pengecatan HE setelah dislokasi servikalis. Preparat diamati dengan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 100 kali. Masing-masing bronkus dinilai derajat inflamasinya menggunakan sistem grading Myou et al., (2003) sebagai berikut:
Gambar 4.5. Grade 4 pada K5 Keterangan :
: yang ditunjuk adalah sel-sel radang
Dari hasil pengamatan terhadap 40 preparat bronkus dari 5 kelompok, maka persentase derajat inflamasi masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.1. Derajat Inflamasi pada Bronkus Mencit BALB/c Masing-Masing Kelompok.
Kelompok Grade 0 Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4
∑ % ∑ % ∑ % ∑ % ∑ %
K1 7 87,5 1 12,5 0 0 0 0 0 0
K2 0 0 0 0 0 0 3 37,5 5 62,5
0 0 1 12,5 2 25 4 50 1 12,5
K3
K4 0 0 2 25 4 50 2 25 0 0
K5 0 0 0 0 5 62,5 2 25 1 12,5
Sumber : Data primer 2010 Keterangan :
K1 : Kelompok kontrol K2 : Kelompok asma
K3 : Kelompok asma + antihistamin
Data tabel 4.1 disajikan dalam bentuk histogram grading inflamasi bronkus mencit BALB/c pada tiap-tiap kelompok perlakuan sebagai berikut:
Gambar 4.6. Histogram Grading Inflamasi Masing-Masing Kelompok terhadap Jumlah Sampel
B. Analisis Hasil
Dari hasil uji Mann-Whitney (α =0,05), didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan asma, kontrol dengan antihistamin, kontrol dengan daun sendok dosis 1 mg, kontrol dengan daun sendok dosis 2 mg, asma dengan antihistamin, asma dengan daun sendok dosis 1 mg, dan asma dengan daun sendok dosis 2 mg. Sedangkan antara kelompok antihistamin dengan daun sendok dosis 1 mg, antihistamin dengan daun sendok dosis 2 mg, dan daun sendok dosis 1 mg dengan daun sendok dosis 2 mg, tidak berbeda secara bermakna. Rangkuman hasil uji Mann-Whitney antarkelompok dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.2. Rangkuman Hasil Uji Mann-Whitney Antarkelompok
Kelompok p Kemaknaan
K1-K2 0,000 Bermakna
K2-K3 0,021 Bermakna
K2-K4 0,002 Bermakna
K2-K5 0,009 Bermakna
K3-K4 0,148 Tidak bermakna
K3-K5 0,611 Tidak bermakna
K4-K5 0,242 Tidak bermakna
BAB V PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, mencit model asma alergi yang digunakan adalah mencit model asma alergi akut, dimana perlakuan diberikan selama 25 hari. Alergen yang digunakan untuk sensitisasi dan pemaparan adalah OVA dan sigaret kretek dengan adjuvant Al(OH)3. Alergen yang masuk ke dalam tubuh mencit akan ditangkap oleh APC yang akan dipresentasikan bersama MHC kelas II kepada sel Th0. Sel Th0 akan berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Pada individu yang rentan asma, akan terjadi polarisasi ke arah Th2. Sel Th2 akan menghasilkan IL-4 yang semakin memacu diferensiasi dan proliferasi Th0 menjadi Th2. Selain itu, IL-4 dan IL-13 yang diproduksi oleh Th2 akan menstimulasi sel B dalam memproduksi antibodi IgE.
IgE yang terbentuk akan berikatan dengan reseptornya, baik itu pada
FcεRI pada sel mast dan eosinofil, maupun FcεRII seperti pada limfosit,
sel mast, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskular yang diaktivasi oleh enzim fosfolipase.
Hasil pengamatan infiltrasi sel radang pada tabel 4.1 menunjukan adanya peningkatan derajat inflamasi pada kelompok asma bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Derajat inflamasi pada kelompok kontrol menunjukan 87,5% grade 0 dan 12,5% grade 1. Sedangkan pada kelompok asma, didapat 37,5% grade 3 dan 62,5% grade 4. Dari uji Mann Whitney, diperoleh bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dengan kelompok asma (p = 0,000). Hal ini sesuai dengan penelitian Swirski et al. (2002) yang menyatakan bahwa inhalasi OVA dapat mengaktivasi respon imun dan menimbulkan reaksi alergi yang memicu timbulnya inflamasi; dan juga penelitian Rumold et al. (2001) yang menyatakan bahwa environmental tobacco smoke (ETS) dapat menginduksi sensitisasi alergi pada individu normal.
Kelompok yang diberi antihistamin generasi 3 (fexofenadine) sebagai kontrol positif menunjukkan penurunan derajat inflamasi bronkus pada mencit model asma alergi dibanding dengan kelompok asma, yaitu 12,5% grade 1, 25% grade 2, 50% grade 3, dan 12,5% grade 4. Hasil ini berbeda secara bermakna dengan kelompok asma (p = 0,002).
dengan kelompok asma. Sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberi ekstrak daun sendok dosis 2 mg/mencit, didapat 62,5% grade 2, 25% grade 3, dan 12,5% grade 4 yang juga berbeda secara bermakna (p = 0,009) dengan kelompok asma.
Efek antiasma alergi daun sendok merupakan hasil sinergis dari aktivitas komponen bioaktifnya. Diantaranya adalah aktivitas antiinflamasi pada allantoin, apigenin, aucubin, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, cinnamic
acid, ferulic acid, gentisic acid, linoleic acid, luteolin, neochlorogenic acid, oleanolic acid, oleic acid, salicylic acid, ursolic acid, vanilic acid; aktivitas antialergi pada apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, ferulic acid, oleanolic acid; aktivitas inhibitor sintesis derivat asam arakidonat pada caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin, oleic acid, P-coumaric acid; aktivitas antihistamin pada apigenin, ascorbic acid, baicalein, baicalin, caffeic acid, chlorogenic acid, linoleic acid, luteolin; aktivitas inhibitor siklooksigenase pada apigenin, baicalein, caffeic acid, oleanolic acid, salicylic acid, tannin, ursolic
acid.
Namun, dengan uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (p = 0,242) antara kelompok perlakuan yang diberi ekstrak daun sendok dosis 1 mg/mencit dengan daun sendok dosis 2 mg/mencit. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa dosis 1 mg/mencit mungkin merupakan dosis optimal untuk menurunkan derajat inflamasi bronkus sehingga penambahan dosis tidak berpengaruh secara bermakna terhadap derajat inflamasi bronkus.
mg/mencit, tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Kelompok antihistamin dibanding kelompok daun sendok dosis 1 mg/mencit menunjukkan p = 0,148, sedangkan kelompok antihistamin dibanding kelompok daun sendok dosis 2 mg/mencit menujukkan p = 0,611. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini, efek penurunan derajat inflamasi ekstrak daun sendok sebanding dengan antihistamin generasi 3.
Pada penelitian ini, terdapat beberapa kelemahan, diantaranya adalah: 1. Kurangnya variasi dosis, sehingga tidak diketahui dosis toksik ekstrak daun
sendok dan apakah dosis ekstrak daun sendok dibawah 1 mg/mencit dapat memberikan efek yang sama dengan dosis ekstrak daun sendok 1 mg/mencit. 2. Mencit model asma alergi akut kurang representatif jika digunakan untuk
menguji obat asma baru dibanding mencit model asma alergi kronik. Hal ini dinyatakan oleh Nials and Uddin (2008) yang menyatakan bahwa mencit model asma alergi akut diragukan kesesuaiannya untuk menilai obat baru, sedangkan mencit model asma alegi kronik lebih memperlihatkan perubahan yang terjadi seperti pada asma di klinik, seperti AHR yang persisten dan remodelling jalan napas, sehingga memungkinkan evaluasi obat baru sebagai
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Ekstrak daun sendok dosis 1 mg/mencit dan 2 mg/mencit menurunkan derajat inflamasi bronkus mencit BALB/c model asma alergi.
B. Saran
Dengan mempertimbangkan hasil penelitian ini, penulis memberi saran sebagai berikut :
1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai dosis optimal dan dosis toksik daun sendok sebagai obat antiasma alergi dengan menambah variasi dosis.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK and Lichtman AH. 2003. Cellular and Molecular Immunology. Canada: Elsevier Science, pp: 264: 443-8
Arief M. 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Klaten: Community of Self Help Group Forum, hal: 132
Baldy CM. 2006. Gangguan Sel Darah Putih dan Sel Plasma. Dalam: Price SA and Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. pp: 268-91
Brewer JM, Conacher M, Hunter CA, Mohrs M, Brombacher F, and Alexander J. 1999. Aluminium Hydroxide Adjuvant Initiates Strong Antigen-Specific Th2 Responses in the Absence of IL-4- or IL-13-Mediated Signaling. The Journal of Immunology 163: 6448-54
Caceci T. 2009. Veterinary Histology: Exercise 5: Connective Tissues. http://education.vetmed.vt.edu/Curriculum/VM8054/Labs/Lab5/IMAGES/
MACROPHAGE%20IN%20SITU%20copy.JPG (15 Maret 2010)
Dalimartha S. 1999. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 1. Jakarta: Trubus Agriwidya, hal: 50-3
David M, Jonathan B, David BR and Ivan R. 2006. Immunology. Seventh Edition. Canada: Elsevier, pp: 423-42
Dorland WAN. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC, hal: 60
Duke J. 2009. Chemicals and Their Biological Activities. In: Plantago major L. (Plantaginaceae). In: Dr. Duke's Phytochemical and Ethnobotanical Databases. http://www.ars-grin.gov/cgi-bin/duke/farmacy2.pl. (15 Maret 2010)
Efendi Z. 2003. Daya Fagositosis Makrofag pada Jaringan Longgar Tubuh. http://library.usu.ac.id/download/fk/histologi-zukesti1.pdf (6 April 2010) Eroschenko, Victor P. 2002. Atlas Histologi di Fiore. Editor Bahasa Indonesia:
Dewi A dan Tiara MNS. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 63: 65: 243
=&h=401&w=536&sz=30&hl=id&start=1&tbnid=wqCIwToKm6rqwM:&t bnh=99&tbnw=132&prev=/images%3Fq%3Dhistologi%2Bbronkus%26gbv
%3D2%26hl%3Did%26sa%3DG (13 Maret 2010)
Harmita dan Maksum R. 2005. Analisa Hayati. Jakarta: Ari Cipta, hal: 73-7 Iris R. 2004. Peranan antihistamin pada inflamasi alergi. Cermin Dunia Strategi Pemanfaatannya Secara Lestari. http:// www. pariwisatamaluku.
com/balagu/TANAMAN_OBAT.doc. (13 Maret 2010)
Mangatas SM, Hermawan HM, dan Ketut S. 2006. Imunobiologi Asma Bronkial. Dexa Media 19 (1): 31-9
Myou S, Leff AR, Myo S, Boetticher E, Tong J, Meliton AY et al. 2003. Blockade of inflamation and airway hyperresponsiveness in immune-sensitized mice by dominant-negative phosphoinosite-3-kinase-TAT. J Exp Med. 198: 1573
Ngatidjan. 1991. Petunjuk Laboratorium Metode Laboratorium Dalam Toksikologi.Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Bioteknologi UGM Nials AT and Uddin S. 2008. Mouse Models of Allergic Asthma: Acute and
Chronic Allergen Challenge. Dis Model Mech 1(4-5): 213–20
Nivaldo M. 2009. Atlas of hematology. http:// www. hematologyatlas. com/ principalpage.htm (13 Maret 2010)
Oktaria S. 2008. Obat Herbal vs Obat Modern. http:// www. klikdokter. com/ article/detail/770 (13 Maret 2010)
Persi. 2002. Daun Sendok (Platago mayor L.). http:// www. pdpersi. co.id/ ?show =detailnews&kode=952&tbl=alternatif ( 13 Maret 2010)
Robins CS, Pouladi MA, Fattouh R, Dawe DE, Vujicic N, Richards CD et al. 2005. Mainstream Cigarette Smoke Exposure Attenuates Airway Immune Inflammatory Responses to Surrogate and Common Environmental Allergens in Mice, Despite Evidence of Increased Systemic Sensitization. The Journal of Immunology 175: 2834-42
Rumold R, Jyrala M, and Sanchez DD. 2001. Secondhand Smoke Induces Allergic Sensitization in Mice. The Journal of Immunology 167: 4765-70 Sell S. 2001. Immunology, Immunopathology and Immunity. Washington: ASM
Press, pp: 41: 71: 178-9
Shin YS, Takeda K, and Gelfand EW. 2009. Understanding Asthma Using Animal Models. Allergy Asthma Immunol 1(1): 10–8
Soedarto. 2003. Koleksi Tanaman Obat Potensial Seri 2. Lawang-Jawa Timur: BDATPO (Balai Diklat Agribisnis Tanaman Pangan dan Tanaman Obat) Ketindan, hal: 21
Solomon WR. 2006. Asma Bronkial. Dalam: Price S dan Wilson L M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC, hal: 177-88
Sundaru H dan Sukamto. 2007. Asma Bronkial. Dalam : Sudoyo A W, dkk (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 245-50 Swirski FK, Gajewska BU, Alvarez D, Ritz SA, Cundall M, Cates EC, et al. 2002.
Inhalation of A Harmless Antigen (Ovalbumin) Elicits Immune Activation But Divergent Immunoglobulin and Cytokine Activities in Mice. Clinical & Experimental Allergy (32): 411 - 21