TESIS
KADAR
SUPEROXIDE DISMUTASE
BERKORELASI NEGATIF DENGAN
DERAJAT MATA KERING
NI MADE WIDYA MAHAYANI
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
TESIS
KADAR
SUPEROXIDE DISMUTASE
BERKORELASI NEGATIF DENGAN
DERAJAT MATA KERING
NI MADE WIDYA MAHAYANI NIM 1214128101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
KADAR
SUPEROXIDE DISMUTASE
BERKORELASI NEGATIF DENGAN
DERAJAT MATA KERING
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI MADE WIDYA MAHAYANI NIM 1214128101
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 22 JULI 2016
Pembimbing I,
Prof. dr. NK Niti Susila, Sp.M(K) NIP. 19450605 1971062 001
Pembimbing II,
Dr. dr. A A Mas Putrawati Triningrat, Sp.M(K) NIP. 19751017 2006042 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pasca Sarjana Program Pasca Sarjana Universitas
Udayana Universitas Udayana
Tesis ini telah diuji dan dinilai
oleh Panitia Penguji pada
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana
Tanggal 22 Juli 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No:
Ketua : Prof. dr. N.K. Niti Susila, Sp.M(K)
Sekretaris : Dr. dr. AA Mas Putrawati T., Sp.M(K)
1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH
2. dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, SpM(K)
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Ni Made Widya Mahayani
NIM : 1214128101
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine – Degree)
Judul : Kadar Superoxide Dismutase Berkorelasi Negatif dengan Derajat
Mata Kering
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.
Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka
saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan mendiknas RI No.17 tahun 2010
dan Peraturan Perundang – undang yang berlaku.
Denpasar, 12 Juli 2016 yang membuat pernyataan,
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati
menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas
Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes
yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan
menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter
Spesialis 1 Bagian Ilmu Kesehatan Mata di Universitas Udayana.
Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan
dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Ketua Program Studi
Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah
memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu
Biomedik kekhususan Combined Degree. Tida lupa pula penulis ucapkan terima
kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati,
M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program
Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih
Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp.M.(K) dan Ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. A.A.A. Sukartini
Djelantik, Sp.M.(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program
pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan
spesialisasi. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. dr. N.K.
Niti Susila, Sp.M.(K), sebagai pembimbing I dan Dr. dr. A.A. Mas Putrawati
Triningrat, Sp.M.(K), selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu,
memberikan petunjuk dan pengarahan sejak awal penulisan sampai dapat
menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH, dr. A.A.A. Sukartini
Djelantik, SpM(K), dr. Wayan Gede Jayanegara, Sp.M(K) selaku penguji yang
selalu memberikan saran, masukan, bimbingan dan koreksi hingga
terselesaikannya tesis ini.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Dr. dr. A. A. Wiradewi Lestari, Sp.PK dan seluruh petugas laboratorium Patologi
Klinik RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya dalam pemeriksaan spesimen
penelitian. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai
penghargaan kepada seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen
Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala
bimbingannya, seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama
ini, serta seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah atas bantuan dan
Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda penulis Dr. Drs. I
Made Sukamerta, M.Pd dan Ir. Ni Wayan Suwidiasih, Ayahanda dan Ibunda
Mertua Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. dan Dra. Ni Wayan Sudiati (Alm.) yang
telah memberikan doa, bekal pendidikan, motivasi dan semangat kepada penulis
selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta dr. I Gde Sastra Winata, M.Biomed,
Sp.OG dan ananda tersayang I Putu Radhitya Pramanata Putra, atas dorongan
semangat dan pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian
ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi
perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan Ilmu Kesehatan
Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Denpasar, 10 Juni 2016
ABSTRAK
KADAR SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT MATA KERING (MK)
Penatalaksaan Mata kering (MK) sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Berbagai penelitian disimpulkan bahwa terapi yang ideal pada MK adalah berdasarkan etiopatogenesis. Mata kering terjadi akibat dari penurunan antioksidan, salah satu nya Superoxide Dismutase (SOD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar SOD dengan derajat MK sebagai salah satu upaya terapi berdasarkan atas etiopatogenesis MK.
Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah yang dilakukan mulai bulan Januari sampai Juni 2016 dengan sampel penelitian sebanyak 51 pasien yang menderita MK. Sampel penelitian kemudian dikelompokkan berdasarkan atas derajat MK, yaitu MK derajat 0, 1, 2, 3, dan 4. Kemudian masing-masing derajat MK dilakukan pemeriksaan kadar serum SOD. Selanjutnya dilakukan penilaian hubungan antara kadar SOD dengan derajat MK dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson.
Penelitian ini diperoleh jenis kelamin, umur, riwayat menderita diabetes mellitus, riwayat merokok, dan riwayat operasi okular pada kelima kelompok derajat MK adalah homogen. Berdasarkan uji korelasi diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,373 (p=0,007) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kadar SOD dengan derajat MK.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kadar SOD berkorelasi negatif dengan derajat MK.
ABSTRACT
SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) LEVEL HAVE A NEGATIVE CORRELATION WITH DRY EYE (DE) DEGREE
Theraphy for dry eye (DE) remains controversial. Some studies conclude that the ideal theraphy for DE is based etiophatogenesis. Dry eye is caused by decreased of antioxidant, one of them is superoxide dismutase (SOD). This study assess correlation between SOD level and DE degree as theraphy based on etiopathogenesis DE.
This study was a cross-sectional study in Sanglah eye clinic, in January until Juni 2016, a total of 51 sample with DE. The samples were categorized based on DE degree, namely 0, 1, 2, 3, and 4 respectively. Each group of degree was performed SOD serum examination. Analysis of correlation between SOD level and DE degree was conducted with Pearson correlation test.
This study obtain sex, age, history of diabetes mellitus, history of smoking, and history of ocular operation from five groups of DE in homogeneity. Based on correlation test, the r-value was -0,373 (p=0,007), which indicating that there was negative correlation between SOD level and DE degree.
Conclusion of this study is showed that SOD level have a negative correlation with DE degree.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ……….. i
PRASYARAT GELAR ………. ii
LEMBAR PENGESAHAN ……….. iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……….. iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……….. v
UCAPAN TERIMA KASIH ……… vi
ABSTRAK ………. ix
ABSTRACT ……… x
DAFTAR ISI ……….. xi
DAFTAR GAMBAR ………..……… xiv
DAFTAR TABEL ………..………... xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ……… xvi
DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1
1.2 Rumusan Masalah ……….. 5
1.3 Tujuan Penelitian ……… 5
1.4 Manfaat Penelitian ……….. 5
1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan ……… 5
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan ……… 5
2.1 Mata Kering (MK) ………. 6
2.1.1 Epidemiologi Mata Kering (MK) ………. 8
2.1.2 Faktor risiko dan Klasifikasi Mata Kering (MK) ..………… 9
2.1.3 Patogenesis Mata Kering (MK)……….. 11
2.1.4 Derajat Mata Kering (MK) ……… 12
2.2 Superoxide Dismutase (SOD) ……… 14
2.2.1 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) ………. 14
2.2.2 Peran Superoxide Dismutase (SOD) ………. 15
2.2.3 Pemeriksaan Superoxide Dismutase (SOD) ………. 17
2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK) ……… 18
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ………... 23
3.2 Kerangka Konsep ……… 25
3.3 Hipotesis Penelitian ……… 26
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ……… 27
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……… 28
4.3 Populasi Penelitian ………. 28
4.4 Sampel Penelitian ……… 28
4.4.1 Kriteria inklusi ……….. 28
4.4.2 Kriteria eksklusi ……… 28
4.4.3 Perhitungan besar sampel ………. 29
4.4.4 Cara pemilihan sampel ………. 30
4.5 Variabel Penelitian ………. 30
4.5.1 Identifikasi variabel ……….. 30
4.5.2 Definisi operasional variabel ………. 31
4.6 Alur Penelitian ……… 34
4.7 Instrumen dan Metode Pemeriksaan ………. 37
4.7.1 Instrumen penelitian ………. 37
4.8 Analisis Data ………. 38
4.8.1 Pengumpulan data ……… 38
4.8.2 Analisis data ……….………... 38
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ………. 39
5.2 Hubungan antara Kadar Superoxide dismutase (SOD) dengan Derajat Mata Kering (MK) ………. 40
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian ………. 43
6.2 Hubungan antara Kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan Derajat Mata Kering (MK) ………. 47
6.3 Kelemahan Penelitian ………. 53
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ……… 54
7.2 Saran ………. 54
DAFTAR PUSTAKA ………. 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tiga Komponen Lapisan Air Mata ……..……….. 7
Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK) ……… 10
Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK) ……….……… 12
Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD)……… 15
Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam Melindungi Kerusakan Sel ……….……… 17
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……… 25
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian………... 27
Gambar 4.2 Hubungan antar Variabel ……… 30
Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian ………. 36
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)……… 13
Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ……… 40
Tabel 5.2 Kadar SOD pada Setiap Derajat MK ……… 41
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
DEWS = Definition and classification subcommite of the international dry
eye workshop
DM = Diabetes mellitus
DNA = Deoxyribose Nucleic Acid
DR = Death Receptor
EDTA = Etilenadiaminatetraasetat
EED = External Eye Disease
ELISA = Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
FADD = Fas-Associative Death Domain
Fe = Iron
GSH = Reduced Glutathione
GSSG = Glutathione Disulfide
H = Hidrogen
H2O = Air
H2O2 = Hidrogen Peroxide
IL = Interleukin
KDa = Kilo Dalton
KNHANES = The Korea National Health and Nutrition Examination Survey
LASIK = Laser-assisted in situ Keratomileusis
LFU =Lacrimal Functional Unit
M = Metal
MGD = Meibom Gland Dysfunction
Mn = Mangan
mm = milimeter
Ni = Nikel
O2- = Anion superoksida PHS = Physician’s Health Study
PRK = Photorefractive Keratectomy
RS = Rumah Sakit
RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat
SD = Standar deviasi
SOD = Superoxide Dismutase
SPSS = Statistical Product and Service Solution
TBUT = Tear Break-Up Time
TGF-β = Transforming Growth Factor-β
TNF-α = Tumor Necrosis Factor- α
UV = Ultra Violet
WHS = Women’s Health Study
Zn = Seng
% = Persen
> = lebih dari
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah ………..……… 61
Lampiran 2. Surat Keterangan Kelaikan Etik ……… 62
Lampiran 3. Penjelasan Penelitian ………. 63
Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan
(Informed Consent) ……… 65
Lampiran 5. Kuisioner Penelitian ……….. 66
Lampiran 6. Tabel Induk Penelitian ……….. 68
Lampiran 7. Hasil Pemeriksaan Kadar Superoxide Dismutase (SOD) ….. 70
1.1 Latar Belakang
Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan
ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada
permukaan bola mata. MK disebabkan oleh karena berkurangnya produksi air
mata dan atau meningkatnya evaporasi pada air mata (American Academy of
Ophthalmology, 2014-2015). Beberapa faktor risiko diduga penyebab terjadinya
MK, antara lain: proses penuaan, jenis kelamin, perubahan hormonal, penyakit
imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas
berkedip, defisiensi vitamin A, dan diabetes melitus (Lemp, dkk.,2007).
Angka kejadian MK diperkirakan mengalami peningkatan setiap tahunnya,
terkait dengan peningkatan usia. Kejadian MK pada usia lebih dari 40 tahun
rata-rata sebesar 5% dan meningkat menjadi 10 sampai 15% pada usia 65 tahun
(Lemp, dkk.,2007). Prevalensi MK secara umum adalah 14,4%, yang bervariasi
dari 8,4% pada usia kurang dari 60 tahun dan 19,0% pada usia lebih dari 80 tahun
(Smith, dkk., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Beaver Dam, ditemukan
bahwa angka prevalensi MK sebesar 14% pada orang dewasa yang berusia 48-91
tahun dan sebagian besar mengenai perempuan daripada laki-laki yaitu 16,7%
berbanding 11,4% (Moss, dkk., 2000). Di Amerika, ditemukan sekitar 7% pada
perempuan dan 4% pada laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun. Di Indonesia,
prevalensi MK sebesar 27,5% seiring dengan peningkatan prevalensi yang
berhubungan dengan usia, merokok, dan pterigium (Lee, dkk., 2002).
pada kornea dan konjungtiva, kondisi kelenjar meibom, dan tes schirmer. Pada
kondisi ringan atau derajat 0, seringkali tanpa keluhan, namun pada kondisi yang
lanjut ata derajat 4 dapat mengakibatkan berbagai morbiditas pada mata,
diantaranya mata merah, ulkus kornea, dan bahkan dapat mengakibatkan kebutaan
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Adanya morbiditas pada
MK sangat tergantung pada seberapa dini kejadian tersebut ditemukan untuk
dilakukan penanganan dengan tepat. Semakin dini diberikan penanganan, maka
semakin tinggi kualitas hidup dari penderita MK dan semakin rendah
kemungkinan morbiditas dapat terjadi di mata. Penatalaksanaan yang tepat pada
MK kenyataannya sangat sulit dan hampir sebagian penderita masih tetap
mengeluh MK, apabila dapat diberikan terapi yang tepat, maka kualitas hidup
penderita akan meningkat. Penanganan yang tepat merupakan hal yang sangat
penting dalam upaya menurunkan morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
pada penderita MK.
Penatalaksanaan MK berdasarkan etiopatogenesis sampai saat ini belum
ditemukan sehingga terapi yang diberikan sebatas mengurangi keluhan saja.
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu pendekatan yang berbeda dalam
memahami etiologi dan patogenesis dari MK. Pendekatan tersebut nantinya dapat
digunakan sebagai dasar untuk melakukan penatalaksanaan MK.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan penanganan
pada penatalaksanaan MK dengan harapan dapat menurunkan morbiditas dan
yang telah dilakukan penelitian secara mendalam namun masih memiliki
keterbatasan (Bron, dkk., 2011).
Etiopatogenesis MK terjadi melalui dua mekanisme, yaitu aktivasi sitokin
pro inflamasi dan apoptosis. Aktivasi berbagai sitokin pro inflamasi, seperti
Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8
(IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth factor-β
(TGF-β) (Dogru, dkk., 2007) serta jalur apoptosis yang melibatkan jalur ekstrinsik
melalui sederet proses proteolitik dapat disebabkan oleh karena penurunan
antioksidan (Kumar dkk., 2010).
Berdasarkan fenomena di atas, para ahli mulai memikirkan berbagai
metode dalam melakukan penatalaksanaan pada MK, diantaranya melalui
pendekatan etiopatogenesis terjadinya MK. Mata Kering (MK) merupakan suatu
keadaan kekeringan pada air mata dan permukaan mata. Gejala yang ditimbulkan
berupa ketidaknyamanan pada mata, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan
lapisan air mata. Prinsip dari etiopatogenesis dari MK ini adalah adanya inflamasi
dan stress oksidatif. Berbagai penelitian terhadap peran inflamasi dan stress
oksidatif telah dikembangkan dalam rangka memahami etiologi dan patofisiologi
MK. Penelitian dilakukan dengan pemeriksaan secara langsung pada
mediator-mediator inflamasi atau pun tidak langsung melalui enzim yang berperan pada
pembentukan stress oksidatif. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa salah
satu terapi yang diperkirakan memegang peranan penting dalam etiopatogenesis
mengacu rendahnya kadar antioksidan atau tingginya radikal bebas pada MK,
sebagai upaya pemanfaatan antioksidan pun masih sangat jarang. Salah satu
parameter yang digunakan untuk mengetahui kadar antioksidan adalah dengan
menggunakan suatu protein enzim, salah satu enzim yang penting adalah
Superoxide Dismutase (SOD) (Cejkova, dkk., 2008).
Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu enzim antioksidan yang
berperan dalam mengatasi stress oksidatif yang bekerja untuk mengubah radikal
bebas anion superoksida (O2-) menjadi komponen lainnya yang tidak berbahaya,
yaitu H2O2, yang selanjutnya dikatalase manjadi air (H2O) (Kovacic dan
Jacintho, 2001). SOD merupakan suatu enzim antioksidan memiliki potensi besar
untuk dikembangkan sebagai salah satu konsep terapi berbasis etiopatogenesis
pada MK. Hal ini didasarkan oleh penelitian pendahuluan. Penelitian yang
dilakukan oleh Cejkova, dkk., (2008) dapat disimpulkan bahwa penurunan
ekspresi antioksidan pada MK berhubungan dengan adanya trauma oksidatif pada
permukaan anterior mata. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk., (2009)
diperoleh bahwa pemberian antioksidan dapat meningkatkan kualitas dan
kuantitas air mata pada MK. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., (2001)
diperoleh bahwa terapi antioksidan meningkatkan stabilitas air mata dan
kesehatan konjungtiva tetapi tidak meningkatkan jumlah air mata pada MK.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini akan
dilakukan penilaian korelasi atau hubungan antara SOD dengan derajat MK
berdasarkan etiopatogenesis pada MK.
1.2 Rumusan Masalah Penelitian
Bagaimanakah korelasi kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan derajat
Mata Kering (MK)?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk
mengetahui korelasi antara kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan derajat
Mata Kering (MK).
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan korelasi kadar Superoxide Dismutase
(SOD) dengan derajat Mata Kering (MK).
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar acuan terapi antioksidan
2.1 Mata Kering (MK)
Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan
permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan
kabur dan instabilitas lapisan air mata, yang berpotensi menimbulkan kerusakan
pada permukaan okular (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). MK
juga ditandai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan
pada permukaan mata yang mengakibatkan kerusakan permukaan kornea (Smith,
dkk., 2007).
Mata Kering (MK) juga dikenal dengan gangguan Lacrimal Functional
Unit (LFU), yaitu sistem terintegrasi yang meliputi kelenjar lakrimal, permukaan
okular, kelopak mata, saraf sensoris dan motoris. LFU berperan mengatur regulasi
air mata dan berespon terhadap berbagai faktor antara lain, lingkungan, endokrin
dan saraf (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
Stabilitas LFU terganggu apabila terjadi ketidakseimbangan antara sekresi,
pembersihan dan perubahan komposisi air mata sehingga mengakibatkan
terjadinya inflamasi pada permukaan okular. Inflamasi pada permukaan okular
dapat menyebabkan disfungsi sekretoris kronis, penurunan sensasi kornea, dan
penurunan respon refleks. Gangguan LFU diketahui memegang peranan penting
dari perkembangan berbagai bentuk MK (American Academy of Ophthalmology,
2014-2015).
memahami MK. Menjaga lapisan air mata sangat vital untuk fungsi kornea
normal. Lapisan air mata terdiri dari tiga lapis, yaitu: Lapisan lipid yang
dihasilkan oleh kelenjar meibom, lapisan akuos yang dihasilkan kelenjar lakrimal,
dan lapisan musin yang dihasilkan sel goblet konjungtiva (gambar 2.1).
Gambar 2.1 Tiga komponen lapisan air mata (Morgan, 2008)
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan akuos air
mata adalah dengan tes Schirmer. Tes Schirmer dapat dilakukan dengan atau
tanpa anestesi topikal. Tes Schirmer I dilakukan tanpa didahului pemberian tetes
mata anestesi. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x 5 mm yang
berisikan ukuran yang distandardisasi. Kertas diletakkan pada palpebra bawah
sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien
dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena
air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti tes
Tes Schirmer II dilakukan sama dengan tes Schirmer I, namun setelah
dipasang kertas filter kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan
kapas. Nilai normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy
of Ophthalmology, 2014-2015).
Tear Breakup merupakan pengukuran fungsi stabilitas air mata dan pada
MGD stabilitas air mata terganggu, menyebabkan Tear Break-up Time (TBUT)
yang cepat. Setelah konjungtiva diberikan tetes fluorescein, lapisan air mata
kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter biru. Perhitungan waktu
diukur antara kedipan terakhir dan pertama kali munculnya dry spot pada kornea.
Munculnya dry spot kurang dari 10 detik dikatakan abnormal (American
Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Javadi dan Feizi, 2011).
Penampakan klinis pada Meibom Gland Disfunction (MGD) meliputi busa
pada meniskus air mata sepanjang kelopak mata bawah, injeksi konjungtiva bulbi
dan tarsus, reaksi papil pada inferior tarsus, pewarnaan berbentuk garis sepanjang
konjungtiva dan kornea inferior, episkleritis, epitel marginal dan infiltrat
subepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
2.1.1 Epidemiologi mata kering (MK)
Mata Kering (MK) meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka
kejadian MK rata-rata 10% pada usia 30 sampai 60 tahun. Sedangkan usia di atas
65 tahun angka kejadian MK meningkat menjadi 15% (Smith, dkk., 2007).
Penelitian di Thailand tahun 2006 memperoleh angka kejadian MK
sebesar 14,2% dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada usia lebih dari 45
tahun (Kasetsuwan, dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Lee
dan kawan-kawan tahun 2007 memperoleh angka kejadian MK tertinggi antara
usia 40 sampai 49 tahun dan lebih tinggi ditemukan pada laki-laki. Berdasarkan
data Women’s health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) tahun
2009 diperoleh sebesar 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki di Amerika
Serikat usia di atas 50 tahun menderita MK (Smith, dkk., 2007).
Sekitar sepuluh dari satu juta orang di dunia memiliki gejala yang berat
dan cenderung bermanifestasi secara episodik pada MK. Setelah dilakukan
analisis lanjutan untuk mencari penyebab, diperoleh adanya faktor kelembaban
yang kurang dan penggunaan lensa kontak sebagai dua faktor risiko tertinggi
(Smith, dkk., 2007). Angka kejadian MK cenderung mengalami peningkatan
sepanjang tahun, penelitian Ellwein memperoleh angka kejadian MK tahun 1991
sebesar 1,33% kasus kemudian tahun 1998 meningkat menjadi 1,92% (Smith,
dkk., 2007).
2.1.2 Faktor risiko dan klasifikasi mata kering (MK)
Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Mata Kering (MK)
telah teridentifikasi pada berbagai studi, antara lain: usia, jenis kelamin, terapi
estrogen, nutrisi, penggunaan obat antihistamin, riwayat pembedahan kornea, dan
2014-2015; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueus dapat disebabkan
oleh Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan
Sindroma Sjogren, terjadinya penurunan cairan akuos disebabkan oleh karena
gangguan produksi lakrimalis, obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek
kelenjar, dan penggunaan obat-obatan sistemik. Peningkatan evaporasi disebabkan
oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi penurunan
produksi kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak mata, penurunan
reflek berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penurunan
vitamin A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata (gambar 2.2)
(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).
2.1.3 Patogenesis mata kering (MK)
Mata Kering (MK) terjadi akibat adanya berbagai faktor risiko MK yang
mengakibatkan hiperosmolaritas dan atau ketidakstabilan lapisan air mata.
Adanya hiperosmolaritas air mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel
konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam
air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet
dan gangguan ekspresi musin. Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan
ketidakstabilan lapisan air mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang
ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata
dan sering mengedipkan kelopak mata. Kehilangan musin pada permukaan okular
akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata.
Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar
lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan
hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis (American Academy of
Ophthalmology, 2014-2015).
Kelembaban yang rendah dan aliran udara yang tinggi mengakibatkan
peningkatkan evaporasi lapisan air mata. Peningkatan evaporasi ini berdampak
pada ketidakstabilan komponen lemak air mata sehingga mengakibatkan
hiperosmolaritas air mata. Selain itu, berkurangnya aliran air mata oleh karena
adanya gangguan aliran cairan lakrimal ke dalam sakus lakrimalis mengakibatkan
penurunan produksi dan sekresi air mata. Gangguan aliran air mata tersebut sering
disebabkan oleh karena sikatrik pada konjungtiva dan gangguan reflek kelenjar
Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)
2.1.4 Derajat mata kering (MK)
Berdasarkan The definition and classification of dry eye disease: report of
the definition and Clasification subcommittrr of the international dry eye
workshop (2007), MK diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit
menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat
kenyamanan, berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi
konjungtiva, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi
kelenjar meibom, TBUT, dan nilai tes schirmer. Ditunjukkan dalam tabel 2.1.
Dikatakan sebagai MK marginal atau derajat 0 jika tingkat kenyamanan, berat dan
frekuensi ringan; gejala yang mempengaruhi penglihatan tidak ada; injeksi
tes schirmer ≥ 10 mm/5 menit
Tabel 2.1
Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)
Derajat
bervariasi sedang hingga jelas
bervariasi jelas di sentral erosi pungtata berat
2.2 Superoxide Dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) merupakan enzim pengkatalis radikal bebas
superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Dalam aktivitasnya, SOD
memerlukan berbagai mineral sebagai katalisator enzimatisnya, antara lain
Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu) (Kovacic and Jacintho, 2001;
Cemelli, dkk., 2009).
Jenis SOD ditentukan berdasarkan atas mineral pengkatalisnya, seperti
Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) terdapat di dalam sitosol lisosom dan nukleus,
Manganese-SOD (Mn-SOD) terdapat di dalam mitokondria, Iron-SOD (Fe-SOD)
dan Nikel SOD (Ni-SOD) yang terdapat di dalam sitosol lisosom (Chakraborty
dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009).
Superoxide Dismutase [Cu-Zn] yang juga dikenal dengan Superoxide
Dismutase 1 (SOD1) merupakan enzim pada manusia yang berlokasi di
kromosom 21. Peran dari stress oksidatif ditemukan pada patogenesis terjadinya
MK, yaitu mempengaruhi fungsi air mata, permukaan okular dan kelenjar
lakrimal baik secara kuantitatif dan kualitatif (Wakamatsu, dkk., 2008).
2.2.1 Struktur superoxide dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu glikoprotein dengan berat
molekul dan bentuk bervariasi tergantung dari mana enzim tersebut berasal. Pada
manusia SOD memiliki bentuk tetramerik glikopeptida dengan berat molekul
sebesar 28.300 Kilo Dalton (KDa). Struktur SOD memiliki gugus Cu dan Zn
asetilalanin pada ujung terminalnya yang berperan mengikat target radikal bebas
(gambar 2.4) (Kovacic and Jacintho, 2001).
Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) (Nicholls and Budd, 2000)
2.2.2 Peran superoxide dismutase (SOD)
Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan
radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron
tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron yang tidak berpasangan
mengakibatkan molekul menjadi tidak stabil dan bereaksi dengan zat kimia
organik dan atau anorganik lainnya. Adanya reaksi tersebut mengakibatkan
kerusakan sel terutama asam nukleat dan membran sel (Mitchel dan Contran,
2008).
Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah
satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme
oksidasi sebagai berikut: Secara umum semua SOD, ion metal (M) mengkatalisa
dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti dibawah:
M3+ + O2- M2+ + O2
M2+ + O2- + 2H+ M3+ + H2O2
SOD menetralisir O2- menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase
dan peroksidase. Salah satu enzim peroksidase yang penting adalah glutation
peroksidase. Sehingga secara lengkap mekanisme enzimatis tersebut adalah
sebagai berikut (Kovacic dan Jacintho, 2001):
2O2- + 2H+ O2 + H2O2 (oleh SOD)
2H2O2 2H2O + O2 (oleh Katalase)
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2O (oleh Glutation Peroksidase)
Mekanisme SOD dalam mempertahankan integritas sel dapat dilihat pada
gambar 2.5. Radikal bebas berasal dari reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel,
seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal
β-oksidasi dan sitokrom P450. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk
selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida
(H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh
enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O). Namun apabila terjadi gangguan metabolisme SOD akan terjadi akumulasi radikal bebas
Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam Melindungi Kerusakan Sel (Nicholls and Budd, 2000)
2.2.3 Pemeriksaan superoxide dismutase (SOD)
Pemeriksaan enzim Superoxide Dismutase (SOD) dikerjakan dengan
menggunakan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).
Pemeriksaan ELISA menggunakan prinsip ikatan antigen-antibodi yang spesifik.
Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifik akan menimbulkan
perubahan warna yang dinilai secara kuantitatif atau kualitatif (Winarsi, 2007;
Rajkumar dkk., 2008).
Penilaian ELISA secara kualitatif akan memberikan hasil positif atau
negatif, dimana cut off point antara positif dan negatif ditentukan oleh analis dan
atau statistik. Pada penilaian ELISA secara kuantitatif, kadar SOD akan dinilai
1. Antigen yang akan diuji dimasukkan ke cawan lempeng mikro.
2. Solusi non-protein seperti bovine serum albumin atau kasein ditambahkan
untuk menghambat setiap permukaan cawan yang masih dilapisi oleh antigen.
3. Antibodi primer ditambahkan akan mengikat secara khusus terhadap antigen.
4. Setelah itu ditambahkan antibodi sekunder yang akan mengikat antibodi
primer.
5. Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Adanya perubahan
warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder telah terikat dengan antibodi
primer.
6. Semakin tinggi konsentrasi antibodi primer dalam serum, semakin kuat
perubahan warnanya. Secara kuantitatif perubahan warna tersebut dinilai
dengan alat kolorimeter.
2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK)
Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial yang
etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang
etiopatogenesis MK yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres
oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas
dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal
bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan
Paparan berbagai faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya berbagai
bahan radikal bebas, melalui reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti
metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal β
-oksidasi dan sitokrom P450. Salah satu radikal bebas yang banyak ditemukan
pada kerusakan bola mata adalah radikal bebas superoksida (O2-) yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada bola mata (Kohen dan Nyska, 2002).
Pada MK terdapat dua penanda yang sering ditemukan yaitu adanya
penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy
of Ophthalmology, 2014-2015). Radikal bebas yang terbentuk pada bola mata
menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi
dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi
berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin (Kohen
dan Nyska, 2002). Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan
ketidakstabilan lapisan air mata. Ketidakstabilan lapisan air mata akan memicu
terjadinya hiperosmolaritas permukaan mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat
merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak
nyaman pada mata dan sering mengedipkan mata. Kehilangan musin pada
permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris
dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik
pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan
dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Mitchel
tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang normal memiliki sistem
pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD
melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas
yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation
peroksidase menjadi molekul air (H2O) (Mitchel dan Contran, 2008).
Adanya SOD yang menetralisir radikal bebas O2- mengakibatkan tidak
terjadi kerusakan pada permukaan epitel konjungtiva. Sehingga stabilitas lapisan
air mata tetap terjaga dengan baik. Stabilitas lapisan air mata yang normal akan
menjaga osmolaritas permukaan mata. Pada akhirnya tidak akan mengakibatkan
terjadinya MK (Rajkumar dkk., 2008).
Penurunan kadar SOD akan mengakibatkan terjadi MK melalui dua
mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Mekanisme
pertama, penurunan SOD dapat mengaktivasi berbagai sitokin pro inflamasi,
seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6),
Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth
factor-β (TGF-β). Berbagai sitokin pro inflamasi neurogenik tersebut
mengakibatkan terjadinya penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar
(Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses
apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian
kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c
dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan
reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor
Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi
dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang
diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti
Fas-Associative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan
kaspase-8. Pada MK penurunan SOD akan mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik
dari apoptosis, dimana kaspase tersebut kemudian mengkatalis sederet proses
proteolitik yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar lakrimalis
sehingga terjadilah MK.
Berbagai penelitian yang menghubungkan antara SOD dengan MK.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk (2009) memperlihatkan bahwa
pemberian obat tambahan dengan antioksidan dapat meningkatkan kualitas
dan kuantitas air mata dan berkontribusi untuk meningkatkan fungsi lakrimal.
Hal tersebut juga mengurangi ketidaknyamanan okular karena rasa panas,
gatal, sensasi benda asing pada mata dan kemerahan. Namun pada penelitian
tersebut belum dapat ditentukan apakah perbaikan kondisi MK yang terjadi
secara empiris pemanfaatan suplemen antioksidan oral dapat meningkatkan
kualitas dan kuantitas air mata sehingga memberikan kenyamanan penglihatan
pada pasien MK.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk. (2008) memperoleh hasil bahwa
penurunan enzim antioksidan SOD berhubungan dengan trauma oksidatif pada
MK. Enzim antioksidan mungkin kewalahan dengan jumlah ROS yang besar
pada permukaan okular. Namun pada penelitian ini belum dijelaskan kadar
penurunan berapa yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada
mata yang dapat mengakibatkan terjadinya MK.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., tahun 2001 mendemonstrasikan
suplemen antioksidan oral meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan
permukaan konjungtiva pada penderita MK marginal. Korelasi yang signifikan
pada pada peningkatan stabilitas air mata dan peningkatan kesehatan
konjungtiva. Sementara peneliti tidak bisa menentukan jika stabilitas air mata
meningkat sebagai akibat langsung peningkatan kesehatan konjungtiva dan
jumlah sel goblet. Penelitian ini juga mengajukan peningkatan pada kesehatan
permukaan okular MK marginal pada penelitian ini dimediasi oleh
peningkatan stabilitas air mata diberikan oleh suplemen antioksidan, yang
menyebarkan komponen air mata seperti protein dari lingkungan yang