• Tidak ada hasil yang ditemukan

KADAR SUPEROXIDE DISMUTASE BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT MATA KERING.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KADAR SUPEROXIDE DISMUTASE BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT MATA KERING."

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

KADAR

SUPEROXIDE DISMUTASE

BERKORELASI NEGATIF DENGAN

DERAJAT MATA KERING

NI MADE WIDYA MAHAYANI

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

KADAR

SUPEROXIDE DISMUTASE

BERKORELASI NEGATIF DENGAN

DERAJAT MATA KERING

NI MADE WIDYA MAHAYANI NIM 1214128101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

KADAR

SUPEROXIDE DISMUTASE

BERKORELASI NEGATIF DENGAN

DERAJAT MATA KERING

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik, Program Pascasarjana Universitas Udayana

NI MADE WIDYA MAHAYANI NIM 1214128101

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 22 JULI 2016

Pembimbing I,

Prof. dr. NK Niti Susila, Sp.M(K) NIP. 19450605 1971062 001

Pembimbing II,

Dr. dr. A A Mas Putrawati Triningrat, Sp.M(K) NIP. 19751017 2006042 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pasca Sarjana Program Pasca Sarjana Universitas

Udayana Universitas Udayana

(5)

Tesis ini telah diuji dan dinilai

oleh Panitia Penguji pada

Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

Tanggal 22 Juli 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

No:

Ketua : Prof. dr. N.K. Niti Susila, Sp.M(K)

Sekretaris : Dr. dr. AA Mas Putrawati T., Sp.M(K)

1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH

2. dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, SpM(K)

(6)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Ni Made Widya Mahayani

NIM : 1214128101

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine – Degree)

Judul : Kadar Superoxide Dismutase Berkorelasi Negatif dengan Derajat

Mata Kering

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka

saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan mendiknas RI No.17 tahun 2010

dan Peraturan Perundang – undang yang berlaku.

Denpasar, 12 Juli 2016 yang membuat pernyataan,

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada

Tuhan Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati

menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Rektor Universitas

Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes

yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan

menyelesaikan Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter

Spesialis 1 Bagian Ilmu Kesehatan Mata di Universitas Udayana.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan

dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Ketua Program Studi

Ilmu Biomedik, Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK yang telah

memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Studi Ilmu

Biomedik kekhususan Combined Degree. Tida lupa pula penulis ucapkan terima

kasih kepada Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati,

M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program

Pendidikan Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih

(8)

Udayana, dr. Putu Budhiastra, Sp.M.(K) dan Ketua Program Studi Ilmu

Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr. A.A.A. Sukartini

Djelantik, Sp.M.(K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program

pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan

spesialisasi. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada Prof. dr. N.K.

Niti Susila, Sp.M.(K), sebagai pembimbing I dan Dr. dr. A.A. Mas Putrawati

Triningrat, Sp.M.(K), selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu,

memberikan petunjuk dan pengarahan sejak awal penulisan sampai dapat

menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH, dr. A.A.A. Sukartini

Djelantik, SpM(K), dr. Wayan Gede Jayanegara, Sp.M(K) selaku penguji yang

selalu memberikan saran, masukan, bimbingan dan koreksi hingga

terselesaikannya tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada

Dr. dr. A. A. Wiradewi Lestari, Sp.PK dan seluruh petugas laboratorium Patologi

Klinik RSUP Sanglah atas izin dan kerjasamanya dalam pemeriksaan spesimen

penelitian. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai

penghargaan kepada seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen

Pascasarjana Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala

bimbingannya, seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama

ini, serta seluruh paramedik di Poliklinik Mata RSUP Sanglah atas bantuan dan

(9)

Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda penulis Dr. Drs. I

Made Sukamerta, M.Pd dan Ir. Ni Wayan Suwidiasih, Ayahanda dan Ibunda

Mertua Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. dan Dra. Ni Wayan Sudiati (Alm.) yang

telah memberikan doa, bekal pendidikan, motivasi dan semangat kepada penulis

selama ini. Akhirnya kepada suami tercinta dr. I Gde Sastra Winata, M.Biomed,

Sp.OG dan ananda tersayang I Putu Radhitya Pramanata Putra, atas dorongan

semangat dan pengertian selama penulis menyelesaikan pendidikan dan penelitian

ini.

Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi

perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan Ilmu Kesehatan

Mata. Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu

melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.

Denpasar, 10 Juni 2016

(10)

ABSTRAK

KADAR SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) BERKORELASI NEGATIF DENGAN DERAJAT MATA KERING (MK)

Penatalaksaan Mata kering (MK) sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Berbagai penelitian disimpulkan bahwa terapi yang ideal pada MK adalah berdasarkan etiopatogenesis. Mata kering terjadi akibat dari penurunan antioksidan, salah satu nya Superoxide Dismutase (SOD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar SOD dengan derajat MK sebagai salah satu upaya terapi berdasarkan atas etiopatogenesis MK.

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah yang dilakukan mulai bulan Januari sampai Juni 2016 dengan sampel penelitian sebanyak 51 pasien yang menderita MK. Sampel penelitian kemudian dikelompokkan berdasarkan atas derajat MK, yaitu MK derajat 0, 1, 2, 3, dan 4. Kemudian masing-masing derajat MK dilakukan pemeriksaan kadar serum SOD. Selanjutnya dilakukan penilaian hubungan antara kadar SOD dengan derajat MK dengan menggunakan Uji Korelasi Pearson.

Penelitian ini diperoleh jenis kelamin, umur, riwayat menderita diabetes mellitus, riwayat merokok, dan riwayat operasi okular pada kelima kelompok derajat MK adalah homogen. Berdasarkan uji korelasi diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar -0,373 (p=0,007) yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kadar SOD dengan derajat MK.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kadar SOD berkorelasi negatif dengan derajat MK.

(11)

ABSTRACT

SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) LEVEL HAVE A NEGATIVE CORRELATION WITH DRY EYE (DE) DEGREE

Theraphy for dry eye (DE) remains controversial. Some studies conclude that the ideal theraphy for DE is based etiophatogenesis. Dry eye is caused by decreased of antioxidant, one of them is superoxide dismutase (SOD). This study assess correlation between SOD level and DE degree as theraphy based on etiopathogenesis DE.

This study was a cross-sectional study in Sanglah eye clinic, in January until Juni 2016, a total of 51 sample with DE. The samples were categorized based on DE degree, namely 0, 1, 2, 3, and 4 respectively. Each group of degree was performed SOD serum examination. Analysis of correlation between SOD level and DE degree was conducted with Pearson correlation test.

This study obtain sex, age, history of diabetes mellitus, history of smoking, and history of ocular operation from five groups of DE in homogeneity. Based on correlation test, the r-value was -0,373 (p=0,007), which indicating that there was negative correlation between SOD level and DE degree.

Conclusion of this study is showed that SOD level have a negative correlation with DE degree.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ……….. i

PRASYARAT GELAR ………. ii

LEMBAR PENGESAHAN ……….. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……….. iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……….. v

UCAPAN TERIMA KASIH ……… vi

ABSTRAK ………. ix

ABSTRACT ……… x

DAFTAR ISI ……….. xi

DAFTAR GAMBAR ………..……… xiv

DAFTAR TABEL ………..………... xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN ………... xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Rumusan Masalah ……….. 5

1.3 Tujuan Penelitian ……… 5

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 5

1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan ……… 5

1.4.2 Manfaat bagi pelayanan ……… 5

(13)

2.1 Mata Kering (MK) ………. 6

2.1.1 Epidemiologi Mata Kering (MK) ………. 8

2.1.2 Faktor risiko dan Klasifikasi Mata Kering (MK) ..………… 9

2.1.3 Patogenesis Mata Kering (MK)……….. 11

2.1.4 Derajat Mata Kering (MK) ……… 12

2.2 Superoxide Dismutase (SOD) ……… 14

2.2.1 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) ………. 14

2.2.2 Peran Superoxide Dismutase (SOD) ………. 15

2.2.3 Pemeriksaan Superoxide Dismutase (SOD) ………. 17

2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK) ……… 18

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir ………... 23

3.2 Kerangka Konsep ……… 25

3.3 Hipotesis Penelitian ……… 26

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian ……… 27

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……… 28

4.3 Populasi Penelitian ………. 28

4.4 Sampel Penelitian ……… 28

4.4.1 Kriteria inklusi ……….. 28

4.4.2 Kriteria eksklusi ……… 28

4.4.3 Perhitungan besar sampel ………. 29

4.4.4 Cara pemilihan sampel ………. 30

4.5 Variabel Penelitian ………. 30

4.5.1 Identifikasi variabel ……….. 30

4.5.2 Definisi operasional variabel ………. 31

4.6 Alur Penelitian ……… 34

4.7 Instrumen dan Metode Pemeriksaan ………. 37

4.7.1 Instrumen penelitian ………. 37

(14)

4.8 Analisis Data ………. 38

4.8.1 Pengumpulan data ……… 38

4.8.2 Analisis data ……….………... 38

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ………. 39

5.2 Hubungan antara Kadar Superoxide dismutase (SOD) dengan Derajat Mata Kering (MK) ………. 40

BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian ………. 43

6.2 Hubungan antara Kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan Derajat Mata Kering (MK) ………. 47

6.3 Kelemahan Penelitian ………. 53

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ……… 54

7.2 Saran ………. 54

DAFTAR PUSTAKA ………. 55

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tiga Komponen Lapisan Air Mata ……..……….. 7

Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK) ……… 10

Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK) ……….……… 12

Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD)……… 15

Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam Melindungi Kerusakan Sel ……….……… 17

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian……… 25

Gambar 4.1 Rancangan Penelitian………... 27

Gambar 4.2 Hubungan antar Variabel ……… 30

Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian ………. 36

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)……… 13

Tabel 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian ……… 40

Tabel 5.2 Kadar SOD pada Setiap Derajat MK ……… 41

(17)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

DEWS = Definition and classification subcommite of the international dry

eye workshop

DM = Diabetes mellitus

DNA = Deoxyribose Nucleic Acid

DR = Death Receptor

EDTA = Etilenadiaminatetraasetat

EED = External Eye Disease

ELISA = Enzyme-Linked Immunosorbent Assay

FADD = Fas-Associative Death Domain

Fe = Iron

GSH = Reduced Glutathione

GSSG = Glutathione Disulfide

H = Hidrogen

H2O = Air

H2O2 = Hidrogen Peroxide

IL = Interleukin

KDa = Kilo Dalton

KNHANES = The Korea National Health and Nutrition Examination Survey

LASIK = Laser-assisted in situ Keratomileusis

LFU =Lacrimal Functional Unit

M = Metal

MGD = Meibom Gland Dysfunction

(18)

Mn = Mangan

mm = milimeter

Ni = Nikel

O2- = Anion superoksida PHS = Physician’s Health Study

PRK = Photorefractive Keratectomy

RS = Rumah Sakit

RSUP = Rumah Sakit Umum Pusat

SD = Standar deviasi

SOD = Superoxide Dismutase

SPSS = Statistical Product and Service Solution

TBUT = Tear Break-Up Time

TGF-β = Transforming Growth Factor-β

TNF-α = Tumor Necrosis Factor- α

UV = Ultra Violet

WHS = Women’s Health Study

Zn = Seng

% = Persen

> = lebih dari

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah ………..……… 61

Lampiran 2. Surat Keterangan Kelaikan Etik ……… 62

Lampiran 3. Penjelasan Penelitian ………. 63

Lampiran 4. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan

(Informed Consent) ……… 65

Lampiran 5. Kuisioner Penelitian ……….. 66

Lampiran 6. Tabel Induk Penelitian ……….. 68

Lampiran 7. Hasil Pemeriksaan Kadar Superoxide Dismutase (SOD) ….. 70

(20)

1.1 Latar Belakang

Mata Kering (MK) merupakan suatu kondisi medis yang ditandai dengan

ketidakmampuan mata untuk mempertahankan jumlah air mata yang cukup pada

permukaan bola mata. MK disebabkan oleh karena berkurangnya produksi air

mata dan atau meningkatnya evaporasi pada air mata (American Academy of

Ophthalmology, 2014-2015). Beberapa faktor risiko diduga penyebab terjadinya

MK, antara lain: proses penuaan, jenis kelamin, perubahan hormonal, penyakit

imunitas, gangguan sensasi kornea, riwayat operasi kornea, abnormalitas

berkedip, defisiensi vitamin A, dan diabetes melitus (Lemp, dkk.,2007).

Angka kejadian MK diperkirakan mengalami peningkatan setiap tahunnya,

terkait dengan peningkatan usia. Kejadian MK pada usia lebih dari 40 tahun

rata-rata sebesar 5% dan meningkat menjadi 10 sampai 15% pada usia 65 tahun

(Lemp, dkk.,2007). Prevalensi MK secara umum adalah 14,4%, yang bervariasi

dari 8,4% pada usia kurang dari 60 tahun dan 19,0% pada usia lebih dari 80 tahun

(Smith, dkk., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Beaver Dam, ditemukan

bahwa angka prevalensi MK sebesar 14% pada orang dewasa yang berusia 48-91

tahun dan sebagian besar mengenai perempuan daripada laki-laki yaitu 16,7%

berbanding 11,4% (Moss, dkk., 2000). Di Amerika, ditemukan sekitar 7% pada

perempuan dan 4% pada laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun. Di Indonesia,

prevalensi MK sebesar 27,5% seiring dengan peningkatan prevalensi yang

berhubungan dengan usia, merokok, dan pterigium (Lee, dkk., 2002).

(21)

pada kornea dan konjungtiva, kondisi kelenjar meibom, dan tes schirmer. Pada

kondisi ringan atau derajat 0, seringkali tanpa keluhan, namun pada kondisi yang

lanjut ata derajat 4 dapat mengakibatkan berbagai morbiditas pada mata,

diantaranya mata merah, ulkus kornea, dan bahkan dapat mengakibatkan kebutaan

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). Adanya morbiditas pada

MK sangat tergantung pada seberapa dini kejadian tersebut ditemukan untuk

dilakukan penanganan dengan tepat. Semakin dini diberikan penanganan, maka

semakin tinggi kualitas hidup dari penderita MK dan semakin rendah

kemungkinan morbiditas dapat terjadi di mata. Penatalaksanaan yang tepat pada

MK kenyataannya sangat sulit dan hampir sebagian penderita masih tetap

mengeluh MK, apabila dapat diberikan terapi yang tepat, maka kualitas hidup

penderita akan meningkat. Penanganan yang tepat merupakan hal yang sangat

penting dalam upaya menurunkan morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup

pada penderita MK.

Penatalaksanaan MK berdasarkan etiopatogenesis sampai saat ini belum

ditemukan sehingga terapi yang diberikan sebatas mengurangi keluhan saja.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu pendekatan yang berbeda dalam

memahami etiologi dan patogenesis dari MK. Pendekatan tersebut nantinya dapat

digunakan sebagai dasar untuk melakukan penatalaksanaan MK.

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan penanganan

pada penatalaksanaan MK dengan harapan dapat menurunkan morbiditas dan

(22)

yang telah dilakukan penelitian secara mendalam namun masih memiliki

keterbatasan (Bron, dkk., 2011).

Etiopatogenesis MK terjadi melalui dua mekanisme, yaitu aktivasi sitokin

pro inflamasi dan apoptosis. Aktivasi berbagai sitokin pro inflamasi, seperti

Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6), Interleukin-8

(IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth factor-β

(TGF-β) (Dogru, dkk., 2007) serta jalur apoptosis yang melibatkan jalur ekstrinsik

melalui sederet proses proteolitik dapat disebabkan oleh karena penurunan

antioksidan (Kumar dkk., 2010).

Berdasarkan fenomena di atas, para ahli mulai memikirkan berbagai

metode dalam melakukan penatalaksanaan pada MK, diantaranya melalui

pendekatan etiopatogenesis terjadinya MK. Mata Kering (MK) merupakan suatu

keadaan kekeringan pada air mata dan permukaan mata. Gejala yang ditimbulkan

berupa ketidaknyamanan pada mata, gangguan penglihatan, dan ketidakstabilan

lapisan air mata. Prinsip dari etiopatogenesis dari MK ini adalah adanya inflamasi

dan stress oksidatif. Berbagai penelitian terhadap peran inflamasi dan stress

oksidatif telah dikembangkan dalam rangka memahami etiologi dan patofisiologi

MK. Penelitian dilakukan dengan pemeriksaan secara langsung pada

mediator-mediator inflamasi atau pun tidak langsung melalui enzim yang berperan pada

pembentukan stress oksidatif. Hasil penelitian tersebut mengatakan bahwa salah

satu terapi yang diperkirakan memegang peranan penting dalam etiopatogenesis

(23)

mengacu rendahnya kadar antioksidan atau tingginya radikal bebas pada MK,

sebagai upaya pemanfaatan antioksidan pun masih sangat jarang. Salah satu

parameter yang digunakan untuk mengetahui kadar antioksidan adalah dengan

menggunakan suatu protein enzim, salah satu enzim yang penting adalah

Superoxide Dismutase (SOD) (Cejkova, dkk., 2008).

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu enzim antioksidan yang

berperan dalam mengatasi stress oksidatif yang bekerja untuk mengubah radikal

bebas anion superoksida (O2-) menjadi komponen lainnya yang tidak berbahaya,

yaitu H2O2, yang selanjutnya dikatalase manjadi air (H2O) (Kovacic dan

Jacintho, 2001). SOD merupakan suatu enzim antioksidan memiliki potensi besar

untuk dikembangkan sebagai salah satu konsep terapi berbasis etiopatogenesis

pada MK. Hal ini didasarkan oleh penelitian pendahuluan. Penelitian yang

dilakukan oleh Cejkova, dkk., (2008) dapat disimpulkan bahwa penurunan

ekspresi antioksidan pada MK berhubungan dengan adanya trauma oksidatif pada

permukaan anterior mata. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk., (2009)

diperoleh bahwa pemberian antioksidan dapat meningkatkan kualitas dan

kuantitas air mata pada MK. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., (2001)

diperoleh bahwa terapi antioksidan meningkatkan stabilitas air mata dan

kesehatan konjungtiva tetapi tidak meningkatkan jumlah air mata pada MK.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka melalui penelitian ini akan

dilakukan penilaian korelasi atau hubungan antara SOD dengan derajat MK

(24)

berdasarkan etiopatogenesis pada MK.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Bagaimanakah korelasi kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan derajat

Mata Kering (MK)?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah untuk

mengetahui korelasi antara kadar Superoxide Dismutase (SOD) dengan derajat

Mata Kering (MK).

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi pengetahuan

Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan korelasi kadar Superoxide Dismutase

(SOD) dengan derajat Mata Kering (MK).

1.4.2 Manfaat bagi pelayanan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar acuan terapi antioksidan

(25)
(26)

2.1 Mata Kering (MK)

Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial air mata dan

permukaan okular yang ditandai dengan penglihatan tidak nyaman, penglihatan

kabur dan instabilitas lapisan air mata, yang berpotensi menimbulkan kerusakan

pada permukaan okular (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015). MK

juga ditandai dengan peningkatan osmolaritas lapisan air mata dan peradangan

pada permukaan mata yang mengakibatkan kerusakan permukaan kornea (Smith,

dkk., 2007).

Mata Kering (MK) juga dikenal dengan gangguan Lacrimal Functional

Unit (LFU), yaitu sistem terintegrasi yang meliputi kelenjar lakrimal, permukaan

okular, kelopak mata, saraf sensoris dan motoris. LFU berperan mengatur regulasi

air mata dan berespon terhadap berbagai faktor antara lain, lingkungan, endokrin

dan saraf (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

Stabilitas LFU terganggu apabila terjadi ketidakseimbangan antara sekresi,

pembersihan dan perubahan komposisi air mata sehingga mengakibatkan

terjadinya inflamasi pada permukaan okular. Inflamasi pada permukaan okular

dapat menyebabkan disfungsi sekretoris kronis, penurunan sensasi kornea, dan

penurunan respon refleks. Gangguan LFU diketahui memegang peranan penting

dari perkembangan berbagai bentuk MK (American Academy of Ophthalmology,

2014-2015).

(27)

memahami MK. Menjaga lapisan air mata sangat vital untuk fungsi kornea

normal. Lapisan air mata terdiri dari tiga lapis, yaitu: Lapisan lipid yang

dihasilkan oleh kelenjar meibom, lapisan akuos yang dihasilkan kelenjar lakrimal,

dan lapisan musin yang dihasilkan sel goblet konjungtiva (gambar 2.1).

Gambar 2.1 Tiga komponen lapisan air mata (Morgan, 2008)

Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur sekresi lapisan akuos air

mata adalah dengan tes Schirmer. Tes Schirmer dapat dilakukan dengan atau

tanpa anestesi topikal. Tes Schirmer I dilakukan tanpa didahului pemberian tetes

mata anestesi. Tes ini menggunakan strip kertas filter 35 mm x 5 mm yang

berisikan ukuran yang distandardisasi. Kertas diletakkan pada palpebra bawah

sampai ke cul-de-sac, biasanya pada sepertiga temporal palpebra lateral. Pasien

dianjurkan menutup mata selama 5 menit. Panjang dari kertas yang basah karena

air mata diukur. Nilai panjang kertas yang basah lebih dari 10 mm berarti tes

(28)

Tes Schirmer II dilakukan sama dengan tes Schirmer I, namun setelah

dipasang kertas filter kemudian dilakukan rangsangan pada mukosa nasal dengan

kapas. Nilai normalnya adalah di atas 15 mm selama 5 menit (American Academy

of Ophthalmology, 2014-2015).

Tear Breakup merupakan pengukuran fungsi stabilitas air mata dan pada

MGD stabilitas air mata terganggu, menyebabkan Tear Break-up Time (TBUT)

yang cepat. Setelah konjungtiva diberikan tetes fluorescein, lapisan air mata

kemudian dievaluasi menggunakan slit lamp dengan filter biru. Perhitungan waktu

diukur antara kedipan terakhir dan pertama kali munculnya dry spot pada kornea.

Munculnya dry spot kurang dari 10 detik dikatakan abnormal (American

Academy of Ophthalmology, 2014-2015; Javadi dan Feizi, 2011).

Penampakan klinis pada Meibom Gland Disfunction (MGD) meliputi busa

pada meniskus air mata sepanjang kelopak mata bawah, injeksi konjungtiva bulbi

dan tarsus, reaksi papil pada inferior tarsus, pewarnaan berbentuk garis sepanjang

konjungtiva dan kornea inferior, episkleritis, epitel marginal dan infiltrat

subepitel, neovaskularisasi kornea atau pannus dan sikatrik atau penipisan kornea

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

2.1.1 Epidemiologi mata kering (MK)

Mata Kering (MK) meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Angka

kejadian MK rata-rata 10% pada usia 30 sampai 60 tahun. Sedangkan usia di atas

65 tahun angka kejadian MK meningkat menjadi 15% (Smith, dkk., 2007).

(29)

Penelitian di Thailand tahun 2006 memperoleh angka kejadian MK

sebesar 14,2% dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada usia lebih dari 45

tahun (Kasetsuwan, dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan di Indonesia oleh Lee

dan kawan-kawan tahun 2007 memperoleh angka kejadian MK tertinggi antara

usia 40 sampai 49 tahun dan lebih tinggi ditemukan pada laki-laki. Berdasarkan

data Women’s health Study (WHS) dan Physician’s Health Study (PHS) tahun

2009 diperoleh sebesar 3,23 juta perempuan dan 1,68 juta laki-laki di Amerika

Serikat usia di atas 50 tahun menderita MK (Smith, dkk., 2007).

Sekitar sepuluh dari satu juta orang di dunia memiliki gejala yang berat

dan cenderung bermanifestasi secara episodik pada MK. Setelah dilakukan

analisis lanjutan untuk mencari penyebab, diperoleh adanya faktor kelembaban

yang kurang dan penggunaan lensa kontak sebagai dua faktor risiko tertinggi

(Smith, dkk., 2007). Angka kejadian MK cenderung mengalami peningkatan

sepanjang tahun, penelitian Ellwein memperoleh angka kejadian MK tahun 1991

sebesar 1,33% kasus kemudian tahun 1998 meningkat menjadi 1,92% (Smith,

dkk., 2007).

2.1.2 Faktor risiko dan klasifikasi mata kering (MK)

Berbagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya Mata Kering (MK)

telah teridentifikasi pada berbagai studi, antara lain: usia, jenis kelamin, terapi

estrogen, nutrisi, penggunaan obat antihistamin, riwayat pembedahan kornea, dan

(30)

2014-2015; Gayton, 2009). Penurunan produksi cairan aqueus dapat disebabkan

oleh Sindroma Sjogren dan bukan Sindroma Sjogren. Pada penyebab bukan

Sindroma Sjogren, terjadinya penurunan cairan akuos disebabkan oleh karena

gangguan produksi lakrimalis, obstruksi saluran lakrimalis, hambatan reflek

kelenjar, dan penggunaan obat-obatan sistemik. Peningkatan evaporasi disebabkan

oleh dua faktor yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi penurunan

produksi kelenjar minyak meibom, kelainan bentuk kelopak mata, penurunan

reflek berkedip, dan obat-obatan. Sedangkan faktor ekstrinsik meliputi penurunan

vitamin A, pemakaian lensak kontak, penyakit permukaan mata (gambar 2.2)

(American Academy of Ophthalmology, 2014-2015).

(31)

2.1.3 Patogenesis mata kering (MK)

Mata Kering (MK) terjadi akibat adanya berbagai faktor risiko MK yang

mengakibatkan hiperosmolaritas dan atau ketidakstabilan lapisan air mata.

Adanya hiperosmolaritas air mata menyebabkan kerusakan permukaan epitel

konjungtiva melalui aktivasi inflamasi dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam

air mata. Kerusakan epitel yang terjadi berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet

dan gangguan ekspresi musin. Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan

ketidakstabilan lapisan air mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat merangsang

ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak nyaman pada mata

dan sering mengedipkan kelopak mata. Kehilangan musin pada permukaan okular

akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris dengan bola mata.

Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik pada kelenjar

lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan dan

hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis (American Academy of

Ophthalmology, 2014-2015).

Kelembaban yang rendah dan aliran udara yang tinggi mengakibatkan

peningkatkan evaporasi lapisan air mata. Peningkatan evaporasi ini berdampak

pada ketidakstabilan komponen lemak air mata sehingga mengakibatkan

hiperosmolaritas air mata. Selain itu, berkurangnya aliran air mata oleh karena

adanya gangguan aliran cairan lakrimal ke dalam sakus lakrimalis mengakibatkan

penurunan produksi dan sekresi air mata. Gangguan aliran air mata tersebut sering

disebabkan oleh karena sikatrik pada konjungtiva dan gangguan reflek kelenjar

(32)

Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK) (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)

2.1.4 Derajat mata kering (MK)

Berdasarkan The definition and classification of dry eye disease: report of

the definition and Clasification subcommittrr of the international dry eye

workshop (2007), MK diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit

menjadi derajat 0,1,2,3, dan 4. Hal-hal yang dinilai antara lain tingkat

kenyamanan, berat dan frekuensi, gejala yang mempengaruhi penglihatan, injeksi

konjungtiva, pewarnaan pada konjungtiva dan kornea, tanda pada kornea, kondisi

kelenjar meibom, TBUT, dan nilai tes schirmer. Ditunjukkan dalam tabel 2.1.

Dikatakan sebagai MK marginal atau derajat 0 jika tingkat kenyamanan, berat dan

frekuensi ringan; gejala yang mempengaruhi penglihatan tidak ada; injeksi

(33)

tes schirmer ≥ 10 mm/5 menit

Tabel 2.1

Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)

Derajat

bervariasi sedang hingga jelas

bervariasi jelas di sentral erosi pungtata berat

(34)

2.2 Superoxide Dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan enzim pengkatalis radikal bebas

superoksida menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Dalam aktivitasnya, SOD

memerlukan berbagai mineral sebagai katalisator enzimatisnya, antara lain

Mangan (Mn), Seng (Zn) dan Tembaga (Cu) (Kovacic and Jacintho, 2001;

Cemelli, dkk., 2009).

Jenis SOD ditentukan berdasarkan atas mineral pengkatalisnya, seperti

Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) terdapat di dalam sitosol lisosom dan nukleus,

Manganese-SOD (Mn-SOD) terdapat di dalam mitokondria, Iron-SOD (Fe-SOD)

dan Nikel SOD (Ni-SOD) yang terdapat di dalam sitosol lisosom (Chakraborty

dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009).

Superoxide Dismutase [Cu-Zn] yang juga dikenal dengan Superoxide

Dismutase 1 (SOD1) merupakan enzim pada manusia yang berlokasi di

kromosom 21. Peran dari stress oksidatif ditemukan pada patogenesis terjadinya

MK, yaitu mempengaruhi fungsi air mata, permukaan okular dan kelenjar

lakrimal baik secara kuantitatif dan kualitatif (Wakamatsu, dkk., 2008).

2.2.1 Struktur superoxide dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) merupakan suatu glikoprotein dengan berat

molekul dan bentuk bervariasi tergantung dari mana enzim tersebut berasal. Pada

manusia SOD memiliki bentuk tetramerik glikopeptida dengan berat molekul

sebesar 28.300 Kilo Dalton (KDa). Struktur SOD memiliki gugus Cu dan Zn

(35)

asetilalanin pada ujung terminalnya yang berperan mengikat target radikal bebas

(gambar 2.4) (Kovacic and Jacintho, 2001).

Gambar 2.4 Struktur Superoxide Dismutase (SOD) (Nicholls and Budd, 2000)

2.2.2 Peran superoxide dismutase (SOD)

Superoxide Dismutase (SOD) berperan melindungi sel terhadap paparan

radikal bebas. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki satu elektron

tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Elektron yang tidak berpasangan

mengakibatkan molekul menjadi tidak stabil dan bereaksi dengan zat kimia

organik dan atau anorganik lainnya. Adanya reaksi tersebut mengakibatkan

kerusakan sel terutama asam nukleat dan membran sel (Mitchel dan Contran,

2008).

Sel yang normal memiliki sistem pertahanan terhadap radikal bebas, salah

satunya adalah antioksidan SOD. SOD melindungi sel terhadap metabolisme

(36)

oksidasi sebagai berikut: Secara umum semua SOD, ion metal (M) mengkatalisa

dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi seperti dibawah:

M3+ + O2-  M2+ + O2

M2+ + O2- + 2H+  M3+ + H2O2

SOD menetralisir O2- menjadi oksigen (O2) dan hidrogen peroksida (H2O2). Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase

dan peroksidase. Salah satu enzim peroksidase yang penting adalah glutation

peroksidase. Sehingga secara lengkap mekanisme enzimatis tersebut adalah

sebagai berikut (Kovacic dan Jacintho, 2001):

2O2- + 2H+  O2 + H2O2 (oleh SOD)

2H2O2  2H2O + O2 (oleh Katalase)

2GSH + H2O2  GSSG + 2H2O (oleh Glutation Peroksidase)

Mekanisme SOD dalam mempertahankan integritas sel dapat dilihat pada

gambar 2.5. Radikal bebas berasal dari reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel,

seperti metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal

β-oksidasi dan sitokrom P450. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk

selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida

(H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh

enzim katalase dan atau glutation peroksidase menjadi molekul air (H2O). Namun apabila terjadi gangguan metabolisme SOD akan terjadi akumulasi radikal bebas

(37)

Gambar 2.5 Mekanisme Kerja Superoxide Dismutase (SOD) dalam Melindungi Kerusakan Sel (Nicholls and Budd, 2000)

2.2.3 Pemeriksaan superoxide dismutase (SOD)

Pemeriksaan enzim Superoxide Dismutase (SOD) dikerjakan dengan

menggunakan teknik Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA).

Pemeriksaan ELISA menggunakan prinsip ikatan antigen-antibodi yang spesifik.

Adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang spesifik akan menimbulkan

perubahan warna yang dinilai secara kuantitatif atau kualitatif (Winarsi, 2007;

Rajkumar dkk., 2008).

Penilaian ELISA secara kualitatif akan memberikan hasil positif atau

negatif, dimana cut off point antara positif dan negatif ditentukan oleh analis dan

atau statistik. Pada penilaian ELISA secara kuantitatif, kadar SOD akan dinilai

(38)

1. Antigen yang akan diuji dimasukkan ke cawan lempeng mikro.

2. Solusi non-protein seperti bovine serum albumin atau kasein ditambahkan

untuk menghambat setiap permukaan cawan yang masih dilapisi oleh antigen.

3. Antibodi primer ditambahkan akan mengikat secara khusus terhadap antigen.

4. Setelah itu ditambahkan antibodi sekunder yang akan mengikat antibodi

primer.

5. Sebuah substrat untuk enzim ini kemudian ditambahkan. Adanya perubahan

warna menunjukkan bahwa antibodi sekunder telah terikat dengan antibodi

primer.

6. Semakin tinggi konsentrasi antibodi primer dalam serum, semakin kuat

perubahan warnanya. Secara kuantitatif perubahan warna tersebut dinilai

dengan alat kolorimeter.

2.3 Hubungan antara Superoxide Dismutase (SOD) dengan Mata Kering (MK)

Mata Kering (MK) merupakan penyakit multifaktorial yang

etiopatogenesisnya belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang

etiopatogenesis MK yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres

oksidatif merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas

dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat timbul apabila pembentukan radikal

bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau menetapnya sistem pertahanan

(39)

Paparan berbagai faktor tersebut akan mengakibatkan terbentuknya berbagai

bahan radikal bebas, melalui reaksi oksigen yang terjadi di dalam sel, seperti

metabolisme quionon dan xenobiotik yang melibatkan enzim peroksisomal β

-oksidasi dan sitokrom P450. Salah satu radikal bebas yang banyak ditemukan

pada kerusakan bola mata adalah radikal bebas superoksida (O2-) yang dapat

menyebabkan terjadinya kerusakan pada bola mata (Kohen dan Nyska, 2002).

Pada MK terdapat dua penanda yang sering ditemukan yaitu adanya

penurunan cairan aqueus dan peningkatan evaporasi air mata (American Academy

of Ophthalmology, 2014-2015). Radikal bebas yang terbentuk pada bola mata

menyebabkan kerusakan permukaan epitel konjungtiva melalui aktivasi inflamasi

dan pelepasan mediator inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel yang terjadi

berupa apoptosis sel, kehilangan sel goblet dan gangguan ekspresi musin (Kohen

dan Nyska, 2002). Adanya kerusakan epitel tersebut mengakibatkan

ketidakstabilan lapisan air mata. Ketidakstabilan lapisan air mata akan memicu

terjadinya hiperosmolaritas permukaan mata. Kerusakan epitel yang terjadi dapat

merangsang ujung-ujung saraf kornea sehingga menimbulkan keluhan tidak

nyaman pada mata dan sering mengedipkan mata. Kehilangan musin pada

permukaan okular akan meningkatkan gesekan antara konjungtiva bulbaris

dengan bola mata. Adanya gesekan tersebut menyebabkan inflamasi neurogenik

pada kelenjar lakrimalis. Inflamasi neurugenik tersebut mengakibatkan penurunan

dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar lakrimalis sehingga terjadilah MK (Mitchel

(40)

tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Sel yang normal memiliki sistem

pertahanan terhadap radikal bebas, salah satunya adalah antioksidan SOD. SOD

melindungi sel terhadap metabolisme oksigen dan akan mengubah radikal bebas

yang berbahaya menjadi molekul yang stabil yaitu H2O. Radikal bebas superoksida (O2-) yang terbentuk selanjutnya akan dimetabolisme oleh SOD menjadi molekul hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Hidrogen peroksida kemudian dimetabolisme oleh enzim katalase dan atau glutation

peroksidase menjadi molekul air (H2O) (Mitchel dan Contran, 2008).

Adanya SOD yang menetralisir radikal bebas O2- mengakibatkan tidak

terjadi kerusakan pada permukaan epitel konjungtiva. Sehingga stabilitas lapisan

air mata tetap terjaga dengan baik. Stabilitas lapisan air mata yang normal akan

menjaga osmolaritas permukaan mata. Pada akhirnya tidak akan mengakibatkan

terjadinya MK (Rajkumar dkk., 2008).

Penurunan kadar SOD akan mengakibatkan terjadi MK melalui dua

mekanisme, yaitu aktivasi sitokin pro inflamasi dan apoptosis. Mekanisme

pertama, penurunan SOD dapat mengaktivasi berbagai sitokin pro inflamasi,

seperti Interleukin-1β (IL-1β), Interleukin-2 (IL-2), Interleukin-6 (IL-6),

Interleukin-8 (IL-8), Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) dan Transforming Growth

factor-β (TGF-β). Berbagai sitokin pro inflamasi neurogenik tersebut

mengakibatkan terjadinya penurunan dan hiperosmolaritas sekresi kelenjar

(41)

(Kumar dkk., 2010). Secara umum, terdapat dua jalur utama dalam proses

apoptosis, yaitu: jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik meliputi pemberian

kode yang memicu proses mitokondria-dependent melalui pelepasan sitokrom c

dan pengaktifan kaspase-9. Jalur ekstrinsik bekerja dengan cara mengaktifkan

reseptor kematian atau Death Reseptor (DR), seperti Fas (reseptor 1 Tumor

Necrotic Factor (TNF)), DR4 dan DR5 (Bai dan Zhu, 2006). Adanya interaksi

dengan ligan yang sesuai akan mengarah kepada proses transduksi sinyal yang

diawali dengan peliputan molekul yang berhubungan dengan DR seperti

Fas-Associative Death Domain (FADD), yang selanjutnya akan mengaktifkan

kaspase-8. Pada MK penurunan SOD akan mengakibatkan aktivasi jalur ekstrinsik

dari apoptosis, dimana kaspase tersebut kemudian mengkatalis sederet proses

proteolitik yang mengakibatkan terjadinya penurunan sekresi kelenjar lakrimalis

sehingga terjadilah MK.

Berbagai penelitian yang menghubungkan antara SOD dengan MK.

Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Holowacz, dkk (2009) memperlihatkan bahwa

pemberian obat tambahan dengan antioksidan dapat meningkatkan kualitas

dan kuantitas air mata dan berkontribusi untuk meningkatkan fungsi lakrimal.

Hal tersebut juga mengurangi ketidaknyamanan okular karena rasa panas,

gatal, sensasi benda asing pada mata dan kemerahan. Namun pada penelitian

tersebut belum dapat ditentukan apakah perbaikan kondisi MK yang terjadi

(42)

secara empiris pemanfaatan suplemen antioksidan oral dapat meningkatkan

kualitas dan kuantitas air mata sehingga memberikan kenyamanan penglihatan

pada pasien MK.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Cejkova, dkk. (2008) memperoleh hasil bahwa

penurunan enzim antioksidan SOD berhubungan dengan trauma oksidatif pada

MK. Enzim antioksidan mungkin kewalahan dengan jumlah ROS yang besar

pada permukaan okular. Namun pada penelitian ini belum dijelaskan kadar

penurunan berapa yang dapat mengakibatkan terjadinya stress oksidatif pada

mata yang dapat mengakibatkan terjadinya MK.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Blades, dkk., tahun 2001 mendemonstrasikan

suplemen antioksidan oral meningkatkan stabilitas air mata dan kesehatan

permukaan konjungtiva pada penderita MK marginal. Korelasi yang signifikan

pada pada peningkatan stabilitas air mata dan peningkatan kesehatan

konjungtiva. Sementara peneliti tidak bisa menentukan jika stabilitas air mata

meningkat sebagai akibat langsung peningkatan kesehatan konjungtiva dan

jumlah sel goblet. Penelitian ini juga mengajukan peningkatan pada kesehatan

permukaan okular MK marginal pada penelitian ini dimediasi oleh

peningkatan stabilitas air mata diberikan oleh suplemen antioksidan, yang

menyebarkan komponen air mata seperti protein dari lingkungan yang

(43)

Gambar

Gambar 2.1 Tiga komponen lapisan air mata (Morgan, 2008)
Gambar 2.2 Klasifikasi Mata Kering (MK)  (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)
Gambar 2.3 Patogenesis Mata Kering (MK)  (American Academy of Ophthalmology, 2014-2015)
Tabel 2.1 Skema derajat beratnya Mata Kering (MK)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Kerusakan protein akibat elektronnya diambil oleh radikal bebas dapat mengakibatkan sel-sel jaringan dimana protein tersebut berada menjadi rusak yang banyak terjadi adalah pada

Vitamin C adalah salah satu anti oksidan kuat yang memiliki efek biologis untuk menghambat kerusakan oksidatif oleh radikal bebas.. Vitamin C memiliki efek biologis untuk

Glaukoma adalah suatu penyakit dimana tekanan di dalam bola mata meningkat,sehingga terjadi kerusakan pada saraf optikus dan menyebabkan penurunan fungsi penglihatan.. (Mayenru

Simpulan pada penelitian ini adalah kadar nitric oxide plasma pada subyek psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan bukan psoriasis serta terdapat korelasi positif yang kuat

mampu menangkap radikal bebas yang menyebabkan perbaikan pada kerusakan sel β pankreas penyebab DM 1 [37]. Dengan adanya perbaikan pada jaringan pankreas, maka

Simpulan pada penelitian ini adalah kadar seng plasma subyek vitiligo lebih rendah dibandingkan subyek bukan vitiligo serta terdapat korelasi lemah namun

Simpulan pada penelitian ini adalah kadar leptin pada subyek psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan bukan psoriasis serta terdapat korelasi positif yang kuat antara

Durasi screen time dari penggunaan gawai dalam waktu yang lama dapat menyebabkan efek negatif pada kesehatan permukaan mata, salah satunya timbul gejala mata kering.20,21 Durasi paparan