• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja."

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 249 orang remaja (102 laki-laki 147 perempuan) dengan rentang usia mulai dari 11 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu skala SVO (Social Value Orientation) yang terdiri dari 9 item (α = 0,810), skala orientasi kepatuhan yang terdiri dari 24 item (α = 0,908 ) dan skala orientasi percakapan yang terdiri dari 20 item (α = 0,911). Hasil uji statistik menggunakan chi-Square dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan nilai p = 0,121<0,05 artinya tidak ada hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Hasil penelitian menunjukan tipe komunikasi konsensual sebanyak 176 orang (70,7%), dengan frekuensi kategori prososial 75 orang (78,1%), individual 69 orang (63,3%) dan kompetitif 32 orang (72,7%). Tipe komunikasi pluralistik sebanyak 24 orang (9,6%) dengan frekuensi kategori prososial 10 orang (10,4%), individual 10 orang (9,2%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi protektif sebanyak 32 orang (12,9%) dengan frekuensi kategori prososial 9 orang (9,4%), individual 19 orang (17,4%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi laizz-fair sebanyak 17 orang (6,8%) dengan frekuensi kategori prososial 2 orang (2,1%), individual 11 orang (10,1%) dan kompetitif 4 orang (9,1%).

(2)

RELATION BETWEEN FAMILY COMMUNICATION TYPE AND ADOLESCENE PROSOCIAL BEHAVIOR

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRACK

The purpose of this research was to know the relation between the Family Communication Type and prosocial behavior in Adolescent. The hypothesis stated in this research was there is a correlation between Family Communication Type and Adolscene Prosocial behavior. This research is correlational research. The research involved 249 adolescents (consisting of 102 male, and 147 female) with an age range from 11 years up to the age of 21 years. The research instrument used three scale, SVO scale (Social Value Orientation) which consists of 9 items (α = 0,810), conformity orientation scale consists of 24 items (α = 0.908) and a conversation orientation scale consists of 20 items (α = 0.911). Test results using the chi-square statistic with significance level of 5% shows the value of p = 0.121 <0.05 it means there is no correlation between of family communication type with adolescent prosocial behavior. The results showed the consensual communication type of 176 people (70.7%), with a frequency of 75 prosocial (78.1%), 69 individuals (63.3%) and 32 competitive people (72.7%). Pluralistic communication type of 24 people (9.6%) with a frequency of 10 prosocial (10.4%), 10 individuals (9.2%) and 4 competitive people (9.1%).protective communication type of 32 people (12.9%) with a frequency of 9 prosocial (9.4%), 19 individuals (17.4%) and 4 competitive people (9.1%).Laizz-fair communication type of 17 people (6.8%) with a frequency of 2 prosocial people (2.1%), 11 individuals (10.1%) and 4 competitive people (9.1%).

(3)

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN

KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Maria Krisna Nugraheni

109114042

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA

DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

Disusun oleh : Maria Krisna Nugraheni

NIM: 109114042

Telah Disetujui Oleh

Dosen Pembimbing Skripsi

(5)

HALAMAII PENGESAHAN SKRIPSI

HUBUNGAI\ ANTARA TIPE KOMT]NIKASI KELUARGA DENGAII

PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

Disusun oleh :

Maria Krisna Nugraheni

NIM:

109114042

Susunan

Penguji I

Penguji

II

Penguji

III

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si

111

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

“bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang “–Soekarno”

“hargailah setiap proses yang kamu jalani karena keberhasilan seseorang tidak terletak pada apa yang telah dia raih namun usaha dan proses yang mendewasakan” – Maria krisna”

“kehidupan ini dipenuhi dengan seribu macam kemanisan, tetapi untuk mencapainya perlu seribu macam pengorbanan– anonim”

(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya persembahkan Skripsi ini kepada:

Tuhan yang selalu menuntun langkahku dikala sedang malas dan putus asa,

Tuhan selalu memberi jalan keluar lewat doa-doa yang telah aku panjatkan

ketika sedang mengalami kebuntuan.

Untuk diriku yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan

tugas ahkir mahasiswa , terima kasih untuk diriku karena engkau mau

menjalani semua proses dalam suka maupun duka.

Untuk kedua orangtua, adik, sahabat yang selalu sabar dalam mensupport

diriku untuk segera menyelesaikan tugas ahkir mahasiswa

Untuk kami semua yang saling mensupport demi menyelesaikan tugas ahkir

mahasiswa, Eduardus Yogi, Yovidia Yovran, Maria Fiona, Lidwina Evira dan

Grasia Hoyi

Dan untuk semua teman seperjuangan mahasiswa psikologi angkatan 2010,

teruslah semangat untuk mengejar cita-cita yang telah kalian mimpikan selama

(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 April 2015

Maria Krisna Nugraheni

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 249 orang remaja (102 laki-laki 147 perempuan) dengan rentang usia mulai dari 11 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu skala SVO (Social Value Orientation) yang terdiri dari 9 item (α = 0,810), skala orientasi kepatuhan yang terdiri dari 24 item (α = 0,908 ) dan skala orientasi percakapan yang terdiri dari 20 item (α = 0,911). Hasil uji statistik menggunakan

chi-Square dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan nilai p = 0,121<0,05 artinya tidak ada

hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Hasil penelitian menunjukan tipe komunikasi konsensual sebanyak 176 orang (70,7%), dengan frekuensi kategori prososial 75 orang (78,1%), individual 69 orang (63,3%) dan kompetitif 32 orang (72,7%). Tipe komunikasi pluralistik sebanyak 24 orang (9,6%) dengan frekuensi kategori prososial 10 orang (10,4%), individual 10 orang (9,2%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi protektif sebanyak 32 orang (12,9%) dengan frekuensi kategori prososial 9 orang (9,4%), individual 19 orang (17,4%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi laizz-fair sebanyak 17 orang (6,8%) dengan frekuensi kategori prososial 2 orang (2,1%), individual 11 orang (10,1%) dan kompetitif 4 orang (9,1%).

(10)

viii

RELATION BETWEEN FAMILY COMMUNICATION TYPE AND ADOLESCENE PROSOCIAL BEHAVIOR

Maria Krisna Nugraheni

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the relation between the Family Communication Type and prosocial behavior in Adolescent. The hypothesis stated in this research was there is a correlation between Family Communication Type and Adolscene Prosocial behavior. This research is correlational research. The research involved 249 adolescents (consisting of 102 male, and 147 female) with an age range from 11 years up to the age of 21 years. The research instrument used three scale, SVO scale (Social Value Orientation) which consists of 9 items (α = 0,810), conformity orientation scale consists of 24 items (α = 0.908) and a conversation orientation scale consists of 20 items (α = 0.911). Test results using the chi-square statistic with significance level of 5% shows the value of p = 0.121 <0.05 it means there is no correlation between of family communication type with adolescent prosocial behavior. The results showed the consensual communication type of 176 people (70.7%), with a frequency of 75 prosocial (78.1%), 69 individuals (63.3%) and 32 competitive people (72.7%). Pluralistic communication type of 24 people (9.6%) with a frequency of 10 prosocial (10.4%), 10 individuals (9.2%) and 4 competitive people (9.1%).protective communication type of 32 people (12.9%) with a frequency of 9 prosocial (9.4%), 19 individuals (17.4%) and 4 competitive people (9.1%).Laizz-fair communication type of 17 people (6.8%) with a frequency of 2 prosocial people (2.1%), 11 individuals (10.1%) and 4 competitive people (9.1%).

(11)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA

ILMIAH

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma :

Nama : Maria Krisna Nugraheni

Nomor Mahasiswa : 109114042

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma Yogyakarla, karya ilmiah yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN

KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan

Kepada Perpustakan Universitas Sanata Dharma

hak untuk

menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau di media

lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta

ijin

dari saya maupun

memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 24 April 2015 Yang menyatakan,

oorl4

1X

(12)

x x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan dan pendampingan selama proses pengerjaan skripsi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat hal-hal yang tidak berkenan. Pada proses penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr.Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik saya ibu P.Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., M.A yang selalu sabar dan memberi semangat selama proses skripsi ini. Terima kasih sekali telah mau membimbing saya untuk menyelesaikan tugas akhir mahasiswa ini

4. Dosen-dosen fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan ilmu selama saya menempuh bangku kuliah. Kalian dosen terbaik yang pernah saya miliki pertahankan relasi yang akrab dengan para mahasiswa

5. Seluruh staff Fakultas Psikologi: mas Gandung, mbak Nanik, pak Gi, mas Muji (Glory Glory Ma n.United) dan mas Doni. Terima kasih untuk keramahannya. Terima kasih karena sudah membantu segala pratikum tes dari awal hingga ahkir

(13)

1 1

7. Terima kasih pada bapak dan ibu dan adik yang selalu mendoakan, memberikan semangat, menunggu dengan sabar sampai skripsi ini selesai. Terima kasih telah mempercayai diriku untuk belajar bertanggung jawab untuk meraih cita-cita.

8. Terima kasih untuk kesayanganku Eduardus Yogie, telah sabar menanti kelulusanku dan selalu menyemangati dari hari ke hari, terimakasih telah menggangguku dengan kata-kata ‘kapan lulus?”

9. Keluarga besar Kost No Name, Ibu Suri, Ijem, Wiwik, terima kasih sudah menjadi rumah kedua saya. Terimakasih untuk dukungan kalian semua untuk segera menyelesaikan Tugas Maha ini

10. Terima kasih untuk Yovi Rempong, Vira Ndesek, Simbah Simbe, Hoya Hoyi, kalian selalu menyemangati dan berbagi kesusahan tidak kesenangan dikala skripsi ini melanda dunia kita. Semangat untuk kita semua.

11. Terima kasih pada Ana Agung Ayu Ratna Paramitha sebagai saudara seperjuangan (Nama, Penelitian dan Baju) dan partner dalam mengerjakan skripsi, terima kasih sudah mau menyamakan langkah bersama dan berjuang bersama. sukses untuk kita berdua na.

(14)

xii

13. Untuk teman-teman seperjuangan tetap semangat selalu gaess, bualtah skripsi ibarat sebuah game Hayday, pupuk sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit , Jika hayday akan menjadi petani sukses semoga kalian akan menjadi psikolog ataupun orang sukses lainnya.

14. Terima kasih pada dunia, laptop, perpustakaan Univeristas Sanata Dharma, Google, para peneliti, pembuat program SPSS dan perfotokopian di paingan yang telah menyempurnakan skripsi ini.

15. Terima kasih kepada seluruh pihak yang belum dapat peneliti ucapkan secara satu-satu. Semoga Tuhan senantiasa memberi kelancaran pada perjalanan kita selanjutnya.

Peneliti menyadari kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa, sehingga peneliti sangat terbuka dengan kritik dan saran dari siapa pun. Mohon maaf apabila ada salah kata.

(15)

131 313

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN………...………1

A. Latar Belakang……….1

B. Rumusan Masalah………..10

C. Tujuan Penelitian……….…..….10

D. Manfaat penelitian………..……10

1. Manfaat Teoritis………...10

(16)

14 14

BAB II. LANDASAN TEORI………...12

A. Perilaku Prososial………..……….12

1. Pengertian Perilaku Prososial………..……….…12

2. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial ………...13

3. SVO (Social Value Orientation)………..15

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku prososial……….18

B. Komunikasi Keluarga………..………...24

1. Pengertian Komunikasi………24

2. Definisi Komunikasi Keluarga……….25

3. Dimensi Pada Pola Komunikasi Keluarga………...……26

4. Tipe-tipe dalam Pola Komunikasi Keluarga………29

5. Dampak Komunikasi Keluarga………31

C. Remaja………33

1. Definisi Remaja………...….33

2. Batasan Usia Remaja………33

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja………...34

D. Hubungan Antara Tipe Komunikasi Keluarga dengan Perilaku Prososial Remaja………37

E. Hipotesis……….45

BAB III. METODE PENELITIAN………46

A. Jenis Penelitian………...46

B. Identifikasi Variabel Penelitian………..46

(17)

15 15

2. Variabel tergantung.……….47

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian………...47

1. Tipe Komunikasi Keluarga………..47

2. Kecenderungan Perilaku Prososial Remaja……….………50

D. Subjek Penelitian………51

E. Metode Pengambilan data………..51

1. Skala Tipe Komunikasi keluarga……….52

2. Skala SVO………55

F. Validitas dan Reliabilitas………...…56

1. Validitas……….………..56

2. Hasil Tryout……….56

3. Reliabilitas………61

G. Metode Analisis Data……….63

1. Uji Asumsi………...63

2. Uji Hipotesis……….63

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..64

A. Pelaksanaan Penelitian………...64

B. Deskripsi Subjek Penelitian………...65

C. Deskripsi Data Penelitian………..66

1. Perbandingan Data Teoritik dan Data Empiris………66

2. Frekuensi Data Kategori………..69

D. Hasil Penelitian ……….73

(18)

16 16

2. Uji Hipotesis……….……75

E. Pembahasan………78

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………..82

A. Kesimpulan………82

B. Keterbatasan Penelitian……….82

C. Saran………..83

1. Bagi Remaja sebagai Subjek Penelitian………...83

2. Bagi Orang tua Subjek……….……83

3. Bagi Peneliti Selanjutnya……….…………83

(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Dimensi Pola Komunikasi Keluarga………... 54

Tabel 2 Blue Print Skala Pola Komunikasi Keluarga Setelah Seleksi Item………... 59

Tabel 3 Blue Print Skala Pola Komunikasi Keluarga Setelah Seleksi Item dan Try-Out ………... 59

Tabel 4 Hasil tryout skala SVO ……….. 61

Tabel 5 Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian ………... 65

Tabel 6 Deskripsi usia subjek……….. 66

Tabel 7 Data Teoritik dan Empiris Orientasi Percakapan dan Orientasi Kepatuhan ……….. 67

Tabel 8 Uji Beda Mean Empirik dan Mean Teoritik Orientasi Percakapan ……… 67

Tabel 9 Uji Beda Mean Empirik dan Mean Teoritik Orientasi Kepatuhan ……….. 68

Tabel 10 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Pola Komunikasi Keluarga ……… 69

Tabel 11 Kategori Tipe Pola komunikasi Keluarga ………. 71

Tabel 12 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Tipe Komunikasi … 71 Tabel 13 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Social Value Orientation (SVO) ………. 72

Tabel 14 Uji Normalitas Orentasi Kepatuhan dan Orientasi Percakapan. 73 Tabel 15 Hasil Uji Hipotesis Variabel Tipe Komunikasi dengan SVO ... 75 Tabel 16 Distribusi Frekuensi subjek Berdasarkan Social Value 76

(20)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Try Out 1 ………... 89

Lampiran 2. Skala Try Out 2 ……….. 99

Lampiran 3. Reliabilits Skala ………. 107

Lampiran 4. Skala Penelitian ……….. 112

Lampiran 5. Deskripsi Subjek ……… 120

Lampiran 6. Uji Asumsi ………. 121

Lampiran 7. Uji Hipotesis ………... 122

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya orang

lain disekitarnya. Sejak dilahirkan, manusia membutuhkan interaksi dengan

orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia dalam

kehidupan sehari-hari tidak lepas dari kehidupan saling tolong-menolong.

Setinggi apapun kemandirian seseorang pada saat-saat tertentu dia akan

membutuhkan orang lain (Gerungan, 2009)

Seiring dengan perkembangan zaman, kepedulian orang terhadap sesama

maupun lingkungan disekitarnya semakin menurun. Terutama sekarang saat

masyarakat tengah memasuki era modernisasi, dimana kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi mempermudah manusia untuk melakukan segala

aktivitas dengan cara praktis. Hal ini mengakibatkan manusia menjadi makluk

yang individual (Suara Merdeka, 2014)

Fenomena yang terjadi pada masyarakat terlihat ketika orang sedang

mengalami kesulitan, mereka sering tidak mendapat bantuan orang lain.Sebagian

orang, ketika menyaksikan orang lain dalam kesulitan, langsung membantunya,

sedangkan yang lain barangkali hanya diam meskipun mampu untuk

(22)

dahulu sebelum bertindak, serta ada pula yang ingin membantu, namun memiliki

motif yang bermacam-macam. Salah satu bentuk pergeseran pola hubungan

diantara sesama manusia dan lingkungan sekitarnya menimbulkan sifat

individualisme. Sifat individualisme tersebut berdampak pada menurunnya

perilaku prososial di masyarakat (Suara Merdeka, 2014).

Perilaku prososial dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang

dilakukan baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan untuk menolong

orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Sears, 2004). Sumber

lain menjelaskan definisi prososial sebagai suatu tindakan menolong yang

menguntungkan orang lain tanpa memberi keuntungan langsung bagi si penolong

dan mungkin mengandung resiko bagi penolong itu sendiri (Baron, 2005). Dapat

dikatakan bahwa perilaku prososial merupakan bentuk tindakan menolong yang

dilakukan seseorang yang dapat memberi keuntungan langsung maupun tidak

langsung bagi penolong.

Perilaku prososial atau perilaku menolong hendaknya tercipta dalam

kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali bagi kaum remaja. Perilaku prososial

perlu ditanamkan pada remaja karena remaja merupakan bagian dari masyarakat

yang perlu dipersiapkan agar mampu berkiprah dalam memberikan pelayanan

kepada anggota masyarakat. Selain itu, remaja dituntut untuk memiliki tanggung

jawab dalam membantu, berbagi, dan menyumbang untuk mengurangi kesulitan

(23)

Perilaku prososial banyak dilakukan dimasa remaja dibandingkan masa

kanak-kanak. Meskipun remaja seringkali dinyatakan sebagai sosok yang

egosentrik dan memikirkan diri sendiri, remaja juga banyak menampilkan

tindakan yang bersifat prososial (Santrock, 2007). Hal serupa diungkapkan oleh

Eisenberg dalam Laura (2007) yaitu bahwa masa remaja merupakan waktu yang

digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial.

Hal ini bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi saat ini yaitu

remaja kurang menampilkan perilaku prososial yang menjadi salah satu tugas

perkembanganya. Remaja pada saat ini tidak lagi mempunyai kepekaan sosial

untuk membantu kesulitan orang lain. Hal ini dapat tercermin dalam fenomena

menipisnya perilaku prososial pada remaja. Sikap mementingkan diri sendiri

tercermin dalam kehidupan sehari-hari misalnya saat melihat seseorang yang

lebih membutuhkan bantuan orang lain justru bersikap acuh dan tidak

memperdulikan situasi disekitarnya.

Fenomena ini terjadi pada kasus remaja yang bernama Dinda. Dinda

menyebarkan keluhannya pada akun sosial media miliknya terhadap ibu hamil

yang dianggap menyusahkan orang lain di transportasi umum. Hal tersebut

berdampak pada protes masyarakat yang menilai perilaku menolong remaja pada

saat ini sangat rendah bagi orang lain. Contoh fenomena tersebut menunjukkan

semakin rendahnya sikap ketidak perdulian remaja terhadap orang lain yang

nantinya dapat mengakibatkan mereka tumbuh menjadi manusia yang memiliki

(24)

Seorang remaja hidup dalam sebuah keluarga yang merupakan kelompok

sosial yang memiliki tujuan, struktur, dinamika, norma termasuk cara

kepemimpinannya yang sangat mempengaruhi kehidupan individu yang menjadi

anggota kelompok tersebut (Gerungan, 2009). Keluarga merupakan agen

sosialisasi primer yang mempengaruhi perilaku individu dalam waktu yang

panjang (Koener dan Fiztpatrick, 1997). Hal serupa diungkapkan oleh Gerungan

(2009) bahwa keluarga adalah tempat remaja belajar dan menyatakan diri sebagai

manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi

yang baik dalam keluarga dapat menjamin perkembangan yang wajar sebagai

manusia sosial karena pengalaman manusia di dalam keluarga turut menentukan

pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan sosial di luar

lingkungan keluarganya, sehingga salah satu aspek penting yang dapat

mempengaruhi perilaku remaja adalah interaksi antar anggota keluarga

(Gerungan, 2009).

Kualitas interaksi antara remaja dengan orangtua berkaitan dengan

munculnya perilaku prososial remaja (Kathryn, 2007). Hubungan antara remaja

dengan orang tua menjadi penentu utama dalam keberhasilan remaja berperilaku

prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas. Hal tersebut

didukung oleh Steinberg and Silk (dalam Laura, 2007) yang mengungkapkan

bahwa interaksi yang terjadi antara orangtua dan remaja tetap menjadi dasar

selama masa remaja. Sehingga interaksi antara orangtua dan remaja sangat

(25)

Eisenberg dan Fabes (dalam Laura, 2007) menyatakan, meskipun pengaruh

sosialisasi pada remaja beragam, orang tua merupakan sumber informasi paling

penting mengenai nilai dalam berperilaku. Hal tersebut didukung oleh pendapat

Offer & Church, 1991 (dalam Papalia 2014) yang menyatakan nilai-nilai

mendasar kebanyakan remaja didapatkan dari orangtua. Selain itu, Koerner dan

Fitzpatrick (2002) menyatakan bahwa penting bagi anggota keluarga untuk saling

bergantung dan berinteraksi melalui berbagi perasaan, pikiran, atau perilaku.

Penelitian Lestari (2013) memaparkan mengenai “Keluarga Sebagai

Tempat Proses Belajar Perilaku prososial”. Dalam penelitian tersebut

menunjukan hasil bahwa sebagian besar anak belajar perilaku prososial dari

orang tuanya. Orang tua merupakan contoh langsung maupun tidak langsung

bagi anak. Berdasarkan hasil tersebut, keluarga merupakan pihak pertama tempat

anak mengenal dan belajar perilaku prososial. Selain itu, ibu memiliki peranan

yang sangat penting dalam mengembangkan perilaku prososial pada

anak-anaknya, sehingga interaksi antara orang tua dengan anak merupakan salah satu

hal yang tidak dapat diabaikan.1. Cara orang tua dalam berinteraksi dan menjalin

relasi dengan dengan anak adalah dengan menggunakan komunikasi.

Komunikasi merupakan salah satu komponen penting untuk saling

berinteraksi dengan para anggota keluarga. Komunikasi antara anak dengan

orang tua dapat mendukung perkembangan kapasitas anak untuk memahami

1

(26)

tindakan prososial mereka sendiri (Rechia, 2014). Sebaliknya, jika komunikasi

antara orang tua dan anak buruk, maka mempunyai dampak munculnya

kepribadian antisosial dan dependen (Ramadhani,2008). Pada kasus anak dengan

gangguan perilaku antisosial, ditemukan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh

pola asuh dan komunikasi dalam keluarga (Aicorn dan Carr, 2001 dalam

Ramadhani 2008). Dalam penelitian sebelumnya (Maria, 1998) meneliti tentang

“tendensi delikuensi remaja ditinjau dari efektifitas komunikasi antara orang tua

dengan remaja” menyimpulkan bahwa kurangnya efektifitas komunikasi antara

remaja dan orang tua berkaitan erat dengan munculnya tendensi delikuensi pada

remaja. Hal ini dikarenakan remaja memiliki kebutuhan akan kasih sayang,

penghargaan diri, dan pengertian dari orang tuanya, yang hanya terpenuhi apabila

tercipta komunikasi yang efektif antara anak dengan orang tua. Tidak adanya

komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak akan membuat anak merasa

tidak dihargai dan merasa frustasi. Hal tersebut lalu dikompensasikan dalam

tindakan yang mengarah pada delikuensi. Dapat dikatakan bahwa komunikasi

antara orangtua dan anak dapat mempengaruhi fungsi keluarga secara

keseluruhan termasuk kesejahteraan psikososial pada diri anak (Shek dalam

Ramadhani, 2008).

Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2002), dalam komunikasi keluarga

terdapat pola yaitu kecenderungan sebuah keluarga membentuk cara

berkomunikasi antara satu anggota dengan yang lain. Fitzpatrick (dalam

(27)

tidaklah bersifat acak atau random, tetapi sangat terpola berdasarkan

skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana anggota keluarga bekomunikasi satu

dengan yang lainnya. Terdapat dua jenis orientasi pada pola komunikasi yang

terjadi dalam keluarga yaitu orientasi percakapan (conversation-orientation),

merupakan ciri keluarga dimana orangtua mendorong anak untuk dapat

berpartisipasi dan berinteraksi membahas berbagai topik dalam keluarga. Pada

orientasi percakapan, keputusan dibuat bersama-sama antara orangtua dan anak

(Korner dan Fitzpatrick, 2002). Orientasi kepatuhan (conformity orientation),

merupakan komunikasi yang dirancang untuk menghasilkan rasa hormat serta

menciptakan kepercayaan yang homogen berkaitan dengan sikap nilai dan

keyakinan antara anak dengan orangtua. Interaksi pada orientasi kepatuhan

menekankan pada kepatuhan terhadap orangtua dan cenderung menghindari

konflik (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Hal serupa diungkapkan oleh Beebe

(2009) bahwa pola komunikasi keluarga dapat digambarkan melalui dua dimensi.

Pertama, conversation orientation, yaitu berdasarkan tingkat pembicaraan atau

sejauh mana anggota keluarga didorong untuk mendiskusikan topik apapun.

Dimensi kedua conformity orientation, yaitu berdasarkan perilaku kepatuhan

yang dilakukan oleh anak terhadap orangtua dalam keluarga.

Anak-anak dari orientasi keluarga yang berbeda cenderung untuk

mengembangkan perilaku sosial yang berbeda (Fitzpatrick, Marshall, Leutwiler,

& Krcmar dalam Prasitthipab 2008). Dalam penelitian Huang (dalam Brian,

(28)

mempengaruhi karakteristik kepribadian individu. Anak yang berasal dari

keluarga yang memiliki komunikasi berorientasi percakapan memandang dirinya

lebih positif, terbuka, terlibat dalam kepemimpinan dan memiliki jiwa sosial

yang tinggi. Hal ini disebabkan anak memiliki internal locus of control yaitu

anak berperan serta dalam diskusi mengenai topik permasalahan yang berada

diluar lingkup keluarga dan memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial yang

terjadi pada masyarakat, sehingga mereka mengembangkan ketrampilan sosial

yang baik. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki

komunikasi yang berorientasi kepatuhan cenderung tertutup, pemalu dan

memiliki harga diri rendah. Orangtua cenderung menyamakan nilai, sikap dan

gagasan. Hal ini menyebabkan anak memiliki external locus of controlsehingga,

tidak tanggung jawab serta memiliki anggapan bahwa sikap dan perilakunya

banyak ditentukan oleh faktor keberuntungan dari luar dirinya

Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Baumrind

(dalam Brian, Mathew, Keith, 2002) yang menemukan bahwa keluarga yang

memiliki skor tinggi pada orientasi percakapan membesarkan anaknya dengan

ketrampilan sosial yang baik. Kcmar (dalam Brian, Mathew, Keith, 2002)

mengungkapkan bahwa komunikasi yang terbuka antara anggota keluarga

meningkatkan interaksi sosial yang positif untuk anak.

Koerner & Fitzpatric, 2002 menyatakan bahwa untuk memprediksi pola

komunikasi keluarga, tidak cukup hanya mengetahui bahwa keluarga ini

(29)

tinggi. Melintasi kedua pola tersebut, terdapat empat tipe keluarga yaitu: 1.) Tipe

pluralistik merupakan keluarga yang memiliki orientasi percakapan yang tinggi

dan kepatuhan rendah, orangtua tidak merasa perlu mengontrol anak-anak

mereka karena setiap pendapat dinilai berdasarkan pada kebaikannya, dan setiap

orang turut serta dalam pengambilan keputusan. 2.) Tipe konsensual merupakan

keluarga yang memiliki orientasi percakapan dan kepatuhan tinggi, keluarga

jenis ini menghargai komunikasi secara terbuka dan orang tua tetap menghendaki

adanya kewenangan yang jelas. 3.) Tipe protektif merupakan keluarga yang

memiliki orientasi percakapan rendah dan kepatuhan yang tinggi, orang tua dari

tipe keluarga ini merasa tidak harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara

dan menjelaskan keputusan yang telah mereka buat 4.) TipeLaissez-Faire yaitu

keluarga yang memiliki orientasi percakapan dan orientasi kepatuhan yang

rendah, anggota keluarga dari tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang

dikerjakan anggota keluarga lainnya dan tidak ingin membuang waktu untuk

membicarakannya.

Adanya pola komunikasi tertentu yang terbentuk dalam keluarga antara

remaja dan orangtua dapat membantu dan meningkatkan perilaku remaja yang

positif sehingga nantinya dapat berpengaruh terhadap perilakunya diluar

lingkungan keluarga. Orangtua yang memiliki pola komunikasi yang buruk akan

menyebabkan anak cenderung untuk melampiaskan pada hal-hal yang kurang

baik salah satunya yaitu mengabaikan relasi sosial yang dapat berujung pada

(30)

untuk membuktikan apakah pola komunikasi dalam keluarga mempunyai

hubungan dengan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti dapat merumuskan masalah

sebagai berikut :

Apakah terdapat hubungan antara tipe komunikasi dalam keluarga dan

kecenderungan perilaku prososial remaja?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe

komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini perlu diadakan karena hasil penelitian ini akan memberikan

manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

perkembangan disiplin ilmu psikologi, terutama dibidang psikologi

perkembangan dan psikologi sosial mengenai perilaku prososial pada remaja

dan tipe komunikasi yang terjadi dalam keluarga. Selain itu penelitian ini juga

bermanfaat untuk menambah referensi karya ilmiah atau wawasan teoritis

yang telah ada guna pertimbangan dalam melakukan penelitian di masa

(31)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi remaja

dan orangtua untuk mengetahui tipe komunikasi yang terjadi di dalam

keluarga dan perilaku prososial remaja. Hasil tersebut dapat menjadi sumber

(32)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku Prososial

1. Pengertian Perilaku Prososial

Perilaku prososial merupakan tindakan individu untuk menolong

orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong dan mungkin

bahkan melibatkan resiko bagi orang yang menolong (Baron, 2005).

Sedangkan menurut Sears (2004) perilaku prososial mencakup kagetori yang

luas meliputi segala bentuk tindakan untuk menolong orang lain, tanpa

memperdulikan motif-motif penolong. Hal serupa diungkapkan oleh (Taylor,

2009) bahwa perilaku prososial mewakili suatu kategori tindakan yang luas

yang didefinisikan oleh masyarakat atau kelompok sosial sebagai tindakan

yang secara umum bermanfaat bagi orang lain, terlepas dari motif si penolong.

Perilaku prososial adalah suatu bentuk dukungan interpersonal yang

dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, dalam hal ini pihak yang

membu-tuhkan, baik bantuan secara material maupun dukungan moral yang

diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pihak penerima bantuan, baik

secara fisik maupun psikis namun tidak mendatangkan keuntungan yang jelas

bagi pihak penolong, bahkan mengundang risiko tertentu (Husada,2013).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku

(33)

yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan orang lain baik secara

fisik maupun psikis terlepas dari motif-motif si penolong.

2. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial

Bentuk dari perilaku prososial dapat tercermin dalam beberapa

tindakan sebagai berikut :

1. Berbagi

Kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka

maupun duka (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012). Hal

tersebut serupa dengan pernyataan (Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009)

perilaku berbagi dapat berupa dukungan fisik maupun psikis.

2. Kerjasama

Kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya

suatu tujuan. Kerjasama biasanya saling menguntungkan, saling memberi

dan menolong (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni 2012;

Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009).

3. Memberi atau Menyumbang

Salah satu bentuk perilaku prososial adalah memberi dan

menyumbang yaitu kesediaan seseorang untuk berderma, memberi secara

sukarela sebagian barang miliknya untuk orang yang lebih membutuhkan

(Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012; Bringham, 1991

(34)

4. Menolong

Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan

meliputi membantu orang lain, berbagi informasi, menawarkan bantuan

terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu untuk menunjang

keberlangsungan kegiatan orang lain. (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam

Dayakisni, 2012; Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009)

5. Kejujuran

Kesediaan untuk tidak berbuat curang terhadap orang lain

(Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012)

6. Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.

Kesediaan seseorang untuk berperilaku demi menunjang hak dan

kesejahteraan dari orang lain (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam

Dayakisni, 2012).

7. Persahabatan

Kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan

orang lain demi terciptanya suasana yang harmonis dan saling mendukung

satu sama lain (Bringham dan Mussen, 1991; Bartal 1976 dalam Desmita,

2009)

8. Menyelamatkan

Kesediaan untuk menyelamatkan orang lain yang membutuhkan

(35)

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa aspek-aspek pada perilaku

prososial adalah Berbagi (Sharing), Menolong (Helping), Berderma

(Donating and generosity), Kerja Sama (Cooperating), dan Jujur (Honesty),

Persahabatan, Menyelamatkan dan yang terahkir mempertimbangkan hak dan

kesejahteraan orang lain.

3. Social Value Orientation(SVO)

SVO merupakan pusat dari teori pengambilan keputusan yang paling

rasional. Hal ini dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku manusia dalam

pengambilan keputusan yang bervariasi ketika mempertimbangkan

pendapatan antara dirinya dengan orang lain (Murphy, 2011). Konsep dari

Orientasi Nilai Sosial (SVO) mengasumsikan bahwa setiap individu secara

sistematis berbeda dalam memandang hubungan interpersonal mereka dengan

orang lain (Lange, 2007).

SVO terbentuk secara terus-menerus karena berhubungan dengan

jumlah seberapa banyak orang bersedia mengorbankan miliknya dalam rangka

membuat orang lain menjadi lebih baik atau bahkan lebih buruk (Murphy,

2011). Selain itu, SVO juga mengidentifikasi kecenderungan seseorang untuk

bekerjasama (Murphy 2011).

SVO berkontribusi terhadap dasar-dasar kognitif, motivasi kerjasama

dan persaingan antar manusia. SVO menganut teori ketergantungan dimana

interaksi sosial terbentuk bukan hanya kepedulian terhadap hasil sendiri

(36)

yang lebih luas, seperti keperdulian dengan hasil bersama, keperdulian dengan

hasil yang diperoleh rekan, dan kepedulian dengan kesetaraan dalam hasil

(Lange, 2007).

SVO diperkenalkan untuk menjelaskan perbedaan individu dalam

perilaku kerjasama. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang dengan

kecenderungan orientasi prososial tinggi pada SVO lebih sering bekerja sama

dalam lingkungan sosial daripada individu dengan orientasi individualistis

atau kompetitif (Garling, 2008; Declerk, 2008).

Orientasi prososial menurut SVO (Social Value Orientation) dapat

tercermin dalam perilaku seseorang untuk bekerjasama, menolong dalam

bentuk berkorban demi orang lain, bertindak sesuai dengan asas keadilan dan

kesetaraan demi keuntungan serta kesejahteraan bersama (Garling, 2008).

Terdapat tiga tipe individu dalam Social Value Orientation (SVO)

yaitu (Lange, 2007) :

a. Individu dengan orientasi Prososial didefinisikan sebagai kecenderungan

individu untuk meningkatkan dan menyetarakan hasil antara dirinya

dengan orang lain. Hal tersebut dilakukan dengan cara memaksimalkan

hasil bersama serta meminimalkan perbedaan hasil antara diri sendiri dan

orang lain

b. Individu dengan orientasi individualistik didefinisikan sebagai

kecenderungan individu untuk memperoleh hasil yang lebih besar untuk

(37)

c. Individu dengan orientasi kompetitif didefinisikan sebagai kecenderungan

seseorang untuk meningkatkan perbedaan hasil antara diri sendiri dan

orang lain yaitu dengan membuat selisih pendapatan yang jauh lebih

banyak untuk dirinya dan lebih sedikit untuk orang lain.

Peneliti akan menggunakan skala SVO untuk mengukur kecenderungan

perilaku prososial. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek social desirability

yang akan terjadi apabila menggunakan skala likert.

Hasil dari SVO perlu untuk mempertimbangkan faktor perbedaan budaya

(Lange, 2007). Penelitian dalam psikologi budaya menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan mendasar pada faktor budaya terkait dengan bagaimana cara individu

mendefinisikan diri dalam hubungan dengan orang lain (Heine et, al., 1999

dalam Declerk, 2008). Budaya barat sering ditandai dengan individualisme,

sedangkan budaya kolektif (seperti Jepang) memiliki pandangan diri sebagai

sebuah entitas yang saling tergantung dan saling terhubung satu sama lain

(Kitayama et al., 1997 dalam Declerk, 2008). Chen, 2007 (dalam Declerk, 2008)

menyatakan bahwa norma-norma sosial tampaknya jauh lebih penting dalam

(38)

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku prososial

Ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku prososial

bagi penolong (bystander) di masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkah laku prososial berasal dari faktor eksternal dan faktor internal.

a. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ialah faktor dari luar individu yang dapat

mempengaruhi seseorang untuk berperilaku prososial. Faktor dari luar

individu yang dapat mempengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah

jumlah kehadiran orang lain dalam sebuah situasi yang membutuhkan

pertolongan, semakin banyak orang yang hadir maka semakin kecil

kemungkinan individu akan memberi bantuan dikarenakan adanya

penyebaran tanggung jawab (Sears, 2009; Myers 2012). Tanggug jawab

sosial juga merupakan faktor dari SVO. Individu yang memiliki nilai

orientasi prososial cenderung mempunyai tanggung jawab sosial yang

lebih besar daripada seseorang yang memiliki nilai orientasi individualis (

Cremer & Lange, 2001)

Selain itu faktor kondisi lingkungan dapat mempengaruhi

seseorang untuk memberikan bantuan misalnya cuaca. Saat cuaca cerah

dan suhu yang nyaman orang akan lebih menampilkan perilaku menolong

dibandingkan saat hujan atau cuaca buruk. Selain itu ukuran kota juga

memberikan hasil bahwa orang asing lebih mungkin ditolong di kota kecil

(39)

Faktor tekanan waktu dapat mempengaruhi perilaku menolong.

Seseorang yang dalam kondisi tergesa-gesa akan cenderung tidak

memberikan bantuan karena mempertimbangkan keuntungan dan

kerugian. Sebaliknya, seseorang yang tidak dalam kondisi tergesa-gesa

akan cenderung untuk memberikan pertolongan (Sarwono, 2009; Sears,

2009; Myers, 2012)

Selanjutnya adalah faktor karakteristik orang yang akan ditolong

yaitu individu akan cenderung lebih cepat menolong orang yang dikenal

daripada orang asing. Selain itu, individu lebih mungkin menolong

seseorang yang memiliki karakteristik yang sama dengan dirinya, misal

kesamaan fisik, gender atau RAS. (Clayton, 2012; Sears, 2009; Baron;

2005; Sarwono, 2009; Myers 2012). Sedangkan dalam SVO karakteristik

orang yang ditolong muncul dalam perbedaan relasi yang terjalin antara

individu dengan orang lain. Individu akan cenderung menolong teman

daripada menolong musuh.

Atribusi atas penyebab kesulitan merupakan salah satu faktor

eksternal seseorang dalam berperilaku prososial. Seseorang akan

cenderung menolong apabila hal tersebut murni kecelakaan dan bukan

sesuatu yang disebabkan oleh si korban. Sebaliknya, seseorang akan

cenderung tidak menolong apabila hal tersebut disebabkan kesalahan atau

keteledoran dari korban sendiri (Baron, 2005; Clayton, 2012; Sarwono,

(40)

Selain itu, model-model prososial akan mendukung seseorang

untuk bertingkah laku prososial. Apabila seseorang melihat adanya

korban yang ditolong orang lain, maka besar kemungkinan dirinya akan

menolong orang yang membutuhkan seperti situasi yang dilihatnya

sebelumnya (Baron, 2005; Sarwono, 2009; Myers, 2012). Perilaku

berulang merupakan salah satu faktor dari SVO yang dapat mempengaruhi

seseorang untuk berperilaku prososial. Seseorang akan cenderung bersikap

prososial apabila dirinya mengalami pengalaman berulang kali dengan

situasi dan kondisi yang bersifat prososial (Lange, 2007). Jenis kelamin

juga mempengaruhi individu dalam melakukan perilaku prososial.

Laki-laki lebih cenderung untuk memberikan pertolongan daripada wanita

(Baron, 2005; Sears, 2009; Sarwono, 2009; Myers, 2012).

Pola asuh juga mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam

berperilaku prososial. Peran orangtua ialah menciptakan standar perilaku

baik dan bertindak sebagai model dengan perilaku spontan seperti berbagi,

menolong dan bekerjasama. Selain itu, Orangtua juga dapat menggunakan

teknik komunikasi untuk memberi penjelasan mengenai pentingnya

manusia saling menolong satu sama lain. Melalui komunikasi orangtua

dapat menstimulasi moral reasoning seperti bagaimana perilaku itu

terbentuk. (Desmita, 2009; Sarwono; 2009). Interaksi sosial yang berbeda

antara anak dengan orangtua merupakan salah satu faktor dari SVO.

(41)

mana orang tua sangat memperhatikan kebutuhan dasar mereka cenderung

untuk mengembangkan kepercayaan dan keamanan, yang dapat

meningkatkan orientasi prososial. Sebaliknya, orangtua yang tidak

memperhatikan kebutuhan anak mereka cenderung untuk

mengembangkan ketidakpercayaan dan rasa tidak aman, yang dapat

meningkatkan orientasi individualistik (Lange, 1997).

b. Faktor Internal

Faktor internal ialah faktor dari dalam yang dapat mempengaruhi

seseorang untuk berperilaku prososial. Faktor dari dalam individu yang

dapat mempengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah nilai. Nilai

merupakan sebuah ide yang diperlukan sebagai pedoman seseorang dalam

berperilaku, menjelaskan tindakan dan mengevaluasinya. Nilai di

internalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian

besar nilai-nilai tersebut berkaitan dengan tindakan prososial (Staub, 1978

dalam Dayakisni, 2012). Selain itu, perbedaan nilai pada individu

berimplikasi pada perbedaan tendensi prososial. Nilai yang dijadikan fokus

adalah mengenai perbuatan baik, lebih khususnya berkaitan dengan

perilaku prososial (Schwartz, 1994 dalam Dovidio, et.al, 2006).

Karakteristik personal pada setiap individu yang berbeda satu sama

lain. Terdapat individu yang mempunyai kebutuhan yang tinggi agar

disukai oleh lingkungan ada pula yang rendah (Sears, 2009). Menurut

(42)

memiliki karakteristik kepribadian meliputi harga diri tinggi, rendahnya

sikap mengindari tanggung jawab dan rendahnya kebutuhan akan

persetujuan orang lain.

Setiap orang memiliki motivasi yang berbeda dalam memberikan

pertolongan. Motivasi dan moralitas dalam perilaku prososial di bagi

menjadi tiga kelompok pertama, egoisme yaitu melihat kepentingan pribadi

bukan kesejahteraan orang lain. Kedua, integritas moral yaitu terlibat

dalam tingkah laku prososial demi kepuasan pribadi. Ketiga, hipokrasi

moral yaitu individu yang didorong oleh motivasi agar terlihat bermoral

dan menghindari kerugian atas tindakan bermoral yang dilakukanya (Sears,

2009; Baron, 2005; Sarwono, 2009). Faktor moral juga merupakan salah

satu dari faktor pengukuran SVO. Seseorang dengan orientasi prososial

akan cenderung memiliki standar moral yang tinggi (Declerk dan Bogaert,

2008).

Jenis kelamin dapat menjadi faktor seseorang dalam berperilaku

prososial. Sebuah penelitian menemukan bahwa kecenderungan untuk

menolong pada remaja perempuan lebih besar daripada remaja laki-laki.

(Zimmer 2005 dalam Sarwono 2009). Hal serupa diungkapkan oleh Taylor

dkk (2009) bahwa perempuan lebih aktif daripada perilaku prososial

walaupun dalam bentuk tipe pemberian bantuan yang berbeda-beda.

Suasana Hati juga dapat mempengaruhi individu untuk berperilaku

(43)

perhatian pada diri kita sendiri, sehingga keadaan itu akan mengurangi

kemungkinan untuk membantu orang lain (Baron, 2005; Sears, 2009;

Sarwono, 2009).

Faktor empati, yaitu perasaan simpati dan secara tidak langsung

merasakan penderitaan orang lain dapat meningkatkan perilaku prososial

individu (Staub dalam Dayakisni, 2012; Baron, 2005; Sarwono, 2009;

Myers, 2012). Empati juga merupakan faktor orientasi nilai sosial (SVO)

yang mempengaruhi individu dalam berperilaku prososial (Decklerk dan

Bogaert, 2008).

Selanjutnya, faktor lain adalah menimbang untung dan rugi dalam

tidakan menolong. Hal tersebut sebagai bagian dari pengambilan

keputusan, individu akan menimbang kerugian dan manfaat apabila dirinya

menolong (Clayton, 2012; Sears, 2009). Dalam konteks orientasi nilai

sosial faktor menimbang untung dan rugi merupakan perilaku dalam

pengambilan keputusan. Keputusan tersebut diambil berdasarkan untung

dan rugi. Hal ini berkaitan dengan orientasi nilai sosial dari seseorang

(Lange, 2007)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial berasal dari faktor

eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, yaitu faktor kehadiran orang

lain, faktor lingkungan, tekanan waktu, faktor orang yang diberi

(44)

asuh. Sedangkan faktor internal meliputi nilai, karakteristik personal,

motivasi dan moralitas, suasana hati, empati, menimbang untung dan rugi.

B. Komunikasi Keluarga

1. Pengertian komunikasi

Komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communion atau common.

Jika mengadakan komunikasi, maka membagikan sebuah informasi agar si

penerima maupun pengirim sepaham atas suatu pesan tertentu. Esensi dari

komunikasi adalah menemukan dan memadukan si penerima dan si pengirim

atas isi pesan yang khusus (Wilbur dalam Siahaan, 2000).

Barker (2002) yang menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses

biologis dan berbasis budaya, yang terjadi secara berkelanjutan dan interaktif

di mana dua orang atau lebih menggunakan simbol verbal dan non-verbal

untuk membentuk, memperkuat, atau mengubah perilaku orang lain, baik

langsung atau dari waktu ke waktu, dengan tujuan untuk memenuhi

kebutuhan masing-masing, dan pada gilirannya menjamin kelangsungan hidup

kedua spesies dan individu. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Siahaan

(2000) yang menyatakan komunikasi diperlukan agar manusia saling

mengerti, saling menolong dan saling melengkapi

Selain itu, komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau

lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan,

terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada

(45)

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa komunikasi

adalah proses secara berkelanjutan dan interaktif antara dua orang atau lebih

menggunakan simbol verbal dan non-verbal guna membagikan informasi,

mengubah perilaku orang lain. Dalam komunikasi terjadi distorsi sebagai

gangguan dalam upaya menerima umpan balik.

2. Definisi Komunikasi keluarga

Komunikasi keluarga adalah proses perkembangan intersubjektivitas

oleh sekelompok orang yang didalamnya melibatkan sebuah kode yang

menghasilkan sebuah ikatan yang kuat seperti kesetiaan dan emosi sepanjang

sejarah kehidupan dari waktu ke waktu (Noller and Fiztpatrick, 1993). Hal itu

di dukung oleh (Galvin dan Brommel, dalam Prasitthipab 2008) yang

didefinisikan secara luas keluarga sebagai jaringan orang-orang yang berbagi

kehidupan mereka selama jangka waktu yang lama terikat oleh ikatan

perkawinan, darah, atau komitmen, hukum yang menganggap dirinya sebagai

keluarga dan memiliki sejarah penting dan diharapkan di masa depan

berfungsi dalam hubungan keluarga.

Sedangkan menurut Rae Sedwig (dalam Febriyanti, Kismiati, dan

Arisanti, 2012) komunikasi keluarga melibatkan suatu proses menggunakan

kata-kata, gerakan tubuh (gesture), inotasi suara, melibatkan suatu tindakan

yang menghasilkan pencitraan, melibatkan perasaan dengan maksud

mengajarkan, mempengaruhi anggota keluarga dan memberikan pemahaman

(46)

komunikasi yang dilakukan antar anggota keluarga yang dilakukan secara

langsung (face to face) dan setiap anggota keluarga yang melakukan

komunikasi dapat berperan sebagai komunikan maupun komunikator

(Febriyanti, Kismiati, dan Arisanti, 2012).

Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bserta

melibatkan suatu proses menggunakan kata-kata, gerakan tubuh (gesture),

inotasi suara guna memberikan suatu pemahaman. Dalam penelitian ini

komunikasi keluarga yang dimaksudkan khususnya antara orangtua dan anak.

3. Dimensi Pada Pola Komunikasi keluarga

Pola komunikasi keluarga berkembang unik selama jangka waktu yang

relatif panjang yang didalamnya terkandung keyakinan, norma, dan sejarah di

antara anggota keluarga (Baxter et al. 2005 dalam Prasitthipab 2008 ). Selain

itu pola komunikasi keluarga mempunyai asumsi bahwa pandangan anak-anak

tentang realitas dan sosialisasi mencerminkan bagaimana orang tua

berkomunikasi dengan anak-anak mereka (McLeod & Chaffee dalam

Prasitthipab, 2008). Visi komunikasi memberikan model kerja sosial dan

kognitif bagi anggota keluarga, memberikan mereka (anggota keluarga)

pedoman normatif bagaimana berperilaku dalam keluarga sehingga interaksi

dalam keluarga memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat

(Baxter et al. 2005 dalam Prasitthipab 2008 ).

Baldwin (dalam Prasitthipab, 2008) menyatakan bahwa setiap jenis

(47)

keyakinan, sikap, dan perilaku komunikasi. Pola komunikasi dibagi menjadi

dua dimensi yaitu :

a. Orientasi Kepatuhan(Conformity-Orientation)

Keluarga dengan konsep orientasi kepatuhan yaitu jenis keluarga

yang mendorong anak-anak mereka untuk menghindari konflik serta

menampilkan kesesuaian dalam percakapan termasuk dalam hal perilaku,

nilai dan keyakinan . Selain itu, orang tua berusaha untuk menghasilkan

kepercayaan homogen dan iklim saling tergantung, memiliki pandangan

kepada anak-anak mereka bahwa argumentasi bukanlah cara terbaik untuk

memecahkan masalah (Koener dan Fitzpatrick, 2002).

Para anggota keluarga yang lebih muda diharapkan untuk

mematuhi orang tua atau orang yang lebih tua. Orientasi kepatuhan

biasanya terjadi pada keluarga tradisional yang mengedepankan hierarkis

dan otoritas. (Koener dan Fitzpatrick, 2002). Keluarga yang memiliki

orientasi kepatuhan tinggi sangat mengutamakan kebersamaan dan waktu

dengan para anggota keluarga dirumah sedangkan keluarga dengan

orientasi kepatuhan yang rendah akan cenderung mengembangkan

relasinya diluar lingkungan keluarga. (Korner dan Fitzpatrick, 2002).

b. Orientasi Percakapan(Conversation-Orientation)

Keluarga dengan konsep orientasi percakapan yaitu jenis keluarga

dimana orang tua mendorong untuk mendiskusikan isu-isu politik dan

(48)

berpendapat dan bersama-sama mendiskusikan pendapat mereka (Koener

dan Fitzpatrick, 2002). Anggota keluarga dengan orientasi percakapan

cenderung untuk menghabiskan sebagian besar waktu berdiskusi dengan

satu sama lain untuk mencapai keputusan. Keputusan dalam keluarga

diambil bersadarkan kebaikan bersama. Anak-anak dari keluarga ini

didorong untuk berkomunikasi secara terbuka dan spontan tentang

berbagai topik, bertukar ide dan pikiran, nilai-nilai serta saling berbagi

perasaan (Koener dan Fitzpatrick, 2002).

Keluarga dengan orientasi percakapan yang tinggi cenderung

untuk menghargai perbedaan pendapat diantara anggota keluarga. Hal

tersebut dapat menciptakan komunikasi yang terbuka antara anggota

keluarga sehingga hubungan keluarga terjalin toleransi, kerjasama dan

mengajarkan anak bersosialiasasi (Korner dan Fitzpatrick, 2002).

Sedangkan keluarga dengan orientasi percakapan yang rendah cenderung

Kurang berinteraksi dengan para anggota keluarga sehingga kurang

terjadi diskusi, aktivitas serta pertukaran ide dan gagasan (Koerner dan

Fitzpatrick, 2002).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pola

komunikasi dalam keluarga yaitu conformity-orientation berdasarkan tingkat

kepatuhan terhadap otoritas tertinggi yaitu orangtua. Kedua,

conversation-orientation yang didasarkan pada banyaknya waktu yang dihabiskan orangtua

(49)

4. Tipe-tipe Dalam Komunikasi Keluarga

Pola komunikasi menciptakan tipe keluarga yang berbeda (Fitzpatrick

dalam Morissan, 2010) yaitu :

1. Tipe Konsensual

Keluarga dengan tipe konsensual adalah keluarga yang sangat

sering melakukan percakapan namun juga memiliki kepatuhan yang

tinggi. Orang tua sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam keluarga

sebagai pengambil keputusan. Keluarga dengan tipe konsensual sangat

menghargai komunikasi terbuka dalam keluarga namun disisi lain tetap

menghendaki kewenangan dan penjelasan orangtua yang jelas walaupun

tidak sejalan dengan keinginan anak-anaknya.

2. Tipe Pluralistik

Keluarga dengan tipe pluralistik adalah keluarga yang sangat

sering melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang rendah.

Setiap anggota keluarga pada tipe ini akan membuat keputusanya

masing-masing. Orangtua tidak menjadi pemegang otoritas tertinggi. Setiap

pendapat dalam keluarga dinilai berdasarkan kebaikanya yaitu pendapat

mana yang paling baik dan setiap setiap orang turut serta dalam

pengambilan keputusan.

3. Tipe Protektif

Keluarga dengan tipe protektif adalah keluarga yang jarang

(50)

dalam pada jenis ini menganggap bahwa tidak ada alasan bagi mereka

untuk menghabiskan banyak waktu untuk berbicara termasuk menjelaskan

keputusan yang telah mereka buat dalam keluarga.

4. TipeLaisses-faire

Keluarga dengan tipe Laisses-faire adalah keluarga yang jarang

melakukan percakapan dan memiliki kepatuhan yang rendah. Jenis

keluarga dengan tipe komunikasi seperti ini sering disebut dengan lepas

tangan dengan keterlibatan rendah. Anggota keluarga dalam jenis ini tidak

terlalu perduli dengan apa yang dikerjakan oleh anggota keluarga lain dan

menganggap bahwa komunikasi bukanlah suatu hal yang penting.

Maka dapat disimpulkan bahwa tipe-tipe dalam komunikasi keluarga

terdiri dari tipe komunikasi konsensual, tipe komunikasi pluralistik, tipe

komunikasi protektif dan terakhir adalah tipe komunikasi laizze-faire.

Keempat tipe komunikasi tersebut dihasilkan dari dua dimensi komunikasi

(51)

Skema 1. Tipe Komunikasi Keluarga

Orientasi percakapan

Rendah Tinggi

Rendah Laizze-fair Protektif

Tinggi Pluralistik Konsensual

5. Dampak Komunikasi Keluarga

Komunikasi keluarga berperan penting dalam memberi rasa aman bagi

anak-anak karena didalamnya terdapat keteladanan dan merupakan tempat

bernaung ketika anak menghadapi kesulitan atau masalah (Gunarsa, 2001).

Komunikasi keluarga berimplikasi pada keberhasilan proses sosialisasi

orangtua terhadap anak. Hal tersebut penting karena dalam proses tersebut

akan terjadi transmisi sistem nilai yang positif kepada anak (Setyowati, 2005).

Walker dan Taylor (1991; dalam Papalia, 2009) dalam penelitiannya

mengungkapkan bahwa orangtua yang senantiasa mendengarkan, bertanya

mengenai pendapat, meneliti tentang isu yang dibicarakan bersama remaja,

dan berdiskusi dengan tingkat yang lebih aktif akan meningkatkan kemajuan

perilaku yang baik dibandingkan dengan orangtua yang senang berceramah

(52)

Selain itu, komunikasi adalah kunci utama bagi keharmonisan antara

orangtua dan remaja. Keluarga harus memiliki waktu cukup lama untuk

berbincang-bincang dan mengembangkan keterbukaan antara orangtua dengan

anak (Gunarsa, 2004). Cara komunikasi orangtua dalam keluarga akan

memberi dampak pada hubungan orangtua anak dalam jangka panjang. Hal ini

berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku anak. Bila hubungan

komunikasi yang di kembangkan oleh orang tua tidak harmonis maka muncul

konflik antara orang tua dengan anak (Gunawan, 2013). Hal tersebut

didukung oleh penelitian Clark dan Shields (1997 dalam Lestari 2013) yang

mengungkapkan bahwa komunikasi yang baik antara anak dengan orangtua

berkorelasi dengan rendahnya keterlibatan anak dalam perilaku delikuen.

Selain itu, Booth-Butterfield dan Sidelinger (1998 dalam Lestari 2013)

mengungkapkan bahwa keterbukaan dalam komunikasi keluarga tentang topik

seksualitas dan penggunaan alkohol berbukti berkorelasi dengan

kecenderungan remaja untuk melakukan seks yang aman maupun dalam

penggunaan alkohol.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak dari

komunikasi keluarga berimplikasi pada keberhasilan proses sosialisasi

orangtua sehingga dapat mempengaruhi perilaku anak. Komunikasi yang

buruk akan menghasilkan perilaku penyimpangan terhadap remaja, sedangkan

(53)

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Manusia mengalami tahap-tahap perkembangan yang dialui dalam

kehidupan. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah masa remaja

Istilah remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescene (Ali dan Asrori,

2009).Masa remaja (adolescene) merupakan masa transisi dari perkembangan

anak-anak menjadi dewasa dengan melibatkan perubahan biologis, kognitif

dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Hal serupa diungkapkan oleh (Papalia,

2009) yang menyatakan bahwa perkembangan remaja melibatkan perubahan

besar dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa remaja

merupakan masa transisi dari perkembangan anak-anak menjadi dewasa

dengan melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional.

2. Batasan usia remaja

Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli.

Diantaranya adalah batasan usia remaja menurut (Santrock, 2007) dimulai

sekitar usia usia 10-13 tahun dan berahkir pada sekitar usia 18-22 tahun.

sedangkan batasan usia remaja menurut (Papalia, 2009) yaitu antara usia 11

tahun hingga usia 20 tahun. Batasan remaja menurut WHO adalah 10-20

tahun. Selanjutnya, WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian

(54)

Berdasarkan uraian tersebut maka disimpulkan bahwa masa

perkembangan remaja terdapat pada rentang usia 11-21 tahun.

3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja

a. Perkembangan Fisik

Awal masa remaja ditandai dengan adanya pubertas yaitu sebuah

kumpulan peristiwa biologis yang mengarah pada pertumbuhan tubuh dan

kematangan seksual baik primer maupun sekunder. (Berk, 2012; Papalia,

2009). Hal serupa diungkapkan oleh (Santrock, 2007) bahwa

perkembangan remaja ditandai dengan perubahan fisik berupa berubahan

berat dan tinggi badan, pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki,

pertumbuhan payudara pada perempuan, kematangan organ seksual seperti

menstruasi pada wanita serta dan fungsi reproduksi.

Peristiwa pubertas mempengaruhi citra diri, suasana hati, serta

interaksi remaja dengan orangtua dan teman. Hal tersebut merupakan

dampak dari perubahan fisik yang terjadi pada remaja. Kondisi tersebut

menyebabkan munculnya emosi positif maupun negatif pada remaja

sehingga dukungan orangtua dan teman dibutuhkan untuk mendampingi

remaja dalam menjalani masa awal pubertas (Berk, 2012).

b. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget, masa remaja memasuki tingkat perkembangan

kognitif tertinggi yaitu operasional formal yaitu kemampuan berpikir

(55)

ini berdampak pada pemikiran remaja yang tidak hanya dibatasi oleh cara

berpikir pada saat ini namun juga pada saat mendatang. Dengan mencapai

tahap operasional formal, remaja dapat berpikir fleksibel dan kompleks.

Selain itu remaja juga dapat menciptakan situasi yang bersifat fantasi dan

membuat hipotesis sehingga mampu memperkirakan konsekuensi dari

tindakannya. (Papalia, 2009; Santrock, 2007, Berk, 2012).

Dalam tahap ini remaja sudah mampu berpikir logis. Remaja mulai

memiliki pola berpikir sebagai peneliti sehingga mempunyai perencanaan

untuk mencapai suatu tujuan di masa mendatang (Santrock, 2007). Namun,

kecenderungan cara berpikir egosentris masih terjadi pada masa remaja.

Selain itu meningkatnya kesadaran diri remaja yaitu tumbuhnya suatu

pandangan bahwa mereka penting, unik dan istimewa sehingga menjadi

fokus dan keperdulian orang lain (Berk, 2012; Santrock, 2007)

c. Perkembangan Sosial dan Emosi

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok

sebaya dibandingkan dengan orangtua (Berk, 2012). Peran teman sebaya

sangat besar bagi perkembangan sosial remaja karena merupakan sumber

informasi utama dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya

hidup (Papalia, 2009). Hal tersebut didukung oleh Santrock (2007) yang

menyatakan bahwa remaja memiliki kebutuhan yang tinggi untuk diterima

(56)

tugas perkembangan remaja ialah perlu mengembangkan ketrampilan

komunikasi dan bergaul dengan teman sebaya.

Selain itu, pada masa remaja tumbuh otomoni diri yang apabila

tidak dipenuhi akan terjadi konflik antara orangtua dan remaja. Hal tersebut

dapat berkurang apabila tercipta adanya saling toleransi, negosiasi serta

keseimbangan otoritas antara orangtua dan remaja (Laursen et.

Gambar

Tabel 1Blue Print Skala Dimensi Pola Komunikasi Keluarga
Tabel 2Blue print skala pola komunikasi keluarga setelah seleksi item
Tabel 4Hasil tryout skala SVO
Tabel 5Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan kasus tersebut diatas maka dalam skripsi ini terdapat beberapa permasalahan yang akan dibahas yaitu pertama, apakah Asas Unus Testis Nullus Testis bisa

1) Observasi partisipatif adalah suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan melaksanakan asuhan keperawatan pada klien selama dirawat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan kelulushidupan ikan sidat setelah pemberian pakan alternatif dengan berbagai proporsi dan untuk mengetahui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK

Dengan melihat gaya belajar dari sebagian besar mahasiswa IT di UKM yang Extroversion – Intuition dan gaya belajar yang Individu “visual” maka proses

UUHT sendiri memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, di dalam Pasal 1 ayat

(1997) melaporkan pemberian imunisasi pasif pada mencit neonatus (usia &lt; 48 jam) secara intraperitoneal dengan 0.05 ml serum kelinci yang mengandung antibodi spesifik

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengaruh Ekstrak Pegagan ( Centella asiatica L.Urban) dan Kunyit ( Curcuma longa) TerhadapPeningkatanAktivitas Enzim GSH-Px