HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DENGAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA
Maria Krisna Nugraheni
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 249 orang remaja (102 laki-laki 147 perempuan) dengan rentang usia mulai dari 11 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu skala SVO (Social Value Orientation) yang terdiri dari 9 item (α = 0,810), skala orientasi kepatuhan yang terdiri dari 24 item (α = 0,908 ) dan skala orientasi percakapan yang terdiri dari 20 item (α = 0,911). Hasil uji statistik menggunakan chi-Square dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan nilai p = 0,121<0,05 artinya tidak ada hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Hasil penelitian menunjukan tipe komunikasi konsensual sebanyak 176 orang (70,7%), dengan frekuensi kategori prososial 75 orang (78,1%), individual 69 orang (63,3%) dan kompetitif 32 orang (72,7%). Tipe komunikasi pluralistik sebanyak 24 orang (9,6%) dengan frekuensi kategori prososial 10 orang (10,4%), individual 10 orang (9,2%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi protektif sebanyak 32 orang (12,9%) dengan frekuensi kategori prososial 9 orang (9,4%), individual 19 orang (17,4%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi laizz-fair sebanyak 17 orang (6,8%) dengan frekuensi kategori prososial 2 orang (2,1%), individual 11 orang (10,1%) dan kompetitif 4 orang (9,1%).
RELATION BETWEEN FAMILY COMMUNICATION TYPE AND ADOLESCENE PROSOCIAL BEHAVIOR
Maria Krisna Nugraheni
ABSTRACK
The purpose of this research was to know the relation between the Family Communication Type and prosocial behavior in Adolescent. The hypothesis stated in this research was there is a correlation between Family Communication Type and Adolscene Prosocial behavior. This research is correlational research. The research involved 249 adolescents (consisting of 102 male, and 147 female) with an age range from 11 years up to the age of 21 years. The research instrument used three scale, SVO scale (Social Value Orientation) which consists of 9 items (α = 0,810), conformity orientation scale consists of 24 items (α = 0.908) and a conversation orientation scale consists of 20 items (α = 0.911). Test results using the chi-square statistic with significance level of 5% shows the value of p = 0.121 <0.05 it means there is no correlation between of family communication type with adolescent prosocial behavior. The results showed the consensual communication type of 176 people (70.7%), with a frequency of 75 prosocial (78.1%), 69 individuals (63.3%) and 32 competitive people (72.7%). Pluralistic communication type of 24 people (9.6%) with a frequency of 10 prosocial (10.4%), 10 individuals (9.2%) and 4 competitive people (9.1%).protective communication type of 32 people (12.9%) with a frequency of 9 prosocial (9.4%), 19 individuals (17.4%) and 4 competitive people (9.1%).Laizz-fair communication type of 17 people (6.8%) with a frequency of 2 prosocial people (2.1%), 11 individuals (10.1%) and 4 competitive people (9.1%).
HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN
KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Maria Krisna Nugraheni
109114042
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA
DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA
Disusun oleh : Maria Krisna Nugraheni
NIM: 109114042
Telah Disetujui Oleh
Dosen Pembimbing Skripsi
HALAMAII PENGESAHAN SKRIPSI
HUBUNGAI\ ANTARA TIPE KOMT]NIKASI KELUARGA DENGAII
PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA
Disusun oleh :
Maria Krisna Nugraheni
NIM:
109114042Susunan
Penguji I
Penguji
II
PengujiIII
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si
111
iv
HALAMAN MOTTO
“bermimpilah setinggi langit… Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh diantara bintang-bintang “–Soekarno”
“hargailah setiap proses yang kamu jalani karena keberhasilan seseorang tidak terletak pada apa yang telah dia raih namun usaha dan proses yang mendewasakan” – Maria krisna”
“kehidupan ini dipenuhi dengan seribu macam kemanisan, tetapi untuk mencapainya perlu seribu macam pengorbanan– anonim”
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Saya persembahkan Skripsi ini kepada:
Tuhan yang selalu menuntun langkahku dikala sedang malas dan putus asa,
Tuhan selalu memberi jalan keluar lewat doa-doa yang telah aku panjatkan
ketika sedang mengalami kebuntuan.
Untuk diriku yang telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan
tugas ahkir mahasiswa , terima kasih untuk diriku karena engkau mau
menjalani semua proses dalam suka maupun duka.
Untuk kedua orangtua, adik, sahabat yang selalu sabar dalam mensupport
diriku untuk segera menyelesaikan tugas ahkir mahasiswa
Untuk kami semua yang saling mensupport demi menyelesaikan tugas ahkir
mahasiswa, Eduardus Yogi, Yovidia Yovran, Maria Fiona, Lidwina Evira dan
Grasia Hoyi
Dan untuk semua teman seperjuangan mahasiswa psikologi angkatan 2010,
teruslah semangat untuk mengejar cita-cita yang telah kalian mimpikan selama
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 24 April 2015
Maria Krisna Nugraheni
vii
HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL REMAJA
Maria Krisna Nugraheni
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja. Hipotesis yang diajukan yaitu terdapat hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini menggunakan subjek sejumlah 249 orang remaja (102 laki-laki 147 perempuan) dengan rentang usia mulai dari 11 tahun sampai dengan umur 21 tahun. Instrumen penelitian ini menggunakan 2 skala yaitu skala SVO (Social Value Orientation) yang terdiri dari 9 item (α = 0,810), skala orientasi kepatuhan yang terdiri dari 24 item (α = 0,908 ) dan skala orientasi percakapan yang terdiri dari 20 item (α = 0,911). Hasil uji statistik menggunakan
chi-Square dengan taraf signifikansi 5% menunjukkan nilai p = 0,121<0,05 artinya tidak ada
hubungan antara tipe komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial remaja. Hasil penelitian menunjukan tipe komunikasi konsensual sebanyak 176 orang (70,7%), dengan frekuensi kategori prososial 75 orang (78,1%), individual 69 orang (63,3%) dan kompetitif 32 orang (72,7%). Tipe komunikasi pluralistik sebanyak 24 orang (9,6%) dengan frekuensi kategori prososial 10 orang (10,4%), individual 10 orang (9,2%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi protektif sebanyak 32 orang (12,9%) dengan frekuensi kategori prososial 9 orang (9,4%), individual 19 orang (17,4%) dan kompetitif 4 orang (9,1%). Tipe komunikasi laizz-fair sebanyak 17 orang (6,8%) dengan frekuensi kategori prososial 2 orang (2,1%), individual 11 orang (10,1%) dan kompetitif 4 orang (9,1%).
viii
RELATION BETWEEN FAMILY COMMUNICATION TYPE AND ADOLESCENE PROSOCIAL BEHAVIOR
Maria Krisna Nugraheni
ABSTRACT
The purpose of this research was to know the relation between the Family Communication Type and prosocial behavior in Adolescent. The hypothesis stated in this research was there is a correlation between Family Communication Type and Adolscene Prosocial behavior. This research is correlational research. The research involved 249 adolescents (consisting of 102 male, and 147 female) with an age range from 11 years up to the age of 21 years. The research instrument used three scale, SVO scale (Social Value Orientation) which consists of 9 items (α = 0,810), conformity orientation scale consists of 24 items (α = 0.908) and a conversation orientation scale consists of 20 items (α = 0.911). Test results using the chi-square statistic with significance level of 5% shows the value of p = 0.121 <0.05 it means there is no correlation between of family communication type with adolescent prosocial behavior. The results showed the consensual communication type of 176 people (70.7%), with a frequency of 75 prosocial (78.1%), 69 individuals (63.3%) and 32 competitive people (72.7%). Pluralistic communication type of 24 people (9.6%) with a frequency of 10 prosocial (10.4%), 10 individuals (9.2%) and 4 competitive people (9.1%).protective communication type of 32 people (12.9%) with a frequency of 9 prosocial (9.4%), 19 individuals (17.4%) and 4 competitive people (9.1%).Laizz-fair communication type of 17 people (6.8%) with a frequency of 2 prosocial people (2.1%), 11 individuals (10.1%) and 4 competitive people (9.1%).
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA
ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISYang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswi Universitas Sanata Dharma :
Nama : Maria Krisna Nugraheni
Nomor Mahasiswa : 109114042
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma Yogyakarla, karya ilmiah yang berjudul :
HUBUNGAN ANTARA TIPE KOMUNIKASI KELUARGA DAN
KECENDERUNGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
Kepada Perpustakan Universitas Sanata Dharma
hak untuk
menyimpan,mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau di media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta
ijin
dari saya maupunmemberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 24 April 2015 Yang menyatakan,
oorl4
1X
x x
KATA PENGANTAR
Puji syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan dan pendampingan selama proses pengerjaan skripsi ini. Penulis memohon maaf apabila terdapat hal-hal yang tidak berkenan. Pada proses penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Dr.Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.
3. Dosen pembimbing skripsi dan dosen pembimbing akademik saya ibu P.Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi., M.A yang selalu sabar dan memberi semangat selama proses skripsi ini. Terima kasih sekali telah mau membimbing saya untuk menyelesaikan tugas akhir mahasiswa ini
4. Dosen-dosen fakultas Psikologi yang telah banyak memberikan ilmu selama saya menempuh bangku kuliah. Kalian dosen terbaik yang pernah saya miliki pertahankan relasi yang akrab dengan para mahasiswa
5. Seluruh staff Fakultas Psikologi: mas Gandung, mbak Nanik, pak Gi, mas Muji (Glory Glory Ma n.United) dan mas Doni. Terima kasih untuk keramahannya. Terima kasih karena sudah membantu segala pratikum tes dari awal hingga ahkir
1 1
7. Terima kasih pada bapak dan ibu dan adik yang selalu mendoakan, memberikan semangat, menunggu dengan sabar sampai skripsi ini selesai. Terima kasih telah mempercayai diriku untuk belajar bertanggung jawab untuk meraih cita-cita.
8. Terima kasih untuk kesayanganku Eduardus Yogie, telah sabar menanti kelulusanku dan selalu menyemangati dari hari ke hari, terimakasih telah menggangguku dengan kata-kata ‘kapan lulus?”
9. Keluarga besar Kost No Name, Ibu Suri, Ijem, Wiwik, terima kasih sudah menjadi rumah kedua saya. Terimakasih untuk dukungan kalian semua untuk segera menyelesaikan Tugas Maha ini
10. Terima kasih untuk Yovi Rempong, Vira Ndesek, Simbah Simbe, Hoya Hoyi, kalian selalu menyemangati dan berbagi kesusahan tidak kesenangan dikala skripsi ini melanda dunia kita. Semangat untuk kita semua.
11. Terima kasih pada Ana Agung Ayu Ratna Paramitha sebagai saudara seperjuangan (Nama, Penelitian dan Baju) dan partner dalam mengerjakan skripsi, terima kasih sudah mau menyamakan langkah bersama dan berjuang bersama. sukses untuk kita berdua na.
xii
13. Untuk teman-teman seperjuangan tetap semangat selalu gaess, bualtah skripsi ibarat sebuah game Hayday, pupuk sedikit demi sedikit lama-lama akan menjadi bukit , Jika hayday akan menjadi petani sukses semoga kalian akan menjadi psikolog ataupun orang sukses lainnya.
14. Terima kasih pada dunia, laptop, perpustakaan Univeristas Sanata Dharma, Google, para peneliti, pembuat program SPSS dan perfotokopian di paingan yang telah menyempurnakan skripsi ini.
15. Terima kasih kepada seluruh pihak yang belum dapat peneliti ucapkan secara satu-satu. Semoga Tuhan senantiasa memberi kelancaran pada perjalanan kita selanjutnya.
Peneliti menyadari kesempurnaan hanyalah milik Tuhan Yang Maha Esa, sehingga peneliti sangat terbuka dengan kritik dan saran dari siapa pun. Mohon maaf apabila ada salah kata.
131 313
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...ix
KATA PENGANTAR ...x
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I. PENDAHULUAN………...………1
A. Latar Belakang……….1
B. Rumusan Masalah………..10
C. Tujuan Penelitian……….…..….10
D. Manfaat penelitian………..……10
1. Manfaat Teoritis………...10
14 14
BAB II. LANDASAN TEORI………...12
A. Perilaku Prososial………..……….12
1. Pengertian Perilaku Prososial………..……….…12
2. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial ………...13
3. SVO (Social Value Orientation)………..15
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku prososial……….18
B. Komunikasi Keluarga………..………...24
1. Pengertian Komunikasi………24
2. Definisi Komunikasi Keluarga……….25
3. Dimensi Pada Pola Komunikasi Keluarga………...……26
4. Tipe-tipe dalam Pola Komunikasi Keluarga………29
5. Dampak Komunikasi Keluarga………31
C. Remaja………33
1. Definisi Remaja………...….33
2. Batasan Usia Remaja………33
3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja………...34
D. Hubungan Antara Tipe Komunikasi Keluarga dengan Perilaku Prososial Remaja………37
E. Hipotesis……….45
BAB III. METODE PENELITIAN………46
A. Jenis Penelitian………...46
B. Identifikasi Variabel Penelitian………..46
15 15
2. Variabel tergantung.……….47
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian………...47
1. Tipe Komunikasi Keluarga………..47
2. Kecenderungan Perilaku Prososial Remaja……….………50
D. Subjek Penelitian………51
E. Metode Pengambilan data………..51
1. Skala Tipe Komunikasi keluarga……….52
2. Skala SVO………55
F. Validitas dan Reliabilitas………...…56
1. Validitas……….………..56
2. Hasil Tryout……….56
3. Reliabilitas………61
G. Metode Analisis Data……….63
1. Uji Asumsi………...63
2. Uji Hipotesis……….63
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………..64
A. Pelaksanaan Penelitian………...64
B. Deskripsi Subjek Penelitian………...65
C. Deskripsi Data Penelitian………..66
1. Perbandingan Data Teoritik dan Data Empiris………66
2. Frekuensi Data Kategori………..69
D. Hasil Penelitian ……….73
16 16
2. Uji Hipotesis……….……75
E. Pembahasan………78
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………..82
A. Kesimpulan………82
B. Keterbatasan Penelitian……….82
C. Saran………..83
1. Bagi Remaja sebagai Subjek Penelitian………...83
2. Bagi Orang tua Subjek……….……83
3. Bagi Peneliti Selanjutnya……….…………83
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Blue Print Skala Dimensi Pola Komunikasi Keluarga………... 54
Tabel 2 Blue Print Skala Pola Komunikasi Keluarga Setelah Seleksi Item………... 59
Tabel 3 Blue Print Skala Pola Komunikasi Keluarga Setelah Seleksi Item dan Try-Out ………... 59
Tabel 4 Hasil tryout skala SVO ……….. 61
Tabel 5 Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian ………... 65
Tabel 6 Deskripsi usia subjek……….. 66
Tabel 7 Data Teoritik dan Empiris Orientasi Percakapan dan Orientasi Kepatuhan ……….. 67
Tabel 8 Uji Beda Mean Empirik dan Mean Teoritik Orientasi Percakapan ……… 67
Tabel 9 Uji Beda Mean Empirik dan Mean Teoritik Orientasi Kepatuhan ……….. 68
Tabel 10 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Pola Komunikasi Keluarga ……… 69
Tabel 11 Kategori Tipe Pola komunikasi Keluarga ………. 71
Tabel 12 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Tipe Komunikasi … 71 Tabel 13 Distribusi Frekuensi Subjek Berdasarkan Social Value Orientation (SVO) ………. 72
Tabel 14 Uji Normalitas Orentasi Kepatuhan dan Orientasi Percakapan. 73 Tabel 15 Hasil Uji Hipotesis Variabel Tipe Komunikasi dengan SVO ... 75 Tabel 16 Distribusi Frekuensi subjek Berdasarkan Social Value 76
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Try Out 1 ………... 89
Lampiran 2. Skala Try Out 2 ……….. 99
Lampiran 3. Reliabilits Skala ………. 107
Lampiran 4. Skala Penelitian ……….. 112
Lampiran 5. Deskripsi Subjek ……… 120
Lampiran 6. Uji Asumsi ………. 121
Lampiran 7. Uji Hipotesis ………... 122
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa adanya orang
lain disekitarnya. Sejak dilahirkan, manusia membutuhkan interaksi dengan
orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia dalam
kehidupan sehari-hari tidak lepas dari kehidupan saling tolong-menolong.
Setinggi apapun kemandirian seseorang pada saat-saat tertentu dia akan
membutuhkan orang lain (Gerungan, 2009)
Seiring dengan perkembangan zaman, kepedulian orang terhadap sesama
maupun lingkungan disekitarnya semakin menurun. Terutama sekarang saat
masyarakat tengah memasuki era modernisasi, dimana kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi mempermudah manusia untuk melakukan segala
aktivitas dengan cara praktis. Hal ini mengakibatkan manusia menjadi makluk
yang individual (Suara Merdeka, 2014)
Fenomena yang terjadi pada masyarakat terlihat ketika orang sedang
mengalami kesulitan, mereka sering tidak mendapat bantuan orang lain.Sebagian
orang, ketika menyaksikan orang lain dalam kesulitan, langsung membantunya,
sedangkan yang lain barangkali hanya diam meskipun mampu untuk
dahulu sebelum bertindak, serta ada pula yang ingin membantu, namun memiliki
motif yang bermacam-macam. Salah satu bentuk pergeseran pola hubungan
diantara sesama manusia dan lingkungan sekitarnya menimbulkan sifat
individualisme. Sifat individualisme tersebut berdampak pada menurunnya
perilaku prososial di masyarakat (Suara Merdeka, 2014).
Perilaku prososial dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang
dilakukan baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan untuk menolong
orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong (Sears, 2004). Sumber
lain menjelaskan definisi prososial sebagai suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa memberi keuntungan langsung bagi si penolong
dan mungkin mengandung resiko bagi penolong itu sendiri (Baron, 2005). Dapat
dikatakan bahwa perilaku prososial merupakan bentuk tindakan menolong yang
dilakukan seseorang yang dapat memberi keuntungan langsung maupun tidak
langsung bagi penolong.
Perilaku prososial atau perilaku menolong hendaknya tercipta dalam
kehidupan bermasyarakat, tidak terkecuali bagi kaum remaja. Perilaku prososial
perlu ditanamkan pada remaja karena remaja merupakan bagian dari masyarakat
yang perlu dipersiapkan agar mampu berkiprah dalam memberikan pelayanan
kepada anggota masyarakat. Selain itu, remaja dituntut untuk memiliki tanggung
jawab dalam membantu, berbagi, dan menyumbang untuk mengurangi kesulitan
Perilaku prososial banyak dilakukan dimasa remaja dibandingkan masa
kanak-kanak. Meskipun remaja seringkali dinyatakan sebagai sosok yang
egosentrik dan memikirkan diri sendiri, remaja juga banyak menampilkan
tindakan yang bersifat prososial (Santrock, 2007). Hal serupa diungkapkan oleh
Eisenberg dalam Laura (2007) yaitu bahwa masa remaja merupakan waktu yang
digunakan untuk meningkatkan perilaku prososial.
Hal ini bertolak belakang dengan kondisi yang terjadi saat ini yaitu
remaja kurang menampilkan perilaku prososial yang menjadi salah satu tugas
perkembanganya. Remaja pada saat ini tidak lagi mempunyai kepekaan sosial
untuk membantu kesulitan orang lain. Hal ini dapat tercermin dalam fenomena
menipisnya perilaku prososial pada remaja. Sikap mementingkan diri sendiri
tercermin dalam kehidupan sehari-hari misalnya saat melihat seseorang yang
lebih membutuhkan bantuan orang lain justru bersikap acuh dan tidak
memperdulikan situasi disekitarnya.
Fenomena ini terjadi pada kasus remaja yang bernama Dinda. Dinda
menyebarkan keluhannya pada akun sosial media miliknya terhadap ibu hamil
yang dianggap menyusahkan orang lain di transportasi umum. Hal tersebut
berdampak pada protes masyarakat yang menilai perilaku menolong remaja pada
saat ini sangat rendah bagi orang lain. Contoh fenomena tersebut menunjukkan
semakin rendahnya sikap ketidak perdulian remaja terhadap orang lain yang
nantinya dapat mengakibatkan mereka tumbuh menjadi manusia yang memiliki
Seorang remaja hidup dalam sebuah keluarga yang merupakan kelompok
sosial yang memiliki tujuan, struktur, dinamika, norma termasuk cara
kepemimpinannya yang sangat mempengaruhi kehidupan individu yang menjadi
anggota kelompok tersebut (Gerungan, 2009). Keluarga merupakan agen
sosialisasi primer yang mempengaruhi perilaku individu dalam waktu yang
panjang (Koener dan Fiztpatrick, 1997). Hal serupa diungkapkan oleh Gerungan
(2009) bahwa keluarga adalah tempat remaja belajar dan menyatakan diri sebagai
manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan lingkungannya. Interaksi
yang baik dalam keluarga dapat menjamin perkembangan yang wajar sebagai
manusia sosial karena pengalaman manusia di dalam keluarga turut menentukan
pula cara-cara tingkah lakunya terhadap orang lain dalam pergaulan sosial di luar
lingkungan keluarganya, sehingga salah satu aspek penting yang dapat
mempengaruhi perilaku remaja adalah interaksi antar anggota keluarga
(Gerungan, 2009).
Kualitas interaksi antara remaja dengan orangtua berkaitan dengan
munculnya perilaku prososial remaja (Kathryn, 2007). Hubungan antara remaja
dengan orang tua menjadi penentu utama dalam keberhasilan remaja berperilaku
prososial ketika berinteraksi di lingkungan sosial yang lebih luas. Hal tersebut
didukung oleh Steinberg and Silk (dalam Laura, 2007) yang mengungkapkan
bahwa interaksi yang terjadi antara orangtua dan remaja tetap menjadi dasar
selama masa remaja. Sehingga interaksi antara orangtua dan remaja sangat
Eisenberg dan Fabes (dalam Laura, 2007) menyatakan, meskipun pengaruh
sosialisasi pada remaja beragam, orang tua merupakan sumber informasi paling
penting mengenai nilai dalam berperilaku. Hal tersebut didukung oleh pendapat
Offer & Church, 1991 (dalam Papalia 2014) yang menyatakan nilai-nilai
mendasar kebanyakan remaja didapatkan dari orangtua. Selain itu, Koerner dan
Fitzpatrick (2002) menyatakan bahwa penting bagi anggota keluarga untuk saling
bergantung dan berinteraksi melalui berbagi perasaan, pikiran, atau perilaku.
Penelitian Lestari (2013) memaparkan mengenai “Keluarga Sebagai
Tempat Proses Belajar Perilaku prososial”. Dalam penelitian tersebut
menunjukan hasil bahwa sebagian besar anak belajar perilaku prososial dari
orang tuanya. Orang tua merupakan contoh langsung maupun tidak langsung
bagi anak. Berdasarkan hasil tersebut, keluarga merupakan pihak pertama tempat
anak mengenal dan belajar perilaku prososial. Selain itu, ibu memiliki peranan
yang sangat penting dalam mengembangkan perilaku prososial pada
anak-anaknya, sehingga interaksi antara orang tua dengan anak merupakan salah satu
hal yang tidak dapat diabaikan.1. Cara orang tua dalam berinteraksi dan menjalin
relasi dengan dengan anak adalah dengan menggunakan komunikasi.
Komunikasi merupakan salah satu komponen penting untuk saling
berinteraksi dengan para anggota keluarga. Komunikasi antara anak dengan
orang tua dapat mendukung perkembangan kapasitas anak untuk memahami
1
tindakan prososial mereka sendiri (Rechia, 2014). Sebaliknya, jika komunikasi
antara orang tua dan anak buruk, maka mempunyai dampak munculnya
kepribadian antisosial dan dependen (Ramadhani,2008). Pada kasus anak dengan
gangguan perilaku antisosial, ditemukan bahwa hal tersebut dipengaruhi oleh
pola asuh dan komunikasi dalam keluarga (Aicorn dan Carr, 2001 dalam
Ramadhani 2008). Dalam penelitian sebelumnya (Maria, 1998) meneliti tentang
“tendensi delikuensi remaja ditinjau dari efektifitas komunikasi antara orang tua
dengan remaja” menyimpulkan bahwa kurangnya efektifitas komunikasi antara
remaja dan orang tua berkaitan erat dengan munculnya tendensi delikuensi pada
remaja. Hal ini dikarenakan remaja memiliki kebutuhan akan kasih sayang,
penghargaan diri, dan pengertian dari orang tuanya, yang hanya terpenuhi apabila
tercipta komunikasi yang efektif antara anak dengan orang tua. Tidak adanya
komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak akan membuat anak merasa
tidak dihargai dan merasa frustasi. Hal tersebut lalu dikompensasikan dalam
tindakan yang mengarah pada delikuensi. Dapat dikatakan bahwa komunikasi
antara orangtua dan anak dapat mempengaruhi fungsi keluarga secara
keseluruhan termasuk kesejahteraan psikososial pada diri anak (Shek dalam
Ramadhani, 2008).
Menurut Koerner dan Fitzpatrick (2002), dalam komunikasi keluarga
terdapat pola yaitu kecenderungan sebuah keluarga membentuk cara
berkomunikasi antara satu anggota dengan yang lain. Fitzpatrick (dalam
tidaklah bersifat acak atau random, tetapi sangat terpola berdasarkan
skema-skema tertentu yang menentukan bagaimana anggota keluarga bekomunikasi satu
dengan yang lainnya. Terdapat dua jenis orientasi pada pola komunikasi yang
terjadi dalam keluarga yaitu orientasi percakapan (conversation-orientation),
merupakan ciri keluarga dimana orangtua mendorong anak untuk dapat
berpartisipasi dan berinteraksi membahas berbagai topik dalam keluarga. Pada
orientasi percakapan, keputusan dibuat bersama-sama antara orangtua dan anak
(Korner dan Fitzpatrick, 2002). Orientasi kepatuhan (conformity orientation),
merupakan komunikasi yang dirancang untuk menghasilkan rasa hormat serta
menciptakan kepercayaan yang homogen berkaitan dengan sikap nilai dan
keyakinan antara anak dengan orangtua. Interaksi pada orientasi kepatuhan
menekankan pada kepatuhan terhadap orangtua dan cenderung menghindari
konflik (Korner dan Fitzpatrick, 2002). Hal serupa diungkapkan oleh Beebe
(2009) bahwa pola komunikasi keluarga dapat digambarkan melalui dua dimensi.
Pertama, conversation orientation, yaitu berdasarkan tingkat pembicaraan atau
sejauh mana anggota keluarga didorong untuk mendiskusikan topik apapun.
Dimensi kedua conformity orientation, yaitu berdasarkan perilaku kepatuhan
yang dilakukan oleh anak terhadap orangtua dalam keluarga.
Anak-anak dari orientasi keluarga yang berbeda cenderung untuk
mengembangkan perilaku sosial yang berbeda (Fitzpatrick, Marshall, Leutwiler,
& Krcmar dalam Prasitthipab 2008). Dalam penelitian Huang (dalam Brian,
mempengaruhi karakteristik kepribadian individu. Anak yang berasal dari
keluarga yang memiliki komunikasi berorientasi percakapan memandang dirinya
lebih positif, terbuka, terlibat dalam kepemimpinan dan memiliki jiwa sosial
yang tinggi. Hal ini disebabkan anak memiliki internal locus of control yaitu
anak berperan serta dalam diskusi mengenai topik permasalahan yang berada
diluar lingkup keluarga dan memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial yang
terjadi pada masyarakat, sehingga mereka mengembangkan ketrampilan sosial
yang baik. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki
komunikasi yang berorientasi kepatuhan cenderung tertutup, pemalu dan
memiliki harga diri rendah. Orangtua cenderung menyamakan nilai, sikap dan
gagasan. Hal ini menyebabkan anak memiliki external locus of controlsehingga,
tidak tanggung jawab serta memiliki anggapan bahwa sikap dan perilakunya
banyak ditentukan oleh faktor keberuntungan dari luar dirinya
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Baumrind
(dalam Brian, Mathew, Keith, 2002) yang menemukan bahwa keluarga yang
memiliki skor tinggi pada orientasi percakapan membesarkan anaknya dengan
ketrampilan sosial yang baik. Kcmar (dalam Brian, Mathew, Keith, 2002)
mengungkapkan bahwa komunikasi yang terbuka antara anggota keluarga
meningkatkan interaksi sosial yang positif untuk anak.
Koerner & Fitzpatric, 2002 menyatakan bahwa untuk memprediksi pola
komunikasi keluarga, tidak cukup hanya mengetahui bahwa keluarga ini
tinggi. Melintasi kedua pola tersebut, terdapat empat tipe keluarga yaitu: 1.) Tipe
pluralistik merupakan keluarga yang memiliki orientasi percakapan yang tinggi
dan kepatuhan rendah, orangtua tidak merasa perlu mengontrol anak-anak
mereka karena setiap pendapat dinilai berdasarkan pada kebaikannya, dan setiap
orang turut serta dalam pengambilan keputusan. 2.) Tipe konsensual merupakan
keluarga yang memiliki orientasi percakapan dan kepatuhan tinggi, keluarga
jenis ini menghargai komunikasi secara terbuka dan orang tua tetap menghendaki
adanya kewenangan yang jelas. 3.) Tipe protektif merupakan keluarga yang
memiliki orientasi percakapan rendah dan kepatuhan yang tinggi, orang tua dari
tipe keluarga ini merasa tidak harus menghabiskan banyak waktu untuk berbicara
dan menjelaskan keputusan yang telah mereka buat 4.) TipeLaissez-Faire yaitu
keluarga yang memiliki orientasi percakapan dan orientasi kepatuhan yang
rendah, anggota keluarga dari tipe ini tidak terlalu peduli dengan apa yang
dikerjakan anggota keluarga lainnya dan tidak ingin membuang waktu untuk
membicarakannya.
Adanya pola komunikasi tertentu yang terbentuk dalam keluarga antara
remaja dan orangtua dapat membantu dan meningkatkan perilaku remaja yang
positif sehingga nantinya dapat berpengaruh terhadap perilakunya diluar
lingkungan keluarga. Orangtua yang memiliki pola komunikasi yang buruk akan
menyebabkan anak cenderung untuk melampiaskan pada hal-hal yang kurang
baik salah satunya yaitu mengabaikan relasi sosial yang dapat berujung pada
untuk membuktikan apakah pola komunikasi dalam keluarga mempunyai
hubungan dengan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti dapat merumuskan masalah
sebagai berikut :
Apakah terdapat hubungan antara tipe komunikasi dalam keluarga dan
kecenderungan perilaku prososial remaja?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tipe
komunikasi keluarga dan kecenderungan perilaku prososial pada remaja.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini perlu diadakan karena hasil penelitian ini akan memberikan
manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan disiplin ilmu psikologi, terutama dibidang psikologi
perkembangan dan psikologi sosial mengenai perilaku prososial pada remaja
dan tipe komunikasi yang terjadi dalam keluarga. Selain itu penelitian ini juga
bermanfaat untuk menambah referensi karya ilmiah atau wawasan teoritis
yang telah ada guna pertimbangan dalam melakukan penelitian di masa
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi remaja
dan orangtua untuk mengetahui tipe komunikasi yang terjadi di dalam
keluarga dan perilaku prososial remaja. Hasil tersebut dapat menjadi sumber
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Prososial
1. Pengertian Perilaku Prososial
Perilaku prososial merupakan tindakan individu untuk menolong
orang lain tanpa adanya keuntungan langsung bagi si penolong dan mungkin
bahkan melibatkan resiko bagi orang yang menolong (Baron, 2005).
Sedangkan menurut Sears (2004) perilaku prososial mencakup kagetori yang
luas meliputi segala bentuk tindakan untuk menolong orang lain, tanpa
memperdulikan motif-motif penolong. Hal serupa diungkapkan oleh (Taylor,
2009) bahwa perilaku prososial mewakili suatu kategori tindakan yang luas
yang didefinisikan oleh masyarakat atau kelompok sosial sebagai tindakan
yang secara umum bermanfaat bagi orang lain, terlepas dari motif si penolong.
Perilaku prososial adalah suatu bentuk dukungan interpersonal yang
dilakukan oleh seseorang kepada orang lain, dalam hal ini pihak yang
membu-tuhkan, baik bantuan secara material maupun dukungan moral yang
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pihak penerima bantuan, baik
secara fisik maupun psikis namun tidak mendatangkan keuntungan yang jelas
bagi pihak penolong, bahkan mengundang risiko tertentu (Husada,2013).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perilaku
yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan orang lain baik secara
fisik maupun psikis terlepas dari motif-motif si penolong.
2. Bentuk-bentuk Perilaku Prososial
Bentuk dari perilaku prososial dapat tercermin dalam beberapa
tindakan sebagai berikut :
1. Berbagi
Kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka
maupun duka (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012). Hal
tersebut serupa dengan pernyataan (Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009)
perilaku berbagi dapat berupa dukungan fisik maupun psikis.
2. Kerjasama
Kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya
suatu tujuan. Kerjasama biasanya saling menguntungkan, saling memberi
dan menolong (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni 2012;
Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009).
3. Memberi atau Menyumbang
Salah satu bentuk perilaku prososial adalah memberi dan
menyumbang yaitu kesediaan seseorang untuk berderma, memberi secara
sukarela sebagian barang miliknya untuk orang yang lebih membutuhkan
(Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012; Bringham, 1991
4. Menolong
Kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan
meliputi membantu orang lain, berbagi informasi, menawarkan bantuan
terhadap orang lain atau menawarkan sesuatu untuk menunjang
keberlangsungan kegiatan orang lain. (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam
Dayakisni, 2012; Bringham, 1991 dalam Desmita, 2009)
5. Kejujuran
Kesediaan untuk tidak berbuat curang terhadap orang lain
(Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam Dayakisni, 2012)
6. Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain.
Kesediaan seseorang untuk berperilaku demi menunjang hak dan
kesejahteraan dari orang lain (Eisenberg dan Mussen, 1989 dalam
Dayakisni, 2012).
7. Persahabatan
Kesediaan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan
orang lain demi terciptanya suasana yang harmonis dan saling mendukung
satu sama lain (Bringham dan Mussen, 1991; Bartal 1976 dalam Desmita,
2009)
8. Menyelamatkan
Kesediaan untuk menyelamatkan orang lain yang membutuhkan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa aspek-aspek pada perilaku
prososial adalah Berbagi (Sharing), Menolong (Helping), Berderma
(Donating and generosity), Kerja Sama (Cooperating), dan Jujur (Honesty),
Persahabatan, Menyelamatkan dan yang terahkir mempertimbangkan hak dan
kesejahteraan orang lain.
3. Social Value Orientation(SVO)
SVO merupakan pusat dari teori pengambilan keputusan yang paling
rasional. Hal ini dapat memprediksi dan menjelaskan perilaku manusia dalam
pengambilan keputusan yang bervariasi ketika mempertimbangkan
pendapatan antara dirinya dengan orang lain (Murphy, 2011). Konsep dari
Orientasi Nilai Sosial (SVO) mengasumsikan bahwa setiap individu secara
sistematis berbeda dalam memandang hubungan interpersonal mereka dengan
orang lain (Lange, 2007).
SVO terbentuk secara terus-menerus karena berhubungan dengan
jumlah seberapa banyak orang bersedia mengorbankan miliknya dalam rangka
membuat orang lain menjadi lebih baik atau bahkan lebih buruk (Murphy,
2011). Selain itu, SVO juga mengidentifikasi kecenderungan seseorang untuk
bekerjasama (Murphy 2011).
SVO berkontribusi terhadap dasar-dasar kognitif, motivasi kerjasama
dan persaingan antar manusia. SVO menganut teori ketergantungan dimana
interaksi sosial terbentuk bukan hanya kepedulian terhadap hasil sendiri
yang lebih luas, seperti keperdulian dengan hasil bersama, keperdulian dengan
hasil yang diperoleh rekan, dan kepedulian dengan kesetaraan dalam hasil
(Lange, 2007).
SVO diperkenalkan untuk menjelaskan perbedaan individu dalam
perilaku kerjasama. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang dengan
kecenderungan orientasi prososial tinggi pada SVO lebih sering bekerja sama
dalam lingkungan sosial daripada individu dengan orientasi individualistis
atau kompetitif (Garling, 2008; Declerk, 2008).
Orientasi prososial menurut SVO (Social Value Orientation) dapat
tercermin dalam perilaku seseorang untuk bekerjasama, menolong dalam
bentuk berkorban demi orang lain, bertindak sesuai dengan asas keadilan dan
kesetaraan demi keuntungan serta kesejahteraan bersama (Garling, 2008).
Terdapat tiga tipe individu dalam Social Value Orientation (SVO)
yaitu (Lange, 2007) :
a. Individu dengan orientasi Prososial didefinisikan sebagai kecenderungan
individu untuk meningkatkan dan menyetarakan hasil antara dirinya
dengan orang lain. Hal tersebut dilakukan dengan cara memaksimalkan
hasil bersama serta meminimalkan perbedaan hasil antara diri sendiri dan
orang lain
b. Individu dengan orientasi individualistik didefinisikan sebagai
kecenderungan individu untuk memperoleh hasil yang lebih besar untuk
c. Individu dengan orientasi kompetitif didefinisikan sebagai kecenderungan
seseorang untuk meningkatkan perbedaan hasil antara diri sendiri dan
orang lain yaitu dengan membuat selisih pendapatan yang jauh lebih
banyak untuk dirinya dan lebih sedikit untuk orang lain.
Peneliti akan menggunakan skala SVO untuk mengukur kecenderungan
perilaku prososial. Hal ini dilakukan untuk menghindari efek social desirability
yang akan terjadi apabila menggunakan skala likert.
Hasil dari SVO perlu untuk mempertimbangkan faktor perbedaan budaya
(Lange, 2007). Penelitian dalam psikologi budaya menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan mendasar pada faktor budaya terkait dengan bagaimana cara individu
mendefinisikan diri dalam hubungan dengan orang lain (Heine et, al., 1999
dalam Declerk, 2008). Budaya barat sering ditandai dengan individualisme,
sedangkan budaya kolektif (seperti Jepang) memiliki pandangan diri sebagai
sebuah entitas yang saling tergantung dan saling terhubung satu sama lain
(Kitayama et al., 1997 dalam Declerk, 2008). Chen, 2007 (dalam Declerk, 2008)
menyatakan bahwa norma-norma sosial tampaknya jauh lebih penting dalam
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku prososial
Ada banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya perilaku prososial
bagi penolong (bystander) di masyarakat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkah laku prososial berasal dari faktor eksternal dan faktor internal.
a. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah faktor dari luar individu yang dapat
mempengaruhi seseorang untuk berperilaku prososial. Faktor dari luar
individu yang dapat mempengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah
jumlah kehadiran orang lain dalam sebuah situasi yang membutuhkan
pertolongan, semakin banyak orang yang hadir maka semakin kecil
kemungkinan individu akan memberi bantuan dikarenakan adanya
penyebaran tanggung jawab (Sears, 2009; Myers 2012). Tanggug jawab
sosial juga merupakan faktor dari SVO. Individu yang memiliki nilai
orientasi prososial cenderung mempunyai tanggung jawab sosial yang
lebih besar daripada seseorang yang memiliki nilai orientasi individualis (
Cremer & Lange, 2001)
Selain itu faktor kondisi lingkungan dapat mempengaruhi
seseorang untuk memberikan bantuan misalnya cuaca. Saat cuaca cerah
dan suhu yang nyaman orang akan lebih menampilkan perilaku menolong
dibandingkan saat hujan atau cuaca buruk. Selain itu ukuran kota juga
memberikan hasil bahwa orang asing lebih mungkin ditolong di kota kecil
Faktor tekanan waktu dapat mempengaruhi perilaku menolong.
Seseorang yang dalam kondisi tergesa-gesa akan cenderung tidak
memberikan bantuan karena mempertimbangkan keuntungan dan
kerugian. Sebaliknya, seseorang yang tidak dalam kondisi tergesa-gesa
akan cenderung untuk memberikan pertolongan (Sarwono, 2009; Sears,
2009; Myers, 2012)
Selanjutnya adalah faktor karakteristik orang yang akan ditolong
yaitu individu akan cenderung lebih cepat menolong orang yang dikenal
daripada orang asing. Selain itu, individu lebih mungkin menolong
seseorang yang memiliki karakteristik yang sama dengan dirinya, misal
kesamaan fisik, gender atau RAS. (Clayton, 2012; Sears, 2009; Baron;
2005; Sarwono, 2009; Myers 2012). Sedangkan dalam SVO karakteristik
orang yang ditolong muncul dalam perbedaan relasi yang terjalin antara
individu dengan orang lain. Individu akan cenderung menolong teman
daripada menolong musuh.
Atribusi atas penyebab kesulitan merupakan salah satu faktor
eksternal seseorang dalam berperilaku prososial. Seseorang akan
cenderung menolong apabila hal tersebut murni kecelakaan dan bukan
sesuatu yang disebabkan oleh si korban. Sebaliknya, seseorang akan
cenderung tidak menolong apabila hal tersebut disebabkan kesalahan atau
keteledoran dari korban sendiri (Baron, 2005; Clayton, 2012; Sarwono,
Selain itu, model-model prososial akan mendukung seseorang
untuk bertingkah laku prososial. Apabila seseorang melihat adanya
korban yang ditolong orang lain, maka besar kemungkinan dirinya akan
menolong orang yang membutuhkan seperti situasi yang dilihatnya
sebelumnya (Baron, 2005; Sarwono, 2009; Myers, 2012). Perilaku
berulang merupakan salah satu faktor dari SVO yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk berperilaku prososial. Seseorang akan cenderung bersikap
prososial apabila dirinya mengalami pengalaman berulang kali dengan
situasi dan kondisi yang bersifat prososial (Lange, 2007). Jenis kelamin
juga mempengaruhi individu dalam melakukan perilaku prososial.
Laki-laki lebih cenderung untuk memberikan pertolongan daripada wanita
(Baron, 2005; Sears, 2009; Sarwono, 2009; Myers, 2012).
Pola asuh juga mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam
berperilaku prososial. Peran orangtua ialah menciptakan standar perilaku
baik dan bertindak sebagai model dengan perilaku spontan seperti berbagi,
menolong dan bekerjasama. Selain itu, Orangtua juga dapat menggunakan
teknik komunikasi untuk memberi penjelasan mengenai pentingnya
manusia saling menolong satu sama lain. Melalui komunikasi orangtua
dapat menstimulasi moral reasoning seperti bagaimana perilaku itu
terbentuk. (Desmita, 2009; Sarwono; 2009). Interaksi sosial yang berbeda
antara anak dengan orangtua merupakan salah satu faktor dari SVO.
mana orang tua sangat memperhatikan kebutuhan dasar mereka cenderung
untuk mengembangkan kepercayaan dan keamanan, yang dapat
meningkatkan orientasi prososial. Sebaliknya, orangtua yang tidak
memperhatikan kebutuhan anak mereka cenderung untuk
mengembangkan ketidakpercayaan dan rasa tidak aman, yang dapat
meningkatkan orientasi individualistik (Lange, 1997).
b. Faktor Internal
Faktor internal ialah faktor dari dalam yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk berperilaku prososial. Faktor dari dalam individu yang
dapat mempengaruhi perilaku prososial diantaranya adalah nilai. Nilai
merupakan sebuah ide yang diperlukan sebagai pedoman seseorang dalam
berperilaku, menjelaskan tindakan dan mengevaluasinya. Nilai di
internalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian
besar nilai-nilai tersebut berkaitan dengan tindakan prososial (Staub, 1978
dalam Dayakisni, 2012). Selain itu, perbedaan nilai pada individu
berimplikasi pada perbedaan tendensi prososial. Nilai yang dijadikan fokus
adalah mengenai perbuatan baik, lebih khususnya berkaitan dengan
perilaku prososial (Schwartz, 1994 dalam Dovidio, et.al, 2006).
Karakteristik personal pada setiap individu yang berbeda satu sama
lain. Terdapat individu yang mempunyai kebutuhan yang tinggi agar
disukai oleh lingkungan ada pula yang rendah (Sears, 2009). Menurut
memiliki karakteristik kepribadian meliputi harga diri tinggi, rendahnya
sikap mengindari tanggung jawab dan rendahnya kebutuhan akan
persetujuan orang lain.
Setiap orang memiliki motivasi yang berbeda dalam memberikan
pertolongan. Motivasi dan moralitas dalam perilaku prososial di bagi
menjadi tiga kelompok pertama, egoisme yaitu melihat kepentingan pribadi
bukan kesejahteraan orang lain. Kedua, integritas moral yaitu terlibat
dalam tingkah laku prososial demi kepuasan pribadi. Ketiga, hipokrasi
moral yaitu individu yang didorong oleh motivasi agar terlihat bermoral
dan menghindari kerugian atas tindakan bermoral yang dilakukanya (Sears,
2009; Baron, 2005; Sarwono, 2009). Faktor moral juga merupakan salah
satu dari faktor pengukuran SVO. Seseorang dengan orientasi prososial
akan cenderung memiliki standar moral yang tinggi (Declerk dan Bogaert,
2008).
Jenis kelamin dapat menjadi faktor seseorang dalam berperilaku
prososial. Sebuah penelitian menemukan bahwa kecenderungan untuk
menolong pada remaja perempuan lebih besar daripada remaja laki-laki.
(Zimmer 2005 dalam Sarwono 2009). Hal serupa diungkapkan oleh Taylor
dkk (2009) bahwa perempuan lebih aktif daripada perilaku prososial
walaupun dalam bentuk tipe pemberian bantuan yang berbeda-beda.
Suasana Hati juga dapat mempengaruhi individu untuk berperilaku
perhatian pada diri kita sendiri, sehingga keadaan itu akan mengurangi
kemungkinan untuk membantu orang lain (Baron, 2005; Sears, 2009;
Sarwono, 2009).
Faktor empati, yaitu perasaan simpati dan secara tidak langsung
merasakan penderitaan orang lain dapat meningkatkan perilaku prososial
individu (Staub dalam Dayakisni, 2012; Baron, 2005; Sarwono, 2009;
Myers, 2012). Empati juga merupakan faktor orientasi nilai sosial (SVO)
yang mempengaruhi individu dalam berperilaku prososial (Decklerk dan
Bogaert, 2008).
Selanjutnya, faktor lain adalah menimbang untung dan rugi dalam
tidakan menolong. Hal tersebut sebagai bagian dari pengambilan
keputusan, individu akan menimbang kerugian dan manfaat apabila dirinya
menolong (Clayton, 2012; Sears, 2009). Dalam konteks orientasi nilai
sosial faktor menimbang untung dan rugi merupakan perilaku dalam
pengambilan keputusan. Keputusan tersebut diambil berdasarkan untung
dan rugi. Hal ini berkaitan dengan orientasi nilai sosial dari seseorang
(Lange, 2007)
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial berasal dari faktor
eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, yaitu faktor kehadiran orang
lain, faktor lingkungan, tekanan waktu, faktor orang yang diberi
asuh. Sedangkan faktor internal meliputi nilai, karakteristik personal,
motivasi dan moralitas, suasana hati, empati, menimbang untung dan rugi.
B. Komunikasi Keluarga
1. Pengertian komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa latin, yaitu communion atau common.
Jika mengadakan komunikasi, maka membagikan sebuah informasi agar si
penerima maupun pengirim sepaham atas suatu pesan tertentu. Esensi dari
komunikasi adalah menemukan dan memadukan si penerima dan si pengirim
atas isi pesan yang khusus (Wilbur dalam Siahaan, 2000).
Barker (2002) yang menyatakan bahwa komunikasi sebagai proses
biologis dan berbasis budaya, yang terjadi secara berkelanjutan dan interaktif
di mana dua orang atau lebih menggunakan simbol verbal dan non-verbal
untuk membentuk, memperkuat, atau mengubah perilaku orang lain, baik
langsung atau dari waktu ke waktu, dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan masing-masing, dan pada gilirannya menjamin kelangsungan hidup
kedua spesies dan individu. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Siahaan
(2000) yang menyatakan komunikasi diperlukan agar manusia saling
mengerti, saling menolong dan saling melengkapi
Selain itu, komunikasi mengacu pada tindakan oleh satu orang atau
lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan,
terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat dikatakan bahwa komunikasi
adalah proses secara berkelanjutan dan interaktif antara dua orang atau lebih
menggunakan simbol verbal dan non-verbal guna membagikan informasi,
mengubah perilaku orang lain. Dalam komunikasi terjadi distorsi sebagai
gangguan dalam upaya menerima umpan balik.
2. Definisi Komunikasi keluarga
Komunikasi keluarga adalah proses perkembangan intersubjektivitas
oleh sekelompok orang yang didalamnya melibatkan sebuah kode yang
menghasilkan sebuah ikatan yang kuat seperti kesetiaan dan emosi sepanjang
sejarah kehidupan dari waktu ke waktu (Noller and Fiztpatrick, 1993). Hal itu
di dukung oleh (Galvin dan Brommel, dalam Prasitthipab 2008) yang
didefinisikan secara luas keluarga sebagai jaringan orang-orang yang berbagi
kehidupan mereka selama jangka waktu yang lama terikat oleh ikatan
perkawinan, darah, atau komitmen, hukum yang menganggap dirinya sebagai
keluarga dan memiliki sejarah penting dan diharapkan di masa depan
berfungsi dalam hubungan keluarga.
Sedangkan menurut Rae Sedwig (dalam Febriyanti, Kismiati, dan
Arisanti, 2012) komunikasi keluarga melibatkan suatu proses menggunakan
kata-kata, gerakan tubuh (gesture), inotasi suara, melibatkan suatu tindakan
yang menghasilkan pencitraan, melibatkan perasaan dengan maksud
mengajarkan, mempengaruhi anggota keluarga dan memberikan pemahaman
komunikasi yang dilakukan antar anggota keluarga yang dilakukan secara
langsung (face to face) dan setiap anggota keluarga yang melakukan
komunikasi dapat berperan sebagai komunikan maupun komunikator
(Febriyanti, Kismiati, dan Arisanti, 2012).
Berdasarkan definisi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bserta
melibatkan suatu proses menggunakan kata-kata, gerakan tubuh (gesture),
inotasi suara guna memberikan suatu pemahaman. Dalam penelitian ini
komunikasi keluarga yang dimaksudkan khususnya antara orangtua dan anak.
3. Dimensi Pada Pola Komunikasi keluarga
Pola komunikasi keluarga berkembang unik selama jangka waktu yang
relatif panjang yang didalamnya terkandung keyakinan, norma, dan sejarah di
antara anggota keluarga (Baxter et al. 2005 dalam Prasitthipab 2008 ). Selain
itu pola komunikasi keluarga mempunyai asumsi bahwa pandangan anak-anak
tentang realitas dan sosialisasi mencerminkan bagaimana orang tua
berkomunikasi dengan anak-anak mereka (McLeod & Chaffee dalam
Prasitthipab, 2008). Visi komunikasi memberikan model kerja sosial dan
kognitif bagi anggota keluarga, memberikan mereka (anggota keluarga)
pedoman normatif bagaimana berperilaku dalam keluarga sehingga interaksi
dalam keluarga memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat
(Baxter et al. 2005 dalam Prasitthipab 2008 ).
Baldwin (dalam Prasitthipab, 2008) menyatakan bahwa setiap jenis
keyakinan, sikap, dan perilaku komunikasi. Pola komunikasi dibagi menjadi
dua dimensi yaitu :
a. Orientasi Kepatuhan(Conformity-Orientation)
Keluarga dengan konsep orientasi kepatuhan yaitu jenis keluarga
yang mendorong anak-anak mereka untuk menghindari konflik serta
menampilkan kesesuaian dalam percakapan termasuk dalam hal perilaku,
nilai dan keyakinan . Selain itu, orang tua berusaha untuk menghasilkan
kepercayaan homogen dan iklim saling tergantung, memiliki pandangan
kepada anak-anak mereka bahwa argumentasi bukanlah cara terbaik untuk
memecahkan masalah (Koener dan Fitzpatrick, 2002).
Para anggota keluarga yang lebih muda diharapkan untuk
mematuhi orang tua atau orang yang lebih tua. Orientasi kepatuhan
biasanya terjadi pada keluarga tradisional yang mengedepankan hierarkis
dan otoritas. (Koener dan Fitzpatrick, 2002). Keluarga yang memiliki
orientasi kepatuhan tinggi sangat mengutamakan kebersamaan dan waktu
dengan para anggota keluarga dirumah sedangkan keluarga dengan
orientasi kepatuhan yang rendah akan cenderung mengembangkan
relasinya diluar lingkungan keluarga. (Korner dan Fitzpatrick, 2002).
b. Orientasi Percakapan(Conversation-Orientation)
Keluarga dengan konsep orientasi percakapan yaitu jenis keluarga
dimana orang tua mendorong untuk mendiskusikan isu-isu politik dan
berpendapat dan bersama-sama mendiskusikan pendapat mereka (Koener
dan Fitzpatrick, 2002). Anggota keluarga dengan orientasi percakapan
cenderung untuk menghabiskan sebagian besar waktu berdiskusi dengan
satu sama lain untuk mencapai keputusan. Keputusan dalam keluarga
diambil bersadarkan kebaikan bersama. Anak-anak dari keluarga ini
didorong untuk berkomunikasi secara terbuka dan spontan tentang
berbagai topik, bertukar ide dan pikiran, nilai-nilai serta saling berbagi
perasaan (Koener dan Fitzpatrick, 2002).
Keluarga dengan orientasi percakapan yang tinggi cenderung
untuk menghargai perbedaan pendapat diantara anggota keluarga. Hal
tersebut dapat menciptakan komunikasi yang terbuka antara anggota
keluarga sehingga hubungan keluarga terjalin toleransi, kerjasama dan
mengajarkan anak bersosialiasasi (Korner dan Fitzpatrick, 2002).
Sedangkan keluarga dengan orientasi percakapan yang rendah cenderung
Kurang berinteraksi dengan para anggota keluarga sehingga kurang
terjadi diskusi, aktivitas serta pertukaran ide dan gagasan (Koerner dan
Fitzpatrick, 2002).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua pola
komunikasi dalam keluarga yaitu conformity-orientation berdasarkan tingkat
kepatuhan terhadap otoritas tertinggi yaitu orangtua. Kedua,
conversation-orientation yang didasarkan pada banyaknya waktu yang dihabiskan orangtua
4. Tipe-tipe Dalam Komunikasi Keluarga
Pola komunikasi menciptakan tipe keluarga yang berbeda (Fitzpatrick
dalam Morissan, 2010) yaitu :
1. Tipe Konsensual
Keluarga dengan tipe konsensual adalah keluarga yang sangat
sering melakukan percakapan namun juga memiliki kepatuhan yang
tinggi. Orang tua sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam keluarga
sebagai pengambil keputusan. Keluarga dengan tipe konsensual sangat
menghargai komunikasi terbuka dalam keluarga namun disisi lain tetap
menghendaki kewenangan dan penjelasan orangtua yang jelas walaupun
tidak sejalan dengan keinginan anak-anaknya.
2. Tipe Pluralistik
Keluarga dengan tipe pluralistik adalah keluarga yang sangat
sering melakukan percakapan namun memiliki kepatuhan yang rendah.
Setiap anggota keluarga pada tipe ini akan membuat keputusanya
masing-masing. Orangtua tidak menjadi pemegang otoritas tertinggi. Setiap
pendapat dalam keluarga dinilai berdasarkan kebaikanya yaitu pendapat
mana yang paling baik dan setiap setiap orang turut serta dalam
pengambilan keputusan.
3. Tipe Protektif
Keluarga dengan tipe protektif adalah keluarga yang jarang
dalam pada jenis ini menganggap bahwa tidak ada alasan bagi mereka
untuk menghabiskan banyak waktu untuk berbicara termasuk menjelaskan
keputusan yang telah mereka buat dalam keluarga.
4. TipeLaisses-faire
Keluarga dengan tipe Laisses-faire adalah keluarga yang jarang
melakukan percakapan dan memiliki kepatuhan yang rendah. Jenis
keluarga dengan tipe komunikasi seperti ini sering disebut dengan lepas
tangan dengan keterlibatan rendah. Anggota keluarga dalam jenis ini tidak
terlalu perduli dengan apa yang dikerjakan oleh anggota keluarga lain dan
menganggap bahwa komunikasi bukanlah suatu hal yang penting.
Maka dapat disimpulkan bahwa tipe-tipe dalam komunikasi keluarga
terdiri dari tipe komunikasi konsensual, tipe komunikasi pluralistik, tipe
komunikasi protektif dan terakhir adalah tipe komunikasi laizze-faire.
Keempat tipe komunikasi tersebut dihasilkan dari dua dimensi komunikasi
Skema 1. Tipe Komunikasi Keluarga
Orientasi percakapan
Rendah Tinggi
Rendah Laizze-fair Protektif
Tinggi Pluralistik Konsensual
5. Dampak Komunikasi Keluarga
Komunikasi keluarga berperan penting dalam memberi rasa aman bagi
anak-anak karena didalamnya terdapat keteladanan dan merupakan tempat
bernaung ketika anak menghadapi kesulitan atau masalah (Gunarsa, 2001).
Komunikasi keluarga berimplikasi pada keberhasilan proses sosialisasi
orangtua terhadap anak. Hal tersebut penting karena dalam proses tersebut
akan terjadi transmisi sistem nilai yang positif kepada anak (Setyowati, 2005).
Walker dan Taylor (1991; dalam Papalia, 2009) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa orangtua yang senantiasa mendengarkan, bertanya
mengenai pendapat, meneliti tentang isu yang dibicarakan bersama remaja,
dan berdiskusi dengan tingkat yang lebih aktif akan meningkatkan kemajuan
perilaku yang baik dibandingkan dengan orangtua yang senang berceramah
Selain itu, komunikasi adalah kunci utama bagi keharmonisan antara
orangtua dan remaja. Keluarga harus memiliki waktu cukup lama untuk
berbincang-bincang dan mengembangkan keterbukaan antara orangtua dengan
anak (Gunarsa, 2004). Cara komunikasi orangtua dalam keluarga akan
memberi dampak pada hubungan orangtua anak dalam jangka panjang. Hal ini
berpengaruh terhadap pembentukan sikap dan perilaku anak. Bila hubungan
komunikasi yang di kembangkan oleh orang tua tidak harmonis maka muncul
konflik antara orang tua dengan anak (Gunawan, 2013). Hal tersebut
didukung oleh penelitian Clark dan Shields (1997 dalam Lestari 2013) yang
mengungkapkan bahwa komunikasi yang baik antara anak dengan orangtua
berkorelasi dengan rendahnya keterlibatan anak dalam perilaku delikuen.
Selain itu, Booth-Butterfield dan Sidelinger (1998 dalam Lestari 2013)
mengungkapkan bahwa keterbukaan dalam komunikasi keluarga tentang topik
seksualitas dan penggunaan alkohol berbukti berkorelasi dengan
kecenderungan remaja untuk melakukan seks yang aman maupun dalam
penggunaan alkohol.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak dari
komunikasi keluarga berimplikasi pada keberhasilan proses sosialisasi
orangtua sehingga dapat mempengaruhi perilaku anak. Komunikasi yang
buruk akan menghasilkan perilaku penyimpangan terhadap remaja, sedangkan
C. Remaja
1. Definisi Remaja
Manusia mengalami tahap-tahap perkembangan yang dialui dalam
kehidupan. Salah satu tahap perkembangan manusia adalah masa remaja
Istilah remaja dalam bahasa aslinya disebut adolescene (Ali dan Asrori,
2009).Masa remaja (adolescene) merupakan masa transisi dari perkembangan
anak-anak menjadi dewasa dengan melibatkan perubahan biologis, kognitif
dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Hal serupa diungkapkan oleh (Papalia,
2009) yang menyatakan bahwa perkembangan remaja melibatkan perubahan
besar dalam aspek fisik, kognitif dan psikososial yang saling berkaitan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa remaja
merupakan masa transisi dari perkembangan anak-anak menjadi dewasa
dengan melibatkan perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional.
2. Batasan usia remaja
Banyak batasan usia remaja yang diungkapkan oleh para ahli.
Diantaranya adalah batasan usia remaja menurut (Santrock, 2007) dimulai
sekitar usia usia 10-13 tahun dan berahkir pada sekitar usia 18-22 tahun.
sedangkan batasan usia remaja menurut (Papalia, 2009) yaitu antara usia 11
tahun hingga usia 20 tahun. Batasan remaja menurut WHO adalah 10-20
tahun. Selanjutnya, WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian
Berdasarkan uraian tersebut maka disimpulkan bahwa masa
perkembangan remaja terdapat pada rentang usia 11-21 tahun.
3. Aspek-aspek Perkembangan Remaja
a. Perkembangan Fisik
Awal masa remaja ditandai dengan adanya pubertas yaitu sebuah
kumpulan peristiwa biologis yang mengarah pada pertumbuhan tubuh dan
kematangan seksual baik primer maupun sekunder. (Berk, 2012; Papalia,
2009). Hal serupa diungkapkan oleh (Santrock, 2007) bahwa
perkembangan remaja ditandai dengan perubahan fisik berupa berubahan
berat dan tinggi badan, pertumbuhan tulang dan otot pada laki-laki,
pertumbuhan payudara pada perempuan, kematangan organ seksual seperti
menstruasi pada wanita serta dan fungsi reproduksi.
Peristiwa pubertas mempengaruhi citra diri, suasana hati, serta
interaksi remaja dengan orangtua dan teman. Hal tersebut merupakan
dampak dari perubahan fisik yang terjadi pada remaja. Kondisi tersebut
menyebabkan munculnya emosi positif maupun negatif pada remaja
sehingga dukungan orangtua dan teman dibutuhkan untuk mendampingi
remaja dalam menjalani masa awal pubertas (Berk, 2012).
b. Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget, masa remaja memasuki tingkat perkembangan
kognitif tertinggi yaitu operasional formal yaitu kemampuan berpikir
ini berdampak pada pemikiran remaja yang tidak hanya dibatasi oleh cara
berpikir pada saat ini namun juga pada saat mendatang. Dengan mencapai
tahap operasional formal, remaja dapat berpikir fleksibel dan kompleks.
Selain itu remaja juga dapat menciptakan situasi yang bersifat fantasi dan
membuat hipotesis sehingga mampu memperkirakan konsekuensi dari
tindakannya. (Papalia, 2009; Santrock, 2007, Berk, 2012).
Dalam tahap ini remaja sudah mampu berpikir logis. Remaja mulai
memiliki pola berpikir sebagai peneliti sehingga mempunyai perencanaan
untuk mencapai suatu tujuan di masa mendatang (Santrock, 2007). Namun,
kecenderungan cara berpikir egosentris masih terjadi pada masa remaja.
Selain itu meningkatnya kesadaran diri remaja yaitu tumbuhnya suatu
pandangan bahwa mereka penting, unik dan istimewa sehingga menjadi
fokus dan keperdulian orang lain (Berk, 2012; Santrock, 2007)
c. Perkembangan Sosial dan Emosi
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok
sebaya dibandingkan dengan orangtua (Berk, 2012). Peran teman sebaya
sangat besar bagi perkembangan sosial remaja karena merupakan sumber
informasi utama dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya
hidup (Papalia, 2009). Hal tersebut didukung oleh Santrock (2007) yang
menyatakan bahwa remaja memiliki kebutuhan yang tinggi untuk diterima
tugas perkembangan remaja ialah perlu mengembangkan ketrampilan
komunikasi dan bergaul dengan teman sebaya.
Selain itu, pada masa remaja tumbuh otomoni diri yang apabila
tidak dipenuhi akan terjadi konflik antara orangtua dan remaja. Hal tersebut
dapat berkurang apabila tercipta adanya saling toleransi, negosiasi serta
keseimbangan otoritas antara orangtua dan remaja (Laursen et.