• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG Peningkatan Dukungan Sosial Orangtua Melalui Solution Focused Therapy dalam Memulihkan Kualitas Hidup Anak Skizofrenia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "LATAR BELAKANG Peningkatan Dukungan Sosial Orangtua Melalui Solution Focused Therapy dalam Memulihkan Kualitas Hidup Anak Skizofrenia."

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

LATAR BELAKANG

A.Latar Belakang Permasalahan

Penderita dengan gangguan jiwa saat ini jumlahnya mengalami peningkatan terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga, dan latar belakang pengasuhan anak yang tidak baik, serta bencana alam yang melanda (Maramis, 2004). Sandra, Rahayu, dan Munjiati (2009) menguatkan dampak yang dapat dimunculkan dari kondisi masalah-masalah psikososial, misalnya kondisi keluarga yang tidak baik dan pengasuhan anak pada waktu kecil yang tidak baik, maka ada kecenderungan anak mengalami skizofrenia.

Data American Psychiatric Association, APA (2000) menunjukkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia, sedangkan di Indonesia penderita skizofrenia sekitar 1% hingga 2% dari total jumlah penduduk. Arif (2006) menjelaskan prevalensi penderita skizofrenia di Indonesia adalah 0,3-1% dan biasanya timbul pada usia sekitar 18-45 tahun, namun ada juga yang baru berusia 11-12 tahun atau usia remaja awal sudah menderita skizofrenia. Apabila penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan 2 juta jiwa menderita skizofrenia atau sekitar 99% penderita di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia (Widodo, 2014).

Di Pulau Jawa khususnya Provinsi Jawa Tengah, prevalensi gangguan jiwa berat skizofrenia sebesar 12% (Depkes RI, 2008). Data Rumah Sakit Jiwa

(2)

Provinsi Jawa Tenga

yang dirawat sebanyak 3.613 orang terdiri dari raw

skizofrenia merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan kasus gangguan jiwa yang lain yaitu sebanyak 2.589 orang atau 71,66% dari total

jiwa (RSJD Prov. Jateng, 2014).

Di Surakarta yaitu prevalensi gangguan skizofrenia 1.883 dari 2.605 penderita penderita skizofrenia

72,7% dari jumlah kasus yang ada. Kriteria hebefrenik, 648 paranoid,

sebanyak 15 dalam kriteria remisi Berdasarkan data

RSJD Surakarta (2014) Diagram 1.

Provinsi Jawa Tengah sampai bulan Desember tahun 2014, penderita

yang dirawat sebanyak 3.613 orang terdiri dari rawat inap dan rawat jalan. Kasus kizofrenia merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan kasus gangguan jiwa yang lain yaitu sebanyak 2.589 orang atau 71,66% dari total penderita

jiwa (RSJD Prov. Jateng, 2014).

Surakarta yaitu di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) prevalensi gangguan skizofrenia menjadi jumlah kasus terbanyak 1.883 dari 2.605 penderita yang tercatat mulai tahun 2004 seluruh penderita skizofrenia. Hal tersebut berarti kasus skizofrenia terjadi

7% dari jumlah kasus yang ada. Kriteria kasus skizofrenia

paranoid, 317 tak khas, 231 akut, 95 katatonik, 116 residual 5 dalam kriteria remisi (Rekam Medik RSJD Surakarta, 2014 Berdasarkan data APA (2000); RSJD Prov. Jateng (2014);

RSJD Surakarta (2014); dan Widodo (2014), diketahui bahwa penderita gangguan

Gangguan Skizofrenia 72% Gangguan Jiwa Lainnya 28%

Diagram 1. Perbandingan gangguan skizofrenia dan gangguan jiwa lain di Jawa Tengah

2014, penderita skizofrenia dan rawat jalan. Kasus kizofrenia merupakan kasus yang terbanyak dibandingkan kasus gangguan jiwa penderita gangguan

Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta, nyak yaitu jumlah eluruhnya adalah terjadi sebanyak kizofrenia terdiri dari 471 116 residual, dan (Rekam Medik RSJD Surakarta, 2014).

RSJD Prov. Jateng (2014); Rekam Medik diketahui bahwa penderita gangguan

(3)

jiwa berat terutama skizofrenia sekarang ini semakin meningkat dan tidak mengenal usia. Anak-anak usia 11-12 tahun atau usia yang masuk dalam tahap perkembangan remaja awal dapat menderita gangguan skizofrenia.

Keberadaan anak skizofrenia di dalam masyarakat terkadang dianggap berbahaya. Salah satu beban psikologis yang berat bagi orang tua adalah stigmatisasi dari masyarakat mengenai skizofrenia (Vera, 2010). Finzen (dalam Schultz dan Angermeyer, 2003) menyebut stigmatisasi sebagai ‘penyakit kedua’, yaitu sebuah penderitaan tambahan yang tidak hanya dirasakan oleh penderita, namun juga dirasakan oleh orang tua. Stigmatisasi semakin membuat kedudukan anak dikucilkan dari lingkungan sosial dan hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat sekitar sehingga rentan mengalami kekambuhan. Hal tersebut menjadikan jumlah penderita skizofrenia terus bertambah, namun masalahnya banyak orang tua yang belum mengerti benar apa itu skizofrenia. Ketidakmengertian tersebut rata-rata melahirkan jalan pintas orang tua dengan memasukkan anak ke rumah sakit jiwa (Sandra, Rahayu, & Munjiati, 2009). Banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya penanganan dan perawatan anak kepada petugas medis.

(4)

berhak dilakukan anak, tidak diberi dukungan, dan kesempatan dalam bersosialisasi (Nolen, 2001).

Dolnick (2005) menyatakan bahwa kondisi keluarga yang cenderung tidak sehat dapat memunculkan kembali gejala skizofrenia pada anggota keluarganya, terutama pada anak. Salah satu faktor penyebab munculnya skizofrenia berasal dari lingkungan keluarga. Penderita berasal dari keluarga yang disfungsi dan perilaku keluarga yang patologis seperti pola komunikasi atau interaksi orang tua yang tidak tepat, tidak memberikan dukungan, serta pengasuhan orang tua yang tidak sesuai dapat meningkatkan stres emosional yang mengarah pada kekambuhan anak. Hal tersebut menjadikan orang tua tidak mengerti bagaimana perannya dalam kesembuhan anak, maka orang tua sendirilah yang dapat menjadi salah satu faktor penyebab kambuhnya gangguan skizofrenia pada anak (Kaplan & Sadock, 2010).

Dukungan sosial orang tua terutama yang menyangkut aspek emosi yaitu aspek penghargaan dan kebutuhan akan rasa memiliki terhadap anak menjadikan faktor utama orang tua tidak memberikan dukungan (Deni, 2010; Linda, Aat, & Metty, 2012). Orang tua tidak memberikan pujian atau penghargaan, tetapi justru menampilkan berbagai ekspresi emosi yang tinggi pada anak. Ekspresi emosi tinggi yang ditampilkan yaitu orang tua terlihat berlebihan, kejam, kritis, dan perilaku intrusive serta tidak mendukung sehingga anak yang menderita skizofrenia cenderung mengalami kekambuhan (Nolen, 2001).

(5)

keluarga (Francis & Satiadarma, 2004). Keberhasilan perawatan di rumah sakit yakni pemberian obat dan penyembuhan akan menjadi sia-sia apabila tidak ditunjang oleh peran serta dukungan orang tua. Penelitian yang dilakukan oleh Jenkins, Garcia, Chang, Young, dan Lopez (2006) menunjukkan bahwa family caregivers adalah sumber yang sangat potensial untuk menunjang pemberian obat dan penyembuhan pada skizofrenia sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan kembali.

Nurdiana, Syafwani, dan Umbransyah (2007) menyebutkan bahwa orang tua berperan penting dalam menentukan cara atau perawatan yang diperlukan oleh anak di rumah sehingga menurunkan angka kekambuhan. Dinosetro (2008) menguatkan bahwa orang tua memiliki fungsi strategis dalam menurunkan angka kekambuhan, meningkatkan kemandirian dan taraf hidupnya, serta anak dapat beradaptasi kembali pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Dukungan yang dimiliki oleh anak dapat mencegah berkembangnya masalah akibat tekanan yang dihadapi. Individu dengan dukungan yang tinggi akan lebih berhasil menghadapi dan mengatasi masalahnya dibanding dengan yang tidak memiliki dukungan (Taylor, 2014).

(6)

Anak penderita skizofrenia memerlukan dukungan untuk menjadi individu yang lebih kuat dan menghargai diri sendiri. Dukungan orang tua menjadikan anak dapat mencapai taraf kesembuhan yang lebih baik, meningkatkan keberfungsian dirinya, mengurangi kekambuhan, dan meningkatkan kualitas hidupnya kembali (Sarason, 2010). Tanpa dukungan sosial dari orang tua, anak akan sulit sembuh, mengalami perburukan, dan sulit untuk menjalani peran kehidupan.

(7)

Tomb (2004) mengungkapkan gejala-gejala kekambuhan pada skizofrenia cenderung tumpang tindih, dan diagnosis dapat berpindah dari satu subtipe seiring berjalannya waktu (baik dalam satu episode atau dalam episode berikutnya). Faktor penyebab kekambuhan pada skizofrenia sifatnya cenderung menyeluruh dan tidak mengacu pada subtipe tertentu.

Kekambuhan seringkali timbul setelah adanya peningkatan peristiwa hidup. Rangsangan yang berlebihan telah terbukti menyebabkan kekambuhan, sedangkan rangsangan yang terlalu kecil terbukti meneruskan penarikan diri dan kronisitas. Keliat (2006) menjelaskan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan penderita gangguan skizofrenia meliputi: penderita yang gagal meminum obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh; dokter yang memberi resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis terapeutik yang dapat mencegah kambuh dan menurunkan efek samping; penanggung jawab (case manager) atau petugas medis tetap bertanggungjawab atas program adaptasi di rumah setelah penderita pulang ke rumah; penderita yang tinggal dengan

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Tahun Kambuh

Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga

(8)

keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan; dan lingkungan sekitar tempat tinggal yang tidak mendukung dapat juga meningkatkan frekuensi kekambuhan. Orang tua dan orang sekitar atau masyarakat menganggap skizofrenia sebagai individu yang tidak berguna, mengucilkan, mengejek penderita, dan seterusnya.

Berdasar hasil studi pendahuluan tahun 2014-2015 di RSJD Surakarta, faktor-faktor yang dapat membuat penderita mengalami kekambuhan sehingga harus kembali menjalani rawat inap yaitu faktor interaksi yang kurang baik antara orang tua dan anak, seperti jarang mengajak berbicara anak, saat mengajak berbicara dengan nada yang tinggi, dan mengejek atau menyindir anak apabila tidak melakukan sesuatu yang diminta. Setelah anak dinyatakan sembuh atau diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit, beberapa bulan atau minggu bahkan beberapa hari setelahnya anak kembali dirawat dengan alasan perilaku anak yang tidak dapat diterima oleh orang tua dan lingkungan sekitarnya. Selama di rumah, orang tua melakukan pembatasan pada perilaku anak, tidak diperbolehkan keluar gerak-gerik dan anak selalu diawasi dengan curiga oleh orang tua. Hal tersebut akhirnya memicu kekambuhan pada anak dan harus menjalani perawatan kembali sebagai tanda bahwa menurun kualitas hidupnya (Sarason, 2010).

(9)

proses keperawatan skizofrenia karena jarang mengunjungi anak di rumah sakit dan tim kesehatan di rumah sakit jarang melibatkan orang tua. Saat anak diperbolehkan pulang ke rumah, orang tua justru memperlakukan tidak sesuai, seperti membatasi perilaku anak, curiga terhadap tindakan anak yang akan menyakiti orang lain, dan tidak diperbolehkan keluar rumah (Keliat, 2006).

Orang tua merasa terbebani dengan kondisi anak dan tidak memiliki harapan untuk sembuh. Perasaan terbebani tersebut memunculkan kecemasan ketika menghadapi anak, kurangnya kesadaran akan kebutuhan untuk memahami skizofrenia, dan tekanan dalam perawatan, serta memunculkan stres tersendiri yang ditampilkan orang tua dalam bentuk ekspresi emosi tinggi (Leff & Vaughn, 1985). Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO (2001) menyatakan bahwa dampak yang dirasakan keluarga akibat adanya anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa adalah tingginya beban ekonomi, tingginya beban emosi keluarga, stres terhadap perilaku penderita yang menyimpang, gangguan melaksanakan kegiatan sehari-hari, dan keterbatasan melakukan aktivitas sosial.

(10)

Solution focused therapy sering digunakan dalam praktik psikoterapi individual, namun banyak terapis terapi keluarga mengintegrasikan strategi

solution focused ini ke dalam penanganan keluarga. Milton Erickson menggambarkan bahwa terapi berfokus solusi digunakan untuk mengubah “apa yang dilihatnya” atau “apa yang dilakukannya” yang terkait dengan masalah yang dihadapinya. Pada model ini, terapis tidak melihat suatu permasalahan sebagai suatu kegagalan, melainkan sebagai bagian dari perkembangan kelompok atau keluarga tersebut (Midori, 2001).

SFT merupakan terapi dengan metode untuk memperoleh pemahaman terhadap permasalahan, mengembangkan komunikasi, dan meningkatkan fungsi dari setiap individu. SFT adalah suatu bentuk intervensi yang membantu partisipan untuk mengidentifikasi dan merubah masalah maladaptive menjadi lebih sehat. SFT efektif dilakukan dalam tiga tahap yakni tahap initial interview, fase kerja, dan fase terminasi (Anderson, 2000). Trepper, McCollum, De Jong, Korman, Gingerich, dan Franklin (2012) menyatakan SFT efektif untuk menyelesaikan kasus pada penderita sakit fisik dan psikologis depresi serta klinis lainnya yang berfokus untuk penyelesaian masalah.

(11)

mendapat terapi berfokus pada solusi (psikoedukasi ataupun diskusi), maka kondisi penderita akan lebih cepat pulih dan kemungkinan kambuh menjadi lebih sedikit. Terapi berfokus solusi membantu orang tua dan penderita untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh penderita itu sendiri atau keduanya. Dengan membantu orang tua tersebut, maka orang tua dapat membantu pemulihan penderita skizofrenia agar pulih dan hidup sehat di masyarakat.

Santrock (2003), mendefinisikan individu dengan usia dewasa madya cenderung menggunakan coping berfokus pada masalah (problem focused coping). Orang tua yang dalam perkembangan termasuk dalam usia dewasa madya seharusnya lebih aktif dalam mencari solusi atas penyelesaian dan menilai stressor sebagai sesuatu yang dapat dikendalikan. Peneliti menggunakan terapi berfokus pada solusi agar orang tua dapat berfokus pada pencarian solusi atas masalah yang dihadapi dalam merawat anak skizofrenia. Orang tua dikembalikan pada tugas perkembangan saat berusia dewasa madya.

(12)

Orang Tua melalui Solution Focused Therapy dalam Rangka Memulihkan Kualitas Hidup Anak dengan Riwayat Gangguan Skizofrenia”.

B.Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui perbedaan dukungan sosial orang tua yang mendapatkan solution focused therapy dengan orang tua yang tidak mendapatkan solution focused therapy.

2. Mengetahui efektivitas solution focused therapy dalam meningkatkan dukungan sosial orang tua yang memiliki anak dengan riwayat gangguan skizofrenia.

C.Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Secara teoritis, hasil penelitian menjadi informasi yang dapat memperkaya

hasanah ilmu pengetahuan, terutama dalam pengembangan intervensi dalam praktek profesi psikologi khususnya dalam bidang klinis mengenai pengaruh

solution focused therapy bagi dukungan sosial orang tua dalam rangka meningkatkan kualitas hidup anak skizofrenia.

2. Secara praktis, antara lain;

(13)

meningkatkan kualitas hidup anak skizofrenia sehingga dapat dijadikan sebagai model terapi yang bersifat utama yang digunakan untuk meningkatkan dukungan sosial orang tua.

b. Bagi pihak keluarga bahwa hasil penelitian dapat bermanfaat untuk meningkatkan dukungan sosial sehingga mengurangi terjadinya kekambuhan pada penderita sebagai tanda penurunan kualitas hidup.

c. Bagi peneliti selanjutnya, hasil kajian penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat.

D.Keaslian Penelitian

Penelitian tentang skizofrenia dan dukungan sosial telah beberapa orang atau kelompok orang yang melakukan penelitian. Sandra, Rahayu, dan Munjiati (2009) melakukan penelitian yang berkaitan keluarga dari penderita skizofrenia yaitu dengan judul hubungan tipe pola asuh keluarga dengan kejadian skizofrenia di Ruang Sakura RSUD Banyumas. Hasilnya, sebanyak 29 orang yang menerapkan pola asuh otoriter mengalami skizofrenia, 7 orang yang menerapkan pola asuh demokratis mengalami skizofrenia, 6 orang yang menerapkan pola asuh demokratis mengalami skizofrenia. Ada perbedaan proporsi kejadian skizofrenia antara pola asuh otoriter, permisif dan demokratis yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara tipe pola pengasuhan yang diterapkan keluarga dengan kejadian skizofrenia.

(14)

Rawat Jalan Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa dukungan keluarga mempengaruhi perawatan penderita skizofrenia. Penderita yaitu sebagian responden sebanyak 48,96% memberikan dukungan sosial dalam perawatan penderita skizofrenia dan sebagian responden sebanyak 51,04% tidak memberikan dukungan sosial dalam perawatan penderita skizofrenia. Dukungan emosional menjadi persentasi tertinggi keluarga tidak memberikan dukungan sosial dalam perawatan sehingga penderita lebih sering memunculkan tanda-tanda gejala kekambuhan.

Dukungan sosial orang tua mempengaruhi beban orang tua dan keberfungsian sosial penderita. Penelitian yang menggunakan variabel dukungan sosial dilakukan oleh Deni (2010) dengan judul hubungan antara dukungan keluarga dengan beban keluarga untuk mengikuti regimen terapeutik pada keluarga klien halusinasi di RSUD Serang Tahun 2011 dan Prinda (2010) dengan judul hubungan antara dukungan keluarga dengan keberfungsian sosial pada penderita skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit.

Dukungan keluarga yang terdiri dari dukungan emosional, informasi, instrumental, dan dukungan penilaian mempengaruhi beban yang dirasakan oleh keluarga. Semakin bertambah dukungan semakin berkurang beban keluarga untuk mengikuti regimen terapeutik pada keluarga dengan penderita halusinasi, berarti dengan dukungan keluarga yang tepat menjadikan beban ditanggung bersama dalam keluarga (Deni, 2010).

(15)

dukungan, maka semakin baik pula keberfungsian sosial penderita. Sebaliknya semakin keluarga tidak memberikan dukungan, semakin kurang baik pula keberfungsian sosial penderita skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit. Sumbangan efektif dukungan keluarga terhadap keberfungsian sosial pada penderita skizofrenia pasca perawatan di rumah sakit sebesar 69,9 % dan faktor-faktor lain memberi pengaruh sebesar 30,1 %.

Dukungan sosial berpengaruh terhadap strategi koping sesuai dengan penelitian Yuanita (2013) yang berjudul hubungan antara dukungan sosial dengan

coping strategy pada ibu yang memiliki anak penyandang tunagrahita di SLB-C YPLB Cipaganti Kota Bandung. Hasilnya, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial dengan coping strategy

pada ibu yang memiliki anak tunagrahita di SLB-C.

Strategi koping berpengaruh terhadap kualitas hidup sesuai dengan penelitian Urifah (2012) dengan judul hubungan antara strategi koping dengan kualitas hidup pada penderita skizofrenia remisi simptom. Hasilnya, semakin tinggi strategi koping adaptif penderita skizofrenia remisi simptom maka semakin tinggi kualitas hidupnya, dan semakin rendah strategi koping adaptif maka semakin rendah pula kualitas hidupnya.

(16)

ditemukan bahwa semua variabel memiliki hubungan yang sangat bermakna antara aspek-aspek dukungan sosial dengan kualitas hidup. Selain itu diperoleh bahwa hubungan dukungan informatif dengan kualitas hidup pada penderita tuberkulosis paru yang memiliki tingkat kemaknaaan atau keeratan yang sangat tinggi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sandra, Rahayu, Munjiati, (2009); Linda, Aat, Metty, (2012) menunjukkan bahwa dukungan dan sikap keluarga terutama orang tua mempengaruhi kondisi dan tingkat kekambuhan sebagai tanda tingkat kualitas hidup pada anak dengan riwayat gangguan skizofrenia untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya setelah dinyatakan ‘sembuh’ oleh pihak rumah sakit. Faktor yang perlu diperhatikan dari penelitian-penelitian tersebut adalah dukungan sosial dari pihak terdekat sangat berpengaruh dan menentukan kondisi anak skizofrenia.

Deni (2010); Prinda (2010); dan Urifah (2012) menjelaskan pengaruh dukungan sosial orang tua terhadap kondisi anak dengan riwayat skizofrenia, antara lain kekambuhan dan keberfungsian sosial anak. Dukungan sosial orang tua dihubungkan dengan strategi koping orang tua sendiri untuk menghadapi anak. Selanjutnya strategi koping orang tua mempengaruhi kualitas hidup anak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh dukungan sosial orang tua dengan kualitas hidup anak sebagai tanda berkurangnya resiko kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup anak. Peneliti memberikan terapi pada orang tua yang berupa

(17)

lain yang mempengaruhi kondisi anak skizofrenia. Dalam penelitian ini, peneliti meningkatkan dukungan sosial orang terlebih dahulu menggunakan solution focused therapy, selanjutnya mengetahui hubungan dukungan sosial orang tua terhadap kualitas hidup anak skizofenia.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penghitungan 3 model perencanaan agregat, yakni stable work force, level strategy, mixed strategy, maka sebaiknya perusahaan mengggunakan mixed strategy (Rp

PAGERUYUNG 66 INDAH KHIKMATUS SHOFA DESA KUMPULREJO RT.01/04 PATEBON KENDAL 67 ANINDYA ASTARI GRIYA PRAJA MUKTI BLOK K.25 KENDAL.. 68 MATSNA MUTTAQIYAH CEPIRING RT.09/02

Locsin juga menjelaskan bahwa teknologi merupakan caring in nursing dimana terdapat hubungan yang harmonis antara teknologi dan caring dalam keperawatan (Locsin,

Dari hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis ketiga yang menyatakan “Diduga ada pengaruh yang signifikan antara Pengalaman Kerja terhadap Kinerja karyawan karyawan pada

(KRM1, KRM2) Merencanakan Penyelesaian AD mampu mengungkapkan data atau definisi dalam menyelesaikan permasalahan dengan tepat (memberikan keterangan berupa

Penelitian ini bertujuan mengkaji peningkatan perhatian belajar siswa mengunakan tiga variasi Pembelajaran Fisika Berbantuan Program Komputer Interaktif (PFBPKI) sebagai

Maksud dan tujuan dari penulisan dan penyusunan skripsi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan pendidikan guna memperoleh gelar kesarjanaan pada

Setelah reformasi semangat desentralisi di gaungkan karena sentralisai di anggap tidak berhasil memajukan daerah, banyak daerah tertinggal dan tidak berkembang sehingga